Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Journal. Show all posts
Showing posts with label Journal. Show all posts

Wednesday, May 02, 2007

AGAMA SIVIK SEBAGAI AGAMA NEGARA

: SATU TELAAH PEMIKIRAN ROBERT N. BELLAH

Ahmad Sahidah

ABSTRAK

Kenyataan bahawa ada banyak agama sebenarnya tak perlu dipersoalkan.


Kata Kunci: agama sivik, kristian, negara

A. Pendahuluan

Persoalan agama adalah realiti yang tak terelakkan dalam kehidupan sehari-hari. Ia telah memasuki segala tingkat sosial daripada masyarakat dengan pelbagai bentuk. Perbezaan bentuk ini tidak lepas dari cara memandang dan mentafsirkan agama sebagai institusi dan nilai-nilai, fenomena sejarah dan ajaran normatif. Tak jarang, perbezaan ini memperdalam disparitas pemahaman yang juga mempunyai implikasi terhadap sikap sosial, politik dan kebudayaan mereka. Perpecahan internal maupun eksternal agama selalu mewarnai perjalanan agama itu sendiri.

Dalam sejarah panjangnya, agama telah menjadi inspirasi bagi kemajuan Tamadun manusia dan sekaligus menjadi pemicu bagi munculnya kehancuran tatanan masyarakat, dengan pelbagai alasan. Tentu saja, tidak boleh dilupakan begitu saja sejarah perang agama, meskipun ramai sarjana yang mengengkarinya. Namun sejarah telah mencatat bahawa dalam sejarah manusia perang salib (perang Muslim dan Kristian) telah meninggalkan trauma kemanusiaan hingga sekarang, untuk menyebut sebagian contoh. Bahkan trauma ini turut mendorong kembali terjadinya perang agama. Tidak hanya Muslim dan Kristian yang menyimpan potensi konflik, tetapi juga agama-agama lain, kerana dalam sejarahnya dari setiap agama selalu muncul apa yang disebut dengan kelompok fundamentalis[1] yang mengedepankan cara pemaksaan dalam membangun masyarakat yang diidealkan.

Selain itu media cetak dan elektronik telah memberitakan secara teratur konflik-konflik ini, seperti benturan-benturan yang mematikan atau pertikaian yang melibatkan orang Hindu dan Muslim di India atau orang Buddha di Srilanka. Tema-temanya berkenaan dengan pendeta akademik Jesuit dan para militari di El Salvador, gerilawan Islam dan komunis di Afghanistan, cabang-cabang Islam yang berbeza-beda di Iraq ataus Syria, dan orang Kristian dan Muslim di Nigeria dan di tempat lain di Afrika.[2] Selain itu, konflik Kristian dan Katolik di Irlandia yang sampai sekarang belum selesai.

Pemahaman terhadap agama mempunyai pengaruh luar biasa terhadap tindakan manusia. Dalam sejarahnya, sejak abad kesembilanbelas ada sebuah kecenderungan yang sama di dalam studi agama untuk meletakkan agama dan akal budi secara bercanggahan satu sama lain. Rasionaliti[3], yang dirumuskan dalam pengertian luasnya sebagai pemahaman objektif dan kontrol terhadap realiti, berbeza dengan agama, yang dicirikan sebagai sebuah fenomena pra-rasional, tidak-rasional atau bahkan anti-rasional. Hal ini, boleh dilihat dari keyakinan positivis awal yang memandang agama sebagai sebuah usaha mendasar untuk mengontrol alam, tetapi ia telah ditandirkan untuk digantikan oleh metode rasional ilmu pengetahuan. Feurbach, Marx dan Freud lebih keras: bagi mereka agama adalah sebuah tipu-daya, satu pengherotan yang sangat tidak rasional dan berbahaya terhadap realiti, dan penghapusan agama menempati senarai teratas bagi semua agenda mereka untuk kemajuan manusia rasional.[4]

Selain itu cara lain untuk menegaskan hakikat spiritual adalah dengan mengatakan bahawa kita adalah haiwan yang mempunyai kecenderungan keagamaan dengan satu kecondongan yang tetap untuk mengalami yang semula jadi dalam pengertian ‘supra-natural’. Adalah Antropolog R. R. Marett yang pertama kali menegaskan bahawa homo sapiens lebih baik disebut dengan homo religiosus.[5] Bagi antropolog lain seperti Clyde Kluckhohn, bahawa tidak ada kelompok manusia tanpa agama;[6] dan memang, dalam sebuah analisis ‘keserupaan keluarga’ terhadap konsep agama, masyarakat komunis juga mempunyai aspek-aspek keagamaannya sendiri. Sejarawan agama besar Mircea Eliade mengemukakan sebuah pandangan yang diterima umum ketika beliau mengatakan bahawa “yang suci” adalah satu unsur di dalam struktur kesedaran dan bukan sebuah tahap dalam sejarah kesedaran.[7] Rudolf Otto bahkan mengatakan bahawa idea tentang yang suci adalah bersifat a priori, batiniah dalam akal manusia.[8] Menurut beberapa antropolog ada banyak tanda-tanda keprihatinan keagamaan di dalam bukti-bukti awal daripada perilaku manusia. Sejauh kita boleh mengesan ke belakang bukti-bukti itu kita menemukan bahawa manusia telah mengerjakan sesuatu yang tidak dikerjakan oleh spesies lain. Mereka menguburkan atau sebaliknya dengan sengaja membuang mayat dari jenis mereka sendiri. Suku Neandearthal, seratus ribu tahun yang lalu, menempatkan makanan dan batu api yang bernilai tinggi di kuburan mereka; dan suku Cro-Magnon dua puluh lima ribu tahun yang lalu menguburkan senjata, ornamen dan makanan dengan orang yang meninggal di antara mereka dan terkadang hartal merah yang berdebu – di atas mayat atau kuburan-kuburan mereka. Amaln ini jelas mengungkapkan beberapa gagasan tentang kehidupan setelah mati, dan kepercayaan semacam ini kemudian menggumpal menjadi kepercayaan yang terbentuk secara sedar, adalah ekspresi yang masih hidup paling awal daripada manusia sebagai haiwan beragama.

Dengan demikian, pemahaman terhadap agama perlu disusun semula untuk memperoleh pemahaman yang utuh dalam usaha menghindari penyalahgunaan kuasa agama untuk kepentingan manusia itu sendiri. Tentu saja, pendekatan yang digunakan secara ideal mengacu pada berbagai-bagai disiplin, namun demikian sumbangan Robert N. Bellah boleh digunakan untuk mengkayakan pemahaman keagamaan sebagai satu cara menghindari pengertian agama yang sempit, tertutup dan fanatik.

Dakwaan agama terhadap kebenaran dirinya yang bersifat universal telah menutup pintu bagi terciptanya dialog, pertemuan dan saling pengertian di antara berbagai-bagai agama. Padahal, dakwaan ini telah mengengkari hakikat agama itu sendiri, di mana agama tidak boleh dilepaskan dari sejarah, kondisi sosial, politik, ekonomi, dan kebudayaan. Paling signifikan dari latar ini adalah kesalingterhubungan antara agama satu dengan yang lain. Oleh itu memahami agama tidak boleh dipandang dari satu perspektif, yang justeru akan mengecilkan kehadirannya sebagai pembebas kemanusiaan dari tirani, penindasan dan despotisme.[9]

Sebagai fenomena universal, agama telah banyak memberikan dorongan bagi sesebuah bangsa dalam menciptakan nilai-nilai, norma-norma dan aturan-aturan hidup, meskipun tidak diwujudkan secara rasmi. Bahkan di negara-negara yang tidak berdasarkan agama sekalipun, agama tetap menjadi ruh dan inspirasi bagi keberlangsungan sesebuah bangsa.

Robert N. Bellah telah berjasa mendorong bagi upaya rekonstruksi agama dengan mencadangkan agama sivik.[10] Tentu saja, kajiannya memfokuskan pada fenomena kehidupan keberagamaan di Amerika.[11] Gagasan ini memang telah lama disampaikan oleh Bellah (yang berasal dari sebuah esei[12] yang diterbitkan pada tahun 1976) yang dia sendiri mengatakan tidak akan pernah melupakannya. Memang, gagasan ini menimbulkan penentangan yang sengit selain juga didapati juga kelompok yang menerimanya. Tapi dia menyedari bahawa perdebatan tentang persoalan ini banyak yang difokuskan pada bentuk daripada isi, definisi daripada substansi.[13] Tentang hal ini Bellah mengatakan:[14]

Salah satu bidang yang sering tumpang tindih dan potensial terjadinya konflik adalah apa yang disebut para ahli sosiologi dengan masalah kesahihan, yang meliputi antara lain pertanyaan apakah otoritas politik yang ada bersifat moral dan benar atau apakah ia melanggar kewajipan-kewajipan agama tertinggi. Kebanyakan masyarakat mewujudkan cara-cara berhubungan dengan ketegangan potensial ini. Apakah kita akan menyebutnya semua bentuk institusionalisasi ini sebagai agama sivik atau membatasi istilah itu hanya untuk beberapa bentuk semacam ini, di sinilah kita kita harus menempatkan masalah agama sivik.

Pada dasarnya, respons semacam ini sering terjadi pada persoalan-persoalan lain, kerana istilah teknikal sesungguhnya bersifat individual yang memerlukan pertanggungjawapan intelektual. Tidak jarang, seseorang harus membuat istilah teknikal secara kreatif, yang tidak ada di dalam kamus bahkan ensiklopedia, untuk menghindari respons segera yang tidak dimaksudkan sebelumnya. Antara penulis yang sering melakukan ini adalah Michel Faucoult dan Martin Heidegger.

Penggunaan istilah agama sivik masih diperdebatkan, sementara apa yang disebut masalah religio-politik hampir tidak diperdebatkan. Yang terakhir adalah jelas kerana agama dan politik tidak boleh dipisahkan di dalam masyarakat. Iman dan kekuasaan selalu, namun tidak mudah, mengambil jarak satu sama lain. Bellah mengatakan bahawa politik, lebih dari sekadar kebanyakan tindakan manusia, jelas berkaitan dengan sesuatu yang tertinggi. Berkenaan dengan penyimpang dalaman dan musuh luaran, kuasa politik mendakwa berhak untuk membuat keputusan hidup atau mati. Di sisi lain, agama menyatakan mengasalkan kesahihannya dari satu kuasa yang melampaui semua kekuatan dunia. Dengan demikian, kemungkinan konflik antara klaim yang punya potensi konflik ini selalu ada, namun benturan-benturannya tidak dengan sendirinya terjadi secara terus-menerus. Di dalam berbagai-bagai zaman dan tempat, politik tidak lebih daripada seni pragmatik memperoleh sesuatu dan agama membatasi dirnya pada persoalan-persoalan “spiritual”. Atau agama dan politik hanya dua pragmatisme berbeza berkenaan dengan ruang eskistensi yang khas.[15] Tampaknya Bellah memberi kemungkinan-kemungkinan hubungan agama dan politik yang rumit dan di sisi lain sederhana, yang dengan sendirinya memberi implikasi bagi amalan sosial khas di dalam masyarakat.

Bellah mencatat bahawa masyarakat Barat pra-moden berpusat pada badan-badan keagamaan dan institusi-institusi politik yang terdapat ketegangan namun juga beberapa keseimbangan dan saling melengkapi. Kedua-duanya berbahagi satu konsep etik organik tentang kehidupan umum daripada masyarakat secara umum, tetapi sekarang di Barat berasal dari agama Bibel dan falsafah klasik.[16] Masyarakat dan jiwa di sini disusun secara hieraki, seperti susunan energi yang lebih tinggi dan rendah. Kekuasaan yang mengabdi kepada energi yang lebih tinggi adalah sahih, sebagai pihak berkuasa. Kekuasaan yang mengabdi pada energi yang lebih rendah adalah tidak sah, menindas, bersifat demonik secara keagamaan. Berbagai-bagai peranan politik dan agama serta tipe-tipe wataknya mencerminkan konsepsi-konsepsi tatanan etik organik. Di sini terdapat berbagai gagasan tentang raja yang adil, negarawan, warga negara yang baik, orang suci, padri dan orang awan yang taat, selain juga konsepsi tentang penguasa yang rasuah dan tidak adil, warga negara pemberontak, guru agama penganut bidah dan orang awam yang tidak beriman. Menurut Bellah, semua konsepsi ini pada zaman moden merupakan subjek dari kritik ideologi, yang dilihat semata-mata sebagai topeng bagi kekuasaan yang eksploitatif, dan penilaian-penilaian tradisional seringkali dibalik. Namun demikian, etika organik tradisional ini masih kita ambil sebagai bahagian dari milik kita yang berharga, berdasar, utama dan jahat, yang dikagumi dan sesuatu yang layak mendapat celaan.[17]

Kita boleh mencatat, meskipun Amerika Syarikat dikenal sebagai negara sekular, namun tidak sepenuhnya agama menjadi bagian yang sangat penting dalam kehidupan masyarakat Paman Sam. Memang, terdapat pemisahan yang tegas antara negara dan agama dengan mendudukkan agama sebagai persoalan pribadi dan bukan publik, tetapi staf kerajaan selalu menggunakan dakwaan-dakwaan keagamaan di dalam membenarkan dasar-dasarnya. Seperti ditulis oleh Robert N. Bellah sendiri bahawa terdapat hubungan agama dan kekuasaan di Amerika Syarikat,[18] meskipun ada diktum berikanlah urusan gereja pada pop dan kekuasaan pada negara, yang menjadi dasar bagi tegaknya negara Amerika Syarikat. Pengalaman panjang Amerika Syarikat dalam memberikan asas bagi kehidupan antaraagama yang baik telah memberikan inspirasi bagi banyak orang untuk mempelajari secara kritis dan komparatif dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Hubungan agama dan politik memang telah menghantarkan pada paradoks-paradoks yang sampai sekarang masih menjadi kajian daripada pelbagai disiplin untuk memberikan batas-batas yang jelas di antara kedua-duanya, meskipun di sisi lain dianggap tak boleh dipisahkan satu sama lain. Tentu saja ini akan mempunyai impak pada pertarungan yang tak kunjung usai antara keduanya sebagai satu kesatuan dan dipihak lain yang menekankan peranan dan fungsi masing-masing yang berbeza.

Amerika adalah contoh agama nasionalisme yang hidup dan tingkat kemungkinan kedalaman di dalam kredo dan ritual agama sivik. Kepercayaan terhadap misi Tuhan terhadap orang-orang Amerika dimulakan oleh orang-orang Puritan[19] di Inggris Baru. Ketika John Winthrop, mengambil ayat dari kitab Matius, yang menyamakan kelompok Puritan kecilnya di Massachussets dengan “sebuah kota di atas bukit,” dengan pandangan dunia terhadapnya, adalah sumbangan terhadap dunia baru sebagai jasa yang dibawa oleh orang-orang Puritan dari Inggris. Ada banyak yang percaya bahawa Inggris Baru adalan menjadi tempat tinggal Kristus ketika dia kembali untuk memberi berkah pada manusia dan kemudian membuka milenium ini.[20]

Walau bagaimanapun, Bellah telah banyak memberikan sumbangan pada perkembangan wacana keagamaan manusia moden dengan menumpukan perhatian tidak hanya persoalan agama di Amerika Syarikat tetapi juga di benua lain, bahkan dia menulis khusus sebuah buku berkaitan dengan Tokugawa Religion, sebagai agama yang hidup di Jepun. Kekhasan agama ini tentu saja tidak boleh dilepaskan dari kebudayaan Jepun itu sendiri, yang bersifat eklektik dengan agama-agama di luar Jepun, khususnya Cina.

