Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Buku. Show all posts
Showing posts with label Buku. Show all posts

Monday, September 07, 2015

Dunia Anak

Ketika saya memintanya untuk menulis judul buku ini, Existensialism, anak dalam gambar sebelah malah menggambar keranjang dan orang. Dengan membiasakan menulis kata, saya membayangkan ia akan belajar untuk bisa menulis lema dalam bahasa Inggeris. Namun, lain dipinta, lain dibuat.

Tak hanya itu, buku cerita Ladybird, hadiah dari sebuah susu formula, pun hanya dibaca beberapa halaman. Saya tak bisa memaksanya untuk melakukan apa yang perlu dilakukan. Lagipula, ia masih belum sepenuhnya bisa menulis dan membaca, sehingga memaksanya melakukan demikian merupakan sebuah siksaan.

Anak-anak seusianya tentu melihat dunia dalam gambarannya. Untuk mengajaknya belajar, seperti membaca dan menulis, justeru kita, orang tua, yang lebih sering memberikan contoh. Misalnya, selain menonton film televisi, saya pun acap membuka buku, meskipun kadang malas mendarasnya.



Thursday, June 20, 2013

Dunia Anak

Anak ini seperti yang lain suka bermain, di mana pun dan kapan pun. Tentu, sebelum memberikan izin untuk bermain di pusat permainan, kami memintanya untuk memasuki toko buku. Lalu, dia pun bergegas dan duduk dengan riang: membelek buku-buku bergambar.

Dunianya memang demikian. Malah, ketika mandi, dia pun meminta ember besar untuk berendam dan menghabiskna banyak sabun cair untuk menciptakan busa yang menghasilkan gelembung beterbangan. Kami membiarkan agar ia mengasyiki dunianya, meskipun kadang gundah karena sabun cair itu cepat habis.

Teman-temannya juga begitu. Ketika mereka bertemu, banyak benda yang bisa dijadikan alat permainan, meskipun para orang tua tak habis pikir bagaimana mereka membayangkan dunia. Dalam suatu waktu, anak ini menyusun kursi secara berbaris layaknya kereta api, lalu meminta ibu bapaknya untuk menaiki dan  mengeluarkan suara mesin. Alahai!  

Sunday, July 15, 2012

Filsafat itu Sepi


Gambar di atas saya ambil kemarin, Sabtu 14 Juli 2012 di toko buku Borders, Mal Queensbay (Terbayang namanya diucapkan sebagai Tanjung para Ratu). Tempat ini selalu berada di kepala apabila kami mengunjungi pusat perbelanjaan di pinggir laut ini. Di sebelah rak filsafat, kita juga menemukan buku-buku sosiologi, politik, dan sejarah yang jarang menarik minat penunjung. Kebanyakan mereka lebih memilih buku populer, novel atau majalah. Lalu, sebagian dari mereka beranjak ke sudut toko, sebuah warung kopi terkenal, Starbucks, seraya mengasyiki media sosial atau menghitung untung-rugi usaha.

Mengapa filsafat tak memantik orang ramai untuk menekuri kandungannya? Boleh jadi tingkat kerumitan dari bahasa yang digunakan dalam mengungkap isi pikiran pengarang. Seseorang yang tak belajar filsafat, ia akan sering mengerutkan dahinya ketika menikmati buku Feyeraband di rak yang berjudul Against the Method. Namun, buku filsafat tak melulu berisi hal demikian. Ia bisa berupa karya John-Paul Flintoff berjudul How to Change the World. Meskipun kita tak bisa menyebutnya karya filsafat murni, penulisnya menunjukkan pada kita bahwa pemikiran Sokrates itu bekerja sebagaimana penjual (salesman) bekerja (hlm. 53). Di lain tempat, wartawan The Sunday Times ini juga mengulas banyak celotehan filsuf eksistensialis, yang kita kenal acapkali menabrak aturan, karena norma itu dianggap lahir setelah kehadiran manusia.

