Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Hujan. Show all posts
Showing posts with label Hujan. Show all posts

Saturday, November 12, 2011

Menikmati Pagi

Menjelang Subuh, tiba-tiba hujan mencurah deras. Azan terdengar sayup-sayup di sela bunyi air yang tumpah. Tetangga saya, mahasiswa asal Palestina itu, menaiki mobil merahnya ke surau dan memarkir kendaraannya di bawah atap teras. Jarum jam menunjuk angka 6 lebih 3 menitan. Jam tubuh saya jelas-jelas merasakan bahwa badan ini perlu bangun sebelum kesiangan, padahal hari masih gelap. Dengan payung yang gagangnya putus, saya berangkat ke surau. Di sana, biasanya saya berjumpa dengan 4 anak kecil, namun kali mereka tak datang.

Pak Bunyan, dosen asal Indonesia, mengimami sembahyang Subuh. Mr Mushthafa, asal Nigeria, kadang menempati posisi imam. Tuan Haji yang biasanya memimpin sholat memilih menjadi makmum. Rafi senantiasa membacakan iqamah, pertanda sholat segera ditunaikan. Mereka menghidupkan surau itu dengan riang. Ternyata, hujan tak menyurutkan warga perumahan untuk beribadah bersama. Mereka beranjak setelah usai, mengambil tempat di pelbagai sudut untuk berzikir.

Saya pun pulang. Hujan masih turun. Setelah sampai di rumah, saya membuka jendela agar udara pagi menyerbu masuk. Tak lama kemudian, seperti biasa, saya pergi ke warung surat kabar. Dengan koran di tangan, saya melangkah ke warung roti canai. Sambil menikmati berita, artikel dan hiburan, saya masih sempat menikmati berita Astro Awani. Kabar pembubaran parlemen yang sebelumnya berseliweran di media sosial hanya isapan jempol belaka. Kopi panas pagi itu juga mengusir dingin. Begitu banyak jamaah dari Masjid Muttaqin tumpah ruah di warung ini. Mereka berkelompok, bertukar cerita dan sebagian membaca koran. Sekitar 15 menit, saya duduk menikmati pagi. Setelah membayar secangkir kopi dan setangkup roti, saya pun pulang. Gelap telah pergi. Nyanyian burung tekukur menghiasi pagi. Lalu, kenikmatan apa lagi yang kita mau ingkari?

Saturday, August 13, 2011

Hujan Lebat di Hari Pertama

Kemarin, halaman dan tanah di pot bunga ini kering. Hari ini, hujan deras mengguyur bumi Jitra, Kedah. Bau khas tanah menyeruak. Butiran air tumpah dari langit. Tak lama kemudian, sisa basah tampak jelas terlihat. Setelah lama tak menikmati hujan, kami menemukan kegembiraan yang luar biasa. Tak pelak, saya berkicau di akun twitter, " Kita berkuasa memberikan makna pada setiap peristiwa. Kepada hujan deras hari ini, saya anggap berkah yang tumpah di hari pertama."

Ya, kami baru pindahan ke rumah baru, sebuah perumahan khusus untuk civitas academica UUM. Dengan diantar staf kampus, Encik Tajuddin yang ramah dan baik hati, kami berangkat dari penginapan menuju Taman Siswa. Di tengah perjalanan, kami sempat berbelanja di toko peralatan rumah tangga. Semuanya tampak baru. Siapa pun tentu merasa teruja dengan kebaruan, meskipun hakikatnya semua adalah perulangan. Bagaimanapun, sudut pandang kadang mendatangkan perasaan yang lain. Jadi, rasa nyaman itu adalah mudah.

Duh, tiba-tiba cericit burung memecah sore. Saya yakin burung itu sedang bertengger di salah satu dari dua pohon yang berdiri kokoh di halaman. Suara anak-anak kecil turut meramaikan hari menjelang senja. Nabbiyya pun bergegas ke luar bersama ibunya. Malah, si kecil sempat berkenalan dengan dua anak tetangga, Muhammad dan Nuruddin. Dengan mengenal dunia baru, keduanya tak akan pernah merasa asing. Demikian pula, di tengah perubahan yang cepat, kita berkejaran dengan waktu agar tak merasa kesepian. Untuk itu, mengenal kehidupan itu adalah perlu dan ini hanya dimulai dengan sapa.

