Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Reflection. Show all posts
Showing posts with label Reflection. Show all posts

Friday, November 04, 2011

Etika Menyambangi Kuburan

Lihat kiri bawah, etika mengunjungi kuburan itu meliputi larangan: menabur bunga di atas kubur, meletakkan jambangan bunga di atas nisan, menyiramkan air mawar di atas kubur, membaca al-Qur'an secara menunggu hingga khatam di atas kubur, makan dan minum di atas kubur dan bersembang hal duniawi di perkuburan.

Hari ini, saya melewati tanah pekuburan ini. Dengan penataan ruang yang rapi, keasrian rumah terakhir manusia ini tampak menyerlah. Tak ada kesan seram, sebagaimana umumnya makam. Ada banyak pohon Kemboja, yang menambah kesan manis. Belum lagi, lorong setapak yang dibuat kotak-kotak persegi, sehingga menyisakan sisa tanah terdedah. Di banyak tempat, ada pondok, tempat orang ramai melepas lelah, atau sekadar duduk sambil bercengkerama. Tapi, ingat! Di sana, Anda tidak boleh berdiskusi hal ihwal duniawi.

Masalahnya, larangan di atas dimaklumkan pada orang ramai karena praktik tradisional itu tidak ditemukan dalam nas yang sahih. Padahal, ia bisa dikaitkan dengan hadits yang menjelaskan bahwa Nabi menyukai wewangian. Bagaimanapun, bunga dan air mawar itu bisa menghadirkan keharuman. Demikian pula mengkhatamkan kitab suci mungkin tak ada dalam kitab suci, tetapi membaca al-Qur'an di pondok pekuburan yang asri itu tentu merupakan pengalaman yang mendebarkan.

Tuesday, February 15, 2011

Merayakan Maulid di Teluk Kumbar

Halte bus tepat berada di depan gedung kampus Eureka. Oleh-oleh dari acara maulid Nabi. Rumah tempat kami memuji Nabi.

Tuesday, January 11, 2011

Pasar dan Modal

Saya merindukan pasar itu. Mungkin pengaturan sayur-mayur itu tak serapi di pasaraya, namun saya membauinya sebagai masa lalu di pasar kampung. Ia hadir di tengah kepungan pasaraya besar. Mungkin, harga segenggam kacang panjang lebih mahal dari pasaraya, namun kita tak akan bangkrut hanya karena membayar lebih sebesar RM 20 sen. Tapi, sayang, ia berada jauh dari tempat tinggal. Kami ke sana bersama tetangga baik hati, Pak Cik Yusuf dan Mak Cik Sri. Tentu saja, kami juga pergi bersama anak bungsunya, Iman, yang sangat dekat dengan si kecil, Nabbiyya.

Berbeda dengan pasaraya, di sana kami bertemu langsung dengan penjual, bukan kasir yang hanya menghitung uang. Ada senyum merekah ketika kami membeli segenggam bawang merah, sebelum harga bumbu dapur ini sekarang merangkak naik. Tak hanya merogoh kantong lebih dalam, kualitasnya juga tak baik, ini karena pengekspor barang ini, India dan China, dilanda bencana alam, sehingga produksi berkurang. Malah, berita koran kemarin, santan kelapa juga naik karena pasokan dari Sumatera makin berkurang setelah Semenanjung itu dihantam Tsunami.

Tuhan, doa kami agar bencana itu tak selalu menyergap kami. Meski kebutuhan sehari-hari melambung tinggi, namun petani tak banyak meraup untung. Pedagang telah mengambil jerih payah mereka untuk mengaut keuntungan. Sebagaimana di Indonesia, harga cabai makin mahal, tapi petani juga tak menangguk untung. Alamak, kenapa pedagang itu merampas hasil keringat orang lain? Lalu, pemerintah ada di mana? Oh, mereka sedang sibuk mengaca diri, berdandan untuk pemilu yang akan datang.

Sunday, January 02, 2011

Sejarah Arab dan Pagi Kedua


Untuk hari kedua di awal tahun 2011, imam dan tukang azan masih sama. Biasanya setelah Subuh saya menekuri komputer atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga, namun kali ini tidak, pergi ke warung India Muslim, Khaleel, di kala gelap masih menyelimuti Bukit Gambir. Padahal angka jarum jam telah menunju 6.30, waktu yang tak lagi gelap di kampung halaman. Anda bisa lihat langit gelap itu, yang ditingkahi lampu jembatan penyeberangan yang memisahkan asrama dengan kampus induk. Udara masih bersih. Hiruk-pikuk kendaraan belum menyeruak. Benar-benar, suasana hari yang menentramkan.

