Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Book Review. Show all posts
Showing posts with label Book Review. Show all posts

Tuesday, February 08, 2011

Reformasi Gagal?

Apakah cita-cita reformasi 98 itu gagal? Jawabannya bisa berhamburan pelbagai rupa. Sayang, kedewasaan kita tak kunjung datang. Banyak orang menggunakan kekerasan hanya untuk mengatakan sesuatu yang bisa disampaikan dengan santun. Prilaku serampangan telah menjadi cara untuk meyakinkan liyan.

Ini hanya sekelumit. Jauh di segenap penjuru, kekerasan telah muncul dalam banyak wajah, baik fisik maupun simbolik. Aturan mati. Pemimpin tak punya hati. Khalayak suka mendengki. Adakah kita akan kembali lagi ke zaman ketika orang nomor satu di negeri ini bertangan besi menyumpal mulut kita? Ini jelas bukan pilihan yang baik.

Sekarang, kita harus memeriksa kembali kebebasan, buah aksi mahasiswa dan rakyat menumbangkan tirani. Tapi, pada waktu yang sama, tanggung jawab harus juga ditimbangkan, agar kita tak terpuruk, tunduk pada hukum rimba.

(Sumber gambar: Kompas, 6 Februari 2011)

Tuesday, January 05, 2010

Kelindan Politik Militer, Islam, dan Negara

KOMPAS, Senin, 21 Desember 2009 | 04:06 WIB

AHMAD SAHIDAH


Kutipan pengantar buku ini boleh dijadikan titik tolak membayangkan seluruh isi buku, yaitu dua pernyataan Amien Rais yang bertolak belakang. Pernyataan pertama menegaskan bahwa tantangan terbesar Indonesia adalah memisahkan politik dan tentara, sementara yang kedua malah menganggap kehadiran tentara sangat penting untuk menjaga integritas nasional.


Tentu pernyataan mantan Ketua MPR itu memiliki konteks berbeda, tetapi tak terelakkan, ambiguitas tokoh reformasi ini menghadapi peran militer di dalam ranah sipil acapkali juga dihadapi tokoh lain. Bagaimanapun, dalam masa transisi menuju konsolidasi demokrasi, peranan militer dan hubungannya dengan kekuatan sipil tetap diperhitungkan.


Buku Marcus Mietzner yang berjudul Military Politics, Islam, and the State in Indonesia ini merupakan kajian hubungan sipil-militer pasca-Soeharto yang menekankan pada sebab-sebab dan konsekuensi dari usaha yang sukar untuk mengontrol kekuatan tentara sebagai agenda utama dari reformasi. Tambahan pula, penulis juga memandang penting ”sumbangan” Islam politik sebagai salah satu ekspresi kalangan sipil dalam masa transisi. Kiprah yang sama juga bisa ditemukan pada kekuatan kelompok nasionalis sekuler dan non-Muslim yang berusaha menempatkan dirinya sebagai kekuatan sipil yang menjadi penyeimbang kecenderungan aliran politik teokrasi.


Kontrol demokrasi terhadap kekuatan militer adalah salah satu faktor kunci dalam keberhasilan transisi dari kekuasaan tangan besi ke pemerintahan demokratis. Bagaimanapun peranan militer itu sendiri tetap penting untuk mengawal proses ini sembari kaum sipil mengurangi pengaruh militer terhadap pembentukan struktur politik pascaotoritarianisme. Tambahan lagi, kekuatan sipil segera menegakkan mekanisme konstitusional yang menempatkan institusi sipil terpilih bertugas dalam sebuah pemerintahan, termasuk sektor keamanan. Pelajaran dari negara-negara Eropa Timur menunjukkan keberhasilan kontrol terhadap militer oleh otoritas negara yang dipilih secara demokratis dan sah, lebih jauh dari itu adalah peran maksimal kekuatan sipil terhadap militer dan secara fundamental tentang legitimasi, kepemerintahan, dan pertanggungjawaban hubungan militer sipil.


Model Samuel P Huntington, bahwa pembentukan militer profesional merupakan prasyarat untuk menegakkan kontrol demokrasi (hlm 15), turut memengaruhi negara-negara donor terhadap bantuan militer untuk negara-negara yang berada dalam masa transisi. Sebagian besar dana itu diperuntukkan untuk pelatihan militer klasik, dengan harapan ia akan menanamkan tingkat kepentingan yang memadai dalam profesi militer dan pada masa yang sama mengurangi hasrat mereka untuk terlibat dalam politik. Namun, profesionalisme di sini tidak menghilangkan kemungkinan bahwa militer memperoleh kemampuan yang bisa mendorong untuk terlibat dalam politik.


Seperti telah diketahui, di negara-negara berkembang militer turut terlibat dalam kegiatan politik, yang seharusnya merupakan area sipil. Keterlibatan ”pemilik” senjata ini kadang menggunakan jalur demokratik, seperti mengajukan jenderal sebagai kepala daerah, melobi politisi, membentuk opini publik dengan memanfaatkan media, atau terlibat di dalam organisasi masyarakat sipil atau tangki pemikiran (think tank). Namun, celakanya, mereka juga menggunakan pemaksaan dengan menekan lembaga-lembaga negara, memaksa untuk terlibat dalam keanggotaan legislatif dan eksekutif, dan malah mengambil alih pemerintahan. Tak hanya itu, mereka juga terlibat dalam area lain yang sangat strategis, ekonomi. Namun, pada era reformasi, dwifungsi mereka dipertanyakan dan bahkan digerogoti secara perlahan dengan tidak lagi mendapatkan kursi di parlemen dan bisnis yang dikelola juga dilucuti.


Namun, masalahnya, kalangan sipil gagal mengambil peluang dalam memuluskan masa transisi. Ketika mereka diberi kepercayaan dengan tampilnya Abdurrahman Wahid sebagai presiden, justru tak lama kemudian pengongsian sipil ini pecah dan jauh dari itu kekuatan politik Islam tercerai-berai. Uniknya, salah satu pihak menggunakan hujah agama untuk mempertahankan pendiriannya, seperti pernyataan salah seorang ulama yang menegaskan bahwa darah ketua DPR dan ketua MPR waktu itu adalah halal sehingga sejalan dengan hukum Islam patut dibunuh. Tak hanya itu, beberapa kiai terkenal bertemu di Sukabumi pada April 2001 dan menetapkan bahwa penentang Gus Dur dianggap bughot, pemberontak terhadap pemerintah yang sah.


Greg Fealy menegaskan bahwa berkait dengan politik, setiap aliran mempunyai perbedaan yang utama mengenai ideologi, kebijakan, dan gaya kepemimpinan dan masing-masing menggunakan aspek pemikiran dan tradisi Islam yang berbeda untuk mengesahkan pendekatan khas mereka terhadap politik. Kebanyakan kontroversi berkait dengan struktur, identitas, dan sumber daya negara (hlm 73). Perselisihan kelompok modernis dan tradisionalis yang sebenarnya telah dimanfaatkan oleh tentara untuk menjadi penengah dan mengambil keuntungan dari situasi ini terulang pada masa pasca-Soeharto.


Organisasi kemasyarakatan


Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah merupakan organisasi kemasyarakatan yang mewakili suara Muslim yang diberikan tempat khusus oleh penulis buku ini. NU dianggap pemain penting dalam menentukan nasib Soeharto pada waktu kritis ekonomi dan politik. Organisasi tradisionalis ini pada masa lalu juga membantu melestarikan dan melanggengkan rezim otoriter dan juga menunjukkan faktor penentu, pada tahun 1965, perubahan rezim ketika menarik dukungannya pada pemerintah yang berkuasa. Pada era Orde Baru, diwakili oleh Gus Dur, NU memilih bermesraan dengan Soeharto dengan tiga pertimbangan utama, yaitu strategi politik, ambisi pribadi, dan kepentingan sosial ekonomi kaum Nahdliyin. Namun, hubungan ormas berlambang bumi ini tidak selalu sejalan dengan jenderal bintang lima itu.