Betapapun, filsafat berusaha untuk mengungkap semua, ia sebenarnya sedang memilih dari sekian kerumitan yang hadir di dunia. Dulu, di zaman Yunani kuno, ia mungkin berperan sebagai induk pengetahuan, namun sekarang percabangan pengetahuan telah melahirkan kekhususan-kekhususan. Tak aneh, Lawrence Kohlberg menggunakan psikologi untuk berfilsafat, sebagaimana Flintoff menceritakan makna hidup seraya mengutip ide Victor F Frankel. Ini bermakna semua disiplin mempunyai peluang yang sama untuk menjelaskan mengapa kita masih bertahan hidup, bukan mengakhirinya di ujung belati. Filsafat itu sebagian dari sudut pandang untuk meraup pelajaran dari kehidupan.


Thursday, May 10, 2012

Kesempurnaan Cicero


Di sini, pengunjung perpustakaan disambut dengan tulisan besar di dinding. Kalau kita merasa nyaman, kata Cicero, kita telah mendapatkan satu di antara dua kesempurnaan dalam hidup. Apabila Anda merasa lelah, Anda hanya perlu melangkah kaki ke luar dari perpustakaan untuk menikmati taman di sekitar kampus. Dengan menikmati keduanya, kita telah merengkuh kesempurnaan secara utuh. 

Friday, March 09, 2012

Anak Kecil Menyukai Gambar

Sebagaimana anak seusianya, Nabbiyya akan mendatangi raku buku-buku untuk anak-anak yang bergambar. Meskipun belum bisa membaca, ia sangat menyukai majalah yang dipenuhi aneka gambar, seperti Donald Bebek, Barney dan lain-lain. Malah Tante Dewi, Ibu Arkana, menghadiahkan majalah Barney untuk Nabbiyya.

Mengapa anak kecil menyukai gambar? Karena secara alamiah, gambar itu mampu mencerminkan kenyataan dengan tepat. Ia bisa merasakan wajah senang, cemberut, tertawa dan sinis dari raut muka tokoh di majalah. Kelucuan sering hadir dalam gambar-gambar itu, sehingga anak-anak kadang memilih bacaan daripada melihat orang tuanya. Mungkin, para orang tua harus mengubah wajah mereka menghadapi anak-anak mereka.

Lebih jauh, kehadiran anak-anak di toko buku adalah penting agar mereka tidak selalu menemukan keriangan di arena permainan, yang malah bersebelahan dengan Kedai Buku Populer ini. Sementara, saya akan mengunjungi rak non-fiksi, karena saya masih berharap bahwa hidup yang rumit ini bisa dilihat dalam satu buku. Ternyata tidak! Kenyataan itu jauh lebih kompleks dibandingkan dengan barisan huruf-huruf yang bertebaran di halaman buku.

Thursday, January 12, 2012

Memiliki atau Menikmati

Apa yang ada di benak Anda tentang gambar di atas? Benda, tak lebih? Lalu, di mana makna? Adakah tafsir itu ada di kepala saja? Tak perlu risau. Anda boleh berkhayal apa yang saya ingin maksudkan dengan gambar di atas. Setidaknya, judul itu ingin mengungkap sesuatu, yang apabila diurai, makna bisa menyerimpung dari kenyataan. Hanya saja, saya ingin memberitahu, penggaris (Malaysia pembaris, ruler) saya itu hilang. Padahal, ia adalah barang yang sangat berharga untuk menggaris huruf-huruf penting. Di lain waktu, saya tidak memahami apa maksud kalimat tersebut. Tak puas, saya kadang mewarnai kalimat itu dengan stabilo.

Monday, January 02, 2012

Adakah Maling Buku Budiman?


Ruang Putih Jawa Pos

Selasa, 1 Januari 2011 │7:28 AM

Oleh Ahmad Sahidah*

Perpustakaan Daerah Kota Malang mengalami nasib sial: buku-bukunya raib digondol oleh pengunjung. Adakah pencuri itu adalah mahasiswa yang menyukai buku, tetapi tak mampu membelinya? Atau ini tak lebih dari keisengan ‘kutu’ buku untuk menunjukkan bahwa kalau buku itu tak dicuri, ia tak akan dibaca, tergeletak di rak, mendebu sia-sia. Apa pun, kenyataan ini tentu memprihatinkan, namun tak harus membuat kita heran karena fenomena pencurian koleksi perpustakaan telah lama terjadi, tak mengenal tempat dan status. Nicholas A. Basbanes, dalam A Gentle Madness (1999) mengungkapkan tentang cerita seru orang yang mengidah penyakit tersebut, yang dikenal dengan biblioklepto.