Untuk itu, penulis perlu menegaskan fokus dari penulisan kerta kerja ini untuk memberikan tekanan pada persoalan khusus. Dua persoalan di bawah inilah yang akan dijelaskan:Apa perbezaan epistemologi agama sivik dan agama rasmi (baca: Kristian) dalam pandangan Robert N. Bellah dan implikasinya pada kehidupan suatu masyarakat? Bagaimana dan mengapa agama sivik muncul di Amerika Syarikat?

D. Strategi Pembacaan

Metodologi menjadi sangat penting dalam upaya memahami pemikiran Robert N. Bellah. Metodologi sejarah-kritik adalah salah satu yang boleh digunakan untuk memahami pemikiran Robert N. Bellah.[21] Ada beberapa alat untuk memahami sebuah dokumen atau bagian lain dari materi sejarah, antaranya:[22]

1. Menempatkan dokumen dan bukti lain di dalam konteksnya. Salah satu alat yang paling kuat yang dipunyai sejarawan adalah satu kesedaran terhadap konteksnya di mana peristiwa itu terjadi. Konteks ini meliputi perkembangan sejarah yang mengarah pada satu masa khusus. Ia juga meliputi sebuah kesedaran akan idea-idea, pertanyaan-pertanyaan, masalah-masalah yang diwariskan dari masa sebelumnya sebagaimana juga yang baru muncul. Konteks juga melibatkan stuktur-struktur sosial yang ada dan perubahan-perubahan di dalam terjadinya struktur; misalnya, sebuah yang mungkin terjadi di dalam bidang ekonomi yang secara signifikan mempengaruhi kehidupan agama, politik, keluarga. Sejarawan boleh juga menyadari gerakan-gerakan keagamaan, falsafah, politik dan sosial yang mempengaruhi masa yang sedang dibahas. Akhirnya sejarawan mengetahui tentang teknologi yang ada dan perubahan-perubahan di dalam teknologi yang pada gilirannya mempengaruhi bukti yang sedang dikaji.

2. Mengetahui kepustakaan yang ada dan sejumlah pentafsiran yang mungkin mempengaruhi bagaimana bukti itu difahami. Pendekatan terhadap literatur yang sangat dikenal ini membantu peneliti untuk memahami bagaimana masyarakat di masa lalu memandang bukti yang sedang diselidiki atau, paling tidak, bagaimana mereka memandang data yang sama. Hal ini tidak hanya membuat mereka sedar bahawa pilihan-pilihan untuk memahami bukti, tetapi juga ia membantu mereka mengetahui pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang mungkin menyebabkan kesalahpahaman materi ini. Dengan dilengkapi latar belakang ini, mereka boleh membuat keputusan-keputusan yang mumpuni tentang bukti itu.

3. Mencari sumber-sumber yang ada sebelumnya. Secara ideal, materi ini boleh diselidiki dengan menggunakan sumber-sumber asli, yang bererti bahawa sumber-sumber itu tidak dihaluskan, tidak diturunkan, atau tidak diterjemahkan. Sumber-sumber ini tidak mungkin dikotori oleh lapisan-lapisan penafsiran selanjutnya. Misalnya, menterjemahkan sumber-sumber bererti bahawa penerjemah harus memilih “kesepadanan kasar” dari kata-kata, ayat-ayat atau konsep-konsep. Mereka juga harus memutuskan bagaimana menterjemahkan ide-ide budaya yang kompleks ini ke dalam penyesuaian budaya yang paling dekat di dalam bahasa baru ini. Semua cara ini yang harus dirumuskan kembali oleh para penterjemah dalam satu cara atau yang lain apa yang mereka terjemahkan. Jadi dokumen terjemahan melonggarkan atau merubah makna aslinya.

Hermeneutika adalah teori tentang cara kerja pemahaman dalam hubungannya dengan menafsirkan teks.[23] Dan yang perlu ditekankah bahawa hermeneutika mempunyai kaitan dengan sejarah.[24] Sebagaimana dikatakan oleh Dilthey, hermeneutika mempunyai fungsi propaedetik dari semua penelitian historis sebagai seni pentafsiran yang benar terhadap sumber-sumber literer. Ini diungkap oleh Gadamer secara lengkap sebagai berikut:

Dan sebagaimana tidak ada lagi perbezaan apa pun antara penafsiran terhadap tulisan-tulisan suci atau sekular, dan dari sinilah hanya ada satu hermeneutik, akhirnya ia tidak hanya mempunyai fungsi pelajaran dari semua penelitan historis – tetapi melibatkan seluruh urusan penelitian sejarah itu sendiri. Kerana sesuatu yang benar bagi sumber-sumber tertulis, bahawa setiap ayat di dalamnya boleh difahami dari konteksnya, adalah juga isinya. Maknanya tidak pasti. Konteks sejarah di mana objek-objek individual, besar atau kecil, dari penelitian historis muncul dalam makna relatif sejatinya adalah sebuah keseluruhan itu sendiri, artinya setiap hal individual difahami di dalam maknanya yang utuh, dan yang pada gilirannya difahami secara utuh dalam pengertian hal-hal individual ini. Sejarah, sebagaimana adanya, buku gelap besar, kumpulan karya dari semangat manusia, yang ditulis di dalam bahasa-bahasa masa lalu, teks yang kita coba untuk fahami. Penelitian sejarah melihat dirinya sesuai dengan model penafsiran kepustakaan yang ia gunakan. Kita akan melihat bahawa ini, pada kenyataannya, model yang dijadikan dasar oleh pandangan historis dunianya Dilthey.[25]

Selain itu juga, penulis cuba untuk meminjam sosiologi pengetahuannya Karl Mannheim di mana pengetahuan manusia itu tidak murni. Ia berkaitan dengan ekistensi manusia di mana dia hidup.[26]

Secara umum, teori ontologi pengetahuannya Manheim menyatakan tiga ujian bagi kesahihan sesuatu yang diajukan sebagai pengetahuan. Pertama, ia harus menunjukkan fungsi penguasaan dan orientasi pengetahuan. Kedua, ia harus didasarkan secara tulen pada wujud yang didakwa sebagai pengetahuan. Dan ketiga, ia harus memiliki properti yang selaras dengan struktur sistimatisasi dengan mana ia berhubungan, dengan kata lain konsep-konsep di mana ia dirumuskan dan hubungan-hubungan di antara mereka harus sesuai dengan masing-masing tipe realiti.[27] Atas dasar inilah, pemikiran-pemikiran keagamaan Robert N. Bellah akan difahami secara utuh dan diharapkan lebih jauh mengungkap sisi-sisi humanistiknya Robert N. Bellah dalam mengungkapkan problem-problem keagamaan.

D. Tanggapan Sarjana Lain

Sebagai seorang ahli yang diakui dalam isu-isu agama, Bellah telah menghasilkan banyak karya yang tersebar di dalam banyak jurnal, buku dan rencana. Perhatian Bellah yang serius terhadap agama telah menghantarkan dia menjadi pemikir yang disegani kerana kejernihannya di dalam memberikan analisis terhadap persoalan-persoalan agama, khususnya persoalan apa yang disebut dengan agama sivik (Civil Religion) di Amerika Syarikat.

Walaupun dikenal sebagai ahli sosiologi agama, tetapi Bellah tidak mengenyampingkan disiplin-disiplin lain dalam memotret agama sebagai problem kemanusiaan. Tidak jarang, dia juga menggunakan bidang-bidang kajian lain untuk mengkayakan pengungkapan persoalan religius dengan psikologi, antropologi, falsafah sosial.

Tulisan-tulisan Robert N. Bellah yang menelaah agama sivik di antaranya adalah Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World, Religion and Power in America Today, Varieties of Civil Religion, the Good Society serta tulisan-tulisan lain yang akan membantu memahami secara menyeluruh terhadap pemikirannya, meskipun tidak berkaitan langsung dengan fenomena agama sivik.

Buku Varities of Civil Religion adalah satu karya yang berusaha pertama kali untuk mengajukan konsep tentang agama sivik dalam kajian sosiologi dan ringkasan karya ilmiah yang dilakukan kemudian lebih lanjut di dalam sosiologi tentang persoalan ini.[28] Di dalamnya, kedua penulis menguraikan bentuk-bentuk dasar agama sivik, pluralisme dan hukum, perbandingan agama sivik di beberapa negara, di antaranya Jepun, Meksiko, Itali. Tentu saja, sebagai usaha awal karya ini perlu dilihat sebagai perintis untuk menjadikan agama sivik sebagai salah satu realiti religio-sosial di masyarakat.

Selain itu juga, banyak penulis lain yang memberikan perhatian pada persoalan agama sivik, di antaranya J.J. Rousseau dengan bukunya Social Contract (1762), yang salah satu tema bahasannya adalah agama sivik. Keberadaan buku ini adalah sebagai imbangan bagi pandangan Bellah untuk mendapatkan telaah perbandingan dalam upaya menganalisis dengan cermat gagasan-gagasan Bellah, apakah pandangan Bellah selaras dengan pandangan Rosseau atau tidak. Buku lain yang persoalan agama sivik adalah The Elementary Forms of the Religious Life, yang mengajukan sumber-sumber sosial semua agama, termasuk agama sivik atau nasional. Tentu saja, yang terakhir ini menjadi sangat signifikan bagi pengkayaan telaah agama sivik, kerana Emile Durkheim dikenal sebagai Bapak Sosiologi yang banyak melakukan penelitian tentang kehidupan agama. Selain itu, penulis juga ingin mengkomparasikan dengan penulis Amerika Sendiri sendiri yang cuba menemukan agama sivik, yaitu John A. Coleman, seorang guru besar di Universti California, Barkeley, dengan tulisannya “Civil Religion”. Coleman melihat bahawa agama sivik adalah sebuah kasus khusus tentang sistem simbol agama, yang didesain untuk melakukan fungsi yang berbeza yang merupakan wilayah unik dari bukan gereja dan negara. Bagaimanapun juga, Coleman berangkat dari beberapa asumsi Bellah tentang persoalan ini.

Dari sekian perbandingan ini, penulis melihat bahawa pemahaman terhadap agama sivik tersebut tidak boleh dipisahkan dari konteks dan latar belakang penggagas ide tersebut. Namun demikian, satu sama lain saling mengukuhkan pendapat masing-masing kerana mempunyai pandangan yang sama tentang satu persoalan.

E. Riwayat hidup Robert N. Bellah

Adalah tidak sukar untuk mengungkapkan kisah hidup Robert N. Bellah, kerana dia juga menulis biografinya sendiri di dalam buku atau artikel yang dia tulis. Bahkan di dalam bukunya berjudul Beyond Belief secara khusus diungkapkan riwayat hidupnya dengan detil.

Dia lahir pada tahun 23 Februari 1927 di Oklahoma Barat Daya.[29] dia adalah keturunan Skotlandia, Presbyterian,[30] dan berasal dari Irlandia Utara. Nenek moyangnya adalah petani, pedangang –yang berpindah, dari satu negeri ke negeri lain, negara ke negara lain. Ayahnya lahir di Texas dan tumbuh besar di Oklahoma. Sedangkan keluarga ibunya adalah keturunan Inggris dan Skotlandia, juga seorang Presbyterian. Dia lahir di Arkansas tempatnya ayahnya menjadi seorang penguasaha perkebunan dan bertemu ayahnya di Universitas Oklahoma. Ayahnya menjadi editor dan penerbit sebuah surat kabar kota kecil di Oklahoma Barat Daya, tetapi meninggal ketika Bellah berumur tiga tahun dan dibesarkan oleh ibunya di Los Angeles.[31] Seperti yang dikatakan sendiri pada waktu terjadi zaman kesulitan barang-barang yang mempunyai akibat serius pada keluarganya.[32] Pada usia tiga tahun, Hitler, Mussolini dan Stalin berkuasa, dan Jepun berperang dengan Cina.

Dia besar di dalam suasana kebudayaan Protestan Selatan yang dulunya koheren. Ibunya sering menceritakan tentang Hari Minggu yang tenang dan yang dihabiskan pergi ke gereja, membaca Bibel dan Pilgrim’s Progress, serta mengunjungi kuburan dan bahkan dia sering menghadiri Sekolah Minggu Presbyterian. Meskipun konservatif atmosfir yang berkembang di sana bukan fundamentalis. Di sana dia sempat terkejut dan marah besar ketika pertama kali mendengar guru sekolahnya membahas teori evolusi di kelas tiga, kerana hingga waktu ia hanya mengenalnya dari kisah penciptaan dari Bibel.[33] Suasana religius inilah yang membuat Bellah tampak lebih tenang menjalani hidupnya.

