Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Human Interest. Show all posts
Showing posts with label Human Interest. Show all posts

Tuesday, December 07, 2010

Merayakan Peristiwa


Semalam, saya menulis di twitter, menyahuti kicauan teman, Irfan Syauqi Beik, bahwa pagi ini saya akan berolahraga seraya menambah kata, umat harus kuat, agar cermat. Tahun baru Islam, yang dikenal dengan peristiwa hijrah Nabi, tentu menjadi titik penting untuk menentukan resolusi. Sayangnya, pagi ditingkahi hujan, sehingga saya tak bisa menunaikan janji, namun kami menebusnya di sore hari, menikmati trek stadion kampus. Si kecil pun dengan riang berjalan ringan, perlahan.

Saya pun berlari mengelingi trek untuk memeras keringat. Baru tiga putaran, saya berhenti karena melayani perbincangan kawan baru. Isterinya adalah teman ibunya Nabiyya. Jadilah, kami pun ngobrol ringan. Sebelum berpisah, saya berpesan kalau ada waktu keluarga itu menghadiri pengajian Sabtu pagi di masjid kampus, lumayan untuk menjalin silaturahim. Lalu, saya pun melaju lagi untuk meringankan tubuh. Ya, saya merasa tubuh ini makin berat dan malas jika tidak bergerak, terlalu asyik duduk di kursi memelototi komputer. Tak perlu waktu lama, kami pun beranjak dari stadion menuju warung Mamak (India Muslim), Istimewa, untuk mengasup roti canai.

Terus terang, di warung ini kami bisa menikmati keriangan karena lokasinya yang menyenangkan, luas dan bersih. Dari sini, kami pun masih sempat melihat bukit yang hijau, tak jauh. Di sela-sela menikmati roti, selain melihat tingkah si kecil, saya pun membaca berita koran yang mengupas tentang perayaan tahun baru Hijriyyah. Ia menegaskan kembali apa yang disampaikan ustaz dua minggu yang lalu, bahwa hijrah itu secara etimologi meninggalkan yang pertama, menuju yang kedua atau lawan dari tetap. Ya, melangkah dari rumah ke stadion adalah hijrah kecil.


Sunday, May 09, 2010

Malam Ahad


Semalam, kami datang beramai-ramai ke konsulat untuk menghadiri acara temu-ramah dengan Pak Moenir, konsul, yang sebentar lagi akan mengakhiri masa tugasnya. Tak hanya mahasiswa, perwakilan kampus Universiti Sains Malaysia, Encik Marimuthu dan Prof Mohd Yusoff, juga hadir. Ketiga orang ini pun memberikan sambutan. Saya pun sibuk mencatat apa yang mereka uraikan. Ada banyak kata kunci, seperti prestasi, kinerja, terobosan, gambar besar, dan mahasiswa.

Di sela rangkaian acara, Persatuan Pelajar Indonesia memberikan cendera mata pada Pak Moenir. Mas Herpandi berujar bahwa hadiah itu adalah bentuk ungkapan keikhlasan mahasiswa terhadap alumnus Universitas Diponegoro ini. Nilainya mungkin tak seberapa, tambahnya sebagai pembawa acara. Hadirin pun tak bisa menahan tawa. Selain kado itu, seorang mahasiswa juga menyerahkan program tahunan PPI USM, sebagai bentuk ikatan. Bagaimanapun, peran konsulat sangat besar dalam keberlangsungan kegiatan organisasi yang berdiri tahun 1993 tersebut.

Acara ini pun usai. Seluruh tamu diminta untuk makan malam. Tepatnya, sangat malam. Di meja, mereka memilih aneka lauk dan kuah. Agak aneh, saya pun menggrauk pelbagai lauk dan sayur. Padahal, satu sama lain tidak nyambung karena aneka ragam lauk menyatu. Sepatutnya, daging ini tak bisa digabungkan dengan kuah yang itu. Piring itu berubah menjadi onggokan. Sambil menikmati makam malam, kami pun bertukar cerita, dari isu politik hingga humor. Menurut Pak Moenir, para diplomat kita tidak lagi mematut diri dalam pelbagai function. Hal-hal substantif perlu diketengahkan agar pertemuan tak hanya mengurus asupan, dandanan dan hal-remeh yang lain. Sepanjang pengamatan saya, bapak dari empat orang anak itu telah membuktikan dalam berbagai kesempatan.

Tak perlu waktu lama, asupan itu habis. Selanjutnya, acara karaoke bersama. Lagu dan nyanyian berhamburan. Lagu Koes Lus Kapan-Kapan menjadi pamungkas. Sebelum pulang, kami bergambar bersama agar ingatan itu sempat tertera. Kata Pak Moenir, gambar itu akan muncul di facebook, dan saya pun menanti cemas. Ternyata, gambar itu benar-benar nangkring di status dan saya meletakkan pose bersama itu sebagai penanda bahwa betapapun kita mengusung perbedaan, akhirnya semua harus ikhlas hati untuk duduk dan berdiri bersama untuk mengekalkan ingatan.

