Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Politik Malaysia. Show all posts
Showing posts with label Politik Malaysia. Show all posts

Thursday, October 08, 2009

Grafiti di Kuala Lumpur

1 Oktober 2009, dalam perjalanan pulang dengan kereta api dari Lapangan Terbang Internasional Kuala Lumpur ke Terminal Bis Puduraya, saya masih menemukan tulisan ABOLISH DSA! di pintu keluar stasiun Pasar Seni. Tulisan yang mungkin mulanya Abolish ISA! ini menandakan dua kekuatan besar yang sedang bertarung dalam dunia perpolitikan Malaysia, Najib dan Anwar.

Sunday, August 30, 2009

Menemukan Wakil Rakyat

Secara kebetulan, saya menemukan peristiwa di atas. Seorang wakil rakyat menemui pedagang sambil memberikan t-shirt, penutup mulut dan brosur peringatan wabak flu babi. Hebatnya, pemilu telah usai dan pemilu selanjutnya masih lama, tetapi wakil dari salah satu partai di Pulau Pinang, tempat saya tinggal, turun ke bawah. Saya sempat berbincang dengan pembantunya. Malah, turut mengikuti ketika anggota legislatif keturunan India ini menugaskan stafnya untuk meluluskan permintaan seorang warga yang kebetulan ada di situ mengenai permohonannya pada salah satu departemen yang belum diluluskan.

Sore itu, saya betul-betul menemukan peristiwa yang menyenangkan, tidak hanya bertemu dengan pekerja pasar yang berasal dari satu kampung, namun melihat bagaimana fungsi keterwakilan itu benar-benar berjalan. Sosok seperti ini seharusnya menjadi anutan para anggota DPRD dan DPR di Indonesia yang baru disahkan. Di tangan mereka, masalah rakyat didengar dan dicarikan jalan keluar, seperti saya temukan pada pengalaman di atas. Meski agak cemas, saya tetap menggantungkan harapan agar calon yang terpilih betul-betul mengerti tiga fungsi pokok sebagai anggota legislatif.

Ternyata, setelah saya baca koran lokal keesokan harinya, kegiatan yang sama juga dilakukan oleh koleganya di tempat lain. Mungkin, mereka sadar bahwa masyarakat memerlukan wakil yang bisa dipercaya, wakil yang bisa menjenguk mereka bukan hanya ketika menjelang pemilihan umum. Satu hal, sebagai pemegang amanah, dia tak lagi bertanya apakah orang yang sedang mengalami masalah itu berasal dari partainya atau tidak, melainkan dia sepenuhnya wakil dari tempat dia berasal. Semoga!

Thursday, April 09, 2009

Oposisi Malaysia Kian Tak Terbendung


Saya menyambut gembira pernyataan Najib Tun Razak bahwa media harus memberitakan secara adil dan bertanggungjawab hal ihwal masyarakat. Sebelumnya perdana menteri ke-6 tersebut telah membuat kejutan dengan melepaskan tahanan ISA (Internal Security Act) dan menarik pembredelan dua koran oposisi, Harakah dan Suara Keadilan.

Namun langkah Najib belum menggoyahkan hati rakyat untuk mendukung pemerintahan baru. Tulisan di Jawa Pos (9 April 2009) berjudul "Oposisi Malaysia Kian Tak Terbendung" mencoba membaca mengapa perubahan itu tidak mendatangkan sambutan khalayak. Mungkin keterbukaan yang sedang dicanangkan pihak berkuasa belum diwujudkan secara nyata, sehingga itu dianggap janji yang belum ditunaikan.

Di tengah kerisauan terhadap pemerintah dan oposisi yang belum berubah, saya menemukan kegembiraan lain dengan hadirnya koran baru Sinar Harian yang telah mempraktikkan etika jurnalisme yang selama ini diabaikan oleh kebanyakan media. Meskipun saya tidak meninggalkan koran-koran yang dimiliki arus utama dan alternatif, saya lebih menikmati membaca koran yang dikelola oleh kelompok Karangkraf ini untuk mengenal lebih dekat kehidupan masyarakat secara objektif. Sebagai koran yang menyodorkan jargon media untuk komunitas, surat kabar ini telah menjangkau 1 juta pembaca di seluruh negeri, sebuah prestasi yang luar biasa. Dengan harga RM 1, ia telah menempatkan dirinya sebagai media yang bisa dibaca oleh segala lapisan masyarakat.




Saturday, December 13, 2008

Mendekatkan Saudara Serumpun, Indonesia- Malaysia

Koran Jawa Pos, 13 Desember 2008

Oleh Ahmad Sahidah*

Pertemuan rutin General Border Committee (GBC) Indonesia-Malaysia yang memasuki usia ke-37 mungkin bisa dijadikan titik tolak untuk membincangkan masalah perbatasan Indonesia-Malaysia secara lebih baik. Tentu isu kepemilikan Ambalat akan selalu menjadi batu ganjalan karena merupakan area konflik, mengingat kawasan itu mengandung sumber minyak bumi yang luar biasa. Meski demikian, masalah tersebut telah diserahkan kepada tim teknis kedua negara melalui kementerian luar negeri masing-masing.

