Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Cerita Buku. Show all posts
Showing posts with label Cerita Buku. Show all posts

Wednesday, March 23, 2016

Pesta Buku

Siapapun suka pergi ke pesta. Di sini, seseorang boleh berseronok. Tapi, adakah buku boleh memberikan keseronokan? John Stuart Mill (1806-1873) membezakan keseronokan kepada dua, iaitu aktiviti yang mempunyai nilai rendah kerana hanya melibatkan keseronokan sensual (Seperti, makan, minum, seks dan sebagainya) dan yang mempunyai nilai tinggi (Misalnya, pengetahuan, kebudayaan, dan keintelektualan).

Dengan merujuk kepada idea ahli falsafah Inggeris itu, kegemaran membaca buku adalah keseronokan tinggi yang mesti dicapai oleh seseorang. Untuk itu, pelajar berpeluang untuk memupuk minat membaca dengan sentiasa mengunjungi majlis yang merancakkan dunia pengetahuan, seperti pesta buku yang dianjurkan oleh penerbit Universiti Utara Malaysia (UUM) bekerja sama dengan beberapa institusi yang prihatin terhadap pengembangan keilmuan.

Agar boleh menarik orang ramai berkunjung, penganjur tidak hanya menyediakan tapak pameran buku, tetapi juga beberapa aktiviti untuk menarik orang ramai, terutama kalangan remaja, mengunjungi pesta buku, seperti pertandingan mengeja, puisi, mewarna, dan bengkel penulisan kreatif. Sebagai wujud sokongan terhadap kegiatan seumpama ini, saya membeli tiga buah buku, iaitu Anticonformity (Benz Ali), Falsafah Akhlak (Mohd Nasir Omar) dan Tuhan, Manusia, dan Alam dalam al-Qur'an: Pandangan Toshihiko Izutsu (Ahmad Sahidah). Inilah masanya untuk menukarkan boucar buku yang mahasiswa miliki dengan karya-karya yang mengilhamkan.






Tuesday, June 11, 2013

Bagaimana Berpikir Dengan Jernih

Di kantin, saya mencoba menyusuri buku ini. Adakah dunia pemikiran bisa ditemukan dalam dua buku ini? Kalau kita melihat penulisan kata Thinking yang terbalik dan Berfikir yang ditulis dengan 'betul', mungkin pembacaan terhadap buku ini bisa dimulai dari keanehan dan ketaatasasan ini.

Setiap orang akan berpikir dengan pelbagai cara. Tak jarang, sudut pandang kadang mempengaruhi penglihatan terhadap benda dan sesuatu. Belum lagi, mengapa saya menggarisbawahi kalimat tertentu dengan pensil dan mewarnai barisan kata dengan penerang (highlighter) di tempat yang berbeda? Adakah ini juga menentukan tingkat pentingnya satu kalimat dan ide yang lain tak begitu hebat? Bukankah sebuah wacana itu mengandaikan seluruh rangkaian kalimat?

Di luar pembacaan ini, saya hakikatnya sedang menikmati lagu-lagu yang sedang diputar di Radio Era FM. Aha, lagu Slam Tak Mungkin Berpaling menyeruak di sela-sela melamun. Dengan membaca, saya merasa bahwa pemahaman itu bisa diperoleh dalam keadaan santai, tak tegang. Mungkin, sistem pengajaran kelas yang membosankan itu perlu diganti dengan perbincangan guru dan murid di kantin sambil menikmati secawan kopi atau teh. Setuju? 

Tuesday, March 19, 2013

Menanamkan Nilai Melalui Cerita

Lomba bercerita ini adalah kegiatan yang digelar oleh panitia Pesta Buku UUM. Di sebelah area panggung, beberapa tapak penerbit buku memamerkan karya-karya dari pelbagai disiplin keilmuan.

Sejenak saya duduk di kursi untuk menikmati kisah yang dibacakan oleh anak-anak Sekolah Dasar (atau di Malaysia disebut Sekolah Rendah). Cerita Sang Kancil dan Tali Pinggang Sakti adalah salah satu judul cerita yang menarik untuk disimak. Meskipun mereka hanya menghapal, namun secara tidak langsung nilai-nilai yang ada dalam fabel tersebut bisa digunakan untuk mengajarkan anak-anak tentang moralitas.