Saturday, May 08, 2010

Hari Sabtu

Pengajian tadi pagi membahas fiqh terapan, yang disebut fiqh praktis oleh pembawa acara. Sang ustaz mengurai dasar-dasar fiqh yang terangkum dalam lima qawaid fiqhiyyah, yaitu al-umur bimaqasidiha, al-musyaqqah tajlibu al-taisir, al-adah al-muhakkamah, al-dararu yuzalu dan al-yaqinu la yuzalu bi al-syakk. Lalu, apa hubungannya dengan gambar di atas. Tidak ada. Catatan itu berkait dengan tema pengajian sebelumnya, tentang totalitas ibadah. Sementara, untuk kali ini, saya tidak membawa kamera, sehingga gambar yang sebelumnya diletakkan di atas. Sayangnya, di tengah pembahasan si kecil merengek, saya pun harus menggendong dan mengajaknya bermain di masjid.

Meskipun tak sepenuhnya mengikuti uraian ustaz Faizal, saya bisa membayangkan kandungan penjelasan karena asas-asas itu adalah pelajaran yang didapat di pondok pesantren Annuqayah dahulu kala. Meski sekarang, saya perlu memberikan kata-kata baru untuk istilah teknis yang diberikan oleh para ahli fiqh. Demikian pula, adalah perlu dibuat perbandingan agar komunikasi berjalan lebih mulus. Kaedah yang dimaksud mungkin bisa disejajarkan dengan axioma Immanuel Kant, filsuf Jerman. Namun, pensejajaran semacam ini riskan menimbulkan masalah karena sebagian mereka tak menyukai filsafat. Apa boleh buat.

Seperti biasa, selepas pengajian, kami pun beranjak ke warung pecel lele, Batu Uban. Selain makan siang, saya juga menyerap kabar dari si empunya. Pak Darmo seringkali bercerita tentang perkembangan politik mutakhir. Pemilik warung ini pun tahu bahwa SBY akan berkunjung ke Kuala Lumpur dalam waktu dekat. Aha, perjumpaan ini seperti buku dengan ruas. Katanya, kedua negara akan berbincang masalah tenaga kerja. Sebuah persoalan yang tak kunjung usai hingga kini. Di sana pula, kami pun berjumpa dengan Pak Zainal bersama karibnya. Hari Sabtu yang menyenangkan, tentu.

Sunday, October 25, 2009

Menggalang Kepedulian Pekerja

Saya sengaja mengambil gambar mereka sebelum siap berpose. Para pekerja Indonesia diajak Pak Moenir, konsul Jendral RI di Pulau Pinang, untuk mengabadikan pertemuan mereka dalam sebuah acara penggalangan dana untuk korban Gempa Bumi di Sumatera Barat di Dewan KISMEC, Sungat Petani, Kedah pada tanggal 24 Oktober 2009.

Saturday, August 29, 2009

Meraup Berkah Puasa


Hari kedua puasa, kami bersama keluarga Pak Cik, tetangga flat, mengunjungi pasar Ramadhan di Pasar Tun Sardon untuk membeli panganan dan lauk-pauk matang. Hanya sekian menit, kami pun sampai di pasar rakyat, sebelumnya setiap hari Rabu juga menjadi tempat pasar malam. Di tengah melihat begitu banyak pilihan, saya dan isteri mendekati lapak penjual ayam bakar. Tak hanya membeli, kami pun beramah tamah dengan penjualnya, dua orang perempuan asal Madura dan Lamongan. Keduanya telah lima tahun bekerja sebagai pembantu pada majikan Melayu.

Lalu, seusai mengelilingi pasar, kami pun beranjak pulang, menuju Bazaar Ramadhan depan kampus Asrama (lihat gambar di atas). Di sana, kami banyak berjumpa dengan mahasiswa asal Indonesia yang juga mencari menu berbuka. Malah, saya sempat ditawari kurma, yang kebetulan digelar oleh penjual dadakan, mahasiswa aktivis kampus. Karena di rumah masih ada, saya pun meminta diri dan berjanji untuk kembali. Tentu pasar dadakan ini menambah suasana sore itu hiruk pikuk jalan yang sebelumnya sepi. Beragam jualan ditawarkan, namun akhirnya setiap orang hanya akan memilih secukupnya.

Kami pun pulang ke rumah dengan perasaan lapang.

Wednesday, July 29, 2009

Pekerja Tangguh


Mas itu sedang mengecat langit-langit emperan perpustakaan kampus. Ketika saya mengambil gambarnya, pekerja tangguh dari Jawa itu sengaja berpose. Lalu, saya bergegas sambil mengucapkan terima kasih dan dia menukas, terima kasih Pak. Saya tidak ingin mengganggu pekerjaannya, tetapi besok saya ingin menemuinya di sela rehat, mengapa dia bekerja tanpa alat pengaman. Betul-betul, pekerja tangguh, bukan pejantan tangguh, seperti lagu cengeng Ahmad Dani, punggawa Dewa itu.

Friday, June 26, 2009

Buah Tangan dari Teman Karib


Saya menyukai kudapan ini. Oleh-oleh yang dibawakan teman dari Bandung sempat juga didinginkan dan ternyata enaknya bertambah-tambah. Untuk memperlama kenikmatan, saya mengasupnya satu biji setiap hari. Kata sang filsuf yang sempat mampir di benak, kenikmatan itu adalah kemampuan menahan diri. Ya, saya belajar untuk tak mengumbar mengasup makanan sekali asup. Ada semacam upacara yang perlu mendahului, pagi-pagi sekali saya telah menyangga perut ini dengan kudapan ini, lalu minum kopi panas.