Masalah aturan keterlibatan (rules of engagement) militer dalam menjaga perbatasan bahwa jika kedua militer dihadapkan dengan masalah, tidak terjadi bentrokan (clash) merupakan kesepakatan yang cemerlang. Dino Pati Djalal menyebut itu sebagai bentuk kemajuan luar biasa (Jawa Pos, 12/12/08). Ikhtiar untuk mengetatkan perbatasan dalam usaha menghindari tindak kejahatan, seperti penyelundupan dan perdagangan manusia (trafficking), adalah upaya yang perlu mendapatkan perhatian karena praktik semacam itu masih leluasa. Inilah praktik yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang mesti dicegah.

Peran Media

Pada hari yang sama (12/12/08), Utusan dan Jawa Pos memuat foto pertemuan Badawi dan SBY dan berita yang sama-sama memberikan harapan untuk mewujudkan hubungan kedua negara bertambah erat dan mampu menyelesaikan masalah yang acapkali mendera. Mungkin senyum dua orang nomor satu itu secara lahir bisa dijadikan pertanda ke arah kemajuan hubungan persahabatan. Di sini, betapa peran media sangat diperhitungkan.

Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan media, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia memang tidak seterang negara tetangganya dalam memberitakan sikapnya terhadap beberapa masalah, seperti perbatasan, hak cipta, dan tenaga kerja. Ketika media di Indonesia meributkan reog Panorogo yang dijadikan ikon pariwisata Malaysia, secara relatif warga Malaysia tidak mengetahuinya. Sementara itu, televisi di sini (Indonesia) mencuatkan isu tersebut sehingga menimbulkan respons kemarahan yang meluas di kalangan khalayak. Tentu, pemberitaan semacam itu makin menimbun rasa jengkel masyarakat di sini terhadap negara tetangga.

Demikian pula ketika kasus Ceriyati, pembantu yang bergantungan di bangunan kondominium karena melarikan dari kekejaman majikannya, mencuat ke permukaan, media Malaysia justru menampilkan sikap keprihatinan pejabat terkait di sana dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Di sini, media memublikasikan para pegiat LSM yang menyoroti ketidakbecusan negara tetangga melindungi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, harus ada jalan lain untuk mengurai benang kusut semacam ini agar kedua belah pihak menemukan cara ungkap yang memberikan jalan keluar, bukan malah membuat kemarahan berkobar.

Hubungan Masyarakat

Kalau kita perhatikan di beberapa media, ada banyak ketidakpercayaan antara masyarakat dua negara. Jika ditelisik, banyak komentar di media Malaysia, seperti KOSMO! dan Metro, yang memuat rasa kesal warga setempat karena Kuala Lumpur seperti Jakarta saja. Malah tidak itu saja, pedagang kecil sering menyatakan kejengkelannya karena ternyata banyak warga negara Indonesia yang menjadi pedagang kaki lima. Belum lagi, perilaku para TKI yang berkelakuan seenaknya. Misalnya, bergerombol dengan pakaian ala rocker dan berambut panjang, ternyata, dipandang tidak elok oleh orang lokal, meskipun di Jakarta itu mungkin hal biasa.

Demikian pula, kita akan banyak menemukan komentar miring pembaca media di sini terhadap Malaysia dengan menyebutnya sebagai bangsa yang suka mengakui hasil kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti batik. Padahal, sebagaimana ditulis oleh Borhan Abu Samah (Utusan, 10/12/08), motif keduanya berbeda. Mungkin,Anda bisa membandingkan batik yang dipakai Abdullah Badawi dan SBY pada pertemuan di atas sehingga dengan sendirinya bisa dibedakan corak batik antara keduanya. Tentu, saya serta-merta bisa merasakannya karena saya sering mengamatinya dari dekat. Meski demikian, harus diakui pakaian resmi Malaysia itu diilhami oleh batik Indonesia.

Untuk itu, upaya menghilangkan duri yang menghalangi hubungan dua negara tidak hanya melibatkan pemimpin elite formal, tetapi juga masyarakat luas. Peran Eminent Persons Groups (EPG), kelompok di luar hubungan antara pemerintah, yang dipimpin Try Soetrisno (bekas wakil presiden) dan Musa Hitam (bekas wakil perdana menteri) tentu merupakan jalan keluar dari hubungan formal yang kadang terkendala birokrasi. Maka, kelompok yang digawangi oleh banyak pakar dan tokoh masyarakat itu diharapkan lebih menunjukkan taring dalam merapatkan hubungan masyarakat dua negara tersebut.

