Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Cerita TKI. Show all posts
Showing posts with label Cerita TKI. Show all posts

Monday, June 28, 2010

Mengurus TKI

Jika segenap persoalan bisa dibicarakan dengan tenang, maka riuh rendah itu tak akan menjadi kegaduhan. Mereka sedang membincangkan jalan keluar dari kebuntuan komunikasi. Dari kiri, Pak Moenir Arisunanda, konsulat jenderal RI Pulau Pinang, Pak Fani Habibi, ketua Pokja TKI, Iqbal, pegiat advokasi buruh, Prof Madya Mad Yusoff, dosen komunikasi Universiti Sains Malaysia dan Prof Madya Arndt Graft, dosen tamu Sastra Bandingan dari Jerman di USM. Mungkin benar apa kata pembicara terakhir bahwa selagi persoalan ekonomi belum kelar, masalah TKI akan terus muncul ke permukaan.

Nah, berita Sinar Harian (28/6/10)tentang kemasukan 3000 pembantu rumah tangga dari Kemboja, Vietnam dan Filipina patut disambut gembira. Setelah Indonesia membekukan pengiriman tenaga kerja sektor ini, Malaysia mengambil pilihan lain. Sekilas, langkah ini bisa dilihat untuk mengukuhkan masyarakat ASEAN. Tapi, saya juga melihat kegagalan kementerian tenaga kerja Indonesia yang terlalu lama menggantung penyelesaian moratorium. Padahal dalam rentang setahun, kemasukan tenaga kerja tanpa izin terbuka dan ini membuka celah lebih luas 'perdagangan manusia'.

Apapun, kesediaan orang nomor satu kedua negara berbicara nasib pekerja ini patut dihargai, karena pekerja rumah tangga ini relatif dipandang dengan mata sebelah. Betapa profesi mereka itu memerlukan penghargaan, karena merekalah yang membuat denyut kehidupan sebuah keluarga terjaga. Apatah lagi, seperti kata wartawan Abdul Jalil Ali dari Sinar, pembantu rumahnya adalah bagian dari keluarganya, yang juga banyak ditemukan pada banyak keluarga. Tidak ada alasan untuk melihat mereka pekerja layaknya mesin.

Wednesday, October 28, 2009

Sumpah Pemuda dan Dangdut

Dua kata judul di atas tidak berhubungan, namun keduanya tumpah ruah dalam sebuah pertemuan. Mereka, para pekerja, datang untuk menyongsong Sumpah Pemuda di DOM Komtar, pusat kota. Panitia pun mengerti bahwa acara ini tak melulu berisi sambutan, tapi juga nyanyian. Memang, ada dua tiga lagu pop, tetapi mereka lebih menyukai dangdut. Bahkan, lomba karaoke yang diselipkan di akhir acara makin mengukuhkan bahwa dangdut merupakan menu wajib karena kebanyakan peserta membawakan lagu, yang kata Rhoma Irama, berasal dari Arab, India dan Melayu Deli.

Kalau saya larut dengan ini semua karena salah seorang pekerja bersama penyanyi undangan melantukan Mandulnya Rhoma irama. Duet mereka betul-betul membuat saya hadir utuh. Perhatian selanjutnya dibetot oleh tingkah mereka yang berjingkrak kegirangan karena lagu-lagu dangdut itu membuat mereka melonjak tinggi, melepaskan rutinitas yang membosankan. Dandanan dan pakaian yang tak biasa membuat penampilan mereka seperti artis, sebuah ekspresi yang tak ramah di sebagian pandangan masyarakat di sana, celana robek atau berlubang, rambut gondrong, dan anting-anting.

Di panggung, seorang perempuan berjilbab tak canggung mengikuti lomba. Mungkin sumpah yang dibacakan sebelumnya, bagi mereka, tak perlu dipikirkan lagi karena sudah terpenuhi, satu tanah air, satu bangsa dan satu bahasa. Ada keinginan lain mereka yang sempat terekam bahwa Indonesia akan menyejahterakan mereka. Krisis ekonomi membuat mereka tak lagi bisa menikmati uang tambahan dari jatah lembur (overtime), karena pabrik membatasi produksi. Namun, mereka bersyukur karena masih bekerja dan berharap keadaan akan pulih seperti semula. Sebuah harap yang sederhana, memang, sesederhana mereka menyanyi dan menari dalam arena. Tidak lebih.

Saturday, August 29, 2009

Meraup Berkah Puasa


Hari kedua puasa, kami bersama keluarga Pak Cik, tetangga flat, mengunjungi pasar Ramadhan di Pasar Tun Sardon untuk membeli panganan dan lauk-pauk matang. Hanya sekian menit, kami pun sampai di pasar rakyat, sebelumnya setiap hari Rabu juga menjadi tempat pasar malam. Di tengah melihat begitu banyak pilihan, saya dan isteri mendekati lapak penjual ayam bakar. Tak hanya membeli, kami pun beramah tamah dengan penjualnya, dua orang perempuan asal Madura dan Lamongan. Keduanya telah lima tahun bekerja sebagai pembantu pada majikan Melayu.

Lalu, seusai mengelilingi pasar, kami pun beranjak pulang, menuju Bazaar Ramadhan depan kampus Asrama (lihat gambar di atas). Di sana, kami banyak berjumpa dengan mahasiswa asal Indonesia yang juga mencari menu berbuka. Malah, saya sempat ditawari kurma, yang kebetulan digelar oleh penjual dadakan, mahasiswa aktivis kampus. Karena di rumah masih ada, saya pun meminta diri dan berjanji untuk kembali. Tentu pasar dadakan ini menambah suasana sore itu hiruk pikuk jalan yang sebelumnya sepi. Beragam jualan ditawarkan, namun akhirnya setiap orang hanya akan memilih secukupnya.

Kami pun pulang ke rumah dengan perasaan lapang.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...