Namun demikian, tegas Bellah, dia tumbuh bukan di dalam atmosfera Injil melainkan di Los Angeles di dalam sebuah lingkungan yang majmuk.[34] Kerana ayahnya meninggal sejak dia kecil, dia tidak mempunyai teladan yang kuat dengan siapa dia mengenal pasti dirinya, yang pandangan-pandangannya boleh membentuk pemikirannya. Sedangkan ibunya lebih banyak minta pendapat-pendapatnya. Faktor inilah yang mendorong dia untuk menegaskan identiti dan pandangan dunianya sendiri tentang fragmen-fragmen masa lalu dan keragaman masa kini. Di dalam lingkungan heterogen dari sekolah publik Los Angeles yang menarik perhatiannya adalah orang-orang Yahudi. Di antara mereka dia menemukan budaya yang diajarkan di rumah untuk benar-benar menghargainya adalah sebuah realiti yang hidup, khususnya di bidang musik dan sastra.[35]

Namun yang perlu juga diingat bahawa dia besar di dalam keadaan dunia porak poranda kerana perang. Di dalam esainya, dia menulis, bahawa pada tahun 1930an, Hitler, Mussolini dan Stalin berkuasa dan Jepun berperang dengan Cina. Dia masih ingat ketika seseorang yang membawa surat kabar tiap pagi yang selalu menyampaikan berita tentang bencana paling terakhir. Pada bulan Maret 1038 terjadi Anschluss, aneksasi Hitler terhadap Austria. Pada bulan september tahun itu juga terdapat sebuah Pakta Munich di mana Inggris dan Perancis mengambil alih perbatasan Czechoslovakia dari Hitler, disusul pada awal tahun 1939 dengan pendudukan Hitler terhadap seluruh negeri. Pada tanggal 1 September 1939, Hitler bertindak atas dasar perjanjian rahasia dengan Uni Soviet menyerang Polandia. Masa ketenangan telah usai, dan perang Dunia Kedua mulai. Bellah menyangkal Bahawa peristiwa ini hanya terjadi di Eropa, tidak punya pengaruh terhadap Amerika Syarikat, tetapi banyak di antara orang di sana, ketika itu dia berumur tigabelas tahun, menyadari peristiwa mengerikan ini juga terasa di Amerika Syarikat kerana juga terjadi di seluruh dunia.[36]

Pada bulan April 1940 Hitler menyerang Denmark dan Norwegia dengan mendapatkan perlawanan. Pada bulan Juni menyerbu Belanda, Belgia, dan Perancis secepat kilat, meksipun kebanyakan tentara Inggris berhasil dievakuasi dari Dunkirk. Serangan udara terhadap Britain tidak menyakinkan, dan Hitler mengalihkan perhatiannya dari kemungkinan serangan terhadap Inggris ke apa yang dia harapkan sebagai sebuah kampanye kilat melawan Uni Soviet. Pada awal 1941 kegagalan total serangan terhadap Yunani terhadap oleh Itali, sekutu Hitler, mengalihkan perhatiannya ke daerah Balkan, sementara juga menyelesaikan dengan cepat terhadap Yugoslavia dan Yunani. Dia sekarang menjadi penguasa hampir seluruh Eropa hingga perbatasan Soviet, tetapi dia ingin lebih. Pada tanggal 22 Juni Rusia mulai kampanye, pada awalnya dengan keberhasilan luar biasa, dengan menyerang pintu gerbang Moskow dan Leningrad di akhir tahun itu.[37] Dan pengalamannya yang paling mengerikan tentu saja serangan terhadap Pearl Harbor pada tanggal 7 Desember 1941, ketika dia berusia empat belas tahun.[38]

Di dalam suasana perang Dunia kedua inilah dia menyadari secara progresif lebih liberal, baik secara religius maupun politik. Dengan sebuah kedalaman yang semakin akrab dia mulai menguji ideal-ideal yang diajarkan kepadanya dengan realiti kehidupan Amerika Syarikat dan mulai meragukan seluruh struktur kepercayaan religius dan politik yang sebelumnya diterima begitu saja (taken for granted). Dan di tahun terakhinya di sekolah menengah dia mulai membaca literatur Marxisme yang dipinjamkan oleh satu atau dua orang temannya.[39]

Pengalaman-pengalaman yang mengerikan di dalam hidupnya telah membuat Bellah muak dengan perang dan kenyataan bahawa dia hidup di dalam sebuah komunitas yang plural telah mengajarkan pada dirinya tentang keragaman dan perang bukan cara untuk menyatukan pendapat. Tentu saja selain pengalaman ini mempengaruhi cara pandangnya terhadap realiti, maka pendidikannya di sekolah formal tidak boleh diabaikan sebagai penyumbang utama bagi perkembangan pemikirannya.

Beliau belajar di Universiti Harvard untuk memperoleh gelar B.A. pada tahun 1950 dan Ph.D pada 1955,[40] kemudian mulai mengajar di almamaternya pada tahun 1957 dan menjadi profesor Sosiologi pada tahun 1967, mengabdi dari 1967 hingga 1997 di Universiti California Berkeley sebagai Profesor Sosiologi, sementara dari 1968 hingga 1974, dia mengetuai the Center for Japanese and Korean Studies.[41]

Robert N. Bellah adalah ilmuwan yang telah banyak melahirkan karya-karya berkaitan dengan persoalan agama dan masyarakat. Saya akan mencantumkan di sini beberapa karyanya yang dikirim melalui email, yang meliputi buku, artikel, dan ulasan serta wawancara sesuai dengan urutan tahun.

Di antara buku yang ditulis Robert N. Bellah adalah Apache Kinship Systems (1952), Tokugawa Religion (1957), Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World (1970) The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (1975), Varieties of Civil Religion, dengan Philip E. Hammond (1980), The Good Society, dengan Richard Madsen, William M. Sullivan, Ann Swidler, and Steven M. Tipton (1991).

H. Agama Sivik di Amerika dan Masa Depan Agama

Agama pada masa awal berdirinya Amerika mempunyai posisi yang sangat penting: di dalam superstruktur dan infrastruktur rejim politik baru. Yang pertama terdapat di dalam Deklarasi Kemerdekaan. Bellah mengertikan superstruktur di sini adalah sebuah titik pusat kedaulatan yang berada di atas kedaulatan negara. Barangkali pengakuan yang paling mencolok terhadap kedaulatan tertinggi ini berasal dari Madison pada tahun 1785 di dalam perdebatan tentang kebebasan agama di Virginia:

It is duty of every man to render to the Creator such homage, and such only, as he believe to be acceptable to him. This duty is precedent both in order of time and degree of obligation, to the claims of Civil Society. Before any man can be considered as a member of Civil Society, he must considered as subject of the Governor of the Universe: and if a member of Civil Society, who enters into any subordinate Association, must always do it with a reservation of his duty to general authority; much more must every man who becomes a member of any particular Civil Society, do it with a saving of his allegiance to the Universal Sovereign.” [42]

Sebagai salah satu pendiri Amerika, Madison telah meletakkan asas bagi negara ini dengan keutamaan nilai-nilai keagamaan di atas nilai-nilai masyarakat sivik. Namun demikian tidak mengabaikan peranannya di dalam mengatur hubungan sosial dan politik. Sebagaimana deklarasi kemerdekaan itu sendiri menunjuk pada kedaulatan Tuhan di tas masyarakat politik kolektif itu sendiri dengan merujuk pada pembukaannya yang berbunyi “hukum alam dan Tuhan” yang berada di atas dan menilai hukum manusia.

Berkenaan dengan pentingnya referensi pada kedaulatan suprapolitik, pada Tuhan yang berada di atas bangsa dan yang tujuan-tujuannya menjadi ukuran untuk mempertimbangkan eksistensi bangsa dan bahkan hanya di dalam pengertian inilah dijustifikasikan, menjadi sebuah sifat permanen dari kehidupan politik Amerika untuk selamanya. Menurut Bellah, keberadaan dari simbolisme religius tingkat tertinggi di dalam kehidupan politik republik ini mengukuhkan penegaskan bahawa terdapat agama sivik di Amerika,[43] yang bersifat formal dan namun marginal. Formal ertinya di dalam penyebaran dan abstraksi dari prinsip-prinsipnya, meskipun di dalam hal ini sangat dekat dengan agama siviknya Rousseau. Marginal artinya tidak mendapat dukungan resmi di dalam ranah hukum dan konstitusional. Sekali lagi, Bellah menegaskan bahawa tidak rujukan pada tuhan dan agama sivik di dalam konstitusi Amerika Syarikat.[44] Tentang terpinggirkannya agama sivik Amerika, Bellah mengatakan:

The marginality of the American civil religion is closely connected with the liberal side of our heritage and its most important expression, the constitution. This side has lead many to deny there is a civil religion or there ought to be in America. And indeed, from the point of view of the liberal political idea there need not and perhaps ought not to be. The state is a purely neutral legal mechanism without purposes or values. Its role function is to protect the rights of individuals, that is, to protect freedom. And yet freedom, which would seem to be an irreducible implication of liberalism etymological grounds alone, no matter how negatively and individualistically defines, does imply a purpose and value. Since I believe a pure liberalism is a reductio ad absurdum and a sociological impossibility. I would locate here at least one of the reasons a pure liberal state has never existed and why in America the rhetoric and to some extent the substance of republicanism has always existed in uneasy tandem with liberalism.

Jelas di sini Bellah menolak anggapan kaum liberal bahawa negara itu didasarkan pada mekanisme hukum legal murni tanpa tujuan dan nilai. Fungsi satu-satunya hanyalah melindungi hak-hak individual, iaitu melindungi kebebasan. Padahal kebebasan itu tampaknya hanya sebagai sebuah implikasi paling kecil dari liberalisme atas dasar etimologi semata-mata, bukan masalah bagaimana dirumuskannnya secara negatif atau individualistik, ia mempunyai implikasi sebuah tujuan dan nilai. Bagi Bellah tidak pernah ada sebuah negara liberal murni.[45]

Tepatnya dari sudut pandang republikanisme agama sivik sangat dibutuhkan, sebuah republik sebagai sebuah komuniti politik aktif yang menyertakan warga negara mesti mempunyai sebuah tujuan dan seperangkat nilai-nilai. Kebebasan di dalam tradisi republikan adalah sebuah nilai positif yang menegaskan adaya perhargaan dan harkat dari persamaan politik dan pemerintahan yang merakyat. Ia harus menunjukkan etika di dalam pengertian positif dan memunculkan komitmen etik dari warga negaranya. Kerana alasan inilah, tegas Bellah, tak terelakkan harus menekankan simbolisasi tatanan eksistensi tertinggi yang ditunjukkan oleh nilai-nilai dan keutamaman republikan. Simbolisasi semacam ini mungkin tidak lebih dari sekedar pemujaan terhadap republik itu sendiri sebagai kebaikan tertinggi, atau jika memang demikian, sebagaimana di dalam kasus Amerika, pemujaan terhadap realiti yang mengukuhkan ukuran-ukuran yang ingin dipenuhi oleh republik ini.[46]

Terciptanya komunitas nasional pertama kali di Amerika, yang sekarang diakui secara luas, didahului oleh revolusi oleh satu atau dua generasi. Ia adalah hasil dari Kebangkitan Besar tahun 1740-an, sebuah gelombang revivalisme keagamaan yang meluas di seluruh koloni dan memberikan mereka untuk pertama kalinya sebuah perasaan solidariti bersama.[47]

Rejim liberal tidak pernah menolak agama sivik yang telah tersirat di dalam Deklarasi Kemerdekaan dan bahkan tetap hidup di dalam arena politik meskipun perlembagaan tidak mengungkapkannya. Namun, dari sudut pandangan rejim rasmi, huraian lebih jauh terhadap simbolisme agama yang melampaui agama sivik formal dan marginal murni bersifat pribadi. Sedangkan dari sudut pandangan komuniti nasional, sebahagian besar agama di dalam kritiknya pada dirinya, huraian semacam ini adalah bersifat publik meskipun kurang di dalam status legalnya. Di sinilah, kata Bellah dengan memetik pendapat Martin Marty, boleh membicarakan teologi publik, yang berbeza dengan agama sivik. Namun demikian, Bellah tidak mau mengidealisasikannya.[48]

Bellah juga tidak menampik peran agama bagi terciptanya kewarganegaraan. Agama telah berperan di dalam membentuk, memasyarakatkan dan mendidik warganegaranya dengan kepercayaan etik dan spiritual, yang akhirnya terinternalisasikan sebagai nilai utama Republik. Tentu saja, Bellah juga mendapat tantangan dari intelektual lain, misalnya Fenn dengan idenya tentang bangsa Amerika sebagai Israel yang baru. Menurutnya, Bellah bermaksud untuk menggunakan simbol ini tidak lain untuk memperteguh kedudukan penguasa (pemerintah federal) dan mansakralkan badan-badan pemerintah dan hukum di negara itu [49]

I. Agama Sivik

Agama sivik adalah sebuah istilah yang pertama kali digunakan oleh Jean Jacques Rosseau, selari dengan maksud Durkheim bahawa pengalaman sosial dan agama adalah mempunyai batas-batas yang sama.[50] Perdebatan ini sebenarnya berlangsung lama di dalam berbagai disiplin. Di dalam ilmu politik, ia berkaitan dengan implikasi-implikasi politik dari hubungan gereja dan negara.

Seperti diakui Bellah bahawa istilah agama sivik diungkapkan pertama kali oleh Rousseau,[51] yang mengemukakan bahawa agama sivik mempunyai dogma sederhana, di antaranya adanya Tuhan, kehidupan yang akan datang, pahala untuk kebaikan dan hukuman bagi keburukan, serta pengucilan terhadap nirtoleransi agama.

Berkaitan dengan persoalan ini, Bellah menanyakan dua persoalan penting, bagaimana agama sivik berkaitan, di satu sisi, dengan masyarakat sivik dan di sisi lain dengan organisasi gereja?
Disedari oleh Bellah bahawa pertentangan antara agama dan politik telah melahirkan perdebatan yang tak kunjung usai. Pada abad kesembilanbelas, kelompok-kelompok agama dan politik konservatif menyatakan bahawa agama Kristian sebenarnya adalah agama nasional. Beberapa di antara mereka dari masa ke masa dan pada tahun 1950-an mengusulkan perubahan konstitusional yang secara eksplisit mengakui kedaulatanJesus. [52] Di dalam mempertahankan doktrin pemisahan gereja dan negara, penggagas kelompok ini menyangkal bahawa dasar nasional secara tersirat berhubungan dengan agama. Sedangkan kaum Moderat menegaskan bahawa negara Amerika mengambil sikap permisif bahkan mendukung terhadap kelompol-kelompok keagamaan, jadi mengutamakan agama tetapi masih tidak melalaikan institusionalisasi positif yang menjadi perhatian Bellah.[53]

Memang kata-kata agama sivik sebagai pengejawantahan dari nilai-nilai agama di dalam kehidupan bernegara tidak diucapkan secara eksplisit oleh para pendiri negara Amerika, namun, jelas untuk tidak mengatakan bukan pengaruh Rousseau, mengemukakan ide-ide yang sama, sebagai bahagian dari iklim budaya akhir abad kedelapanbelas, yang ditemukan di antara orang-orang Amerika. Di sini, Bellah mengutip tulisan biografinya Benjamin Franklin:

I never was without some religious principles. I never doubted, for instance, the existence of the Deity; that he made the world and govern’d it by his providence; that the most acceptable service of God was the doing of good to men; that our souls are immortal; and that all crime will be punished, and virtue rewarded either here or hereafter. These I esteemed the essentials of every religion; and, being to be found in all the religions we had in our country, I respected them all, thou’ with different degrees of respect, as I found them more or less mix’d with other articles, which, without any tendency to inspire, promote or confirm morality, serv’d principally to divide us, and make unfriendly to one another.

Ada beberapa pokok fikiran yang disebutkan oleh Benjamin Franklin yang selari dengan rumusan agama siviknya Rousseau. Dengan ini makin mengukuhkan eksistensi agama sivik sebagai bahagian dari cara pandang bapak pendiri Amerika. Bellah melihatnya bahawa posisi seperti ini pada hakikatnya bersifat utilitarian dalam kaitannya dengan agama.[54] Di dalam pidato perpisahan Washington aspek ulitariannya sangat nampak:

Of all the dispositions and habits which lead to political prosperity, Religion dan Morality are indispensable support. In vain would that man claim the tribute of Patriotism, who should labour to subert these great Pillars of human happiness, these firmest props of the duties of men and citizen. The mere politician, equally with the pious man ought to respect and cherish them. A volume could not trace all their connections with private and public felicity. Let it simply be asked whre is the security for property, for reputation, for life, if the sense of religious obligation desert the oaths, which are the instruments of investigation in Courts of Justice? And let us with caution indulge the supposition, that morality can be maintained without religion. Whatever may be concedes to the influence of refined education on minds of peculiar structure, reason and experience forbid us to expect that National morality can prevail in exclusion of religious principle.