Hal yang sama juga berlaku dengan Muhammadiyah. Melalui sepak terjang Amien Rais, organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ini mengalami fluktuasi hubungan dengan Soeharto (hlm 156) dan pada waktu yang sama dengan militer. Ketika Soeharto berada di ujung tanduk, orang kepercayaannya, Wiranto, berusaha untuk meyakinkan masyarakat untuk tenang dan memberikan kesempatan kepada pemerintah untuk mengatasi krisis ekonomi. Sementara itu, koleganya, Agum Gumelar, mencoba membangun komunikasi dengan tokoh reformasi tersebut untuk membuka dialog dengan para ”pembangkang”. Namun, upaya ini pun gagal, Sang Raja tumbang.


Kejatuhan Soeharto menyebabkan Indonesia terpuruk pada ketidakpastian yang ditandai dengan ketidakstabilan ekonomi, tantangan keamanan, fragmentasi sosial, dan pengalaman yang luas terhadap perubahan institusi baru. Tentu, partai politik ”Islam” menjadi pemain penting dalam masa transisi menuju konsolidasi. Pergeseran orientasi politik mereka yang tidak lagi terbelenggu dengan gagasan negara Islam telah mendorong langkah moderat. Apatah lagi, amandemen Undang-Undang Dasar tahun 2002 telah mengubur impian seperti ini. Koalisi dengan partai sekuler nasionalis telah mengantarkan banyak wakilnya menduduki kursi eksekutif sehingga rakyat tidak tersandera oleh kepentingan sempit perjuangan ideologi.


Benar kata Nasir Jamil, anggota DPR dari Partai Keadilan Sejahtera, yang menegaskan bahwa ideologi partai adalah penting sejauh untuk kekompakan internal partai; tetapi ketika membangun koalisi, kebutuhan praktis masyarakat Indonesia mendapatkan keutamaan (hlm 344). Sikap yang sama sebelumnya juga telah dilakukan oleh Partai Islam se-Malaysia (PAS), yang tidak lagi memperjuangkan negara Islam dalam manifesto politik. Bersama partai sekuler lain, Partai Aksi Demokrasi dan Partai Keadilan Rakyat, malah mendukung program negara kesejahteraan atau dalam bahasa mereka, negara kebajikan. Tak hanya itu, partai berlambang bulan ini mendirikan sayap yang beranggotakan non-Muslim dan menggelorakan slogan ”PAS for All”.


Strategi di atas telah memungkinkan partai Islam untuk bekerja sama dengan nasionalis sekuler dan membuka ruang bagi kekuatan sipil untuk memerintah. Malah, menurut penulis, koalisi antarpartai Islam jarang berlaku, hanya 37 persen, itu pun tak semuanya memenangkan pemilihan kepala daerah. Pada waktu yang sama, kerja sama ini telah mempersempit peluang politisi militer untuk menduduki kepemimpinan publik.


Dari uraian tersebut, boleh dikatakan bahwa transisi ke konsolidasi demokrasi relatif berhasil dan jauh dari itu, ideologi politik tidak lagi menghalangi para pegiat partai untuk bekerja sama dalam mewujudkan kesejahteraan masyarakat luas. Bukankah yang terakhir inilah yang menjadi tujuan demokrasi?


Ahmad Sahidah Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia

data buku

• Judul buku: Military Politics, Islam, and the State in Indonesia: From Turbulent Transition to Democratic Consolidation
• Penulis: Marcus Mietzner
• Penerbit: ISEAS, Singapura
• Cetakan: Pertama, 2009
• Tebal: xvi+426 Halaman
• ISBN: 978-981-230-787-3

Saturday, January 03, 2009

Mengenal Batas Kita dan Mereka

Buku Roxanne Euben ini mengutip pribahasa Maroko, الي ما جال ما يعرف بحق الرجال, bahwa seseorang yang tidak melakukan perjalanan tidak akan mengenal keutamaan manusia dan kemudian جل ترى المعانى, sebuah ajakan untuk melakukan perjalanan agar kita melihat makna-makna (segala sesuatu) sebagai pembuka dari karyanya berjudul Journeys to the Other Shore: Muslim and Western Travelers in Search and Knowledge. Seperti diungkapkan di dalam pengantarnya bahwa pencarian pengetahuan di negeri Islam dan Barat mengandaikan kesamaan dan juga perbedaan. Penulis sendiri ingin mengurai yang terakhir agar pembaca tertarik untuk menekuri buah karyanya. Meskipun penggunaan Islam dan Barat dipertahankan, namun sejak awal lagi, dia mengingatkan bahwa identitas yang membedakannya tidak bisa ditegaskan secara mutlak, sebab ada ruang tumpang tindih yang mengaburkan keaslian.

Dengan rujukan yang kaya, Barat dan Timur, penulis menegaskan sejak permulaan bahwa karya tersebut sebenarnya ikhtiar banyak orang dengan pelbagai keahlian, seperti Hadits dan al-Qur'an, meskipun tanggung jawab terhadap kandungannya berada di tangan penulis. Lebih jauh, dia menandaskan bahwa buku yang layak dibaca ini menyiratkan sebuah pendekatan pelbagai disiplin dan dialog yang dilakukan tidak hanya melalui pertemuan, tetapi juga telepon dan email. Dua yang terakhir ini mungkin layak untuk dipraktikkan untuk mempercepat penelusuran, meskipun mungkin akan menghilangkan konteks yang mengelilingi sebuah pernyataan.

Bab pertama dibuka dengan kata yang puitik, yaitu "Batas-Batas: Tembok dan Jendela, Beberapa Refleksi tentang Cerita Perjalanan. " Di dalam uraian awal ini, kita menemukan bahwa ternyata Barat itu bukan sebuah peradaban dengan akar tunggal dan jelas-jelas melukiskan batas-batas historis dan kontemporer. Sebagai sebuah penanda geografi, ia sebetulnya tidak mungkin untuk menunjukkan secara tepat dari mana Barat dimulai dan berakhir, dan secara khusus pada masa sekarang di mana ramai orang, informasi dan barang-barang keperluan melintasi batas-batas kultural dan kebangsaan sesuka hati, yang menciptakan semua jenis identitas transnasional dan subnasional yang sering bertukar dan membentuk dirinya dengan cara yang tidak bisa diramalkan.

Saya rasa kutipan ini akan menempalak siapa saja yang selalu menggampangkan masalah dengan menciptakan kalimat provokatif tentang hubungan kita dengan Barat. Belum lagi, batas kita itu juga mengalami hal yang sama, sehingga kehati-hatian perlu dikedepankan, agar kita tidak selalu mengulang kesalahan, mengecap orang dengan kata-kata yang kadang kita tidak paham sepenuhnya. Lalu, apakah kita tidak mempunyai identitas? Tentu, kita telah menanggungnya sejak kecil, meskipun ia terekonstruksi secara sosial yang kemudian dipahami sebagai tetap, pasti dan tidak berubah. Di sinilah, kita dan mereka saling bersaing untuk saling menundukkan dan menganggap liyan sebagai musuh. Padahal kadang musuh itu ada di cermin ketika kita mematut diri. Lalu, siapakah musuh itu? Lagi-lagi ini memerlukan ruang lain, namun demikian kita bisa merujuk pada buku Karl Popper yang menjelaskan secara mendalam siapa musuh-musuh itu di dalam masyarakat terbuka.

Monday, October 13, 2008

Kaum Kiri di Negara Tetangga

Judul buku: Social Roots of the Malay Left
Penulis: Rustam A SaniPenerbit: SIRD, Kuala Lumpur
Tahun terbit: 2008
Jumlah halaman: ix+ 80 halaman

Mungkin sebenarnya kita tidak banyak mengerti tentang Malaysia karena biasanya yang selalu didengar adalah sebagai negara serumpun. Lebih dari itu, ia juga dikenal sebagai satu-satunya negara yang paling banyak menerima tenaga kerja Indonesia. Tentu saja, konflik yang acapkali mendera menutup pintu untuk mengenal cerita lain tentang negeri tetangga ini.

Buku ini adalah wajah lain Malaysia yang selama ini dipersepsikan sebagai negara Islam. Ia sekaligus menjadi saksi bagi ragam respons warganya terhadap perkembangannya sebagai negara-bangsa. Bagaimanapun, gerakan kiri yang selama ini dibekap keberadaannya oleh versi sejarah resmi kembali menemukan momentumnya setelah era keterbukaan karena oposisi mempunyai kekuatan mendesak setelah mendapatkan suara yang cukup signifikan dalam pemilihan umum ke-12.