Untungnya, perguruan tinggi masing-masing negara juga telah memberikan sumbangan penting bagi upaya menghilangkan prasangka yang selalu menghantui hubungan dua kakak-beradik itu. Malah, Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, akan menggelar kuliah umum bertajuk Hubungan Bangsa Dua Serumpun: Realiti Masa Kini dan Cabaran (baca: Tantangan) Masa Depan yang akan disampaikan oleh alumnusnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra, pada 18 Desember 2008.

Mungkin, kabar putusan pengadilan Malaysia (27/11/08) terhadap Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat, dengan hukuman 18 tahun karena melakukan tindakan kekerasan bisa menjadi penanda yang baik. Bagaimanapun, warga Indonesia telah mendapatkan keadilan dan itu akan menambah keyakinan kita bahwa warga Indonesia yang lain akan menerima perlakuan sama. Peristiwa tersebut sejatinya membuat warga dua negara makin bersemangat untuk memupuk rasa saling memercayai dalam mewujudkan hubungan yang tulus dan tidak lagi terperangkap sikap saling menafikan. Semoga. (*)

*Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Peradaban Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia

Monday, October 13, 2008

Kaum Kiri di Negara Tetangga

Judul buku: Social Roots of the Malay Left
Penulis: Rustam A SaniPenerbit: SIRD, Kuala Lumpur
Tahun terbit: 2008
Jumlah halaman: ix+ 80 halaman

Mungkin sebenarnya kita tidak banyak mengerti tentang Malaysia karena biasanya yang selalu didengar adalah sebagai negara serumpun. Lebih dari itu, ia juga dikenal sebagai satu-satunya negara yang paling banyak menerima tenaga kerja Indonesia. Tentu saja, konflik yang acapkali mendera menutup pintu untuk mengenal cerita lain tentang negeri tetangga ini.

Buku ini adalah wajah lain Malaysia yang selama ini dipersepsikan sebagai negara Islam. Ia sekaligus menjadi saksi bagi ragam respons warganya terhadap perkembangannya sebagai negara-bangsa. Bagaimanapun, gerakan kiri yang selama ini dibekap keberadaannya oleh versi sejarah resmi kembali menemukan momentumnya setelah era keterbukaan karena oposisi mempunyai kekuatan mendesak setelah mendapatkan suara yang cukup signifikan dalam pemilihan umum ke-12.

Akar sosial Kiri Melayu adalah pertanyaan yang ingin diungkaplan oleh intelektual terdepan dan sosiolog ternama Malaysia ini mengandaikan sebuah ikhtiar untuk memahami keberadaan kaum kiri yang dipinggirkan secara makro (pendekatan sosial) dan bukan mikro (pendekatan sejarah) di mana yang terakhir biasanya mengelola pelaku dan peristiwa.

Sebagaimana di Indonesia, dulu raja-raja di tanah Malaya (sekarang semenanjung Malaysia) menerima upeti dari bangsa kolonial. Dari sini, ada ‘kerja sama’ yang saling menguntungkan antara penjajah dan kaum bangsawan. Untuk mendapatkan dukungan dari raja, pemerintah Inggeris mengekalkan partisipasi simbolik penguasa tradisional negara bagian, yaitu sultan, dalam sistem pemerintahan.

Ternyata sistem pemerintahan sekarang, demokrasi parlementer, masih mengekalkan apa yang telah dirintis sejak dulu oleh Inggeris, di mana raja masih menjadi bagian dari pengaturan administratif, meskipun dalam pengertian simbolik. Namun, uniknya institusi raja kadang mempunyai kekuasaan nyata dalam menetapkan pejabat publik, sebagaimana terjadi baru-baru ini dengan pengangkatan menteri besar (gubernur) Trengganu, di mana jago raja mengalahkan sosok yang didukung oleh perdana menteri.

Di tengah kokohnya sistem tradisional yang lebih memberikan kesempatan mobilitas sosial pada kaum bangsawan, pada zaman pra-kemerdekaan pemerintah juga memberikan peluang kepada masyarakat kebanyakan untuk melanjutkan pendidikan tinggi. Inilah yang menjadi cikal bakal tumbuhnya gerakan bermatra kiri. Penulis mencoba menghadirkan latar belakang dengan mengangkat reaksi politik Melayu terhadap lingkungan sosial (social milieu) tahun 1930-an.

Ada dua aspek penting periode ini yang perlu diperhatikan, pertama, sistem kesultanan (dengan kata lain sistem politik tradisional Melayu) merupakan sebuah sistem politik yang berfungsi pada masa penggangguan (instrusion) Inggeris dan pendatang non-Melayu. Kedua, Malaya mengalami perkembangan demografis dan masyarakat plural sepenuhnya terbentuk pada tahun 1930-an. Menurut Rustam A Sani, faktor ini adalah penting untuk memahami hakikat perkembangan politik Melayu awal.

