Monday, October 25, 2010
Peristiwa Dua Hari
Saturday, May 16, 2009
Makan Pecel di Warung Jawa
Dua orang ini adalah kawan baik, satu dari Bandung dan yang sebelahnya berasal dari Trengganu Malaysia. Siang itu, kami makan siang di sebuah warung Jawa yang sangat terkenal di kalangan mahasiswa asal Indonesia yang belajar di Universitas Sains Malaysia dan juga disukai oleh orang lokal. Malah, saya pernah mengalami keterkejutan karena pada satu waktu pengunjung warung makan ini adalah warga Malaysia, termasuk keturunan Tionghoa, tak satu pun kursi itu diduduki oleh teman-teman dari Indonesia.
Di sana, kami berbincang banyak hal, dari politik hingga budaya. Tentu, obrolan seperti ini bersifat spontan. Tidak jarang dalam percakapan timbul kelucuan. Mungkin dalam keadaan santai seperti ini kita mudah memahami orang lain karena mereka tak lagi dikerangkeng formalitas, serba santai. Celetukan kadang membuat lebih mudah pendengar memahami orang lain dan ini acapkali keluar dalam kesempatan duduk semeja mengasup makanan. Hal-hal yang tidak disampaikan di ruang resmi bisa nyelonong begitu saja. Sementara teman Melayu saya lebih memilih diam jika berkait dengan politik.
Pada waktu itu, saya juga pergi bersama Pak Stenly dan Mas Donny, asal Aceh, yang sebelumnya telah berjanji makan bareng. Hal lain yang menarik dari kunjungan ini adalah kedekatan kami dengan pemilik warung, Pak Darmo. Bagi kami, beliau adalah gudang informasi. Mungkin, sebagai orang yang banyak menerima kedatangan pelbagai latarbelakang pengunjung, beliau menyerap banyak percakapan sehingga sering menghadirkan sesuatu yang baru. Tadi, malah, dengan serta merta lelaki asal Lamongan ini menyatakan pendapatnya bahwa wanita tidak perlu menjadi orang nomor satu di Republik kita itu. Menarik, bukan? Atas informasi ini, Pak Stenly menukas apakah di Jawa keberterimaan pada pemimpin perempuan masih rendah? Aha, ini memerlukan survei. Anda mau membantu?
Tuesday, November 25, 2008
Mewaspadai Teror Lain
| | |
Koran Surya, 21 November 2008 | |
SETELAH pelaku teroris bom Bali, Imam Samudera, Ali Gufron dan Amrozi, mengembuskan napas terakhir di tangan regu penembak, apa yang tersisa di benak kita tentang pelaku teror? Mungkin kita bergumam pelan, mereka telah menyia-nyiakan hidupnya yang seyogianya bisa digunakan mengubah keterpurukan umat dengan lebih sabar. Sejatinya, tekad mereka yang bulat untuk lebih bermanfaat dalam menyebarkan kebajikan semestinya dengan cara yang menghargai kehidupan, bukan menghanguskannya. Sudah saatnya, penganut agama menyadari bahwa ajaran agama perlu dikembalikan kepada pangkalnya, menyelamatkan manusia dan lingkungan. Meskipun kelompok perusak ini kecil, namun dampaknya besar bagi keseimbangan kehidupan. Perlu secara luas ditegaskan bahwa tindakan teror semacam itu bukan jihad dan dengan sendirinya berada di luar ajaran resmi Islam. Majelis Ulama Indonesia (MUI) telah menunaikan tugas ini dengan cemerlang. Lalu, pernahkah kita memikirkan tindakan teror lain menghantui kehidupan kita setiap hari? Meski tidak seheboh teror bom Marriott, Bali dan Kuningan, korban obat terlarang, misalnya, menimpa siapa saja. Korbannya justru lebih banyak dan menyebar, tidak pandang bulu. Tidak itu saja, keluarga yang bersangkutan mengalami goncangan yang dahsyat. Bukankah ini adalah kejahatan kemanusiaan yang sempurna? Lalu, adakah mobilisasi yang memadai dari pihak terkait dan keprihatinan publik terhadap masalah ini? Makna Lain Terorisme Betapapun ragam definisi istilah terorisme ini ditemukan, namun satu hal yang disepakati adalah sasaran korban adalah masyarakat kebanyakan, bukan kombatan. Lalu, bagaimana dengan korban obat terlarang, dampak penggundulan hutan terhadap kehidupan khalayak dan kegagalan negara menyejahterakan rakyatnya yang sama-sama membunuh, meskipun secara perlahan? Tidakkah ia juga tindakan teror dengan senyap? Belum lagi, tindakan sebuah kelompok keagamaan yang telah secara serampangan