Monday, August 18, 2008

Senin dan Hujan

Sebelum saya menginjakkan kaki di parkir kampus, hujan menderas. Serta merta saya menambah kencang tarikan gas agar segera sampai. Meskipun demikian, baju depan dan celana saya basah, tapi tidak kuyup. Andaikata saya tidak mampir ke toko 24 jam 7Eleven untuk mengambil koran the Sun, mungkin saya tidak akan kehujanan. Di sana, saya malah sempat bersua dengan Pak Suharma, mahasiswa PhD Bidang Kerja Sosial, yang sedang membeli rokok Gudang Garam.

Akhirnya, dengan bergegas saya memasuki ruangan komputer kampus. Pakaian basah dan ruangan dingin tidak membuat nyaman tubuh. Anehnya, dengan angin AC, pakaian pun kering. Mungkin karena panas tubuh, bukan dingin penyejuk ruangan. Hujan tambah deras. Setelah membaca sekian koran on line, saya merasa perut keroncongan. Saya sempat membaca tulisan Ulil Abshar-Abdallah di koran Tempo, 'Dunia Islam setelah Olimpiade Beijing'. Sebuah gagasan yang menohok dan sebenarnya pernah saya baca sebelumnya karena diterakan di blog pentolan Islam Liberal ini. Di sela membaca berita dan opini, saya menyempatkan mengirim sebuah artikel opini untuk salah sebuah surat kabar nasional.

Mungkin, banyak orang enggan keluar dalam keadaan hujan lebat. Tetapi, tidak saya. Justeru, saya menikmati jatuhnya butiran hujan langsung ke payung yang saya genggam. Air yang mengalir di aspal dan bunyinya yang indah di selokan membuat saya betah berjalan di tengah hujan. Saya memerhatikan kampus itu tiba-tiba terasa sunyi, meskipun masih ada beberapa mobil berkeliaran dengan lampu yang redup. Di warung, saya sengaja memilih tempat duduk di dekat jendela agar bisa melihat lebih dekat tetesan hujan menghunjam bumi. Ya, sambil minum kopi panas dan kroket dingin, saya berkutat dengan buku tentang Kebahagiaan. Aristoteles, dalam buku ini, menyatakan bahwa kebahagiaan itu ditentukan oleh kita, bukan orang lain. Sebuah lontaran yang menantang siapa pun untuk tidak lagi berpaling dari dirinya meraih kesenangan dan makna dalam hidup. Ya, di sini kebahagiaan bukan hanya pemenuhan badaniah tetapi juga spiritual.

Thursday, July 10, 2008

Lagi-lagi tentang Hujan

Genangan air di aspal parkir flat bergerak diterpa butiran rintik hujan. Pertanda hujan masih turun. Ya, sebelumnya, saya telah melihat mendung hitam berarak di atas bukit ketika baru keluar dari Fakultas Pendidikan bersama Zailani. Kata kawan karib saya, sebentar lagi hujan. Ya, ternyata jam 12-an hujan benar-benar tumpah dari langit.

Saya bersyukur karena tanah yang akan dipijak nanti telah basah. Tiba-tiba saya bergidik hujan kali ini disertai angin kencang. Bunyi desirnya mendebarkan. Samar-samar terdengar benda jatuh berdegum keras. Di tengah hujan deras itu, saya menengok sekilas dari jendela kampus butiran hujan yang jatuh dalam kemiringan karena diterpa angin keras. Stenly, kawan karib saya, berkali-kali melihat hujan melalui jendela dengan menguak gorden.

Hingga jam 1, hujan masih mengguyur bumi. Tapi, saya tak pernah malas menghadapi cuaca seperti ini. Justeru, dengan payung, saya betul-betul menikmati langkah kaki menuju ke mana pun. Kebetulan, saya ingin mengisi botol air minum di kantor pasca sarjana. Selepas penuh, saya pun beranjak melewati lorong menuju perpustakaan. Segera saya meneliti siapa tahu ada buku baru di rak pameran. Tak ada buku yang membuat tangan ini tertarik mengambilnya.