Pengaruh 'Indonesia' tentu tidak bisa dilupakan. Dalam kutipan berikut ini ini kita akan menemukan satu titik terang tentang hubungan kedua bangsa ini sejak sebelum kemerdekaan: Then there were other factors that can be cited as manifestation of the existence of the flow of ideas and influences across the Strait of Malacca, e.g. existence of Malay students in Indonesia and the existence of Indonesian immigrants in Malaya (hlm. 58)

Dengan membaca buku ini, kita diajak untuk menerokai kembali pertalian antara Indonesia dan Malaysia pada tahun 1930-an melalui gerakan menuntut kemerdekaan. Malah pada tahun 1920-an, telah banyak orang ‘Indonesia’, yang bergerak dalam matra kiri lari ke tanah Semenanjung – daratan tempat negara bagian utama Malaysia - setelah pemberontakan atau revolusi di Jawa dan Sumatera dipadamkan oleh penjajah Belanda. Di antara tokoh komunis ini adalah Djamaluddin Tamin, Tan Malaka, Budiman, Sutan Djenain, Alimin, dan Mohammad Arif. Tokoh yang pertama mengadakan hubungan dengan pelajar Kolej Pendidikan Sultan Idris (Sultan Idris Training College atau disingkat SITC) di Tanjung Malim, di mana beberapa pemimpin masa depan KMM (Kesatuan Melayu Muda) dilatih untuk menjadi guru sekolah berbahasa Melayu (hlm. 32).

Respons kaum Melayu terhadap kolonialisme boleh dikatakan terbelah pada dua bagian, yaitu kelompok kanan dan kiri. Yang pertama diprakarsai oleh kelas menengah terpelajar Inggeris dan kelas atas, yang ideologinya didasarkan pada premis ‘Malaysia untuk orang Melayu’, sementara yang lain adalah berkecenderungan kiri, yang berkecenderungan ideologi kiri, yang membela tuntutan kebebasan bagi semua orang tertindas di ‘Malaysia’. Kecenderungan dua aliran ini menjadi isu utama pada kampanye dan sesudah pemilu terakhir kemarin.

Penanda utama dari gerakan kiri pada masa sebelum kemerdekaan adalah pendirian yang keras terhadap penentangan kaum penjajah, pan-Indonesianisme dan kepemimpinan serta keanggotaannya tidak direkrut dari elit tradisional aristokrat. Pendek kata, mereka memperjuangkan kemerdekaan yang didasarkan pada konsep Melayu Raya atau kadang dikenal dengan Indonesia Raya.

Sekarang, polarisasi ini masih berlanjut. UMNO (United Malay National Organization) melanjutkan tradisi kanan. Sementara Partai Keadilan Rakyat (PKR) melestarikan tradisi kiri. Seperti ditegaskan penulis buku pakar sosiologi ini bahwa PKR yang diterajui oleh Anwar Ibrahim secara genealogis boleh dikatakan merupakan kelanjutan dari KMM, partai Melayu pertama yang beraliran ‘kiri’.

Membaca karya ini akan membuka ruang bagi sebuah dialog yang lebih inspiratif untuk menciptakan hubungan yang saling menguntungkan di antara dua negara tetangga. Sejarah masa lalu jelas-jelas menunjukkan kedekatan dua masyarakat serumpun dalam menghadapi kolonialisme. Sekarang, bagaimanapun keduanya sama-sama menghadapi bentuk kolonialisme baru, yaitu neo liberalisme, yang sama-sama mengcengkeram kemandirian rakyatnya masing-masing. Sekarang rakyat dan elit kedua negara tidak perlu lagi mengurus hal remeh temeh, karena hakikatnya mereka berbagi warisan budaya dan tentu saja begitu banyak keturunan Indonesia yang telah bermastautin di tanah negeri Jiran.

Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban, Universitas Sains Malaysia

Sunday, September 21, 2008

Membaca "Lakon" Tu(a)n Mahathir

Politik (Sumber: Surat Kabar KOMPAS)
Jumat, 19 September 2008 | 02:03 WIB

Oleh Ahmad Sahidah

Tun Mahathir Mohamad berniat masuk kembali ke pangkuan UMNO setelah mundur tiga bulan yang lalu. Meskipun demikian, pengesahan kembalinya mantan orang nomor satu ini menunggu persetujuan majelis tertinggi partai, Abdullah Badawi. Celakanya, mantan perdana menteri ini masih menganggap penggantinya sebagai biang kemerosotan partai dan harus diturunkan.

