Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label UUM. Show all posts
Showing posts with label UUM. Show all posts

Thursday, March 08, 2012

Ke manakah Buku Anda Disumbangkan?

Sebagai pengajar Falsafah dan Etika atau Sains Pemikiran dan Etika, saya merasa bangga karena mahasiswa akhirnya menyumbangkan buku teks pada perpustakaan. Menurut saya, secara deontologikal, manusia melakukan kebaikan karena pelbagai alasan yang mulia. Bagaimana dengan Anda? Haruskah kita memegang teguh prinsip teleologikal, di mana kita berbuat baik karena kita mendapatkan hasil dari apa yang kita lakukan? Apakah prinsip pertama, yang juga kadang dikenal sebagai duty (kewajiban) atau Theory of God Cammand, masih mendapatkan tempat di tengah-tengah masyarakat yang cenderung merayakan hedonisme?

Tentu, penyumbang buku itu tidak dikenal oleh pengunjung perpustakaan. Meskipun, ada sebagian yang menuliskan nama di buku yang disumbangkan, namun bukankah kadang pembaca tidak mengenalnya? Selain itu, ternyata ada banyak nama-nama penyumbang dari Eropa dan Amerika yang juga mengisi rak-rak buku Perpustakaan Sultanah Bahiyah Universitas Utara Malaysia. Selain juga ada tokoh lokal tertentu yang begitu banyak mendermakan koleksi pribadinya, sehingga perpustakaan membuat ruangan khusus untuk memelihara warisan tersebut dan meletakkan nama yang bersangkutan di atas pintu masuk.

Apa pun, sumbangan itu hanya untuk kebaikan, tanpa harus dibebani apakah nama kita akan diingat atau diberikan penghargaan oleh lembaga tertentu. Seperti kata Nabi, ketika tangan kanan kita memberi, tangan kiri kita tak perlu tahu. Apakah kita telah melakukannya, Sahabat? Namun, kalau pun kita tidak menyumbang buku, dengan membacanya kita sebenarnya kita telah berbuat kebaikan yang sama. Bagaimanapun, saya telah melakukan yang terakhir ini. Anda, bagaimana?

Wednesday, February 08, 2012

Sudut Kampus

Di antara banyak sudut di kampus, saya menyukai taman ini. Di sini, kita bisa bercengkerama dengan air, ikan dan pepohonan. Gemericik air menghadirkan alam secara utuh. Hidup itu hanya menuntut kita memilih, di mana kita menikmati kebesaran Tuhan.

Friday, January 13, 2012

Musik dan Konsumsi

Saya bersyukur karena dulu saya tak banyak memiliki koleksi musik. Dengan keterbatasan ini, saya terseret pada pendalamnikmatan (intensitas) musik tertentu. Bayangkan, jika orang tua saya memberi banyak uang untuk menambah koleksi kaset, maka saya akan terus menambah benda hanya untuk mengurus jiwa. Saya bisa menikmati lagu dari pengeras suara pesta perkawinan, kumpulan pengajian, atau milik penduduk lokal di seberang sungai, yang sengaja menegakkan bambu yang di ujungnya bertengger TOA.

Kursi dan buku itu sengaja diperlihatkan. Setelah penat memelototi huruf, saya menyepi di sini seraya mendengarkan aneka pilihah musik. Aneh, bukan? Menyunyi di tempat bising? Ya, ruangan di atas adalah sebagian fasilitas Perpustakaan Universitas Sains Malaysia untuk mahasiswa rehat sekaligus memesan lagu pada petugas. Ketika saya mendengarkan lagu Ella, Layar Impian, saya ingat sepupu, Endang (ingat E tidak dibaca e pepet), nama lengkapnya Iskandar. Hingga hari ini, saya belum mengunjungi tempat serupa di Universitas Utara Malaysia. Setelah ujian semester akhir, saya akan menyepi di Perpustakaan Sultanah Bahiyah, menikmati instrumetalia, agar dunia ini bisa dipahami tanpa harus dengan kata. Bayangkan, saya menikmati Caravansary Kitaro, sambil membaca Jean Baudrillard tentang mengapa kita banyak membeli sesuatu agar kita bahagia?