Kemudian, saya beralih ke rak bagian buku keislaman. Di sini, saya mengambil karya Ibn Taimiyyah, Politik Syar'ie, yang diterjemahkan oleh Hamid Fahmi dan Asep Sobari. Dengan membacanya, saya berharap lebih mengenal secara dekat apa yang dipikirkan tokoh 'konservatif' ini. Untuk bandingan, saya juga meminjam karangan Dale F Eickelman, Ekspresi Politik Muslim. Tambahan lagi, buku Shireen T Hunter, Politik Kebangkitan Islam: Keragaman dan Kesatuan adalah amunisi lain untuk melengkapi bacaan tentang Islam politik.

Guratan di atas dilakukan sambil mengasup nasi goreng yang dibuat oleh isteri. Ya, nasi panas itu menambah hangat suasana di sore yang dingin. Ditingkahi lagu lembut dari radio Hot FM, kami menikmati senja kala itu dengan riang.

Masih tentang Hujan

Hujan adalah peristiwa biasa, seperti panas terik dan gelap malam. Tapi, di Pulau Pinang, tempat saya tinggal, ia adalah berkah yang tak terkira. Betapa saya bisa menghitung dengan jari peristiwa air tumpah dari langit. Belum lagi, curahnya tak banyak dan tak lama, sehingga air itu tak meresap dalam ke bumi.

Semalam, sebelum jam 11 tepat, tiba-tiba saya mendengar bunyi gemerisik air menimpa kanopi rumah di bawah lantai 8, tempat kami bermukim. Ya, hujan! Saya 'melonjak' girang, meski tak perlu berdiri dan menghentakkan kaki. Hujan deras dan tak sebentar seperti biasa. Untuk merasakannya, saya membuka nako jendela, menikmati butiran air jatuh di sela cahaya lampu penerang parkir flat. Lama, kami berdiri untuk merasakan dingin yang mulai menyelusup lubang di sela kaca nako.

Karena tak tidur siang, saya beranjak tidur awal dan terus menikmati bunyi hujan yang makin lebat. Di benak, saya membayangkan bahwa pagi esok adalah keindahan, karena pepohonan akan lebih hijau dan tanah basah mengabarkan keriangan. Ya, tak elok, tanah itu kering kerontang. Dengan basah, tanah itu akan merasakan nyaman, sebab tanaman mendapakan makanan.

Ternyata, pagi memang basah. Saya berangkat ke kampus lebih awal. Selain ingin mencecapi tanah basah, saya juga ingin memenuhi janji bertemu dengan kawan karib, Zailani dan Shaikh Abdullah di kantin kampus, Zubaidah. Di pertigaan jalan keluar flat, saya sempat melihat matahari bertengger di ufuk sana. Duh, seketika, saya merasakan cahaya lembut menerpa, tak hanya wajah tapi juga hati. Karena jarum bensin mendekati tanda merah, saya mampir ke pom bensin (di Malaysia disebut stesen minyak) Petronas. Dengan RM 5, saya mendapatkan bensin kurang dari 2 liter.

Sesampai di depan parkir kampus, saya melihat dekan Fakultas Humaniora, Prof Dr Abu Talib dan menunggu sebentar untuk bersalaman. Lalu, berlalu tak lama setelah beliau bilang, saya tak kelihatan, dan jawab saya, bahwa baru balik dari Indonesia. Beliau sosok yang ramah dan dekat dengan mahasiswa. Selain itu, beliau rendah hati (di sana rendah diri), tak menampakkan orang berposisi tinggi. Sebuah teladan yang patut direkam.

Seperti biasa, di ruang komputer kampus, saya membuka email, koran on line (pertama koran Tempo) karena ternyata versi on line baru dua hari yang lalu bisa diakses. Sayangnya, tulisan saya belum (tidak) dimuat. Kemudian saya berburu berita di sejumlah surat kabar dan tidak lupa meneliti artikel opini masing-masing koran.