Tetapi setiap alasan untuk percaya ahwa agama, khususnya idea tentang Allah, memainkan sebuah peranan yang menentukan di dalam pemikiran para negarawan Amerika awal. Hubungan yang erat dari gagasan agama dan konsepsi-diri tentang sebuah republik baru seringkali ditunjukkan dari pemunculannya di dalam dokumen-dokumen resmi awal.[55] Di sini, Bellah mencontohkan pidato pelantikan pertama presiden Washington pada tanggal 30 April 1789:

I would be peculiarly improper to omit in this first official act my fervent supplications to that Almighty Being who rules over the universe, who presides in the councils of nations, and whose providential aids can supply every defect, that His benediction may consecrate to the liberties and happiness of the people of the United States a Government instituted by themselves for these essential purposes, and may enable every instrument employed in its administration to execute with success the function alloted to his charge.

No people can be found to acknowledge and adore the Invisible Hand which conducts the affairs of man more than those of the United States. Every step by which we have advanced to the character of an independent nations seems to have bee distinguished by some token of providential agensy…
The propitious smiles of Heaven can never be expected on a nation that disregard the eternal rules of order and right which Heaven itself has ordained…The preservation of the sacred fine of liberty and the destiny of the republican model of government are justly considered, perhaps, as deeply, as finally, staked on the experiment instrusted to the hands of the American people.

Jadi Bellah melihat bahawa dalam menganalisis unsur-unsur agama sivik melalui pidato-pidato pengambilan sumpah kepresidenan Amerika (Presidential Inaugural Addresses). Di samping itu juga mentafsirkan sejarah kebangsaan Amerika. Bellah mengemukakan:

“There are certain common elements of religious orientation that a great majority of American share. These have played a crucial role in the development of American institutions and still provide a religious dimension for the whole fabric of American life, including the political sphere. This public religious dimension is expressed in a set of beliefs, symbols, and ritual that I am calling the American Civil Religion”[56]

Namun demikian agama sivik ini bukan pemujaan terhadap bangsa. Beliau mengatakan bahawa tradisi utama di dalam agama sivik Amerika bukan sebagai sebuah bentuk dari penyembahan-diri, tetapi sebagai kedudukan bangsa berada di bawah prinsip-prinsip etik yang melampauinya dan di dalam pengertian inilah ia seharusnya dinilai. Dimensi keagamaan kehidupan politik Amerika yang menjadi ciri dari republik kita kerana dasarnya dan prinsip yang paling utama adalah bahawa bangsa ini bukan tujuan tertinggi di dalam dirinya, tetapi berpijak pada pertimbangan transenden dan bernilai sejauh ia mewujudkan sebuah hukum tertinggi.[57]

Sedangkan John A. Coleman melihat bahawa agama sivik adalah seperangkat bentuk-bentuk dan tindakan-tindakan simbolik yang menghubungkan warga negara dan masyarakatnya di dalam sejarah dengan kondisi tertinggi daripada eksistensinya. Namun demikian, agama sivik tidak selalu jelas atau biasanya secara jelas dibezakan dengan gereja atau negara.[58]

Jelas, kedua pemikir ini membedakan antara agama sivik dan gereja serta negara. Namun demikian, ketiganya tidak boleh dipisahkan di dalam tingkat abstraksi. berbeza dengan masyarakat primitif di dalam analisisnya Durkheim bahawa organisasi agama (di dalam Kristian gereja) dan agama sivik tidak boleh dibedakan.[59] Tampaknya, meskipun Bellah dipengaruhi oleh Durkheim tidak sepenuhnya keduanya menunjukkan kesamaan, selain kerana objek kajian berbeza dan rentang waktu yang sangat terpaut jauh memungkinkan hal itu.

Bellah melihat agama sivik bukan penyembahan terhadap bangsa sendiri, namun inspirasinya adalah dari peristiwa yang terjadi di Amerika Syarikat di antaranya, perjuangan kemerdekaan bangsa Amerika, penghapusan perbudakan dan penegakan demokrasi, serta untuk mencapai dunia manusia yang tertib.[60] Pandangan kosmopolitan Bellah ini sebenarnya tidak hanya ingin ditegaskan sebagai bagian dari pengalaman Amerika, tetapi juga bangsa-bangsa lain di dunia sebagai upaya untuk menghilangkan benturan antara kepentingan-kepentingan yang sering menjadi pemicu konflik.

J. Penutup
penulis cuba untuk melihat pemikiran Bellah yang pengaruhnya sangat besar terhadap pemikiran sosiologi agama. Secara epistemologi, agama sivik harus dibezakan dengan agama rasmil, gereja. Namun demikian nilai-nilai agama terserap di dalam simbol-simbol seperti, pidato pengukuhan presiden, hari-hari besar kebangsaan, tulisan pada makam pahlawan nasional, tugu-tugu peringatan. Jadi agama sivik tersebut agama dimensi religius atau dimensi transendental. Artinya bangsa Amerika melihat makna dan tujuan sebagai bangsa, dari visi transenden.

Kemunculan agama sivik di Amerika Syrikat tidak boleh dilepaskan dari sejarah panjang Amerika, sejak perang sivik, deklarasi kemerdekaan dan pengaruh pencerahan serta nilai-nilai Kristiani (terutama Protestantisme) yang tertanam kuat di dalam diri bangsa Amerika. Ia lahir sebagai pengakuan terhadap nilai tertinggi bukan salah satu denominasi dari agama Kristian sendiri. Sekali gus, sebagai kritik terhadap penggunaan simbol keagamaan dalam praktik resmi kenegaraan.

Bagi Bellah, agama sivik adalah tak terelakkan, kerana setiap kelompok mempunyai dimensi religius. Mengatakan agama siviki tidak ada, sama saja dengan mengatakan bahawa civitas, tatanan sivik itu sendiri tidak ada, seharusnya tidak ada. Setiap kelompok menghasilkan simbol-simbol dan ritual komunal yang memberik petunjuk dan mengikatnya bersama. Dengan demikian, agama sivik tidak hanya menjadi milik Amerika, ia boleh menjadi milik bangsa lain di dunia.

Dengan menyatakan bahawa agama sivik merupakan agama bangsa yang bersifat transendental dan universal, berarti menempatkan institusi buatan manusia di bawah kekuasaan Tuhan. Namun demikian, agama sivik sendiri mendapat tantangan, tidak hanya dari para pengkeritik yang lain, tetapi juga kenyataan politik di sana, seperti skandal Watergate dan Nixongate, namun Bellah menyebutnya sebagai krisis daripada agama sivik.



K. Bibliografi

Bellah, Robert N. “Religion and Power in American Today”, di dalam The Catholic Theological Society of America, 1982.

Bellah, Robert N, The Broken Covenant: American Religion in Time of Trial, Chicago: Chicago University Press, 1995.

Bellah, Robert N, ed. Religion and Progress in Moden Asia (New York: The Free Press, 1995).

Bellah, Robert N, The Good Society, ed. Madsen, Richard / Sullivan, Wiiliam M., Swidler, Ann, New York: Vintage Books, 1992.

Bellah, Robert N, Afterword, dalam Beyond Individualism, ed. Donald L. Gelpi, Indiana, 1989.

Bellah, Robert N, Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditional World, New York: Harper and Row, 1970.

Bellah, Robert N, “Christian Faithfulness in a Pluralist World”, dalam Postmoden Theology, ed. Fr.B. Burnham (San Francisco, 1989).

Bellah, Robert N, “Cultural Barries to the Understanding of the Church and its Public Role,” Missiology, 1991.

Bellah, Robert N, “Flaws in the Protestant code: some Religious Sources of America’s Troubles,” Ethical Perspectives, 2000.

Bellah, Robert N, “Leadership Viewed from the Vantage Point of American Culture”, di dalam Origins, 1990.

Bellah, Robert N, Agama Tokugawa, terj. Wardah Hafiz, Jakarta: Gramedia, 1992.

Bellah, Robert N dan Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion, Cambridge: Harper & Row, 1980.

­­­­­­Bellah, Robert N, “75 Years”, South Atlantic Quarterly, February, 2002.

Bellah, Robert N. “American Civil Religions in the 1970’s, di dalam Russell E. Richey and Donald G. Jones (ed.)., American Civil Religion, New York: Harper & Row, 1974.

­­­Bellah, Robert N. “Religious Studies as New Religion” di dalam Jacob Needleman dan George Baker, Understanding the New Religions, New York: The Seabury Press, 1978.

Coleman, John A. “Civil Religion” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer), 1970.

Foucault, Michel. Madness Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, terj. Richard Howard, London: Tavistock Publications, 1977.

Freud, Sigmund. Totem and Taboo, terj. James Stranchey (New York: W. W. Nroton & Co., 1950.

Freud, Sigmund. Karl Marx and Friedrich Engels on Religion (New York: Schoken Book, 1964)

Freud, Sigmund. The Future of an Illusion, terj. W. D. Rovson-Scott, edisi revisi (Garden City, N. Y.: Doubleday & Co., 1964).

Gadamer, Hans-Georg. Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming, New York: The Seabury Press, 1975.

Gill, Sam D. Native American Religions: An Introduction, Belmont, California: Wadsworth Publishing Company, 1982.

Green, Ronald M. Religious Reason: The Rational and Moral Basis of Religious Belief, New York: Oxford University Press, 1978.

Hammond, Philip “Pluralism and Law in the Formation of American Civil Religion, di dalam Bellah (et.al), Varieties of Civil Religion, Cambridge: Harper and Row, 1980.

Hanh, Thich Nhat, Living Buddha, Living Christ, New York: Riverhead Books, 1995.

Hayness, Jeff Religion in Third World Politics, Buckingham: Open University Press, 1993.

Hick, John. The Fifth Dimension: An Exploration of the Spiritual Real, Oxford: One World Publications, 1999.

Horkheimer, Max dan Theodor W. Adorno, Dialectic of Enlightenment, terj. John Cumming, New York: The Seabury Press, 1972.

R. R. Marett, Sacraments of Simple Folks,Oxford: Clarendon Press, 1932.

Clyde Kluckhohn, Preface to William Lessa and Evon Vogt, Reader in Comparative Religion, New York: Harper and Row, 1979.

Mircea Eliade, A History of Religious Ideas, Vol. I, terj. Willard Trask, Chicago dan London: Chicago University Press,1978.

Rudolf Otto, The Idea of the Holy, terj. John Harvey, New York: Oxford University Press, 1958.

