Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label My Articles. Show all posts
Showing posts with label My Articles. Show all posts

Thursday, August 07, 2008

Menanti Cemas Anwar Menjadi PM






WACANA


07 Agustus 2008

  • Oleh Ahmad Sahidah

PERNYATAAN resmi Anwar Ibrahim untuk kembali ke gedung parlemen melalui pemilihan umum sela (di Malaysia disebut pilihan rayat kecil) di hadapan media dalam dan luar negeri menarik perhatian banyak orang (31/7/08).

Istrinya, Dr Wan Azizah, telah mengosongkan kursi parlemen Permatang Pauh guna memberikan kesempatan kepada suaminya untuk menggantikannya (Suara Merdeka, 4/08/08). Hal itu dilakukan demi mewujudkan tujuan oposisi membentuk pemerintahan baru (Berita Harian, 01/8/08).

Dua minggu sebelumnya, ikon reformasi tersebut mengulang kembali keyakinannya bahwa pada 16 September 2008, Pakatan Rakyat, koalisi partai oposisi yang dipimpinnya, akan menggulingkan Barisan Nasional (BN), pemerintah berkuasa. Artinya, dalam waktu tak lama lagi dia akan melenggang ke Puterajaya, kantor perdana menteri.

Tentu, Anwar bertaruh dengan penyebutan tanggal peralihan kekuasaan politik yang disebut banyak pengamat sebagai paling panas dalam sejarah Malaysia. Namun, pesannya jelas, bahwa mantan wakil perdana menteri (PM) itu menyampaikan tantangan kepada calon PM versi pemerintah, Mohammad Najib.

Perpecahan UMNO

Dengan gamblang, beberapa hari sebelumnya koran The Star meletakkan foto Anwar dan Najib berhadapan dengan huruf besar head on. Ya, genderang perang sesungguhnya telah ditabuh.

Kemungkinan Anwar untuk menjadi orang terkuat di Malaysia menggelinding bagai bola salju setelah mantan PM Mahathir menyebut Najib pengecut karena selalu mengiyakan kemauan bosnya, Abdullah Badawi (The Sun, 22/4/08).

Namun Najib berkilah, bahwa sikap itu diambil karena Deputi PM itu tidak ingin mengulang sejarah perpecahah United Malay National Organization (UMNO) pada 1987-an. Penyebutan Rais Yatim, Menteri Luar Negeri, layak menjadi PM dibandingkan dengan Najib oleh Mahathir makin memecah belah UMNO. Ternyata, kesetiakawanan tidak bisa diharapkan dalam dunia politik, mengingat dulu Rais Yatim adalah ”seteru politik” Tun Mahathir.

Meskipun Malaysia mempunyai banyak undang-undang (UU) yang mengandaikan otoritas untuk membuat keadaan tertib dan terkendali tanpa halangan, tapi sekarang keadaan telah berubah. Pemerintah tidak bisa lagi meninabobokkan masyarakat karena teknologi telah berhasil menyusupkan informasi yang berbeda dari versi resmi melalui saluran internet.

Demikian pula, oposisi mempunyai taring untuk tidak seenaknya dianggap angin lalu, seperti sebelumnya. Pendek kata, pemerintah dan oposisi sama-sama mempunyai kekuatan untuk saling melepaskan pukulan.

Harus diakui, dengan angka inflasi yang tinggi dan pengangguran membengkak, masyarakat mulai terbuka menyatakan ketidakpuasannya. Usaha pemerintah untuk menangani masalah itu telah dilakukan agar tidak makin mengurangi kepercayaan masyarakat.

Meskipun secara umum keadaan masih bisa dikendalikan, mengingat mesin birokrasi berjalan efektif dan mampu mewujudkan program mengatasi dampak kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) melalui subsidi langsung kepada nelayan dan pemilik kendaraan, namun kehendak terhadap perubahan turut menguat.

Selain masalah ekonomi, di dalam persaingan politik pencitraan, pemerintah juga mencoba menahan laju Anwar. Syed Hamid Albar, Menteri Dalam Negeri, mengundang 96 diplomat untuk menjelaskan bahwa kasus sodomi yang ditimpakan kepada Anwar Ibrahim bukanlah konspirasi, melainkan pemenuhan terhadap keadilan masyarakat.

Hebatnya, surat kabar arus utama yang pro-pemerintah memberitakan bahwa mereka bisa menerima penjelasan pemerintah (Berita Harian, 24/7/08). Tentu, langkah itu diambil setelah Amerika Serikat (AS) selalu menekan Kuala Lumpur untuk berlaku adil terhadap Ketua Umum Partai Keadilan Rakyat. Belum lagi, pembelaan Turki terhadap Anwar jelas-jelas membuat pemerintah terdesak, karena negara bekas Kekhalifahan Utsmaniyyah itu merupakan negara Islam yang terkuat.

Saran untuk Anwar

Menurut saya, Anwar tidak perlu terburu-buru. Jika dia berhasil membujuk paling tidak 30 anggota parlemen dari Barisan Nasional asal Sabah Sarawak melompat ke Pakatan Rakyat, maka langkah itu adalah pengkhianatan terhadap suara rakyat. Bagaimanapun konstituen di negara bagian tersebut telah memilih calon legislatif untuk mendukung Barisan Nasional pada pemilihan umum (pemilu) ke-12.

Kalau bersikap jantan, Anwar akan lebih memilih menjadi anjing penjaga (watchdog) di parlemen dan memimpin kelompok penekan (pressure groups) terhadap pemerintah setelah memenangi pemilihan sela dan menunggu empat tahun lagi pada pemilu ke-13. Apatah lagi, bekas aktivis mahasiswa itu pernah mengungkapkan bahwa dia memerlukan dukungan yang meyakinkan untuk menjadi orang nomor satu.

Saya sendiri telah mengirim pesan kepada Anwar melalui fasilitas friendster, tapi hingga kini tidak ada respons dari pengelola media ikon demokrasi tersebut. Hal yang senada sebenarnya juga diungkapkan oleh para koleganya di koaliasi Pakatan Rakyat, yaitu Democratic Action Party (DAP) dan Partai Islam se-Malaysia (PAS), bahwa perampasan kuasa melalui lompat partai adalah cacat secara moral.

Tidak bisa dinafikan, mereka yang menyatakan keinginannya bergabung dengan Anwar sebenarnya hanya ingin meraih kursi menteri dan posisi kunci yang lain setelah sebelumnya tidak tercapai melalui Barisan Nasional.

Hal lain yang perlu diperhatikan, pemerintah kini telah banyak berubah. Abdullah Badawi, perdana menteri ke-5 Malaysia itu, telah berinisiatif untuk melakukan reformasi di pelbagai bidang. Pembentukan komite kehakiman untuk memilih hakim yang jujur dan pembentukan komite bagi pemberantasan korupsi yang tidak dapat diintervensi pemerintah, hakikatnya adalah buah dari reformasi yang dicita-citakan Anwar Ibrahim. Lalu, apalagi yang diinginkan oleh tokoh dari Pulau Pinang itu? Mari kita tunggu perkembangan politik di negeri jiran tersebut.(68)

–– Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia.

Tuesday, June 24, 2008

Menemukan Sosok Intelektual Sejati


Sumber Wacana Suara Merdeka 24 Juni 2008


Without an intellectual community there is no demand for change in the fundamental forms of society (Syed Hussein al-Attas, 1997: 52)

SAUDARA Ruslani pernah menulis artikel berjudul ”Intelektual, Pencerahan, dan Keadilan” (Suara Merdeka, 10 Mei 2008) , yang merupakan sebuah gagasan tepat dan perlu mendapatkan uraian lebih dalam untuk menemukan intelektual yang bisa mencerahkan dan memperjuangkan kepentingan khalayak.

Tapi, siapakah dia sebenarnya? Meskipun sudah menyinggungnya dalam ihwal intelektual, Ruslani masih menyisakan ruang yang perlu diisi. Jika kemudian Anies Rasyid Baswedan diganjar sebagai intelektual berpengaruh, apakah itu berlebihan?

Di milis organisasi mahasiswa Indonesia Malaysia, penganugerahan itu sempat memicu perdebatan karena di luar dugaan. Malah, ada seorang mahasiswa yang menyodorkan nama Rama Pratama atau Fahri Hamzah —yang sebelumnya mengharu-biru reformasi— sebagai sosok yang lebih berhak. Namun Suyatno, mahasiswa PhD dalam ilmu politik, menyebutnya dagelan. Sebagian besar mahasiswa malah tak mengenal, siapakah Anies Rasyid Baswedan itu.

Sementara itu Ronald Rulindo menyebut Amien Rais lebih sesuai. Adapun Mas Tauran menyebutnya semua itu tak lebih sebagai cara jurnal bersangkutan mencari pasar di dunia ketiga. Saya sendiri tak mau terjebak pada isu siapakah yang lebih pantas, tetapi ingin lebih jauh mengurai siapakah sejatinya intelektual itu?

Memang Ruslani telah membicarakannya dengan memesona pada subjudul ihwal intelektual, yang merujuk kepada bacaan standar tentang dunia intelektual, seperti karya Antonio Gramscy, Julien Benda, Edward Said, dan Noam Chomsky. Namun, sebuah karya yang lebih lengkap dan mendalam bisa digunakan untuk melengkapi hal ihwal intelektual, yaitu karya Edward Shills, The Intellectual and the Powers and Other Essays (1972).

Menurut Shills, intelektual adalah orang yang memahami nilai-nilai tertinggi (ultimate values), baik yang bersifat kognitif maupun estetik, demikian pula hasratnya akan kesepaduan. Dia mempunyai kepekaan terhadap hal yang suci (the sacred), dan mencari serta hal yang acapkali berhubungan dengan simbol-simbol keseharian bukan konkret dan referensinya jauh melampaui ruang dan waktu. Bagi saya pribadi, Arif Budiman memenuhi kriteria itu; betapa pun dia tidak mendapatkan penghargaan yang dianugerahkan kepada Anies Rasyid Baswedan.

Intelektual Indonesia

Persoalan intelektual biasanya dibahas secara mendalam di dalam disiplin history of Ideas atau sosiologi pengetahuan. Jika Ruslani mencoba menyederhanakan hanya sekadar definisi yang ideal dan realistik, sebenarnya kenyataannya lebih rumit dibandingkan dengan yang telah diungkapkan oleh Julien Benda dan An-tonio Gramscy. Bagaimanapun dua hal yang terakhir itu selalu dikutip dalam perbincangan ihwal intelektual.

Intelektual tidak saja mengurus gagasan, tetapi juga menghidupi dirinya. Oleh karena itu, kita perlu memperhatikan apakah kaum intelektual di Indonesia bisa menghidupi dirinya? Boleh dikatakan mereka betul-betul ditantang oleh keadaan yang tidak bersahabat dengan kerja-kerja intelektual. Uang lebih banyak mengalir pada usaha untuk memenangkan ”politik” dan ekonomi, dan akhirnya menyandera kewarasan nurani dan akal budi.

Jika merujuk kepada Edwards Shills, intelektual itu boleh jadi adalah wartawan, dosen, seniman, dan siapa pun yang di dalam konteks tersebut tak bisa hidup layak karena harus berjibaku dengan pemenuhan kebutuhan dasar sehari-hari.

Akankah mereka mampu melihat persoalan secara jernih? Tidakkah mereka riskan untuk menjadi partisan? Agak susah menemukan intelektual seperti Arif Budiman yang masih menjaga kemandirian dan kesederhanaan di tengah godaan bisa dibajak dan disuap?

Ignace Lepp dalam bukunya The Art of being an Intellectual (1968: 9) menyatakan, The true intellectual is one who goes far beyond the limits of his specialty. Itu adalah pernyataan yang paling tandas tentang sosok intelektual.

Ia mengandaikan orang yang tidak terjebak pada keahliannya sendiri, tetapi mencoba menengok perspektif lain agar bisa mendalami perincian sebuah masalah. Selain itu, juga mengandaikan pemahaman interdisipliner terhadap persoalan masyarakat.

Keterbukaan pada disiplin lain sekaligus mensyaratkan sebuah tim yang terdiri atas berbagai keahlian dalam melihat satu masalah. Contohnya, kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) tidak hanya dilihat dari sisi perhitungan ekonomi, tetapi juga biaya sosial (social cost) yang justru kadang luput dari perhatian dan berdampak sangat luas dalam kehidupan masyarakat kebanyakan. Pendek kata, sosiologi, antropologi, politik, agama adalah sudut pandang yang juga dimanfaatkan untuk mengantisipasi efek domino yang mengakibatkan kesulitan hidup masyarakat.

Tugas Mulia

Dalam kerangka itulah, kebersamaan mereka yang mengaku intelektual dari pelbagai disiplin untuk tak lagi larut dalam ingar bingar media, tetapi justru melakukan tindakan konkret yang mencerminkan pemikiran bersama. Jika pilot project itu tidak berhasil, maka mereka duduk kembali untuk mengevaluasi keberkaitan teori dan tindakan. Singkatnya, ada usaha berkelanjutan dalam menyelaraskan buku teks dan dunia realitas. Seyogyanya, keberhasilan Mohammad Yunus dengan Gramen Bank-nya di Bangladesh memberikan inspirasi kelompok intelektual, bagaimana komitmen dan kehendak mewujudkan ide dalam tataran konkret bisa dilakukan.

Sayangnya, banyak intelektual yang aktif di organisasi keagamaan di Tanah Air lebih sibuk dengan mengusung ide-ide abstrak tentang pembelaan terhadap manusia, seperti pluralisme, nilai-nilai universal, dan perdamaian dunia. Seharusnya, masalah kemiskinan mendapatkan prioritas utama, karena kata Mahatma Gandhi, ”kemiskinan adalah kekerasan paling buruk”.