Menariknya, salah seorang murid tak bisa mengingat cerita, sehingga dengan polos ia menghentikan penceritaan dan kembali ke pangkuan ibunya. Penonton pun tak bisa menahan tawa. Saya pun sempat memerhatikan salah seorang peserta yang membawakan kisah dengan cemerlang. Tidak hanya gaya penceritaan yang enak didengar, ia juga memeragakan gerak tubuh yang sesuai dengan isi cerita. Hakikatnya, cerita itu adalah alat untuk mengurai gagasan dengan indah. Kita bisa memahami ide filsafat Eksistensialisme Jean Paul Sartre melalui novel ciptaannya, The Age of Reason. Jadi,  karya novel dan sejenisnya tidak bisa dipandang rendah. Karya fiksi apa yang Anda pernah baca?

Wednesday, June 27, 2012


Mungkin, kalau kita hanya menimbang judul, serta-merta kita tak ingin membacanya. Namun, kalau kita bersabar untuk mengunyahnya, buku ini seperti kacang, enak dan gurih. Coba saja! 

Tuesday, March 20, 2012

Tertawankah Pikiran Anda?

Membaca buku ini, saya menemukan sudut pandangan baru tentang orang Malaysia memandang dirinya dan orang lain. Sebagai hasil perenungan, ia tidak berpihak, tapi mencoba mengetengahkan pikiran yang seimbang tentang agama, negara, sarjana dan kebudayaan. Berkat Amir Mahmud, seniman, saya bisa menjejaki rumah penulis. Kebetulan, ia tidak terdaftar di facebook dan twitter. Aha, seniman ini betul-betul hidup dengan pikirannya yang melawan arus utama.

Wednesday, February 08, 2012

Madinah dan Mekkah

Buku yang ditulis oleh Zuhairi Misrawi ini ditemukan di Suq Albukhari, Kedah. Selain menulis buku berjudul Madinah, lelaki alumnus Al-Azhar Mesir ini juga menulis buku Mekkah. Sebelum pergi kedua tempat suci ini, elok kita membacanya agar dalam pikiran kita tertanam pengetahuan apa sesungguhnya tanah haramain ini.

Tuesday, February 07, 2012

Pop dan Enstein

Apa yang ada di benak kita tentang dua buku ini? Masihkan Anda ingat anekdot bayi kloning yang diambilkan dari sel telur dan sperma Madonna dan Albert Einstein? Malangnya, tubuh Enstein dan otak Madonna. Tentu, cerita ini lahir dari rasa humor, yang mungkin pada waktu yang sama bias gender. Apa pun, kedua genre buku ini penting. Ternyata, banyak orang pintar, dari sosiologi, filsuf, dan antropolog membahas kebudayaan populer dari sudut pandangan disiplin masing-masing. Belum lagi, Cultural Studies menjadikan isu ini sebagai tema penting dalam kajiannya.

Friday, December 23, 2011

Buku itu adalah Rindu


Rindu itu adalah perasaan akan sesuatu yang tidak ada di depan mata kita. Demikian pula, buku itu adalah jejeran huruf-huruf yang menerakan tentang ide yang belum diwujudkan. Oleh karena itu, seperti mendaki, untuk mencapai sesuatu, yang dalam buku Climbing: Philosophy for Everyone, mengapa orang ramai mendaki gunung-ganang (Kata majemuk ini sering digunakan di Malaysia, sebagaimana bukit-bakau, bukan bukit-bukit), apa sebenarnya yang kita cari? Jawabnya, because it's there.

Kebetulan Perpustakaan Sultanah Bahiyah UUM mempunyai beberapa lantai. Untuk menuju tempat di atas, saya harus menaiki tangga. Mungkin tak sama dengan mendaki, tetapi langkah kaki ini kadang tersendat bila ingin mengunjungi puncak gedung tersebut. Tanpa kerinduan, siapa pun tidak akan pergi ke ruangan yang berisi banyak bahan bacaan. Mungkin mahasiswa tak mengalami kesulitan untuk mencapai lantai 4, tetapi tantangan untuk menggapainya tak jauh berbeda dengan seorang pendaki yang harus mempunyi azam yang kuat untuk menuju mercu.

