Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Ruang Publik. Show all posts
Showing posts with label Ruang Publik. Show all posts

Tuesday, October 30, 2012

Menikmati Sore


Biasanya kami berlari di seputar perumahan, baik pagi atau sore. Kali ini, kami mengunjungi taman D'Aman, tak jauh dari rumah, untuk melemaskan otot. Mengelilingi jalan berkonblok, saya bisa menikmati danau dan hijau dedaunan, bahkan kicauan burung. Kehadiran pengunjung yang juga bersukan di sini menambah semangat untuk memeras keringat.

Dengan langit cerah dan sinar matahari tak menyengat, saya memerhatikan begitu banyak pengunjung menikmati waktu menjelang senja. Lihat pulau kecil yang berada di tengah-tengah air itu! Dengan perahu atau kayak, siapa pun bisa menyentuhnya. Namun, mereka harus memakai jaket pelampung untuk keselamatan. Semakin menjelang malam, banyak pengunjung berdatangan dengan pelbaga rupa kegiatan, seperti memberi makan ikan dengan pakan yang dibeli seharga 1 Ringgit, bercengkerama dengan keluarga atau teman, sementara anak-anak kecil berlarian di rumput.

Setelah penat, mereka pun mengunjungi warung makan dan minuman di tenda putih itu. Di sana mereka bisa menikmati pelbagai menu makanan, seperti mie goreng dan cucur udang serta aneka minuman, dari kaleng hingga buatan tangan. Fasilitas umum ini bermanfaat bagi banyak warga tanpa harus merogoh kantong untuk menikmatinya dan makanan yang disediakan juga tak mahal. Ruang seperti inilah yang akan mengeratkan hubungan antar anggota keluarga, yang pada gilirannya  akan menumbuhkan kebahagiaan. 

Wednesday, April 18, 2012

Janji Pemerintah


Visi Misi Pemerintah yang berkuasa di Sumenep, tempat kelahiran saya. Sebagaimana janji yang lain, mererka harus menunaikannya dengan baik. Sebagai warga, kami tentu tidak hanya memberikan suara dalam pesta lima tahunan, tetapi juga menyoal adakah anggaran belanja daerah telah betul-betul digunakan untuk menyejahterakan masyarakat? Lembaga Swadaya Masyarakat tentu menjadi corong dari suara orang ramai, yang tidak mempunyai waktu untuk memastikan peruntukan itu tidak menguap.

Sunday, April 08, 2012

Demonstrasi dan Kemacetan


Saya sempat terjebak kemacetan di Surabaya akibat penunjukrasa menutup jalan A Yani Surabaya. Tak terelakkan, jalan-jalan lain disesaki karena pengendara mencari jalan lain. Apakah saya harus marah? Sementara kemacetan terjadi setiap hari di negeri ini? Hanya saja, saya meminta mereka tidak melakukan pengrusakan. Fasilitas umum itu dibangun dari pajak. Hakikatnya mereka turut memiliki dan harus merawatnya.

Sang supir harus mencari jalan tikus agar saya bisa segera sampai ke penginapan setelah seharian berada di luar kota. Untungnya, mahasiswa segera mengakhiri pendudukan jalan yang padat itu. Tak lupa, saya takzim pada polisi yang tidak tergerak untuk memaksa mahasiswa hengkang dari jalan beraspal. Peristiwa kekerasan aparat terhadap mahasiswa dan orang ramai di Gambir, Jakarta, tidak berlaku di kota Buaya ini.

Semua pihak harus kembali pulang ke rumah. Keluarga sudah menunggu. Perbedaan perjuangan dan kesetiaan pada tugas tidak harus memecah Republik ini menjadi arena perang sesama anak bangsa. Alamak! Saya sepertinya tukang khotbah. Saya hanya perlu menyuarakan bahwa saya bersabar dalam kemacetan. Namun, saya tentu sangat kagum pada warga Jakarta yang setiap hari didera oleh kesesakan lalu lintas. Menurut saya, hanya janji calon gubernur yang bisa mengurai benang-kusut ini.