Agar tak bengung, saya membuka buku yang dibawa di rumah. Meskipun judul buku itu berbahasa Inggeris, karya Philip K Hitti itu telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh penerbit Serambi. Meskipun terkantuk-kantuk, saya mencoba untuk mengurai satu per satu barisan huruf. Sekali-kali, saya menggarisbawahi kalimat penting dan menarik, bahkan kadang menebalkan kalimat dengan warna pink. Apakan tidak, seorang raja yang berkuasa di Spanyol pada abad pertengahan selama beberapa tahun dan mempunyai gundik berkeluh-kesah hanya menikmati kebahagiaan selama 14 hari dalam hidupnya (lihat hlm. 668). Ada banyak kisah mengiris hati dalam sejarah penguasa Muslim di Andalusia, misalnya, bagaimana seorang ayah tega menghabisi nyawa semua anaknya agar ia tak tergantikan di singgasana kekuasaan. Tragis!

Namun sedahsyat apa pun cerita, saya masih terkantuk-kantuk. Kadang mata terpejam, meskipun mata tak bisa lelap. Di ujung ada dua remaja Tionghoa sedang bercengkerama dengan rokok di tangan. Sayangnya, setelah tembakau habis, mereka membuang begitu saja puntung, padahal sisa itu bisa dibuang di asbak yang berada di meja tak jauh dari tempat mereka duduk. Dari matanya, mereka tampak belum tidur semalaman. Lalu, pagi pun hadir bersama makin banyak pengunjung berdatangan. Saya pun beranjak untuk memesan roti canai dan mengambil nasi lemak untuk dibawa pulang. Sambil membaca koran The Star, saya menghabiskan sisa kopi, lalu membayar di kasir. Sebelum mengambil motor, saya sempat membeli koran Kosmo!, surat kabar yang dianggap tidak cool oleh Hishamuddin Rais, pemilik blog paling banyak dikunjungi di Malaysia, Tukar Tiub, selain Che Det, milik Mahathir Mohammad.

Saturday, January 01, 2011

Mengawali Waktu di Tahun Baru

Seperti diniatkan semalam, ada dua kegiatan yang akan dilakukan untuk memulai hari pertama di tahun 2011: mengikuti pengajian di Masjid Kampus dan bermain bola di lapangan Minden. Lalu, apa kaitannya dengan gambar di atas? Kebetulan. Setiap kali saya, isteri dan Nabiyya mengikuti kegiatan di atas, kami acapkali melihat upacara ijab kabul pernikahan di dalam rumah Tuhan itu. Sebelumnya, kami melepaskan pandangan sambil lalu.

Namun, di hari pertama tahun baru, saya sengaja datang tepat waktu, 10 pagi untuk pengajian. Seperti biasa, tak seorang pun mahasiswa hadir sesuai pengumuman di milis. Hanya tampak pekerja migran yang sedang belajar membaca al-Qur'an. Lalu, saya pun duduk mengikuti upacara di atas hingga usai. Sang penghulu memimpin acara dengan khidmat. Pengantin lelaki menghapal kalimat, saya terima nikahnya... dengan mas kawin sekian tunai. Lalu disaksikan kerabat, ijab kabul akhirnya berlangsung dengan baik. Wajah lega tampak bertempiaran. Setelah usai, saya pun ke ruangan pengajian, dengan tema Gelombang Dakwah Islam di Nusantara yang dibawakan oleh Pak Dedy AlMasdi, calon doktor di Fakultas Farmasi.

Di sore hari, kami pun pergi lapangan bola. Mendung menggelayut di langit, hujan seakan-akan mengancam. Namun, hanya sedikit muram, butiran air itu tak tumpah. Sesampai di lapangan, saya bergegas, melakukan pemanasan dan bermain bola bersama teman Indonesia dan warga lokal, yang kebanyakan berkebangsaan India. Meskipun tak menggunakan lapangan besar, kami tetap bersemangat mengocek si kulit bundar, seakan-akan melupakan beberapa hari sebelumnya ketika pertandingan final Indonesia-Malaysia mengguncang publik.

Sebelum Maghrib, kami pun beranjak, pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung makan Thailand, Mutiara, untuk makan malam. Saya pun sempat menunaikan shalat berjamaah di surau flat Ivory yang mungil dan bersih itu. Sang imam, mahasiswa Arab, tampak gagah dengan baju hem, jas dan celana. Dengan jiwa tentram dan badah sehat, siapa pun tak perlu lagi memanjangkan angan untuk meraih kebahagiaan, karena di situ kita mengecapi kegembiraan. Lalu, adakah pesta semalam telah membuat Anda melewati hari ini dengan mengaji dan berolahraga? Tidak apa-apa, besok masih ada matahari untuk memenuhi resolusi. Selamat tahun baru 2011, Kawan!

