Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label cerita bayi. Show all posts
Showing posts with label cerita bayi. Show all posts

Friday, July 09, 2010

Lenggang Kangkung

Mereka membawakan Lenggang Kangkung. Kami pun menikmati dengan riang di tengah perjalanan menuju Medan Selera KL Sentral. Setelah lagu selesai, pengunjung bertepuk tangan dan kami pun berlalu. Suguhan siang hari itu betul-betul menyenangkan. Tambahan pula, saya ke warung makan nomor 13, lantai 3, yang kebetulan pelayannya berasal dari Jawa Timur dan Yogyakarta. Mereka pun merasa dekat, apalagi ada anak kecil yang menyertai kami sehingga perbincangan acapkali terhenti oleh celotehan seorang anak yang belum bisa mengucapkan sebuah kalimat dengan sempurna. Hanya ayah atau yah untuk semua benda dan peristiwa. Kadang, bi, ci, meme juga keluar tanpa konsisten berkait dengan sesuatu. Atau, kami saja yang gagal memahami bahasa itu sehingga komunikasi tidak terjalin lancar.

Samar-samar, saya langsung menerawang ke masa lalu tentang lagu Lenggang Kangkung ini. Gelap, tak jelas, di mana dan kapan. Lagu berirama pantun ini menggunakan bahasa Jawa, yang berkait dengan dunia anak-anak.

Saturday, October 24, 2009

Makna Sepatu

Sepatu itu berfungsi untuk menutupi kaki dari onak, batu dan panas terik. Tapi, kehadirannya tak sebatas itu untuk seorang bayi perempuan. Ia harus berwarna, lucu dan penuh aksesoris. Mengapa?

Monday, September 21, 2009

Selamat Hari Raya Idul Fitri


Kami mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Mungkin, Tuhan memaafkan kekhilafan kami, namun di tangan Anda, kesalahan itu luruh, tak berbekas. Gambar di atas adalah peristiwa biasa, tapi bagi kami istimewa. Inilah untuk pertama kalinya, kami merayakan hari kemenangan. Si kecil masih berusia 6 bulanan. Seperti warga Indonesia yang lain di Negeri Jiran, kami pun bergambar bersama setelah sebelumnya bersalaman, saling memaafkan. Para pegawai konsulat, pekerja migran, mahasiswa menyatu, menikmati kebersamaan. Berbeda dengan tahun yang lalu, hari itu langit cerah, meski agak mendung sebelum shalat Id ditunaikan. Pas jam 8.39, matahari menyembul, melimpahkan sinar ke bumi.

Acara sembahyang idul fitri dimulai dengan sambutan Pak Karnadi Kasan Sarji, yang diikuti Pak Moenir Ari Soenanda, Konsul Jenderal. Kemudian, Pak Arbi, melantunkan ajakan shalat. Tiba-tiba, suasana senyap. Ratusan orang sepertinya terkunci. Hanya takbir sang imam memecah kesunyian. Setelah usai, imam yang juga bertindak sebagai khotib, berdiri memulai khotbah. Ustaz Maulana Siregar membuka dengan takbir. Jamaah tampak larut dalam setiap kata yang dilontarkan, selain tampak lugas juga diselipkan banyolan. Tak jarang, tawa kami berderai ketika dengan dialek Batak, khotib yang sengaja diundang dari Jakarta ini menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, sebagai latar dari asal-muasal laungan takbir, tahlil, dan tahmid.

Di sela-sela ceramah, sang ustaz juga menyentil jasa para pekerja. Mereka adalah duta bangsa, yang akan merawat nama harum negara. Sebelumnya, Pak Moenir menyajikan data bahwa pulangan (remittance) TKI berjumlah 15 triliun, sebuah angka yang cukup besar untuk mendongkrak nadi perekonomian kampung mereka. Ya, pekerja migran merupakan jamaah terbesar pada masa itu. Meski mereka telah menyumbangkan devisa, tambah ustaz, nasibnya tetap sengsara, sebuah ungkapan yang memantik tawa.