Siapa pun mafhum kota Malang adalah salah satu bandar pelajar yang mempunyai begitu banyak perguruan tinggi. Sebagaimana Yogyakarta, perpustakaan daerah yang ada di Kota Dingin tersebut tentu menyedot kehadiran peminat buku. Tanpa pengawasan yang ketat, para pengutil itu berluasa untuk menggerogoti rak-rak buku. Gagasan untuk memasang Closed Circuit Television (CCTV) mungkin bisa mencegah siapa pun untuk membawa buku tanpa izin dan dengan sendirinya pencurian bisa dikurangkan. Tapi, bukankah pemasangan alat itu menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat menyemai budi pekerti dengan merawat nalar yang sehat melalui pembacaan gagal sejak awal?

Namun, di mana-mana, perpustakaan umum biasanya memasang barcode pada buku yang bisa menjadi alat detektor untuk menjejaki buku tersebut. Dengan alat di pintu keluar, koleksi tak akan mudah dicuri. Meskipun, barcode itu tetap bisa ditanggalkan dan pencurinya akan menyimpan di balik baju. Malah, di Yogyakarta, seorang mahasiswa melempar buku itu melalui jendela, lalu mengambilnya tanpa harus menanggung debaran jantung ketika melewati pintu keluar. Tentu saja, perbuatan seperti ini merupakan contradictio in terminis, di mana seseorang mencintai pengetahuan, namun dengan cara berbuat yang terlarang. Boleh jadi, yang bersangkutan telah gagal sejak awal, bahwa pengetahuan itu adalah jalan menuju kearifan. Ketika ia mencuri untuk meraih pengetahuan, ia telah melempar buku itu ke jamban.

Saran salah seorna ganggota DPRD lokal untuk memperketat pengamanan tentu bukan jalan keluarga yang berjangka panjang. Dengan CCTV di setiap sudut ruangan, gerak pengunjung yang berniat jahat terbatas. Padahal, pemasangan alat pengintai ini dengan sendirinya membuat perpustakaan tak lebih dari penjara, di mana CCTV adalah alat yang lebih kejam dari menara di penjara yang berperan sebagai panoptikon dalam relasi kuasa dan pengetahuan Michel Foucault. Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah membuat perpustakaan lebih longgar dan transparan. Betapa kebanyakan perpustakaan daerah tampak tidak terurus, sehingga pengunjung beranggapan bahwa buku-buku yang ada di dalamnya mungkin tidak akan terawat, sehingga perlu diselamatkan.

Lebih jauh, tanpa berprasangka bahwa pelaku tersebut adalah mahasiswa, kita mungkin perlu menelisik ulang bahwa harga buku masih belum terjangkau oleh kantong mahasiswa kebanyakan. Selain mahal, mahasiswa mungkin lebih mengutamakan membeli buku teks sebagai bahan untuk mengikuti ujian, sementara buku-buku tambahan yang menantang pikiran diabaikan. Atau, sebagaimana dikeluhkan orang ramai, banyak mahasiswa memilih membeli pulsa untuk memenuhi gelegak kekiniannya, atau lebih memburu laptop agar bisa senantiasa memperbaharui status facebook dan twitter. Ironis, mahasiswa tidak lagi berpikir sehat bahwa keutamaan dalam masa pembelajaran adalah pergulatan dengan bahan bacaan, baik dengan meminjam atau membeli. Mungkin, buku kecil Muhidin M Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta membantu siapa pun untuk menggilai dengan memiliki buku, tetapi itu bukan sekadar menambah koleksi di rak kos, tetapi sebuah perjuangan hidup dan mati dan akhirnya berbuat karya yang abadi.

