Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Sepak Bola. Show all posts
Showing posts with label Sepak Bola. Show all posts

Tuesday, February 08, 2011

Nomor 16

Kami mengajak si kecil ke lapangan kampus. Mungkin, ia tak bisa memahami sepenuhnya mengapa 22 orang saling memperebutkan bola, lalu mengopernya lagi. Kami hanya ingin ia merasakan ruang lapang, hijau rerumputan dan semangat kesukanan. Di lapangan inilah, saya pernah mengocek bola, menonton pertandingan persahabatan dan mereguk udara lebih banyak karena langit menggantung dan menghembuskan napas.

Nomor 16 di kaos itu adalah tanggal lahir si kecil. Sebenarnya, saya juga memesan kaos dengan namanya dan bernomor 1, tetapi ukurannya cocok untuk sang ibu. Kaos dan nomor adalah penanda tentang kehendak kebersamaan dan pembedaan sekaligus. Meskipun kami berkaos merah yang sama, namun nomor yang ditempelkan dibedakan agar mudah untuk mengenal si pemakai. Hidup juga begitu, kita hakikatnya bersama-sama mewujudkan mimpi, namun perannya tak sama.

Malah, sebagaimana pertandingan persahabatan di atas, pekerja bersama mahasiswa Indonesia dan staf Universitas Sains Malaysia mungkin setengah mati untuk mengalahkan satu sama lain, namun dalam kehidupan nyata, musuh abadi itu bersemayam di dada kita. Wasitnya yang memimpin pertandingan adalah staf kampus, yang kami saling mengenal secara rupa sebab seringkali terserempak di stadion ketika kami sama-sama berlari di trek.

Tuesday, January 11, 2011

Mengejar si Kulit Bundar

Saya mengambil gambar dari atas menjelang pertandingan persahabatan PPI USM. Tadi sore, saya merumput bersama teman-teman di lapangan sebelah. Meskipun demam masih bersarang, saya melakukan pemanasan agar rasa tak enak enyah. Karena pemain tak cukup, kami meminta dua warga lokal berkebangsaan India untuk bermain. Mereka pun dengan senang hati turun lapangan. Jadilah, permainan berlangsung tanpa wasit dan hakim garis.

Dengan napas tak panjang dan lari tak cepat, saya hanya membayangi pemain lawan dan sekali-kali menerima bola, lalu mengirim ke teman, tak jauh dari saya berdiri. Sekali-kali, saya berlari sekencang mungkin untuk mengejar lawan yang mendapatkan umpan terobosan, hanya untuk menghalang langkahnya. Bagi saya, bola adalah olahraga untuk membuat saya tak bosan berlari di trek, menambah kedekatan dengan banyak orang, dan tentu sekarang memberikan contoh pada si kecil bahwa sukan itu penting.

Sebelumnya, saya sempat ngobrol ringan dengan teman-teman buruh migran asal Indonesia. Mereka sengaja datang untuk merayakan kebersamaan. Mereka bercerita bahwa permainan ini adalah jeda dari rutinitas. Mas Yono, Mas Cholil dan Mas Anton tampak bersemangat mengocek bola. Merek berlari kencang, melesat seperti kijang. Sebelum azan, saya pun beranjak dari lapangan, menepi ke tiang gawang seraya mengambil dan mereguk minuman hingga kerongkongan tak lagi menjerit karena kering. Bola membuat saya haus. Air itu terasa sangat nikmat.

Tuesday, January 04, 2011

”Perang Baru” Indonesia-Malaysia

Jawa Pos, 22 Desember 2010


Oleh: Ahmad Sahidah

SEHARI sebelum tim Indonesia Malaysia turun lapangan di babak penyisihan piala Suzuki AFF 2010, di koran Kosmo! (1/12/10) terpampang judul besar: Malaysia sedia bedil Indonesia. Saya terkejut. Adakah diam-diam di bawah sadar wartawan Malaysia senantiasa bergolak menghadapi saudara serumpunnya sehingga kosa katanya berbau ”kegeraman”?

Mungkin tidak. Sebab, dalam sepak bola, kita telah banyak menyerap perbendaharaan kata yang terkait dengan perang, seperti taktik, pertahanan, serangan, merebut, menguasai, hingga manuver. Apalagi, setelah kalah telak 1-5, koran yang sama menurunkan berita ternyata Malaysia dibedil. Pengakuan ini tentu menghapus prasangka di atas.