Nota Hujung

[1] Seharusnya seseorang yang memegang teguh komitmen keagamaan harus mendasarkan pada sebuah ajaran agama yang mutlak dan murni yang kemudian disebut sebagai fundamentalis. Sebenarnya kata ini adalah istilah Anglo-Saxon, yang secara khusus diterapkan pada penganut agama sama ada Protestan dan Muslim yang menyatakan bahawa Injil dan al-Qur’an atau kitab-kitab suci lain harus diterima dan ditafsirkan secara harfiah. Lihat Jeff Hayness, Religion in Third World Politics (Buckingham: Open University Press, 1993). Lihat juga Margaret R. Miles tentang pengertian fundamentalisme praktikal dalam Seeing and Believing: Religion and Values in The Movies (Boston: Beacon Press, 1993), hlm. 94.
[2] Huraian lebih lanjut tentang hal ini boleh dibaca di Jeff Hayness, Religion in Third World Politics (Buckingham: Open University Press, 1993), hlm. 1.
[3] Rasionaliti dan objektiviti disebut Walter Lippman sebagai aspek kebudayaan Barat yang abadi. Dikutip dari Peter Levine, Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Jogjakarta: Ircisod, 2001), hlm. 1.
[4] Dikutip dari Ronald M. Green, Religious Reason: The Rational and Moral Basis of Religious Belief (New York: Oxford University Press, 1978), hlm. 3. Untuk representasi pernyataan-pernyataan positivis, lihat August Comte, Cour de philosophie positive, 6 vol. (Paris: Barchelier, 1830-1842), dan Edward Tylor, Primitive Culture, edisi ke-2, 2 vol. (London: John Murray, 1873). Pandangan Feuerbach dijelaskan secara panjang lebar di dalam bukunya The Essence of Religion, terj. George Eliot ( New York: Harper and Bros., 1957). Pemikiran Freud boleh dibaca di dalam tulisannya Totem and Taboo, terj. James Stranchey (New York: W. W. Nroton & Co., 1950) dan The Future of an Illusion, terj. W. D. Rovson-Scott, edisi revisi (Garden City, N. Y.: Doubleday & Co., 1964). Karl Marx and Friedrich Engels on Religion (New York: Schoken Book, 1964) mengumpulkan banyak pernyataan terpisah dari kedua pemikir ini mengenal persoalan di atas.
[5] R. R. Marett, Sacraments of Simple Folks (Oxford: Clarendon Press, 1932), hlm. 3.
[6] Clyde Kluckhohn, Preface to William Lessa and Evon Vogt, Reader in Comparative Religion (New York: Harper and Row, 1979) hlm. V.
[7] Mircea Eliade, A History of Religious Ideas, Vol. I, terj. Willard Trask (Chicago dan London: Chicago University Press,1978), hlm. xii.
[8] Rudolf Otto, The Idea of the Holy, terj. John Harvey (New York: Oxford University Press, 1958), bab 14-20.
[9] Smith, mengatakan “every religion mixes universal principles with local peculiarities. Diambil dari bukunya, Huston Smith, Religion of the World (New York: Harper and Row, 1997), hlm. 3. Oleh kerana itu agama apapun tidak boleh dipandang dari satu perspektif, agar tidak terjadi oversimplication dan reduksi. Pendekatan yang dilakukan harus bersifat multi perspektif. Ninian Smart menyebutnya Polimethodic Approach. Buku yang sangat baik membahas agama dalam berbagai disiplin adalah, Peter Connolly (edit), Approach to Study of Religion (London and New York: Cassell, 1999). Buku lain yang sama tetapi lebih menyeluruh di dalam membahas persoalan ini adalah Walter H. Capps, Religious Studies: The Making of a Discipline (Minneapolis: Fortress Press, 1995).
[10] Sebenarnya istilah ini digunakan pertama kali oleh Jean Jacques Rousseau di dalam Social Contractnya (1762), yang mengatakan bahawa agama dan pengalaman sosial mempunyai batasan yang sama (coterminous). Dikutip dari John A. Coleman, “Civil Religion” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer, 1970), hlm. 66. Tentu saja terdapat perbezaan dan persamaan antara keduanya,yang akan diulas pada Bab V.
[11] Untuk kajian ini Bellah menulis buku The Broken Covenant: American Religion in Time of Trial, Chicago: Chicago University Press, 1995.
[12] Pada awalnya esai ini terdapat di dalam jurnal Society, 15, no. 4, hlm. 16-23 dan diterbitkan kembali di dalam bukunya yang ditulis bersama Philip E. Hammond, Varieties of Civil Religion (Cambridge: Harper & Row, Publishers, San Fransisco, 1980).
[13] Ibid., hlm. vii.
[14] Ibid., hlm. viii.
[15] Ibid., hlm. vii.
[16] Robert N. Bellah menulis rencana khusus tentang hubungan negara dan agama di Amerika Syarikat, yaitu “Religion and Power in American Today”, di dalam The Catholic Theological Society of America, 1982, hlm. 15. Lebih jauh Bellah mengajukan hubungan ini di dalam masyarakat primitif, kuno, pra-moden, moden di dalam Varieties of Civil Religion, hlm. viii-ix. Di dalam masyarakat primitif tidak ada pembedaan sama sekali antara agama dan politik, sehingga tidak banyak yang dapat dibicarakan tentang hubungan antara keduanya.
[17] Lihat Bellah, “Religion and Power in American Today, op.cit., hlm. 15.
[18] Lihat Robert N. Bellah, “Religion and Power in American Today”, hlm. 15-25.
[19] Orang-orang Puritan yang di maksud di sini adalah kelompok Puritan Separatis (tidak lagi merupakan bagian dari Gereja Inggris) yang menyatakan keterpilihannya dengan semakin memberikan perhatiannya pada doktrin perjanjian, bahawa sesuai dengan doktrin tentang kesepakatan antara Tuhan dan masyarakatknya yang dibentuk berdasarkan perjanjian biblikal antara Tuhan dan Israel. Mereka merasa sebagai bahagian daripada anggota salah satu komunitas yang terpilih ini, masyarakat Tuhan sendiri. Idea perjanjian menjadi aturan amaliah di dalam pemerintahan sivik. Lihat Catherine L. Albanese, America and Religion (Belmont, CA: Wadsworth Publishing Company, 1999), hlm. 112-114.
[20] Robert Nisbet, op.cit., hlm. 525.
[21] Metode ini menjamin, melalui objektivitas penelitiannya, bahawa pengalaman dasar boleh diulang oleh setiap orang. Sebagaimana eksperimen ilmu alam boleh dibuktikan, sehingga seluruh proses juga boleh diteliti di dalam ilmu-ilmu kemanusiaan. Lihat Georg-Hans Gadamer, Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975).
[22] Lihat pengantar R. Dean Peterson untuk bukunya A Concise History of Christianity, edisi kedua (Canada: Waddsworth Publishing Company, 1999), hlm. 4-5. Michel Foucault juga mengungkapkan pentingnya sejarah di dalam mengkayakan, mendalami, dan menyampaikan jalan baru bagi pemikiran dan penelitian. Lihat pengantar José Barchillon dalam Michel Foucault, Madness Civilization: A History of Insanity in the Age of Reason, terj. Richard Howard (London: Tavistock Publications, 1977), hlm. v.
[23] John B. Thompson (ed.), Paul Ricouers Hermeneutics and The Human Science (New York: Cambridge University Press, 1981, hlm. 43. Pada mulanya, hermeneutika digunakan untuk memahami kitab suci, namun di dalam perkembangan kemudian juga diterapkan pada ilmu-ilmu kemanusiaan, seperti sastera, sejarah, seni dan falsafah.
[24] Bahkan kata Gadamer: “the foundation for the study of history is hermeneutic”. Gadamer, op.cit., hlm. 175.
[25] Lihat Hans-George Gadamer, op. cit., hlm. 156.
[26] Untuk bacaan lebih lanjut lihat Karl Manheim, Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989), khususnya bab V tentang “Sociology of Knowledge”. Lihat juga penjelasan David Kettler (et.al) bahawa tititk tolak pencarian pengetahuan, menurut Mannheim, mesti merupakan usaha oleh pemikir untuk memahami situasi intelektual pada masanya. Dia harus memulai penelitiannya dengan pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dibahas secara luas di dalam komunitinya. Selain itu, Mannheim juga mengemukakan praduga berdasarkan pendekatan dan metode penalaran yang memperoleh kekuatan di dalam generasi pemikirnya, dan ini juga terjadi pada intelektual sastera dan pemikir politik, dimana konflik dan ketidaksepaduan menandakan pemandangan bahewa pemikir harus mencari cara untuk menerjemahkan situasi yang lebih jelas dan lebih produktif. Dia tidak menyangkal hubungan integralnya antara pemikirannya sendiri dan pemikiran sezamannya. David Kettler (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984).
[27] Karl Mannheim, op. cit., hlm. 52. Menurut Nietzche bahawa sejarah itu bersifat kontingen, yang terbatas ruang dan waktunya. Lihat Peter Levine, op.cit., hlm. 277.
[28] Robert Nisbet, “Civil Religion” di dalam Mircea Eliade (ed.), Dictionary of Religion (New York: MacMillan Publishing Company, 1987), hlm. 527.
[29] Robert N. Bellah, “75 Years” di dalam South Atlantic Quarterly issue, Pebruari, 2002, hlm. 1. Tulisan ini dikirim melalui email tanggal 9 Maret 2002, sebagai respons Bellah terhadap peristiwa 11 September.
[30] Tentang sejarah Presbyterian Skotlandia-Irlandia, lihat “The Scotch-Irisch Presbyterians” dalam Clifton E. Olmstead, History of Religion in the United States (New Jersey: Prentice Hall, 1960), hlm. 144-154.
[31] Di dalam pengantar Bellah untuk bukunya Beyond Belief: Essays on Religion in a Post-Traditonal World (New York: Harper & Row, 1970), hlm. xii. Di sini Bellah menceritakan perjalanan hidupnya dengan gaya aku.
[32] Ibid.
[33] Ibid.
[34] Mungkin inilah yang menjadi salah faktor pendukung bagi sikapnya yang terbuka, toleran terhadap perbezaan. Seperti yang dia katakan bahawa dia telah diperlihatkan sejak awal masyarakat yang berbeza oleh keluarganya sendiri.
[35] Ibid., hlm. xiii.
[36] Bellah, “ 75 Years”, loc.cit. Untuk menggambarkan suasana pada waktu itu Bellah mengutip puisi terkenalnya Auden “September 1, 1939, yang berbunyi:
I sit in one of the dives
On Fifty-Second Street
Uncertain and afraid
As the clever hopes expire
Of a low dishonest decade:
Waves of anger and fear
Circulate over the bright
And darkened lands of the earth,
Obsessing our private lives;
The unmentionable odour of death
Offends the September night.

[37] Ibid., hlm. 2.
[38] Ibid.
[39] Ibid. xii.
[40] Dikutip dari situs www.hartsem.ed/robert n. bellah/autobiography/html.
[41] Dikutip dari situs www.hartsem.ed/robert n. bellah/autobiography/html.
[42] Dikutip dari Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 10-11.
[43] Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 12.
[44] Ibid.
[45] Ibid., hlm. 12. Hal yang sama dinyatakan dengan nada lain oleh Ludwig Wittgenstein bahawa nilai-nilai adalah persoalan besar, Anda akan gagap membicarakannya sebab nilai-nilai meliputi “kepentingan, kesenangan, kesukaan, pilihan, tugas, kewajiban moral, hasrat, keingingan, kebutuhan, sesuatu yang tidak disukai dan ketertarikan, yang sangat urgen di dalam sebuah masyarakat majemuk. Dikutip dari Martin E. Marty, “The Protestan Experience and Perspective”, di dalam Rodger Van Allen, American Religious Values and The Future of America (Philadelphia: Fortress, 1978), hlm. 30.
[46] Ibid., hlm. 12-13.
[47] Ibid., hlm. 13. Sebagaimana ditunjukkan oleh Profesor Nathan Hatch, solidaritas religius secara bertahap diberikan sebuah penafsiran lelih politik dari dalam komunitas religius pada tahun 1750-an dan 1760-an dengan munculnya apa yang sebut “milenialisme sivik,”. Bellah mengatakan bahawa komunitas nasional dengan inspirasi religiusnya yang melahirkan revolusi Amerika dan menciptakan sebuah bangsa baru. Komunitas inilah yang merupakan republik sejati, bukan rejim konstitusional liberal yang muncul pada tahun 1789.
[48] Ibid., hlm. 14.
[49] Lihat di dalam Bourgh, “A Symposium on Civil Religion”, Sociological Analysis, 1976, 37, hlm. 2
[50] Dikutip dari John A. Coleman, “Civil Religion,” di dalam Sociological Analysis, 31 (Summer, 1970), hlm. 67.
[51] Lihat Bellah, Beyond Belief, hlm. 172. lihat juga Rousseau tentang agama sivik, yag dirumuskan sebagai : “The Existence of Deity…, thel life to come, the happiness of the just, the punishment of the wicked, the sanctity of the social contract dan the laws: these are the positivie dogmas, as for the negative dogmas…(thus he said), I limit them to only one, that is intolerance. Lebih jauh lihat J. J. Rousseau, Social Contract, terj. R. Grimley (ed.), (Oxford: Oxford University Press, 1972), hlm. 49-52.
[52] Bellah, Ibid., hlm. 188. ketegangan antara gereja dan negara berakar mendalam di dalam sejarah Kristian. Ide tentang negara nonreligius adalah sangat moden dan sangat meragukan. Lihat Bellah, Varieties of Civil Religion, hlm. 5.
[53] Ibid.
[54] Bellah, Beyond Belief, hlm. 173.
[55] Ibid., hlm. 174.
[56] Bellah, “American Civil Religions in the 1970’s, di dalam Russell E. Richey and Donald G. Jones (ed.)., American Civil Religion, New York: Harper & Row, 1974), hlm. 255-272
[57] Bellah, Beyond Belief, hlm. 174. hukum tertinggi ini menurut Bellah didasarkan pada hukum alamiah klasik dan agama biblikal.
[58] John A. Coleman, op.cit., hlm. 69.
[59] Dikutip dari Coleman, Ibid.
[60] lihat Bellah, The Broken Covenant: American Civil Religion in Time of Trial (New York: Seabury Press, 1975), hlm. 170.

Tuesday, April 17, 2007

Menemukan Islam Tulen


[dimuat di Jurnal Pemikir Malaysia (Bil. 48, April-Jun 2007)]
Ahmad Sahidah

ABSTRAK

Dalam sejarahnya, Islam telah mengalami pertemuan dengan pelbagai agama, kebudayaan dan peradaban. Tidak menghairankan, tafsir terhadap agama Islam adalah pelbagai. Kepelbagaian ini telah melahirkan berbagai-bagai aliran, yang boleh dikategorikan ke dalam dua fahaman besar iaitu tradisi dan moderniti. Kedua-dua puak ini sama-sama mendakwa sebagai tulen. Merujuk kepada tokoh pemikir tulen Islam, kita boleh memahami lebih jauh tentang upaya untuk tidak terjebak pada jargon ‘tradisi’ dan ‘modeniti’.
Kata Kunci: Islam, ketulenan, tradisional, dan modeniti

A. Pendahuluan

Perpecahan dalaman daripada agama Islam adalah sesuatu yang tak terelakkan. Ini adalah ekoran penyebaran agama ini daripada tanah asal (Mekah dan Madinah) yang bertemu dengan tradisi dan budaya tempatan. Proses akulturasi ini – tidak jarang asimilasi – makin mengaburkan ajaran asal. Boleh jadi Islam hanya tampalan bagi sebuah kepercayaan yang lebih dominan meskipun diberi label Islam. Namun demikian, apakah ketulenan itu bererti Arabisasi? Atau ia muncul dari pemahaman eksistensial terhadap nilai-nilai Islam yang telah mengalami perpindahan?

Kenyataan ini kerap melahirkan polarisasi keagamaan yang ekstrim. Sayangnya, kritisisme tidak dimunculkan sebagai cara menyikapi perbezaan. Masing-masing kutub mendakwa telah menemukan bentuk ketulenan dari ajarannya tanpa membuka diri bagi pandangan komuniti atau orang lain tentang dirinya sebagaimana ia melakukan penyangkalan terhadap yang lain.

Idea ketulenan menjadi penting ketika ia mengandaikan sebagai upaya untuk mengatasi kedua-dua paradigma aliran tradisi dan modeniti, sebagaimana diandaikan oleh Robert D Lee dalam buku Overcoming Tradition and Modenity: the Search for Islamic Authenticity. Kedua-dua aliran tersebut terakhir telah menjadi penyangga bagi pemeliharaan ajaran agama sama ada bersifat teori ataupun praktikal. Meskipun pembezaan binar ini adalah penyederhanan terhadap realiti yang rumit dan kompleks, namun pembahagian domain agama ke dalam tradisi dan modeniti membantu kita untuk memahami fenomena keagamaan yang semakin terbelah.

Pembezaan setentang antara dua ranah pemikiran ini tidak hanya tidak menguntungkan, namun telah mencederai proses sejarah sebagai sebuah kepastian. Pengingkaran modeniti terhadap tradisi sekali gus merupakan penyangkalan terhadap dirinya, bukan pengakuan kewujudan dirinya. Seperti dikatakan Adorno dan Horkheimer, bahawa modeniti sebagai akibat dari pencerahan adalah kelanjutan dari tradisi yang dikembangkan sedemikian rupa dan mendapatkan pemaknaan baru. Namun demikian, bahannya tetap dari domain tradisi.[1]

Di dalam Islam, sebagaimana ditulis oleh Khalil Abdul Karim, bahan bakunya (mâdah) adalah bangsa Arab. Pernyataan yang diadopsi dari Umar oleh Taha Husain berkaitan dengan pusat kekuatan tentera Islam. Tetapi, pentafsiran ini mengalami pemutarbalikan kerana hanya mengacu pada satu dimensi saja, dan melupakan dimensi-dimensi lain, yang justeru paling penting iaitu Arab merupakan sumber daripada berbagai hukum, norma, sistem, adat istiadat, dan tradisi.[2] Lebih jauh dapat dikatakan bahawa Islam telah mewarisi sesuatu yang mencukupi, bahkan berlebihan dalam segala aspek kehidupan Islam: ritual peribadatan, sosial kemasyarakatan, ekonomi, politik, dan hukum.