Wednesday, July 29, 2009

Pekerja Tangguh


Mas itu sedang mengecat langit-langit emperan perpustakaan kampus. Ketika saya mengambil gambarnya, pekerja tangguh dari Jawa itu sengaja berpose. Lalu, saya bergegas sambil mengucapkan terima kasih dan dia menukas, terima kasih Pak. Saya tidak ingin mengganggu pekerjaannya, tetapi besok saya ingin menemuinya di sela rehat, mengapa dia bekerja tanpa alat pengaman. Betul-betul, pekerja tangguh, bukan pejantan tangguh, seperti lagu cengeng Ahmad Dani, punggawa Dewa itu.

Tuesday, May 12, 2009

Hadiah dari Mereka


Gambar di atas adalah plastik untuk menyimpan hadiah yang diberikan oleh Rumah Sakit Bersalin. Di dalamnya, ada sabun, sampo, dan keperluan bayi yang lain. Buah tangan ini diberikan oleh perawat menjelang kami pulang ke rumah. Tentu, kami senang dengan pemberian mereka. Meski berbau promosi, tapi cara mereka menyentuh hati kami. Saya tahu dari merek kalau barang hadiah ini berkualitas baik dan tentu saja mahal.

Setelah kembali ke rumah, para sahabat juga melakukan hal yang sama. Keperluan bayi menggunung dan kami tidak yakin ia bisa digunakan hingga habis, dari baju, bedak, botol, tisu basah, sabun, dan sampo. Malah, sikat pembersih botol berlebih. Ia masih terbungkus dalam plastiknya. Demikian juga barang itu mungkin tak akan habis dan bernasib kadaluarsa. Sebagian yang membawa sekeranjang buah, sehingga kulkas kami penuh, hanya sedikit celah yang kosong.

Menariknya, produk keperluan bayi ternyata beragam, ada produk lokal dan luar. Tentu yang terakhir lebih mahal, tetapi apakah lebih baik? Mungkin, saya harus bertanya pada teman-teman saya yang tahu hal ini. Anda bisa membantu?

Monday, May 11, 2009

Cerita Ringan si Kecil


Can we explain a Beethoven sonata? (Ludwig Witgensteen, 1989)


Jika anak saya sebelumnya diperdengarkan Rhoma Irama, sekarang si kecil itu terdedah pada lagu yang harus didengarkan (siapa yang bilang?) musik klasik, seperti Mozart dan Beethoven. Ya, ikhtiar terakhir adalah sebentuk pengiyaan terhadap saran banyak orang dan informasi yang saya pernah sempat baca sebelumnya. Malah tak hanya itu, saya mengumpulkan beragam lagu untuk menjadi teman ‘kecuekannya’ terhadap perhatian dan keadaan sekitar. Lagu qasidah, Esri Mukaromah, bertajuk Ya Mismis diharapakan akan menjadi awal untuk mengenal neneknya yang berada di pulau Garam jauh nun di sana. Aha, Galang Rambu Anarkinya Iwan Fals seakan-akan mewakili kehendak saya untuk menciptakan lagu yang sama, di mana si kecil lahir setelah (bukan sebelum) pemilu dan harapan agar segera meninju matahari. Rasanya benar kata kawan baik saya, Pak Supriyanto, bahwa menjadi orang tua untuk pertama kalinya mendorong kuat untuk melakukan apa saja untuk kebaikan anaknya. Apakah memang begitu?


Kehadirannya telah memorakporandakan jam tubuh saya. Ia bisa ‘menangis keras’ tanpa mengenal waktu, pagi buta, tengah malam, atau siang. Jika sedan lelap, dengan langkah terhuyung saya beranjak dari tempat tidur. Ibunya praktis tak bisa bergerak lincah karena bekas jahitannya menghalangi untuk bergerak leluasa. Menariknya, saya pun menikmati suasana malam buta yang hanya ditingkai rengekan bayi. Kadang, saya harus menambah minuman susu formula, sebab si kecil masih ingin mengasup minuman. Tangisan itu mendatangkan keriangan, seakan musik lain yang menentramkan. Apatah lagi, suara itu menyebabkan paru-parunya kuat, sehingga meski nyaring terdengar tak merisaukan. Alhamdulillah, sekarang air susu ibunya lancar. Susu bubuk itu tak lagi disukai. Ya, benar-benar ASI eksklusif. Melihatnya mengasup ASI setelah dimandikan ibu atau Mak Cik, saya berbinar bahagia, sebab si kecil telah menemukan hidupnya yang sempurna.