Saya membiasakan mengisi perut dengan makanan sebelum kopi menghajar lambung. Jika tidak, lambung merasa perih. Hebatnya lagi, pencernaan lancar dengan minuman yang terakhir ini. Meski, kadang tebersit, bahwa saya tak perlu meminumnya tiap hari karena tak baik bagi kesehatan jantung. Kadang, pagi hari, saya hanya minum teh-jahe untuk menghangatkan badan.

Oh ya, kawan baik itu tak hanya memberi kami Legieta di atas, tetapi juga memberikan bumbu pecel, yang terdiri dari bahan utama kacang yang ditelah ditumbuk. Meski akhirnya diolah tanpa rempeyek, saya menikmati makanan ini dengan krupuk dan tempe goreng. Tanpa mengabaikan menu yang lain, saya sangat menikmati hidangan seperti ini. Bahkan, setiap hari saya bisa melakukannya tanpa merasa bosan. Ya, kadang saya belajar melawan jemu dengan melakukan hal yang sama setiap hari, termasuk makan. Kadang gagal, tetapi saya menjalaninya.

Thursday, June 25, 2009

Mewujudkan Ide Itu Mendebarkan



Gambar ini diambil dinihari di sela-sela menemani celotehan si kecil. Meski sederhana, ia menyimpan banyak cerita panjang. Sebuah ikhtiar untuk memakmurkan surau tempat saya tinggal berjalan sesuai rencana, yaitu pertemuan kedua akan diadakan pada hari Jumat, 26 Juni 2009. Salah satu agendanya adalah mewujudkan pengajaran al-Qur'an untuk anak-anak flat. Sebelumnya, kami telah berbincang dan mencoba mencari cara agar program ini berhasil.

Terlintas di benak, pada sore hari, pengeras suara memperdengarkan lagu-lagu rohani untuk anak-anak, seperti di kampung dulu. Belum lagi, riuh-rendah dan tingkah laku mereka yang membuat senang siapa pun yang melihatnya akan menambah keceriaan menjelang senja. Ya, mereka harus mempunyai tempat untuk belajar dengan riang dan surau adalah ruang mereka mewujudkan tempat 'bermain' sambil belajar, atau sebaliknya. Pembelajaran ini diarahkan pada pengembangan kognitif dan psikomotorik mereka, sehingga proses belajar tak membosankan. Kira-kira begitu.

Sekilas, anak-anak yang tingal di flat mungkin mencapai 30, sebuah angka yang cukup besar untuk memenuhi surau itu. Tentu, dari angka sebesar itu tidak bisa diharapkan untuk mengikuti program ini karena sebagian telah mengikuti kelas al-Qur'an (yang disana disebut KAFA, Kelas Fardhu Ain). Namun, jauh dari itu, kegiatan ini diharapkan juga untuk meramaikan jamaah shalat, terutama maghrib agar surau bertambah meriah, tak sepi disergap malam.

Sunday, June 14, 2009

Kebersihan itu Sebagian Iman


Judul di atas sangat kuat tertanam di benak karena telah diasup sejak kecil. Tak hanya itu, pada waktu itu, saya sering bersirobok dengan kata ini karena sering ditempel di tembok sekolah, tepat di sebelah jadual piket kebersihan kelas. Hal yang sama juga sering ditemukan di kamar mandi masjid atau surau. Nada yang sama juga sering dijumpai di ruang publik, seperti terminal, pasar dan perkantoran, Jagalah Kebersihan! Malah, kata yang terakhir sering diterakan juga di bungkus makanan dalam bentuk ikon, gambar orang yang sedang membuang sampah ke keranjang.

Jika dulu, sampah dibersihkan dengan sapu, sekarang banyak alat yang membantu meringankan manusia untuk menghilangkan kotoran. Gambar di atas menunjukkan dua alat itu tampak akrab. Sapu lidi tetap diperlukan karena alat sapu 'mesin' tak mungkin menyelusup di antara akar belukar pohon yang besar. Ia hanya bisa bertingkah di tanah yang datar. Saya sering menyaksikan kedua alat ini bekerjasama mengenyahkan dedaunan yang rontok karena aus dimakan waktu. Sempat tebersit di benak, bisa nggak pohon itu direkayasa agar daunnya rontok sebulan sekali?

Memang susah untuk menjaga kebersihan ruang umum di kampus karena begitu banyak pohon berdiri menaungi siapa saja yang ada di bawahnya. Lebih-lebih sekarang, musim kemarau mempercepat dedaunan itu berguguran, mengotori jalan, selokan, beranda dan setiap sudut kampus. Dengan ruang seluas itu, agak susah kita menemukan jalanan bersih dari dedaunan. Namun kita susah berterima jika jalan itu dikotori oleh sampah buangan penghuninya.