B. Satu Pendekatan
Sosiologi pengetahuan yang dicadangkan Karl Mannheim adalah sangat membantu di dalam menjelaskan kesinambungan pemikiran gagasan tentang ketulenan. Ia mengatakan bahawa pengetahuan manusia itu tidak murni. Ia berkaitan dengan eksistensi manusia tempat dia hidup.[3] Hal yang sama juga dikatakan oleh Betti:

Secara fundamental saya tidak mencadangkan sebuah kaedah, tetapi saya menggambarkan apakah persoalan sebenar. Bahawa ia sebagaimana saya gambarkan ia tidak boleh dipertanyakan secara serius... Anda, misalnya, mengetahui secara langsung ketika anda membaca sebuah esai klasik oleh Mommsen hanya ketika ia telah ditulis. Bahkan seorang mahaguru kaedah sejarah tidak boleh sepenuhnya bebas dari prasangka pada masanya, lingkungan sosialnya dan situasi kebangsaannya dan lain-lain. Apakah ini sebuah kegagalan? Dan bahkan jika demikian, saya menganggapnya perlu tugas falsafah untuk mempertimbangkan mengapa kegagalan ini selalu ada ketika sesuatu dicapai. Dengan kata lain, saya mengambil kira satu-satunya hal ilmiah untuk mengakui sesuatu apa adanya, di samping memulakan dari apa yang seharusnya atau mungkin. Oleh itu, saya mencuba untuk melampaui konsep kaedah yang ditegaskan oleh ilmu pengetahuan moden (yang mempertahankan justifikasinya yang terbatas) dan untuk membayangkan apa yang selalu terjadi di dalam sebuah cara universal yang mendasar’.[4]

Secara umum, sosiologi pengetahuan Mannheim menyatakan tiga ujian bagi kesahihan sesuatu yang diajukan sebagai pengetahuan. Pertama, ia harus menunjukkan fungsi penguasaan dan orientasi pengetahuan. Kedua, ia harus didasarkan secara tulen pada wujud yang didakwa sebagai pengetahuan. Dan ketiga, ia harus memiliki properti yang selaras dengan struktur sistematisasi dengan mana ia berhubungan, dengan kata lain konsep-konsep di mana ia dirumuskan dan hubungan-hubungan di antara mereka harus sesuai dengan masing-masing tipa realiti.[5] Atas dasar inilah, idea tentang ketulenan akan difahami secara utuh dan diharapkan lebih jauh menguak sisi-sisi keagamaan kontemporari.

C. Pelbagai Perspektif

Persoalan ketulenan telah banyak menarik perhatian para pemikir sama ada yang mengasaskan basisnya pada iman (agama) mahupun sekular. Yang pertama mengandaikan bahawa secara etik seluruh tindakan itu disandarkan pada dan bertanggung jawab kepada yang transenden (Tuhan) selain kepada diri sendiri sedangkan yang terakhir sepenuhnya bertanggungjawab pada diri sendiri.

Mohammed Arkoun menolak isu ketulenan hanya kerana kuatir tergelincir pada ideologisasi Islam, namun demikian dia melakukan upaya pencarian kebenaran yang bersumber pada pemahaman terhadap kitab suci. Untuk itu, dia menulis Essais Sur La pensée Islamique yang merupakan kumpulan tulisan berkenaan dengan perkembangan pemikiran Islam dari Klasik hingga moden. Bagi Arkoun, tema-tema kembali kepada sumber-sumber Islam berasal dari hubungan Islam dan Barat berkaitan dengan penolakan global dengan penuh semangat terhadap imperialisme. Perasaan keunggulan Islam dan peradabannya secara tidak adil ditekan oleh mubaligh Kristian dalam hubungannya dengan imperialis. Yang terakhir muncul secara berterusan sejak umat Kristian dan Yahudi di Madinah tidak mengakui Muhammad sebagai nabi dan utusan Allah. Kembali ke sumber-sumber Islam dijelaskan dengan berbagai cara dibahas oleh penganut yang berpandangan integralistik dan kalangan intelektual Barat. Mereka membanggakan nilai-nilainya sendiri di hadapan nilai-nilai Barat sebagai nilai-nilai yang masih lebih kuno dan antik (baca: tulen).

Untuk membebaskan dari semua ini, Mohammed Arkoun mengusulkan tiga syarat: melepaskan korelasi Timur-Barat, mengetahui secara alamiah tingkat-tingkat tradisi Islam, dan mengakui tradisi Islam dalam mengendalikan dialektika pembangunan ekonomi dan dan pembangunan budaya.[6] Idea ini sangat strategik untuk menempatkan Islam secara harmoni dengan peradaban lain, belajar dari kegagalan Muslim terdahulu dan memperhatikan keselarian pembangunan ekonomi dan budaya secara serempak.

Tulisan lain yang membicarakan tentang ketegangan antara tradisi dan modeniti adalah Seyyed Hossein Nasr dalam bukunya Tradisional Islam in the Moden World. Karya ini menghuraikan perbezaan respons tradisi dan modeniti terhadap ajaran Islam. Bagi dia, Islam tradisional mesti dipertimbangkan, yang sering dirancukan dengan istilah ‘fundamentalisme’. Sekalipun terdapat gelombang-gelombang modenisme, reaksi-reaksi puritan, mesianisme dan bentuk-bentuk ‘fundamentalisme’ yang keras dan revolusioner atau secara teologikal limitatif, Islam tradisional tetap bertahan. Sebahagian besar kaum Muslimin masih berdiam di sebuah dunia yang di dalamnya keseimbangan (equilibrium) diajarkan oleh al-syari’ah dan ketentraman spiritualiti Islam dapat dijumpai, sekalipun terdapat pengalaman-pengalaman kolonialisme, kemunduran dalam darjah tertentu dalam dunia Islam (yang mulai nampak pada abad ke-18 hingga sepanjang abad ke-19), kekacauan-kekacauan politik dan sejumlah besar masalah yang dihadapi banyak negeri Muslim.[7]

Islam tradisional cenderung bertahan di masa yang akan datang, kerana struktur tradisi Islam itu sendiri yang menekankan hubungan langsung antara manusia dan Tuhan dan tiadanya pihak berkuasa keagamaan sentral, mengandung perlindungan maksima untuk menjamin kelangsungan hidup dalam sebuah dunia seperti sekarang ini. Selain itu, kelas yang baru terbentuk yang terdiri dari para cendekiawan dan pemikir Muslim tradisional yang juga sepenuhnya menyedari watak dunia moden, aliran pemikiran, falsafah dan sainsnya, cenderung meningkat.[8] Kondisi ini akan memberikan suasana kondusif bagi tumbuhnya dialektika pemikiran antara berbagai pemikiran, sehingga perdebatan itu akan memunculkan perbahasan-perbahasan yang terpikirkan, yang hilang dan minoriti dalam Islam sendiri.

E. Ketulenan di dalam Tradisi Barat

Kata tulen yang dalam bahasa Inggerisnya authentic berasal dari kata Yunani yang berarti “memiliki tenaga penuh” atau “kehendak untuk membunuh”.[9] Ketulenan adalah kondisi dari orang-orang, menurut Heidegger, yang memahami struktur eksistensial kehidupannya. Ia menegaskan bahawa masing-masing dari kami menemukan sebuah identiti dari situasi kita – keluarga, kebudayaan dan lain-lain. Biasanya kita hanya menyerap identiti ini secara tidak kritis, tetapi membiarkan nilai dan tujuan tetap seperti semula tanpa refleksi kritis terhadapnya adalah ‘tidak tulen’. Individu tulen yang didorong dari perhatian sehari-hari oleh Kebimbangan (Angst), bertanggung jawab terhadap kehidupannya dan memilih identitinya sendiri. Tetapi Heidegger juga menegaskan beberapa tingkat ketidakketulenan tak terelakkan: penilaian Kristianterhadap nilai mengandaikan sebuah penerimaan tidak kritis terhadapnya, dan keniscayaan kehidupan praktikal memberikan sebuah keutamaan pada tindakan tidak-reflektif dibandingkan pembebasan kritik, sehingga, sebagaimana dijelaskan Heidegger, ketulenan seperti keselamatan Kristian - sebuah keadaan di mana individu yang “jatuh” tidak boleh menjamin dengan usahanya sendiri.[10]

Pengujian terhadap diri adalah dengan memahami sebuah potensialiti-tulen-dari-menjadi diri-sendiri. Kedirian dari Da-Sein secara formal dirumuskan sebagai cara mengada (the way of existing) iaitu bukan sebagai wujud yang ada secara objektif. Saya sendiri bukan untuk sebahagian besar dari siapakah Da-sein, tetapi mereka-sendiri (they-self). Wujud otentik-seorang-diri menunjukkan dirinya sebagai modifikasi eksistensial tentang “mereka” yang dirumuskan secara eksistensial.[11]

Wujud secara objektif itu, seperti Kata Søren Kierkegaard, adalah kita harus menunjukkan dirinya di dalam kecenderungan untuk menerima aturan-aturan yang mengatur tindak-tanduk dan pemikiran. Setiap pokok persoalan yang diikat oleh aturan-aturan bukti, atau yang diajarkan di ruang-kelas, berada di dalam genggaman objektiviti. Sejarah adalah bersifat objektif jika ia diajarkan sebagai sesuatu di dalam mana yang benar dan keliru boleh secara tegas, untuk pertama kalinya, dipilah dan dibezakan. Adalah bersifat objektif jika beberapa proposisi ditolak atas dasar sesebuah aturan umum, apakah sesuatu itu dianggap sebagai bukti, atau sesuatu yang boleh diterima sebagai prilaku manusia yang masuk akal. Sosiologi dan psikologi sepenuhnya menjadi kajian-kajian objektif, dan oleh itu pada prinsipnya tidak boleh diterima, kerana keduanya berusaha untuk memampatkan, memprediksikan atau menjelaskan prilaku kelompok manusia atau individu sesuai dengan hukum-hukum ilmiah. Moraliti bersifat objektif segera ia diikhtisarkan ke dalam sebuah kod atau aturan, yang disampaikan dari guru pada murid.[12]

Dalam pengertian paling umum, ketulenan individu bererti saya sebagai manusia harus menjadi diri sendiri, dan bukan orang lain. Saya tidak perlu mengikuti petunjuk dari luar tentang prilaku dan kesuksesan, tetapi cukuplah dibimbing oleh oleh insting batiniah diri saya sendiri. Jika pengertian ini diperluas, masyarakat haruslah merumuskan agenda-agendanya secara bersama yang mencerminkan kekayaan budaya masyarakat itu sendiri, bukan berdasarkan perencanaan Barat.[13]

Bagi Heidegger, selain menunjukkan sebuah pembezaan metafisik antara diri (yang difahami sebagai sebuah individu murni yang sedar secara reflektif) dan dunia (yang difahami sebagai sebuah kumpulan objek-objek yang ada di hadapannya), pemahaman seseorang yang luar biasa terbuka bagi panggilan kesedaran adalah benar-benar pengakuan terhadap kemungkinan ketulenan (Eigentlichkeit). Panggilan kesedaran ini adalah pengingat eksistensial terhadap kehilangan khas seseorang di dalam ‘mereka’ – banaliti dan sifat kebetulan kehidupan sehari-hari – dan ia menuntut dijawab dengan pengubahsuaian, betapapun bersifat marginal dan sementara, terhadap situasi eksistensial normal. Dasein dalam kehidupan biasa menjalaninya dari keterlemparan, sebuah kehidupan yang dibentuk oleh praktik sosial yang telah ada, dibangun dengan baik, tindan-tindih (sebagai pensyarah, suami, anak, laki-laki, dan sebagainya) masing-masing dengan sesebuah norma publik dan harapannya sendiri. Jelasnya, di dalam keseharian, Dasein tidak lebih dari beberapa aturan sosial.[14]

Perlu ditegaskan di sini, Dasein mengakui kelenyapan dirinya dalam mereka yang terlempar, tetapi di dalam persoalan ini ia tidak merespons “kejatuhan” dengan menyembunyikan (dari dirinya dan yang lain) kontingensi keterlemparannya. Ketulenan juga (dengan sendirinya ilusi dan rapuh) bukan usaha untuk lari dari kontingensi. Dasein masih dan selalu berupa “they-self” (das-Man-selbst). Ketulenan sepenuhnya merupakan pengakuan terhadap diri – bukan pembatalan (abrogation) terhadap “mereka”. Seperti kata Heidegger:

Keberadaan tulen adalah bukan sesuatu yang mengatasi kejatuhan keseharian. Secara eksistensial, ia hanya sebuah cara mengubahsuai dari kebimbangan keseharian. Diri-Ada-Tulen tidak diasaskan pada kondisi subjek yang lain, sebuah kondisi yang menampal pada “mereka”, melainkan ia merupakan pengubahsuaian eksistensiel terhadap mereka – mereka sebagai sebuah eksistensi esensial.[15]

Ada beberapa unit analisis yang perlu dijelaskan untuk memasuki perdebatan ketulenan lebih jauh iaitu: keunikan, radikalisme, autonomi, kesatuan, tindakan kelompok, kesamaan dan institusi.[16] Yang pertama adalah penolakan adanya asumsi Pencerahan tentang pengitlakan dari proposisi. Bahkan Kant menjelaskan bahawa kehendak, kendati memiliki sifat universal, tetap memungkinkan definisi individual yang unik. Lebih jauh, penulis seperti Rousseuau, Wordsworth dan Schiller merumuskan ketulenan dengan memandang diri bukan sekedar abstraksi, melainkan sebagai pribadi yang berakarumbi pada “sentimen wujud” individual – keras, kuat, mandiri, batin dan pikiran kuat.

Radikalisme lahir sebagai respons terhadap kekuatan-kekuatan yang mengingkari sifat, keaslian, kreativiti dan wujud seseorang. Kekuatan-kekuatan itu dikenali sebagai tradisi – yakni sebagai “cara hidup, cara bertindak yang telah terbentuk dalam keanggotaan sosial.”

Autonomi sebagai wujud kebangkitan manusia dari kepasifan mereka menjadi pencipta dunianya sendiri. Mereka mencoba membebaskan diri dari masa silam buatan mereka yang telah berada di luar pengawalan untuk membentuk masa depan yang sesuai dengan keperluan, insting dan keinginan mereka sendiri.

Kesatuan adalah jalan keluar bagi kehampaan makna dan penolakan terhadap nihilisme serta menerima kelaziman dalam pengalaman manusia. Meskipun menurut Heidegger ini bermasalah, kerana tindakan tulen itu lahir dari kesendirian, kerana hanya individu yang dapat mencari kebenaran. Atas asumsi ini, beliau menyepi ke hutan dengan isterinya.

Tindakan kelompok sebagai penyangga bagi idea-idea radikal menjadi revolusioner. Jadi pemikiran tulen yang berdasarkan kepada tindakan individual itu dapat digunakan untuk mengkonstruksi secara teoretikal tindakan kelompok. Gustavo Gutierez mempostulatkan adanya kesatuan tindakan bagi mereka yang secara serentak mencari kebenaran, semangat revolusioner Kristian, dan keperluan revolusioner bagi negara-negara mereka. Manusia sendiri yang harus menemukan kesamaan tujuan dalam sejarah yang mereka ciptakan, tetapi Tuhanlah yang membantu menyatukan temuan-temuan individual ini menjadi gerakan yang efektif.

Semua agama mengesahkan kesamaan seluruh manusia di hadapan Tuhan dan menyelar ketidakadilan. Semua versi pemikiran tulen menilai ketidakadilan dalam masyarakat tradisional – entah berdasarkan prestij, wang, kesalihan atau politik – sebagai sumber ketidaktulenan. Kepasifan di hadapan wajah kekuasaan yang lebih besar mencegah manusia dari mewujudkan potensi mereka sebenarnya.