membawa bendera agama melakukan tindakan anarkisme, baik secara simbolik maupun fisik yang ada di sekitar kita. Sebenarnya, kata teror tidak hanya diungkap dalam kaitannya dengan pelaku kekerasan dengan sasaran sarana publik atau masyarakat umum. Ia juga digunakan bagi keadaan masa kini dimana serangan konsumerisme telah meneror masyarakat dengan iming-iming citra yang akan melekat pada penggunanya. Produk pelangsing tubuh, pemutih kulit, operasi tubuh dan lain-lain juga telah mengantarkan masyarakat pada kematian eksistensinya dan diam-diam ini juga menimpa kaum lelaki. Terlalu banyak di luar sana mereka yang merasa cemas dengan keadaan tubuhnya, sehingga mereka selalu mengalami kecemasan. Tidakkah ini termasuk dalam pengertian korban teror? Demikian pula, pengaruh resesi ekonomi dunia akibat kegagalan negara Amerika mengelola ekonominya juga menimpa kehidupan masyarakat Indonesia. Belum lagi dampak krisis moneter yang menggerus daya hidup mereka. Kini, ada ancaman baru yang sedang menganga. Boleh ditebak, masyarakat kebanyakan akan semakin susah memenuhi kehidupan sehari-hari, seperti memenuhi biaya pendidikan, kesehatan dan kesejahteraan. Jelas ini adalah teror nyata yang secara perlahan menghantui hari-hari mereka. Melawan Teror Tindakan aparat membekuk pelaku premanisme di beberapa kota besar Tanah Air adalah sebuah tindakan simpatik yang perlu dihargai. Memang, tindakan terorisme mengambil pelbagai bentuk. Bagaimanapun, premanisme telah menjadi momok yang menghalangi masyarakat menikmati hidup dengan nyaman di negerinya sendiri. Suasana malam yang seharusnya menjadi waktu luang melepas lelah setelah seharian bekerja, menjadi penghalang karena kejahatan sedang mengintip untuk menyergap korban. Mereka inilah yang sering memalak masyarakat kecil dengan alasan sebagai ongkos keamanan. Kita tentu meminta aparat melakukan tindakan yang sama terhadap penjualan minuman keras yang masih diperjualbelikan secara bebas. Peristiwa tewasnya beberapa pemuda yang teler atau melakukan tindakan kriminal akibat pengaruh alkohol sering kita dengar. Pemberantasan minuman keras ini, termasuk penyalahgunaan obat terlarang, tidak sulit dilakukan jika aparat melibatkan masyarakat luas untuk memberikan informasi melalui layanan pesan singkat (SMS). Pihak berwenang harus menyebarkan iklan layanan masyarakat yang meminta masyarakat memberikan informasi tentang penyakit masyarakat ini kepada pihak berwajib secara langsung untuk diambil tindakan. Dan mungkin yang juga perlu diperhatikan secara sungguh-sungguh, kemiskinan adalah bentuk teror yang paling akut. Adalah tidak keliru jika Mahatma Gandi, tokoh kemerdekaan India, menyatakan kemiskinan adalah bentuk kekerasan yang paling buruk. Namun media televisi kita belum bersedia menyorot masalah ini sebagai isu secara terus menerus agar kita menemukan rumusan bersama membasmi teror yang jelas-jelas ada di sekeliling kita. Kalau ini dilakukan, dampaknya luar biasa. Mungkin kemewahan yang selama ini berdiri sombong di tengah masyarakat bertukar penampilan dengan kedermawanan. Uang yang bertaburan untuk iklan politik dialihkan pada pengembangan ekonomi rakyat. Mereka yang sedikit mempunyai uang akan menyumbangkannya untuk amal kebajikan. Jika ini tidak dilakukan, kita telah turut andil menyebar teror terhadap masyarakat. Lalu, siapakah sebenarnya pelaku teror itu? Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban dan Research Assistant Staff pada Universitas Sains Malaysia |
Monday, October 27, 2008
Belajar Mendengar
Dalam kuliah umum di kampus yang mengabil tema "Politik Melayu Islam: Kemelut dan Penyelesaian", saya betul-betul belajar menjadi pendengar. Tan Sri Muhyidin Yasin, Menteri Industri dan Perdagangan Antarabangsa memukau para hadirin dengan menyodorkan masalah politik Melayu. Sayangnya, beliau membatasi pada peran UMNO dan mengenyampingkan partai dan kelompok lain. Tentu, politisi dari Johor ini mempunyai hitungan tersendiri.