Tidak mungkin menegakkan nilai-nilai mulia yang mereka perjuangkan tanpa lebih dahulu memprioritaskan kehidupan masyarakat yang layak. Berkaitan dengan fungsi intelektual, hanya ada satu yang disepakati, yaitu sosial.

Seperti dikatakan oleh Talcott Parson, bahwa apa yang diharapkan dari intelektual adalah lebih memberikan perhatian kepada norma dan makna pola sistem simbolik dibandingkan dengan tindakan atau kepentingan dari sebuah sistem sosial agen yang ada, baik individu maupun kolektif.

Sayangnya, banyak kita temukan bahwa mereka yang secara formal berhak menyandang gelar intelektual menggadaikan kedudukannya untuk raihan sesat, baik materi maupun kedudukan.

Oleh karena itu, sudah saatnya kita mendorong kaum cendekiawan, seperti Arif Budiman, untuk bersuara agar kaum cerdik pandai memikirkan kembali posisinya dalam pertarungan perebutan kekuasaan yang semakin kasar. Dengan sendirinya, kekasaran itu telah menyuburkan wacana yang berkembang di masyarakat dangkal dan karikatif.

Apatah lagi, jaringan intelektual yang selama ini mewarnai perebutan pemaknaan berafiliasi pada ideologi tertentu. Akhirnya, seperti apa yang dikatakan Virginia Held dalam Independence Intellectuals (1983), kita memerlukan intelektual yang menjaga nuraninya, meskipun ia harus menghidupi dirinya sebagai sopir taksi.(68)

–– Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains Malaysia.

Saturday, July 21, 2007

Mengenang Pemikir Pejuang

[Sumber Republika, 20 Juli 2007]





Ahmad Sahidah

Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam
dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Pada 30 Juli 2007 Universitas Sains Malaysia akan menggelar seminar bertema 'Mitos Pribumi Malas' sebagai penghormatan terhadap sepak terjang dan pemikiran Profesor Syed Hussein Alatas di Asia Tenggara. Tema tersebut adalah judul karya cemerlang sarjana keturunan Arab ini yang menjadi ilham bagi lahirnya disiplin orientalisme.

Beliau adalah segelintir intelektual Asia Tenggara yang dikenal di dunia internasional. Kepergiannya (23/1/07) telah meninggalkan banyak kenangan bagi rakyat Malaysia, terutama kalangan intelektual. Bahkan, Tun Mahathir Mohammad, bekas perdana menteri, turut hadir dalam upacara pemakaman, meskipun keduanya pernah berbeda pendapat mengenai hubungan genetik dan kemunduran kaum Melayu pada tahun 1970-an. Namun demikian, saya tidak melihat pemerintah memberikan penghormatan yang layak bagi seorang intelektual sekaliber beliau.

Tentu saja, kalangan pegiat dan akademisi di Indonesia seyogianya turut merasakan kehilangan. Tidak saja karena beliau dilahirkan di Bogor, Jawa Barat, tetapi juga sebuah karyanya Sosiologi Korupsi (terjemahan LP3ES, 1982) telah banyak diapresiasi dan mempengaruhi para aktivis pada tahun 1980-an tentang bahaya penyalahgunaan kekuasaan. Lebih-lebih, beliau menyatakan mempunyai ikatan spiritual dengan Mohammad Hatta dan Mohammad Natsir. Selain itu, jurnal Progressive Islam yang dirintis oleh Alatas di Belanda mendapat bantuan keuangan dari Natsir, yang pada masa itu menjadi perdana menteri.

Karya-karya penting

Dengan komitmennya yang tinggi, tulisan beliau memberikan perhatian pada persoalan agama, pembangunan, peran intelektual, pluralisme, korupsi, ideologi, kapitalisme kolonial, dan teori sosial. Sebagian besar karya ini ditulis dalam bahasa Inggris. Tak pelak lagi, kiprah intelektualnya bisa dikenal di kancah internasional. Prestasi ini tak bisa dilepaskan dari latar belakang pendidikan doktornya dalam bidang ilmu sosial dan politik di Belanda serta kegiatan organisasi keislaman di negeri ini.

Sebagai salah satu perintis penyelidikan sosiologi di Asia Tenggara paling utama, beliau menulis kurang lebih 14 buku. Mitos Pribumi Malas adalah sebuah kritik terhadap pandangan bias Barat terhadap Timur sebelum Edward Said menulis Orientalism: Western Conception of the Orient (1978). Bahkan dalam bukunya Culture and Imperialism (1993), Said menyebut karya Alatas sebagai startingly original dan di dalam buku ini juga Said banyak merujuk kepada pemikirannya.

Buku tersebut berusaha menganalisis asal-usul dan fungsi 'mitos pribumi malas' dari abad ke-16 hingga ke-20 di Malaysia, Filipina, dan Indonesia. Pelekatan sifat tidak beradab ini tidak bisa dilepaskan dari upaya ideologi kapitalisme Barat yang berusaha untuk mencari pembenaran dalam memajukan dan mengadabkan bangsa jajahan. Lebih parah lagi, kolonialis juga memberikan makanan buruk dan opium, dan pemisahan dari lingkungan alamiahnya agar pribumi merada rendah diri dan tidak cukup sehat untuk menjadi manusia.

Karya lain, Religion and Modernization in Southeast Asia, adalah sebuah karangan yang berusaha mementahkan 'mitos pribumi malas' dan sekaligus mengritik warisan feodalisme yang menghinggapi masyarakat Melayu. Hang Tuah, pahlawan yang acapkali dijadikan rujukan, bagi Alatas, tidak lebih dari pahlawan Melayu feodal dan berani berbuat apa saja demi kesetiaan, ketaatan, dan penghormatan terhadap penguasa. Ironisnya, ia membunuh kawannya sendiri secara tidak jantan karena ingin memenangkan sebuah pertarungan.

Selain buku, beliau juga menulis artikel di pelbagai jurnal internasional yang diterbitkan di Jerman, Prancis, Tokyo, dan Amerika. Sebuah bukti lain tentang kepeduliannya untuk menunjukkan bagaimana bangsa-bangsa Asia Tenggara tidak lagi hanya dijadikan sebagai objek kajian, tetapi sekaligus menempatkan metodologi Barat sebagai cara mengritik bangsanya dan sekaligus mitos yang diciptakan 'penjajah'.

Sebagai intelektual, Alatas memberikan pandangannya yang sejalan dengan kondisi Malaysia yang terdiri dari masyarakat multikultur. Keteguhan pendapatnya diperlihatkan ketika beliau harus berseberangan dengan saudaranya sendiri, Syed Naquib Al Attas, cendekiawan Muslim ternama, tentang islamisasi pengetahuan, termasuk islamisasi sosiologi. Justru sikap ini diambil ketika yang terakhir didukung oleh pemerintah melalui Anwar Ibrahim. Sikap ini bisa dipahami karena meskipun Syed Hussein pernah tertarik dengan gagasan fundamentalisme Hassan al-Banna, beliau adalah seorang pemikir sekuler yang memisahkan peran agama dan negara dalam kehidupan masyarakat.

Langkah kontroversi lain yang dilakukan semasa beliau menjadi 'rektor' Universitas Malaya adalah kebijakan bahwa prestasi seharusnya dijadikan ukuran dalam penentuan jabatan struktural di universitas. Hal ini ditunjukkan dengan pengangkatan dekan berkebangsaan India dan Cina, yang menimbulkan kemarahan orang-orang Melayu. Bahkan, beliau rela berhenti sebagai 'orang nomor satu' di Universitas Malaya karena tidak mau tunduk terhadap tekanan.

Tidak hanya bergulat dengan wacana ilmiah, beliau juga sekaligus pegiat praksis dunia politik. Gagasannya diwujudkan dalam sebuah partai politik Pekemas (Partai Keadilan Malaysia). Bahkan, beliau juga pernah menjadi anggota parlemen mewakili partai ini. Pendek kata, beliau adalah pemikir sekaligus aktivis.

Hebatnya lagi, di usia senja beliau masih menunjukkan kepeduliannya untuk melahirkan sebuah karya tentang kaitan perpustakaan dan tradisi kesarjanaan dalam sejarah dan peradaban manusia. Sayangnya, sebagaimana diungkapkan oleh koleganya, Shaharom TM Sulaiman (Utusan, 29/1/07), beliau merasa kecewa karena tidak mendapatkan kemudahan akses dan hambatan dari perpustakaan. Sesuatu yang seharusnya tidak terjadi di sebuah negara yang mencanangkan negara maju pada tahun 2020.

Wednesday, July 18, 2007

Pesona Belajar Islam di Malaysia

Dalam satu waktu, saya pernah berbincang dengan Pak Pujiharto tentang kelebihan belajar di Negeri Jiran ini. Untuk jurusan beliau, pengurusan (manejemen), dirasakan keseriusan fakultas tempat beliau belajar untuk menjadi arena penyemaian intelektual yang baik. Selain itu, ia juga didukung oleh sarana dan pencitraan serta pemasaran yang

Sementara, sebagai mahasiswa PhD bidang Peradaban Islam, tentu saja saya juga menemukan atmosfir yang baik di sini utnuk menerokai kajian keislaman. Nah, tulisan saya di Jawa Pos hari ini (Rabu, 18 Juli 2007) adalah salah satu buah pikiran untuk melihat kembali mengapa Pendidikan Islam di tingkat perguruan tinggi di sini lebih dikenal di luar negeri dibandingkan di Indonesia, yang mempunyai tradisi kesarjanaan lebih tua dan terbuka.

Semoga, ini bisa menjadi renungan bersama.

Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM

Rabu, 18 Juli 2007,
Pesona Belajar Islam dari Malaysia

Oleh Ahmad Sahidah

Tajuk ini mengandaikan kemungkinan belajar tentang Islam sekaligus bagaimana gerakan keagamaan di negeri jiran ini mengayomi pemeluknya. Mungkin, pilihan belajar Islam tingkat lanjut di tanah Melayu itu tidak akan menjadi pilihan utama mahasiswa di Indonesia. Atau, bahkan kita tak perlu mengaca bagaimana pegiat keagamaan di sana berkiprah untuk memajukan idealisme keislamannya?

Sebenarnya, intelektualisme Islam telah lama berkembang di Nusantara yang berawal dari Aceh. Gerakan kesarjanaan itu juga ditopang tumbuhnya pelbagai organisasi kemasyarakatan. Pendek kata, bangsa Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam dunia intelektualisme Islam dan beragam perkumpulan. Tidak boleh dinafikan, keberhasilan tersebut juga turut memengaruhi dan mewarnai perkembangan "pemikiran" dan organisasi Islam di Malaysia.

Lalu, mengapa sekarang kita harus menengok kesuksesan negeri jiran itu mengelola pendidikan Islam dan kelompok keagamaannya?Organisasi KeagamaanPemerintah negeri jiran yang menegaskan Islam sebagai agama resmi negara membuat peruntukan anggaran untuk kegiatan keagamaan. Tak jauh berbeda dengan kita, pemerintah menggelontorkan uang untuk Departemen Agama. Tambahan lagi, kedua negara ini juga mempunyai organisasi keagamaan partikelir yang digerakkan pelbagai aliran.

Sayang, secara umum, organisasi keagamaan di Indonesia tidak berhasil mengelola kegiatan ekonomi yang bisa mendukung aktivitas keagamaan secara mandiri. Bahkan, sebuah ormas keagamaan modern, Muhammadiyah, di sini juga gagal melejitkan kehidupan ekonomi warganya, meskipun beranggota para profesional dan sarjana.

Ketika saya mengikuti salah satu acara Rufaqa, Metamorfosis Darul Arqam, Dr Abdurrahman Effendi asal Indonesia menceritakan bahwa modal dari kegiatan ekonomi mereka adalah Allah, sementara puluhan peserta dari NU, salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, tak "memerlukan" Tuhan, hanya perlu uang Rp 200 juta untuk membuka outlet ketika mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan al-Arqam.

Padahal, kata Effendi, seandainya seluruh anggota dari cabang salah satu organisasi tersebut meminta anggotanya untuk berhenti merokok dan menyisihkan uangnya, niscaya terkumpul dana yang cukup besar untuk memulai usaha dan menggerakkan roda ekonomi anggotanya. Tetapi, siapakah yang sanggup melakukannya?

Sayang, kita lebih banyak berdebat tentang keotentikan ajaran keagamaan. Agama telah dikebiri menjadi urusan ibadah oleh kaum tradisional, sementara kelompok liberalnya lebih suka memperbincangkan substansi Islam dan menafikan kaitan Islam dengan kehidupan yang lebih luas, seperti ekonomi. Sebagian pemuka agama lebih asyik dengan bermain "politik".
Kajian Islam di Perguruan Tinggi

Pemikiran Islam boleh dikatakan berpusat di ISTAC UIAM, UKM, UM, dan USM. Tentu saja, lembaga yang layak mendapatkan perhatian adalah ISTAC. Di bawah pengayoman Prof Naquib al-Attas, para mahasiswanya dikenal sebagai kelompok terdepan membela "keotentikan" Islam dari rongrongan hegemoni intelektual Barat. Hampir secara keseluruhan, para sarjana di tanah Melayu itu berada di bawah bayang-bayang kebesaran Naquib.