Sunday, May 31, 2009

Penghibur Jalanan


Penyanyi jalanan ini acapkali menghibur pejalan kaki sepanjang Bukit Bintang, Kuala Lumpur. Wajahnya selalu riang, seperti tak mengenal gundah. Biasanya dia diiringi begitu banyak pemain alat musik yang agak aneh. Lagunya kadang akrab di telinga dan yang lain belum mendengarnya. Kehadirannya menggantikan dingin malam dengan kehangatan. Untuk kedua kalinya, saya melihat mereka mempersembahkan musik alternatif.

Penikmat yang hadir bisa menyumbang dan membeli CD musik mereka.

Saturday, May 16, 2009

Surau Kami Itu


Rencana mengadakan belajar al-Qur'an di surau menemukan titik terang. Dua hari yang lalu, sesudah jamaah Isya, pengurus inti (di sana disebut ahli jawatankuasa) meminta saya untuk memastikan kesediaan mengajar anak-anak flat belajar mengeja huruf dan membaca ayat kitab suci. Pada waktu yang sama, kawan baik saya, Dedi, juga bersedia untuk menjadi pembimbing anak-anak.

Semalam, segelintir calon murid turut hadir berjamaah. Mungkin, dengan pengajian itu, teman-teman mereka yang lain akan sering nongol di surau. Terus terang, kehadiran mereka membuat kami bahagia. Kepolosan mereka membuat surau itu tak suram. Sebelum, jamaah Maghrib, saya sempat menyalami, syuaib, yang dua abangnya tidak hadir karena ada pekerjaan rumah. Iman, anak tetangga kami, salah satu di antara mereka yang acapkali berjamaah.

Subuh tadi, anggota jamaah tak sampai satu baris penuh. Tentu ini bukan sesuatu yang aneh, karena sejak dulu memang udah seperti ini. Seharusnya hari Sabtu dan Minggu, surau ramai karena dua hari itu adalah libur. Suara azan melalui pengeras suara itu ternyata tak mampu mengetuk hati mereka turun ke bawah. Satu pengalaman yang acapkali menyelip di antara suasana subuh adalah kicauan burung. Malah, kadang di tengah sembahyang, sayup-sayup suara jernih itu menyelusup di sela-sela jendela. Jika burung-burung telah bangun sepagi itu, mengapa tidak manusia?

Sunday, May 10, 2009

Surau Kami setelah Pertemuan

Sudah memasuki minggu ke-3 setelah pembentukan pengurus baru (di sana disebut ahli jawatan kuasa), surau kami mengalami sedikit perubahan. Zakri, sekretaris, lebih kerap mengumandangkan azan, sehingga tak hanya terdengar di waktu Maghrib, Isya dan Subuh. Meskipun belum banyak yang hadir, namun gagasan untuk memakmurkan surau kami menggembirakan jamaah. Apatah lagi, Departemen Agama setempat bersedia untuk menggelontorkan bantuan dana untuk pengembangan fisik telah memantik pengurus baru untuk mengancang melaksanakan shalat tarawih pada bulan Ramadhan yang akan datang.

Ya, sejak tahuan 2003, kepengurusan surat flat kami mandek. Perlu 6 tahun untuk hidup kembali dan ternyata pengurus masih menyisakan saldo. Bendahara lama ditunjuk kembali untuk mengisi posisi pengurus keuangan. Saya sendiri bersedia hanya sebagai anggota biasa, karena satu-satunya warga asing yang turut menjadi bagian pengurus. Musyawarah pada waktu itu berjalan lancar dan masing-masing lebih mengedepankan pertimbangan kebersamaan. Meski sebelumnya saya mendengar salah seorang warga keberatan, namun pembentukan pengurus tetap berlangsung.

Saya juga mengusulkan untuk menghidupkan surau dengan penyelenggaraan pengajian al-Qur'an untuk anak-anak. Ternyata sesepuh surau itu menyambut baik dan akan membawa usulan ini pada musyawarah ke-dua, pada tanggal 24 Juni. Tentu dengan sosialisasi lebih awal, pengurus surau akan lebih siap untuk mendata anak-anak yang akan diminta turut serta dalam kegiatan ini. Diharapkan dengan aktivitas ini, surau itu tak lagi lengang di waktu sore dan anak-anak warga flat akan menemukan dunianya yang tak lagi melulu terbekap di rumah memelototi film kartun.

Thursday, May 07, 2009

Merawat Tradisi


Gambar di atas adalah sebagian upacara potong rambut. Tradisi Nabi yang telah dipelihara pelbagai generasi. Demikian pula sebelumnya, saya harus membawa sekantong plastik ari-ari yang diletakkan di bawah kotak bayi. Malam itu, saya harus membawanya ke rumah dan membersihkannya hingga tak berwarna merah, karena darah. Ternyata perlu waktu lama karena darah itu seakan-akan terus mengalir. Aha, saya kemudian meletakkan di wadah yang terbuat dari plastik berlubang, sehingga saya hanya perlu membuka kran dan air mengalir deras. Dalam benak, manusia ternyata mempunyai semacam kepompong sebelum lahir ke dunia.