F. Mengatasi Tradisi dan Modeniti

Tradisi adalah sebuah kepercayaan atau praktik di dalam domain kebudayaan yang diterima dari tangan, lisan, atau contoh-contoh lain berbanding ditemukan; diterima atas dasar asumsi bahawa penulis dan penyampai dapat dipercaya dan oleh itu tradisi itu sahih; dan menerima dengan perintah dan maksud sedar terhadap periwayatan lebih jauh tanpa perubahan substansial. Dengan demikian, sebagai sumber pengetahuan tradisi dibezakan dari desas-desus dan fesyen. Kedua-dua tersebut terakhir ini, meskipun diterima dari yang lain, tidak dengan sendirinya dipercaya atau periwayatan yang layak tanpa perubahan; sebaliknya, kedua-duanya menuntut spekulasi dan huraian. Bagaimanpun juga, tradisi berisi inti untuk mewujudkan sebuah kepastian kebenaran dari sebuah sumber autoritatif.[17]

Menurut Anthony Giddens, tradisi berhubung kait dengan ingatan, terutama dengan apa yang diistilahkan oleh Maurice Halbwachs dengan ‘ingatan kolektif’; tradisi melibatkan ritual, terkait dengan apa yang dia sebut dengan gagasan kebenaran formulatif (penekanan dari Giddens). Tradisi memiliki penjaga dan tidak seperti adat-istiadat, memiliki kekuatan pengikat yang merupakan kombinasi moral dan emosi.[18] Hal ini boleh dilihat di dalam tradisi ritual yang melibatkan orang ramai pada doa bersama.

Berkaitan dengan tradisi, Seyyed Hossein Nasr menyatakan bahawa tradisi menyiratkan sesuatu yang suci, seperti disampaikan kepada manusia melalui wahyu mahupun pengungkapan dan pengembangan peran suci itu di dalam sejarah kemanusiaan yang membabitkan sama ada kesinambungan horizontal dengan Sumber mahupun rantai-rantai vertikal yang menghubungkan setiap denyut kehidupan tradisi yang sedang diperbincangkan dengan Realiti Transenden metahistorikal.[19] Oleh itu, menurut Nasr, tradisi boleh bererti agama (din) dalam erti seluas-luasnya yang berkaitan dengan semua aspek agama dan pencabangannya; atau as-sunnah iaitu sesuatu yang – diasaskan pada model-model suci – sudah menjadi tradisi sebagaimana kata ini umumnya difahami, demikian juga boleh diartikan as-silsilah, iaitu rantai yang mengaitkan setiap period, episod atau tahap kehidupan dan pemikiran di dunia tradisional kepada sumber, seperti tampak jelas di dalam dunia sufisme.

Georg-Hans Gadamer lebih jauh menekankan hubungan rapat antara tradisi dan kuasa.[20] Penafsiran yang merujuk kepada teks yang dipisah oleh waktu dan ruang yang panjang dan berbeza, memerlukan rehabilitasi kuasa dan tradisi. Tidak diragukan bahawa ekoran nyata dari Pencerahan adalah penaklukan semua kuasa oleh akal. Tetapi kata ini bukan esensi kuasa yang dikritik oleh pencerahan. Kuasa di sini adalah sesuatu yang diasaskan pada pengakuan dan pengetahuan. Selain itu, dalam pentafsiran kita selalu berpijak pada tradisi dan ini bukan pengobjektifan proses, dengan kata lain kita tidak memahami apa yang dikatakan tradisi sebagai sesuatu yang lain, sesuatu yang asing. Ia selalu merupakan bahagian dari kita, sebuah teladan dan sebuah pengakuan terhadap diri kita sendiri.

Konsep modeniti sebagai antitesis terhadap tradisi pertama kali digunakan oleh Hegel sebagai konsep epoche – zaman baru adalah zaman moden. Penemuan dunia baru, renaisans dan Reformasi membentuk tiga pintu gerbang epoche bagi zaman baru dan pertengahan.[21] Dari dialektika tradisi dan modeniti Hegel memunculkan adanya falsafah sejarah yang bertumpu pada Roh absolut.

Di dalam Islam, modeniti adalah upaya untuk memurnikan ajaran dari pertambahan dan takhyul yang diperkenalkan oleh ordo sufi dan persaudaraan, sebagaimana juga penafsiran yang kaku yang diwariskan oleh zaman awal. Pemenuhan terhadap tugas ini perlu kembali pada sumber Islam yang asli, al-Qur’an dan al-Sunnah serta mentafsirkan semula terhadap kedua-duanya. Posisi ini dipinjam kaum modenis dari gerakan revivalisme abad kedelapanbelas, khususnya Wahabi di Saudi Arabia, tetapi pemanfaatan sumbernya berbeza. Sementara puak revivalist mengambil pendekatan harfiah dan kaku terhadap teks, sedangkan modenis adalah menemukan semangatnya dan membezakan antara aturan-aturan Islam universal dan aturan yang khas yang sahih hanya untuk period khusus.[22]

G. Perebutan Wacana Ketulenan dalam Islam

Terdapat keberterusan topik yang diangkat oleh para penggagas ketulenan iaitu: keunikan, radikalisme, autonomi, kesatuan, tindakan kelompok, kesamaan dan pelembagaan.[23] Di antara tokoh yang akan dijadikan representasi pemikiran ketulenan dalam Islam adalah Muhammad Iqbal, Sayyid Qutb, Ali Syari’ati dan Mohammed Arkoun. Mereka telah memberikan warna kepelbagaian perspektif dalam melihat semua ajaran Islam untuk diaplikasikan dalam dunia kontemporari.

Keempat pemikir ini adalah pelopor kebangkitan Islam di dunia ketiga sebagai respons terhadap kegagalan developmentalisme yang diwujudkan demi memperbaiki kesalahan kolonialisme, kegagalan liberalisme yang semestinya menyertai pembangunan dan kegagalan modenisme yang berniat menyediakan logika bagi kolonialisme, developmentalisme. Pada waktu yang sama, pencarian ketulenan berupaya melepaskan diri dari dilema subjektivisme, relativisme dan kehampaan makna yang sering terjalin dengan pandangan posmoden mengenai manusia.[24] Para penganjur konsep ketulenan menegaskan adanya piawaian yang dapat digunakan untuk menilai pemikiran dan tindak-tanduk. Mereka menekankan kemungkinan norma-norma yang dipilih secara bebas untuk mengganti norma-norma luaran yang diperoleh dari perspektif Barat yang dominan.

Iqbal mengkritik terjadinya penghakisan identiti, yang disebabkan komitmen terhadap tradisi yang telah lapuk atau semangat nasionalisme yang berapi-api. Justeru, pemahaman realiti itu berangkat dari pemahaman eksistensial tentang diri sendiri.[25] Ia mengajak Muslim sejati untuk melawan mullahisme, mistisisme, dan monarki, serta melawan cara-cara asing.[26] Berbeza dengan Sayyid Quthb yang dikenal sebagai penggagas ketulenan, ia menolak pembahagian mistisisme Timur dan rasionaliti Barat, namun justeru penekanannya pada bagaimana umat manusia boleh bertindak di dunia ini dan tetap menjadi diri sendiri dan mengatasi insting dasarnya demi kualiti spiritual dalam dunia yang dipenuhi keserakahan, kepentingan peribadi, materialisme dan rasionaliti impersonal.

Keunikan juga menjadi perhatian besar Ali Syari’ati sebagai gugatan terhadap tradisionalisme yang telah memburuk menjadi sekadar tata cara yang rutin, dan memfosil kerana mengisolasi Iran dari kekuatan sejarah.[27] sedangkan bagi Arkoun, wacana ketulenan (ashâlah) justeru kembali pada kerangka berpikir ortodoksi yang didukung oleh Nalar Islam, seruan kembali pada gagasan-gagasan transenden yang akan menjadi sebab pengasingan dunia Arab. Arkoun mengatakan:

Wacana tentang ashâlah secara tidak langsung mengekspresikan semua kesenjangan ini bersama-sama dengan penderitaan individu dan kolektif, ketidakberdayaan hidup (mal de vivre) yang selama ini mereka alami. Akibatnya, sebagai ganti dari membuat diagnosis yang dramatik dan brutal – yang efeknya adalah mandeknya energi pada fase krusial tertentu – wacana ini mendukung cara lazim dan damai untuk mengusir kepedihan, menegaskan diri, sebagai mengatasi kesulitan hidup. Dengan alasan tersebut, wacana ashâlah secara struktural lebih baik ketimbang wacana-wacana lainnya untuk diadaptasi ke dalam kerangka pemahaman dan tindakan sosio-kultural di wilayah Maghribi Kontemporari.[28]

Dalam hal keunikan, Arkoun berbeza dengan ketiga pemikir di atas. Iqbal menghidupkan semula bentuk-bentuk kesusastraan lama sebagai alat untuk mengangkat keutamaan kehendak manusia di atas ortodoksi dan penalaran seperti yang dilakukan Nietzsche,[29] untuk menghindari kritik dari skolastisisme. Qutb menyelubungi tafsir al-Qur’an radikalnya dalam jubah ortodoksi, suatu dakwaan bahawa wahyu yang mengatasi sejarah memiliki kekuasaan terhadap historisasi itu sendiri. Bagi Arkoun, pertanyaan epistemologinya, yang mendahului semua pertanyaan adalah bagaimana seseorang boleh mengetahui apa yang terjadi pada masyarakat lama maupun kontemporari. Oleh itu, jika kaum Muslim mencari kebenaran tentang dirinya, mereka bukan hanya harus mengkaji semula “kebenaran” wahyu, melainkan juga menelaah semula semua cara khas yang dengannya “kebenaran” itu dirasakan, difahami, dielaborasi, dijustifikasi, diberi wajah ortodoksi serta dihayati di dalam konteks, waktu dan ruang geografi tertentu. Untuk itu, mereka memerlukan kaedah moden seperti antropologi, psikologi, sosiologi, semiotika, linguistik, ekonomi, falsafah, dan barangkali berbagai disiplin yang lain.
Dari keunikan inilah, Iqbal menyerukan perlawanan terhadap tradisi dan kemodenan yang melanda India dan bagian dunia bukan Eropa lainnya. Kegelisahan ini muncul dari kekhawatiran akan hilangnya jati diri Timur kerana pesona kemajuan material yang ditawarkan Barat, selain menyerang kekuatan mistisisme, mullahisme dan monarki Timur. Semangat inilah yang mendorongnya memasuki kancah politik praktis. Hal yang sama dilakukan oleh Quthb dengan menyerukan sebuah revolusi.

Tidak jauh berbeza dengan kedua pemikir tersebut, Ali Shari’ati meneladankan tindakan revolusioner Muhammad dalam mengubah kehidupan Madinah, lalu Mekah dan akhirnya dunia Arab secara keseluruhan. Sedangkan Arkoun menurunkan oposisi radikalnya terhadap semua bentuk ideologi konvensional: demokrasi, nasionalisme, sosialisme dan fundamentalisme. Masing-masing mendakwa eksklusiviti yang ditolaknya kerana beberapa alasan, iaitu sifat yang menentang sejarah, pengabaiannya terhadap realiti masa silam dan masa kini, dan niatnya untuk menyebarkan pemikiran yang salah.[30]

Dari huraian di atas, Robert D. Lee mengungkapkan pemikiran tulen dari tradisi Barat dan Iqbal, Quthb dan Shari’ati serta Arkoun dengan ciri khas sebagai berikut:[31]

1. Pemikiran ini dimulai dengan pemahaman tentang diri sebagai sesuatu yang unik. Manusia, pertama dan utama, bukanlah pikiran dan kesedaran melainkan daging dan darah yang terlahir dalam keluarga dan kondisi-kondisi sosial tertentu. Pemikiran otentik berangkat dari asumsi bahawa manusia itu memiliki sesuatu yang sama, kecuali keragaman. Meskipun demikian, ada sesuatu yang dinamakan “diri” yang mencari-cari dengan membuat pilihan-pilihan membezakan dirinya dari yang lain. Pilihan-pilihan membezakan dirinya dari yang lain. Pilihan-pilihan ini, agar menjadi tulen, harus mencerminkan kekhasan-kekhasan yang menegakkan konteks. Dalam pengertian tertentu, proses ini tak boleh dielakkan. Diri seseorang menegaskan keberadaannya sendiri dalam dialog dengan orang-orang yang melingkupinya; hal ini mencerminkan cakrawala-cakrawala makna ditentukan oleh konteks, kendatipun dia boleh menolak semua cakrawala makna itu. Kekhasan eksistensial dengan demikian merupakan pemikiran tulen.[32] Sebagaimana kata Heidegger, pemahaman sejati seorang pemikir adalah memahami dirinya sendiri secara kreatif dengan kata lain memahami orang lain berbeza dengan cara dia memahami dirinya sendiri.[33]

2. Aktiviti manusia melahirkan keragaman kondisi yang melandasi individualiti manusia. Pemikiran tulen, dalam segala bentuknya, menekankan bahawa umat manusia menciptakan sejarah mereka dan bererti menciptakan diri mereka sendiri. Yang membentuk manusia bukan hanya apa yang mereka pikirkan atau percayai, melainkan juga apa yang mereka perbuat.[34]

3. Pemikiran tulen menumbuhkan perlawanan terhadap kemodenan dan tradisi. Tradisi menekankan pilihan manusia dan melemahkan inisiatif manusia. Ide utama tradisi mengaburkan fakta bahawa tradisi itu sendiri merupakan produk dari pilihan manusia, tetapi sekarang malah menghalang-halangi pilihan selanjutnya. Oleh itu, sumber tradisi terkadang disebut mitologisasi kerana menganggap pilihan itu telah diberikan semula jadi. Berbeza dengan modeniti yang mengasalkan sumbernya pada rasionaliti.

4. Pemikiran tulen boleh berubah menjadi individualisme radikal, subjektivisme kognitif, dan relativisme nilai. Individu membuat pilihan dalam konteks cakrawala makna tertentu dalan dalam dialog dengan manusia lain tanpa menenukan seberapa luas cakrawala atau dialog itu. Iqbal mencoba menunjukkan bahawa idea tentang diri mencerminkan suatu ikatan dengan Tuhan, yang pada akhirnya mengaitkan umat manusia. Bagi Qutb, Muslim tulen adalah mereka – seperti para sahabat awal Nabi – yang memikirkan kondisi-kondisi mereka dan bekerja sama guna mencapai tujuan. Shari’ati dengan indah melukiskan haji sebagai pengalaman yang mendefinisikan diri, tetapi dalam konteks kesamaan manusia yang amat inspiratif. Arkoun mencuba untuk menunjukkan bahawa umat Islam, Kristian dan Yahudi lahir dari kondisi-kondisi sejarah yang membentuk struktur-struktur keyakinan dan pilihan-pilihan yang terbentuk oleh persekitarannya masing-masing.

H. Penutup

Ketulenan telah berhasil mengatasi ancaman keseragaman terhadap identiti tempatan, namun pada sisi lain ia melampaui tradisi kerana tradisi adalah memutlakkan pada satu pilihan sehingga melemahkan kreativiti manusia. Ketulenan juga tidak memajukan modeniti sebagai pilihan terhadap kebuntuan tradisi, tetapi merangsang penentuan nasib sendiri. Berhadapan dengan kekuatan sains dan penalaran yang begitu dominan, ketulenan mengangkat kembali peranan ketidakmasukakalan dari kondisi dan keyakinan pada peran-peran tertentu.