Sebuah motto ISTAC, A unique opportunity to study with Muslim Scholars form around the World, adalah pertanda ikhtiar untuk memosisikan dirinya sebagai pusat pembelajaran di tingkat internasional. Jargon itu bukan untuk gagah-gagahan, tapi didukung para dosen yang didatangkan dari seluruh dunia Islam dan tentu saja ditopang perpustakaan yang bisa dikatakan salah satu terbaik di dunia.Selain itu, promosi yang gencar di sejumlah negara Asia, Afrika, dan Arab serta kemampuan stafnya dalam bahasa Inggris memungkinkan masuknya (enrollment) mahasiswa asing makin besar. Apalagi banyak calon mahasiswa dari Arab yang kesulitan belajar di Amerika dan Eropa setelah peristiwa 9/11. Dengan demikian, mereka memilih Malaysia karena dianggap sebagai salah satu negara yang mempunyai citra baik dalam dunia pendidikan.

Selain itu, birokrasi yang efisien, fasilitas yang memadai, dan perpustakaan yang nyaman adalah upaya nyata agar citra yang ingin dibangun makin menjulang. Tidak aneh, teman saya dari Iran, Mohsin J. Bagjiran, menulis disertasi tentang pemikiran Rumi di Universitas Sains Malaysia. Padahal, kultur Rumi adalah negara Persia, tempat Mohsin lahir dan tumbuh besar.

Padahal, seyogianya dia bisa menyelesaikan PhD-nya di negaranya. Jika dia memilih negeri jiran, itu disebabkan pemasaran yang progresif dari departemen pendidikan di sana ke sejumlah negara-negara Islam.

Pesona pemikiran keislaman di Malaysia juga disemburatkan oleh kegigihan para sarjananya dalam berkiprah di dunia intelektual. Sekadar menyebut contoh adalah Naguib-al-Attas dan Candra Muzaffar yang dikenal di dunia Internasional. Selain didukung kemampuan orasinya dalam bahasa Inggris, mereka menulis karya tentang Islam dalam bahasa itu. Bahkan, ketika Ziauddin Sardar menulis karya cemerlangnya bertajuk Islamic Futures, The Shape of Ideas to Come, dia merujuk kepada gagasan dua sarjana itu. Secara tersirat, sarjana futurology tersebut meletakkan "masa depan" pemikiran Islam di pundak sarjana negeri jiran itu.

Kita bukan tidak memiliki sarjana jebolan luar negeri yang pintar dan menulis dalam bahasa Inggris. Tetapi, prestasi itu belum mengatasi kemasyhuran karya-karya Naquib yang telah diterjemahkan ke lebih 20 bahasa di dunia. Lagi-lagi, dia membawa nama Malaysia, meskipun penggagas islamisasi pengetahuan itu lahir di Bogor.

Bahkan, kalau saya perhatikan, diskursus keilmuan Islam di Indonesia lebih marak dan beragam dibandingkan dengan tanah Melayu yang masih banyak diwarnai pemahaman ortodoksi. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuat negeri kita diperhitungkan jika tidak dibarengi perbaikan administrasi dan strategi pemasaran, sebagaimana dilakukan Malaysia.

Ahmas Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam di Universitas Sains Malaysia

Friday, June 22, 2007

Tiga Asas Wujud Pemahaman, Perpaduan Umat Islam

Assalamu'alaikum Wr Wb

Kalau Anda membuka koran Berita Harian [Malaysia] hari ini (22/06/07), Anda bisa membaca Rubrik Rencana (dalam bahasa kita Opini) yang memuat tulisan saya bertajuk 'Tiga Asas Wujud Pemahaman, Perpaduan Umat Islam.' Tulisan ini menjadi relevan sekarang karena banyaknya pertengkaran di antara Muslim, baik karena dipicu oleh perbedaan pemikiran, kepentingan politik dan ekonomi.

Saya mencoba mengurai cara pandang sebagian kita yang dengan mudah menghakimi orang atau kelompok lain tanpa hujah yang kukuh. Kebanyakan kritik dan pernyataan yang dilontarkan lebih mengacu pada jargon, yang kemudian oleh sarjana terkemuka Malaysia, Syed Hussin Alatas, disebut dengan jargon shooters.

Bagaimana juga, hubungan antara kita sejatinya dilandasi oleh keadaban. Adalah benar apa yang dikatakan oleh Mas Lukman bahwa kritik itu jangan diarahkan pada pribadi, tetapi gagasan. Alih-alih kita bisa saling menjaga, malah keberadaan kita hancur oleh kebencian.

Wassalamu'alaikum Wr Wb

Ahmad Sahidah
Anggota PPI USM

Sunday, May 06, 2007

Tanda Tangan sebagai Tanda Cinta


Sampai hari ini saya berusaha mencintai buku beserta ihwal yang berkaitan dengannya. Dulu, di Yogyakarta, saya meminta pada penjual buku untuk tidak merekatkan sampul plastik dengan selotip. Permintaan ini didasarkan ketakutan saya bahwa jika plastiknya rusak, kulit sampul akan mudah ‘rusak’ jika plastiknya diganti. Saya tidak ingin membuat buku luka.

Bahkan, saya tidak hanya mencintai buku, melainkan juga mengagumi pembuatnya. Adalah tidak aneh jika saya meminta tanda tangan kepada Pak Suyatno ketika beliau memberikan saya sebuah karya bertajuk Menjelajah Demokrasi (Yogyakarta: Liebe Book Press, 2004). Nah, bicara tentang tanda tangan Pengarang, saya mempunyai kisah tersendiri dan untuk mengenalnya lebih jauh bisa dibaca di rubrik buku (di Balik Buku) Jawa Pos hari ini 6 Mei 2007 atau bisa ditelusuri di alamat berikut ini, dan semoga masih bisa diakses. http://www.jawapos.co.id/index.php?act=detail_c&id=283972.

Tentu saja, pengalaman meminta tanda tangan Dewi RSD adalah ingatan yang terus melekat karena ketika beliau membubuhkan tanda tangan untuk novel Super Nova, saya hanya berjarak bebera cm dan bisa dengan leluasa membaui parfumnya yang mahal dan menyegarkan. Tetapi yang lebih penting adalah kemampuan penyanyi ini mengemas imajinasi dengan bahasa fiksi, meskipun dilengkapi dengan data non-fiksi, tentang pencarian makna hidup.


Ahmad Sahidah
Pemburu Tanda Tangan


Minggu, 06 Mei 2007,

Di Balik Buku - Pengarang dan Karyanya, Antara Azyumardi Azra dan Dewi Lestari

BAGAIMANA hubungan dua istilah dalam tajuk di atas? Jelas erat. Ada sebuah benang merah yang bisa ditarik antara keduanya. Betapa dekatnya sang empu dan buah karyanya, sehingga Pramoedya Ananta Toer menyebut karyanya sebagai anak rohani. Tetapi, apakah sebatas itu? Tentu tidak. Sebuah karya adalah kepanjangan isi pikiran dan ideologi sang penulis. Namun, ketika kita mau memahami sebuah karya, menurut Roland Barthes, pengarang tak lagi hadir. Ia mengatakan bahwa menghadirkan pengarang untuk memahami teks sama saja dengan membatasi teks itu sendiri. Dia menegaskan bahwa seorang pembaca harus memisahkan karya dari pengarangnya untuk membebaskan karya dari tirani penafsiran.

Saya berpendirian tak seekstrem Barthes. Dalam pengalaman selama ini saya melihat keterkaitan erat penulis dan karyanya. Kegagalan memahami sejarah pengarang akan membuka kemungkinan kealpaan dalam memahami isi pemikirannya. Misalnya, Kuswaidi Syafi’ie dengan Pohon Sidrahnya adalah seperti dua sisi mata uang. Pandangan politik, konteks sejarah, agama, etnik, psikologi, dan sifat kepribadian lain berlompatan di dalam puisi-puisi yang diluahkan dalam buku ini.

Hampir bisa dipastikan bahwa larik puisi yang ditulis Kuswaidi menggambarkan sejarah hidup, keyakinan agama, cita rasa Madura (tanah kelahirannya), sosok yang temperamental, dan agak melankolik. Semakin jauh saya mengenal kepribadiannya, semakin dekat saya merasakan kegundahannya dalam karya. Tapi, bagi mereka yang belum mengenal dekat, tampak ada jarak yang menganga "lebar" antara spontanitas yang "arogan" dan diksi puisinya yang cenderung sufistik dan rendah hati? Bagi saya, ia adalah wajah tegar yang banyak memberi inspirasi.Pengalaman lain yang masih menyisakan sejuta tanya adalah ketika saya menemui Azyumardi Azra untuk meminta tanda tangan bukunya The Origins Of Islamic Reformism In Southeast Asia: Networks Of Malay-Indonesian & Middle Eastem "Ulama" In The Seventeenth And Eighteenth Centuries yang merupakan titipan guru besar saya di Malaysia. Tapi apa lacur, meskipun sudah menunggu di pintu masuk kantornya sedari pagi, saya harus menggigit jari karena ketika saya berhasil mencegat di pintu masuk seraya memulai dengan salam dan bertanya, "Pak, boleh minta tanda tangan untuk buku Bapak?", dengan wajah masam, Azra menjawab, "Apa sech!" dan berlalu begitu saja. Seketika itu, pesona pemikiran Azra yang bertebaran di sejumlah karyanya tentang Islam yang ramah, damai, dan menjunjung kemanusiaan menguap karena kekasarannya.

Tapi, saya masih menyisakan kesabaran dengan mengandaikan bahwa sosok yang saya temui adalah diri lain dari seorang yang bernama Azra. Bukankah pada setiap manusia terdapat alter-ego? Atau dalam bahasa psikoanalisis, tidakkah seorang individu boleh jadi mempunyai banyak wajah? Untuk itu, saya tetap mengejar dia ke ruang kantornya, meskipun saya tak bertemu langsung, tetap saya titipkan buku itu pada sekretarisnya untuk memintakan tanda tangan penulis produktif ini. Saya hanya memerlukan orang ini sebagai penulis buku, lain tidak.Berbeda dengan Chandra Muzaffar, pemikir muslim terkemuka negeri jiran, ketika saya meminta tanda tangan untuk bukunya Global Ethic of Global Hegemony. Dengan muka berseri dia menanyakan nama saya dan menuliskan for Ahmad with my best wishes. Tak pelak, saya menemukan garis yang jelas antara apa yang diucapkan dan yang dilakukannya. Kesinambungan ini menambah simpati saya kepada tokoh multidimensi ini.

Oh ya, pengalaman minta tanda tangan buku yang kuat menancap di benak adalah ketika saya menyodorkan Supernova pada penulisnya, Dewi "Dee" Lestari, dalam peluncuran novel tersebut di Lembaga Indonesia Perancis Jogjakarta. Tidak saja personel trio RSD (Rida Sita Dewi) ini menanyakan dengan lembut nama yang harus ditulis pada halaman judul buku, tetapi dia juga menebarkan sebaris senyum dan menguapkan aroma parfum yang membuat semerbak ruangan. Seakan-akan upacara tanda tangan ini melengkapi apa yang disampaikan sebelumnya tentang isi buku yang mencerminkan sosok penulis yang tahu bagaimana memaknai kemanusiaan.

Pemahaman yang Retak
Terus terang, empat peristiwa di atas mengantarkan saya pada pemahaman yang retak bahwa apa yang ditulis seorang pengarang kemungkinan berasal dari sebuah keyakinan, namun kemudian mengalami keterpecahan. Pertama, gagasan itu mewujudkan dalam tindakan. Kedua, ia hanya pengejawantahan dari sisi kognitif saja, belum menjadi sebuah keyakinan yang mampu menggerakkan si pengarang.Ada banyak kemungkinan mengapa gagasan para penulis tidak serta merta mewarnai tindak tanduk mereka. Boleh jadi, sebuah ide senantiasa selalu berada dalam ruang dan waktu yang berjarak dengan kenyataan. Tak jarang ia bersemai dalam ruang sepi. Bahkan, ada seorang pengarang yang mengabdikan sepenuhnya untuk sebuah sistem pengetahuan yangrumit tapi dalam kesehariannya ia menjalani hidup sendirian. Ya, Immanuel Kant yang tak pernah beranjak dari rumah dan taman kota, namun menulis dengan penuh meyakinkan tentang dunia di luar pengalamannya secara langsung. Bahkan, konon dia mampu menggambarkan deru ombak dengan sangat menyentuh, meskipun sebelumnya tak pernah melihat laut.

Cerita pengarang lain yang menunjukkan garis hubungan dengan pemikirannya adalah Nietzsche. Dia memberi perhatian yang utuh terhadap nasib manusia, sehingga dengan tanpa rasa takut mengumumkan Tuhan telah mati. Cinta kepada kemanusiaan ini bahkan ditunjukkan dalam penyebab tragis kegilaannya karena merasa terharu ketika melihat seekor binatang dipecut oleh sang sais kereta tanpa ampun. Jangankan kekejaman pada manusia, bahkan kekerasan pada binatang telah menggerakkan hatinya untuk membelanya sehingga ia hilang kesadaran.Sejatinya, memang mesti ada kesinambungan antara bahasa tulis dan tindakan. Sebab, tulisan adalah pemantapan dari bahasa lisan. Jika bicara menyalahi tindakan biasanya si pelaku dikatakan seorang hipokrit. Jadi, seyogyanya seorang penulis berhati-hati dengan apa yang telah ditorehkan dalam kertas, sebab ia menuntut untuk diwujudkan menjadi sebuah perbuatan nyata. Meminjam bahasa Rendra, perjuangan itu adalah melaksanakan kata-kata.