Dalam keadaan sebegini, saya ternyata mempunyai tenaga berlebihan, karena bisa melakukan apa saja dalam rentang waktu 24 jam. Dari menggendong bayi, memberinya susu, menjemurnya di pagi hari, mencuci popok dan bajunya, saya menemukan keriangan. Lelah itu tiba-tiba raib bersama senyuman yang kadang muncul tanpa sebab. Ya, si kecil seringkali tersenyum sebagai respons meskipun saya tidak bisa memastikan ekspresi apakah yang menggerakkannya menyunggingkan sebuah senyuman. Di tengan keriangan ini, saya juga mengalami masa cemas karena perawat merekomendasikan untuk diperiksa ke klinik terdekat. Lebih gundah lagi jika saya harus membawanya ke ICU (Intensive Care Unit) karena dokter klinik angkat tangan. Untung hanya dua kali, sehingga saya tidak harus sport jantung setiap kali harus membawa si kecil ke rumah sakit.


Setelah ditelisik, hikmah saran perawat agar dirujuk ke dokter, saya bisa mengenal lebih dekat apa yang harus dilakukan terhadap si kecil. Di rumah sakit, saya bisa mengambil brosur sebanyak mungkin tentang perawatan bayi, baik secara fisik maupun psikis. Tentu, saya juga melengkapi dengan bacaan di surat kabar, yang kebetulan memuat hal ihwal bayi. Demikian pula, nasehat dari orang tua bagaimana mengurus bayi. Lebih dari itu, saya mendapatkan jawaban langsung dari sang otoritas, dokter. Haruskah terbekap ragu?

Thursday, May 07, 2009

Merawat Tradisi


Gambar di atas adalah sebagian upacara potong rambut. Tradisi Nabi yang telah dipelihara pelbagai generasi. Demikian pula sebelumnya, saya harus membawa sekantong plastik ari-ari yang diletakkan di bawah kotak bayi. Malam itu, saya harus membawanya ke rumah dan membersihkannya hingga tak berwarna merah, karena darah. Ternyata perlu waktu lama karena darah itu seakan-akan terus mengalir. Aha, saya kemudian meletakkan di wadah yang terbuat dari plastik berlubang, sehingga saya hanya perlu membuka kran dan air mengalir deras. Dalam benak, manusia ternyata mempunyai semacam kepompong sebelum lahir ke dunia.

Keesokan harinya, saya membawanya ke kampus. Lalu, atas jasa baik Pak Supri, teman Indonesia yang sedang mengambil ilmu komputer, ari-ari itu ditanam di belakang rumahnya, keluarga mahasiswa Asing 'Aman Damai'. Alhamdulillah, cangkul kecil itu mampu menggali cukup dalam sehingga 'bagian' dari si kecil itu bisa dikebumikan dengan baik. Lalu, saya memasukkan asam dan garam agar baunya tidak mengundang binatang malam. Kemudian, di atas gundukan tanah itu diletakkan sebongkah batu, semacam tanda, nisan, atau penghalang agar binatang liar yang acapkali berkeliaran di sana tidak menghidu bau sesuatu.