Friday, December 17, 2010

Melewati Ruang

Melewati gedung ini, saya merasakan lebih tentram. Dulu, di pinggir Dewan Tunku Syed Putera, tak ditanami rumput dan pohon. Sekarang, seperti Anda lihat, pemandangan lebih segar. Meskipun jalan menaik, saya menikmati setiap langkah. Anda juga mengalami hal serupa jika melakukannya. Tentu, jalan kaki 10 ribu langkah yang dianjurkan agar kita sehat memerlukan lingkungan yang juga nyaman. Sekarang, kampus telah menyediakan fasilitas, tinggal orang ramai memanfaatkan agar kaki kita tak malas mengayun langkah.

Tampaknya, pembuatan dan perbaikan jalan setapak telah banyak dilakukan, seperti di depan Pendidikan Jarak Jauh. Tentu, pemanfaatan jalan tersebut bisa maksimal kalau pengaturan parkir dilakukan. Pihak kampus harus mengatur pusat parkir di beberapa titik kampus, seperti di depan stadium, lapangan sepak bola minden, dan depan Masjid.

Merenung

Sambil menunggu pertemuan Universitas Muhammadiyyah Makasar dan Universitas Sains Malaysia di ruangan rapat Kantor Internasional, saya merenung pohon. Tanpa kehadirannya, tentu saya tak akan duduk di situ. Adakah akar itu juga tumbuh dari batang? Wow, betapa kokohnya pohon itu. Udara yang bertebaran di sekitar tumbuhan ini serasa segar. Matahari terhalang menghantam bumi, sehingga saya tak perlu mengeram di gedung batu. Penyaman udara (air conditioner) membuat kulit kering, sementara udara alam membuat kulit tentram. Jika Tuhan memberikan cukup untuk bumi, mengapa kita menciptakan mesin yang merusak diri dan bumi ini?

Friday, December 03, 2010

Agama Publik

Agama publik (public religion) adalah istilah teknis yang bisa jadi rumit uraiannya. Ia kadang dibedakan dengan agama pribadi, yang juga menjadi panjang jika ingin dimaklumkan pada orang ramai. Tetapi jika agama publik dipahami secara harfiah dari kata ini, agama masyarakat, ia bisa dilihat dari rak buku di atas. Khalayak hanya perlu memikirkan kembali ibadah dan doa mereka. Adakah ia sekadar memenuhi perintah, atau lebih jauh ingin meraup berkah, maka ini pun melahirkan silang pendapat.

Pendek kata, secara tersirat, apa yang dilakukan oleh orang ramai bisa ditafsirkan sebagai sebuah konfigurasi yang rumit tentang makna agama. Ketika kritik dilayangkan pada mereka yang mengamalkan agama secara formal, hakikatnya, mereka sedang menyelami makna batin dari agamanya. Tubuh mereka akan merespons secara berbeda pada keadaan yang dimanjakan di mal atau di masjid. Meramaikan yang terakhir tentu beda pengaruhnya dengan yang pertama.

Hanya orang yang baru belajar filsafat enggan memakmurkan surau tempat ia tinggal. Hakikatnya ruang publik itu berupa tempat yang tak mencecoki tubuh dengan materi semata-mata, tetapi harus berupa ruang yang membuat tubuh kita nyaman secara spiritual. Di sini, orang bertemu karena mengandaikan kerinduan ilahi, bukan transaksi. Mal adalah ruang di mana orang terperangkap pada rayuan gombal tentang kebahagiaan dan surau adalah antitesis dari kegombalan itu. Orang ramai perlu diyakinkan bahwa mereka harus tahu jalan pulang, tempat ibadah. Sementara segelintir pemikir akan merana mati sendirian, jika gagasannya yang terbenam dalam benaknya tak berbuah tindakan.