Jam 8.50, saya menghampiri Zailani untuk bersama-sama menemui Shaikh di kantin. Di sana, saya memesan tosa, semacam kroket India, dan kopi panas. Sementara, Shaikh tak sarapan karena sedang berpuasa sunnah. Di sana, mereka berdua berdiskusi tentang penghakiman moral (moral judgement) di kalangan siswa sekolah menengah. Salah satu pokok masalah adalah pengertian moral dan akhlak yang bisa bertukar tempat, padahal keduanya berasal dari sumber yang berbeda. Yang pertama mengacu pada tradisi Barat dan kedua pada Islam. Shaikh tidak mempermasalahkan penukaran tempat istilah dan bahkan menyarankan untuk menggunakan standar sendiri dalam pemberian pengertian terhadap moral, dengan catatan menggunakan kerangka Islami.

Hanya setengah jam kami berdiskusi, lalu bubaran.

Monday, June 09, 2008

Hujan dan Keriangan

Hujan deras tiba-tiba mengguyur tanah. Saya menengok di balik tirai, memastikan kehadirannya. Wow, benar-benar deras. Agak jarang di pulau kecil ini, air tumpah dari langit sebanyak ini. Saya bilang kepada kawan Arab, ini berkah. Lalu, saya bergegas mengirim sms pada teman, Muzammil, membatalkan makan siang bersama di luar kampus. Saya kemudian mengambil payung yang diselipkan di celah antara tembok dan lemari besi di ruangan komputer fakultas (di sana disebut Pusat Pengajian atau School).

Dengan melipat celana ke atas lutut, saya berjalan keluar dan merasakan dingin karena hujan begitu deras. Sengaja saya memilih jalan di atas lorong kampus berkonblok agar tidak kecipratan air. Namun, ketika mau menyeberang ke warung makan India Muslim itu, Restoran Zubaidah, saya melihat air mengalir deras di aspal, pertanda selokan tak mampu menahan luapan air. Ups, tiga perempuan itu berjalan biasa menghampiri mobil, padahal pasti bajunya akan basah kuyup. Oh ya, mengapa mereka tak berlari? Adakah karena adab kesopanan mencegahnya?

Sesampai di depan gedung Dewan Budaya, saya melihat banyak mahasiswa sedang menyiapkan panggung untuk acara workshop arsitektur. Tampaknya mereka bukan mahasiswa USM. Mungkin dari universitas swasta. Saya pun beranjak dari tempat ini dan segera ke warung makan. Di sana, sang pelayan menawari nasi briyani dan mengatakan murah serta dapat daging kambing gratis meskipun secuil. Ya, jawab saya. Tapi saya tetap mengambil ayam goreng. RM 4.6 (Rp 13.064) adalah angka yang cukup besar untuk makan siang.

Dengan mengambil meja di tengah, saya menikmati makan siang dengan lahap. Lagu India itu ternyata ingatkan saya lagu dangdut, tapi lupa judul dan penyanyinya. Nadanya sama. Persis. Aha, lagu lama. Saya mencoba untuk menghadirkan dua kenikmatan, lidah dan telinga. Muaranya, saya kira, pada hati. Karena di sini bersemayam sumber kenikmatan. Kadang, saya memejamkan mata agar nikmat di lidah dan gendang telinga betul-betul menyatu. Suara hujan pun seakan-akan beradu untuk menghibur saya. Tak lama, kemudian saya mencuci tangan dan mengambil makanan ringan, kacang gajus (jambu mente). Ehm, gurih. Lalu, membuka buku kecil, saya memeriksa apa yang harus dilakukan hari ini setelah makan. Ya, saya sedang mengejar matahari.

Hari ini saya telah mencecap rasa hujan di tengah hari. Betul-betul menyenangkan. Serta merta, saya akan berhujan-hujanan jika langit menumpahkan air sebegitu banyak, seperti masa kecil dulu. Berlari-lari menentang tetesan, bersendau gurau dan kadang bermain bola adalah sebagian pengalaman kecil saya tentang hujan.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...