Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Idul Fithri. Show all posts
Showing posts with label Idul Fithri. Show all posts

Saturday, October 02, 2010

Halal Bihalal Warga

Saling memaafkan memang membuat nyaman siapapun. Kadang pertengkaran itu muncul karena kata-kata yang disalahpahami. Oleh karena itu, hal penting yang perlu diberi perhatian bersama adalah ketaksaan makna dari kata. Dengan menjernihkan pemahaman terhadap kemungkinan polisemik, sejatinya kita bertarung dengan pikiran kita sendiri tentang orang lain, demikian juga sebaliknya. Lalu, mengapa kita melemparkan kesalahan pada liyan? Boleh jadi orang lain memang keliru, namun ia tak sepenuhnya menanggung kesalahan itu. Jika kita yakin ingin melakukan perbaikan, maka setiap individu mengusung tugas suci dengan segala resikonya.

Thursday, September 30, 2010

Silaturahim di RumahTerbuka


Bersama kawan di acara Silaturahim Rumah Terbuka Alumni Universitas Sains Malaysia, saya menemukan banyak jejak, masa lalu. Tak hanya terkait dengan perkuliahan, tetapi juga kehidupan. 

Tentang hidup, Andi Siti, penyanyi dari Sabah, melantunkan lagu yang sama-samar hinggap, tak tahu judul dan penyanyinya. Namun, ia masih terngiang-ngiang hingga sekarang. Kabur, terang, jelas selalu berjalin kelindan. Hanya orang yang percaya meyakini bahwa hidup itu terang.

Terbuka bermakna tidak tertutup. 

Wednesday, September 29, 2010

Rumah Terbuka


Mengapa saya datang tepat waktu, jam 12 siang, sebagaimana diumumkan melalui pengeras suara Masjid Kampus sehari sebelum rumah terbuka? Biarlah Anda menjawab pertanyaan ini. Saya pun hanya akan mengangguk.

Monday, September 27, 2010

Kata Maaf Pasca Lebaran


Radio masih memutar lagi lebaran, seperti Selamat Hari Raya Rahimah Rahim dan Nazam Lebaran Siti Nurhaliza. Di bulan ini pun, saya masih mendapat kabar tentang rumah terbuka. Ketika coretan ini ditulis, saya berjanji pada kawan baik untuk pergi ke acara silaturahim Alumni di Rumah Anjung Budi. Nah, dengan menebar maaf, kita bisa berdamai dengan diri sendiri. Oh ya, gambar amplop 'ang pao' ini adalah surat indah untuk si kecil dari anak Pak Cik yang bekerja di Astro Kuala Lumpur. Meski dia belum paham tetapi orang tua jelas mengerti isinya uang hari raya. Saya menempel di tembok agar ingatan kebersamaan itu terpatri kuat dan tak hilang-hilang.

Thursday, September 16, 2010

Perantau

Siapa yang terpenjara? Saya yang berada di balik pagar atau mereka para pekerja migran itu? Tergantung sudut pandang. Boleh jadi saya terperangkap oleh sudut pandang saya dalam melihat kenyataan. Mereka, para perantau itu, tampak riang menunggu bus jemputan dari pabrik. Bus biru bertulis Bas Pekerja akhirnya datang mengangkut mereka ke tempat tujuan. Tak jarang sebagian kelompok menyewa Bas Sekolah berwarna kuning untuk mengantarkan mereka ke wisma konsul untuk menunaikan shalat id di tahun 1431 Hijriyah.

Mereka hampir-hampir menjalani hidup dengan tertib. Bahkan untuk berhari raya, para pahlawan devisa itu menggunakan angkutan dari tempat bekerja, seakan-akan keterikatan mereka pada pabrik begitu kuat. Namun, tak ada wajah muram ketika mereka merayakan hari lebaran, terserlah dari senyum menyungging dan berpose untuk sebuah gambar di depan lambang garuda yang ditempel di tembok rumah wakil RI di Pulau Pinang. Satu sama lain saling memejet tombol kamera untuk mengabadikan peristiwa setahun sekali.

