Nah, berita Sinar Harian (28/6/10)tentang kemasukan 3000 pembantu rumah tangga dari Kemboja, Vietnam dan Filipina patut disambut gembira. Setelah Indonesia membekukan pengiriman tenaga kerja sektor ini, Malaysia mengambil pilihan lain. Sekilas, langkah ini bisa dilihat untuk mengukuhkan masyarakat ASEAN. Tapi, saya juga melihat kegagalan kementerian tenaga kerja Indonesia yang terlalu lama menggantung penyelesaian moratorium. Padahal dalam rentang setahun, kemasukan tenaga kerja tanpa izin terbuka dan ini membuka celah lebih luas 'perdagangan manusia'.
Apapun, kesediaan orang nomor satu kedua negara berbicara nasib pekerja ini patut dihargai, karena pekerja rumah tangga ini relatif dipandang dengan mata sebelah. Betapa profesi mereka itu memerlukan penghargaan, karena merekalah yang membuat denyut kehidupan sebuah keluarga terjaga. Apatah lagi, seperti kata wartawan Abdul Jalil Ali dari Sinar, pembantu rumahnya adalah bagian dari keluarganya, yang juga banyak ditemukan pada banyak keluarga. Tidak ada alasan untuk melihat mereka pekerja layaknya mesin.