Akar sosial Kiri Melayu adalah pertanyaan yang ingin diungkaplan oleh intelektual terdepan dan sosiolog ternama Malaysia ini mengandaikan sebuah ikhtiar untuk memahami keberadaan kaum kiri yang dipinggirkan secara makro (pendekatan sosial) dan bukan mikro (pendekatan sejarah) di mana yang terakhir biasanya mengelola pelaku dan peristiwa.

Sebagaimana di Indonesia, dulu raja-raja di tanah Malaya (sekarang semenanjung Malaysia) menerima upeti dari bangsa kolonial. Dari sini, ada ‘kerja sama’ yang saling menguntungkan antara penjajah dan kaum bangsawan. Untuk mendapatkan dukungan dari raja, pemerintah Inggeris mengekalkan partisipasi simbolik penguasa tradisional negara bagian, yaitu sultan, dalam sistem pemerintahan.

Ternyata sistem pemerintahan sekarang, demokrasi parlementer, masih mengekalkan apa yang telah dirintis sejak dulu oleh Inggeris, di mana raja masih menjadi bagian dari pengaturan administratif, meskipun dalam pengertian simbolik. Namun, uniknya institusi raja kadang mempunyai kekuasaan nyata dalam menetapkan pejabat publik, sebagaimana terjadi baru-baru ini dengan pengangkatan menteri besar (gubernur) Trengganu, di mana jago raja mengalahkan sosok yang didukung oleh perdana menteri.

Di tengah kokohnya sistem tradisional yang lebih memberikan kesempatan mobilitas sosial pada kaum bangsawan, pada zaman pra-kemerdekaan pemerintah juga memberikan peluang kepada masyarakat kebanyakan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya gerakan bermatra kiri. Penulis mencoba menghadirkan latar belakang dengan mengangkat reaksi politik Melayu terhadap lingkungan sosial (social milieu) tahun 1930-an.

Ada dua aspek penting periode ini yang perlu diperhatikan, pertama, sistem kesultanan (dengan kata lain sistem politik tradisional Melayu) merupakan sebuah sistem politik yang berfungsi pada masa penggangguan (instrusion) Inggeris dan pendatang non-Melayu. Kedua, Malaya mengalami perkembangan demografis dan masyarakat plural sepenuhnya terbentuk pada tahun 1930-an. Menurut Rustam A Sani, faktor ini adalah penting untuk memahami hakikat perkembangan politik Melayu awal.

Pengaruh 'Indonesia' tentu tidak bisa dilupakan. Dalam kutipan berikut ini ini kita akan menemukan satu titik terang tentang hubungan kedua bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan: Then there were other factors that can be cited as manifestation of the existence of the flow of ideas and influences across the Strait of Malacca, e.g. existence of Malay students in Indonesia and the existence of Indonesian immigrants in Malaya (hlm. 58)

Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk menerokai kembali pertalian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1930-an melalui gerakan menuntut kemerdekaan. Malah pada tahun 1920-an, telah banyak orang ‘Indonesia’, yang bergerak dalam matra kiri lari ke tanah Semenanjung – daratan tempat negara bagian utama Malaysia - setelah pemberontakan atau revolusi di Jawa dan Sumatera dipadamkan oleh penjajah Belanda. Di antara tokoh komunis ini adalah Djamaluddin Tamin, Tan Malaka, Budiman, Sutan Djenain, Alimin, dan Mohammad Arif. Tokoh yang pertama mengadakan hubungan dengan pelajar Kolej Pendidikan Sultan Idris (Sultan Idris Training College atau disingkat SITC) di Tanjung Malim, di mana beberapa pemimpin masa depan KMM (Kesatuan Melayu Muda) dilatih untuk menjadi guru sekolah berbahasa Melayu (hlm. 32).

Respons kaum Melayu terhadap kolonialisme boleh dikatakan terbelah pada dua bagian, yaitu kelompok kanan dan kiri. Yang pertama diprakarsai oleh kelas menengah terpelajar Inggeris dan kelas atas, yang ideologinya didasarkan pada premis ‘Malaysia untuk orang Melayu’, sementara yang lain adalah berkecenderungan kiri, yang berkecenderungan ideologi kiri, yang membela tuntutan kebebasan bagi semua orang tertindas di ‘Malaysia’. Kecenderungan dua aliran ini menjadi isu utama pada kampanye dan sesudah pemilu terakhir kemarin.

Penanda utama dari gerakan kiri pada masa sebelum kemerdekaan adalah pendirian yang keras terhadap penentangan kaum penjajah, pan-Indonesianisme dan kepemimpinan serta keanggotaannya tidak direkrut dari elit tradisional aristokrat. Pendek kata, mereka memperjuangkan kemerdekaan yang didasarkan pada konsep Melayu Raya atau kadang dikenal dengan Indonesia Raya.

Sekarang, polarisasi ini masih berlanjut. UMNO (United Malay National Organization) melanjutkan tradisi kanan. Sementara Partai Keadilan Rakyat (PKR) melestarikan tradisi kiri. Seperti ditegaskan penulis buku pakar sosiologi ini bahwa PKR yang diterajui oleh Anwar Ibrahim secara genealogis boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari KMM, partai Melayu pertama yang beraliran ‘kiri’.

Membaca karya ini akan membuka ruang bagi sebuah dialog yang lebih inspiratif untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan di antara dua negara tetangga. Sejarah masa lalu jelas-jelas menunjukkan kedekatan dua masyarakat serumpun dalam menghadapi kolonialisme. Sekarang, bagaimanapun keduanya sama-sama menghadapi bentuk kolonialisme baru, yaitu neo liberalisme, yang sama-sama mengcengkeram kemandirian rakyatnya masing-masing. Sekarang rakyat dan elit kedua negara tidak perlu lagi mengurus hal remeh temeh, karena hakikatnya mereka berbagi warisan budaya dan tentu saja begitu banyak keturunan Indonesia yang telah bermastautin di tanah negeri Jiran.

Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains Malaysia

Wednesday, September 24, 2008

Menggugat Sejarah ‘Indonesia’ Versi Tentara


Judul: History in Uniform Military Ideology and the Construction of Indonesia’s Past
Pengarang: Katharine E McGregor
Penerbit: NUS Press Singapore
Cetakan: I, 2007
Teba: xxi+329


Ketika penulis buku ini memulai penelitian pada 1996, dia tidak menyadari betapa berpengaruh militer Indonesia dalam memproduksi dan membentuk ortodoksi sejarah Orde Baru. Selain itu, penulis juga menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena ketika penelitian ini digagas, Indonesia masih di bawah kekuasaan militer Orde Baru. Perlu tujuh bulan untuk mendapatkan izin. Di halaman prakata, kita akan menemukan cerita betapa rumitnya birokrasi pada masa itu.

Sebenarnya penelitian tentang kiprah militer di Indonesia bukan hal baru. Namun karya ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik propaganda ini, yaitu Nugroho Notosusanto.

Seperti telah diketahui bersama, militer Indonesia selalu mendaku sebagai unik. Ini disebabkan, pertama, rakyat Indonesia yang menciptakan militer di dalam perjuangan kemerdekaan 1949-1949 melawan Belanda dan kedua, selama perlawanan ini militer mengasumsikan sebagai lapisan kepemimpimpinan nasional setelah penangkapan pemimpin sipil pada tahun 1948. Atas dasar dua klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya di Indonesia.

Lalu bagaimana peranan diatas diwujudkan dan untuk apa ia dipertahankan? Untuk mengetahui hal ini penulis melakukan survei terhadap beberapa publikasi sejarah resmi (garis miring dari saya) dan tempat-tempat bersejarah seperti buku teks Sejarah Nasional, Museum Sejarah Monumen Nasional dan Museum Angkatan Bersenjata Satriamandala dan yang satu nama yang sering dia temukan yaitu Nugroho Notosusanto. Bahkan, nama yang disebut terakhir menempati posisi yang sangat penting dalam rekonstruksi sejarah masa lalu. Tokoh yang pernah menjadi menteri pendidikan ini adalah pengarang versi pertama dari kudeta 1965. Peranan sangat penting dalam pembuatan sejarah Orde Baru yang bahkan diperluas ke dalam proyek pembuatan film dan materi sejarah untuk pendidikan militer dan sipil.

