Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label surau. Show all posts
Showing posts with label surau. Show all posts

Monday, December 03, 2012

Nasib Surau Kita

Di sela-sela acara bengkel (workshop) di Panorama Jember, saya keluar sejenak dari hiruk-pikuk akademik dengan menyusuri jalan, mencari surau untuk merasakan kehidupan masyarakat sekitar. Jika di ruang pertemuan kami berbicara ide penglibatan komuniti (community engagement) sebagai bagian dari tugas akademisi, saya melihat kehadiran kita di surau adalah bagian dari wujud gagasan itu.

Di tempah ibadah kecil ini, saya melihat empat orang jamaah yang sudah beranjak sepuh. Tak ada anak muda yang turut berjamaah di surau al-Majid ini. Padahal letak musholla ini berada di perempatan. Di manakah kaum muda itu di kala senja? Berbeda dengan Masjid Jami' Jember yang dipenuhi oleh begitu banyak orang pada Jum'atan sehari sebelumnya. Fungsi masjid dan surau masih tidak berubah, yaitu sebagai tempat beribadah dan nyaris tidak menyentuh kegiatan-kegiatan sosial dan kultural. Mengapa tempat ini harus alah (alergi) dari aktivitas keduniawian?

Boleh jadi, hal ihwal duniawi yang dilarang dibicarakan telah menyebabkan orang ramai enggan membincangkan isu-isu masyarakat. Padahal shalat berjamaah itu adalah perjumpaan orang-orang yang perlu dilihat sebagai arena pertukaran gagasan. Sementara sembahyang tahajud di tengah malam adalah perjumpaan pribadi dengan Tuhan. Kita seharusnya bisa membedakan keduanya agar pahala sebanyak 27 derajat dari berjamaah tidak hanya sekadar angka-angka, tetapi juga pesan moral bahwa di sini kita harus merumuskan agenda umat, pengentasan kemiskinan, pengarusutamaan gaya hidup sehat, dan penyertaan pendidikan dari semua kalangan masyarakat. 

Saturday, November 12, 2011

Menikmati Pagi

Menjelang Subuh, tiba-tiba hujan mencurah deras. Azan terdengar sayup-sayup di sela bunyi air yang tumpah. Tetangga saya, mahasiswa asal Palestina itu, menaiki mobil merahnya ke surau dan memarkir kendaraannya di bawah atap teras. Jarum jam menunjuk angka 6 lebih 3 menitan. Jam tubuh saya jelas-jelas merasakan bahwa badan ini perlu bangun sebelum kesiangan, padahal hari masih gelap. Dengan payung yang gagangnya putus, saya berangkat ke surau. Di sana, biasanya saya berjumpa dengan 4 anak kecil, namun kali mereka tak datang.

Pak Bunyan, dosen asal Indonesia, mengimami sembahyang Subuh. Mr Mushthafa, asal Nigeria, kadang menempati posisi imam. Tuan Haji yang biasanya memimpin sholat memilih menjadi makmum. Rafi senantiasa membacakan iqamah, pertanda sholat segera ditunaikan. Mereka menghidupkan surau itu dengan riang. Ternyata, hujan tak menyurutkan warga perumahan untuk beribadah bersama. Mereka beranjak setelah usai, mengambil tempat di pelbagai sudut untuk berzikir.

Saya pun pulang. Hujan masih turun. Setelah sampai di rumah, saya membuka jendela agar udara pagi menyerbu masuk. Tak lama kemudian, seperti biasa, saya pergi ke warung surat kabar. Dengan koran di tangan, saya melangkah ke warung roti canai. Sambil menikmati berita, artikel dan hiburan, saya masih sempat menikmati berita Astro Awani. Kabar pembubaran parlemen yang sebelumnya berseliweran di media sosial hanya isapan jempol belaka. Kopi panas pagi itu juga mengusir dingin. Begitu banyak jamaah dari Masjid Muttaqin tumpah ruah di warung ini. Mereka berkelompok, bertukar cerita dan sebagian membaca koran. Sekitar 15 menit, saya duduk menikmati pagi. Setelah membayar secangkir kopi dan setangkup roti, saya pun pulang. Gelap telah pergi. Nyanyian burung tekukur menghiasi pagi. Lalu, kenikmatan apa lagi yang kita mau ingkari?