Coba lihat buku Indahnya Amalan Doa Ismail Kamus di atas. Ia akan lebih menarik orang untuk membeli karena kandungannya sejalan dengan kehendak orang kebanyakan, berdoa untuk mendapatkan kebaikan. Tambahan lagi, pengarang tersebut adalah penceramah yang sangat populer. Dalam sebuah kesempatan, saya sendiri pernah mengikuti ceramah bekas politisi ini di kampus. Wow, seluruh kursi ruang auditorium kampus terisi. Bahkan, sebagian peserta duduk di lantai dan di luar gedung. Peserta ger-geran menanggapi kelucuan penceramah, sehingga membuat mereka betah berlama-lama mendengar pengajian. Hal serupa juga terjadi ketika Fadilah Kamzah, motivator dan penceramah agama hadir di tempat yang sama. Pendek kata, agama publik itu bisa ditakrifkan sebagai agama yang dipahami dan dinikmati orang ramai.

Wednesday, December 01, 2010

Penunjuk Arah

Lihat papan tanda itu (signboard), meski tak jelas hurufnya dari kejauhan tapi ia mengandaikan arah yang harus dituju jika seseorang ingin menuju ke satu tempat. Hidup juga begitu. Jika tanda arahnya tidak didekati dan dipahami, kita mungkin tersesat.

Tuesday, November 30, 2010

Agar Terhibur

Karena ada dua vocer, kami pun melaju untuk menikmati hadiah. Kalau tidak, mungkin kami tak perlu makan di KFC (Kentucky Fried Chicken) dan menyesap kopi di Starbuck. Bukan karena menuruti ajakan boikot terhadap perusahaan Amerika yang terkait dengan Israel, namun bagi saya, keduanya mahal. Lagipula, pemilik lisensi KFC di Malaysia adalah Johor Corporation, yang diterajui oleh Ali Hashim, dan produk starbuck juga menjual kopi Sulawesi dan pelayannya sebagian memakai kerudung. Masihkah batas antara kawan dan lawan di dunia normal sejelas di medan perang?

Di hari libur, banyak orang pergi ke mall agar terhibur. Tak salah, namun apa yang dicari? Aha, di sana toko buku yang besar, Borders, perusahaan buku asal Inggeris, yang memberi saya vocer senilai RM 10 untuk menikmati kopi Starbuck. Sesampai di toko buku itu, kami pun berhamburan, memilih rak buku sesuai dengan kesukaan masing-masing. Selalu saja, untuk pertama kali, saya menuju ke rak filsafat, yang hanya terdiri dari satu rak, tak sebanyak buku jenis lain. Untungnya, ada buku baru, Living in the End Times (2010), Slavoj Žižek, sehingga saya duduk agak lama di kursi empuk berwarna hitam, menekuri huruf. Saya pun sempat mencatat ucapan Mao, setelah bertemu Nixon dan Kissinger, "I like to deal with the rightists. They say what they really think - not like the leftists, who say one thing and mean another (hlm. xiii). Ternyata orang kiri itu banyak menggunakan metafora ya?

Lalu, kami pun beranjak untuk makan siang di KFC. Layaknya tempat makanan cepat saji, standar pelayanan dan desain ruang minimalis dan tak banyak menghadirkan ornamen lokal. Gambar besar Colonel Sanders tentu menjadi penanda dari warung goreng ayam ini. Sayangnya, kami pun tak sempat menukarkan vocer untuk menikmati kopi karena harus pulang, untuk mengunjungi teman di sore itu. Kadang, keinginan dan rencana kita tak selalu berbuah kenyataan. Toh, waktu masih terbentang luas, kita pun akan segera mewujudkannya, meskipun tak jauh-juah dari kebutuhan dasar yang diulang-ulang. Hanya beda kemasan dan rupa.

Sunday, November 21, 2010

Buku Orang Ramai

Setiap orang akan memilih bacaan yang sesuai dengan kehendak, kemampuan dan kecenderungan alam pikirannya. Jika kita menemukan buku ini diletakkan di rak sebuah toko yang mengisi ruang pasaraya, TESCO, perusahaan multinasional Yahudi Inggeris itu, maka kita bisa membayangkan apa yang diingikan orang ramai tentang kehidupan. Agama itu hal praktis. Sementara, hanya segelintir yang memikiran masalah keagamaan secara teoritis. Keduanya tak perlu bersitegang, namun pasar menghendaki mereka beradu hujah agar banyak barang jualan yang laku, seperti buku, koran dan CD.

Begitu banyak khalayak membaca doa dan kitab suci agar hidupnya tentram, sementara sedikit orang bergelut dengan teori untuk mencari jawaban mengapa mereka melakukan hal itu. Celakanya, tak jarang masyarakat luas dibuat bingung oleh wacana yang diurai oleh segelintir bahwa jalan mereka perlu disoal ulang. Meskipun khalayak itu tak bersuara, mereka mempunyai pengawal yang berteriak lantang bahwa pemikiran keagamaan itu tidak boleh diringkus dengan akal. Sikap pasrah adalah kunci untuk menemukan berkah. Adakah yang segelintir itu menolak berkah? Tidak, hanya maknanya mungkin tak sama.