Keesokan harinya, saya membawanya ke kampus. Lalu, atas jasa baik Pak Supri, teman Indonesia yang sedang mengambil ilmu komputer, ari-ari itu ditanam di belakang rumahnya, keluarga mahasiswa Asing 'Aman Damai'. Alhamdulillah, cangkul kecil itu mampu menggali cukup dalam sehingga 'bagian' dari si kecil itu bisa dikebumikan dengan baik. Lalu, saya memasukkan asam dan garam agar baunya tidak mengundang binatang malam. Kemudian, di atas gundukan tanah itu diletakkan sebongkah batu, semacam tanda, nisan, atau penghalang agar binatang liar yang acapkali berkeliaran di sana tidak menghidu bau sesuatu.

Jauh hari sebelumnya, saya telah membeli secarik kain kafan putih sebagai pemenuhan banyak petuah agar ari-ari itu diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Tentu saja saya tidak menerangi dengan lampu sebagaimana di kampung, karena ia ditanam di belakang rumah seorang kawan. Demikian juga, saya tidak mungkin mengebumikannya di depan rumah, seperti dulu ari-ari saya disemayamkan, karena kami tinggal di sebuah flat. Hingga hari ini, saya tak pernah menyambangi uri (sebutan jiran kami untuk ari-ari) dan saya berharap ia telah menyatu dengan bumi. Damai bersama kebaikan teman-teman yang senantiasa bertanya kabar tentang puteri kami dan sebentuk doa yang mereka berikan. Mungkin kebajikan mereka yang menggantikan cahaya lampu yang biasanya dipasang di atas sebuah tutup yang dibuat dari tanah liat dan berlubang di sana-sini agar pelita yang ditaruh di dalamnya tidak mati kekurangan udara.

Tuesday, October 28, 2008

Merayakan Ulang Tahun

Jauh hari sebelumnya, kawan baik saya, Pak Stenly mengingatkan bahwa pada hari ini, 28 Oktober, kami diminta untuk turut merayakan ulang tahun anaknya, Amel. Semalam, kami memastikan untuk berangkat dari kampus sekitar jam 12.30-an. Akhirnya, niat itu menjadi kenyataan.

Kami pun menuju ke Pizza Hut untuk mensyukuri karunia ini. Puteri semata wayang Pak Stenly dan Ibu Troy ini sedang merayakan ulang tahunnya yang ke-6. Setelah memarkir kendaraan, kami menunggu pesanan sambil bercengkerama. Di tengah kehangatan ini, kami acapkali tergelak mendengar celotehan Amel, karena ada teman sekelasnya yang menyukainya. Aha, sebuah cerita yang lucu. Ups, mungkin pengunjung warung makan ini agak tidak nyaman karena saya merasa kami adalah kelompok yang paling heboh ketika melepaskan tawa.

Meja itu penuh oleh makanan dan minuman, setelah sebelumnya kami menyeruput sup. Ada kesegaran memulai makan siang. Di sela-sela makan pun kami pun masih bertukar cerita dan bahkan sempat bergambar bersama. Sebuah kebersamaan yang mendatangkan tentram. Selamat ulang tahun Amel, semoga selalu sejahtera dan ceria menggengam kehidupan.

Tuesday, October 07, 2008

Isyarat adalah Tanda

Punggung saya terluka ketika tersangkut terali besi jendela. Saya mengaduh keras. Meskipun tidak koyak, tetapi kulit punggung lecet. Ada darah menetes dan memerahi kaos putih bertuliskan Hiking Bukit Bendera. Hadiah dari konsulat ketika mengikuti pendakian bukit tertinggi Pulau Pinang menyambut hari kemerdekaan. Padahal, sisa sakit sebelumnya, akibat terbentur pipa air masih terasa. Duh, tiba-tiba tebersit, ada apakah gerangan ini? Lamat-lamat ketakutan menyeruak bahwa kejadian ini adalah pertanda buruk. Untung, isteri menghibur, "Udah ah, jangan ngelantur".

Namun sekarang saya masih memikirkan dua kecelakaan ini. Mungkin, saya bisa mengatakan bahwa ketidakcerdasan ruang (intellingence of space) yang membuat saya terbentur benda keras. Seharusnya, seluruh gerak saya mempertimbangkan keadaan sekitar, namun malah saya mengabaikan. Celakanya, saya telah menikmati rumah itu selama tiga bulan, sehingga tata ruangnya telah tertanam di benak, tapi justeru saya tidak akrab dan memerhatikan kemana gerakan ini harus diarahkan.

Tapi, biarlah, mungkin saya harus menyemai makna lain bahwa saya belakangan ini tidak lagi memerhatikan keperluan tubuh: berolahraga. Ya, seharusnya setelah bulan puasa, saya memulai rutinitas kembali, jogging atau kegiatan lain yang membuat badan ini renggang. Aha, ternyata inilah cara tubuh saya menegur tuannya agar tidak alpa bahwa tubuh juga mempunyai hak untuk dipanaskan.

Monday, September 29, 2008

Tetangga Menjelang Hari Raya

Dua hari yang lalu, pintu rumah saya diketok. Isteri pun menyambangi. Oh, ternyata tetangga depan, sebuah keluarga Melayu, mengantarkan kue. Kami gembira, karena bukan hanya dapat panganan, tetapi juga perhatian. Meskipun kami tidak begitu dekat, tetapi mereka baik pada kami. Mungkin karena usia yang berbeda jauh, kami belum menemukan tune untuk memulai sebuah pembicaraan.