Sunday, October 02, 2011

Sentosa

Mereka sedang menikmati alunan salawat. Saya pun hadir dan menemukan masa lalu, ketika orang-orang kampung berdendang, merindukan sang Nabi. Saya hanya perlu melangkahkan kaki dari rumah untuk menikmati burdah, barzanji, dan ratib al-Haddad di surau yang berada di kompleks perumahan. Ketika larik Ya rabbi bil musthafa balliqh maqashidana waghfir lana ma madha ya wasi'al karami dibacakan, saya diserbu oleh angin surga. Kadang, suara sang nasyid ditingkai oleh nyanyian burung Tekukur, atau di Kedah disebut Merbok.

Jauh sebelumnya, saya telah merencanakan datang ke acara di atas. Dengan berbekal selebaran yang didapatkan dari Masjid Besar al-Muttaqin, saya mengetahui bahwa surau kami akan menghelat Program Kuliah Sehati dan Ummah Berselawat. Bersama dengan Habib Ali Zainal Abidin al-Hamid, Habib Ubaidillah al-Habsyi dan Ustaz Hafiz bin Mustaffa Lubis, acara ini akan dibuka dengan bacaan hizb, yang dipimpin oleh sang ustaz terakhir.

Dari dekat, saya memerhatikan jamaah yang datang dengan aneka pakaian, seperti serban dan jubah, baju Melayu, sarung dan kopiah putih, malah anak-anak kecil hanya memakai kaos dan celana. Di serambi surau, seorang ibu menggelar jualan jajanan. Di Jum'at pagi itu, suara kendaraan memecah keheningan rumah-rumah kami. Orang-orang berdatangan. Mereka ingin menikmati taman surga, dengan mengikuti majlis zikir dan ilmu.

Sunday, June 13, 2010

Asar

Penghuni rumah susun Bukit Gambir itu hanya melangkahkan kaki ke lift, lalu beberapa langkah lagi mereka akan mengjangkau surau tempat kami bersembahyang. Karena liburan, banyak orang yang menunaikan jamaah salat Asar. Ali dengan setia mengumandangkan azan dan iqamah.Tak hanya itu, ia acapkali mengajak dua puterinya.

Di lift, saya berjumpa dengan Nabil, mahasiswa asal Yaman. Saya pun bertanya, hari ini tak pergi berlibur? Ia pun menukas, tidak. Malah, tambahnya, ia tak pergi ke mana-mana karena besok harus menempuh ujian akhir. Doakan, ya? Kira-kira begitu dengan kalimatnya, saya hanya tinggal berdoa sekarang. Mahasiswa master ini acapkali mengenakan baju gamis putih dan mengimami kami. Sebelum pindah ke lantai 13, ia pernah tinggal satu lantai dengan saya, tingkat delapan.

Kebetulan imam yang memimpin shalat adalah Musthapa, mahasiswa asal Palestina. Saya mengenalnya di lift. Asyik juga, saya mengenal banyak warga ketika mau pergi atau pulang dari surau. Sebelumnya, saya juga mengenal Michael, warga berkebangsaan Tionghoa, tapi di lift, melainkan di warung makan Thailand, tak jauh dari flat.

Tuesday, April 27, 2010

Jendela Surau

Siang terik, namun Ali setia mengajak orang turun untuk sembahyang berjamaah. Untuk kali ini, saya pun turun. Sehabis shalat, sambil menarik napas, saya mengambil gambar tingkap. Dari sini, suara burung menyeruak masuk. Selain itu, gemericik air terdengar dari pipa mengucur ketika jamaah mengambil wudhu'. Kadang suara celotehan anak kecil yang menunggu di luar menyela.