Coba lihat sampul buku yang mengungkap tentang dunia kematian yang berada di sebelah buku Ustaz Yusuf Mansur, Mencari Tuhan yang Hilang. Tentu, ia bukan perenungan filsafat. Di dalamnya, orang diminta berbuat baik karena keburukan membawa padah di alam kubur. Lalu, filsuf menyebut alasan kategori imperatif untuk menyuruh kita berbuat baik. Bahasa dan penalarannya berbeda, namun sama-sama ingin memberikan dasar agar kita melakukan kebaikan. Setiap pribadi tentu menanggung rasa nyaman masing-masing dengan memilih alasan. Tentu saja, alasan yang terakhir tidak diucapkan dengan alesan seraya merengus dan berlalu pergi dengan bermuka masam.

Thursday, November 11, 2010


Kadang hidup tak selalu berjalan seperti yang diinginkan. Niat hati melaju ke kampus, saya tertahan karena langit ambrol. Di bulan November, hujan datang tanpa bisa diramalkan. Saya pun hanya mengail ingatan, apa yang pernah terjadi di sini? Lapangan sepak bola kampus menyeret saya pada pengalaman pertama kali menginjakkan kaki, merasakan keras konblok ketika berlari di pagi hari setelah Subuh, atau sore ketika matahari masih bertengger di atas bukit. Bahkan, saya pernah bermain bola, baik satu lapangan penuh atau hanya separuhnya dengan teman-teman.
Di sini, saya pernah duduk di tribun seraya menonton pertandingan bola. Di lain waktu, saya juga bermain tenis di sebelah kiri lapangan. Setiap kali hujan, saya membayangkan lapangan itu basah dan rumput naik, berwarna hijau segar. Mata pun bugar. Adakah hujan itu ingin memberitahu saya bahwa saya telah lama tak singgah ke sini untuk melemaskan otot dan memeras keringat? Pengalaman yang juga tak dilupakan tentu pertandingan final Nike bawah 15 tahun antara tim Indonesia-Malaysia. Meskipun kalah, saya menemukan semangat para remaja itu. Semoga mereka masih berjalan lurus untuk menjadi pemain handal.
Lalu, setelah hujan berhenti, saya pun bergegas ke kampus. Diiringi rintik, saya menembus jalan yang masih muram. Bau rumput dan pohon menyengat. Alam selalu membuat saya nyaman. Dalam hujan dan panas, pesonanya tak hilang. Hanya saja setelah bumi diterjang panas, hujan yang menderu dan hilang, memercik keindahan tersendiri. Udara lebih bersih dan pandangan mata lebih jernih karena debu tak berkeliaran, beringas.

Tuesday, November 09, 2010

Kami Peduli

Hari Sabtu, para mahasiswa dan pekerja asal Indonesia di Pulau Pinang senantiasa duduk bersama, mendengar dan bertanya hal ihwal keagamaan di Masjid Kampus al-Khalid. Secara bergiliran, para ustaz tampil untuk berbagi dengan warga agar batin mereka tak meranggas. Selain mengasup pengetahuan, mereka pun menjalin silaturahim. Di sini, gagasan lain bermunculan, tak melulu tentang bagaimana merawat iman, tetapi juga lebih jauh menyuburkan amal kebajikan. Bahkan, sebagian lain memupuk literasi kesusastraan di sini.

Mengingat negeri dirundung bencana, para mahasiswa mengambil inisiatif untuk mengumpulkan dana bagi korban gempa, banjir dan letusan Merapi. Mungkin, sumbangan itu tak banyak, namun keprihatinan ini semoga berguna bagi mereka bahwa korban tak sendirian. Bahkan, di akhir acara pengajian, sang ustaz, Bapak Riswan, memimpin doa agar mereka tabah dan siap untuk terus berusaha keluar dari nestapa. Bagi kami di sana, jalan selamat, tema pengajian, adalah perwujudan dari doa-doa kami dalam surat al-Fatihah, agar kami menemukan jalan lurus (sirat al-mustaqim), jalan para hamba yang diberi nikmat, yaitu para nabi, pencari kebenaran, martir dan saleh.