Malangnya, menurut Kepala Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang Muyono, sedikitnya ada 3000 eksemplar buku yang tidak layak karena rusak, baik karena dicorat-coret peminjam, sampul bukunya yang rusak atau halaman bukunya yang hilang. Vandalisme ini tentu makin memburukkan wajah pelajar dan mahasiswa jika prilaku tak berkeadaban ini dilakukan oleh insan terpelajar. Oleh karena itu, etika pembelajaran itu bukan sekadar menghormati guru, tetapi juga buku. Sebagaimana asal kata vandalisme, yaitu, vandals, suku di Eropah yang menghancurkan kota Romawi pada 445 Masehi, maka perbuatan merusak hal-hal yang dianggap kecil akan merembet pada pengrusakan milik publik yang lain, seperti telepon umum, jembatan, gedung-gedung publik, pencurian kabel PLN dan jaringan telepon.

Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Apakah dengan menggelontorkan uang 1 Miliar dan perbaikan gedung perpustakaan akan mengurangkan pencurian buku? Mungkin ya, namun lebih jauh anggota legislatif mendorong pemerintah untuk membebaskan pajak bagi kertas bahan cetak buku agar penerbit bisa menjual buku dengan harga terjangkau. India telah melakukan ini, sehingga banyak buku yang bisa dimiliki oleh orang ramai tanpa menguras kantong. Tampaknya, seruan pembebasan pajak untuk kertas dari pegiat buku tak mendapatkan respons yang memadai. Pemerintah dan anggota DPR lebih prihatin pada ihwal remeh-temeh, seperti pemugaran pagar Istana Merdeka dan rumah aspirasi. Demikian pula, untuk anggota legislatif daerah yang hanya menggelontorkan sedikit dana untuk perpustakaan, sementara biaya untuk jalan-jalan membengkak tak karuan.

Bandingkan dengan negeri jiran! Untuk anggaran tahun 2012 Pemeritah Malaysia memberikan kupon Buku RM 200 (sekitar Rp 560 ribuan) untuk setiap mahasiswa, agar mereka menebus buku yang digemari dengan kupon yang dimaksud. Tak hanya itu, pemerintah juga menyubsidi buku-buku terbitan asing, sehingga buku luar negeri sekalipun tidak mahal. Belum lagi perpustakaan umum dan kampus yang begitu sempurna dengan koleksi yang selalu diperbaharui menjadikan ruang ini senantiasa nyaman untuk berselancar mencari maklumat dan pengetahuan. Perpustakaan almamater saya, Universitas Sains Malaysia misalnya, betul-betul memerhatikan perawatan fisik dan penyedian ruang khas untuk mendengarkan pelbagai genre musik, yang menjadi oase bagi mahasiswa untuk sejenak beristirahat dari memelototi huruf-huruf. Perpustakaan bukan sekadar tempat untuk memajang buku, kursi dan meja. Seharusnya, ia menjadi pusat sehenti (pelayanan satu atap) agar mereka yang mengunjungi perpustakaan betah berada di dalamnya. Tentu saja, kita tak lagi mengandaikan maling buku budiman, sebab tujuan semulia apa pun tidak dengan sendirinya menghalalkan segala cara.

* Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara (bukan Sains), Malaysia


Wednesday, October 19, 2011

Mendaki menuju Puncak

Mendaki itu melelahkan, sebagaimana memahami buku di atas juga memenatkan. Mengapa orang perlu berlelah-lelah untuk menggapai puncak? Karena yang dituju itu ada di sana. Awas, mata Sysyphus mengintai!

Sunday, July 04, 2010

Membaca


Anak ini tak bisa membaca. Malah, ia juga belum bisa berbicara, hanya beberapa kata yang sama sempat terucap. Tentu, kata yang sering diungkap adalah ayah, dalam segala suasana dan cuaca. Anehnya kata ini bukan untuk bapak, tapi untuk orang lain juga, bahkan benda. Jika anak berusia 15 bulanan ini membelek buku, mungkin ia hanya tertarik pada gambar. Lalu, ia pun tersenyum seperti yang ada di buku. Alamak! bahasa gambar itu ternyata mempunyai pengaruh yang kuat. Bukankah iklan luar ruang juga menonjolkan gambar untuk menarik pengguna (konsumen)?

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...