Seperti biasa, Pak Lah mungkin tidak akan bereaksi secara langsung. Pemimpin yang dijuluki ”Mr Clean dan Mr Nice Guy” ini lebih memilih diam dan tidak meladeni manuver mantan bosnya. Kalaupun ada respons, biasanya datang dari orang-orang dekatnya. Kita tunggu saja. Hanya sekali suami Jeanne Abdulah ini membalas kritik mantan bosnya itu. Malah, ketika ditanya wartawan dalam jumpa pers, sang perdana menteri (PM) tidak akan memberi keputusan seorang diri karena ini adalah hak majelis tertinggi UMNO (TV 3, 11/9/2008).

Harus diakui suara Mahathir di sana tidak lagi bisa dinikmati oleh khalayak Malaysia sendiri. Media tidak lagi memberikan tempat istimewa. Kalaupun dimuat oleh media mainstream (di sana disebut arus perdana), pernyataannya telah disunting sedemikian rupa. Apatah lagi televisi, yang sepenuhnya berada di bawah kekuasaan pemerintah, menutup pintu. Hanya pada acara nonpolitik Mahathir bisa nangkring di layar kaca.

Ironi ”Little Soekarno”

Pada tahun 2006, beliau diundang ke Kampus Universitas Sains Malaysia tempat saya belajar untuk memberikan ceramah umum di hadapan sivitas akademika. Dengan retorika yang memesonakan, perdana menteri ke-4 ini memukau para hadirin yang hadir karena kepiawaiannya menyampaikan gagasan tentang tugas mahasiswa terhadap negara. Hampir dua jam beliau berdiri untuk mengulas keberhasilannya sebagai mantan orang nomor satu di tanah Melayu tanpa jeda.

Sebagai pemimpin, Mahathir berwajah janus, sosok baik dan buruk. Kebaikannya tentu bisa dilihat dari keberhasilan pembangunan dan pewarisan cetak biru masa depan Malaysia, tetapi di atas kesuksesan ini banyak korban berjatuhan. Belum lagi pemberangusan kebebasan yang didukung oleh undang-undang sehingga membuat dia lebih leluasa untuk memuluskan keinginannya.

Secara pribadi, saya mengakui pesona Mahathir sebagai seorang yang pernah memimpin sebuah negara dan mengantarkannya pada kemakmuran dan bahkan menjadi penyelamat ketika krisis moneter mendera 1997. Meskipun demikian, beliau juga mempunyai ”sisi gelap” dalam menjalankan pemerintahannya, tetapi fakta ini tidak diketahui publik karena informasi disaring oleh kaki tangannya. Kim Quek dalam Ke Mana Malaysia? Tampil ke Reformasi Anwar atau Kekalkan Mahathirisme (2006) mencatat dengan baik sisi buruk pemimpin yang dijuluki ”Little Soekarno” ini.

Menyoal pertarungan elite

Jika Mahathir menganggap kerja Badawi hanya menghabiskan uang rakyat dan melabelkan pemimpin oposisi Malaysia, Anwar Ibrahim, sebagai pemimpi di siang bolong, karena hasratnya menjadi PM, ini tak lebih dari taktik untuk menarik perhatian setelah kesempatan untuk tampil di media makin berkurang. Mahathir tampaknya tetap bernafsu untuk menjadi sosok yang diperhitungkan. Ada yang melihat tindak-tanduk beliau disengaja untuk mengawal perjalanan politik anaknya, Mukhris Mahathir.

Saya heran mengapa Mahathir berkata demikian karena justru pada masa kepemimpiannya beliau banyak menggunakan uang perusahaan minyak Petronas untuk membiayai proyek-proyek raksasa yang dijalankan oleh para kroninya, seperti menara kembar Petronas, Sirkuit F1 Sepang, dan Bandara KLIA (Kuala Lumpur International Airport). Begitu banyak uang dihamburkan untuk memenuhi selera jemawanya untuk membangun proyek mega dan dana ini banyak dikeruk dari Petronas tanpa dipertanggungjawabkan kepada parlemen dan kabinet.

Mungkin benar bahwa Anwar Ibrahim sebagai pemimpi, tetapi kehadirannya lebih menggigit karena di tangannya segepok bukti tentang penyalahgunaan kekuasaan yang dilakukan oleh Mahathir. Lebih-lebih lagi, tokoh reformasi ini berani mengungkapkannya kepada khalayak, termasuk isu paling akhir video pengacara Lingam yang mempertontonkan bobroknya kepemimpinan mantan bosnya ini.

Sebenarnya, kritisisme Mahathir ini diduga untuk mengawal para kroninya agar tidak menghilang dari pusaran kekuasaan dalam mendapat kontrak proyek. Memang, Pak Lah masih berbaik hati untuk tidak menyingkirkan para kroni Mahathir dalam menikmati kue pembangunan. Apalagi, orang- orang dekat Mahathir masih banyak yang menduduki kedudukan penting, baik di parlemen maupun pemerintahan.