Selanjutnya, di bawah koordinasi Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia, mahasiswa mengedarkan kotak sumbangan di kampus setelah mendapatkan izin dari rektorat. Meski negeri tetangga ini juga dilanda banjir, namun warga di sana turut menyumbang sebagai bentuk kepedulian. Dengan menanggung bersama, kita akan menjadi manusia yang tak lagi melihat cobaan ini adalah hukuman, tetapi pelajaran untuk menata hidup bersama lebih baik. Semoga! Dalam keadaan seperti ini, satu sama lain saling menyangga agar penderitaan ini tertanggungkan.

Monday, November 01, 2010

Makan Sate

Semalam saya menikmati kembali sate di warung pinggir jalan. Tetapi, saya datang dengan orang yang berbeda, tak lagi dengan kawan baik, Pak Isyam dan Mas Ayi (lihat gambar). Untuk kesekian kalinya, saya mengasup daging bakar dan sambal kacang. Meski bisa dihitung dengan jari, makan malam di sini memantik banyak ingatan. Sejauh mugkin saya mengajak pengunjung lain untuk berbincang ringan. Di sebelah meja, tampak dua orang sedang menunggu dan dengan senang hati memberikan kami 'ruang' untuk berkongsi.

Pemilik warung pulang kampung untuk menunaikan haji. Anaknya, Mas Ainurrahman, menggantikan bapaknya menjalankan perniagaan. Meski baru memulai, si anak sudah cepat belajar. Namun, ia pun kelabakan karena begitu banyak pelanggan yang menuntut pelayanan segera. Ada banyak yang tercecer, seperti ketimun dan bawang merah yang tak sempat dikupas. Kami pun memaklumi. Toh, sepuluh tusuk sate dan sambal kacang telah mengobati kangen pada aroma daging dibakar. Hanya beberapa kerat bawang merah mampir di piring.

Dengan hanya menempel di warung makan China, warung ini menarik banyak warga lokal, kebanyakan Indonesia dan Melayu. Tidak susah membedakan mereka, kami hanya mendengar cara mereka memesan makanan. Saya pun memilih untuk berbincang dengan beberapa pekerja migran, yang kebanyakan berasal dari Tanah Sumatera dan Jawa. Semalam, bapak setengah baya yang berasal dari Gresik sempat bercerita banyak dan saya pun mendengar penuh takzim. Sambil menyedot rokok Gudang Garam coklat 16, bapak itu berkisah hal ihwal pengalamannya sebagai pekerja asing.

Di sela-sela kepulan asap, saya sempat mendengar seorang pekerja berteriak ringan, woi, kenapa sate lewat sangat! Belum lagi, beberapa orang berdiri menunggu dilayani: 10 ayam, 15 kambing. Tangan lincah Ainur mencoba beradu dengan pesanan, memasukkan sate ke piring yang dipenuhi sambal cabe dan kacang yang dilumuri kecap ABC-Heinz. Dua orang pekerja yang sedang membakar pun makin cepat mengipas seraya membolak-balik daging agar terbakar rata. Orang-orang bergegas agar makan malam tak terlambat. Ya, semua terburu-buru. Hidup tak ubahnya perlombaan, masing-masing berlari kencang agar segera sampai ke garis akhir. Sekilas, mereka mencoba memenangkan perhatian agar segera mendapatkan pelayanan.

Ayo, berlari sebelum malam berakhir. Esok pagi, kita pun masih berlari untuk tujuan yang lain pula. Mungkin kita tak memenangkan perlombaan, tetapi sampai ke garis akhir dengan selamat tentu melegakan. Namun, setelah kenyang, kita akan berlari lagi. Hanya saja kita perlu sabar, agar tak dirundung lelah, sebab di waktu jeda, kita tak sempat memikirkan bahwa hidup tak melulu berlari, tetapi juga berhenti untuk menghela napas. Tarik perlahan, ternyata hidup itu lebih indah dalam keadaan tenang, tak terburu-buru mereguk kepuasan.

Oh ya, kunjungan kali ini tak direncanakan sejak awal berangkat dari rumah. Kami dengan jiran yang baik, Pak Cik dan Mak Cik, ingin mengisi ujung minggu ke pasaraya, berbelanja kebutuhan sehari-hari. Di tengah jalan, ide makan sate muncul. Lalu, saya menelepon pemilik warung, memastikan buka malam ini. Aha, hidup ternyata tak selalu berada di atas kertas, kadang ia mengalir begitu saja, tanpa harus memikirkan ke mana ia bermuara. Ujung-ujungnya, kita hanya perlu kenyang, lalu berpikir bahwa di ujung sana, ada banyak orang yang sedang memikirkan menu apa malam ini? Ironis, saya melakukannya setelah mengasup sepuluh tusuk sate dan ingin menghapus kesalahan ini dengan berkilah bahwa saya masih memikirkan orang lain.