Oh ya, tentang rindu, mengapa kita menggunakan kata kenangan, tetapi jarang mengucapkan rinduan, tetapi kerinduan? Tentu, untuk menjawab pertanyaan ini kita bisa melayari internet dengan membuka mesin pencari google atau yahoo. Namun, kalau langkah ini sering dilakukan, kita akan menumpuk penyakit pengetahuan, berupa kesegeraan mendapatkan maklumat tanpa usul-periksa. Ini tak jauh berbeda dengan kesukaan kita terhadap makanan mie segera (instant), enak di mulut, tetapi akan menuai bencana apabila selalu dilakukan. Oleh karena itu, mari kita tutup sejenak internet, lalu mencoba membaui buku 'apak' di perpustakaan!

Thursday, January 27, 2011

Singapura dan Filsafat


Singapura menawarkan surga untuk melancong, menikmati keteraturan dan kebersihan. Temasek itu juga merupakan surga bagi mereka yang ingin memiliki barang-bareng berjenama (merek). 

Coba Anda berkunjung ke pusat pertokoan Teluk Marina! Di sana, banyak kedai yang mengusung pelbagai barang luar negeri ternama. Alamak! Di bandara, kedai buku Times juga menjual buku The Great Philosopher

Mungkin filsuf menyukai ketertiban dan kenyamanan, tetapi apakah mereka juga menyukai barang mewah? Selintas, saya melihat gambar jas Martin Heidegger tidak bermerek. Saya tak pasti, mungkin saya nanti perlu bertanya pada Budi F Hardiman, yang pernah menulis buku kecil tentang ahli filsafat yang beristrikan Hannah Arendt itu.

Friday, May 14, 2010

Murid Sekolah dan Perpustakaan


Murid sekolah menengah pertama mengunjungi perpustakaan. Mereka tampak mendengar penjelasan dari pustakawan, sebagian yang lain tolah-toleh dan malah beberapa anak tampak menikmati pameran koleksi peranakan Asia Tenggara. Selalu saja, kita menemukan hal demikian, tak semua menaruh perhatian pada satu objek dalam satu kesempatan. Ini tak hanya terjadi pada dunia anak-anak, tetapi juga dewasa.

Namun apa yang menarik? Kebiasaan para guru di Pulau Pinang mengajak anak didiknya untuk mengunjungi perpustakaan kampus. Saya melihatnya untuk kesekian kalinya dan selalu tak pernah bosan melihat tingkah mereka. Bagaimanapun, dunia buku bukan hiburan yang membuat siapapun mudah menikmati hingga akhir. Namun, ikhtiar untuk menanamkan kecintaan terhadap pengetahuan pasti membuahkan hasil, meski tak seratus persen. Hanya saja, pendidik perlu sabar agar ini bisa merembes pada watak anak didik. Seperti diterakan oleh Michael Foley dalam The Age of Absurdity bahwa the minority view prevailed if it was expressed consistently, confidently dan undogmatically (2010: 91).

Kita pun perlu menjadikan setiap ruang untuk menjejalkan betapa buku itu penting, namun siapapun tahun bahwa ia masih terpinggir. Jika kesadaran minoritas ini terus dilesakkan, tidak ayal pada masa yang akan datang, kita akan banyak menemukan pemandangan di pelbagai sudut orang sedang menekuri buku, apapun jenisnya. Kampanye membaca selama ini juga membantu untuk mengimbangi arus deras iklan konsumtif. Mungkin karena ia tak terlihat setiap hari, anak-anak lebih asyik dengan kartun. Syukur jika cerita kartun itu dalam bentuk buku, seperti anak tetangga saya yang khusyu membaca komik Conan. Tentu, banyak cara memujuk anak untuk menyukai dunia baca, termasuk mengunjungi perpustakaan.

Thursday, October 08, 2009

Buku Merambah Desa

Papan nama tersebut terletak beberapa meter dari pintu keluar Bandara Langkawi. Sayang, saya hanya bisa mengambil gambar, tidak mengunjungi perpustakaan yang dimaksud, karena waktu terbatas. Saya bersama staf konsulat Pulau Pinang hanya mempunyai waktu setengah hari di sana dalam rangka sosialisasi pemilihan presiden 2009. Mungkin di lain waktu, saya akan menelusuri suasana di sana, sambil mencari tempat lain yang bercorak sama, perkampungan buku yang dulu dirintis oleh Perdana Menteri ke-4, Mahathir Mohammad.