*) Ahmad Sahidah, mahasiswa PhD Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

[Sumber: Jawa Pos, 6 Mei 2007]

Friday, April 20, 2007

Menengok Perpustakaan di Negeri Jiran

AHMAD SAHIDAH
Mahasiswa PhD Ilmu Humaniora
Universitas Sains Malaysia

Mungkin semua orang akan mengakui bahwa wajah perpustakaan di tanah air tampak centang-perenang. Tentu saja keadaan ini sangat menyedihkan. Karena bagaimanapun ia adalah jantung dari dunia pengetahuan. Detaknya yang lambat akan membuat tubuh pengetahuan lemah, tidak energik dan tidak responsif menanggapi persoalan.

Mental ‘ambtenaar’ para pegawai perpustakaan adalah wajah pendidikan muram kita, meskipun harus dimaklumi gaji yang diterimanya tidak cukup untuk bekerja secara profesional. Mereka adalah pegawai biasa yang dilahirkan untuk mencatat peminjam buku, bukan membacanya. Terlalu berlebihan jika kita ingin membandingkannya dengan pustakawan perpustakaan universitas di Barat.

Kenyataan lain adalah bahwa hampir semua perpustakaan di seluruh negeri ini tampak mengenaskan, tidak hanya buku-buku baru bisa dihitung dengan jari, tetapi juga langganan jurnal hampir tidak dilakukan. Lalu, mungkinkah para mahasiswanya mengikuti diskursus terbaru? Malangnya lagi, saya mempunyai pengalaman yang mengharukan ketika menyambangi sebuah perpustakaan Pasca Sarjana UIN Jakarta yang tampak tak terurus dan koleksi yang tak layak untuk sekolah tingkat lanjut. Sebuah kenyataan yang menggerus nama besarnya sebagai universitas papan atas.

Tentu kita tak perlu meratapi ini, karena di tengah keadaan yang mengenaskan masih ada tangan-tangan terampil yang menulis buku, cerpen dan novel baru untuk dinikmati pembaca. Dalam hal ini, negeri Jiran harus gigit jari. Di sana, kita hanya akan disuguhkan ‘deretan’ karya asing. Bahkan, jika kita membaca buku terlaris di media massa, rata-rata adalah karya asing. Memang, secara rata-rata pelajar negeri Jiran terbiasa membaca literatur bahasa Inggeris. Apalagi, dua koran berbahasa Inggeris terkenal, the Star dan Newstraits juga menjadi menu harian bacaan mahasiswa sebagaimana koran berbahasa Melayu, Utusan dan Berita Harian.

Lalu, bagaimana sebenarnya wajah perpustakaan negera tetangga? Hampir semua perpustakaan universitas di sana buka sampai pukul sepuluh malam. Bahkan, pada hari minggu dan liburan semester kita masih bisa mengunjunginya. Geliat untuk menjadi lembaga pendidikan bertaraf internasional membuat pengelolanya menyesuaikan dengan standar ISO [International Organization for Standardization). Tidak hanya dipenuhi dengan buku-buku baru yang selalu dipajang di display, tetapi juga secara teratur mereka berlangganan jurnal baru berkaitan dengan pelbagai disiplin. Journal Foreign Affairs yang membuat artikel pertama Samuel Huntington tentang ‘Benturan Peradaban’ secara berkala dipampang di rak khusus majalah sehingga setiap mahasiswa bisa mengakses informasi terbaru tentang isu-isu hubungan internasional.

Bahkan, jurnal kiri (seperti New Left Review atau International Socialism) juga secara rutin diterima bersamaan dengan jurnal lain berkaitan dengan feminisme, kerja sosial, antropologi, sosiologi, kebudayaan populer dan disiplin lain sehingga ia benar-benar surga bagi mereka yang haus akan informasi terkini. Belum lagi, majalah terbitan luar seperti TIME, Newsweek, dan lain-lain. Fenomena semacam ini dapat ditemui di seluruh perpustakaan Negeri Jiran. Paling tidak, saya telah mendatangi 4 perpustakaan universitas di sana dengan fasilitas yang tak jauh berbeda.

Kerani perpustakaan dengan tanggap mengantarkan kita untuk menunjukkan buku yang kita cari tanpa wajah cemberut, meskipun kita tidak bisa berharap banyak ia akan bercerita isi buku. Bahkan, kotak saran tidak hanya menjadi aksesoris, namun benar-benar menjadi penghubung antara mahasiswa dan staf perpustakaan. Bahkan dengan sepotong kertas pengantar dari pembimbing disertasi, kita bisa meminta untuk membeli buku yang kita perlukan.

Selain itu, setiap perpustakaan di sana dilengkapi dengan ruangan untuk mendengarkan musik dengan sound system dan tempat yang nyaman dengan koleksi lagu dari klasik hingga modern. Sebuah tempat rehat yang nyaman ketika suntuk menyerang disebabkan mata lelah memelototi huruf-huruf, atau pengguna bisa pindah ke ruangan lain, tempat kita bisa meminjam pelbagai jenis film populer, dokumenter dan pengetahuan. Di sini, pembaca akan menemui banyak koleksi kuliah dalam bentuk kaset video dari beberapa sosiolog, filsuf dan bahkan seri kuliah Edward Said. Bahkan di sini para mahasiswa bisa menikmati film Hollywood. Oh ya, saya pernah ‘meminjam’ kaset CD ‘Instinct’ (tanpa Basic), lakonan Anthony Hopkins yang menceritakan seorang antropolog yang mengadakan penelitian kehidupan gorilla. Dalam perjalannya, sang tokoh ‘secara emosional’ menjadi keluarga besar binatang raksasa ini.

Fasilitas ini tentu saja tidak lahir begitu saja. Ia lahir bersama waktu dan keinginan untuk membenahi jantung pengetahuan. Tidak itu saja, bulan membaca diisi dengan banyak kegiatan meliputi seminar, workshop dan pameran. Bahkan, di ruang kosong perpustakaan dihiasi dengan foto peraih nobel. Uniknya, dalam sebuah pameran untuk menarik minat mahasiswa buku-buku Pram dan Hamka dipajang sebagai karya besar Nusantara (bukan Indonesia!).

Sebagaimana negara yang pernah belajar pada bangsa kita, seperti mendatangkan guru Indonesia pada tahun 1970-an, dan banyak para guru besarnya keturunan Indonesia, maka Malaysia telah memantapkan posisinya untuk menjadi universitas Internasional, meskipun kebanyakan mahasiswa berasal dari Timur Tengah, Asia Tenggara dan Asia Tengah. Tentu, ini belum seberapa dibandingkan dengan Amerika dan Eropa, namun kata teman teman saya dari UGM yang sedang menyelesaikan PhDnya di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM) bahwa UGM mungkin tidak perlu malu untuk belajar mengurus perpustakaan dari Negeri Jiran ini. Sebagai mahasiswa bidang biologi, dia merasa dimanjakan oleh puluhan jurnal biologi yang dilanggan oleh pihak universitas. Aneh bukan?

Belum lagi, jika kita membandingkan dengan perpustakaan Universitas Nasional Singapura. Dalam sebuah kunjungan singkat, saya betul-betul menemukan tempat yang nyaman untuk menerokai khazanah pemikiran karena koleksi yang lengkap, baik dalam bentuk cetak atau elektronik. Bahkan, keramahan keraninya membuat kita seperti di rumah sendiri. Hebatnya lagi, di salah satu perpustakaan yang mengkhususkan kajian Asia tenggara, kita bisa membaca koran terbitan Indonesia (termasuk Republika) pada hari yang sama.

Namun jangan gundah, kita tak perlu menggantungkan pada tumpukan buku, yang kata Oka Rusmini dalam Sagranya, aku ingin mereka tidak sekadar kakus-kakus intelektual orang-orang luar. Ya, hampir semua buku yang ada di sana adalah karya orang luar. Penulis dari negera tetangga ini sendiri bisa dihitung dengan jari. Malah, buku-buku yang ditulis para pengarang Indonesia turut memenuhi rak-rak panjang perpustakaan universitas tempat saya belajar. Bahkan, dua buku teman sekelas saya di UIN Yogyakarta Kuswaidi Syafi’ie juga tersedia. Ah, betapa bangganya!

Dari paparan sekilas di atas, sudah waktunya para pendidik dan pejabat publik memikirkan bagaimana mewujudkan perpustakaan yang memenuhi standar internasional agar memungkinkan para mahasiswa dan masyarakat umum bisa mengakses informasi aktual dan memperoleh buku baru dengan mudah.

Wednesday, April 18, 2007

Haruskah Belajar Islam di (dari) Malaysia

Koran }} Opini

Kamis, 18 April 2007


Oleh:

Ahmad Sahidah
Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Tajuk di atas mengandaikan kemungkinan belajar tentang Islam dan sekaligus mengenal bagaimana gerakan keagamaan di negeri Jiran ini mengayomi pemeluknya? Mungkin pilihan belajar Islam tingkat lanjut di tanah Melayu ini tidak akan jadi pilihan utama mahasiswa di Indonesia. Atau, bahkan kita tak perlu mengaca bagaimana pegiat keagamaan di sana berkiprah untuk memajukan idealisme keislamannya?

Dalam sejarah Islam nusantara, agama ini lebih dulu berkembang di Aceh dan kemudian menyebar ke seluruh tanah pertiwi yang sekarang menjadi bagian dari Indonesia. Adalah tidak aneh jika kita menemukan karya ulama terdahulu dan tradisi keilmuan yang berjalan marak karena para ulama pada masa itu tidak hanya rajin menyampaikan pesan keagamaan di atas panggung tetapi mereka juga berkarya untuk mengembangkan keilmuan. Sejarah panjang ini telah memberikan ilham untuk mengembangkan kajian Islam melalui pendidikan formal maupun tidak.

Sekarang, gairah keagamaan juga ditopang dengan tumbuhnya pelbagai organisasi kemasyarakatan. Bahkan, lebih jauh mereka telah berhasil membangun sekolah, rumah sakit, panti asuhan, dan pesantren. Pendek kata, bangsa Indonesia mempunyai pengalaman panjang dalam dunia intelektualisme Islam dan beragam perkumpulan. Tidak boleh dinafikan, keberhasilan ini juga turut mempengaruhi perkembangan ‘pemikiran’ dan organisasi Islam di Malaysia. Lalu, mengapa sekarang kita harus menengok kesuksesan negeri jiran ini mengelola pendidikan Islam dan kelompok keagamaannya?

Organisasi keagamaan

Negara Jiran yang menabalkan dirinya sebagai negara Islam membuat peruntukan bajet negara untuk aktivitas keagamaan. Tak jauh berbeda dengan kita, negara menggelontorkan uang untuk Departemen Agama. Tambahan lagi, kedua-duanya juga mempunyai organisasi keagamaan partikelir yang digerakkan oleh pelbagai aliran. Sayangnya, secara umum organisasi keagamaan di Indonesia tidak berhasil mengelola kegiatan ekonomi yang bisa mendukung aktivitas keagamaan secara mandiri. Bahkan, sebuah ormas keagamaan modern di sini juga gagal melejitkan kehidupan ekonomi warganya meskipun dianggotai oleh para profesional dan sarjana.

Ketika saya mengikuti salah satu acara Rufaqa, metamorfosis Darul Arqam, Dr. Abdurrahman Efendi asal Indonesia menceritakan bahawa modal dari kegiatan ekonomi mereka adalah Allah, sementara 200 peserta dari salah satu ormas Islam terbesar Indonesia, tak perlu Tuhan, hanya perlu uang 200 juta untuk membuka outlet ketika mengikuti sebuah pelatihan yang diselenggarakan al-Arqam. Padahal, kata Efendi, seandainya seluruh anggota dari cabang salah satu organisasi tersebut meminta anggotanya untuk berhenti merokok dan menyisihkan uangnya niscaya terkumpul dana yang cukup besar untuk memulai sebuah usaha. Tetapi, siapakah yang sanggup melakukannya?

Sayangnya lagi, kita lebih banyak berdebat tentang substansi ajaran keagamaan. Agama telah dikebiri menjadi urusan ‘ibadah’ oleh kaum tradisional, sementara kelompok liberalnya lebih suka membincangkan substansi Islam dan menafikan kaitan Islam dengan kehidupan yang lebih luas, seperti ekonomi misalnya. Sedangkan sebagian pemuka agama lebih asyik dengan bermain ‘politik’.

Di sini kita banyak menemui institusi keagamaan progresif yang mengusung tema-tema besar seperti demokrasi, kesetaraan jender, dan sekulerisme. Sebuah fenomena yang jarang ditemui di Malaysia. Mungkin hanya Sisters in Islam yang mengusung isu yang sama. Padahal apa yang dipersoalkan itu boleh dikatakan sebagai turunan daripada masalah ‘ekonomi’. Jika para pegiat keagamaan tidak segera memperhatikan kemiskinan yang mendera anggotanya, maka upaya menyebarkan ide-ide besar itu seperti menegakkan benang basah. Energi kita terkuras habis hanya untuk bertengkar, manakal masalah yang sangat mendasar terabaikan.

Pendidikan Islam di Perguruan Tinggi

Sentral pemikiran Islam boleh dikatakan berpusat di ISTAC UIAM, UKM, USM dan UM. Tentu saja, lembaga yang layak mendapat perhatian adalah ISTAC. Di bawah pengayoman Prof Naquib al-Attas, para mahasiswanya dikenal sebagai kelompok terdepan membela ‘otentisitas’ Islam dari rongrongan hegemoni intelektual Barat. Hampir secara keseluruhan, para sarjana di tanah Melayu ini berada di bawah bayang-bayang kebesaran Naquib.

Sebuah motto ISTAC A unique opportunity to study with Muslim Scholars from around the World adalah sebuah petanda ikhtiar untuk memosisikan dirinya sebagai pusat pembelajaran di tingkat internasional. Jargon ini bukan untuk gagah-gagahan, tapi didukung oleh para dosen yang didatangkan dari seluruh dunia Islam dan tentu saja ditopang oleh perpustakaan yang bisa dikatakan salah satu terbaik di dunia. Para dosen tersebut menulis karya di dalam bahasa Arab atau Inggeris yang diterbitkan oleh universitas tempat mereka berkhidmat.