Atas pertimbangan posisi sentral Nugroho Notosusanto, penulis mencoba untuk menceritakan bagaimana dan mengapa Nugroho bekerja untuk militer Indonesia di dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusata Sejarah Angkatan Bersenjata. Menurut penulis, ia adalah propagandis utama Orde Baru. Atas dasar asumsi ini, beliau berusaha keras untuk menelisik riwayat hidupnya dari sahabat, rekan dan musuhnya, sehingga dimungkinkan perolehan data yang lengkap.

Untuk menjawab posisinya sebagai seorang sejarawan yang menguji motivasi dan kisah kehidupan sejarawan lain (baca Nugroho Notosusanto), penulis menegaskan bahwa ketertarikannya terletak pada usaha untuk menemukan bagaimana sebuah rezim menggunakan sejarah sebagai legitimasi dan bagaimana ia dimanipulasi untuk menyesuaikan dengan kepentingan dari beberapa kelompok yang berbeda.

Lebih jauh, buku ini juga memasukkan analisis terhadap proyek sejarah yang ditujukan pada sipil dan militer, dengan penekanan pada museum dan monumen yang diciptakan oleh militer. Setelah disurvei, ditemukan bahwa museum diorama (model gambar), menarik perhatian imajinasi penulis. Baginya diorama ini adalah teatrikal masa lalu. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah ‘karya’ nyata untuk memahami bagaimana militer merepresentasikan masa lalu.

Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, kami [kepemimpinan militer] memerpecayai visualisasi sejarah tetap sebagai cara efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI. (hlm. 11). Keadaan sekarang tampaknya belum banyak berubah. Masyarakat kita masih lebih bisa menikmati ‘sajian’ visual, terutama televisi. Untungnya, media elektronik tidak lagi dikekang dalam menyampaikan berita dan laporan.

Merujuk kepada pendapat Barry Schwartz bahwa kajian terhadap representasi masa lalu tidak bisa dikonstruksi secara harfiah, ia dieksploitasi secara selektif, maka karya sarjana Australia ini berusaha untuk menampilkan seluruh ‘sejarah’ dan turunannya untuk memosisikan militer sebaga aktor yang, dalam bahasa Asvi Warman Adam, merekayasa peristiwa masa lalu dalam perspektif militerisme.

Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa ‘G 30 S PKI’ telah dijadikan ‘alat’ untuk mengukuhkan legitimasi rezim.

Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit, karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa. (hlm. 216). Tetapi, citra ini terus dibangun baik di kalangan militer maupun sipil. Sayangnya, meskipun mereka berhasil menumpas ‘pembangkang’ melalui kekuatan senjata, mereka gagal mengontrol pikiran rakyat Indonesia itu sendiri.

Hal lain yang mungkin memantik kritik adalah representasi sejarah yang bias gender. Penjelasan versi militer tentang perjuangan kemerdekaan cenderung menonjolkan versi maskulin. Hanya pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata yang mendapat tempat dalam sejarah mereka. Sementara sumbangan kaum perempuan dan non-kombatan terpinggirkan. Celakanya, justeru citra perempuan muncul dominan pada peran mereka dalam pemberontakan komunis.

Namun meskipun militer mempunyai kekuasaan yang hampir tak terbatas pada masa itu, tidak berarti sepi dari kritik dan bahkan penolakan dominasi mereka yang menindas. Edward Espinal mencatat bahwa di dalam protes Malari 1974, mahasiswa menuntut pengurangan peran politik militer di dalam pemerintahan dan penghapusan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban). Penolakan makin menguat ketika pada tahun 1980, mahasiswa secara simbolik membakar sepatu khas militer di beberapa kampus. Malangnya, kekuatan mahasiswa yang belum meluas, sebagaimana tahun 1988, mudah ditumpas.

Akhirnya, salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme. Meskipun, kata penulis, pada masa itu ada sebuah representasi yang mungkin bisa menjadi potensi konter terhadap sejarah resmi, yaitu karya-karya Pramodya Ananta Toer. Munculnya pluralisme penafsiran ini memberikan tantangan besar bagi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang memandang dirinya sebagai penafsir resmi masa lalu Indonesia.

Sejatinya, karya ini menambah terang sejarah tentara yang telah berhasil ‘mengubah’ realitas menjadi cerita untuk mengukuhkan peran dan kekuasaannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, ia menjadi catatan yang berharga bagi seluruh anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahannya memasuki wilayah yang bukan otoritasnya. Selain itu, penulisan sejarah Indonesia tidak lagi dikangkangi oleh kepentingan kekuasaan dan diserahkan kepada pakar sejarah dan disiplin lain yang berkaitan yang mempunyai komitmen untuk menjelaskan masa lalu secara lebih objektif, seimbang dan adil. Semoga.

Tuesday, September 09, 2008

Membaca Karya Orang Lain


Mungkin membaca buku adalah hal biasa, tetapi membaca karya berjudul Political Islam, World Politics and Europe, menimbulkan kekaguman yang berbeda. Ia ditulis oleh Bassam Tibi, ahli Hubungan Internasional Jerman, dengan tangan, karena seperti diucapkan sendiri dalam pengantar as an old scholar of a different age of writing, I acknowledge that I am fully computer illiterate. Buku berjumlah 311 halaman ini tentu memerlukan ketekunan karena dikerjakan dengan tangan, yang kemudian diketik ulang oleh sekretarisnya, Elizabeth Luft.

Selain itu, buku ini dimulai ditulis ketika sarjana kelahirkan Damaskus, Syiria, ini mengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta. Namun kemudian, ia diselesaikan dalam perjalanannya mengajar di pelbagai negara dunia, seperti Eropa, Amerika dan Singapura.

Berbicara politik Islam, penulis prolifik ini menegaskan bahwa Islam bisa mengakomodasi demokrasi berdasarkan reformasi keagamaan yang memerlukan tidak sekedar sebuah penafsiran ulang terhadap kitab suci. Islamisme, sebaliknya, tidak bisa mencapai tugas ini. Islam di sini dimaksudkan sebagai iman dan etik, yang dia yakini dan Islamisme adalah ideologi totalitarian politik yang ditunjukan sebuah gerakan yang didasarkan pada agama transnasional. Dan yang terakhir inilah yang menjadi tema (subject matter) dari buku ini.

Sebagai seorang Muslim, penulis buku ini meyakini pemahaman reformasi Islam sejalan dengan demokrasi hak asasi manusia, oleh karena itu buku berusaha untuk mencari jalan keluar (exit strategy) di dalam sebuah cara resolusi konflik damai.

Dengan demikian ada dua tantangan bagi masyarakat peradaban Islam, pertama usaha untuk mewujudkan ummah dalam menyusun ulang tatanan dunia, baik dengan jihad global atau Islamisme institusional. Kedua, tantangan Muslim terhadap keperluan untuk memahami demokrasi dan pluralismenya di dunia internasional dalam hubungannya dengan masyarakat yang berbeda. Bagaimanapun, tegas Tibi, demokrasi sekuler boleh dianut oleh Muslim dan diakomodasi dalam peradaban Islam. Tetapi, di dalam konteks kembali pada yang Suci (the return of the sacred), Islam tidak hanya ditegakkan sebagai sebuah agama tetapi juga sebagai sebuah sistem kehidupan di dalam sebuah bentuk politik, dan inilah batu sandungan.

Saturday, June 21, 2008

Mencari Tempat agar Nyaman Menulis

Saya merasakan dingin AC di ruangan penelitian kampus tak nyaman untuk menulis. Apatah lagi perut dalam keadaan keroncongan, angin AC itu seperti menusuk tulang. Saya mencoba untuk menyelesaikan penulisan resensi buku Social Roots of Malay Left oleh Rustam A Sani. Sudah memasuk minggu ketiga, ulasan buku ini juga belum kelar. Padahal secara acak, saya telah membacanya dan memberi terang pada beberapa kalimat yang dirasa penting untuk menjawab apa faktor sosial dari pergerakan kaum Kiri Melayu?