Ya, diam itu adalah emas. Kata-kata itu kadang terjerat oleh propaganda, sadar atau tidak. Masalahnya, mengapa saya menggunakan kata-kata untuk menyampaikan pikiran ini? Karena saya yakin kata itu adalah alat, bukan tujuan. Sekali waktu, kita diam, dengan cara menikmati bunyi, lalu akhirnya sunyi, sepi. Di sini, kita akan menemukan hati.

Sunday, January 08, 2012

Sudut Kampus


Setiap ruang mempunyai makna. Sudut pandang akan mempengaruhi cara kita menempatkan diri. Dari sini, kita bisa menikmati hidup dan meraih makna. Gambar di atas adalah peringatan, bukan karena tak jauh dari tempat tersebut berdiri sebuah klinik.

Monday, January 02, 2012

Adakah Maling Buku Budiman?


Ruang Putih Jawa Pos

Selasa, 1 Januari 2011 │7:28 AM

Oleh Ahmad Sahidah*

Perpustakaan Daerah Kota Malang mengalami nasib sial: buku-bukunya raib digondol oleh pengunjung. Adakah pencuri itu adalah mahasiswa yang menyukai buku, tetapi tak mampu membelinya? Atau ini tak lebih dari keisengan ‘kutu’ buku untuk menunjukkan bahwa kalau buku itu tak dicuri, ia tak akan dibaca, tergeletak di rak, mendebu sia-sia. Apa pun, kenyataan ini tentu memprihatinkan, namun tak harus membuat kita heran karena fenomena pencurian koleksi perpustakaan telah lama terjadi, tak mengenal tempat dan status. Nicholas A. Basbanes, dalam A Gentle Madness (1999) mengungkapkan tentang cerita seru orang yang mengidah penyakit tersebut, yang dikenal dengan biblioklepto.

Siapa pun mafhum kota Malang adalah salah satu bandar pelajar yang mempunyai begitu banyak perguruan tinggi. Sebagaimana Yogyakarta, perpustakaan daerah yang ada di Kota Dingin tersebut tentu menyedot kehadiran peminat buku. Tanpa pengawasan yang ketat, para pengutil itu berluasa untuk menggerogoti rak-rak buku. Gagasan untuk memasang Closed Circuit Television (CCTV) mungkin bisa mencegah siapa pun untuk membawa buku tanpa izin dan dengan sendirinya pencurian bisa dikurangkan. Tapi, bukankah pemasangan alat itu menunjukkan bahwa ruang yang seharusnya menjadi tempat menyemai budi pekerti dengan merawat nalar yang sehat melalui pembacaan gagal sejak awal?

Namun, di mana-mana, perpustakaan umum biasanya memasang barcode pada buku yang bisa menjadi alat detektor untuk menjejaki buku tersebut. Dengan alat di pintu keluar, koleksi tak akan mudah dicuri. Meskipun, barcode itu tetap bisa ditanggalkan dan pencurinya akan menyimpan di balik baju. Malah, di Yogyakarta, seorang mahasiswa melempar buku itu melalui jendela, lalu mengambilnya tanpa harus menanggung debaran jantung ketika melewati pintu keluar. Tentu saja, perbuatan seperti ini merupakan contradictio in terminis, di mana seseorang mencintai pengetahuan, namun dengan cara berbuat yang terlarang. Boleh jadi, yang bersangkutan telah gagal sejak awal, bahwa pengetahuan itu adalah jalan menuju kearifan. Ketika ia mencuri untuk meraih pengetahuan, ia telah melempar buku itu ke jamban.

