Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Perenungan. Show all posts
Showing posts with label Perenungan. Show all posts

Sunday, October 26, 2014

Ruh itu Di mana?

Ketika pihak AKEPT (Akademi Kepimpinan Pengajian Tinggi) Kementerian Pendidikan Malaysia dan Universitas Jember Indonesia memulakan kegiatan tahunan dari sini, Masjid Agung Jember, saya pun bertanya di hati, apakah ruh pendidikan itu ada di sini?

Ya, ini rumah Tuhan. Bila kita mengetuk pintu dengan hati, maka lahirlah sejati. Hamzah Fansuri, penyair dan pengamal sufi, pun berujar, ke Mekkah terlalu payah |
Padahal Tuhan ada di rumah (hati). Jadi, hati-hati! Jangan berhenti mencari! Tapi, ya hati-hati! Ada banyak onak dan duri! Akhirnya, pengalaman rohani itu tak tepermanai.

Adakah anak-anak Sekolah Dasar yang menghabiskan siang dengan berzikir secara berjamaah adalah tanda bahwa ruh itu bisa dipupuk? Semoga. Banyak jalan menuju Roma, bukan? Setidak-tidaknya, mereka masuk ke dalam ruang tak memanjakan tubuh, tetapi menyuburkan jiwa. Dari sini, mereka belajar bahwa hidup itu bukan hanya tawa, canda dan berbelanja. Ada keheningan yang perlu hadir agar kebeningan itu nyata.

Monday, May 27, 2013

Tak ada Penggaris, Kotak CDpun Jadi

Pagi masih menyisakan kelembutan malam. Saya telah duduk di kursi kantin kampus yang riang. Lalu, saya pun membuka buku Yasraf Amir Piliang, Semiotika dan Hipersemiotika: Kode, Gaya & Matinya Makna (Bandung: Matahari, 2012). Enaknya, saya membaca buku ini dengan cara melompat-lompat, dari satu halaman ke halaman lain, dari satu bab ke bab lain tanpa harus berurutan. Saya menyebutnya gaya pembacaan mana suka.

Alamak! Penggaris untuk menandai kalimat penting tak terbawa. Mungkin alat ini tertinggal di buku Cermin Belakangnya Firdaus Abdullah. Aha! Kotak CD ini pun bisa dijadikan pengganti. Siapa bilang pembungkus ini hanya untuk mengamankan cakera padat? Ternyata pembungkus kaca ini membantu menerangkan dengan warna kuning kalimat telah mengambil alih fungsi agama dan ideologi. (hlm. 131), yang diawali dengan kalimat "Di dalam masyarakat yang mengganti kedalaman spiritual dengan kedangkalan citraan dan tontonan, sebuah pertandingan sepakbola, konser musik, rock, fashion show, televisi, menjadi bentuk ritual baru, yang dalam hal tertentu - khususnya dalam kemampuannya mengumpulkan massa - .

Lalu, kalau agama tersisihkan, adakah pengganti dangkal itu mampu mengisi batin mereka yang gerowong? Mari berhitung! Kalau kita bersungguh-sungguh menikmati citraan itu, adakah kita pernah meluangkan waktu untuk menerokai ranah spiritualitas dengan seluruh? Citraan itu jelas hanya menghadirkan absurditas, dan rumah Tuhan itu adalah tempat kita melakukan lompatan iman. Di manakah kita?


Monday, April 15, 2013

Catur

Kaki saya terhenti. Ketika melewati Perpustakaan Hamzah Sendut, USM, saya melihat mahasiswa sedang bermain 'catur'. Saya pun bertanya pada salah seorang seorang dari mereka. Meskipun dengan singkat, dia menyebut tak ubahnya catur, tentu saya harus memastikan nama buah catur dan fungsi.