Untuk menghilangkan dingin, saya berhenti sejenak dan keluar untuk menghangatkan badan dengan menikmati pepohonan di tengah gedung kampus. Lalu, kemudian keluar menyusuri lorong untuk menuju ruangan pembimbing, Dr Zailan Moris, yang tadi pagi mengirim pesan layanan singkat bahwa surat pengantar untuk Perpustakaan Nasional Jakarta telah selesai. Jam 1.30-an matahari bersinar terik, saya menghindarinya dengan berjalan di bawah pohon. Ternyata tidak hanya surat pengantar, dosen pakar filsafat Islam ini juga menyelipkan surat dari ISEAS yang dikirimkan kepada saya dengan alamat kampus dan dicckan ke beliau. Ups, ia adalah surat tagihan salinan disertasi yang pernah saya janjikan ketika mengisi formulir di perpustakaan Universitas Nasional Singapura bulan Mei 2006.

Kembali ke ruangan, saya masih merasakan tidak nyaman. Ya, ini karena perut ingin makan. Padahal saya tadi sarapan jam 11-an di terminal. Mungkin, ia terbiasa dengan jam tubuh yang telah dibiasakan sebelumnya, bukan berdasarkan durasi waktu terakhir diasup. Saya pun mematikan komputer dan keluar ruangan menuju parkir. Aha, makan siang ini cukup mie Sedap dan telor rebus ditambah kopi Indocafe dicampur coffeemate. Karena telah kenyang, saya harus menyelesaikan tugas penulisan ulasan buku hari ini. Semoga.

Pesona buku Rustam A Sani telah membetot perhatian saya. Tentu, saya harus menebusnya dengan menulis resensinya dan menjadikannya bagian dari koleksi buku penting dalam memahami lebih jauh kajian Politik Malaysia. Tentu, saya juga harus mempertimbangkan karya lain, seperti Abdul Rashid Moten, Politics and Government in Malaysia sebagai bandingan untuk mengetahui isu baru dalam perpolitikan negara yang menyatakan diri sebagai negara maju pada tahun 2020.

Wednesday, June 06, 2007

Musuh dalam Cermin

Membaca buku bertajuk Musuh dalam Cermin: Fundamentalisme Islam dan Batas Rasionalisme Modern (2002) dengan sendirinya mengajak kita untuk memeriksa kembali posisi dalam membawakan diri sebagai mahasiswa dalam peta pertarungan ideologi antarbangsa, agama dan bahkan etnik.

Di sini Roxanne L. Euben mencoba menggugat pandangan-pandangan koleganya sendiri yang selalu menilai gerakan Islam sebagai monolitik, tidak rasional, dan transendental. Sebenarnya dari judul di atas, kita bisa melihat bahwa orang Barat sendiri telah mengolok-ngolok dirinya sendiri karena musuh sebenarnya adalah mereka sendiri. Coba perhatikan dengan seksama kata-kata musuh dalam cermin? Jika mereka berkaca, maka sebenarnya bayangan yang ada di dalam kaca adalah wajahnya sendiri yang dimusuhi. Ya, mereka telah mengalami persoalan kepribadian karena tidak bisa mengatasi persoalannya yang membelit dirinya, alih-alih ingin mencangkokkan pemikirannya ke dunia lain, yang pandangan dunianya jelas-jelas berbeda.

Euben telah berhasil menyuguhkan strategi pembacaan baru dalam menilai gerakan Islam. Sesuatu yang jarang dilakukan oleh para sarjana Barat, sebut saja John L Esposito, E. Piscatori dan Montgomerry Watt. Jika Sayyid Qutb selama ini dipandang sebagai wakil Islam yang fundamentalis dan tidak rasional, beliau justeru melihatnya sosok yang dalam banyak hal menggagas kebebasan dan kesetaraan yang juga diperjuangkan oleh Barat. Hanya sudut pandangnya yang berbeda. Bagi Qutb (lihat halaman 125-126) bahwa peradaban sejati, peradaban Islam, didasarkan pada kebebasan dan kesetaraan dari setiap individu dalam masyarakat. Sebagaimana Isaiah Berlin, Qutb melihat kebebasan sejati itu dibagi dua: positif dan negatif. Artinya, kebebasan itu berarti kebebasan dari kepatuhan kepada kekuasan tirani, yang dirumuskan sebagai ketiadaan kekangan bagi kedaulatan. Kebebasan juga berarti kebebasan untuk masuk menjadi anggota masyarakat Tuhan, yaitu untuk menolak dominasi hasrat dan dorongan menyimpang untuk menjadi manusia seutuhnya.

Ulama yang menjadi martir ini menegaskan:

Tujuan dari bimbingan yang benar ini adalah kebaikan dan kemakmuran kemanusiaan: kebaikan yang muncul dari kembalinya umat manusia kepada Sang Pencipta, kemakmuran yang memancar dari kesatuan antara pergerakan kemanusiaan dengan bimbingan yang bisa mengarahkan kepada jalur khusus kemerdekaan. [Kesatuan semacam ini] akan meningkatkan [umat manusia] ke derajat kemuliaan yang dimaksudkan Tuhan, yaiut keadaan yang terbebas dari dominasi hasrat. [dikutip dari Signpost, hlm. 151]

Demikian pula, kesetaraan manusia hanya menjadi wujud di bawah kedaulatan ilahiah, di mana setiap anggota setara karena sama-sama tunduk kepada Tuhan. Menurut Euben, ini berbeda dengan gagasan kesetaraan yang diusung oleh John Locke yang menyatakan bahwa masing-masing individu memiliki hak alamiah untuk hidup, merdeka dan memiliki kekayaan. Menurut Qutb mereka semua tunduk kepada seruan Tuhan, semuanya, karenanya, adalah setara: kewarganegaraan dalam Islam adalah kewarganegaraan keimanan di mana semua...setara di bawah panji Allah (lihat Signpost, hlm. 25.)

Lalu, bagaimana mewujudkan gagasan Qutb di Malaysia sebagai pelajar Indonesia yang peduli dengan agama dan negaranya? Ini berpulang pada kita. Sebab, kalau kita merujuk pada warna ideologi para kandidat ketua PPIM di kongres PPI di Sintok Kedah, kita akan mendapati beberapa aliran yang berada di belakangknya. Secara sederhana kita bisa menyebutnya golongan konservatif, tradisional, liberal, dan sekuler. Saya rasa kita telah memaklumi hal ini.

Jadi, meskipun masing-masing kandidat mencoba untuk menampilkan dirinya sebagai orang yang independen dan mandiri, ini tak lebih daripada lip service untuk meraup suara. Akhirnya, setelah perhelatan, masing-masing akan bertarung lagi untuk mendesakkan kepentingan kelompoknya ke dalam seluruh kebijakan dan penyusunan struktur pengurus. Ini tidak boleh dinafikan dan harus diterima sebagai keniscayaan. Tak ada yang salah dengan model beginian.

Sekarang, kita tinggal mencoba untuk mengedepankan konsensus minimal (Lihat komunikasi efektifnya Jürgen Habermas) agar sumbangsih kita di sini tidak bersifat ad hoc, sektarian dan primordial. Maukah kita melakukannya?

Thursday, May 31, 2007

Belajar dari Orang Melayu

Membaca buku Ceritalah: Menjajat Asia Tenggara tulisan Karim Raslan, saya sepertinya menemukan suara lain tentang dunia Melayu. Hal yang sama juga bisa ditemukan pada karya The Other Malaysianya Farish A Noor. Bukan saja karya ini mampu mengungkapkan kejujuran dan keterbukaan, tetapi juga kritik yang dibingkai dengan analisis tajam telah mengantarkan pembaca pada pelbagai perspektif melihat ranah kemelayuan dan lebih jauh Asia Tenggara.

Dengar terang benderang, penulis yang sekaligus pengacara ini mengakui akan ketidaksukaannya pada media resmi. Sayang, dia tidak menyebutkan secara verbal. Tetapi, dia menyatakan rasa salutnya terhadap jejaring alternatif seperti malaysiakini.com, agendadaily.com. dan harakahdaily.com.