Malah, kemarin tetangga lantai bawah, mengantarkan puding ketika kami berbuka. Ya, keluarga Indonesia ini juga menyuguhkan wajah indah dalam menyemai silaturahmi. Ada damai menyeruak. Puding itu tidak habis sekali makan, malah saya menyimpannya di lemari es. Baru semalam, saya menghabiskan seakan-akan saya sedang menghitung kebaikan orang lain agar tidak cepat lenyap di ingatan.

Hidup di sebuah flat yang begitu sangat dekat karena tidak ada penyekat memerlukan kehati-hatian agar tidak menimbulkan salah paham. Meskipun hanya beberapa langkah, kami tidak bisa seenaknya memasuki area pribadi mereka. Pertemuan tidak di sengaja di depan pintu dan seulas senyum dan sapa lebih dari cukup untuk mewujudkan hubungan harmonis. Suara kami dan alat elektronik tidak dipasang keras agar tidak mengganggu ketenangan mereka. Lagi pula, kami tidak perlu volume yang memekakkan telinga untuk menikmati hiburan.

Tuesday, September 23, 2008

Kartu Lebaran dari Pimred Jurnal

kemarin, kawan baik saya, Numan asal Thailand memberitahu bahwa ada surat untuk saya di kantor TU kampus. Dalam benak terkelebat mungkin cek honorarium dari Dewan Bahasa dan Pustaka. Karena beberapa hari sebelumnya, pihak penerbit Majalah Dewan Sastera ini menelepon saya menanyakan data diri. Ternyata, saya salah. Sebuah kartu ucapan lebaran dengan stempel Kuala Lumpur bertanggal 18 09 2008.

Setelah dibuka, kartu lebaran tersebut ternyata dikirim oleh Latif Yusoff, ketua redaksi Jurnal Pemikir. Saya senang menerimanya karena biasanya ucapan selamat hari Raya sekarang jarang disampaikan dengan surat pos, tetapi dengan pesan layanan singkat (sms) atau email. Ada gurat kebahagiaan membaca kalimat yang tertera di sebelah kanan: Dengan Ingatan Tulus Ikhlas, Maaf Zahir Batin. Lalu dibubuhi tulisan nama dan nomor telepon.

Saya sendiri pernah menelepon beliau untuk menanyakan kiriman artikel untuk jurnal yang diterbitkan oleh kelompok Utusan Karya ini. Selanjutnya, hubungan kami ditautkan melalui surat elektronik. Sekarang, silaturahmi ini bersemai berkat Ramadhan. Tebersit untuk menjumpai beliau di dunia nyata, agar percakapan kami tentang ihwal intelektual mempunyai wajah yang nyata.

Jakarta adalah Wajah Muram Kita

[sumber gambar: jakartaoldpicture.blogspot.com]

Bulan Juni yang lalu, saya mengunjungi Jakarta untuk mengurus single entry visa di Kedutaan Besar Malaysia dan sekaligus melawat Perpustakaan Nasional Jakarta di Jalan Salemba untuk mendapatkan sebuah naskah kuno yang telah berusia 8 abad, Bahr al-Lahut. Karya abad ke-12 ini telah menjadi penanda awal bagi kesarjanaan Nusantara dalam bahasa Indonesia.

Untuk kedua kalinya, saya mengurus visa di perwakilan negara tetangga ini dan saya mendapatkan pelayanan yang efisien dan profesional. Tidak ada kesulitan. Demikian pula, ketika saya untuk pertama kalinya mengunjungi perpustakaan di atas, kerani menyambut dengan ramah dan betul-betul memberikan pelayanan yang baik. Jelas, ini melegakan karena selama ini kesan sambil lalu pegawai pemerintah dalam melaksanakan tugas pelayanan masih sering ditemukan. Pendek kata, kita juga mempunyai abdi masyarakat yang baik.

Sebenarnya, saya mengagendakan untuk mengunjungi beberapa tempat lain, tetapi mengurungkan niat karena betapa tidak nyaman transportasi umum di ibu kota ini. Busway yang menjadi andalan saya untuk menjangkau pelosok Jakarta sudah tak nyaman. Saya harus menunggu hampir 1 jam sambil berdesakan di bibir koridor. Tak hanya itu, di dalam bus, saya harus berhimpitan dengan penumpang lain. Ya, stiker yang menempel di badan bus berbunyi jumlah maksimal penumpang 85 orang tidak lebih dari omong kosong.

Dibandingkan Kuala Lumpur

Kadang saya jengkel bercampur gemas ketika anggota DPR melakukan studi banding hingga ke Amerika Latin baru-baru ini. Saya tidak tahu apa yang mereka ingin pelajari di sana. Bagi saya, sebenarnya kita tak perlu jauh-jauh belajar mengurus banyak hal berkaitan dengan kebutuhan masyarakat di Republik ini. Padahal, mereka tak perlu terbang jauh ke negeri seberang, sementara negara tetangga telah berhasil mengatasi masalah negerinya. Mungkin, Kuala Lumpur adalah contoh yang paling dekat dan akrab dengan kita.