Bagaimanapun, kehadiran Tun Mahathir adalah sangat penting untuk menjadi anjing penjaga (watch dog) bagi UMNO sendiri. Sementara bagi oposisi (di sana disebut pembangkang), kritisisme ini bisa dimanfaatkan sebagai pembenaran bagi sikap kritis mereka terhadap segala perilaku pejabat elite dan kebijakan pemerintah. Dengan demikian, keterbukaan semacam ini akan menjadi keseimbangan kehidupan politik baru ke depan setelah sebelumnya pihak berkuasa bertindak otoriter atas nama stabilitas dan keamanan. Selamat datang demokrasi sejati!

Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia

Thursday, August 28, 2008

Tantangan Anwar Ibrahim setelah Menang


Sumber Jawa Pos, 28 Agustus 2008

Oleh Ahmad Sahidah

Seperti banyak perkiraan sebelumnya, Anwar memenangkan pemilihan umum sela di Permatang Pauh, Negara Bagian Penang. Kursi ini merupakan tradisi keluarga selama 17 tahun sejak tokoh terkemuka dialog antarperadaban tersebut terjun ke dunia politik. Uniknya, kemenangan itu bukan ditangguk dari fanatisme konstituen terhadap partai, tetapi lebih pada persona tokoh reformasi tersebut. Sebab, dulu sebelum mendirikan Partai Keadilan (sekarang ditambah Rakyat), dia bertanding mewakili UMNO (United Malays National Organization) yang sekarang justru menjadi seteru paling kuat.


Memang sejak awal, partai koalisi Barisan Nasional (BN) tidak begitu percaya diri untuk melawan Anwar dan memosisikan diri sebagai underdog. Meski demikian, mesin politik mereka secara gencar menggunakan banyak cara untuk menjatuhkan lawan, seperti peliputan secara terus-menerus di media cetak dan televisi terhadap calon mereka, Arif Shah Omar Shah.


Pada saat yang sama, sehari sebelum penetapan calon, Mohammad Syaiful Bukhari Azlan menyatakan sumpah telah disodomi oleh bekas bosnya. Sebuah pengakuan yang mengukuhkan dugaan adanya skenario untuk menjatuhkan reputasi Anwar. Sayang, BN mengulang kesalahan yang sama, yaitu strategi memburuk-burukkan Anwar di media mainstream yang tidak berhasil pada pemilu sebelumnya. Saya mendengar dari kawan Melayu bahwa cara itu justru membuat pemilih simpati terhadap nasib Anwar yang terzalimi.


Saya sendiri hampir setiap malam mengikuti berita Bulletin TV3 yang selalu menonjolkan calon BN dan memojokkan calon Partai Keadilan Rakyat (PKR). Bahkan, koran Utusan (25/8/08) memuat pernyataan Ade Nasution, anggota DPR, yang menyatakan secara tidak langsung bahwa dukungan Gus Dur terhadap Anwar tidak berarti mewakili suara masyarakat Indonesia.


Isu Moral dan Agama


Isu sodomi secara sistematis digunakan BN untuk menyerang Anwar melalui pengakuan bekas pembantunya. Pernyataan sumpah bekas mahasiswa drop out itu di Masjid Jami Federal disiarkan berulang-ulang di berita TV3, kotak kaca yang paling banyak dikunjungi penonton. Tentu, efek penyiaran sumpah tersebut sedikit banyak memengaruhi pemirsa karena Anwar tidak melakukan hal yang sama.


Bahkan, Mohammad Najib, seteru sebenarnya Anwar, pernah melakukan sumpah tidak terlibat dengan pembunuhan Altantuya, model Mongolia, yang selama ini dituduhkan dan diteriakkan oleh pendukung Anwar. Sebelumnya, beredar foto Najib dengan model tersebut di halaman web internet. Mereka sedang duduk di meja makan yang di-posting dalam blog Tian Chua, ketua penerangan PKR.


Tuduhan Najib dalam seri kampanye juga menyentuh perilaku Anwar yang memaksa seorang gubernur Sabah untuk meluluskan izin nomor buntut sebagai watak munafik. Sebab, selama ini Anwarlah yang menggagas masyarakat madani, sebuah gagasan yang juga pernah mampir di tanah air. Anwar pun membalas bahwa Najib mengamalkan ajaran Hindu berdasar pengakuan penulis terkenal portal berita Malaysia Kini, Raja Petra.


Isu moral dan agama itu boleh dikatakan paling mengemuka dalam perseteruan BN dan PKR dalam memperebutkan 58.459 suara konstituen dan termasuk 490 melalui kotak pos. Keterlibatan ulama makin memperkeruh keadaan karena mereka terbelah dua. Tentu yang paling menarik keterlibatan Gus Dur, yang secara terbuka di TV9 menegaskan bahwa sumpah dengan menggunakan Alquran tidak berdasar karena tidak dikenal dalam Islam.