Tuesday, July 28, 2009

Puisi tentang Membaca


Mereka berdua membaca puisi. Samar-samar saya menikmati di ujung meja. Sastrawan termasyhur, Prof Mohammad Haji Salleh tak banyak mendendangkan puisi, namun Encik Marzuki melafazkannya cukup panjang. Kebekuan cair dengan suaranya yang naik turun. Saya sendiri berada di meja khas untuk awak media. Bersama Kelvin Chua, wartawan Kong Wah Yit Poh, saya mengurai pernak-pernik dunia literasi, termasuk jurnalisme.

Saya juga memerhatikan teman baru ini karena dengan nada merendah beliau malah tak bersekolah di universitas. Memang bukan keharusan, namun tambahnya, dia tak cukup uang untuk kuliah. Aneh, bukan? Tapi, saya tak bertanya lebih jauh karena itu adalah pilihan. Bukankah belajar itu hanya memerlukan ketekunan membaca, bukan uang?

Monday, July 27, 2009

Teman Baik yang Lain


Foto di atas adalah teman baik saya. Dia sedang memastikan peristiwa yang diurusnya berjalan baik. Ya, memang berhasil. Tentu, saya banyak belajar bagaimana kawan yang bekerja di sebuah bagian penting universitas itu mengelola perhelatan. Selamat kawan, Anda telah menyuburkan tradisi literasi di negeri ini.

Sunday, July 26, 2009

Heboh Buku

Peresmian acara tahunan Penerbit Universiti Sains Malaysia, Heboh Buku, kali ini melibatkan pelbagai pihak, perusahaan dan tentu permainan. Cara ini memantik lebih banyak orang ramai berbondong-bondong menengok buku. Tentu, kesediaan Amel, anak teman karib saya, Stenly, ikut lomba mewarnai dalam rangkaian pameran buku ini adalah ikhtiar lain yang patut dihargai karena panitia juga mendorong anak-anak untuk menyukai buku dengan cara melibatkan mereka dalam sebuah kegiatan. Selamat datang generasi baru, generasi buku.

Tuesday, June 23, 2009

Mengejar 'Laskar Pelangi'


Setelah rapat panitia "Laskar Pelangi", kami bertiga langsung bekerja, meski senja telah turun. Persiapan yang sedang dibuat adalah pembuatan desain spanduk oleh Mas Hilal, dan surat permohonan pembicara lokal oleh Pak Ardi. Sedang saya mengirim email ke bagian pemasaran Celcom untuk turut mendukung program Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia menghadirkan Andrea Hirata. Sang penulis Edensor ini diminta untuk mengupas proses kreatifnya melahirkan tetralogi Laskar Pelangi.

Kebersamaan mengerjakan kegiatan ini mendatangkan kedekatan lain, yang sebelumnya pertemanan ini tidak disatukan dalam sebuah kerja kelompok. Mereka berdua mengajarkan saya bagaimana menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk, tanpa kening berkerut. Keduanya tenang, mengalir dan menentramkan siapa pun yang berada di dekatnya. Sekali-kali, dalam keheningan, celetukan masing-masing memusnahkan kejenuhan.

Perjalanan masih panjang untuk sampai ke hari pelaksanaan, namun mengingat pekerjaan yang bejibun, peran serta mahasiswa Indonesia yang lain menjadi berarti. Tentu, di lain waktu, saya akan bercerita tentang mereka. Seperti, Adit, pemilik restoran D'Resto, Bukit Gambir, yang tanpa berpikir panjang bersedia untuk turut menyukseskan acara ini, padahal saya memintanya melalui ruang komentar Facebook. Demikian pula, Vega Aulia, yang mengiyakan untuk membantu kegiatan ini meski disampaikan dalam sebuah percakapan di Yahoo Messenger, semalam. Dalam coretan lain, saya akan menempelkan foto mereka berdua.

Tak hanya itu, Dede, menelepon saya semalam untuk membantu kepanitiaan dan lebih dari itu juga menyumbang banyak gagasan, di antaranya acara ini diharapkan juga melibatkan pekerja pabrik dari Indonesia. Katanya, mereka juga banyak yang menyukai novel dan film Laskar Pelangi. Sekelumit tentang mereka ini sebenarnya menyimpan cerita panjang. Mungkin, di tangan Andrea Hirata, ia menjadi sebuah novel yang juga cemerlang. Semoga.