Ternyata, keperluan kita sama saja, keinginan untuk dipandang oleh liyan. Perbedaan status luruh menjadi identitas tunggal, warga negara yang sedang merayakan hari kemenangan. Kita setara di hadapan yang lain, meski tak dapat dielakkan status itu masih bertahan, konsul berdiri di belakang imam dan yang lain mengikuti di barisan samping dan belakangnya, demikian pula, khalayak tetap bersabar untuk menanti giliran bersalaman dengan orang nomor satu di konsulat. Hierarki masih berjalan, meski mereka berada di suasana fitri, sebuah keadaan paling asali dari manusia yang hanya membawa ruh dan raga yang sama, tak berbeda.

Monday, September 13, 2010

Sebelum Usai

Agar kebersamaan meninggalkan kesan, kami pun bergambar bersama. Panas tak menghalang kami untuk menatap kamera, malah hingga dua kali cahaya kamera itu berpendar.

Lebaran ke-2

Setiap gambar menyimpan banyak cerita. Namun, setiap orang akan berupaya untuk selalu mempunyai gambaran tersendiri tentang gambar orang lain. Jadi, silahkan membayangkan apa kandungan dari kebersamaan di atas. Pendek kata, Anda bisa memasukkan horizon tertentu agar kisah yang ada di balik senyum 7 orang di atas terbaca terang benderang. Sejatinya, hidup itu melulu tentang kegembiraan, karena usia penghuninya hanya puluhan tahun. Alangkah sayangnya jika sebagian besar waktu itu ditingkahi manyun. Sekali-kali boleh, tapi muram itu jangan sampai berkepanjangan.

Dari anak kecil, orang dewasa belajar bagaimana hubungan emosional itu wujud. Perbedaan tak menghalangi sapa berkembang wajar. Rupa-rupa cara tidak terelakkan karena masing-masing sedang berjuang untuk mengaktualisasikan dirinya, yang tak jarang berbenturan. Namun jika tujuannya damai, mengapa kita dengan mudah ingin bercerai-berai? Manusia itu berada di bawah matahari yang satu, bumi yang satu dan tentu saja Tuhan yang 'satu'. Melangkah bersama untuk damai, mengurai hubungan-hubungan manis di antara sesama merupakan keniscayaan. Nah, kembali suci dengan Idul Fitri berarti kita akan menjalani hari-hari setelah hari kemenangan ini dengan berseri-seri.

Saturday, September 11, 2010

Lebaran


Setelah shalat, mereka pun menikmati opor dan ketupat. Nikmat memendar ke mana-mana, terlihat dari wajah sumringah. Sebelumnya, mereka harus bersalaman satu sama lain, menandai keikhlasan untuk saling memaafkan, seperti disimbolkan dengan lambang idul fitri di sini, ketupat (berasal dari bahasa Jawa kupat, ngaku lepat). Belum lagi, krupuk udang turut menyempurnakan sarapan di awal bulan Syawal. Makan di keramaian ternyata mengasyikkan.

Mengimbas kembali, pagi-pagi saya, isteri dan anak sudah bangun, satu jam sebelum subuh. Surau di bawah flat pun mengumandangkan azan, namun tak diikuti dengan takbiran. Maklum, kami tinggal di rumah susun yang kebanyakan penghuninya bukan Muslim. Untungnya, radio Kedah FM menyiarkan takbiran sehingga suasana hari raya menyebar di seantero ruangan rumah mungil kami. Kira-kira jam 7, kami pun turun menyambut Pak Allwar dan Ibu Yuni bersama puteri dan puteranya, Salsa dan Azka untuk berangkat bersama ke wisma, Jalan Tunku Abdurrahman.

Sesampainya di rumah konsul, kami pun duduk di tikar yang digelar di halaman. Sambil menunggu jamaah yang lain, kami pun memulai melantunkan takbir, tahmid dan tasbih. Perlahan, banyak warga berdatangan, baik dengan bus, mobil pribadi dan sepeda motor. Setelah satu jam mengagungkan nama Allah, panitia pun mengumumkan shalat id akan segera dimulai. Sayangnya, tanpa saya tahu sebelumnya, sebuah organisasi dan partai politik nyelonong dalam rangkaian acara, berupa penyerahan zakat secara simbolik pada tenaga kerja. Jelas-jelas ini menyalahi kepatutan. Seharusnya mereka tidak melakukan ini di depan jamaah shalat id. Apa lacur, semua telah terjadi. Terus terang, simpati saya pada partai ini tergerus.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...