Sesuai dengan judul di atas, sosok berdarah campuran Wales Inggeris ini piawai dalam mengemas peristiwa biasa menjadi 'cerita' yang cemerlang. Contohnya adalah tulisan bertajuk 'Asia di Eropah dan Eropah di Asia', sebenarnya adalah hasil dari perbincangannya dengan seorang kawannya yang dia kenal di Cambridge dalam waktu senggang. Boleh jadi, ia dilakukan sambil minum kopi di warung. Di dalamnya, kita boleh memahami seperti apakah gerangan Singapura, Indonesia, Thailand dan Malaysia?

Bagi saya, pemahaman terhadap karya ini tidak hanya dibatasi pada yang tertera, tapi juga gambar sang penulis yang ditampilkan di sampul buku. Dia benar-benar mewakili pemikir bebas dan mempunyai pendirian yang kokoh. Sebuah desain yang mencerminkan kepercayaan diri sang pengarang.

Sisi lain yang menarik adalah penggunaan bahasa Melayu yang sangat bagus. Meskipun saya harus bolak-balik membuka kamus Dewan Bahasa dan Pustakauntuk memahami kata jajat, niskala, terkecai, keraian, kedayusan, ranggi, legar, anjal, jelak dan mungkin daftar kata-kata 'asing' terus bertambah setelah saya menyelesaikan pembacaan. Celakanya, teman karib Melayu saya juga merasa asing dengan diksi yang dipilih dalam buku ini. Kata lain yang membuat saya tertawa kecil adalah menggodek-godek, yang setelah dilihat di kamus Dewan diambil dari bahasa Jawa.

Tentu, sebagai sebuah kumpulan tulisan, kita akan dihadapkan dengan beragam tema. Namun demikian, kita bisa menarik benang merah bahwa karya ini dipersembahkan untuk membelek-belek (bahasa Melayu) dunia politik Asia Tenggara. Ternyata, strategi pembacaan tidak hanya melalui menggunakan logika, sekali-kali rasa agar seluruh pesan bisa diserap dalam bentuknya yang lebih substil. Terus terang, membaca buku ini saya sepertinya memasuki labirin karena saking luasnya pengalaman Karim Raslan. Mengikuti jejaknya memerlukan nyali. Apakah Anda siap?

Wednesday, May 03, 2006

A Brief History of Globalization

Dunia Kecil Kita

Judul Buku : A Brief History of Globalization: The Untold Story of Our incredible Shrinking Planet
Penulis : Alex MacGillivray
Penerbit : Carroll & Graf Publishers New York
Cetakan : 2006
Tebal : xiv + 338 halaman

Buku ini dimulai dari sebuah kutipan dari François-Maire Arouet ‘the Multitude of books is making us ignorant’. Sebuah awal yang provokatif untuk memulai diskursus tentang globalisasi. Benarkah dengan banyaknya buku yang membahas satu persoalan justeru mempurukkan kita pada ketidaktahuan? Ini karena Alex MacGillivray mengumpulkan data yang mencengangkan, yaitu ada 3.300 buku dalam bahasa Inggeris yang menguak tema globalisasi. Tidak itu saja, keberpihakan yang terbelah dalam menyikapi arus globalisasi pada dua kubu: pro dan kontra menambah rumit persoalan. Sebenarnya hal ini adalah sebuah respons yang alamiah terhadap isu tertentu. Lalu, mungkinkan mengambil posisi netral?

Dari pelbagai pendekatan, penulis membagi empat genre, pertama buku akademik oleh para sosiolog dan ilmuwan politik. Biasanya mereka mendaku bahwa fenomena ini adalah tidak baru, sangat menarik dan kompleks. Di sini, beberapa orang melihat adanya benturan Peradaban antara Kapitalisme Barat dan Islam. Kedua munculnya gelombang buku populer tahun 90-an oleh para pegiat dan wartawan yang melihat fenomena ini sebagai baru dan berdampak negatif dengan perusahaan antar-bangsa sebagai pemicunya? Mereka merapatkan diri sebagai kelompok anti-globalisasi. Ketiga adalah kelompok yang melihat globalisasi, sebagaimana ditegaskan Niall Gerguson, membuat barang lebih murah, orang lebih bebas, ekonomi lebih kuat dan kebudayaan lebih kaya. Dan terakhir adalah melimpahnya sejarah individu dengan judul seperti X: Y yang merubah dunia.

Sang penulis hanya ingin menambahkan sebuah buku yang bisa diakses pembaca umum untuk mencari tahu asal-muasal globalisasi dan kemungkinan ia akan muncul selanjutnya. Untuk membedakan dengan karya lain, sang penulis membatasi pada beberapa pertanyaan, dalam hal apakah sejarah globalisasi berbeda dengan sejarah dunia, apakah globalisasi adalah benar-benar cara baru untuk melihat dunia, atau ia tidak lebih daripada kata baru untuk imperialisme, kolonalisme dan kapitalisme? Siapa yang berada di balik globalisasi, apakah ini benar-benar sebuah fenomena Amerika? Sejauh mana kemajuan globalisasi? Akankah ia mencapai sebuah titik puncak (tipping point), kapan dunia akan mengalami globalisasi sepenuhnya? Jika demikian, kapan? Apakah globalisasi sesuatu yang baik atau buruk? Lalu siapakah yang menjadi pemenang atau pecundang?

Ragam Definisi

Biasanya pembahasan sebuah konsep dimulai dari definisi dan lagi-lagi ini menambah kebingunan karena satu sama lain menyatakan sisi berbeda dari kata yang sama. Bahkan secara tersirat, penulis sengaja mengutip sebuah pernyataan dalam majalah Spectator (5 Oktober 1962) globalization is indeed a staggering concept (sesungguhnya globalisasi adalah sebuah konsep yang membingungkan).

Bill Clinton mendefinisikan globalisasi dengan dunia tanpa tembok, Tony Blair mengatakan sebagai tak terelakkan dan sangat menarik, George Bush menyatakan ikatan perdagangan dan kepercayaan sementara George Monbiot mengungkap bahwa ia memungkinkan perusahaan untuk mengacungkan senjata pada pemerintah.

Sebagian lain justeru membuat imajinasi visual dan anekdot untuk memudahkan memahami istilah ini, yaitu seperti seorang laki-laki berdiri di tembok ratapan sambil memegang telepon gengam sehingga temannya bisa menunjukkan rasa simpati, atau video menayangkan Osama bin Laden menenteng senjata Kalainiskov dan pergelangan tangannya dililit jam Timex. Bukankah sebenarnya peristiwa semacam ini gampang ditemukan di dalam keseharian kita sendiri? Bahkan pada para pendemo pemboikotan produk asing mereka menggunakan celana dan sepatu produk luar, dan tak jarang adalah produk yang dikritiknya?

Pendeknya, ada dua tipe dasar definisi, yaitu tipe ekonomi ketat dan sosial yang longgar. Bagi, Paul Krugman, globalisasi adalah frase tempat segala macam barang untuk perkembangan dunia perdagangan, perkembangan hubungan antara pasar uang di negara yang berbeda dan banyak cara lain di mana dunia menjadi tempat yang lebih kecil. Secara lebih khusus, Joseph Stiglitz lebih memfokuskan pada penghilangan penghalang perdagangan bebas dan penyatuan lebih dekat ekonomi antar-negara.

Namun demikian, kata penulis, adalah perlu untuk mengetahui definisi yang lebih ketat tidak hanya berkaitan dengan ruang lingkup tetapi juga motif. Dengan kata lain, kita tidak hanya ingin mengenal kapan dan di mana, tetapi juga siapa dan mengapa? Sebab memang ragam definisi mempunyai implikasi pada konsep dan praktik dari globalisasi itu sendiri. Seperti ditegaskan di atas, untuk tidak terjebak pada definisi diperlukan sarana lain seperti imajinasi visual atua anekdot seperti di atas.

Banyak penentang dan juga pendukung globalisasi mengutamakan sebuah definisi yang ketat. Misalnya, Forum Internasional untuk Globalisasi, salah satu kelompok utama yang mengajukan alternatif dari globalisasi, mendefinisikannya sebagai dorongan dunia luas saat ini menuju sebuah sistem ekonomi yang terglobalkan yang didominasi oleh perusahan dan lembaga perbankan antara bangsa tidak bertanggung jawab bagi proses demokratis atau pemerintahan nasional. Sangat jelas, globalisasi dibatasi hanya pada persoalan ekonomi.