Memang tidak ada yang baru dari kuliah yang disampaikan, karena isu seperti Melayu tergugat setelah kekalahan Barisan Nasinal pada pemilu ke-12, kontrak sosial, dan dasar ekonomi baru telah banyak dibahas di media. Alih-alih saya mendapatkan banyak ide baru, malah calon orang nomor dua dalam UMNO ini melakukan kampanye dan propaganda. Saya heran mengapa ISDEV Fakultas Ilmu Kemasyarakatan sebagai pihak penyelenggara meloloskan program kuliah semacam ini. Namun, saya merasa lebih tenang ketika dalam sesi pertanyaan ada banyak penanya yang mencoba menggugat keadaan yang dianggap tidak adil, meskipun tampak seorang penanya memprovokasi keadaan dengan menyinggung secara tidak langsung Datuk Seri Anwar Ibrahim sebagai pemimpin tidak layak karena dianggap penerus kaum Nabi Lut. Ada rasa tidak nyaman di kalangan peserta kuliah dengan pertanyaan tendensius ini.
Namun, ini adalah ikhtiar yang patut dihargai karena selama ini perbincangan politik tidak pernah diadakan secara terbuka di kampus. Paling tidak, meskipun memberikan keuntungan pada pihak berkuasa, oposisi bisa menuntut hal yang sama untuk berbicara di universitas agar mahasiswa bisa menyerap banyak perdebatan yang sehat.
Thursday, October 09, 2008
Telepon Teman Baik tentang Kabar Baik
Selain itu, kawan baik di atas juga akan memberikan majalah tersebut karena saya tidak sempat memilikinya. Ternyata tulisan itu dimuat pada edisi bulan September. Sebelumnya, kawan baik saya dari Aceh mengirimkan sms tentang artikel saya di koran lokal. Tentu, ini membantu saya melacak tulisan-tulisan saya yang berserak, yang kadang luput dari perhatian. Lebih dari itu, tulisan di atas dimuat di koran lokal yang menambah khazanah tulisan dalam bahasa Malaysia.
Dari pengalaman di atas, saya dengan sendirinya telah memelihara silaturahmi dengan teman-teman Malaysia yang mempunyai perhatian pada pemikiran keislaman dan sekaligus bertukar pendapat dalam mengkayakan pengetahuan mengenai pelbagai isu berkaitan dengan dunia Islam. Lebih dari itu, ikhtiar semacam ini akan makin mendekatkan emosi intelektual, yang selama ini kadang berseberangan. Tanpa kehendak untuk mengungkapkan apa yang berkelebat di benak, kita tidak akan pernah memahami liyan. Perbedaan, bagi saya, tidak perlu dipahami penjarakan. Justeru dengan ketidaksamaan ini, saya makin meyakini postulat yang diungkapkan Georg-Hans Gadamer, filsuf Jerman, yang menegaskan bahwa kita benar-benar memahami sesuatu hal, jika kita memahaminya secara berbeda. Akur?
Saturday, September 27, 2008
Menyelaraskan Dunia Dakwah dan Politik
Opini
● 27/09/2008 09:03 WIB
[ penulis: Ahmad Sahidah | Topik: Agama]
Dalam hidup bernegara, Muslim terbelah pada dua kelompok, Islam politik dan etik. Keduanya hakikatnya sama-sama ingin mengungkapkan bahwa umat Islam perlu bertindak untuk melakukan perubahan. Yang pertama meyakini bahwa politik boleh dijadikan sarana untuk berdakwah sementara yang terakhir meragukannya karena dikhawatirkan distortif dan dijadikan kendaraan untuk raihan kekuasaan sesaat.
Tentu Kekhawatiran ini bisa dimaklumi karena dalam sejarahnya dakwah telah disalahgunakan oleh banyak pemerintahan zaman Islam dahulu untuk mengukuhkan kekuasaan. Dakwah di dalam sejarahnya telah digunakan untuk menyebarkan klaim tertentu dari pelbagai dinasti, seperti Abbasiyyah dan sekte-sekte Ismailiyyah. Tidak saja para dai dari dinasti berhasil merekrut banyak pengikut, baik bagi doktrin agama maupun afiliasi politik (Dale F Eickelman dan James Piscatori, 1996).