Jendela terbuka. Meskipun tertutup, orang luar masih bisa melihat ke dalam karena transparan. Secara semiotik, ia bisa ditafsirkan tentang kebersamaan. Tak mungkin individu menjalin sapa jika menutup diri. Kehadiran penghuni flat yang berasal dari Timur Tengah membuat rumah ibadah ini bertambah marak dan tidak pengap, karena hampir setiap waktu, azan dikumandangkan. Malah, teman-teman Arab dari blok sebelah, kira-kira 300 meter, juga turut hadir untuk meramaikan. Secara bergantian mereka mengimami sembahyang.

Tanpa dirancang, azan Subuh sering diperdengarkan oleh Encik Yusuf. Tadi pagi, sebaris saf menunaikan shalat pagi, yang sebagian besar warga flat yang berasal dari Timur Tengah, seperti Yaman dan Iraq. Jarum jam menunggu angka enam. Tentu bagi warga Indonesia bagian Barat, kewajiban ini tak berat, karena waktu sebegini alam mulai terang. Malah, sebagian lain sudah bergegas berangkat ke tempat kerja. Artinya, jam tubuh mereka telah terbiasa, sehingga berjamaah subuh di Pulau Pinang bukan sesuatu yang menyusahkan.

Bagaiamanapun, bangun pagi adalah kesempatan untuk mewujudkan pertemuan dengan orang-orang yang berusaha menemui Tuhannya. Mereka datang hanya dengan baju yang melekat di tubuhnya. Tak ada pernak pernik yang menunjukkan sebuah identitas dan kelas. Shalat Subuh pada waktunya memberi kesempatan untuk mereguk udara yang masih bersih dan nyanyian burung terdengar jernih. Tambahan pula, semakin awal menjaring matahari, semakin banyak pula persiapan untuk menjalani hari. Bayangkan kalau bangun terlambat, selain tak sempat memerinci apa yang dilakukan pada hari itu, ketergesaan telah membuka perangkap untuk terjatuh dan lupa.

Monday, April 12, 2010

Warna Surau

Setelah pengurus surau tak lagi menetapkan imam sembahyang, para jamaah bergantian memimpin shalat. Satu sama lain kadang saling mengelak. Namun, boleh dikatakan ada beberapa orang yang selalu mengambil posisi terdepan. Lucunya, ketika seorang penduduk lokal diminta menjadi imam, ia pun mengelak sambil berujar, “ I’m not Arab”, pada anggota jamaah yang kebetulan orang Arab, mahasiswa asal Yaman, yang juga sama-sama tinggal di flat. Diam-diam, kami ‘Melayu’ merasa orang Timur Tengah lebih layak untuk memimpin shalat.

Namun tak semua, mahasiswa Arab itu mau menjadi imam. Ada salah satu dari mereka yang rajin mengumandangkan azan dan iqamah, tanda shalat akan ditunaikan. Kehadirannya telah membuat surut kami tak roboh, meminjam judul cerita pendek terkenal AA Navis, sastrawan asal Minangkabau, Sumatera Barat. Bagaimana tidak, ia juga menghidupkan Zuhur dan Ashar, yang sebelumnya sepi, karena penghuninya pergi bekerja atau belajar. Hebatnya lagi, ia juga acapkali membawa dua anak perempuannya ke musalla, membuat suasana riuh rendah. Malah sekali waktu, teman-temanya yang lain juga mengajak putera-puterinya, sehingga surau ramai dengan celotehan mereka.