Sementara yang lain menolak fokus ekonomi karena terlalu sempit. Manfred Steger dari Universitas Illinois mengulas setengah lusin definisi yang lebih luas oleh para akademisi. Dia menyimpulkan bahwa globalisasi adalah sebuah proses sosial multidimensi yang menciptakan, melipatgandakan, membentangkan, dan menguatkan ketergantungan sosial dan pertukaran di seluruh dunia sementara pada waktu yang sama turut mengembangkan di dalam masyarakat sebuah kesadaran akan hubungan yang dalam antara lokal dan yang jauh di seberang (hlm. 5).

Kata global itu sendiri sebenarnya telah digunakan oleh kalangan akademisi Amerika pada tahun 1960-an. Meskipun pada kenyataannya, kata ini sebagai kata sifat bisa ditemukan di dalam Harper’s Magazine tahun 1892. Majalah ini menggambarkan seorang Monsieur de Vogüe, seorang Perancis yang gandrung berkelana. Dia pergi ke Timur dan Barat untuk mendapat ragam warna dan ide, minatnya adalah seluas semesta dan ambisinya, sebagaimana diucapkan sendiri, adalah menjadi ‘global’.

Sebenarnya kehendak-global adalah proses mental ingin melintasi dunia yang telah dimulai oleh Pythagoras pada abad ke-lima sebelum Masehi dan mencapai titik puncaknya dalam perjalanan Columbus dan Vasco da Gama pada abad kelima dan keenambelas. Namun, sumbangan pada arus global ini turut diramaikan oleh liyan yaitu, Yunani, Mongol, Islam, Cina, Belanda dan Irlandia (hlm. 11). Tampak, penulis memosisikan dirinya sebagai subjek dan di luar dirinya adalah liyan, sehingga egonya lebih mengemuka.


Beberapa Sesat Pikir

Menggunakan globalisasi sebagai loncatan untuk kapitalisme Amerika adalah menyesatkan. Seorang pemerintah militer Nigeria yang brutal di bawah almarhum Sani Abacha menggantung sembilan pegiat Ogoni, termasuk dramawan Ken Saro-Wiwa. Ini menimbulkan protes luas terhadap tuduhan Perusahan Minyak Inggeris-Belanda Shell. Pada waktu itu juga, Greenpeace (Pegiat Lingkungan) mempermalukan perusahan ini terhadap rencananya untuk

Selain itu, pembatasan globalisasi pada persoalan ekonomi juga tidak tepat. Ia juga meliputi kebudayaan global sebagai ketegangan dinamis antara identitas lokal dan ambisi global, apakah di dalam agama, seni, film, musik atau sepak bola.

Demikian juga, penyebaran agama-agama besar dunia, Kristen, Hindu, Islam, Budha dan Yahudi, seperti ditulis oleh penulis buku ini, tidak bisa dilepaskan dari peran penyebaran arus orang dan modal. Masing-masing telah menggunakan polanya sendiri dalam menyebarkan agamanya.

Akhirnya, fenomena yang paling dahsyat adalah kekuatan film, musik dan olahraga (penulis di sini menyebut sepak bola) sebagai katalisator yang mendekatkan seluruh emosi orang di dunia terhadap kebudayaan. Batas-batas antar-negara menjadi luruh dengan fanatisme terhadap penyanyi, selebritas film atau olahraga.

Namun demikian, pertukaran kebudayaan global mempunyai dua kecenderungan yang berlawanan. Di satu sisi, ia bisa menciptakan keseragaman dan di sisi lain ia meningkatkan kreativitas kanibalistik dan menyelamatkan peninggalan kebudayaan yang rentan musnah, Misalnya, bagaimana kolaborasi Mickey Hart, mantan penggebuk drum Gratefudl Dead dan Alain Jabbour, Direktur Amerikan Folklife Center mengeluarkan album dari musik pelbagai pulau di Indonesia.

Migrasi global pertama dimulai jutaan tahun yang lalu ketika sekelompok kecil manusia modern mulai menyebar dari padang rumput yang padat di Afrika Timur. Awalnya mereka bergerak sangat lambat – hanya beberapa kilometer dalam setahun. Salah satu motivasinya adalah pencarian buruan baru dan perkawinan dengan suku lain. Mereka menggunakan kaki dan perahu.

Jahe adalah komoditas migrasi pertama yang diperkenalkan oleh Spanyol pada Meksiko dan Jamaica pada abad keenambelas (hlm. 103) selanjutnya pala, karet, cengkeh menjadi rebutan para imperialis untuk diperdagangkan. Bahkan, tak jarang di antara mereka terlibat perang untuk menguasai daerah penghasil rempah-rempah ini.

Pemuja dan Penentang Globalisasi

Perlawanan lokalitas terhadap global dengan sendirinya muncul karena beragamnya praktik politik, budaya dan agama. Salah satu contoh, bagaimana keuangan global tidak akan menjadi tunggal sebab Islam dan Katolik menolak bunga (hlm. 191). Tentu saja, ini hal menarik untuk lahirnya pelbagai praktik transaksi. Bahkan bersatunya negara-negara Eropa telah memungkinkan penyatuan alat tukar yang makin menggerus dominasi dollar di benua Eropa. Tidak itu saja, Iran dan Malaysia mengusulkan dinar sebagai alat transaksi perdangangan internasional, sehingga dimungkinkan makin mengurangi kejayaan dollar di negara-negara Islam.

Dalam kurun waktu dekade ini, para pemrotes globalisasi berkumpul bersama untuk menolak sidang tahunan organisasi global seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), Dana Moneter Internasional (IMF), Bank Dunia, Forum ekonomi Dunia dan G 7. Acapkali protes mereka berakhir dengan kerusuhan, seperti yang terjadi di Settle, Washington, Davos dan tempat lain. Yang mengenaskan, di Genoa, tempat kelahirkan Columbus, seorang demonstran muda mati ditembak polisi (Lihat juga hlm. 131).

Dari kekayaan informasi, buku ini tidak akan membuat kita makin bloon atau bingung tentang globalisasi, justeru makin membuat kita banyak tahu dan memberikan keleluasaan memilih. Jika, kita hanya dihadapkan pada posisi biner dalam menyikapi mondialisasi, kata lain yang digunakan untuk fenomena yang sama, justeru kita mengingkari kenyataan bahwa penegasan atau bahkan penafian sama-sama mengandung resiko menolak kenyataan. Kenyataan bahwa yang menempel pada diri kita, agama, pakaian, teknologi adalah akumulasi dari perjalanan panjang dan pertemuan kreativitas antara pelbagai bangsa di dunia.


*) Ahmad Sahidah
Pernah Mengajar Islam dan Globalisasi di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta dan Mahasiswa Ph D Ilmu Humaniora USM Malaysia

Monday, December 26, 2005

Identitas yang Terbelah

Identitas yang Terbelah - Minggu, 25 Desember 2005

Judul : Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century
Pengarang : K. S. Nathan dan Mohammad Hashim Kamali (ed.)
Penerbit : ISEAS, Singapura
Cetakan : I, 2005
Tebal : xxiii + 458 halaman

Buku ini adalah hasil suntingan dari sebuah konperensi bertajuk “Islam in Southeast Asia: Political, Social and Strategic Challenges for the 21st Century” yang diselenggarakan oleh Institut Kajian Asia Tenggara Singapura (ISEAS, Institute for Southeast Asian Studies). Namun demikian, seperti ditulis editor dalam prakata, ia telah mengalami perubahan dan pembaruan dengan memasukkan perkembangan terbaru yang menjelaskan peran, relevansi dan tantangan demikian juga dimensi politik dan strategi Islam di Asia Tenggara masa kini.