Tugas Berat Anwar


Dengan kemenangan itu, Anwar akan mengetuai oposisi di parlemen dan tentu kedudukan tersebut menambah amunisi untuk menyerang kebijakan pemerinah yang dianggap tidak berpihak kepada rakyat. Seperti dikatakannya, dia akan mencecar secara langsung perdana menteri di gedung parlemen. Namun, perlu diingat, koalisi yang dipimpinnya di pelbagai negara bagian juga menjadi penguasa yang harus mewujudkan janji-janji selama kampanye sebelumnya.
Lebih dari itu, tugas yang mungkin paling rumit adalah menyatukan koalisi longgar di Pakatan Rakyat yang riskan pecah.


Tanda-tanda tersebut mulai bertunas ketika Karpal Singh, orang nomor satu di Democratic Action Party (DAP), mengkritik Partai Islam se-Malaysia (PAS) yang masih bersikukuh untuk menegakkan negara Islam, sementara ideologi DAP yang banyak dianggotai oleh masyarakat Tiongkok adalah Malaysian Malaysia.


Sebaliknya, PKR yang diketuai Anwar mengandaikan ideologi sosialisme karena latar belakang komponen yang ada di dalamnya terdiri atas pelbagai ideologi dan etnis yang mendorong perlakuan sama terhadap rakyat Malaysia.


Jika Anwar tidak mampu mendorong koalisi Pakatan Rakyat yang menjadi penguasa di beberapa negara bagian untuk memenuhi janjinya, yaitu membuat kehidupan ekonomi dan keamanan lebih baik, sangat mungkin konstituen mengambang (di sana disebut atas pagar) akan hengkang.


Bagaimanapun, Anwar adalah tokoh yang paling bisa diterima oleh pelbagai komponen berbeda karena dialah yang mempunyai segalanya, yaitu bekas aktivis Angkatan Belia Islam Malaysia, mantan pejabat pemerintah yang berpengalaman, dan mempunyai jaringan internasional. Dengan modal itu, dia akan menarik investasi dari luar negeri lebih deras.


Tantangan lebih berat adalah memenuhi janji untuk memperbaiki hak asasi manusia karena banyak undang-undang yang membelenggu warga, seperti Akta Cetak dan Penerbitan, Akta Rahasia Resmi, dan Akta Hasutan. Meski Anwar pernah berkoar bahwa komponen BN akan lompat pagar setelah dia memenangkan pemilu sela itu, amandemen undang-undang memerlukan waktu dan dukungan melebihi 2/3 anggota parlemen. Sebuah jalan panjang yang tentu sangat menantang dan melelahkan.


--- Ahmad Sahidah, kandidat doktor pada Departemen Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia

Monday, April 14, 2008

Pak Lah Mulai Serang Mahathir


Sumber Jawa Pos Rabu, 09 Apr 2008,
Oleh Ahmad Sahidah *

Akhirnya Pak Lah -panggilan akrab Abdullah Badawi, perdana menteri ke-5 Malaysia- menunjukkan taringnya. Jika selama ini dia cenderung diam dan membiarkan orang bawahannya menjawab serangan seteru politiknya, Dr Mahathir Mohamad, sekarang berubah total. Tidak tanggung-tanggung, Mahathir disebut penyebab utama kekalahan UMNO (United Malay National Organization) pada pemilu ke-12 dan mantan orang kuat yang menyalahgunakan kekuasaan.

Hampir seluruh surat kabar utama di sana memuat foto Pak Lah di halaman depan dengan judul berbeda, tetapi memuat pesan yang sama: Pak Lah tak lagi pasif menghadapi serangan seteru politiknya, termasuk Tengku Razaleigh Hamzah, politikus gaek UMNO yang akrab disapa Ku Li, dan Anwar Ibrahim, yang digadang-gadang untuk menjadi perdana menteri.

Keretakan Elite Politik Melayu

Meskipun pemilu telah lama usai, pertengkaran di kalangan UMNO belum reda. Tentu saja tokoh utamanya adalah Mahathir, Ku Li, Mukhris Mahathir, dan Khairi Jamaluddin, menantu Pak Lah yang sering menjadi sasaran kritik karena dianggap orang kuat yang berada di belakang keputusan pemerintah. Yang lain hanya memainkan peran sebagai "pemandu sorak" atau mendukung tuannya. Mohammad Najib Tun Razak, yang nanti menggantikan Pak Lah, lebih memilih diam.

Kabar tentang post-mortem yang akan dilakukan badan independen untuk menyelidiki kekalahan UMNO sudah tidak terdengar lagi. Pihak yang berseberangan dengan Pak Lah hampir menegaskan secara kompak bahwa kekalahan UMNO disebabkan kelemahan Pak Lah. Sementara PM yang dulu digelari Mr Nice Guy dan Mr Clean itu masih merasa memikul tanggung jawab untuk menjalankan mandat sebagai orang nomor satu, meskipun tanpa dukungan 2/3 anggota parlemen.