Namun, juga tak bisa disangkal bahwa banyak gerakan Islam yang menggunakan politik untuk menyampaikan dakwah sebagai perpanjangan dari tafsir terhadap nilai-nilai keagamaan yang diyakini. Keyakinan partai politik Islam yang mengandaikan bahwa politik boleh diinjeksikan dalam dakwah untuk menegakkan masyarakat Islami bukan fenomena baru. Malahan, partai politik berafiliasi Islam di Turki, Partai Keadilan dan Pembangunan (Adalet ve Kalkınma Partisi), telah meraup suara signifikan untuk menjadi penguasa. Sebuah kemenangan struktual gerakan Islam yang memberi banyak ilham pada kelompok yang sama di seluruh dunia.
Politik adalah Alat Dakwah
Pesimisme bahwa politik mampu menyampaikan pesan dakwah bisa dipahami karena kekhawatiran sifat politik yang cenderung mengotakkan masyarakat dan pada masa yang sama mempunyai kepentingan jangka pendek, meraih kekuasaan. Tapi, flatfom dakwah, mengutip Didin Hafidhuddin, juru dakwah, yang menegaskan bahwa politik itu harus didasarkan pada kebaikan, keikhlasan, kejujuran, kebersihan serta kebersamaan menjadi tantangan baru bagaimana menyelaraskan antara politik dan dakwah. Tugas berat ini sejatinya hanya bisa diemban oleh para nabi.
Jika memang demikian, tuntutan yang harus diajukan pada politisasi dakwah adalah konsistensi penggiatnya untuk berlaku sesuai dengan sifat-sifat yang dilekatkan pada kegiatan dakwah di atas. Tapi, sayangnya, kita tidak menemukan kerja nyata partai politik Islam yang betul-betul berusaha mewujudkan kemaslahatan umat jangka panjang. Tindak tanduk mereka menunjukkan prilaku serampangan, egois dan elitis. Mereka bergerak menjelang pemilu, itu pun hanya berkoar-koar di atas panggung.
Belum lagi, partai politik Islam hanya mengandalkan mobilisasi massa untuk menunjukkan emosi keagamaan artifisial. Selain itu, tidak jarang jargon-jargon diteriakkan untuk memancing keterlibatan khalayak dan tentu ini hanya akan meninabobokkan masyarakat kebanyakan sehingga tidak memahami hakikat dakwah dan politik. Meskipun cara semacam ini masih memancing banyak orang untuk turun ke jalan, tetapi ia tidak akan mengubah keadaan, hanya menambah hiruk pikuk dan hingar bingar kalau Islam itu mengurus tidak hanya akhirat, tetapi sekaligus dunia. Selebihnya, para penggiatnya tidak lagi menyambangi konstituennya setelah duduk di kursi parlemen.
Oleh karena itu, jika kita menemukan partai politik yang bekerja sepanjang masa untuk meningkatkan keterampilan, kesejahteraan dan kesehatan masyarakat luas, maka dakwah yang dijadikan legitimasi keterlibatan sebagian umat Islam dalam dunia politik adalah absah. Dengan demikian, partai seperti ini tentu saja memerlukan kepiawaan dalam pelbagai bidang disiplin dan keahlian, sehingga kampanye yang dilakukan tidak hanya demonstrasi jalanan dan membual di atas podium, tetapi juga kerja-kerja dan pelayanan sosial secara berkelanjutan.
Bagaimanapun, dakwah yang disterilkan dari politik tidak dengan sendirinya sepi dari kepentingan sesaat pelakunya. Malah, tidak jarang, para penggiat dalam organisasi keagamaan secara tidak langsung menjadikan kedudukannya untuk melakukan tawar menawar dengan kekuatan politik untuk didorong menjadi pengumpul suara atau bahkan calon pemimpin. Jadi, ukurannya tidak lagi apakah dakwah itu harus dijauhkan dari politik, tetapi sejauh mana para pelakunya mempunyai komitmen yang kuat untuk menjaga amanah dengan berprilaku santun dan hidup sederhana. Konsistensi semacam ini tentu akan menepis keraguan banyak orang bahwa politik bisa menjadi alat untuk menyemai kebaikan masyarakat berdasarkan nilai-nilai keagamaan.