Selain itu, promosi yang gencar di sejumlah negara Asia, Afrika dan Arab serta kemampuan stafnya dalam bahasa Inggeris memungkinkan kemasukan (enrollment) mahasiswa asing makin besar. Apalagi, banyak calon mahasiswa dari Arab yang mendapatkan kesulitan untuk belajar di Amerika dan Eropah setelah peristiwa 9/11, sehingga mereka memilih Malaysia karena dianggap sebagai salah satu negara yang mempunyai citra yang baik dalam dunia pendidikan.

Selain itu, birokrasi yang efisien, fasilitas yang memadai dan perpustakaan yang nyaman adalah upaya nyata agar citra yang ingin dibangun makin menjulang. Adalah tidak aneh, teman saya dari Iran, Mohsin J Bagjiran menulis disertasi tentang pemikiran Rumi di Universitas Sains Malaysia. Padahal kultur Rumi adalah negara Persia, tempat dia lahir dan belajar.

Pesona pemikiran keislaman di sana juga disemburatkan oleh kegigihan para sarjananya dalam berkiprah di dunia intelektual. Sekadar menyebut contoh adalah Naquib al-Attas dan Candra Muzaffar yang dikenal di dunia Internasional. Selain didukung oleh kemampuan orasinya dalam bahasa Inggeris, mereka juga menulis karya tentang Islam dalam bahasa ini. Bahkan, ketika Ziauddin Sardar menulis sebuah karya cemerlang bertajuk Islamic Futures: The Shape of Ideas to Come beliau merujuk kepada dua sarjana di atas. Secara tersirat beliau meletakkan ‘masa depan’ pemikiran Islam di pundak sarjana negeri Jiran ini.

Kita bukan tidak memiliki sarjana jebolan luar negeri yang pintar dan menulis di dalam bahasa Inggeris. Tetapi prestasi ini belum mengatasi kemasyhuran karya Naquib yang telah diterjemahkan ke dalam lebih duapuluhan bahasa di dunia. Lagi-lagi, beliau membawa ‘nama Malaysia’, meskipun penggagas Islamisasi pengetahuan ini lahir di Bogor. Bahkan, kalau saya perhatikan, diskursus keilmuan Islam di Indonesia lebih marak dan beragam, dibandingkan dengan tanah Melayu yang masih banyak diwarnai pemahaman ortodoksi. Tetapi, itu tidak cukup untuk membuat negeri kita diperhitungkan jika tidak dibarengi dengan perbaikan administrasi dan strategi ‘pemasaran’ sebagaimana dilakukan oleh Malaysia.

Saturday, April 14, 2007

Memartabatkan PRT di Negeri Jiran

§ Oleh Ahmad Sahidah

TULISAN Sdr Achmad Maulani bertajuk "Menanti Perlindungan Hukum TKI" (SM 12/4/07) memberi empati kepada nasib TKI Indonesia di Luar Negeri. Kritik terhadap ketidakbecusan pemerintah sebenarnya telah banyak diulas, namun pengungkapan kembali persoalan ini memang harus diulang-ulang agar pembuat kebijakan dan pelaksaan lapangan tergerak untuk segera berbuat yang semestinya dikerjakan.

Jumlah mereka yang dianiaya kecil, tapi tidak ada pembenaran untuk membiarkan yang tertindas diabaikan. Ke-alpaan untuk melindungi sebuah profesi yang rentan terhadap perlakuan tidak manusiawi akan melahirkan tindak kekejaman lain yang tersembunyi
Ada banyak istilah menyebut profesi ini, di antaranya jongos, pesuruh, babu, khadam, dan sahaya. Secara semantik kata ini menunjukkan pada seseorang yang melakukan pekerjaan yang dinginkan oleh majikannya.

Tidak susah menemukan keberadaan mereka. Keseharian, mereka menjadi bagian kehidupan pada umumnya, atau sedang mengasuh anak majikan yang sedang belanja di Mall, ngobrol dengan sejawatnya dipintu rumah.

Indonesia Kurang Diperhatikan

Christine B N Chin (1988) di dalam In Service and Servitude mengkaji tentang pekerja rumah tangga dari Indonesia dan Filipina di Malaysia. Dalam kesimpulannya, berbeda dengan sejawatnya, para pembantu dari Indonesia tidak mendapat perhatian yang selayaknya, sedangkan pekerja dari negeri Pagoda didukung oleh pemerintah, NGO dan masyarakatnya sendiri.

Di antara pelanggaran yang dilakukan majikan terhadap hak mereka ialah jam kerja yang lama, tidak ada waktu istirahat, kurungan ilegal, gaji tidak dibayar atau dikurangi, pelecehan fisik dan psikologis, serangan seksual, tidak ada tempat tidur yang layak dan akomodasi yang memadai, tidak diberi makan atau tidak cukup, tidak bisa mempraktikkan agama atau mengganggu praktik agama mereka.

Laporan Human Rights Watch (HRW - 2004), organisasi hak asasi manusia yang berpusat di AS, merangkum lengkap persoalan itu. Ketidakberesan dalam proses pengambilan, pelatihan di tempat penampungan, proses dokumentasi adalah awal dari pelanggaran selanjutnya terhadap hak-hak pekerja.

Berbeda dengan pekerja migran lain, untuk menjadi pembantu rumah tangga (PRT), mereka tidak membayar satu sen pun, kecuali melalui agen tenaga kerja tidak resmi. Kemudahan ini dianggap oleh sebagian pengerah tenaga kerja sebagai pembenaran untuk memeras mereka dengan memotong gaji empat bulan pertama dan melepaskan tanggung jawab ketika mereka ditimpa masalah.

Angin Perubahan

Dengan penandatanganan nota kesepahaman (MoU) antara Indonesia dengan Malaysia tentang tenaga informal (PRT)Juni 2006 seyogianya akan berdampak positif. Ironisnya, di Indonesia sendiri, tidak ada aturan untuk melindungi para PRT. Mengingat centang-perenang pengurusan masalah ini, ada baiknya seluruh unsur dalam masyarakat di Indonesia dan Malaysia memberi perhatian terhadap upaya memartabatkan pembantu di negeri Jiran ini.

Rekomendasi HRW terhadap kedua negara bisa dijadikan acuan. Sayangnya, kementerian tenaga kerja dan imigrasi serta kementerian dalam negeri Malaysia menganggap pekerja NGO musuh yang menggerogoti wewenangnya.

Kedua negara ini perlu segera mewujudkan saran HRW untuk membuat UU dalam upaya melindungi para pekerja migran, termasuk pembantu. Selain itu, kementerian yang berwenang juga harus memonitor praktik agen tenaga kerja, menginspeksi tempat kerja dan kondisi tahanan serta menciptakan mekanisme komplain, memberikan dukungan pelayanan serta memperkuat kemampuan NGO untuk membantu mereka, menyebarkan informasi tentang hak-hak pekerja serta kewajiban agen, majikan dan pemerintah.

Mahasiswa yang tersebar di negeri jiran bisa menjadi ujung tombak mendampingi para pembantu. Upaya Persatuan Pelajar Universitas Sains Malaysia yang akan mengadakan lokakarya (2 Mei 2007) "Pekerja Bermasalah di Indonesia: Strategi Komunikasi dan Harmonisasi" patut mendapat perhatian. Kegiatan ini melibatkan institusi resmi dan NGO, baik dari Malaysia maupun Indonesia. (11)

--- Ahmad Sahidah, kandidat doktor Ilmu Humaniora di Universitas Sains Malaysia
[Sumber: Suara Merdeka, Wacana, 14/4/07]

Sunday, April 08, 2007

Terrorisme itu bukan Jihad

Opini

Jumat, 6 April 2007

Ahmad Sahidah


Keberhasilan polisi menggulung kelompok terror di bawah komando Abu Dujana (KOMPAS 4/4/2007) makin mengukuhkan keyakinan kita akan keberadaan jejaring terorisme di negeri ini. Yang mengejutkan, ideologi penebar teror ini menyusup ke dalam masyarakat kebanyakan. Kepiawaian mereka telah membius orang yang lugu untuk rela menggadaikan nyawanya untuk sebuah perjuangan yang sebenarnya mereka sendiri tidak memahami dengan baik. Selain itu, penemuan potasium dalam jumlah besar di sebuah rumah sederhana adalah wajah lain dari keberadaan anggotanya yang hidup serba kekurangan.

Tentu saja, pihak keamanan masih perlu lebih bekerja keras untuk mengungkap kelompok semacam ini hingga ke akarnya. Ini perlu dilakukan karena kelompok Abu Dujana adalah sebagian kecil dari kelompok lain dan adanya tangan-tangan yang tak terlihat (the invicible hand) yang masih mempunyai potensi untuk mengganggu ketentraman masyarakat. Namun demikian, ia juga perlu melibatkan pelbagai unsur masyarakat, seperti ulama, cendekiawan, mahasiswa dan orang kebanyakan.

Tulisan ini tidak akan menguraikan lebih jauh tentang peta sosial munculnya kelompok teror semacam ini, tetapi berusaha menyangkal legitimasi keagamaan yang menjadi dasar tindakan mereka. Coba tengok, misalnya, Dr Azhari, gembong teroris asal Malaysia yang menemui ajalnya karena memilih mati ketimbang menyerahkan diri pada aparat. Melihat latar belakang sejarah hidupnya, kita sebenarnya bisa mengetahui bahwa pemahaman keagamaannya tidak berpijak pada tradisi otentik Islam. Meskipun beliau dibesarkan di dalam sebuah keluarga muslim taat, tetapi dia sendiri sejak kecil hingga dewasa tidak pernah belajar pengetahuan agama secara memadai.

Jihad dan Terorisme

Peran media yang membatasi makna jihad pada tindakan kekerasan dan perang sebenarnya tak bisa dilepaskan dari cara muslim sendiri dalam mengekspresikan sikap keberagamaannya. Kata jihad acapkali menghiasi bibir para pejuang dan demonstran yang tertangkap kamera dan pena wartawan. Lalu, para kuli tinta menulisnya menjadi kepala berita yang membentuk opini publik. Jadi, sebagian orang Islam turut menyemai kesalahpahaman pemahaman keagamaan mereka sendiri.

Memang, kalau kita membuka kembali karya para ulama klasik tentang hukum Islam (fiqh), mereka selalu memasukkan pembahasan tentang jihad. Di sini, kita akan mendapati potongan ayat suci dan hadith yang menegaskan tentang jihad, keharusan melakukan jihad, kemuliaan para martir dan golongan yang boleh diperangi. Namun demikian, konsep ini tidak boleh dilepaskan dari konteks pertama kali Islam lahir. Nabi Muhammad berada dalam sebuah kondisi di mana perang adalah tak terelakkan. Sebagaimana kata Karen Armstrong (2001 : 168) “No radical social and political change has ever been achieved without bloodshed, and because Muhammad was living in a period of confusion and disintegration, peace could only by the sword.”

Namun demikian, sikap Nabi yang asli adalah menolak kekerasan sebagai strategi untuk menegakkan kebenaran. Ia hanya dimungkinkan untuk bertahan dari agresi musuh, bukan sebaliknya. Selain itu juga dibuktikan oleh etika perang yang melarang membunuh perempuan, orang cacat, budak yang menyertai tuannya, tetapi tidak ikut ambil bagian dalam perang. Mungkin yang terakhir boleh dianalogikan dengan perwakilan negara-negara Barat yang ada di Indonesia yang sering dijadikan sasaran peledakan. Oleh karena itu, haram hukumnya melakukan pengrusakan terhadap kantor perwakilan mereka di sini.

Selain itu, subjek yang juga dilarang untuk dilukai, apalagi dibunuh, adalah para pendeta, rahib, dan larangan untuk melakukan pengrusakan tempat ibadah. Bahkan, kepada musuh yang telah menyerah juga tidak dibenarkan untuk melakukan penyiksaan. Jadi, adalah sangat aneh jika sasaran serangan teror ditujukan pada Dr John Titaley, bekas rektor UKSW. Sebagai mantan mahasiswanya di program Doktor UIN Yogyakarta, saya memandang beliau tidak hanya sebagai dosen tetapi juga pemimpin agama.

Dari uraian di atas dengan sendirinya jihad berbeda dengan terorisme. Yang terakhir bisa dirumuskan sebagai taktik atau metode kekerasan yang dilakukan secara acak (Townshend, 2005 : 5) atau suatu tindakan terencana yang dilakukan untuk mencapai tujuan politik (Jackson, 2001 : 29). Dari rumusan ini, terorisme bisa didorong oleh motif apa saja dan kelompok mana pun untuk mewujudkan impian atau keinginannya.

Berangkat dari definisi terorisme di atas, paling tidak kita boleh membuka kembali khazanah intelektual Muslim yang menegaskan bahwa tindakan di atas lebih tepat dibandingkan dengan hirabah, baghy dan irhab. Ketiga istilah ini menunjuk kepada tindakan kekerasan yang dilakukan pada orang lain. Di dalam al-Qur’an hukuman yang dikenakan pada pelaku hirabah (disebut muharib) adalah berat sesuai dengan tingkat tindak kekerasan.