*Gambar @Sham

Monday, January 30, 2012

Perempuan dan Kutukan Segregasi

Perempuan itu adalah misteri. Ketika kita ingin mengungkapkan dunianya, kita akan menyisakan sesuatu yang tak terungkap. Adakah nubuat Sigmund Freud akan senantiasa menjadi kenyataan ketika tokoh psikoanalisis menyimpulkan bahwa penelitian 30 tahun terhadap sosok perempuan hanya mengukuhkan anggapan 'perempuan itu tak terbaca'.

Wednesday, October 27, 2010

Ruang Bersama

Kebun bunga adalah ruang bersama masyarakat. Di sana, pengunjung tinggal memilih, menikmati bunga dan pepohonan atau merenggangkan otot untuk bugar. Malah, siapa pun bisa menyendiri, seperti tampak pada ujung kanan bawah. Seseorang merenung di bawah atap.

Monday, October 04, 2010

Ketenangan

Salah satu sudut di Taman Belia yang membuat saya ingin diam di sana dan merenung. Ketenangan menyemburat ketika untuk pertama kalinya saya melihatnya.

Monday, September 27, 2010

Otoritas dan Pengetahuan


Dalam hermeneutik, otoritas itu adalah mereka yang mempunyai akses pada pengetahuan tertentu. Namun, dalam praktik, pengetahuan itu juga terkait dengan otoritas dalam pengertian kekuasaan untuk melakukan tindakan atas dasar pengetahuan. Sebagaimana telah diumumkan jauh-jauh hari sebelumnya, ada area tertentu di kampus yang tidak boleh dijadikan kawasan parkir kendaraan. Jika peringatan ini tidak dipatuhi, maka ban mobil bersangkutan akan dikunci, seperti terlihat dalam gambar di atas. Kita tak hanya memerlukan pengetahuan tentang ketertiban, tetapi juga pihak berwenang yang mewujudkan pesan pengetahuan. Kalau dibiarkan, kita hanya akan menikmati kekacauan setiap hari.

Monday, August 09, 2010

Sudut dan Waktu


Kita hanya memerlukan sudut pandang dan waktu agar suasana itu menyenangkan. Lalu, setelah berubah kita mencari momen yang lain. Selalu begitu, bukan?

Sumber: Mahardika, Jakarta.

Friday, August 06, 2010

Ruang Publik di Negeri Pluralis

Suara Karya, Jum’at, 6 Agustus 2010

Apa yang berselerak di benak kita tentang fasilitas umum? Paling jelas, telepon umum dan water closet (WC) atau kamar mandi. Namun boleh dikatakan nasib keduanya mengenaskan. Yang pertama telah tergerus oleh kepemilikan telepon genggam dan yang terakhir diacuhkan oleh pengguna. Lihat fasilitas ini di terminal, hampir tak layak untuk disebut tempat membersihkan diri. Meskipun fasilitas itu dimiliki oleh pemerintah, sepatutnya orang ramai juga turut merawat agar keberadaan mereka layak untuk dimanfaatkan. Apa lacur, kebanyakan terbengkalai atau menjadi tempat sampah alternatif.

Sementara semi-ruang publik lain, seperti mall (pasaraya), gedung bioskop dan café bertaburan, terutama di kota-kota besar. Malah kehadirannya telah mengikis keberadaan ruang publik yang bisa diakses oleh orang ramai, seperti lapangan bola dan taman kota. Memang, mall dan café bebas dimasuki siapa saja, namun pada waktu yang sama keduanya mengandaikan mereka yang berduit. Selain itu, mall dan café tertentu telah menyeleksi pengunjung, tak ayal ia telah menjadi ruang terbatas. Malah, sebagian menjadi identitas, penanda yang membedakan pengunjungnya dari khalayak. Apalagi, menurut Piere Bourdieu, sosiolog Perancis, kelas borjuis mempunyai kecenderungan untuk menjaga jarak dengan kebutuhan sehari-hari yang diasup kebanyakan.

Hakikatnya ruang publik mengandaikan fisik (public space) dan bukan fisik (public sphere). Pada era reformasi, banyak warga secara relatif mendapatkan ruang untuk bertukar dan mengungkapkan gagasan. Hakikatnya keduanya berjalin kelindan, karena gagasan itu tidak semestinya di usung di tengah jalan melalui unjuk rasa. Ruang fisik yang dimaksud bisa berupa ruang pertemuan, café atau kantor lembaga penelitian. Dengan kata lain, public sphere adalah sebuah kawasan dalam kehidupan sosial tempat orang ramai bisa berkumpul dan secara bebas berbincang masalah mereka dan diharapkan mempengaruhi tindakan politik.