Khairy Jamaluddin, ketua Pemuda UMNO (United Malay National Organization), acap menyuarakan pandangan kritisnya mengenai Indonesia. Kali ini tidak. Di twitter-nya, dia menulis nama stadion nasional dengan Gelora Bung Karno damn scary. Berbeda dengan Malaysia, mereka hanya menyebut Stadium Bukit Jalil, nama yang dilekatkan sesuai dengan tempat lapangan bola dan terkesan tidak gagah. Boleh jadi, di sana tidak ada tokoh yang membuat bulu kuduk berdiri. Tampaknya, kita memang lebih menyukai hal-hal besar, sedangkan orang Malaysia hanya menyebut stadionnya yang lebih bersih dan terawat daripada Gelora Bung Karno hanya dengan nama daerah.

Tentu, pertemuan keduanya di final akan membuat dua warga negaradeg-degan, siapa yang akan menjadi pemenang. Namun, harus diakui, warga Indonesia lebih ekspresif dalam menafsirkan laga dua seteru itu. Tiba-tiba, petinggi negara berharap TKI yang bekerja di Malaysia berbondong-bondong ke Bukit Jalil, memerahkan Stadion Bukit Jalil. Seorang sutradara berkicau di twitter, ayo ganyang Malaysia! Sepertinya, pertandingan ini betul-betul menjadi katup dari kegeramanya kepada tetangganya yang sering dipandang congkak dan pongah. Kalau hanya sebatas itu, siapa pun mafhum. Belum lagi, di tengah lapangan, kita akan sering mendengar sumpah serapah terhadap lawan. Namun, semua harus tunduk pada aturan bersama. Itu hanya permainan.

Persaingan

Mengingat di peringkat dunia FIFA Indonesia berada di atas Malaysia, di atas kertas sepatutnya tim nasional kita bisa menang, apalagi sebelumnya membelasah negeri jiran dengan skor 5-1 pada babak penyisihan. Namun, Malaysia tidak kalah gertak. Ia meramalkan bahwa pertandingan final itu boleh jadi seperti Piala Dunia Afrika Selatan, Juli lalu. Sang juara, Spanyol, sebelumnya bertekuk lutut kepada Swiss. Namun, Negeri Matador itu melenggang ke final dan mengalahkan Belanda dengan skor tipis 1-0. Malah koran Sinar Harian memuat berita bahwa kekuatan dua tim itu adalah 50:50 setelah Tim Harimau tampil meyakinkan mengalahkan Vietnam di babak semifinal.

Namun, jauh dari sekadar menumpukan perhatian pada pertandingan, kita juga harus memeriksa seberapa besar dua negara memberikan ruang untuk warganya bermain bola. Ketika final piala Nike ASEANbawah 15 tahun dihelat di Universitas Sains Malaysia pada Juni 2010, salah seorang official Indonesia memuji lapangan kampus yang terawat dan layak untuk dijadikan ajang pertandingan internasional. Malah, ia juga memuji fasilitas stadium Bukit Jalil lebih terpelihara daripada Gelora Bung Karno.

Jadi, perang dua tim itu hakikatnya mengandaikan persaingan dalam banyak hal, penyediaan fasilitas publik, pengurusan olahraga, dan pengaturan ketertiban penonton. Harus diakui, fasilitas, manejemen, dan kesadaran penggemar sepak bola untuk tertib di sini masih rendah daripada di Malaysia. Namun, pada waktu yang sama, kita perlu bangga karena antusiasme pada si kulit bundar ini mencerminkan Indonesia yang kompak. Bola di Malaysia masih menjadi milik Melayu, bukan Tionghoa dan India, sehingga penonton pun masih berasal dari etnik pribumi. Ia belum menjadi perekat kebangsaan sebagaimana di sini.

Antisipasi

Tentu tanpa diminta petinggi Republik, pekerja kita akan datang ke Bukit Jalil, apalagi pertandingan itu melibatkan tim sepak bola Indonesia. Banyak buruh migran yang memenuhi stadion untuk memberikan dukungan. Penulis sendiri melihat dari dekat gelegak penonton kita di sana dengan berteriak dan mengibarkan bendera Merah Putih. Tidak bisa disangkal, di dada warga kita Garuda telah tertancap kuat, tanpa Anas Urbaningrum harus mengatakan senayankan Bukit Jalil.

Dengan dukungan penyediaan bus oleh Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, tentu para pendukung Timnas Merah Putih akan berdatangan ke Kuala Lumpur. Sayangnya, kepastian tiket bisa diperoleh tiga hari sebelum pluit ditiup dan karcis untuk final tersebut diutamakan untuk warga lokal. Namun, bisa dijamin tanpa disediakan bus, warga kita di sana akan menyemuti Bukit Jalil. Tentu, kapasitas stadion yang hanya memuat sebanyak separoh penonton di Senayan tidak akan memberikan peluang yang besar untuk warga Indonesia. Sebab, animo warga lokal untuk menyokong pasukan (bahasa Malaysia untuk tim) kesayangannya juga besar.