Karena harus segera menemukan buku di perpustakaan,  saya pun berlalu dan pada suatu saat nanti, saya bisa belajar permainan ini. Di dunia ini, kita tak lagi menyoal logika, siapa yang dipermainkan siapa, karena kita 'telah' bersepakat untuk bekerja dengan kesepakatan aturan. Ketika melanggar, permainan tak lagi bisa dilakukan.

Oleh karena itu, hidup itu permainan. Kita harus bersetuju untuk menjalan peraturan tertentu. Kalau tidak, hidup ini akan melaju kencang dan akhirnya menubruk apa saja, sehingga tak 'bermakna'. 

Wednesday, December 26, 2012

Hanya Sepinggan


Sebanyak berapapun uang di kantong, kita hanya mengasup sepiring nasi, sedikit lauk dan dua potong buah. Lalu, mengapa kita bertungkus-lumus bekerja menumpuk kekayaan? Karena asupan batin itu tak terbatas. Benarkah demikian? Lalu, apakah sejatinya batin itu? Bahagia itu bukan mempunyai banyak harta tetapi kemampuan menahan laju hasrat. Sepertinya, unsur terakhir ini akan senantiasa membayangi langkah kita. Kalau dibiarkan bermaharalela, kita bisa disandera dan bahkan dipenjara hingga tak terkira.

Setelah makan, kita hanya perlu berhenti  sejenak untuk merenung dengan bermenung atau mencatat dengan pena. Dialog dengan diri-sendiri mengantar kita pada ruang perseteruan raga dan jiwa. Memenangkan jiwa tidak berarti menghukum raga. Semoga.

Sunday, November 27, 2011

Azam Tahun Baru


Saya seringkali mengambil gambar dari objek yang terpampang di depan mata dalam sebuah perjalanan menuju ke sebuah tempat. Semua gambar itu menjadi bahan untuk perenungan. Nah, menyambut tahun baru ini, saya pun mencari-cari gambar apakah yang cocok dengan azam atau resolusi kali ini? Setelah memeriksa gambar yang disimpan dalam komputer, saya memilih gambar di atas sebagai azam. Tidak berlebihan, bukan?

Bagi saya, amalan hidup sehat itu mudah diucapkan, tetapi susah dilaksanakan. Kegiatan sukan, misalnya, adalah aktivitas fisikal yang dulu sering dilakukan, sekarang terabaikan. Ketika masih tinggal di Pulau Pinang, saya sering bermain bola di lapangan kampus USM. Tak hanya itu, kaki ini juga sering menapaki trek stadion di pagi hari, seraya berharap menikmati kokok ayam. Bahkan, di lain waktu, saya pun berlari menyusuri jalan beraspal untuk menemukan suasana baru. Untuk tetap cergas, saya pun menyiasati dengan berjalan kaki. Di UUM, saya sering mengayunkah langkah dari satu tempat ke tempat yang lain. Sekali waktu, saya memilih berjalan kaki dari kamar ke kantin, perpustakaan, ruang kuliah dan terjauh adalah varsity mall. Nah, yang terakhir ini memungkinkan saya menikmati jembatan yang di bawahnya sungai mengalir. Belum lagi, lorong panjang yang diatapi bumbung membuat saya bisa bernaung.

Lalu, bagaimana dengan pengelolaan stres? Mungkin, siapa pun hanya perlu menjaga bagaimana kesejahteraan itu bisa dirawat. Tak salah, kita merenungkan apa yang diungkap oleh Rita Manning, filsuf perempuan Amerika, bahwa kesejahteraan kita bergantung pada pemeliharaan hubungan-hubungan kita dan keterkaitan dengan semua jenis komunitas. Bagi saya, ketertekanan itu lahir dari kepongahan kita bahwa semua bisa dilakukan tanpa melibatkan orang lain. Hanya segelintir orang yang sanggup menjalani hidup sendirian. Tapi, bukankah seorang eksistensialis, seperti Muhammad Iqbal, akhirnya harus menanggung kesepian tak terperi?

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...