Dulu, saya pergi ke surau tanpa menggunakan penutup kepala. Tapi warga di sana tampak menggunakan kopiah dan sarung, saya pun melakukan hal yang sama. Kata karib saya dari Kedah, tradisi ‘kampung’ itu kadang begitu kuat memegang kebiasaan ini, sehingga ia seakan-akan telah menjadi bagian dari ibadah. Namun kehadiran banyak mahasiswa asal Timur Tengah dan Afrika menambah warna cara berpakaian, seperti jubah. Sementara dari benua hitam, baju yang menempel di tubuh mereka dihiasi dengan warna-warna mencolok. Uniknya, salah seorang mahasiswa Arab sekali waktu membuat heran kami orang lokal, karena ia hanya menggunakan celana ¾, tak jauh dari lutut. Yang lain mengejutkan lagi karena menggunakan kaos dan celana training, olahraga, namun dengan fasih melantunkan ayat al-Qu’ran ketika didapuk menjadi iman. Di lain waktu, anggota yang lain, mahasiswa psikometri asal Nigeria, sering diminta untuk menjadi imam, termasuk oleh teman-teman Arab. Suaranya emas.

Semalam, saya menjumpai lagi Marzuq dan kawan-kawannya mengikuti shalat berjamaah. Ternyata mereka sedang belajar membaca Iqra di tingkat lima pada seorang ibu. Ya, dalam dua hari ini, surau tampak ceria dengan kehadiran anak-anak kecil. Ini menyempurnakan kehadiran banyak warga Arab, yang baru saja pindah dari rumah keluarga kampus. Surau itu makin berwarna.

Thursday, April 08, 2010

Mengaji di Masjid Tertua


Pertama kali menginjak kaki di Masjid tertua di Sulawesi Selatan (1603M), saya menemukan pemandangan di atas, anak-anak belajar membaca al-Qur'an. Tiba-tiba saya merasa disergap keharuan, karena masjid yang telah renta itu menjadi hidup dengan reriuhan anak-anak kecil. Namanya juga anak-anak, sang ustazah acapkali berteriak agar mereka diam dan tertib. Kedatangan kami mencuri perhatian mereka.

Sayangnya, kami tidak bisa bersembahyang di dalam masjid, karena maghrib belum tiba. Pengurus masjid tak ada di tempat. Untuk itu, kami pun beranjak menunaikan shalat ashar di Masjid baru, Syekh Yusuf, tak jauh dari lokasi makan keturunan Raja Goa ini. Mungkin karena bukan hari libur, Kamis, tempat bersejarah ini tak dikunjungi pelancong atawa wisatawan. Hebatnya, sebagian makam keluarga raja yang berada di halaman masjid ditutup dengan bangunan berbentuk piramid. Saya tak tahu apakah ini diilhami dari kebudayaan Mesir kuno.

Mengingat keturunan raja Goa tersebat di seantero dunia, sepatutnya tempat ini dirawat dengan baik. Tapi, pihak terkait abai. Atau kesan 'tak terawat' itu dibiarkan agar wajah 'kuno'nya tidak hilang. Ya, pagar makam tampak ditumbuhi lumut dan dibiarkan menghijau.

Friday, March 05, 2010

Kepulangan Sang Imam


Beberapa hari yang lalu, imam tetap surau kami pulang kampung. Dalam sebuah kesempatan, beliau pernah mengungkap pada tetangga kami untuk tidak akan kembali lagi. Tugasnya sebagai peneliti di kampus telah berakhir. Sebenarnya, dia mempunyai kesempatan untuk terus mengabdi, namun lebih memilih pulang. Sebagai peneliti, ia telah banyak menerbitkan karyanya di sejumlah jurnal internasional, sehingga layak untuk terus menyandang jabatan yang dipikulnya. Tapi, hidup itu pilihan. Satu hari sebelum meninggalkan Pulau Pinang, Pak Cik, tetangga kami, sempat mengundangnya makan malam, tanda perpisahan. Kami pun bercengkerama, penuh keakraban.

Pengurus surau menetapkan lelaki asal Makasar ini sebagai imam, karena pelbagai alasan. Kehilangan turut dirasakan jamaah yang lain. Biasanya ia tidak hanya memimpin shalat, bahkan seringkali alumnus Universitas di Jepang ini melantunkan azan, pertanda waktu sembahyang tiba. Suaranya mengajak penghuni flat bergegas turun. Meski tidak pernah bersekolah di Pondok Pesantren Tahfiz, peraih PhD dalam bidang matematika ini banyak menghapal surah al-Qur'an. Pernah satu waktu, saya mendengar sayup-sayup menjelang subuh, ia membaca al-Qur'an di rumahnya. Kebetulan, kami hanya berbeda satu lantai.