Apa lacur, ada segelintir orang yang bertindak serampangan. Kasus pembubaran pertemuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan masyarakat oleh Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi menunjukkan bahwa ruang publik kita telah disandera oleh kekuatan partikelir. Padahal, ruang lain yang diberi kuasa bertindak untuk menertibkan keadaan atau dikenal juga dengan sphere of public authority, seperti ditegaskan Jürgen Habermas, filsuf Jerman, tersedia. Aparat negara akan mengambil tindakan jika sebuah kelompok masyarakat tertentu dianggap mengancam kehidupan bersama.

Sayangnya, ke belakangan ini kita selalu disuguhkan dengan para militer yang mengambil alih tugas polisi. Memang, kehadirannya kadang dipandang sebagai kritik terhadap pihak berwajib yang mandul dalam menunaikan tugasnya, seperti pemberantasan judi dan minuman keras, atau yang dikenal dengan penyakit masyarakat. Namun berkait dengan eksekusi terhadap pelanggaran, mereka sama sekali tidak mempunyai hak. Tugas mereka adalah membahas jalan keluar bersama komunitas lain agar mendorong pihak berwajib segera menunaikan wewenangnya. Apatah lagi, korban yang selalu menjadi saasaran adalah lapisan bawah, sementara judi dan minuman keras di hotel bintang lima tak tersentuh.

Lalu, bagaimana ruang publik fisik seperti taman dan fasilitas permainan? Sangat memprihatinkan. Pengalaman saya menunjukkan itu. Di Jakarta, misalnya, hampir fasilitas itu terselip di tengah-tengah gedung batu yang angkuh. Taman Monumen Nasional juga belum mampu menyuguhkan ruang publik yang memadai untuk menjadi tempat rehat warga. Bandingkan dengan Kuala Lumpur yang mempunyai taman luas di tengah kota, yang berjalin kelindan dengan pusat perbelanjaan, Suria KLCC. Di sini, pengunjung bisa beraktivitas, seperti nongkrong atau berolahraga. Belum lagi, sungai buatan membuat orang ramai merasa tentram di tengah kota yang sibuk. Tak jauh dari tempat ini, KL Sentral berdiri kokoh sebagai pusat pelbagai moda angkutan, seperti bus, taksi, monorail dan lrt (light rail transport) yang menjangkau ke tempat-tempa penting, seperti bandara, pusat kota, dan segenap pelosok.

Mungkin benar kata Asier Siregar, official Villa 2000, wakil Indonesia di ajang pertandingan sepak bola Nike 15 tahun ke bawah pada Juni kemarin bahwa kita miskin fasilitas olahraga. Dalam sebuah kesempatan di sela-sela rehat di lapangan Universitas Sains Malaysia, dia tidak bisa menyembunyikan penghargaaannya terhadap perguruan tinggi ini karena memiliki 6 lapangan olahraga dan terawat. Sementara sekolah olahraga Ragunan Jakarta hanya mempunyai satu lapangan dan tampak tidak terpelihara. Bahkan, sekolah Olahraga Bukit Jalil Kuala Lumpur mempunyai 10 lapangan.

Mungkin keterbatasan ruang publik fisik ini bisa dimaklumi karena negara Republik ini sedang membangun, namun kebebasan untuk menyuburkan ruang publik non-fisik, seperti kebebasan berkumpul dan mengemukaan pendapat kadang kebablasan. Kasus kekerasan terkait dengan pemilihan kepala daerah di pelbagai tempat di tanah air menunjukkan kenyataan ini. Belum lagi, kekerasan yang dirayakan oleh segelintir kelompok atas nama ideologi, etnik dan perebutan lahan ekonomi. Padahal, di era reformasi, semua ideologi boleh tumbuh, demikian pula kepala-kepala daerah putera lokal banyak menduduki kursi empuk kekuasaan, dan persaingan ekonomi terbuka luas.