Saturday, June 06, 2009

Surga Buku di Dunia Komersial


Perjalanan ke Kuala Lumpur dari Pulau Pinang dalam rangka memenuhi tugas wawancara mengantarkan saya ke tempat paling banyak dituju oleh orang, Suria KLCC. Di sini, kita menemukan surga orang yang ingin memuaskan hasrat purba: kepuasan lahiriah. Pelbagai kebutuhan, dari makan hingga hiburan tumplek blek di sini. Segala jenis manusia berseliweran mencoba peruntungan untuk mereguk bahagia. Saya tentu tak perlu bertanya pada setiap orang apakah mereka telah menemukan yang dicari.

Dalam kepala saya berkelebat toko buku: Kinokuniya, sebuah kedai yang dimiliki oleh perusahan Jepang. Di sini saya membebel banyak buku dan hanya membeli tiga buah, Kant and Platypus: Essays on Language and Cognition (Umberto Eco), Republic (Plato) dan Politics (Aristotle). Tentu banyak buku lain yang ingin dimiliki, tapi apa daya buku-buku filsafat terbitan luar itu mahalnya minta ampun. Ternyata buku yang pertama juga dijual di toko buku besar Borders Queens Bay Mall, namun tidak ada potongan harga seperti di Kuala Lumpur.

Lalu, mengapa surga buku itu berada di tengah keramaian dan godaan yang lebih mengundang pengunjung? Atau hidup itu memang selalu seperti ini, ada asupan batin dan lahir. Keduanya tak perlu dipertentangkan. Hanya saja yang terakhir perlu diawasi agar tidak melebih batas tubuh, sementara yang pertama mungkin bisa diasup sepanjang waktu. Namun, lagi-lagi tidak mustahil kesungguhan meraih makna hidup dari buku juga bisa berujung kebingungan. Di sini, kita tak melulu merasa berada di antara dua pilihan. Pasti setiap orang bisa mengukur kemampuan dan menyadari keterbatasan. Ada jalan lain untuk menyikapi semua ini, kearifan. Lho, bukankan kebijaksanaan itu juga bersumber pada filsafat? Mungkin ya, tetapi kearifan itu juga bisa nongol dari kedalaman perenungan yang telah melewati kata, diam tak tepermanai oleh huruf. Kemudian, masihkan tokoh buku itu, Surga?

Saturday, May 02, 2009

Inilah Perpustakaan Kampus Itu


Inilah perpustakaan tempat saya belajar. Di dalamnya ada 1 juta lebih koleksi buku pelbagai disiplin. Tak hanya itu, ada fasilitas lain, seperti koleksi CD film, kuliah dan lain-lain. Malah, di sebelah tempat penyewaan film, ada ruang mendengarkan musik. Dulu, saya sering menyambanginya setelah penat membaca buku. Di lantai bawah, ada ruang khas untuk majalah, baik luar maupun dalam negeri. Tak hanya itu, televisi berukuran besar menyala, menyiarkan saluran pengetahuan. Di sini, pengunjung juga bisa membaca koran lokal, seperti Utusan, The Star, The Sun, Berita Harian, New Straits Time dan koran berbahasa Tionghoa dan Tamil.

Di rak bagian filsafat, saya tersentak karena koleksi bukunya bejibun. Saya belum sempat membaca semuanya. Malah, saya mendapatkan buku asli terjemahan Truth and Methodnya Gadamer di sini. Sebelumnya, saya hanya mendapatkan buku magnum opus penggagas falsafah hermeneutik ini dalam bentuk fotokopian. Mungkin setelah selesai ujian doktor, 8 Mei, saya akan menekuri buku-buku yang terbengkalai itu. Ini terjadi disebabkan di kampus saya tidak mempunyai jurusan atau fakultas filsafat sehingga buku-buku warisan Yunani itu tidak sempat terjamah oleh mahasiswa.

Di depannya, ada kursi panjang yang menjadi tempat mengasyikkan karena di sini kita bisa bertemu banyak orang, yang bahkan tempat saya mengenal banyak mahasiswa Indonesia dan bertemu dengan teman-teman lain yang berasal dari banyak negara. Letaknya yang berada di tengah kampus membuatnya menjadi tempat lalu lalang mahasiswa. Inilah tempat yang banyak mendapat kunjungan mahasiswa, selain kantin dan masjid. Apakah ini juga petanda bahwa keperluan manusia itu adalah makan, membaca dan beribadah?