Jauh hari sebelumnya, saya telah membeli secarik kain kafan putih sebagai pemenuhan banyak petuah agar ari-ari itu diperlakukan sebagaimana layaknya manusia. Tentu saja saya tidak menerangi dengan lampu sebagaimana di kampung, karena ia ditanam di belakang rumah seorang kawan. Demikian juga, saya tidak mungkin mengebumikannya di depan rumah, seperti dulu ari-ari saya disemayamkan, karena kami tinggal di sebuah flat. Hingga hari ini, saya tak pernah menyambangi uri (sebutan jiran kami untuk ari-ari) dan saya berharap ia telah menyatu dengan bumi. Damai bersama kebaikan teman-teman yang senantiasa bertanya kabar tentang puteri kami dan sebentuk doa yang mereka berikan. Mungkin kebajikan mereka yang menggantikan cahaya lampu yang biasanya dipasang di atas sebuah tutup yang dibuat dari tanah liat dan berlubang di sana-sini agar pelita yang ditaruh di dalamnya tidak mati kekurangan udara.

Thursday, April 30, 2009

Menemukan Identitas Anak Saya


Anak pertama saya lahir dari rumah sakit bersalin pemerintah pada tanggal 16 April 2009, jam 03.12 PM. Sebagai warga negara asing, kami harus membayar lebih mahal daripada orang lokal, meskipun demikian biaya operasi di negeri jiran jauh lebih murah dibandingkan dengan Indonesia.

Atas saran rumah sakit, saya diminta untuk mendaftarkan anak kepada Jabatan Pendafataran Negara. Gambar di sebelah adalah kantor catatan sipil yang mengurus pembuatan kartu tanda penduduk dan akte kelahiran. Untuk sampai ke tempat ini, saya harus bolak-balik karena sering salah jalan dan terbabas. Hikmahnya saya justeru lebih banyak mengenal lingkungan, panorama dan tempat yang sebelumnya tak pernah dikunjungi.

Di sana, saya hanya memerlukan waktu singkat dan pihak catatan sipil tidak meminta biaya. Motto Amanah, Cekap dan Mesra yang diterakan di papan nama, betul-betul sikap para pegawainya, bukan hanya sekedar papan nama. Mereka bekerja dengan cepat, tepat dan ramah. Kelelahan yang mendera sirna. Ada buncah kebahagiaan karena puteri pertama kami telah tercatat secara sah sebagai manusia di muka bumi. Lalu, pertanyaannya? Siapakah si kecil itu? Orang Indonesia? Bukankah secara geografis dia lahir di negara lain? Atau orang Jawa karena lahir dari Ibu asal Yogyakarta? Lho, bagaimana dengan bapaknya yang berasal dari Madura? Lagi pula, namanya, Mutanabbiyya Wasatiyya, berasal dari kata Bahasa Arab?

Tentu, identitas anak saya akan menjadi perselisihan ilmuwan. Namun kutipan ini bisa membantu kita: From the postmodern perspective, as the pace extension, and complexity of modern societies, identity becomes more and more unstable, more and more fragile. With this situation, the recent discourse of postmodernity problematize the very notion of identity, claiming that it is a myth and an illusion (Douglas Kellner, 1992: 143). Ada beberapa kata kunci, yang telah saya buat miring, seperti unstable, fragile, myth dan illusion, yang bisa menerangkan apakah identitas anak saya.

Namun, sebebas apapun dia kelak menentukan dirinya, Nabiyya akan membawa paspor Indonesia kemana-mana dan akan terus memanggul tanda sebagai warga negara sebuah bangsa yang, katanya, mata rantai dari surga (silsilatun min al-jannah).

Wednesday, January 28, 2009

Merawat Generasi

Kemarin kami mengunjungi klinik pemerintah di Bukit Jambul untuk kesekian kalinya. Ini merupakan tanggapan ketaatan kami terhadap petugas kesehatan yang meminta kami untuk datang. Jika sebelumnya, sebulan sekali, sekarang kami harus datang dua minggu sekali untuk mengukur tekanan darah. Sayangnya, hari Selasa kemarin tutup, karena liburan memperingati Tahun Baru Tionghoa. Untungnya, ada seorang petugas piket yang datang sebelum kami beranjak pergi dari pelataran klinik.

Lebih untungnya lagi, sang perawat masih bersedia untuk mengecek tekanan darah dan mencatat perkembangan tubuh sang ibu di buku merah. Bahkan, dalam catatannya, dia menyarankan agar kami ke rumah sakit karena tekanan darah makin menaik. Khawatir terjadi apa-apa dengan si bayi. Kami pun lega karena tidak harus kembali keesokan harinya. Pelayanan semacam ini tentu makin membuat kami nyaman.