Saran salah seorna ganggota DPRD lokal untuk memperketat pengamanan tentu bukan jalan keluarga yang berjangka panjang. Dengan CCTV di setiap sudut ruangan, gerak pengunjung yang berniat jahat terbatas. Padahal, pemasangan alat pengintai ini dengan sendirinya membuat perpustakaan tak lebih dari penjara, di mana CCTV adalah alat yang lebih kejam dari menara di penjara yang berperan sebagai panoptikon dalam relasi kuasa dan pengetahuan Michel Foucault. Seharusnya, perpustakaan menjadi tempat yang nyaman bagi pengunjung. Oleh karena itu, yang paling mungkin adalah membuat perpustakaan lebih longgar dan transparan. Betapa kebanyakan perpustakaan daerah tampak tidak terurus, sehingga pengunjung beranggapan bahwa buku-buku yang ada di dalamnya mungkin tidak akan terawat, sehingga perlu diselamatkan.

Lebih jauh, tanpa berprasangka bahwa pelaku tersebut adalah mahasiswa, kita mungkin perlu menelisik ulang bahwa harga buku masih belum terjangkau oleh kantong mahasiswa kebanyakan. Selain mahal, mahasiswa mungkin lebih mengutamakan membeli buku teks sebagai bahan untuk mengikuti ujian, sementara buku-buku tambahan yang menantang pikiran diabaikan. Atau, sebagaimana dikeluhkan orang ramai, banyak mahasiswa memilih membeli pulsa untuk memenuhi gelegak kekiniannya, atau lebih memburu laptop agar bisa senantiasa memperbaharui status facebook dan twitter. Ironis, mahasiswa tidak lagi berpikir sehat bahwa keutamaan dalam masa pembelajaran adalah pergulatan dengan bahan bacaan, baik dengan meminjam atau membeli. Mungkin, buku kecil Muhidin M Dahlan, Aku, Buku, dan Sepotong Sajak Cinta membantu siapa pun untuk menggilai dengan memiliki buku, tetapi itu bukan sekadar menambah koleksi di rak kos, tetapi sebuah perjuangan hidup dan mati dan akhirnya berbuat karya yang abadi.

Malangnya, menurut Kepala Perpustakaan Umum dan Arsip Kota Malang Muyono, sedikitnya ada 3000 eksemplar buku yang tidak layak karena rusak, baik karena dicorat-coret peminjam, sampul bukunya yang rusak atau halaman bukunya yang hilang. Vandalisme ini tentu makin memburukkan wajah pelajar dan mahasiswa jika prilaku tak berkeadaban ini dilakukan oleh insan terpelajar. Oleh karena itu, etika pembelajaran itu bukan sekadar menghormati guru, tetapi juga buku. Sebagaimana asal kata vandalisme, yaitu, vandals, suku di Eropah yang menghancurkan kota Romawi pada 445 Masehi, maka perbuatan merusak hal-hal yang dianggap kecil akan merembet pada pengrusakan milik publik yang lain, seperti telepon umum, jembatan, gedung-gedung publik, pencurian kabel PLN dan jaringan telepon.

Lalu, apa yang harus dilakukan pemerintah? Apakah dengan menggelontorkan uang 1 Miliar dan perbaikan gedung perpustakaan akan mengurangkan pencurian buku? Mungkin ya, namun lebih jauh anggota legislatif mendorong pemerintah untuk membebaskan pajak bagi kertas bahan cetak buku agar penerbit bisa menjual buku dengan harga terjangkau. India telah melakukan ini, sehingga banyak buku yang bisa dimiliki oleh orang ramai tanpa menguras kantong. Tampaknya, seruan pembebasan pajak untuk kertas dari pegiat buku tak mendapatkan respons yang memadai. Pemerintah dan anggota DPR lebih prihatin pada ihwal remeh-temeh, seperti pemugaran pagar Istana Merdeka dan rumah aspirasi. Demikian pula, untuk anggota legislatif daerah yang hanya menggelontorkan sedikit dana untuk perpustakaan, sementara biaya untuk jalan-jalan membengkak tak karuan.