Sintesis Dakwah dan Politik
Seorang kawan karib saya yang berkhidmat sebagai kader menegaskan bahwa ia berpartai adalah jalan keluar dari kebuntuan kehendak menyatukan para politisi Islam dalam satu payung. Ia lahir untuk menggerakkan dakwah secara struktural dan kultural sekaligus. Oleh karena itu, di Malaysia misalnya, mereka tidak hanya memenangkan pertarungan pemilihan orang nomor satu di Persatuan Pelajar Malaysia , tetapi juga menyapa buruh migran melalui halaqah dan advokasi dalam bentuk konsultasi psikologi. Sebuah ikhtiar yang tidak dilakukan partai lain dan organisasi keagamaan yang lain.
Namun, kita harus berkaca pada kemenangan partai Islam lain di dunia yang berhasil menawan hati konstituen tidak hanya melulu melesakkan propaganda tentang ketidakterpisahan din (agama) dan daulah (politik), tetapi juga melalui pendidikan, pelayanan sosial, kesehatan dan bantuan kebutuhan pokok bagi orang miskin. Dasar dari kewajiban ini adalah seruan Tuhan bahwa Muslim diwajibkan memenuhi kewajiban al-Qur’an untuk menciptakan keseimbangan (mizan) dan keadilan (‘adl, qist) dalam pemenuhan kebutuhan manusia.
Tentu, jika komitmen dakwah adalah seperti di atas, maka politik itu adalah sebagian dari pintu masuk untuk mewujudkan kemaslahatan umum, sehingga kerja dakwah tidak hanya berusaha untuk mengajak orang lain mendukung perebutan kekuasaan di tingkat lokal dan nasional. Partai politik bersangkutan harus mempunyai program secara ajeg dan berkelanjutan untuk mengelola lembaga pendidikan, klinik, kredit untuk pengusaha kecil, dan subsidi perumahan. Bagaimanapun, pemenuhan kesejahteraan sosial semacam ini akan menguatkan basis massa berbagai kelompok Islam dan sekaligus mendukung mobilisasi massa untuk kepentingan jangka pendeknya.
Saba Mahmood dalam bukunya Politics of Piety: The Islamic Revival and The Feminist Subject (2005) mengandaikan bahwa politik itu tidak serta merta merupakan sesuatu yang perlu ditanggalkan jika umat beragama ingin menampilkan kesalehan. Ia adalah bagian dari cara Muslim mengekspresikan keyakinannya di ruang publik, meskipun tidak harus melalui organisasi politik untuk merebut kekuasaan. Jadi, apapun instrumen yang digunakan untuk memenuhi perintah Tuhan agar setiap Muslim mengajak pada kebenaran tidak perlu dipersoalkan.
*) Penulis adalah Graduate Research Assistant dan Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia
Tuesday, September 09, 2008
Membaca Karya Orang Lain
Mungkin membaca buku adalah hal biasa, tetapi membaca karya berjudul Political Islam, World Politics and Europe, menimbulkan kekaguman yang berbeda. Ia ditulis oleh Bassam Tibi, ahli Hubungan Internasional Jerman, dengan tangan, karena seperti diucapkan sendiri dalam pengantar as an old scholar of a different age of writing, I acknowledge that I am fully computer illiterate. Buku berjumlah 311 halaman ini tentu memerlukan ketekunan karena dikerjakan dengan tangan, yang kemudian diketik ulang oleh sekretarisnya, Elizabeth Luft.
Selain itu, buku ini dimulai ditulis ketika sarjana kelahirkan Damaskus, Syiria, ini mengajar di Universitas Islam Negeri Jakarta. Namun kemudian, ia diselesaikan dalam perjalanannya mengajar di pelbagai negara dunia, seperti Eropa, Amerika dan Singapura.
Berbicara politik Islam, penulis prolifik ini menegaskan bahwa Islam bisa mengakomodasi demokrasi berdasarkan reformasi keagamaan yang memerlukan tidak sekedar sebuah penafsiran ulang terhadap kitab suci. Islamisme, sebaliknya, tidak bisa mencapai tugas ini. Islam di sini dimaksudkan sebagai iman dan etik, yang dia yakini dan Islamisme adalah ideologi totalitarian politik yang ditunjukan sebuah gerakan yang didasarkan pada agama transnasional. Dan yang terakhir inilah yang menjadi tema (subject matter) dari buku ini.