Lalu, kami pun pulang dengan riang. Untuk merayakan ini kami menikmati danau kampus dan memberi makan ikan dengan remahan roti. Tak lama kemudian, ada seorang pengunjung yang membawa roti Arab satu kardus. Kami mendekati untuk lebih jauh menikmati tingkah ikan yang berlompatan memamah roti yang telah dirobek kecil-kecik. Oh, ternyata orang itu adalah kawan saya yang tinggal satu flat. Namanya Ahmad, asal Pakistan. Malah, dia menyerahkan roti yang sudah kaduarsa itu untuk kami bagikan kepada ikan-ikan yang tampak lapar itu karena hari masih pagi. Biasanya kalau sore mereka sudah kekenyangan. Duh, benar-benar kesenangan kecil yang membuncah besar karena bisa menikmati binatangan air itu berlompatan riang, seakan-akan menemani keriangan kami. Mungkin, bayi itu juga riang. Semoga!

Wednesday, November 19, 2008

Merayakan Ulang Tahun Isteri

Hanya dengan semangkok cendol dan es kacang, semalam kami merayakan ulang tahun di gerai makan Pasar Raya Tesco. Sebelumnya, kami berkeliling dalam pasar untuk membeli kebutuhan sehari-hari. Setelah lelah berjalan, kami pun mengaso dengan menyeruput minum segar. Saya sangat menyukai rasa khas kacang merah (jawa: Kacang Tholo).

Di sela ngobrol, saya juga menekuri buku Robert Guliani One Hundred Great Essays. Di sini, saya bisa menyelami pemikiran para penulis besar, dari zaman kuno hingga modern. Ya, dari Plato hingga Virginia Woolf, saya menelisik gagasan mereka. Ada getar kuat untuk belajar merangkai kata agar pesannya kuat. Jika pikiran berkerut karena dihadapkan dengan kalimat yang sulit, saya kemudian meneguk es yang ada di meja.

Untuk kedua kalinya, saya membaca buku di kedai ini. Ada kenyamanan karena suasana tentram. Sekali lagi, selamat ulang tahun untuk isteriku. Semoga berkah!

Monday, November 10, 2008

Ke Klinik itu Lagi

Pemeriksaan rutin ke klinik pemerintah tidak lagi membingungkan. Segalanya berjalan lancar karena kami sudah tahu apa yang harus dilakukan. Tempatnya yang agak terpencil tidak menghalangi untuk segera sampai karena kami telah akrab dengan jalan menuju ke bangunan yang terletak di bawah sebuah flat. Sesampai di sana, kami disambut oleh Mak Cik Norma, perawat senior, yang sangat ramat dan mempersilahkan duduk.

Alhamdulillah, berat badan isteri saya naik 3.1/2 Kg. Ini menambah berat badan secara signifikan sebelumnya yang memang harus melebihi 45. Demikian pula HB naik. Tekanan darah masih berkisar angka 100. Selain mendapatkan obat biasa, policasid, vitamin, dia juga mendapat tambahan iron tablets, sebagai penambah darah. Untuk kontrol kandungan ketiga ini hanya memerlukan waktu 10 menitan. Oh ya, sang dokter, En Ahmad, menyarankan untuk memeriksan jenis kelamin janin dengan USG di klinik USM saja. Tambah isteri, dokternya ramah dan sangat membantu, berbeda dengan kesan pertama yang tampak acuh. Mungkin, karena itu pertama kali.

Untuk keduanya kalinya, kami tidak membayar. Ini adalah ganjaran lain, setelah sebelumnya rekening listerik juga tidak, karena di bawah angka RM 20. Negara jiran ini sangat pemurah untuk penduduknya, bahkan kepada kami yang berasal dari luar. Negara kesejahteraan, yang di sana disebut negara kebajikan, telah dipraktikkan, tidak hanya didiskusikan seperti negeri Indonesia yang makmur itu.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...