Sebenarnya tidak ada satu ayatpun di dalam al-Qur’an yang membenarkan tindakan terorisme yang menimbulkan ketakutan dan menyebabkan kematian orang awam. Al-Qurtubi, seorang ahli tafsir, berpendirian bahwa pembunuhan terhadap orang yang tak berdosa adalah sebuah kesalahan yang sangat besar (lihat al-Furqan : 68) dan pelaku bom bunuh diri juga dianggap sebagai sebuah tindakan yang melampuai batas yang hukumannya adalah neraka (lihat al-Nisa’ : 29, 30). Dalam praktik perundangan-undangan Islam pelakunya boleh dihukum mati atau penjara.

Tugas Kita

Penjelasan singkat di atas dengan sangat terang benderang menunjukkan pada kita bahwa tindakan terorisme sangat bertolak belakang dengan konsep jihad. Terorisme nyata-nyata membahayakan keselamatan orang awam yang boleh jadi terdiri dari wanita, anak-anak, orang lanjut usia dan orang cacat. Nabi tidak membenarkan golongan ini dilukai ataupun dibunuh.

Peristiwa pengeboman di beberapa tempat di Indonesia tidak hanya menimpa orang, tapi harta benda dan tempah ibadah. Jika kita mengacu kepada etika perang dalam Islam, justeru pemilihan target mereka jelas-jelas menyimpang dan tak dapat diterima. Hal semacam ini semacam ini sejatinya telah dikenal umum dalam pendidikan agama di pesantren dan madrasah.

Namun persoalannya ia juga terkait dengan persoalan lain yaitu keadaan si pelaku yang tidak mempunyai pengetahuan agama dan menemukan kepastian hidupnya dari doktrin mati syahid. Kematian semacam ini dipercayai akan mengantarkan ke surga, setelah mereka merasa putus asa karena mengalami tekanan sosial dan ekonomi di dunia. Oleh karena itu, tugas agamawan adalah menyampaikan pesan-pesan damai kepada penganutnya dan pemerintah memenuhi janjinya untuk memberikan warganya lapangan kerja.

Kerja keras polisi teror anti tidak akan pernah selesai jika masih banyak warga kita berjuang setengah mati untuk mencari sesuap nasi. Kemiskinan adalah salah satu faktor yang mendorong mereka mudah terjebak dengan aksi kekerasan. Namun demikian, sebagai warga negara kita harus membantu pihak keamanan untuk membatasi ruang gerak para teroris. Tetapi, kadang terbersit ragu, apakah pemerintah mampu membasmi kelompok militan yang beroperasi secara rahasia dan dalam jaringan sistem sel, sementara mengatasi masalah lumpur Sidoarjo yang kasat mata, mereka tampak kelabakan dan kebingungan.


Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

Monday, April 02, 2007

Pengarang dan Karyanya

Di balik Buku

Oleh Ahmad Sahidah *)

Bagaimana hubungan dua istilah dalam tajuk di atas? Jelas erat. Ada sebuah benang merah yang bisa ditarik antara keduanya. Betapa dekatnya antara sang empu dan buah karyanya, sehingga Pramoedya Ananta Toer menyebut karyanya sebaga anak rohani. Tetapi, apakah sebatas itu? Tentu tidak. Sebuah karya adalah kepanjangan dari isi pikiran dan ideologi sang penulis.

Namun ketika kita mau memahami sebuah karya, menurut Roland Barthes, pengarang tak lagi hadir. Ia mengatakan bahwa menghadirkan pengarang untuk memahami teks sama saja dengan membatasi teks itu sendiri. Lebih jauh dia menegaskan bahwa seorang pembaca harus memisahkan karya dari pengarangnya untuk membebaskan karya dari tirani penafsiran.

Saya sendiri berpendirian tak seekstrim Barthes. Dalam pengalaman selama ini, saya melihat keterkaitan erat penulis dan karyanya. Kegagalan memahami sejarah pengarang akan membuka kemungkinkan kealpaan dalam memahami isi pemikirannya. Misalnya, Kuswaidi Syafi’ie dengan karya Pohon Sidrahnya adalah seperti dua sisi mata uang. Pandangan politik, konteks sejarah, agama, etnik, psikologi dan sifat keperibadian lain berlompatan di dalam puisi-puisi yang diluahkan dalam buku ini.

Hampir bisa dipastikan bahwa larik puisi yang ditulis adalah menggambarkan sejarah hidup, keyakinan agama, cita rasa Madura, sosok yang temperamental dan agak melankolik. Semakin jauh saya mengenal kepribadiannya, semakin dekat saya merasakan kegundahannya dalam karyanya. Tapi, bagi mereka yang belum mengenal dekat, tampak ada jarak yang menganga ‘lebar’ antara spontanitas yang ‘arogan’ dan diksi puisinya yang cenderung sufistik dan rendah hati? Bagi saya, ia adalah wajah tegar yang banyak memberi inspirasi.

Pengalaman lain yang masih menyisakan sejuta tanya adalah ketika saya menemui Azyumardi Azra untuk meminta tanda tangan untuk bukunya The Origins Of Islamic Reformism In Southeast Asia: Networks Of Malay-Indonesian & Middle Eastern 'Ulama' In The Seventeenth And Eighteenth Centuries yang merupakan titipan profesor saya. Tapi apa lacur, meskipun saya menunggu di pintu masuk kantor beliau sedari pagi, saya harus menggigit jari, karena ketika saya bertemu beliau dan mencegah di pintu masuk seraya memulai dengan salam dan bertanya, “Pak, boleh minta tanda tangan untuk buku Bapak?, dengan wajah masam, Pak Azra menjawab, “Apa sech!” dan berlalu begitu saja. Seketika itu, pesona pemikiran Pak Azra yang bertebaran di sejumlah karyanya tentang Islam yang ramah, damai dan menjunjung kemanusiaan menguap karena kekasarannya.

Tapi, saya sendiri masih menyisakan kesabaran dengan mengandaikan bahwa sosok yang saya temui adalah diri-lain dari seorang yang bernama Azra. Bukankah pada setiap manusia terdapat alter-ego? Atau, dalam bahasa psikoanalisis, tidakkah seorang individu boleh jadi mempunyai banyak wajah? Untuk itu, saya tetap mengejar beliau ke ruang kantornya, meskipun saya tak bertemu langsung tetapi menitipkan buku itu pada sekretarisnya untuk memintakan tanda tangan pada penulis produktif ini. Saya hanya memerlukan orang ini sebagai penulis buku, lain tidak.

Berbeda dengan Chandra Muzaffar, pemikir Muslim terkemuka negeri Jiran, ketika saya meminta tanda tangan untuk buku beliau Global Ethic or Global Hegemony, dengan muka berseri beliau menanyakan nama saya dan menuliskan for Ahmad with my best wishes. Tak pelak, saya menemukan garis yang jelas antara apa yang diucapkan dan dilakukan. Kesinambungan ini menambah simpati saya pada tokoh multidimensi ini.

Oh ya, pengalaman minta tanda tangan buku yang kuat menancap di benak adalah ketika saya menyodorkan sebuah buku Super Nova untuk dibubuhkan tanda tangan oleh Dewi dalam sebuah acara peluncuran novel tersebut di Lembaga Indonesia Perancis Yogyakarta. Tidak saja personel RSD ini menanyakan dengan lembut nama yang harus ditulis pada halaman judul buku, tetapi beliau juga menebarkan sebaris senyum dan menguapkan aroma parfum yang membuat semerbak ruangan. Seakan-akan upacara tanda tangan ini melengkapi apa yang disampaikan sebelumnya tentang isi buku yang mencerminkan sosok penulis yang tahu bagaimana memaknai kemanusiaan.

Pemahaman yang retak

Terus terang, empat peristiwa di atas mengantarkan saya pada pemahaman yang retak bahwa apa yang ditulis seorang pengarang kemungkinan berasal dari sebuah keyakinan, namun kemudian mengalamai keterpecahan. Pertama, gagasan itu mewujudkan dalam tindakan dan kedua, ia hanya pengejawantahan dari sisi kognitif saja, belum menjadi sebuah keyakinan yang mampu menggerakan si pengarang.

Ada banyak kemungkinan mengapa gagasan para penulis tidak serta merta mewarnai tindak tanduk mereka. Boleh jadi, sebuah ide senantiasa selalu berada dalam ruang dan waktu yang berjarak dengan kenyataan. Tak jarang ia bersemai dalam ruang sepi. Bahkan, ada seorang pengarang yang mengabdikan sepenuhnya untuk sebuah sistem pengetahuan yang rumit tapi dalam kesehariannya ia menjalani hidup sendirian. Ya, Immanuel Kant yang tak pernah beranjak dari rumah dan taman kota, namun menulis dengan penuh meyakinkan tentang dunia di luar pengalamannya secara langsung. Bahkan, konon beliau mampu menggambarkan deru ombak dengan sangat menyentuh, meskipun sebelumnya tak pernah melihat laut.

Cerita pengarang lain yang menunjukkan garis hubungan dengan pemikirannya adalah Nietzsche. Beliau memberi perhatian yang utuh terhadap nasib manusia, sehingga dengan tanpa rasa takut mengumumkan Tuhan telah mati. Cinta kepada kemanusiaan ini bahkan ditunjukkan dalam penyebab tragis kegilaannya karena merasa terharu ketika harus melihat seekor binatang dipecut oleh sang sais kereta tanpa ampun. Jangankan kekejaman pada manusia, bahkan kekerasan pada binatang telah menggerakkan hatinya untuk membelanya sehingga ia hilang kesadaran.

Sejatinya, memang mesti ada kesinambungan antara bahasa tulis dan tindakan. Sebab, tulisan itu adalah pemantapan dari bahasa lisan. Jika bicara menyalahi tindakan biasanya si pelaku dikatakan seorang hipokrit. Jadi, seyogyanya seorang penulis berhati-hati dengan apa yang telah ditorehkan dalam kertas, sebab ia menuntut untuk diwujudkan menjadi sebuah perbuatan nyata. Meminjam bahasa Renda, perjuangan itu adalah melaksanakan kata-kata. []

*) Ahmad Sahidah, Mahasiswa PhD Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

Thursday, March 22, 2007

Tafsir al-Qur’an Menuju Praksis

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia

Perdebatan tentang tafsir ayat al-Qur’an pernah mengharubirukan ruang opini harian ini, yang melibatkan pelbagai generasi, pandangan, dan ideologi. Lalu, setelah ‘perkelahiran’ usai, pertanyaan yang perlu diajukan adalah apa yang harus dilakukan setelah memahami pesan teks kitab suci? Apakah menggelar arena perdebatan dengan tema lain? Atau, dengan inspirasi kata-kata kata Karl Marx, bahwa kita tidak lagi mau memahami dunia, tetapi mengubahnya, maka al-Qur’an seharusnya tidak hanya menjadi konsumsi para intelektual dan sejenisnya, tetapi mampu mengubah masyarakat pemiliknya.

Bagi saya, interpretasi para sarjana Muslim sekarang ini bisa dianggap mewakili semua genre penafsiran yang pernah hidup dalam kajian al-Qur’an. Namun demikian, perbedaan ini perlu dibingkai dalam sebuah penalaran tafsir itu sendiri agar kita bisa memahami lebih jauh mengapa pertengkaran ini menyeruak ke permukaan dan lebih dari itu pentingnya pengungkapan hal-hal yang tak terungkap dalam perdebatan semacam ini.

Al-Imām ‘Abd al-Razzāq (2003: 30) menegaskan bahwa tafsīr merupakan sebuah aspek pengetahuan yang hidup. Ia mencerminkan trend intelektual, sosial, spiritual dan ilmiah dari sebuah masyarakat. Aspek ini adalah trend yang muncul pada era modern setelah umat Islam dihadapkan dengan banyak tantangan dan kritik dari luar. Inilah sebuah era yang telah makin menumbuhkan apresiasi terhadap kajian keislaman, meskipun tidak jarang pengkajian terhadap isu-isu keislaman menyerimpung dari keinginan mencari kebenaran.

Dari kutipan di atas, seyogyanya al-Qur’an merespons persoalan kedisinian dan kekinian. Meskipun kalangan objektivis mencoba sekuat tenaga untuk menghadirkan kembali keaslian pesan teks, tetapi akhirnya ia akan dibaca, dilihat dan diaplikasikan pada kehidupan aktual sekarang dan tempat kita mereguk udara.

Dunia Teks dan Penafsir
Asma Barlas menegaskan bahwa sebagai wacana Ilahi Alqur’an tidak bisa ditiru, diubah, dipalsukan, dan digugat. Namun, keadaan ini tidak berlaku bagi pemahaman kita tentangnya (2005: 89). Petikan ini sengaja dikutip dari pemikir yang familiar dengan pendekatan modern (baca: tradisi linguistik Barat) untuk memberikan pijakan bahwa keyakinan terhadap otentisitas kitab suci juga diyakini oleh mereka yang terbaratkan. Sebagaimana juga keyakinan mereka akan keragam tafsir juga diakui oleh para ulama tafsir sendiri, baik secara tersirat maupun tersurat. Kesepakatan ini didasarkan pada makna al-Qur’an itu sendiri yang terdiri dari empat macam, yaitu harfiah (zahir), metaforis (batin), moral (had) dan analogis (muttala’). Pendek kata, al-Qur’an mempunyai karakter polisemik (banyak makna).

Upaya untuk menyatukan keempat makna di atas tidak mudah. Bahkan sebuah upaya yang mengandaikan pendekatan interdisipliner yang meliputi analisis semantik, sosio-antroplogi, sejarah, dan hermeneutik tetap akan menghasilkan pandangan yang bersifat khas, lokal dan kondisional. Ia tidak akan mampu meyakinkan liyan untuk menerimanya serta merta. Namun demikin, ini tidak segera dianggap wujud dari relativisme penafsiran terhadap teks, melainkan sebuah penegasan bahwa pemahaman yang benar adalah ketika kita memahami sesuatu secara berbeda terhadap sesuatu yang sama atau dalam bahasa Karl Mannheim relasionisme.