Wednesday, October 27, 2010

Ruang Bersama

Kebun bunga adalah ruang bersama masyarakat. Di sana, pengunjung tinggal memilih, menikmati bunga dan pepohonan atau merenggangkan otot untuk bugar. Malah, siapa pun bisa menyendiri, seperti tampak pada ujung kanan bawah. Seseorang merenung di bawah atap.

Monday, October 25, 2010

Peristiwa Dua Hari

Selama dua hari di Surabaya, kami hanya mengumpul kelaziman orang ramai, berbincang dan melancong. Tak jauh beda dengan orang kebanyakan, keperluan hidup itu bisa diringkas dengan kesungguhan memahami realitas dan merenung dengan penuh seluruh tentang alam. Gambar pertama, saya melihat semangat mahasiswa yang membuncah untuk berdialog tentang ekspresi Muslim Asia Tenggara dalam Politik.

Hakikatnya diskusi serupa bisa ditemukan di mana-mana, namun kadang perlu ruang yang lebih nyaman dan teratur agar pertukaran pendapat tak melahirkan rasa masygul. Meski pembicara dan peserta berlainan tempat duduk, namun kesetaraan adalah harga mati dalam menyampaikan gagasan. Pengaturan waktu dibuat agar semua mau mendengar dan berbicara sesuai kesepakatan. Siapa pun tahu dan tak perlu ragu. Toh, akhirnya seusai acara, masing-masing akan berjumpa sebagai manusia. Padangan dan ideologi yang sempat mencuat di ruangan terbatas itu tidak akan membuatnya harus menjaga jarak dari 'seterunya'.

Lalu, ruangan yang jauh lebih besar adalah kenyataan. Panitia konferensi tahu betul bahwa ide-ide besar yang sempat bergemuruh di ruangan akan layu di tengah kenyataan yang rumit di lapangan. Ya, kawasan lumpur Sidoarjo seakan-akan membuat mandul siapa pun untuk mengurai benang kusut. Kami pun yang lincah di ruangan hanya tertegun melihat kemarahan alam dengan menyemburkan lumpur dari dalam dan menenggelamkan tempat tinggal warga. Kalaupun semua kuasa, akademikus, politikus dan media bersekutu, mereka tak sepenuhnya memahami fenomena bencana ini secara tuntas, namun siapa pun harus menahan diri untuk tidak merusak kehendak menyelesaikan masalah yang ditimbulkan oleh keabaian manusia.

Hanya saja, mereka yang cuai harus bertanggungjawab. Sementara, pemerhati tidak menangguk untung di air keruh. Lagi-lagi, pandangan ideal semacam ini tertera di atas kertas, sementara kenyataan selalu lebih rumit. Tentu, di tengah hiruk-pikuk, ada tangan-tangan tersembunyi yang bergerak untuk menyelesaikan masalah yang membelit. Rumus ini harus dipakai untuk semua masalah antara sesama. Wajib, segelintir kita bekerja dalam 'diam'.


Friday, October 22, 2010

Kuala Lumpur di Sidoarjo


Di sela-sela acara konferensi di IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Surabaya, para peserta dari luar negeri mengunjungi kawasan yang digenangi lumpur di daerah Sidoarjo. Sejauh mata memandang, kami hanya melihat lumpur yang telah mengering. Sisa-sisa atap rumah yang masih menyembul menjadi penanda betapa semburan dahsyat itu menenggelamkan banyak perumahan penduduk dan pabrik. Malah, beberapa hari sebelumnya, televisi lokal menyiarkan sebaran semburan yang menjangkau rumah penduduk lain yang jauh dari lokasi ini.

Hingga sekarang, masalah lumpur ini menyeret banyak pihak untuk urun rembug. Tidak hanya terkait ganti rugi yang harus diberikan pada penduduk, tantangan terbesar pemerintah adalah memanfaatkan lahan ini untuk kegiatan produktif. Dengan menjadikan areal di atas sebagai tujuan wisata, sesaat tempat ini berguna untuk menarik turis, meskipun ia bukan tempat yang nyaman untuk menghabiskan waktu beberapa saat. Sebagai persinggahan ke titik lain, seperti daerah kerajinan kulit Tanggulangin Sidoarjo, agen pariwisata bisa memasukkan 'Kuala Lumpur' ini sebagai daya tarik Surabaya secara keseluruhan.