Sebagai seorang Muslim, penulis buku ini meyakini pemahaman reformasi Islam sejalan dengan demokrasi hak asasi manusia, oleh karena itu buku berusaha untuk mencari jalan keluar (exit strategy) di dalam sebuah cara resolusi konflik damai.
Dengan demikian ada dua tantangan bagi masyarakat peradaban Islam, pertama usaha untuk mewujudkan ummah dalam menyusun ulang tatanan dunia, baik dengan jihad global atau Islamisme institusional. Kedua, tantangan Muslim terhadap keperluan untuk memahami demokrasi dan pluralismenya di dunia internasional dalam hubungannya dengan masyarakat yang berbeda. Bagaimanapun, tegas Tibi, demokrasi sekuler boleh dianut oleh Muslim dan diakomodasi dalam peradaban Islam. Tetapi, di dalam konteks kembali pada yang Suci (the return of the sacred), Islam tidak hanya ditegakkan sebagai sebuah agama tetapi juga sebagai sebuah sistem kehidupan di dalam sebuah bentuk politik, dan inilah batu sandungan.
Thursday, August 28, 2008
Tantangan Anwar Ibrahim setelah Menang
Saya sendiri hampir setiap malam mengikuti berita Bulletin TV3 yang selalu menonjolkan calon BN dan memojokkan calon Partai Keadilan Rakyat (PKR). Bahkan, koran Utusan (25/8/08) memuat pernyataan Ade Nasution, anggota DPR, yang menyatakan secara tidak langsung bahwa dukungan Gus Dur terhadap Anwar tidak berarti mewakili suara masyarakat Indonesia.
Tanda-tanda tersebut mulai bertunas ketika Karpal Singh, orang nomor satu di Democratic Action Party (DAP), mengkritik Partai Islam se-Malaysia (PAS) yang masih bersikukuh untuk menegakkan negara Islam, sementara ideologi DAP yang banyak dianggotai oleh masyarakat Tiongkok adalah Malaysian Malaysia.
Tuesday, July 22, 2008
Membuka diri bagi Kemungkinan
Saya tegaskan dalam sesi tanya jawab bahwa saya bukan anggota dan kader PKS, tapi menaruh simpati dengan partai dakwah ini. Bagi saya, politik itu sederhana, yaitu siapa mendapatkan apa dan kapan. Jila, PKS kemudian menyodorkan ide ingin melayani tentu merupakan terobosan baru yang perlu disambut baik oleh komponen masyarakat yang lain. Apalagi, dengan tegas bahwa partai yang banyak digerakkan oleh bekas aktivis mahasiswa Islam kampus ingin mengubah keadaan bersama yang lain.
Sementara, semalam saya mencatat beberapa hal penting dengan komitmen duta besar baru untuk berpegang pada prinsip peduli dan berpihak. Dua kata yang cukup mewakili apa yang bisa dilakukan dengan prinsip ini, yaitu melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara jiran ini. Tentu adalah sangat menyenangkan jika pelayanan yang akan diberikan pada warga negara yang bermastautin berkaitan dengan administasi selesai dalam satu hari, atau apa yang dia sebut dengan one day service.
Dalam kesempatan ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal lebih dekat apa yang diinginkan oleh duta besar baru ini mengingat begitu banyak masalah yang acapkali timbul antara dua negara serumpun ini. Jika kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa bahwa kualitas hubungan antara keduanya tidak setara karena Indonesia tampak tidak berdaya berhadapan dengan mitranya adalah wajar. Misalnya, bagaimana Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian mandatory consular notification yang berisi permintaan terhadap pemerintah Malaysia agar menginformasikan warga negara Indonesia yang mempunyai masalah hukum pada perwakilan Indonesia.
Secara umum, Dai Bachtiar secara lugas telah menjabarkan apa yang ingin dilakukan dalam waktu dekat, seperti mewujudkan hotline, tempat pengaduan masyarakat Indonesia serta menyediakan data base bagi hal ihwal keberadaan warga RI di Malaysia. Angka yang disampaikan mantan Kapolri ini bahwa dari 1700 tahanan di penjara Kajang terdapat 1300 warga negara Indonesia adalah mengejutkan. Jelas kenyataan ini memprihantinkan dan sekaligus persoalan ini akan menjadi data penting bagi para pembuat kebijakan dan komponen masyarakat lain yang peduli untuk memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.