Kehadiran kumpulan karangan ini akan membantu memberikan pemahaman lebih luas mengenai dinamika respons gerakan Islam yang tersebar di negara Asia Tenggara. Meskipun, di satu sisi, mereka mempunyai ideologi dan garis perjuangan yang berbeda, namun di sisi lain, mereka menunjukkan pandangan dan reaksi yang sama dalam isu lain. Di Indonesia misalnya, Muhammadiyah, NU dan Majelis Mujahidin mengungkapkan pandangan yang serupa terhadap serangan Amerika ke Afganistan dan Iraq sebagai barbar dan menyalahi norma-norma kemanusiaan.

Menurut penyunting, perkembangan sosial, ekonomi dan politik kawasan ini tidak bisa dilepaskan dari proses globalisasi yang menyebabkan kondisi kemanusiaan tidak aman dan berbahaya. Walaupun globalisasi pada awalnya dijanjikan sebagai kendaraan bagi pembelaan terhadap martabat manusia dan demokrasi, tampaknya hanya makin memusatkan kekayaan dan kekuasaan yang lebih besar bagi Barat.

Tak dapat disangkal, bahwa peristiwa 11 September telah menyebabkan, apa yang disebut Subroto Roy, "runtuhnya sebuah percakapan global", karena dengan kekuasaannya yang besar negeri Paman Sam telah memaksakan kehendaknya menyerang sebuah negara tanpa persetujuan internasional. Peristiwa ini menandai putusnya percakapan kosmopolitan dengan Islam. Usaha George W Bush untuk meyakinkan umat Islam bahwa perang ini bukan perang agama tapi tidak menghapuskan sentimen anti Amerika dengan segala bentuknya. Hal ini, tegas editor, akibat dari sudut pandang negara Islam dan Amerika yang berbeda melihat kebenaran.

Islam Asia Tenggara yang mempunyai peran strategis, berbeda dengan counterpartnya di Timur Tengah, mewakili wajah lain. Perbedaan ini dapat ditelusuri dalam beberapa makalah yang dibagi ke dalam tiga bagian, pertama, doktrin, Sejarah, Perkembangan dan Lembaga-Lembaga Islam di Asia Tenggara, kedua, Isu Politik, pemerintahan, masyarakat sipil dan jender di dalam Islam, ketiga, modernisasi, Globalisasi dan perdebatan Negara Islam di Asia Tenggara dan terakhir adalah Pengaruh 11 September terhadap pemikiran dan praktik Islam.

Tema-tema di atas dibahas oleh para ahli dari negara Asia Tenggara termasuk juga melibatkan penulis asing yang menarut minat pada isu keislaman, seperti Johan H. Mueleman dan Bernard Adeney-Risakotta, sedangkan penyumbang dari Indonesia adalah Azyumardi Azra, Bachtiar Effendy, Lily Zakiah Munir dan Noorhaidi Hasan. Beberapa penulis lain dari Asia Tenggara memang dikenal sebagai ilmuwan yang mempunyai kepedulian yang besar terhadap isu-isu keislaman Asia Tenggara.

Ulasan Azra dan Meuleman tentang sejarah datangnya dan berkembangnya Islam di Asia Tenggara, baik dalam pengertian teknis dan ideologi, menunjukkan keragaman pendapat, yang satu sama lain mengajukan bukti yang berbeda, sehingga makin mengukuhkan bahwa pelbagai mazhab di Indonesia adalah sebuah keniscayaan mengingat sumber pengaruh yang berbeda. Teknik, jelas Meuleman, maksudnya adalah sal daerah, kelompok atau etnik dan periode penyebaran Islam ke Asia Tenggara, sedangkan ideologi berkaitan dengan keyakinan yang meluas bahwa bentuk islam yang paling murni adalah yang lahir pada masa awal kelahiran agama ini. Namun demikian, dengan pelbagai perbedaan temuan, pembawa Islam ke Asia tenggara berasal dari bukan Mekah dan Madinah sebagai tempat lahirnya Islam, tetapi dari Yaman, Mesir, dan Gujarat India.

Sebagaimana kondisi Islam, dua negara tetangga Malaysia dan Filipina, juga dihadapkan dengan polarisasi aliran, tradisional-modernis, konservatif -liberal. Islamisasi di negara tersebut terakhir, tulis Carmen, para missionaris dan pedagang Islam kawin dengan penduduk lokal, para tokoh politik Muslim tiba kemudian dan memperkenalkan lembaga politik dan agama, keluarga berkuasa Muslim Sulu, Maguindanao, Lanau, Borneo dan Maluku membentuk aliansi yang memperkukuh dan memperdalam kesadaran Islam. Jika, demikian, maka sebenarnya proses proselytisasi itu berlangsung secara damai.

Lalu, bagaimana potret masyarakat Muslim di Asia Tenggara sekarang ini? Jawabnya tentu beragam. Setelah peristiwa 11 September, respons terhadap peristiwa ini beragam karena memang peta masyarakat muslim di kawasan ini tidak tunggal. Adeney-Risakotta, pernah mengajar saya di IAIN menyampaikan secara lisan di kelas bahwa dia anti perang Amerika terhadap Irak, menulis dengan versinya sebagai orang Amerika bahwa usaha apa pun Amerika untuk meyakinkan bahwa Islam tidak menjadi target gagal untuk kebanyakan muslim di Asia tenggara. Tambahnya lagi, meskipun terdapat simpati terhadap korban pengeboman WTC, dan kebanyakan Muslim mengutuk tragedi yang menewaskan ribuan orang, tapi serangan kek Afganistan dan Irak lebih jauh mendapat respons emosional (hlm.326).

Carmen memaparkan lebih jauh bahwa 11 September, bagi minoritas muslim sebagai bencana, karena mereka mulai merasa terjepit dan terkadang menempatkan mereka jadi sasaran permusuhan. Mungkin di Filipina, komunitas Muslim dihadapkan dengan tekanan karena di Selatan mereka menjadi kelompok pemisah yang melakukan pemberontakan bersenjata. Sekarang, pemerintah telah menemukan momentum untuk menanggapi sempalan ini dengan stigma perang melawan terorisme.

Berbeda dengan negara-negara tetangganya, Malaysia relatif berhasil menempatkan agama Islam secara harmonis dalam kehidupan masyarakatnya yang relatif majemuk, baik dari segi agama, etik dan budaya. Shamsul, pemikir utama dari Negeri Jiran, dengan baik menyebut Islam politik moderat sebagai alasan keberhasilan mereka menjaga stabilitas, meskipun tidak bisa dilepaskan dari pengaruh birokrasi yagn diwariskan oleh kolonialisme Inggris (hlm. 114). Dengan mengutip Syed Naquib al-Attas, Inggeris telah berhasil melakukan proses sekulerisasi, yang memisahkan praktik agama dan kenegaraan.

Bagi Muslim, Islam dianggap sebagai agama paripurna di mana politik, ekonomi dan agama serta masyarakat berjalin kelindan menjadi satu kesatuan (hlm.xv). Berbeda dengan non-Muslim yang terbiasa dengan proses politik ekonomi dan sosial sekuler, maka pemisahan politik dan agama masih asing, meskipun penerapan agama dalam politik di dalam sejarah Islam beragam. Lalu, pertanyaan yang acapkali apakah, Islam itu sejalan dengan demokrasi yang berpijak pada agenda masyarakat sipil? Jawaban terhadap persoalan ini juga beragam. Tidak ada kata tunggal untuk memberikan kata akhir.

Di dalam inventarisasi pelbagai pendapat tentang kesesuaian Islam dengan demokrasi atau tidak, sebenarnya, persoalan mendasar adalah perdebatan otentisitas tanpa mengabaikan kerusakan yang lebih besar, sebab ulasan beberapa penulis telah menunjukkan bahwa militansi telah menjadi hallmark lanskap politik di Indonesia, termasuk negara-negara Asia tenggara yang lain. Tentu saja, peran Indonesia menentukan karena sebagaimana penerbit buku ini (ISEAS) juga telah merumuskan dalam seminar baru-baru ini di Singapura bahwa Indonenesia akan menjadi negara terpenting dalam ikut menentukan peradaban dunia karena berada di simpang arus ideologi global, sumber daya alam dan kombinasi unik peradaban Muslim, tanpa mengenyampingkan peran negara lain. Semoga.


Ahmad Sahidah Mahasiwa Doktor Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia


[Sumber KOMPAS, 16 September 2006]

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...