Monday, November 10, 2008

Menggugat Sejarah "Indonesia" Versi Tentara

Sumber: Kompas, 9 Nopember 2008

Ketika penulis buku ini memulai penelitian pada 1996, dia tidak menyadari betapa berpengaruhnya militer Indonesia dalam memproduksi dan membentuk ortodoksi sejarah Orde Baru.


Selain itu, penulis juga menceritakan bagaimana proses yang harus dilalui untuk melakukan penelitian di Indonesia, karena ketika penelitian ini digagas, Indonesia masih di bawah kekuasaan militer Orde Baru.


Perlu tujuh bulan untuk mendapatkan izin. Di halaman prakata, kita akan menemukan cerita betapa rumitnya birokrasi pada masa itu.


Peran Nugroho Notosusanto


Sebenarnya penelitian tentang kiprah militer di Indonesia bukan hal baru. Namun, karya ini memberikan perspektif baru tentang tafsir terhadap upaya manipulasi militer terhadap sejarah untuk kepentingannya dan yang mungkin agak mengejutkan adalah uraian penulis tentang seorang tokoh di balik propaganda ini, yaitu Nugroho Notosusanto.


Seperti telah diketahui bersama, militer Indonesia selalu mendaku sebagai unik. Ini disebabkan, pertama, rakyat Indonesia yang menciptakan militer di dalam perjuangan kemerdekaan 1945-1949 melawan Belanda dan, kedua, selama perlawanan ini militer mengasumsikan sebagai lapisan kepemimpinan nasional setelah penangkapan pemimpin sipil pada tahun 1948.


Atas dasar dua klaim ini, militer Indonesia dalam waktu lama memperoleh justifikasi untuk memainkan peranan dwifungsi dalam pertahanan dan politik. Pendek kata, legitimasi sejarah telah digunakan oleh militer Indonesia untuk mempertahankan hak-haknya dalam kekuasaan politik dan pengaruhnya di Indonesia.


Lalu bagaimana peranan di atas diwujudkan dan untuk apa ia dipertahankan? Untuk mengetahui hal ini, penulis melakukan survei terhadap beberapa publikasi sejarah resmi (huruf miring dari peresensi) dan tempat-tempat bersejarah seperti buku teks Sejarah Nasional, Museum Sejarah Monumen Nasional, dan Museum Angkatan Bersenjata Satria Mandala, serta satu nama yang sering dia temukan, yaitu Nugroho Notosusanto. Bahkan, nama yang disebut terakhir menempati posisi yang sangat penting dalam rekonstruksi sejarah masa lalu. Tokoh yang pernah menjadi Menteri Pendidikan ini adalah pengarang versi pertama dari kudeta 1965. Peranan sangat penting dalam pembuatan sejarah Orde Baru yang bahkan diperluas ke dalam proyek pembuatan film dan materi sejarah untuk pendidikan militer dan sipil.


Atas pertimbangan posisi sentral Nugroho Notosusanto, penulis mencoba menceritakan bagaimana dan mengapa Nugroho bekerja untuk militer Indonesia di dalam kapasitasnya sebagai Kepala Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata.


Menurut penulis, ia adalah propagandis utama Orde Baru. Atas dasar asumsi ini, beliau berusaha keras untuk menelisik riwayat hidupnya dari sahabat, rekan, dan musuhnya sehingga dimungkinkan perolehan data yang lengkap.


Untuk menjawab posisinya sebagai seorang sejarawan yang menguji motivasi dan kisah kehidupan sejarawan lain (baca Nugroho Notosusanto), penulis menegaskan bahwa ketertarikannya terletak pada usaha untuk menemukan bagaimana sebuah rezim menggunakan sejarah sebagai legitimasi dan bagaimana ia dimanipulasi untuk menyesuaikan dengan kepentingan dari beberapa kelompok yang berbeda.


Lebih jauh, buku ini juga memasukkan analisis terhadap proyek sejarah yang ditujukan pada sipil dan militer, dengan penekanan pada museum dan monumen yang diciptakan oleh militer. Setelah disurvei, ditemukan bahwa museum diorama (model gambar) menarik perhatian imajinasi penulis. Baginya diorama ini adalah teatrikal masa lalu. Bahkan, boleh dikatakan ini adalah ”karya” nyata untuk memahami bagaimana militer merepresentasikan masa lalu.