Bandingkan dengan negeri jiran! Untuk anggaran tahun 2012 Pemeritah Malaysia memberikan kupon Buku RM 200 (sekitar Rp 560 ribuan) untuk setiap mahasiswa, agar mereka menebus buku yang digemari dengan kupon yang dimaksud. Tak hanya itu, pemerintah juga menyubsidi buku-buku terbitan asing, sehingga buku luar negeri sekalipun tidak mahal. Belum lagi perpustakaan umum dan kampus yang begitu sempurna dengan koleksi yang selalu diperbaharui menjadikan ruang ini senantiasa nyaman untuk berselancar mencari maklumat dan pengetahuan. Perpustakaan almamater saya, Universitas Sains Malaysia misalnya, betul-betul memerhatikan perawatan fisik dan penyedian ruang khas untuk mendengarkan pelbagai genre musik, yang menjadi oase bagi mahasiswa untuk sejenak beristirahat dari memelototi huruf-huruf. Perpustakaan bukan sekadar tempat untuk memajang buku, kursi dan meja. Seharusnya, ia menjadi pusat sehenti (pelayanan satu atap) agar mereka yang mengunjungi perpustakaan betah berada di dalamnya. Tentu saja, kita tak lagi mengandaikan maling buku budiman, sebab tujuan semulia apa pun tidak dengan sendirinya menghalalkan segala cara.

* Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara (bukan Sains), Malaysia


Friday, December 16, 2011

Nikmat itu adalah Membaca

Halim dan kelompok 3 yang membahas makalah bertajuk "Kaitan Hiburan Kapitalisme" membuka penjelasan hiburan dengan kutipan dari Mary Worley Montagu, no entertainment is so cheap as reading, nor any pleasure so lasting. Dengan lugas mahasiswa Falsafah dan Etika tersebut menjelaskan bahawa hiburan tak semestinya anggapan umum yang sebatas keseronokan, seperti musik, film, rekreasi. Dengan petikan di atas, hiburan yang murah seperti membaca layak diketengahkan.

Tapi, seperti gambar buku di atas, Climbing: Philosophy for Everyone, membaca memerlukan iltizam dan tubuh yang kuat, karena kita layaknya mendaki gunung-ganang untuk mencapai kepuasan. Oleh karena itu, kita sering melihat iklan layanan masyarakat yang mendorong khalayak untuk rajin membaca. Malangnya, iklan komersial lebih mendapatkan perhatian dan pengutamaan orang ramai. Betapa, pengguna (konsumen) tak berdaya menghadapi keperkasaan pengeluar (produsen) barang-barang, yang mungkin tak begitu diperlukan, tetapi dima(h)ukan karena pencitraan yang digambarkan terkait dengan keunggulan jenama (merek) yang ditawarkan.

Lalu, bagaimana dengan buku yang masih mahal, apakah membaca memang benar-benar kegiatan yang tak memerlukan uang? Tentu kita tak perlu membelinya apabila kita bisa mendapatkannya secara percuma dengan meminjam di perpustakaan. Bagaimanapun, kata Cicero, pemikir Romawi, kita akan meraih kehidupan yang sempurna dengan perpustakaan dan taman, tidak bererti (berarti) kita harus memiliki keduanya, karena kita bisa menikmati buku dan pepohonan di Perpustakaan Sultanah Bahiyah dan sekujur tubuh Universiti Utara.

Thursday, December 15, 2011

Mahasiswa dan Pergerakan

Bagi saya, prestasi mahasiswa tidak saja dipandang dari perolehan nilai A+ dalam ujian (peperiksaan), tetapi juga kegiatan yang ditekuni dalam masa perkuliahan. Asraf, misalnya, sebagai pelajar yang mengambil subjek Falsafah dan Etika, lelaki asal Kedah ini telah berhasil mewujudkan keterkaitan antara teori dan praktik, tanpa harus membolak-balik buku tebal filsafat secara keseluruhan. Tentu, ia perlu mendatangi perpustakaan untuk melihat kembali buku-buku filsafat yang begitu banyak di rak, namun pada waktu yang sama, ia akan ditakdirkan untuk memilih pemikiran yang dirasa nyaman dalam hidupnya.