Kuala Lumpur sebenarnya adalah kota metropolitian yang relatif baru dibandingkan Jakarta sebagai kota besar. Betapa pun banyak gedung-gedung pencakar langit, kita masih disuguhkan dengan taman kota dan diperlihatkan banyak pepohonan berjejer di pinggir jalan. Demikian pula, angkutan umum lebih nyaman dan memadai dibandingkan Jakarta yang tak terurus. Belum lagi, matahari seperti dengan bebas membakar penghuninya karena jarangnya trotoar yang nyaman untuk dilalui.

Kalau kita membandingkan ruang tunggu angkutan umum di Jakarta dan Malaysia, kita betul-betul menemukan suasana yang berbeda. Saya dengan tenang menunggu angkutan umum dengan harga terjangkau tanpa harus khawatir tidak mendapatkan tempat dan berdiri berdesakan. Ruang tunggu juga tak panas, sementara di koridor yang sempit dan tak ada AC membuat penumpang tak nyaman. Meski angin berhembus, tapi terasa pengap karena satu pohon kelapa yang ada di depan transit Matraman tak cukup untuk menahan hawa panas.

Lebih dari itu, busway menggunakan karcis (manual), Light Rail Transit (LRT) KL memanfaatkan kartu gesek (mechanical) sehingga kesan yang dimunculkan tampak berbeda secara mencolok. Pada yang terakhir kita dianggap manusia yang dipercayai, sementara yang pertama diawasi. Ternyata teknologi bisa kadang memanusiakan kita. Pendek kata, Kuala Lumpur secara perlahan ingin membangun masyarakat tepercaya atau trust society sebagai prasyarat dari masyarakat madani.

Segera benahi Jakarta!

Adalah aneh, ibu kota yang menampung uang hampir 80% ini tidak bisa menyediakan fasilitas yang nyaman bagi masyarakat dan pengunjungnya. Ironinya, setiap hari kita disuguhi dialog, opini dan rekomendasi di media, seminar dan sarasehan bagaimana menciptakan Jakarta lebih baik, tetapi pada saat yang sama, kita menemukan ibu kota yang semrawut, centang perenang dan tak ramah bagi pejalan kaki.

Belum lagi, kanal Timur yang sedang dalam penyelesaian, saya lihat pengerjaannya tak dilakukan dengan sungguh-sungguh, sehingga mungkin tak akan selesai dalam waktu dekat. Ini jelas akan mengakibatkan ‘hantu’ banjir akan menenggelamkan sebagian kawasan. Sebuah ironi yang lain. Bencana ini tentu menghapus seketika kepongahan Jakarta sebagai pusat berkumpulnya orang-orang terpilih dari seluruh negeri.

Kegagalan Jakarta untuk mengubah dirinya seakan menempalak ‘wajah’ cantik kota metropolitan yang diterakan dalam latar iklan berbagai produk dan film. Ibu kota ini akhirnya dikapling untuk menjadi pusat orang yang mempunyai uang dengan dibangunnya kota baru di lokasi strategik dan pinggiran yang dilengkapi fasilitas publik lengkap. Sementara, di sebagian besar kawasan kita menyaksikan kekumuhan berserak di mana-mana. Inilah yang membuat saya enggan ‘menjual’ Jakarta pada teman-teman mahasiswa asing di Malaysia. Serta merta, saya bilang agar mereka datang ke Bali atau Yogyakarta saja, jangan Jakarta! Ternyata, hal yang sama juga dirasakan oleh Badrun dan Stenly, mahasiswa Indonesia di negeri jiran.

Boro-boro wisatawan menikmati pesona Jakarta, baru saja mereka menginjakkan kaki di pintu keluar bandara internasional, mereka akan melihat kesemrawutan. Dibandingkan dengan terminal udara di Pulau Pinang saja, apalagi Kuala Lumpur, Bandara Soekarno Hatta bukan tempat yang nyaman untuk memulai perjalanan dan pelesiran di ibu kota. Kadang saya bergumam, betapa naifnya pemerintah menghamburkan uang untuk mencanangkan Visit Indonesia 2008, sementara sarana pendukung tak mampu menyangganya.

Peter Marcuse (2002:102) menegaskan bahwa kota itu terdiri dari zona bisnis, kekuasaan, industri dan perumahan di dalam kawasannya masing-masing, untuk menghasilkan sebuah kesatuan dengan sejumlah dimensi, satu sama lain berkaitan dan sebangun, cabang-cabangnya saling bergantung. Dari uraian ini, Jakarta sebenarnya gagal untuk disebut sebagai kota. Hampir-hampir perumahan bukan merupakan bagian dari cetak biru besar itu. Betapa miris saya melihat banyak warga tinggal di perumahan yang buangan kamar mandi dibuang ke selokan kecil di depan rumah dan menuju sungai. Selain bau dan mengundang nyamuk, kenyamanan mereka menikmati waktu senggang terganggu.