Namun, antisipasi kerusuhan di tempat yang sama antar pendukung Christian Gonzales dan pendukung lokal seperti di Piala Tiger tahun 2005 harus dipikirkan. Tentu, kericuhan akan mudah tersulut mengingat bau kemarahan terhadap negeri bekas jajahan Inggris itu masih menguap. Demikian juga warga negeri jiran tidak berterima terhadap perlakuan Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang dianggap melecehkan kehormatan mereka dan mendapatkan perhatian luas setelah media di sana tidak lagi menutupi masalah seperti itu seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, sejatinya, kita harus melihat sepak bola sebagai ”perang” yang mengedepankan sportivitas dan katup bagi sikap agresif yang merugikan. Apa pun hasilnya, ia seharusnya menjadi cermin dari kehidupan berbangsa yang ingin maju, yaitu penyemaian disiplin, kekompakan, kepatuhan, dan ketahanan. Inilah perang sesungguh-nya. (*)


*) Dr Ahmad Sahidah, peneliti Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universitas Sains Malaysia.


Saturday, August 22, 2009

Sebagian Kebersamaan Kami di Sana


Sebagian besar tampak muram karena tim yang didukung kebobolan dan tanpa bisa membalas. Namun, perasaan seperti ini adalah wajar. Agak jarang seseorang merasa gembira menerima kekalahan, dan sangat tidak mungkin berjingkrak kegirangan untuk merayakanya. Di sela kesedihan ini, mungkin ada sesuatu yang menyembul, yang bisa dimunculkan kegembiraan karena telah berhasil bermain dan menyuguhkan pertandingan bagi khalayak.

Di tengah minimnya dana, kerjasama antara mahasiswa telah mampu keluar dari mitos 'tak ada dana, tak ada kegiatan'. Kegiatan sebegini telah menantang siapa pun untuk saling bahu membahu mengatasi keterbatasan. Pekerjaan ditanggung setiap individu yang telah disepakati pada rapat penyusunan panitia, tukang motret, konsumsi, transportasi, perlengkapan, acara dan lain-lain. Mereka pun tak dibayar, malah kaos panitia berwarna hitam yang tertera kata Crew PPI USM CUP IV adalah hasil urunan setiap panitia. Ya, mereka tidak hanya tidak diganjar dengan uang, malah harus merogok kocek untuk menyukseskan perhelatan.

Perasaan senasib dan komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi adalah kunci keberhasilan program tahunan Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia kali keempat ini. Paling tidak, panitia telah memberikan tontonan final yang menarik antara PPI Universitas Islam Internasional Malaysia dan Universitas Nasional Malaysia, yang berakhir skor tipis 3-2. Pemain terbaik, Apim, yang bernomor punggung 10, betul-betul menyuguhkan atraksi yang menarik. Dari tribun saya bersama para penonton berdecak kaum karena mahasiswa UIAM ini berhasil melewati beberapa pemain dan acapkali membahayakan gawang lawan.

Akhirnya, dari semua olah tubuh ini, acara dipamungkasi dengan doa, agar raga tidak liar.

Tuesday, May 05, 2009

Bermain Bola



Ini peristiwa biasa, seperti kebanyakan orang melakukannya. Namun, bagi saya, ia sesuatu yang baru. Pertandingan persahabatan antara mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Sains Malaysia. Saya didapuk sebagai pemain untuk tim pascasarjana. Beberapa hari sebelumnya, tim 'tua' ini telah bersuara di milis untuk menentukan posisi.

Pada hari pelaksanaan, saya berangkat dengan Iman, anak tetangga jiran flat. Sayangnya, meskipun semangat membaja, saya tidak bisa turun lapangan. Demam semalam masih mengendap dengan senang. Saya hanya menonton dari kejauhan. Meskipun saya bisa memaksa diri untuk bermain mengocek bola, panas sore itu tentu akan menguras tenaga dan menyengat kepala yang sebelumnya diserang pening. Agar bisa bertahan lama, saya meneguk air yang disediakan panitia. Anehnya, segar tak kunjung datang. Meski, Didi, koordianator acara ini, menelepon dari lapangan agar saya menggantikan pemain lain, saya tak kunjung beranjak.

Sebelum usai, saya dan Iman pulang. Saya tetap merasa kegembiraan. Teman-teman Indonesia yang belajar di seberang berpayah-payah datang untuk meramaikan acara itu. Tentu, teman-teman S1 tampak paling siap dengan kostim dan latihan yang rutin. Mereka juga menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Selain tepat waktu, mereka juga turut membantu kepanitiaan kecil agar main bareng ini berjalan sukses. Foto di atas diambil oleh Mahda, mahasiswa S1 yang sekarang sedang pulang liburan dan bercerita ingin memborong bacaan di toko buku Medan.