Selanjutnya, selain pendekatan keilmuan murni di atas, terdapat fungsi tafsīr yang ingin menyesuaikan teks dengan situasi kekinian pentafsir, dengan kata lain, kebanyakan pentafsiran tidak murni bersifat teoretis, tetapi juga mempunyai aspek praktis sehingga boleh diterapkan dalam iman dan pandangan hidup orang yang beriman (Andrew Rippin, 1987:237). Di sinilah, terdapat hubungan yang dinamis antara teori dan praktik yang memunculkan sebuah tindakan unik. Realitas yang terakhir ini kadang tak terjangkau oleh teks.

Selain itu, ada perbedaan penting yang sangat mendasar mengenai syarat penafsiran dalam tradisi al-Qur’an. Sarjana muslim yang merujuk pada karya klasik menyatakan bahwa selain syarat yang bersifat akademik, prilaku sang penafsir yang bersifat pribadi juga dipertimbangkan. Hubungan keduanya dijadikan barometer untuk menilai tafsir. Sedangkan kalangan modernis, Misalnya Fazlur Rahman, tidak melibatkan hal yang bersifat pribadi sebagai kriteria, seperti keyakinan dan prilaku etik.

Penafsir tidak saja harus menguasai keilmuan berkaitan dengan kajian al-Qur’an, tetapi juga mempunyai keyakinan dan melakukan apa yang dikatakan, sehingga pendapatnya bisa diterima secara bulat. Adalah aneh jika pernyataan dan kenyataan tidak sejalan. Di atas kertas, ia meneriakkan pluralisme tetapi di ruang lain menyanjung pemikiran primordialisme.

Namun demikian, cara pandang yang terakhir akan mudah menuai kritik karena telah memasuki wilayah pribadi sang penafsir. Dalam tradisi ilmiah, sebuah diskursus biasanya didorong untuk tidak melakukan penyerangan pribadi (ad hominim), melainkan mengkritik alur logika dan rasionalitasnya. Pernyataan ini ada benarnya, tetapi juga meninggalkan banyak persoalan.

Selain itu, pembacaan atas sebuah teks selalu dilakukan di dalam sebuah komunitas, tradisi atau arus pemikiran tertentu, yang kesemuanya menggambarkan praduga-praduga dan urgensi-urgensi masing-masing – tanpa menghiraukan apakah pembacaan dekat kepada quid atau tidak, yaitu sudut pandang yang mendasari penulisan teks (Josef Bleicher, 2003: 362). Jadi, tidak aneh jika kita mendapati para penanggap tentang ayat tentang tema tertentu tidak tunggal.

Hikmah Perdebatan
Kalau kita percaya bahwa sebuah penafsiran adalah pertemuan pribadi dengan sebuah teks, di mana latar belakang personal turut memengaruhi cara pandang terhadap sebuah persoalan (subject matter), maka jelaslah dengan sendirinya ia bersifat subjektif. Dari sinilah diharapkan pilihan tematik terhadap ayat al-Qur’an akan memenuhi kebutuhan kontemporer umat, seperti tafsir mengenai hubungan antara agama yang dilakukan oleh Muhammadiyah.

Hal lain yang perlu disadari adalah keragaman latar belakang pentafsir, seperti NU, Muhammadiyah, dan DDII tidak lagi dipandang sebagai pemiskinan makna, tetapi justeru makin mengkayakan. Untungnya, sekarang batas-batas ini menjadi lumer, karena lembaga ternyata tidak memengaruhi kemandirian para sarjana bersangkutan. Lebih jauh, masing-masing dari mereka diuji untuk meyakinkan publik bagaimana sebuah gagasan itu diwujudkan dalam ranah konkret sebagai kelanjutan wajar dari sebuah pemikiran. Untuk itu, keberadan lembaga menjadi sangat penting.

Lebih penting dari itu adalah upaya untuk menghilangkan sekat psikologis yang acapkali menghalangi dialog antara sarjana dan tokoh keagamaan untuk menemukan titik temu dan kemudian mengembangkan sebuah tafsir yang lebih peduli tentang persoalan yang nyata yang justeru melupakan apa yang disebut Paul Ricoeur la chose du text, pesan utama yang sebenarnya ingin disampaikan oleh teks kepada kita. Pendapat yang senada juga diungkapkan oleh Muhammad al-Ghazali, penulis Kaifa Nata'ammal ma'al-Qur'an.

Misalnya, ketika kita dihadapkan dengan pesan kitab suci tentang kebenaran iman kelompok lain. Penganjur pluralisme mengakui kemajemukan, sedangkan kelompok anti-pluralisme (dalam pengertian yang terbatas) menolak serta merta karena dikhawatirkan mengikis akidah umat Islam. Sebenarnya yang perlu mendapatkan perhatian adalah konsekuensi etik dari pemahaman ini. Jika pada hubungan sosial kedua kubu ini tidak menolak keberadaan komunitas yang lain, maka dengan sendirinya persoalan iman itu terkait dengan keyakinan yang bersifat individual.

Selanjutnya, pemahaman bergerak kepada medan semantik dari iman yang paling penting, yaitu perbuatan baik atau amal al-shalihah. Jika ayat yang dipertikaikan itu berkisar pada persoalan pada kebenaran agama lain, dengan sendirinya mereka menegaskan kebenaran iman Islam, di mana keyakinan ini tidak berhenti hanya pada pernyataan secara verbal, tetapi arti yang sesungguhnya adalah upaya mewujudkan iman dalam tindakan nyata, yaitu kebajikan sosial sehingga makna iman yang sejati bisa diraih.

Memang, analisis linguistik di atas membantu memahami pesan ayat suci pada batas-batas tertentu, namun Islam juga berkaitan denga fakta lain, yaitu Nabi Muhammad dan sejarah. Ketiganya memungkinkan untuk melahirkan pandangan khas, karena tidak membatasi warana keislaman hanya pada teks, tetapi lebih dari itu praktik Nabi dan perwujudan pesan teks dalam sejarah Islam selama seribu empat ratus tahun.

Akhirnya, ada tiga hal penting yang perlu dipertimbangkan dalam mewujudkan tafsir al-Qur’an praksis, bahwa pertama, sejak masa sahabat perbedaan penafsiran al-Qur’an telah muncul, sehingga tidak perlu ada penyeragamaan pemahaman karena tidak menyangkut hal-hal prinsip. Kedua, subjek utama al-Qur’an adalah manusia, oleh karena itu penafsiran terhadapnya untuk mensejahterakan manusia dan terakhir al-Qur’an adalah sebagian ayat Tuhan yang terangkum dalam rentang sejarah, geografi dan masa tertentu. Untuk itu, keilmuan di luar tradisi Muslim selama ini, seperti ilmu-ilmu sosial dan kemanusiaan, adalah ayat Tuhan yang juga perlu dibaca. Di sinilah, pesan al-Qur’an menemukan sisi praktisnya karena memungkinkan keterbukaan untuk memahami realitas, tetapi berpijak pada nilai etik al-Qur’an, yaitu menjaga kemanusiaan.

[ ]

Tuesday, March 20, 2007

Dua Tetangga Menuju Perang?

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat yang membidangi masalah pertahanan meminta Tentara Nasional Indonesia bertindak lebih tegas terhadap kapal-kapal Malaysia yang semakin sering melanggar perbatasan di wilayah perairan Ambalat (Kompas, 5/3/07). Peristiwa lama terulang kembali dan menimbulkan amarah anggota legislatif di Senayan.

Tidak itu saja, anggota dewan juga menyuarakan dengan galak agar tentara kita tidak perlu memberikan toleransi pada Angkatan Laut Malaysia. Bahkan, panglima tak perlu meminta izin presiden untuk menembak kapal Asing yang melanggar wilayah RI.

Hebatnya lagi, jawaban yang diberikan panglima TNI Djoko Suyanto adalah "Bahkan, kalau terjadi perang, saya dan KSAU akan nyopir pesawat sendiri, KSAD nyopir tank sendiri, dan KSAL nyopir kapal sendiri ikut perang," (Jawa Pos, 5/3/07). Namun, pernyataan keras ini kemudian diakhiri dengan kalimat diplomatis bahwa TNI harus bertindak berdasarkan hukum internasional. Lebih jauh menurut dia, jalan konfrontatif tidak akan menyelesaikan masalah.

Sebagai langkah penyelesaian , Djoko kembali menegaskan bahwa pihaknya akan terus meningkatkan intensitas patroli keamanan di perbatasan, khususnya Blok Ambalat. Penghalauan dan pengusiran akan tetap dilakukan terhadap setiap pelanggar perbatasan. Dengan tegas beliau memberikan kata akhir, "Apa jadinya negara ini kalau panglima TNI-nya suka main tembak dan main bom.”

Bagi kita, pemandangan di atas tak lebih dari drama panggung. Telah diketahui bersama bahwa para panglima kita telah mempunyai kontak dengan panglima tentara Malaysia. Kedekatan ini acapkali ditunjukkan di koran-koran Malaysia. Bahkan, ketika masalah Ambalat muncul lagi ke permukaan, media massa di negeri Jiran tak satupun yang memberitakannya. Singkatnya, dengan wadah Malindo (kerja sama militer dua negara), para petinggi keduanya bisa melakukan dialog untuk mencegah isu ini mencederai hubungan baik selama ini.

Retorika kosong

Peristiwa di atas tampak ironis karena terjadi setelah Pemerintahan Indonesia memberikan penghargaan tertinggi Adipradana pada Abdullah Badawi di Jakarta. Bahkan jauh sebelum itu, Universitas Islam Negeri Jakarta juga memberikan gelar doktor kehormatan atas prakarsanya untuk memajukan Islam Hadlari yang toleran, responsif terhadap modernitas dan mengedepankan dialog peradaban.

Tak pelak, kisah manis di atas hilang ditelan gelombang drama panggung di senayan. Kita sepertinya diperlihatkan patriotisme wakil kita. Kata-kata seram bermunculan agar tentara berani untuk menembak, menubruk kapal lawan, dan bahkan salah satu anggota legislatif menegaskan perang, meskipun kita kalah dalam persenjataan, tapi orang kaya biasanya takut mati.

Terus terang, kita hanya bisa menahan tawa dengan retorika di atas. Sebenarnya, peristiwa ini tidak seharusnya dijadikan konsumsi politik karena kedekatan Pak SBY dan Pak Lah mampu meredam isu ini menjadi liar. Kita tak ingin mengulang demonstrasi yang didesakkan ke perwakilan Malaysia di Indonesia. Apalagi ditunjukkan dengan mobilisasi massa untuk memasuki gelanggang perang. Lagipula, kekuasaan Perdana Menteri Malaysia yang begitu besar bisa langsung didengar dan dijalankan pada tingkat paling bawah.

Jalan Keluar

Sebenarnya kalau kita cermati bahwa pihak berwenang Indonesia belum memberikan nota protes dan sekaligus mendapatkan jawaban Malaysia mengenai pelanggaran yang dituduhkan. Lebih jauh, mengapa persoalan ini tiba-tiba menyeruak ke permukaan? Kita patut mencurigai ini sebagai bentuk pengalihan isu di tanah air yang sepertinya memasuki labirin. Untuk itu, ambil jalan pintas, bikin musuh baru. Yang paling mudah tentu saja Malaysia, sebuah negara yang dalam banyak hal mendatangkan kecemburuan dan mempunyai preseden konfrontasi yang masih membayangi emosi kedua negara.

Selain itu, legislatif yang harus mengedepankan jalan keluar justeru menjadi pahlawan yang tampak gagah karena menyatakan perang. Malangnya lagi, modal untuk perang adalah rakyat Indonesia yang bisa dikerahkan menjadi sukarelawan dan tentu saja akan memenangkan perang karena musuhnya yang akan dihadapi adalah orang kaya yang takut mati. Politisi sipil tampaknya lebih galak dibandingkan militer yang menyadari sepenuhnya kekuatan yang dimiliki, sehingga perang bukan pilihan.

Seharusnya anggota dewan tidak hanya menunjuk jari pada negeri Jiran, tetapi juga pada ketidakbecusan negara ini mencegah warganya melakukan pelanggaran di Malaysia. Ada ratusan ribu pekerja Indonesia secara tidak sah masuk ke wilayah negeri Jiran untuk mencari sesuap nasi. Belum lagi, kejahatan yang dilakukan oleh orang Indonesia, yang selalu diekspos di media sehingga memunculkan sikap antipati warga Melayu terhadap orang Indon (sebutan peyoratif untuk warga Indonesia).

Dari drama panggung ini tampak jelas bahwa dewan perwakilan rakyat masih memperlihatkan sifat kekanak-kanakkan. Alih-alih memberikan jalan keluar, mereka justeru menambah kusut masai masalah yang sedang dihadapi oleh kedua negara ini. Bagi saya, isu ini diangkat ke permukaan untuk menutupi banyak masalah yang sedang dihadapi bangsa Indonesia yang memerlukan ‘jalan pintas’ agar tidak menggerus kepercayaan masyarakat terhadap wakil rakyat dan pemerintahan. Sebagaimana juga di Negeri Jiran, isu pembatasan gerak warga asing untuk menghindari merebaknya kejahatan adalah cara mudah untuk menutupi kegagalan aparatnya memberantas tindak kriminal. Sebab, sebagaimana diketahui, bahwa kejahatan yang dilakukan oleh orang luar hanya 5 persen.