Saturday, June 07, 2008
Jilbab dan Islam Politik di Turki
Graduate Research Assistant dan Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam, Universitas Sains Malaysia
Tayib Erdogan, perdana menteri Turki, meradang. Badan Yudikatif, Mahkamah Agung, makin galak dan mengancam akan membubarkan pertainya. Sang Presiden dianggap tidak becus karena mencoba membuat mahkamah tandingan. Selain itu, pemakaian jilbab di lembaga pemerintah dan perguruan tinggi dianggap telah melanggar konstitusi.
Tanda pembubaran partai berhaluan Islam ditamatkan riwayatnya makin menguat. Terutama karena desakan seterunya, kaum sekuleris. Sebenarnya ini bermula makin terpojok dan tak populernya tentara dan partai sekuler. Kemenangan partai koalisi pemerintah sebanyak 403 dibandingkan 130 yang menentang usulan pencabutan larangan berjilbab melapangkan jalan bagi Muslimah memasuki universitas.
Sebelumnya mereka menanggalkannya untuk menaati undang-undang agar bisa melanjutkan pendidikan. Bahkan, kata profesor saya, Dr Zailan Moris, seorang nenek pun harus melepaskan jilbab jika ingin memasuki sebuah universitas. Satpam kampus memaksa sang nenek meskipun yang terakhir bersikeras untuk tetap memakainya. Jelas-jelas ini menunjukkan sebuah potret fundamentalisme sekuler.
Kalau merujuk pada Consumer Culture, Islam and the Politics of Lifestyle: Fashion for Veiling in Contemporary Turkey oleh Baris Kiliçbay dan Mutlu Binark, amandemen undang-undang pelarangan ini yang dipelopori Partai Keadilan mempunyai sejarah panjang. Ketika Turki masih berada di genggaman kekuasaan sekuler, para perempuan berjilbab telah turun ke jalan untuk meminta pencabutan larangan. Mereka diberi gelar para pejuang agama oleh media cetak Islam.
Isu jilbab tidak hanya diperjuangkan sebagai perintah yang berkaitan dengan prinsip ajaran Islam, tetapi lebih jauh juga dijadikan senjata sebagai penegasan Islam politik yang kemudian dikemas dalam perlawanan terhadap isu lebih besar, yaitu serbuan fashion kapitalisme. Canan Aritman, politisi oposisi Republikan, terang-terangan mengatakan bahwa jilbab adalah simbol politik dan ini merupakan revolusi hitam (Aljazeera, 9/2/2008).
Simbol sebagai alat
Sejalan dengan dukungan publik terhadap Islam politik, simbol-simbol Islam dengan sendirinya mengalami penyesuaian dengan iklim kapitalisme yang memberi ruang besar terhadap gaya hidup. Pergeseran makna jilbab kepada pola gaya hidup secara tidak langsung merupakan pengaruh modernisme, sekaligus makin membuat perjuangan kaum Islamis dikenal lebih luas.
Para intelektual Islam menjadikan jilbab sebagai tandingan terhadap gaya hidup Barat. Mereka menegaskan bahwa identifikasi Islam dan Barat dikaitkan dengan pemakaian jilbab. Dengan bahasa sederhana, perempuan sekarang berhak memutuskan untuk memakainya dan tidak hanya memilih soal bentuk pakaian. Mereka juga menempatkan dirinya pada salah satu dunia, Islam atau Barat.
Uniknya, dikotomi hitam putih di atas tidak sepenuhnya berjalan. Meskipun dukungan terhadap jilbab meluas, pengaruh deras kapitalisme mengiringi dengan setia. Jika pola pakaian Barat tidak sesuai, justru jilbab mengalami kapitalisasi dengan dijadikan sebagai komoditas dalam media publik, seperti televisi, radio, dan majalah. Jilbab tidak hanya sebagai alat untuk memenuhi fungsi etik, tetapi juga sekaligus estetik.
Jilbab telah memasuki ekonomi pasar seraya menyesuaikan dengan selera pemakainya. Konsumerisme kelas menengah kota telah mengubah jilbab menjadi bagian gaya hidup yang harus mempertimbangkan pernik-pernik fashion.
Daya jangkau pasar konsumsi makin luas setelah para Islamis menggunakan televisi untuk menawarkan model pakaian yang sejalan dengan tuntutan agama. Bagaimana pun, pemerintah sekuler telah menanggung risiko ini setelah membebaskan penggunaan ruang udara bagi penyiaran secara bebas pada 1990-an.