Wednesday, October 20, 2010

Bersama Anak Yatim


Sebagai perantara, saya bergembira bersama anak yatim di kampung. Teman baik saya, Dr Zailani Yusoff, menyumbang untuk menambah kas asrama anak yatim. Dosen Universitas Utara Malaysia ini sempat menitipkan uang sebelum kami berpisah setelah sama-sama mengikuti acara di IAIN Sunan Ampel Surabaya. Sementara, Sayyid Abdur Rahman, perintis rumah anak-anak yang kehilangan orang tua ini tak bisa menyembunyikan rasa gembira karena mendapatkan perhatian dari dermawan. Tentu, pekerjaan yang akan segera dilakukan selanjutnya adalah memastikan rumah ini didaftarkan ke Dinas Sosial untuk mendapatkan bantuan rutin.

Ada lima belas anak yang tinggal di rumah yang terletak di lingkungan Madrasah Islamiyah al-Khairat. Kebanyakan mereka berasal dari Jambi, Sumatera. Selain harus mengikuti pendidikan agama di waktu sore, mereka juga belajar di Sekolah Dasar Negeri sebagai bekal mereka untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang lebih tinggi. Pendek kata, pihak pengelola asrama memberikan hak-hak anak yatim sepenuhnya. Sebagai rintisan asrama anak yatim di kampung, siapa pun dituntut untuk turut serta membantu agar keberadaan rumah ini benar-benar menjadi tempat tinggal yang nyaman bagi mereka hingga remaja.

Pak Arif, salah seorang dari tetangga Madrasah, berupaya untuk menyerahkan berkas-berkas persyaratan agar asrama ini bisa mendapatkan pengakuan dari pihak berwenang sehingga bantuan yang jauh lebih teratur akan bisa diterima. Masih segar di ingatan, kami membicarakan hal ihwal ini di sebuah pondok (hut) dari bambu di sebelah pagar Madrasah. Meski terkesan tak resmi, namun ini akan menjadi landasan agar pada masa yang akan datang semua orang akhirnya bisa melihat papan tanda nama bahwa sekolah yang dirintis oleh Sayyid Toha, pendiri sekolah agama pertama di kampung ini, juga mempunyai asrama anak yatim. Semoga!

Tuesday, October 12, 2010

Asing dan Karib


Gambar di atas diambil dari kursi sebuah warung makan di pinggir jalan. Kalau tidak ada tulisan Heap Seng Hin & Co, saya akan menggeleng kepala kalau diminta membaca huruf China di atas. Sesuatu yang asing. Bagaimana jika ditulis dengan huruf Arab? Serta-merta saya akan mengatakan tidak asing, dekat. Padahal jika ditilik dari asal-muasal saya, sejatinya keduanya sama-sama asing. Namun karena huruf Arab telah menjadi bagian kesadaran sejak kecil, ia tidak lagi merupakan sesuatu yang ada di seberang.

Mungkin pada waktu tertentu, huruf-huruf itu menyampaikan maksud yang sama, namun kedekatan kepada keduanya mempengaruhi emosi, karena berkait dengan perjalanan panjang sejarah, yang di dalamnya berkelindan hal ihwal kebudayaan, politik dan sosial. Huruf Arab jauh lebih mempunyai daya magis karena ia terpahat dalam kitab suci dan terpampang di ukiran tiang masjid. Samar-samar, saya masih mengingat dengan baik dulu di kampung saya pernah menemukan huruf Arab dijadikan jampi-jampi untuk segala keperluan.

Lalu, apa sebenarnya asing dan karib itu? Mungkin anekdot seorang ibu dan anaknya perlu ditimbang. Ketika si kecil bercerita pada ibunya, "Bu, tadi saya bertemu orang Asing." Lalu, Ibu itu menukas, "Bukan, Nak! Ia adalah orang yang belum kamu kenal". Jadi, asing dan tidak itu bisa dilihat dari sudut perjalan waktu. Hanya saja, maukah kita melaluinya atau abai hanya karena kita telah merasa cukup dengan tetangga yang telah dikenal sebelumnya?

Monday, October 11, 2010

Tidur Pulas


Andai dunia ini dilihat dari mata anak kecil, mungkin hidup akan terasa lebih nyaman. Ia bisa tidur dengan lelap, tanpa harus direpotkan dengan tempat. Mungkin, sebagai orang dewasa kita tak perlu meniru polah sekasat mata di atas, tetapi siapa pun perlu rehat jika lelah. Kita pun bisa memejamkan mata untuk tak membelalak sepanjang hari dan malam. Dunia tak akan tunduk dengan terus menjaganya.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...