Kita tentu saja merasa miris jika masalah ‘konfrontasi’ ini selalu muncul ke permukaan untuk mencapai tujuan jangka pendek. Lebih mengkhawatirkan lagi jika sikap keras wakil kita memantik emosi massa yang berujung pada demonstrasi jalanan sehingga mengganggu hubungan lebih luas antara kedua negara. Tidak saja ia akan berakibat berkurangnya arus investasi yang akan mengalir ke Indonesia, tapi juga nasib dua juta pekerja yang sedang mengadu nasib karena di tanahnya sendiri mereka ditelantarkan oleh negara.

Oleh kerana itu, upaya diplomatik tidak boleh tidak harus dikedepankan dan diharapkan proses ini tidak dicemari oleh pembentukan opini yang cenderung menyesatkan. Pandangan yang seimbang akan memberikan kita kesempatan untuk bertindak arif dan tidak membesar-besarkan masalah. Pekerjaan yang lebih besar adalah bagaimana kedua negara ini menuntaskan kerja sama yang telah dirintis dalam bidang tenaga kerja, investasi dan pendidikan. Semoga.

Monday, February 19, 2007

Optimisme di Tengah ketidakpastian

Oleh Ahmad Sahidah

Haruskah kita pesimis menghadapi banyak kejadian yang menyesakkan tidak hanya perasaan terdalam tapi juga akal budi ? Mungkinkah saudara kita masih kuat dihadapkan peristiwa yang acapkali mendekati tubir keputusasaan? Tidakkah semua diri kita terlalu memaksa untuk menerimanya sebagai kenyataan?

Peristiwa yang penuh dengan anomali yang ditunjukkan dan dipraktikkan oleh masyarakat kita sendiri, yang dikatakan di dalam buku dan pidato, mengagungkan nilai-nilai luhur sebagai bangsa yang beradab tidak lebih omong kosong. Bahkan, nilai-nilai yang ditanamkan sejak kecil di buku pelajaran itu telah menguap bersama merebaknya konflik, tindak kejahatan, para pemimpin yang tidak punya hati, dan kejujuran yang tidak menjadi bagian praktik politik bangsa ini. Terlalu banyak daftar paradoks yang nampak di mata kita.

Adalah melelahkan ketika kita mencoba untuk memahami satu demi satu ketidakmasukakalan yang diperlihatkan di televisi, surat kabar, majalah dan selebaran yang mencoba untuk menampilkan wajah kemanusiaan, atas nama apapun, sementara kenyataan selalu bicara lain. Begitu besar simpati yang diberikan bangsa ini pada nasib Palestina dan penolakan kedatangan George W. Bush, sementara di Jakarta sendiri persoalan lingkungan terabaikan, tempat ribuan warga bertempat tinggal. Selokan tergenang yang dipenuhi sampah dan perumahan kumuh yang tak layak huni luput dari perhatian.

Saya tidak bisa membayangkan jika ribuan para demonstran selama ini dikerahkan untuk membersihkan aliran kali Rawa Gatel di Semper Jakarta Barat. Tidak saja, setiap orang akan menutup hidung dan miris melihat ribuan orang tinggal di sepanjang kali ini. Hebatnya lagi, nyamuk tidak mempan lagi dibasmi dengan bahan kimia.

Akar mental bangsa

Tidak dipungkiri bahwa inferioritas bangsa kita di mata asing akibat akumulasi dari pengalaman bawah sadar sebagai bangsa jajahan. Di satu sisi kita menganggap nilai-nilai bangsa dijunjung tinggi, tetapi di sisi lain, justeru kita memanjakan sikap permisif menjadi penyangga bagi hubungan kemanusiaan kita.

Ukuran kemajuan telah menemukan bentuknya pada nilai-nilai artifisial yang menempel pada produk-produk luar, yang bahkan banyak mendapatkan kritik dari negerinya sendiri, karena tidak memperhatikan kesehatan, lingkungan dan masa depan ekologi. Sikap fleksibel bangsa ini terhadap keberlainan (otherness) tidak bisa dijadikan alasan bagi pengambilan nilai-nilai lain begitu saja atas nama modernitas dan kemajuan (progress).

Sikap mimesis bangsa ini bisa dilacak pada pengalaman penjajahan yang sangat lama, sehingga untuk mendongakkan kepala kita tidak punya nyali. Sikap keras dan peryataan kedaulatan atas dirinya tidak lebih untuk konsumsi media dan tetap tak berkutik menghadapi perlakuan meremehkan dari bangsa lain. Sebenarnya, afirmasi terhadap diri bukan berarti penegasian yang lain. Eksistensi yang lain bukan ancaman bagi kita, tidak seperti akar eksistensi Sartre yang mengandaikan bahwa orang lain sebagai neraka, ancaman. Sehingga tindak-tanduknya menjadi kontraproduktif bagi penciptaan komunitas sebagai warga dunia. Perlu juga disadari bahwa kebedaan ini adalah suatu niscaya, yang menurut Gadamer (1975: 405), orang-orang yang dibesarkan di dalam tradisi linguistik dan kultural khusus melihat dunia dengan cara yang berbeda dengan orang yang memiliki tradisi lain.

Namun demikian, Barat tidak tunggal. Emmanuel Levinas, justeru mengkritik Jean Paul Satre, dengan mengatakan bahwa keberadaan kita adalah keselamatan bagi yang lain, bukan predator. Sikap religius ini tidak harus dihadapkan secara diametral dengan pemikiran kebebasan filosofis. Keduanya saling mengukuhkan untuk menyelamatkan kehidupan manusia yang terancam oleh ketamakan dan kerakusannya sendiri.

Sejatinya, pertemuan dengan pemikiran dan budaya lain dengan sendirinya mengkayakan pengalaman batin bangsa ini menghadapi keadaan yang tidak bisa dipastikan arahnya. Hanya dengan sikap terbuka dan penerimaan yang lain sebagai bagian entitas yang juga menganggap persoalan bangsa ini sebagai persoalan bersama, bukan malah menjadikan persoalan keruwetan bangsa ini sebagai amunisi untuk menghantam kelompok lain dalam usaha meraih keuntungan sesaat, baik ekonomi ataupun kekuasaan, maka keadaan tidak akan bertambah buruk.

Optimisme yang realistik

Schopenchaeurian merasa pesimis bahwa keadaan akan menjadi lebih baik. Dalam sejarahnya, dunia selalu mengalami keadaan kaotik yang datang silih berganti. Tentu saja, kita tidak bisa menafikan kenyataan ini. Namun, tidak berarti sikap pesimis menjadi cara pandang untuk memahami persoalan dan upaya untuk menyelesaikannya. Optimisme justeru membuat kita bergerak, dinamis dan bergairah dan keadaan sulit ini akan mengantarkan kita pada sikap realistik.

Kita tidak bisa merubah kondisi bangsa ini semudah membalikkan telapak tangan. Kerusakan yang ditimbulkan selam lima puluh tahun perjalanan bangsa ini hampir tak terperikan. Dengan keragaman etnik, agama, bahasa dan kebudayaan, hampir-hampir komunitas yang dibayangkan (imagined community) tentang Indonesia adalah utopia. Justeru, karena common denominator, Pancasila, telah dijadikan pijakan bagi kehidupan berbangsa maka perbedaan itu dilihat sebagai mozaik dan kekayaan dari bangsa ini, bukan faktor pemicu untuk memisahkan diri sebagai negara-bangsa. Disintegrasi hanya akan menambah keruwetan dan keadaan tak terkendali.

Sebenarnya, jika seluruh komponen bangsa ini berhenti sejenak untuk menghadapi krisis ini sebagai persoalan bersama, maka secara perlahan seluruh penghalang bagi terciptanya keadaan yang lebih baik akan diperoleh, meskipun tidak segera. Kita tidak lagi terperangkap pada kebenciaan yang luar biasa, sebab pada hakikat kesalahan itu bisa diperbaiki dan dimaafkan. Bahkan Hannah Arendt menegaskan bahwa keinginan untuk menuju rekonsiliasi adalah dengan memaafkan, seperti yang dia lakukan terhadap Martin Heidegger sebagai think-tank NAZI, namun akhirnya menyadari kesalahannya. Bagi Arendt, manusia itu bisa berubah jika didukung oleh lingkungan sekitarnya.

Tampaknya, tidak berlebihan jika kita menatap ke depan dan masa lalu dijadikan pijakan untuk membuat keputusan-keputusan yang sinergis bagi perbaikan suprastruktur dan infrastruktur bangsa ini yang centang perenang. Namun demikian, proses hukum harus dijalankan (sama sekali tidak ada impunity). Sebab, dengan polarisasi orientasi politik yang sangat beragam, tidak ada satupun pemimpin bangsa ini yang akan bisa menjalankan roda pemerintahan dengan totalitas. Perolehan suara terbanyak dalam pemilu adalah salah satu syarat untuk menjalankan amanat rakyat, bukan satu-satunya. Sehingga, yang lain merasa bahwa partisipasi mereka dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadilan juga menjadi tanggungjawabnya.

Sikap optimistik tidak hanya mengeliminir akibat-akibat yang tidak perlu dalam menyelesaikan banyaknya masalah sosial, tetapi juga memberi ruang bagi jiwa dan pikiran untuk berdamai dengan kondisi kemanusiaan universal yang penuh dengan ketidakajegan, ketidakpastian dan tidak dapat diprediksikan. Sikap tersebut di atas tidak hanya ditunjukkan sebagian dari komponen bangsa ini, tetapi oleh keseluruhan, sehingga seperti riak besar yang membentuk gelombang.

Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

Saturday, February 17, 2007

Religion, Symbol and Politics

Ahmad Sahidah, Malaysia

It is necessary that religious text relates its context. This statement is actually recurrent of old postulate concerning close relations between them. A hermeneutical process presupposes the text-context relations and such a confidence is called relation of ayat (text) and asbab al-nuzul (context) in religious language.

We often understand it differently and not the same at all when we find it in the different time and space. Logical consequence of this condition springs the different belief and commitment. Each group prefers their point of views and ignores the others. These insights imply the complex social and cultural communication. In one hand, the humanity relations stress the equality and egalitarian attitudes, and the other hand, they impose the narrowness based on subjective revelation interpretations.

The diversity appears in religious acts. The later does not exist without the symbolical expressions. Although the young Schleiermacher advanced the idea of religion as a purely interior feeling, detachable from its symbolic expression, but the phenomenologist considers such external expressions as prayer and sacrifice to be communal activities essential to the religious act. It aims at a transcendent (and hence not directly expressible) telos, it requires a symbolic representation to exist concretely (Louis Dupré, 1998: 7).

Religion consecrates objects in space and time, in order, through them, to transcend the spatial and temporal order itself. Here it seems paradoxical in practice. It draws its symbols from the whole range of the finite: inanimate objects, plants, animals, and humans. The very variety of these representations shows how finite forms fall short adequately representing a transcendent reality. To compensate for this inadequacy, said Dupré, religious symbolization needs the assistance of the word, the most flexible symbol and the one least bound to a single intentional direction. The word alone is able of linking religious intention to expression. The duties of religions, like hymns, sermons, articulate the above ideas, among others.

Religious act itself bears religious experience that reveal that religion does not only relate to thought but also experience. Regarding this issue, Schillebeeckx, Christian theologian, ask the question how can historical figures, living in a remote culture, initiative a universal experience and even elicit new experience a time that has become fully estranged from the religious culture in which the message was delivered? Although this question is asked to Jesus, but it is still applicable to the other figures who declare the message of prophecy and truth.

He expressed two things related to the above question. First, revelation can be received in and through human experience. Experience is an essential part of the concept of revelation. Second, the whole experience contains elements of interpretation. The past experience does not be able directly to be comprehended by contemporaries, because it presupposes the different things. This thesis shows us clearly and simply that the distortion and bias possibilities of religious text occur easily. The fair and pure treatment of the text and experience their self would essentially introduce a true apprehension. This task is not only normative but also affirmative through dialogue, communication and co-working concretely in all areas of life. Enemies of religion are actually injustice, poverty, oppression and exploitation.
***
The most of theoretical and practical norms of scriptural religions (Yudaism, Christian and Islam) derive from what they called as revelation that brings the uniqueness of personal, cultural and socio-political aspects of prophets. It interacted the surrounding culture and the later would color each cosmology and social moral of religions.

There is at least two responds of the above issues: understanding of them through rational inquiry and faith acts. First, it is found in scientific search for the meaning of life and the second, exclusively given in a divine revelation. The two distinguished sides appear simplistic, but reflect a reality of religious thinking existed in society. Two responds cannot ideally separated in contrary but complementary.

Achievements of textual interpretation inevitably vary either externally or internally. The exclusively claim of validity does not only deny social reality of adherent of religions, but refuse inward messages as well which tolerate the diversity. Pluralism is not a jargon only of rulers to create society order and underestimate conflicts in the different religious communities, but religions have an obligation to play their role of endorsing peace, harmony and co-existence.

***

Political domain is undeniably a trigger for competing religious symbols in order gain the power. The internal religious scholars strongly criticize the use of religion as a bumper and vote getter, because the appearing of conflicts in a massive scale, reminding the force of religious to mobilize the floating mass and support for realizing values of religion in society without striving of formalizing of religious principles.

The choice of inclusive views is not only a tactic one because the diversity of people, but also actualization from a religious teaching itself, normatively or historically, as a very core of its message. It is true that al-Ghazali said the role of ulama and government is completely different. The first is responsible for implanting moral values and the second has the duty of making the rules that enables them manifest suitable with their own society.

In sum, their role are more moral than politics. It also solves the tension between many groups more effectively. Does the end of religious code not create the peaceful condition, does it?

The writer is a PhD Candidate of Islamic Civilization, University of Science Malaysia

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...