Kemenangan politik Islam
Kemenangan Partai Islam di Turki dikatakan bukan penerimaan sepenuhnya warga akan warna Islamnya semata-mata, tetapi karena keberhasilan para pemimpinnya mengantarkan negara ini ke dalam perbaikan ekonomi. Namun, tak terelakkan keinginan masyarakat untuk kembali ke Islam sangat besar setelah agama dipinggirkan oleh pihak berkuasa selama lebih dari 80 tahunan.
Sebelumnya, modernisasi di Turki berusaha melakukan penyeragaman dan penyerapan perbedaan identitas ke dalam warna tunggal. Hal ini dilakukan untuk mengorientasikan seluruh warga pada kesetiaan terhadap Republik Turki.
Di sinilah terjadi peminggiran terhadap kelompok agama dan borjuis lokal oleh para elite yang terdiri dari militer, birokrat, dan intelektual Kemalis. Seperti dikatakan Kevin Robins (1996:70) keberadaan keberagaman dan pluralisme yang niscaya bagi kehidupan demokrasi telah dilumpuhkan sejak awal.
Sejak 1990-an kelompok yang terpinggirkan ini memulai gerakan dalam perebutan pemaknaan. Kegiatan ini akibat dari perkembangan kaum borjuasi bermodal ukuran menengah dalam bidang tekstil, otomotif, makanan, dan media. Dukungan dari Partai Keadilan menambah penguatan kedudukan mereka. Keberhasilan wakil partai yang merupakan representasi Islam di tingkat kota provinsi menambah keyakinan publik akan kehadiran partai berhaluan agama.
Akhirnya, Partai Keadilan meraup kursi yang cukup signifikan untuk memenangkan posisi penting di negara yang didirikan oleh Kemal Attaturk ini hanya dalam waktu 10 tahunan. Tanpa terbebani mengubah konstitusi sekuler secara menyeluruh, mereka berusaha memberi ruang pada pemeluk Islam untuk menggunakan jilbab di lembaga publik.
Isu jilbab tidak dimaksudkan sebagai Islamisasi, tetapi demokratisasi sebagai bagian dari persyaratan untuk menjadi bagian dari keinginan Turki diterima sebagai anggota Uni Eropa. Sebuah cara yang sangat cerdik dalam mengemas isu.
Bagaimana pun, agama dalam pelbagai wujudnya telah mengusung simbol yang bisa dijadikan alat komunikasi untuk mencapai tujuan. Seperti dikatakan oleh Goffman (1951) bahwa barang-barang konsumsi merupakan alat komunikasi dan selain itu menurut Douglas dan Isherwood (1980) bisa dimanfaatkan untuk menjelaskan identitas. Jadi, amandemen undang-undang yang membolehkan pemakaian jilbab boleh dipahami sebagai pemenuhan dua tujuan ini.
Oleh karena itu, konsolidasi partai politik Islam telah berhasil mengusung agama tanpa harus melawan kehendak sekularisme yang memisahkan agama dan negara. Ia hanya memperjuangkan kebebasan beragama dan bukan memaksakan pemeluknya untuk melaksanakan ajarannya.
Meski demikian, secara tidak langsung keberhasilan ini menambah kepercayaan mereka mengukuhkan komitmen dalam memenuhi kesejahteraan rakyatnya. Hal yang penting lagi adalah bahwa politik Islam hakikatnya menyediakan kebutuhan pokok masyarakat, bukan hanya janji-janji yang dibungkus dengan ayat-ayat Tuhan.
Lalu, bagaimana nasib dengan partai politik Islam di negeri ini? Mereka tak perlu terlalu bernafsu mengusung simbol-simbol agama ke ruang publik karena di sini kebebasan melaksanakan ajaran agama dibuka seluas-luasnya. Kita hanya memerlukan contoh nyata bagaimana tokoh yang didukung partai politik Islam memenangkan keinginan rakyat luas untuk tidak hidup melarat di negerinya yang makmur.
Ikhtisar:
- Jilbab berpengaruh membuat perjuangan Muslimah lebih dikenal secara luas.
- Identifikasi Islam dan Barat makin jelas dengan munculnya budaya jilbab.
Sumber: Republika, 5 Juni 2005
Pemurnian
Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...