Selama seminggu di Jakarta, saya merasa tidak nyaman menikmati wajah Jakarta. Jika kemudian saya meriang adalah wajar, dan ini tidak dialami ketika saya pernah tinggal di Kuala Lumpur dalam rentang waktu yang sama. Tapi, saya merasa lebih tidak nyaman mendengar para sarjana dan pemimpin elit di Jakarta bermanis-manis di layar kaca menggagas Indonesia yang permai, sementara di rumahya sendiri mereka tidak berdaya mengatasi masalahnya. Jadi, sudah saatnya mereka tak banyak bicara, segera benahi Jakarta!

Monday, September 22, 2008

Buka Bersama

Beberapa hari sebelumnya, saya ditelepon oleh pihak Konsulat Jenderal Republik Indonesia Pulau Pinang untuk memberikan ceramah pada Peringatan Nuzulul Qur’an. Saya pun mengiyakan. Semalam, saya telah menunaikan permintaan itu. Dengan didahului pembacaan kitab suci al-Qur’an oleh Mohammad Nuh, mahasiswa PhD bidang Kajian Islam Universitas Sains Malaysia, dan sambutan oleh konsul, Bapak Munir Ari Sunanda, akhirnya diikuti dengan penyampaian siraman rohani selama tidak lebih kurang 15 menit, dengan tajuk “Dengan Nuzulul Qur’an Kita menjadi Muslim Sejati”.

Sebelumnya, kami, masyarakat Indonesia yang tinggal di Pulau Pinang, berbuka bersama di ruang terbuka kantor konsulat dengan kolak, kurma, kue dan es buah. Di tengah menikmati minum, mereka tampak berbinar sambil berbincang. Lalu, kami bersama-sama menunaikan shalat berjamaah Maghrib di aula. Setelah itu, kami makan ragam menu khas Indonesia yang mengundang selera, seperti lalapan, krupuk, dan rendang. Oh ya, kebetulan ada teman Melayu asal Kelantan yang juga merayakan kebersamaan. Katanya, dia ingin merasakan suasana Indonesia dalam menyambut Ramadhan. Anehnya, kami malah bertukar cerita tentang dunia politik negeri jiran yang lagi hangat mengenai isu peralihan kekuasaan.

Setelah makan besar, kami melaksanakan shalat jamaah Isya dan Tarawih bersama. Mohammad Nuhung menjadi imam shalat malam ini. Sementara Tarawih diimami oleh Ahmad Sahidah. Sesudah shalat witir, kami bersama-sama membacakan doa puasa, kemudian sambil membaca shalawat satu sama lain saling bersalaman. Suasana hangat terpancar dalam suasana seperti ini. Dalam perjalanan pulang, saya meminta kawan baik, Ahmad Farisi untuk memindah gelombang radio ke frekuensi 97.10 fm, radio Sinar, yang selalu menyiarkan lagu-lagu retro. Sepanjang jalan, saya, Farisi, Baim, Aini dan Aris saling bersahutan di tengah suara lagu dan bunyi mesin yang menderu.

Monday, August 18, 2008

Senin dan Hujan

Sebelum saya menginjakkan kaki di parkir kampus, hujan menderas. Serta merta saya menambah kencang tarikan gas agar segera sampai. Meskipun demikian, baju depan dan celana saya basah, tapi tidak kuyup. Andaikata saya tidak mampir ke toko 24 jam 7Eleven untuk mengambil koran the Sun, mungkin saya tidak akan kehujanan. Di sana, saya malah sempat bersua dengan Pak Suharma, mahasiswa PhD Bidang Kerja Sosial, yang sedang membeli rokok Gudang Garam.

Akhirnya, dengan bergegas saya memasuki ruangan komputer kampus. Pakaian basah dan ruangan dingin tidak membuat nyaman tubuh. Anehnya, dengan angin AC, pakaian pun kering. Mungkin karena panas tubuh, bukan dingin penyejuk ruangan. Hujan tambah deras. Setelah membaca sekian koran on line, saya merasa perut keroncongan. Saya sempat membaca tulisan Ulil Abshar-Abdallah di koran Tempo, 'Dunia Islam setelah Olimpiade Beijing'. Sebuah gagasan yang menohok dan sebenarnya pernah saya baca sebelumnya karena diterakan di blog pentolan Islam Liberal ini. Di sela membaca berita dan opini, saya menyempatkan mengirim sebuah artikel opini untuk salah sebuah surat kabar nasional.

Mungkin, banyak orang enggan keluar dalam keadaan hujan lebat. Tetapi, tidak saya. Justeru, saya menikmati jatuhnya butiran hujan langsung ke payung yang saya genggam. Air yang mengalir di aspal dan bunyinya yang indah di selokan membuat saya betah berjalan di tengah hujan. Saya memerhatikan kampus itu tiba-tiba terasa sunyi, meskipun masih ada beberapa mobil berkeliaran dengan lampu yang redup. Di warung, saya sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa melihat lebih dekat tetesan hujan menghunjam bumi. Ya, sambil minum kopi panas dan kroket dingin, saya berkutat dengan buku tentang Kebahagiaan. Aristoteles, dalam buku ini, menyatakan bahwa kebahagiaan itu ditentukan oleh kita, bukan orang lain. Sebuah lontaran yang menantang siapa pun untuk tidak lagi berpaling dari dirinya meraih kesenangan dan makna dalam hidup. Ya, di sini kebahagiaan bukan hanya pemenuhan badaniah tetapi juga spiritual.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...