Untuk itu, Jürgen Habermas mengusulkan apa yang disebut dengan kriteria konstitusional sebagai prasyarat munculnya ruang publik, yaitu kesetaraan, ranah kepedulian yang sama, dan inklusivitas. Kesetaraan tidak dimaksudkan menafikan status, namun sekaligus menampik status sekaligus. Tentu, sebuah pembahasan akan berjalan baik, jika masing-masing mempunyai keprihatinan yang sama. Nah, sejalan dengan tujuan akhir dari sebuah komuniksi, yaitu konsensus, maka setiap kelompok harus meyakini sikap inklusif sebagai patokan. Dalam bahasa Hannah Arent, filsuf Jerman, secara fenomenologis publik itu dimaknai ruang kemunculan bersama. Pluralitas merupakan dimensi penguat dan lahirnya konsensus.

Namun, jika kita harus berterus terang, ketiga syarat ini susah untuk diraih, karena mereka yang berseberangan merasa tak setara, memiliki tujuan yang berbeda dan sebagian merayakan pandangan sempit dan eksklusif. Betapa segelintir orang datang untuk memaksa pandangannya dan hanya berteriak dan melaungkan kalimat takbir dalam sebuah diskusi. Bagaimana mungkin kita mau mendengar pandangan orang lain, apabila kita hanya ingin mereka tunduk dan patuh? Untungnya, mayoritas warga negeri ini masih memegang teguh kemajemukan sebagai pandangan hidup.

Nah, selagi kelompok ini bermunculan tanpa ada yang mencegah beraksi, maka kehidupan publik kita akan terus menanggung nestapa. Belum lagi, khalayak luas yang tak leluasa menikmati ruang fisik untuk bermasyarakat. Mereka terpaksa menggigit jari karena fasilitas untuk bermain telah dikapling oleh mereka yang berduit. Kegairahan membangun kota satelit dengan segenap fasilitas makin meminggirkan orang ramai untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk kota. Mereka akan mudah marah dan tak ramah. Tak ayal, kekerasan yang muncul di ibukota dipicu secara tidak langsung oleh para remaja yang tak bisa bermain. Masihkah kita abai tentang hal ini?

Penulis adalah postdoctoral research fellow Univesitas Sains Malaysia

Wednesday, June 30, 2010

Mall dan Ruang Publik


Ruang publik merupakan arena interaksi diskursif, tempat pelbagai kelompok berbagi gagasan dan kepentingan untuk kehidupan bersama yang lebih baik. Mall sekarang telah menempati fungsi itu karena pelbagai kegiatan untuk keperluan khalayak juga dihelat di sini, seperti perbincangan tentang kehendak untuk membuat lingkungan lebih ramah lingkungan (sustainable environment). Gambar di atas adalah pelengkap dari sebuah ikhtiar untuk menghijaukan lingkungan di sebuah pasaraya, Pulau Mutiara. Bagaimanapun, masyarakat lah semestinya memelopori perubahan cara berpikir dan bertindak menghadapi pemanasan global yang diakibatkan percepatan teknologi. Jika masyarakat abai, maka kita memerlukan pemerintahan yang kuat yang bisa memaksa warga untuk menaati aturan penjagaan lingkungan.

Singapura berhasil melakukan itu. Indonesia tersengal-sengal mewujudkan masyarakat yang peduli terhadap sampah, misalnya. Demikian pula yang mendesak adalah undang-undang berkaitan dengan pembatasan rokok yang mangkrak hingga kini. Padahal, upaya mengurangi rokok amatlah penting untuk mengelak kerugian yang lebih besar. Malangnya, wakil rakyat memble, hanya bercakap besar, tetapi gagal meloloskan UU ini dengan segera. Untuk itu ruang publik yang memerantarai negara (the state) dan ekonomi perlu dimanfaatkan untuk melahirkan tindakan politik yang menguntungkan orang ramai.

Kedigdayaan perusahaan rokok besar mengangkangi 'ruang publik' dengan iklan telah mengebiri akal sehat banyak orang. Untungnya, mall selamat dari asap. Di pintu masuk, ada tempat untuk mematikan puntung rokok. Meskipun demikian, kita masih menemukan warung kopi mengizinkan perokok untuk mengepulkan asap tanpa batas yang jelas. Padahal tidak semua pengunjung tahan dengan bau asap. Apa lacur, di Republik ini batas pribadi dan publik tumpah tindih.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...