Media cetak dan televisi memang telah berubah karena memberikan ruang yang berseteru untuk mengkritik tanpa sensor seperti sebelumnya. Meskipun mereka masih menempatkan Pak Lah sebagai pusat pemberitaan. Hampir-hampir setiap hari kita disuguhi pertengkaran para elite, yang juga dikompori politisi oposisi sehingga praktis Pak Lah dikeroyok orang Melayu sendiri dari dalam dan luar.

Dinamika yang Mengagumkan

Bagi saya, ketegasan Pak Lah meladeni bekas mentornya, Mahathir, kali ini adalah sikap jantan yang telah membuka borok masa pemerintahan Little Soekarno itu. Ketika ditanya wartawan mengenai tuduhan bahwa Pak Lah menyekat kebebasan media, justru beliau membantah bahwa sebenarnya Mahatir-lah yang melakukan itu kepada mantan PM Tun Hussein Onn dengan menelepon media untuk tidak memuat berita dan gambar PM ke-3 itu ketika mengambil alih kekuasaan dari ayah Hishamuddin Onn (Utusan, 7/4/08).

Bahkan, Pak Lah menyebut Mahathir berada di balik "Operasi Lalang" yang menahan 106 orang di bawah undang-undang antisubversi, Akta Keamanan Dalam Negeri (Internal Security Act). Dengan bahasa retorik, Pak Lah tidak menghalangi kemungkinan Mahathir diseret ke pengadilan karena menyalahgunakan kekuasaan.

Ternyata Mahathir bergeming. Dia akan terus mengkritik kepemimpinan UMNO sekarang dan membuat tamsil bahwa partai kaum Melayu itu mengidap penyakit kencing manis sehingga diperlukan pemotongan salah satu anggota tubuh. Bahkan, dia siap masuk penjara karena kritiknya.

Namun, Pak Lah masih memegang posisi kunci dalam bertarung dengan seteru politiknya. Apalagi, partai-partai di Sabah dan Sarawak menyatakan kesetiannya terhadap Barisan Nasional. Media utama masih memberikan kelebihan kepada Pak Lah dibandingkan dengan penentangnya. Mesin politiknya masih berfungsi baik dan siap mengamankan kedudukan mantan menteri luar negeri itu.

Bagaimanapun, perkelahian itu memberikan kesempatan lebih luas kepada publik untuk bersuara dan bebas menerima informasi. Apalagi, koalisi partai oposisi yang menguasai lima negara bagian sedang merencanakan membuat koran sendiri. Tampaknya, perubahan demokrasi berlangsung cepat. Meskipun sebenarnya surat kabar utama telah memberikan ruang kepada oposisi. Misalnya, News Straits Time (5/4/08) telah memuat wawancara dengan Menteri Besar (gubernur) Perak Mohammad Nizar Jamaluddin yang berasal dari Partai Islam se-Malaysia (PAS).

Tidak hanya perubahan di ranah politik elite, tetapi angin kebebasan juga berembus ke kampus tempat saya belajar. Salah seorang mantan Pembantu Rektor Dr Sharom Ahmad dalam sebuah acara seri Sejarah Lisan di Universiti Sains Malaysia (2/4/08) bahwa Mahathir telah mengkritik dirinya ketika meminta rakyat Malaysia berani bicara. Sebuah pendapat yang saya tak pernah dengar sebelum pemilu ke-12 di kampus secara terbuka.

Dengan kelugasan Pak Lah menjawab tuduhan dari dalam maupun dari luar, genderang perang mulai ditabuh. Tentu, itu akan semakin mendorong pihak-pihak yang berseteru untuk membuka "aib" yang selama ini ditutup-tutupi dan enggan dibicarakan di ruang publik dan media. Perbincangan yang hanya dilakukan secara bisik-bisik dan di dunia maya (blog) telah dipindah ke ruang terbuka, baik ceramah maupun media cetak.

Terus terang, saya merasakan perubahan drastis dan dramatis. Para dosen sudah tak enggan lagi berbicara politik secara kritis. Papan pengumuman di kampus sudah ditempeli poster Partai Mahasiswa Negara, yang dahulu diancam akan dikenakan sangsi. Akhirnya harus diakui transisi demokrasi di sana lebih mulus dibandingkan dengan negara kita sendiri, Indonesia.

Dalam gonjang-ganjing politik di negara tetangga itu, kita tidak menemukan kekerasan masal, perusakan fasilitas umum, dan tentu saja kesulitan ekonomi yang tak tertahankan sehingga ada warga negara yang bunuh diri karena lapar dan putus asa.

* Ahmad Sahidah, graduate research assistant dan kandidat doktor Ilmu Humaniora Universiti Sains, Malaysia




Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...