Pemilihan model sejarah visual ini sengaja dipilih oleh Nugroho Notosusanto karena sebagaimana dia ungkapkan bahwa di dalam sebuah masyarakat seperti Indonesia yang masih berkembang, di mana kebiasaan membaca masih rendah, kami [kepemimpinan militer] memercayai visualisasi sejarah tetap sebagai cara efektif untuk mengungkapkan identitas ABRI (hal 11). Keadaan sekarang tampaknya belum banyak berubah. Masyarakat kita masih lebih bisa menikmati ”sajian” visual, terutama televisi. Untungnya, media elektronik tidak lagi dikekang dalam menyampaikan berita dan laporan.


Merujuk kepada pendapat Barry Schwartz bahwa kajian terhadap representasi masa lalu tidak bisa dikonstruksi secara harfiah, ia dieksploitasi secara selektif, karya sarjana Australia ini berusaha untuk menampilkan seluruh ”sejarah” dan turunannya untuk memosisikan militer sebagai aktor, yang dalam bahasa Asvi Warman Adam, merekayasa peristiwa masa lalu dalam perspektif militerisme.


Lebih jauh dengan mengutip Graeme Turner, penulis menegaskan bahwa representasi di sini adalah sebuah mediasi diskursif yang terjadi antara peristiwa dan kebudayaan yang memberikan sumbangan terhadap konstruksi ideologi nasional. kegunaannya bukan pada sebagai sebuah refleksi atau refraksi masa lalu, tetapi sebagai sebuah konstruksi masa kini. Jadi, penggambaran peristiwa ”G 30 S PKI” telah dijadikan ”alat” untuk mengukuhkan legitimasi rezim.


Militer sepintas telah berhasil menciptakan citra tentang dirinya sebagai tentara rakyat yang berani berkorban, sebagai penjaga semangat kemerdekaan, dan pelindung Pancasila. Namun, tegas penulis, semua ini adalah sebuah representasi yang hipokrit karena dalam kenyataannya militer mempraktikkan kekerasan selama berkuasa (hal 216).


Namun, citra ini terus dibangun, baik di kalangan militer maupun sipil. Sayangnya, meskipun mereka berhasil menumpas ”pembangkang” melalui kekuatan senjata, mereka gagal mengontrol pikiran rakyat Indonesia itu sendiri.


Bias jender


Hal lain yang mungkin memantik kritik adalah representasi sejarah yang bias jender. Penjelasan versi militer tentang perjuangan kemerdekaan cenderung menonjolkan versi maskulin. Hanya pejuang kemerdekaan yang mengangkat senjata yang mendapat tempat dalam sejarah mereka. Sementara sumbangan kaum perempuan dan nonkombatan terpinggirkan. Celakanya, justru citra perempuan muncul dominan pada peran mereka dalam pemberontakan komunis.

Meskipun militer mempunyai kekuasaan yang hampir tak terbatas pada masa itu, tidak berarti sepi dari kritik dan bahkan penolakan dominasi mereka yang menindas. Edward Espinal mencatat bahwa di dalam protes Malari 1974, mahasiswa menuntut pengurangan peran politik militer di dalam pemerintahan dan penghapusan Kopkamtib (Komando Keamanan dan Ketertiban).


Penolakan makin menguat ketika pada tahun 1980 mahasiswa secara simbolik membakar sepatu khas militer di beberapa kampus. Malangnya, kekuatan mahasiswa yang belum meluas, sebagaimana tahun 1988, mudah ditumpas.


Akhirnya, salah satu pesan yang paling jelas dan diketahui umum adalah bahwa kajian terhadap historiografi Orde Baru yang diproduksi militer adalah bahwa ketika satu versi tunggal tentang masa lalu yang diperkenankan, sejarah bisa menjadi bagian dari sistem ideologi otoritarianisme.


Meskipun, kata penulis, pada masa itu ada sebuah representasi yang mungkin bisa menjadi potensi counter terhadap sejarah resmi, yaitu karya-karya Pramoedya Ananta Toer. Munculnya pluralisme penafsiran ini memberikan tantangan besar bagi Pusat Sejarah Angkatan Bersenjata, yang memandang dirinya sebagai penafsir resmi masa lalu Indonesia.