Saya pun juga turu mendengar pelajar lain, Mohd Aizat, atau nama facebooknya Jat Jenin, yang merupakan pegiat mahasiswa, bersama teman karibnya Syauqi. Sekali waktu, saya pernah berbincang ringan dan santai di kantin seraya mereguk segelas minuman tentang isu-isu baru, misalnya pandangan orang ramai tentang kelompok terpinggir, seperti orang-orang yang mengalami masalah disorientasi seksual. Sebelumnya, lajang dari Pulau Pinang bercerita bahwa ia pernah bergiat dalam lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dalam pembelaan ODHA (Orang Dengan HIV AIDS). Tak dielakkan, pengalaman inilah yang mendorongnya untuk mengirim pertanyaan di twitter saya, apa pandangan saya tentang LGBTI?

Lalu, saya juga pernah berbual (baca dalam bahasa Malaysia) ringan dengan Sumayyah dan dua orang teman dekatnya. Karena berasal dari Johor, mereka bercerita bahwa di tanah berdekatan dengan Batam itu, warga Malaysia bisa menikmati acara televisi SCTV. Tak pelak, mereka bisa berbahasa Indonesia dengan baik. Meskipun ketiganya merupakan kawan akrab, tetapi dalam beberapa segi, masing-masing mengusung pandangan yang berbeda tentang dunia fashion. Ternyata, kedekatan itu tak mensyaratkan kesamaan, tetapi pengertian (bukan pengartian, padahal kata dasarnya arti, bukan erti). Apa pun, mahasiswa itu ada karena mereka bergerak, tak diam di bilik seraya berharap bila masa kuliah yang menyebalkan ini usai.

Monday, December 12, 2011

Kelab Rekreasi, Sukan dan Kebajikan

Hari Ahad lalu, sejumlah dosen dan staf di tempat saya bekerja mendirikan organisasi yang dinamakan kelab. Meskipun bersifat sukarela, Dr Ishak Din menjadikan perkumpulan ini sebagai wadah untuk berbagi sesama rekan terkait kegiatan olahraga, rekreasi dan kebajikan bersama secara sungguh-sungguh. Oleh karena itu, sebelum disahkan, semua yang hadir pada acara pada waktu itu membahas perlembagaan atau AD/ART agar kami mempunyai panduan untuk mewujudkan kehendak. Tak perlu lama, perlembagaan bisa diterima oleh semua pihak.

Sebagai wujud dari kebersamaan di atas, yang merupakan napas dari perkumpulan ini, salah seorang ustaz dari Pusat Islam UUM mengetuai pembacaan tahlil untuk rekan yang baru saja meninggal dunia dalam perjalanan pulang dari tanah suci. Dalam waktu 30 menitan, zikir dan doa telah dipanjatkan. Kami tentu merasakan kehilangan karena yang bersangkutan masih muda. Namun, Tuhan telah mengambilnya. Semoga keluarga yang ditinggalkan tabah dan terus menjalani kehidupan dengan tegar.

Acara di atas diakhiri dengan acara ramah-tamah, seraya menikmati makanan dan minuman. Kami pun bertukar cerita di tempat terbuka. Tempat di atas memang sering digunakan untuk acara silaturahim antar staf. Kadang, acara-acara seperti ini menjadi pilihan yang menyenangkan setelah civitas academica disibukkan dengan kegiatan rutin resmi yang dihelat dalam gedung berpendingin udara. Meskipun kipas tetap dinyalakan, udara alamiah yang menembus leluasa di setiap sudut bangunan itu tentu lebih menyegarkan. Belum lagi, suara burung yang menyelingi dengus napas kami membuat suasana beitu menentramkan. Adakah kita memerlukan lebih dari ini untuk bergembira?

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...