Kesederhanaannya jelas terpancar dari raut wajahnya. Meski gajinya besar, ia tetap melaju dengan sepeda motor ke tempat bekerja. Bahkan untuk ke Kuala Lumpur, ia bersama keluarga naik bis, bukan pesawat, yang tiketnya murah. Demikian pula cara berbusana, tak sedikitpun ia mematut diri untuk menunjukkan diri sebagai orang yang berkantong tebal. Selamat jalan kawan, semoga di sana aura itu menular pada jiran.

Tuesday, February 02, 2010

Rak dan Mukena

Meski hanya berupa rak dan mukena, ia bercerita sesuatu yang lain. Ini disebabkan letaknya yang tidak biasa, yaitu di sebuah tempat ibadah di ruang tunggu bandara yang tidak memisahkan ruang untuk lelaki dan perempuan, berbeda dengan toiletnya. Nah, pasal pemisahan inilah yang telah memantik silang pendapat di kalangan sarjana Muslim. Apakah pihak Angkasapura terbilang maju dengan tidak melakukan itu, saya pun tak tahu. Boleh jadi, ia hanya berkait dengan pemanfaatan ruang agar maksimal. Tapi, di pagi itu, tak ada orang sama sekali, karena memang jarum jam menunjuk angka 6-an pagi.

Thursday, October 29, 2009

Orang-Orang Surau (1)

Encik Yusuf tak pernah bosan membangunkan penghuni flat untuk berjamaah subuh melalui azan yang dikumandangkan. Pengurus surau tersebut menunjukkan keberpihakannya dengan tindakan, tak banyak bicara, bahkan di dalam sebuah musyawarah pengurus surau yang pernah saya ikuti. Namun, bapak tiga anak ini tidak menutup diri dari orang lain, malah sengaja menempelkan pengumuman di pintu surau bahwa siapa siapa boleh menghubungi beliau melalui telepon seraya menerakan nomor yang bisa dihubungi. Pak Mawardi setali tiga uang, tanpa banyak bersuara, peneliti di kampus Universitas Sains Malaysia ini dengan istiqamah selalu mengimami jamaah shalat fardu. Tak hanya itu, lelaki kelahiran Makasar ini juga kadang tidak hadir karena memilih berjamaah di masjid kampus. Keduanya tampak kompak memakmurkan musolla yang tak begitu besar itu, meski jarang kelihatan bercengkerama.

Ada lagi sosok yang bukan orang surau, tetapi telah menjadi penanda bagian dari suasana maghrib karena penjual roti itu selalu membunyikan bel tak lama sebelum atau sesudah azan. Kadang, saya tak mendengar lantunan ajakan shalat itu, namun suara bel menjadi simbol lain untuk bergegas ke lantai bawah. Hebatnya lagi, penjual roti tak pernah libur, kecuali hari Ahad, dan selalu setia mengunjungi pelanggan dengan sepeda motornya yang telah dimodifikasi untuk tempat berjualan. Kegigihan pak tua itu memang patut dikagumi karena lelaki berdarah Tamil itu menjalani perniagaannya selama 25 tahun.

Jamaah lain yang sering hadir adalah Ali, mahasiswa Timur Tengah, yang juga menempati flat Bukit Gambir. Tanpa segan calon PhD jurusan komputer meminta salah seorang jamaah untuk menunda iqamah, pertanda akan dimulainya shalat, untuk menunggu anggota jamaah yang lain. Namun demikian, shalat Subuh itu hanya disesaki enam atau tujuh orang, tidak lebih. Mungkin, pertanyaannya, adalah alasan Muslim mengelak dari shalat berjamaah semetnara mereka berada di rumah, lainnya pada waktu lain, seperti Maghrib, Zuhur, dan Ashar, mungkin kebanyakan masih berada di luar, bekerja atau belajar.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...