Sejatinya, karya ini menambah terang sejarah tentara yang telah berhasil ”mengubah” realitas menjadi cerita untuk mengukuhkan peran dan kekuasaannya terhadap kehidupan berbangsa dan bernegara. Paling tidak, ia menjadi catatan yang berharga bagi semua anggota TNI sekarang untuk tidak lagi mengulang kesalahannya memasuki wilayah yang bukan otoritasnya.


Selain itu, penulisan sejarah Indonesia tidak lagi dikangkangi oleh kepentingan kekuasaan dan diserahkan kepada pakar sejarah dan disiplin lain yang berkaitan yang mempunyai komitmen untuk menjelaskan masa lalu secara lebih obyektif, seimbang, dan adil. Semoga.


Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Ilmu Humaniora dan Graduate Research Assistant di Universitas Sains Malaysia

Friday, November 07, 2008

Sore yang Bahagia Itu

Sambil membaca Freedom, Modernity and Islam oleh Richard K Khuri, saya mendengarkan lagu Melayu 1990-an, Iklim, yang dibuka dengan lagu hitsnya Suci dalam Debu. Karya ini pernah bertengger di tangga puncak di radio Indonesia. Tiba-tiba, pikiran saya melesat ke kampung, ketika seorang pendengar dengan khusyu' membawakan lagu ini dengan petikan gitar, sebuah pertanda lagu ini benar-benar disukai orang ramai. Salim, sang pelantun, menyuguhkan suara khasnya menemani saya melawan bosan menunggu.

Peristiwa di atas terjadi bukan karena sengaja, tetapi pengisian waktu luang setelah kehendak pulang tidak menjadi kenyataan karena hujan tiba-tiba turun menderas. Saya membuka tirai agar bisa menikmati air yang bertaburan dan sempat melihat tanah bergeliat tertimpa butiran dan tampak riang karena basah menghilangkan gundah. Namun anehnya, awan yang tadi menutup bukit itu tersibak dan seberkas sinar keluar dari balik gumpalan warna hitam di atas sana. Akhirnya, matahari itu terlepas dari bayangan gelap, bersinar terang dan pemandangan ini menyuguhkan romansa, hujan dalam terang.

Membaca buku selalu membawa saya pada pengalaman para penulis yang biasa diterakan di dalam prakata. Betapa hubungan intelektual mereka mengandaikan hubungan kemanusiaa yang intim, yang dibangun tidak hanya di ruang seminar, tetapi juga cafe atau warung kopi. Tentu pertukarang mereka dengan para sarjana yang lain mengkayakan pemikirannya tentang sebuah persoalan, baik melalui pertemuan langsung maupun melalui karyanya. Demikian pula dengan penulis di atas. Ya, kita bisa mereguk pengalaman liyan untuk membantu melakukan hal yang sama. Paling tidak membacanya, kita telah turut merayakan kedekatan mereka dengan pengetahuan.

Wednesday, October 15, 2008

Membaca Cina dari Karya Penghuninya

Setelah penyelenggaran Olimpiade yang sukses, Cina dipandang sebagai kekuatan besar yang patut diperhitungkan. Meskipuin citra ini sempat ternodai oleh kasus yang hingga hari ini menghantui sebagian masyarakat dunia, susu yang tercemar melamin. Tentu bukan latah, jika saya turut memberikan perhatian terhadap negara berjuluk tirai bambu ini.

Kasus terbaru masuknya batik produksi Cina (Gatra, 25 September 2008) juga memantik rasa penasaran saya mengapa negara raksasa ini mampu membuat barang yang lebih murah dari negara asalnya, Indonesia. Nah, untuk itu saya mencoba menelusuri rasa penasaran ini dengan menekuri buku yang ditulis Wang Hui berjudul China's New Order dengan harapan saya lebih mengenal Cina lebih dekat. Pemikir ini merupakan tokoh utama di dalam wacana yang sering disengketakan di Cina mengenai hubungan antara perubahan yang terjadi di Cina pasca-Mao dan kekuatan kapitalisme global.

Mungkin dari bacaan ini, ada percikan gagasan yang bisa diwujudkan pada keseharian saya dan juga merembesi lingkungan terkecil dan mungkin di ujung sana ada juga segelintir yang mau belajar dari keberhasilan Cina mendorong warganya menghasilkan barang, bukan hanya menikmati untuk keperluan konsumtif belaka.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...