Seperti diakui sendiri oleh Robert D. Lee, adalah sulit untuk mewakili semua pemikiran gerakan Islam yang secara eksplisit menyatakan dan mengartikulasikan pentingnya ketulenan, selain Shari’ati. Namun demikian dari Iqbal sampai Hassan Hanafi tanpa ada kemajuan pemikiran yang jelas.

Penggagas ketulenan mewakili genre yang berbeza, Iqbal dan Arkoun mencarinya dari elit budaya sedangkan Qutb dan Syari’ati menoleh pada orang ramai. Iqbal dan Arkoun lebih memusatkan pada akar falsafah dan sosial dari kejumudan pemikiran sedangkan dua yang terakhir mewujudkan ketulenan sebagai bentuk perubahan yang berdasarkan mesej-mesej asli al-Qur’an.

Hakikatnya, ketulenan itu adalah bentuk realisasi diri konkrit yang berkaitan dengan persekitaran sosio-kultural dan tidak diuar-uarkan dalam simbol-simbol mercusuar yang dirujuk sebagai keaslian semu. Persoalannya adalah apakah ia berpijak pada asas tertentu atau tidak. Jika yang pertama sebagai pilihan maka seluruh pertanggungjawabannya pada diri dan Tuhan – yang diperlihatkan oleh pemikir seperti ‘Ali Shari’ati, Kierkegaard, Qutb, Iqbal dan Arkoun, dan yang kedua akan mengantarkan pada kekuatan diri dengan mengabaikan Ada di luar dirinya – yang ditunjukkan oleh kaum eksistensialis ateis seperti Heidegger, Nietzsche, dan Sartre.

Namun bagi saya, ketulenan yang berdasarkan wahyu adalah jalan terbaik bagi mewujudkan cita-cita kemanusiaan. Kerana, ia membolehkan untuk menciptakan sebuah masyarakat yang sejajar, adil dan tidak ada kuasa yang boleh mengatasi keadilan Tuhan.

I. Pustaka

Abdul Karim, Karim. Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003)

Adorno, Theodor W. The Jargon of Authenticiy, terj. Knut Tarnowski dan Frederic Will (London: Routledge & Kegan Paul, 1973)

Adorno, Theodor W. dan Max Horkheimer. Dialectic of Enlightenment (New York: The Seabury Press, 1972)

Arkoun, Mohammed. Membedah Pemikiran Islam, terj. Hidayatullah (Bandung: Pustaka, 2000)

_________________. Aina Hua al-Fikr al-Islâmî al-Ma’ashir, terj. Hâsyim Shâlih (Beirut: Dar al-Saqi, 1992)


Berger, Peter dan Thomas Luckmann, “Sociology of Religion and Sociology of Knowledge” di dalam Roland Robertson, Sociology of Religion (New York: Penguin Education, 1978)

Dessouki, Ali E. Hallil. “Modenism” dalam Encyclopedia of Religion, vol. 19 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987)

Edwards, James C. The Plain Things: The Fate of Religion in an Age of Normal Nihilism (The United States of America: The Pensylvania State University, 1997)


Gadamer, Georg-Hans. Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975)

Giddens, Anthony. Masyarakat Post-Tradisional, terj. Ali Noerzaman (Yogyakarta: Ircisod, 2003)

Habermas, Jürgen. The Philosophical Discourse of Modenity, terj. Frederick G Lawrence (Massachusetts: The MIT Press, 1987)

Heidegger, Martin. Being and Time, terj. Joan Staumbaugh (New York: State University of New York, 1996)

Honderich, Ted. The Oxford Companion to Philosophy (Oxford, New York: Oxford University Press, 1985)

Kettler, David. (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984)

Levine, Peter. Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2002)

Manheim, Karl. Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989)

Mun’im DZ, Abdul. “Mempertahankan Keragaman Budaya”, Tashwirul Afkar, Edisi no. 14 tahun 2003

Nasr, Seyyed Hossein. Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Moden (Bandung: Penerbit Pustaka, 1994)

Rahner, Karl dan Herbert Vorgrimmer. Theological Dictionary (New York: Herder and Herder, 1965), hlm. 44.

Robert D. Lee, Mencari Islam Autentik: Dari Nalar Puitis Iqbal hingga Nalar Kritis Arkoun, cet. II, terj. Ahmad Baiquni (Bandung: Mizan, 2000)

Warnock, Mary. Existentialism (New York: Oxford University Press, 1989)

Valerie, Paul. “Tradition”, dalam Mircea Eliade, Encyclopedia of Religion, vol. 15 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987)



Nota Hujung

[1] Tentang kritik terhadap modeniti sebagai pengekalan mitos semula boleh dibaca dalam Gretel W. Adorno dan Max Horkheimer, Dialectic of Enlightenment (New York: The Seabury Press, 1972). Dengan meyakinkan, kedua penulis ini membalikkan ‘mitos’ telah menjadi pencerahan dengan pencerahan menjadi mitologi semula. Huraian ini boleh dibaca di dalam Pengantar dan dikembangkan di dalam bentuk pentafsiran terhadap Odyssey. Semua produk Barat, dari film, radio, majalah, mesin penjawap hingga hasil teknologi yang lain tidak lagi dipandang sebagai pencapaian yang menunjukkan rasionaliti Barat tetapi bahagian dari pengekalan mitos-mitos baru. Kebudayaan telah menjadi komoditi industrialiasi yang boleh diperjual-belikan demi pengumpulan modal yang buta.
[2] Lihat Khalil Abdul Karim, Syari’ah: Sejarah Perkelahian Pemaknaan, terj. Kamran As’ad (Yogyakarta: LKiS, 2003), hlm. 1-2.
[3] Untuk bacaan lebih lanjut lihat Karl Manheim, Ideology and Utopia: an Introduction to Sosiology of Knowledge, terj. L. Wirth dan Edw. Shils (New York: Harvest, 1989), khususnya bab V tentang “Sociology of Knowledge”. Lihat juga penjelasan David Kettler (et.al) bahawa titik tolak pencarian pengetahuan, menurut Mannheim, mesti merupakan usaha oleh pemikir untuk memahami situasi intelektual pada masanya. Dia harus memulai penelitiannya dengan pertanyaan-pertanyaan dan persoalan-persoalan yang dibahas secara luas di dalam komunitinya. Selain itu, Mannheim juga mengemukakan prasangka berdasarkan pendekatan dan kaedah penalaran yang memperoleh kekuatan di dalam generasi pemikirnya, dan ini juga terjadi pada intelektual sastra dan pemikir politik, di mana konflik dan ketidakpaduan menandakan pemandangan bahawa pemikir harus mencari cara untuk menerjemahkan situasi yang lebih jelas dan lebih produktif. Dia tidak menyangkal hubungan integralnya antara pemikirannya sendiri dan pemikiran sezamannya. David Kettler (et.al), Karl Mannheim: Key Sociologists (London and New York: Ellis Horwood Limited Publisher and Tavistock Publications, 1984).
[4] Lihat Georg-Hans Gadamer, Truth and Method, terj. Garret Barden dan John Cumming (New York: The Seabury Press, 1975), hlm. 465. Bandingkan juga dengan Peter Berger dan Thomas Luckmann yang mengatakan bahawa tugas sosiologi pengetahuan adalah menganalisis bentuk-bentuk sosial pengetahuan, proses dengan mana individu-individu memperoleh pengetahuannya serta akhirnya, organisasi institusional sekali gus distribusi sosial dari pengetahuan. Lihat “Sociology of Religion and Sociology of Knowledge” dalam Roland Robertson, Sociology of Religion (New York: Penguin Education, 1978), hlm. 69.
[5] Karl Mannheim, op. cit., hlm. 52. Menurut Nietzche bahawa sejarah itu bersifat kebetulan, yang terbatas ruang dan waktunya. Lihat Peter Levine, op.cit., hlm. 277.
[6] Mohammed Arkoun, Ibid., hlm. 300. Untuk bacaan lebih jauh tentang hubungan Islam dan Barat baca di dalam Aina Hua al-Fikr al-Islâmî al-Ma‘âshir, terj. Hâsyim Shâlih (Beirut: Dar al-Saqi, 1992), hlm. 131-138.
[7] Ibid., hlm. 320.
[8] Ibid..
[9] Lihat Robert D. Lee, Ibid., hlm. 24.
[10] Diambil dari Ted Honderich. The Oxford Companion to Philosophy (Oxford, New York: Oxford University Press, 1985), hlm. 68.
[11] Martin Heidegger, Being and Time, terj. Joan Staumbaugh (New York: State University of New York, 1996), hlm. 247. Pemahaman terhadap diri (Da sein) tidak boleh dilepaskan daripada pemahaman terhadap ketersituasian manusia (being-there). Seperti dikatakan oleh Heidegger: “Penelitian ontologi adalah sebuah cara penafsiran yang mungkin yang kita cirikan sebagai sebuah perkembangan dan apropriasi sebuah pemahaman. Setiap pemahaman mempunyai “memiliki lebih dulu” (vorhabe), melihat lebih dulu (vorsicht), dan menangkap lebih dulu (vorgriff).” Ertinya, sebelum menafsirkan, seseorang telah memiliki prasangka. Heidegger, Ibid., hlm. 219.
[12] Mary Warnock, op.cit., hlm. 8.
[13] Robert D. Lee, op.cit., hlm. 11. Oleh itu, agenda-agenda itu haruslah sesuai dengan masyarakat terbabit, meskipun boleh berlawanan dengan rasionaliti pengatur sosial. Masyarakat haruslah merancang sistem politik, ekonomi, dan sosial agar sesuai dengan kebudayaan mereka sendiri. Di sinilah, awal kesalahan Barat mengimport budaya demokrasi ke Timur tanpa mempertimbangkan situasi lokal yang khas dan unik. Dakwaan universaliti nilai-nilai demokrasi bukan jaminan dan penyelesaian bagi segala persoalan yang dihadapi Timur.
[14] Dikutip dari James C. Edwards, The Plain Things: The Fate of Religion in an Age of Normal Nihilism (The United States of America: The Pensylvania State University, 1997), hlm. 135.
[15] Ibid., hlm. 137.
[16] Baca lebih jauh dalam Robert D. Lee, op.cit, hlm. 35-67.
[17] Paul Valerie, “Tradition”, dalam Mircea Eliade, Encyclopedia of Religion, vol. 15 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 1. Kuasa di sini adalah keterpecayaan dan dakwaan legal terhadap peribadi atau sesuatu (kitab) yang lugas dan boleh diungkapkan, yang mampu meyakinkan orang lain tentang beberapa kebenaran atau kesahihan sebuah perintah dan mewajibkan seseorang untuk menerimanya, meskipun kebenaran atau karakter sahih itu tidak terbukti. Penerimaan terhadap sebuah perintah dari kuasa disebut ketaatan; penerimaan dengan motivasi yang sama terhadap sebuah kebenaran disebut iman. Keduanya adalah mod pengakuan langsung yang didasarkan pada kuasa sebuah perantara. Lihat Karl Rahner dan Herbert Vorgrimmer, Theological Dictionary (New York: Herder and Herder, 1965), hlm. 44.
[18] Anthony Giddens, op.cit., hlm. 19.
[19] Seyyed Hossein Nasr, Islam Tradisi di Tengah Kancah Dunia Moden, terj. Luqman Hakim (Bandung: Pustaka, 1994), hl. 3.
[20] Lihat Georg-Hans Gadamer, op.cit, hlm. 245-253.
[21] Dipetik daripada Jürgen Habermas, The Philosophical Discourse of Modenity, terj. Frederick G Lawrence (Massachusetts: The MIT Press, 1987), hlm. 5.
[22] Lihat Ali E. Hillal Dessouki, “Modenism” dalam Encyclopedia of Religion, vol. 19 (New York: Macmillan Publishing Company, 1987), hlm. 15.
[23] Tema-tema ini sepenuhnya merujuk kepada pemikiran ketulenan Barat, seperti Jean-Jacques, Rousseau, Friederich Nietzsche, Johan von Herder, Martin Heidegger, Jean-Paul Sartre, Antonio Gramsci, Frantz Fanon, Aimé Césare, Léopold Senghor, Julius Nyerere, dan Charles Taylor. Lihat Robert D. Lee, op.cit., hlm. 13.
[24] Ibid.,., hlm. 13.
[25] Simak dalam puisi pendeknya:
tiap atom sangat mengharap kemuliaan:
mendamba buah-diri dari Syahadat seisi bumi!
Hatimu adalah lilinmu,
Dirimu sendiri adalah seluruh cahaya yang kaudambakan;
Kaulah satu-satunya keberadaan dunia ini, yang lain tidak
Ilusi laksana sihir
Dari Gurun menusukkan keraguan pada banyak orang:
Jangan mengeluh bila kaki telanjangnya berdarah
[26] Ibid., hlm. 69. Tetapi, Iqbal dihinggapi ambiguiti dan keterpecahan ketika ia menerima gelar Sir dari Kerajaan Inggris. Ironik, ia tidak menolak dan menerimanya sebagai warga kehormatan dari negara yang justeru menjajah negerinya.
[27] Ibid., hlm. 137.
[28] Ibid., hlm. 167.
[29] Tentang keunggulan budaya Yunani pra-Sokrates sebagai bentuk ideal dari kebudayaan baca Peter Levine, op.cit, hlm. 141-162.
[30] Ibid., hlm. 175.
[31] Diambil dari Robert D. Lee, op.cit., hlm. 27-29.
[32] Sangat jelas, asumsi ini berasal dari pemahaman eksistensialis tentang Ada (Sein). Menurut Heidegger ada (Sein) itu lenyap ke dalam “mereka” (they), oleh kerana itu ia harus pertama kali menemukan dirinya. Untuk menemukan dirinya secara penuh, maka harus “diperlihatkan” pada dirinya di dalam semua kemungkinan otentiknya. Untuk itu kata Heidegger maka Da-sein perlu ditafsirkan dengan penafsiran sehari-hari terhadap dirinya. Untuk bacaan lebih lanjut tentang relasi autentisiti dan Da-sein baca Heidegger, op.cit., hlm. 247-277.
[33] Dikutip dari Peter Levine, Nietzsche: Krisis Manusia Moden, terj. Ahmad Sahidah (Yogyakarta: Ircisod, 2002), hlm. 252.
[34] Bandingkan dengan Nietzsche, di dalam Genealogy of Morals, yang mengasalkan semua kebenaran terhadap penilaian-penilaian kontingen tentang kebaikan dan kejahatan. Diambil dari Peter Levine, op.cit, hlm. 274.



Ahmad Sahidah adalah mahasiswa PhD Bidang Tamadun Islam Universiti Sains Malaysia. Selain sedang menyelesaikan disertasi bertajuk “Hubungan Tuhan, manusia dan alam dalam al-Qur’an: Satu Kajian terhadap Analisis Semantik Toshihiko Izutsu melalui Pendekatan Hermeneutik”, beliau juga aktif menulis rencana di akhbar dan menerjemahkan beberapa buku dalam bidang kajian keislaman dan falsafah.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...