Saturday, June 14, 2008

Tim Orange Menang

Jam 2 pagi, kawan karib saya menelepon, mengingatkan janji yang ditautkan semalam untuk menonton bola, Belanda melawan Perancis. Saya sekuat tenaga bangun dan berusaha melawan kantuk karena baru tidur jam 1-an. Ya, sebelumnya saya ngobrol dengan Haswin Muhammad, mahasiswa asal Indonesia yang revolusioner.

Dengan langkah pelan, saya mengusap muka dengan air. Lalu, kami berdua turun ke bawah dengan motor suzuki. Di restoran Khaleel, kursi penuh dengan penonton dan kami pun beranjak ke blok sebelahnya, restoran Istimewa. Permainan baru berlangsung 10 menitan. Hiruk pikuk dan tempik sorak menyelingi udara malam di warung makan itu. Di sana, saya melihat Abraham, teman Indonesia yang bekerja di Cititel dan di pojok sana Trissy dengan tiga teman bulenya juga sedang menikmati tontonan permainan bola.

Aroma Nescafe panas membantu saya tak larut dalam kantuk. Terus terang, meskipun tak segairah menonton Brazil bermain, saya berada di barisan Tim Negeri Kincir Angin itu. Jika akhirnya ini tim Oranye ini menang, saya pun gembira. Begitu saja. Ya, tak lebih. Namun, saya melihat beberapa penikmat bola terganggu dengan sekelompok penyuka bola lain yang bercanda dan tertawa keras di bagian tengah warung makan. Mereka terdiri dari 20 lelaki dan 1 perempuan. Saya lihat beberapa orang menoleh melihat kerumunan membuat gaduh.

Tapi, biarlah, anggaplah ini bonus kita berada di keramaian.

Tuesday, June 10, 2008

Nonton Bola Piala Euro, untuk apa?

Saya sengaja memasang jam alarm pada angka 2 pagi di telepon genggam Motorolla C115 itu. Dengan niat bulat, saya ingin menikmati pertandingan antara dua tim tangguh, Belanda dan Italia. Saya menjagokan negeri kincir angin. Tidak tahu, mengapa? Gol pertama tak begitu meyakinkan karena off side. Kedua dan ketiga lumayan bagus, malah kedua yang dilesakkan oleh Wesley Sneijder luar biasa.

Untuk apa saya berlelah-lelah bangun? Paling tidak, saya bisa menunaikan shalat tahajud. Meskipun, ini bukan tujuan utama, tetapi saya merasakannya sebagai bagian dari mengembalikan kembali kebiasaan seperti di pondok, pagi adalah doa. Dengan berjalan kaki, saya menikmati langkah menelusuri jalan konblok dari flat ke restoran Khaleel. Dengan menenteng tas yang berisi dua buku, Fiqih Lintas Agama dan Social Roots of Malay Left, saya melihat jalanan masih sepi. Di rumah makan itu pun, tak banyak orang yang menanti pertandingan sepak bola terbesar kedua setelah Piala Dunia ini. Saya pun duduk dan membuka buku Fiqih yang membicarakan isu hubungan antaragama. Sang pelayan, Mas Teguh, menanyakan minuman, saya menjawabnya milo panas.

Sepanjang pertandingan saya kadang diserang kantuk. Tak jarang tangan menyangga kepala agar saya tidak jatuh dari kursi. Kalau pun saya bisa mengikuti perlawanan ini hingga selesai, tetapi tak sepenuhnya saya membelalak. Setelah usai, saya pergi ke toko 24 Jam, 7eleven untuk mengambil koran gratis The Sun dan sekalian membeli pulsa RM 10 (Rp 28.400). Hujan makin deras, dan saya pun tertahan dan duduk di depan toko ini sambil membaca surat kabar. Karena bosan dan kadang mata berat, saya pun beranjak dan menepi ke depan toko untuk merebahkan tubuh yang lelah. Baru pertama kali dalam hidup saya tidur di depan toko layaknya gelandangan. Dengan berbantal buku dan koran, saya mencoba untuk lelap, namun tak kuasa memejamkan mata dengan nyenyak.

Akhirnya, saya menerobos rintik dan berjalan agak bergegas agar segera sampai ke flat. Memang, baju basah, tetapi di kamar saya merasa lebih nyaman. Malah, sambil menunggu azan, saya iseng-iseng membuka internet untuk membaca berita koran on line. Di tengah kantuk yang tersisa, saya meninggalkan komputer dan shalat tak lama setelah azan dikumandangkan. Biasanya saya melakukannya di surau, kali ini tidak. Lalu, saya pun berbaring di ranjang agar tak uring-uringan gara-gara kekurangan tidur.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...