Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Mutanabbiyya Wasatiyya. Show all posts
Showing posts with label Mutanabbiyya Wasatiyya. Show all posts

Monday, September 07, 2015

Dunia Anak

Ketika saya memintanya untuk menulis judul buku ini, Existensialism, anak dalam gambar sebelah malah menggambar keranjang dan orang. Dengan membiasakan menulis kata, saya membayangkan ia akan belajar untuk bisa menulis lema dalam bahasa Inggeris. Namun, lain dipinta, lain dibuat.

Tak hanya itu, buku cerita Ladybird, hadiah dari sebuah susu formula, pun hanya dibaca beberapa halaman. Saya tak bisa memaksanya untuk melakukan apa yang perlu dilakukan. Lagipula, ia masih belum sepenuhnya bisa menulis dan membaca, sehingga memaksanya melakukan demikian merupakan sebuah siksaan.

Anak-anak seusianya tentu melihat dunia dalam gambarannya. Untuk mengajaknya belajar, seperti membaca dan menulis, justeru kita, orang tua, yang lebih sering memberikan contoh. Misalnya, selain menonton film televisi, saya pun acap membuka buku, meskipun kadang malas mendarasnya.



Monday, June 03, 2013

Belajar Di Manapun Anak Berada

Saya tak sempat bertanya nama belia yang dengan sabar mengajari Nabbiyya penghitungan (pengiraan).  Sebelumnya, saya dihentikan oleh pramuniaga. Dengan ramah ia pun bertanya, berapa usia dan apa susu yang diminum oleh si kecil? MamilGold, tukas saya dengan suara yang ringan.

Dengan riang, ia pun menunjukkan kandungan (ingredients) Enfagrow A+ dan kelebihannya. Ibu Nabbiyya pun mendekati kami dan menyimak taklimat. Saya pun menjauh, menyusuri anjung obral tas dan sepatu bermerek. Alamak! Bagaimana barang berjenama bisa murah?

Di sini, Nabbiyya tak hanya belajar menambah angka, yang dilambangkan dengan pelbagai ikon dan gambar buah-buahan, malah anak berusia 4 tahun ini juga mendapatkan buku 'pelekat' (sticker) secara percuma, sehingga ia bisa menempel huruf dan angka dengan riang. Belajar melalui permainan mungkin lebih cocok untuk seusianya, sebagaimana teman-temannya yang lain di Sekolah Smart Kid Reader tak jauh dari rumah. Dengan memercayai orang lain untuk mengajari anak kita, hakikatnya kita berbagi bersama dalam menanamkan pengetahuan dan kesusilaan pada generasi baru. Semoga!

Monday, January 14, 2013

[Tidak] Berbuat Zalim

The one exclusive sign of thorough knowledge is the power of teaching. ~ Aristotle

Anak-anak ini telah diajarkan untuk meletakkan sandal, sepatu, dan alas kaki apa pun di rak. Pendidikan keadaban masyarakat itu bisa dimulai dari sekolah. Ini mengingatkan saya pada rombongan tentara, baik AU, AD dan AL yang mengikuti penganjian Ahad pagi di Masjid Syuhada Yogyakarta. Mereka meletakkan sepatunya secara berjajar layaknya berbaris.

Ketertiban itu bukan kekakuan. Ia dibuat agar kita bisa membuat ruang hidup ini luas dan bisa untuk berbagi dengan orang lain. Apa susahnya meletakkan sandal di rak? Bukankah kemalasan kita kadang membiasakan kita untuk tak berlaku tertib. Sayangnya, ketidaktaatan kadang dianggap sebagai pemberontakan terhadap kemapanan, sesuatu yang merupakan sesat pikir.

Kalau anak-anak itu telah terbiasa dengan aturan, maka pada gilirannya mereka akan juga membuang sampah secara tidak sembarangan. Percayalah! 

Thursday, October 25, 2012

Pagi


Onde-onde dan kopi ini hadir pada sebuah pagi. Hari ini, kopi juga menemani saya di rumah, tetapi kudapannya berbeda. Biasanya kami menikmatinya sambil membaca surat kabar. Hari ini, saya tidak mengasup berita, tapi berbincang dengan ibu si kecil. Kesimpulannya, dunia anak-anak berbeda dengan orang dewasa. Kami kadang ingin menjejalkan banyak hal untuk kebaikan dan masa depan Nabbiyya, padahal ia hanya memerlukan teman untuk bermain, bukan belajar seperti anak-anak yang sudah bersekolah. Pada akhirnya, kami hanya memberinya jalan bagaimana ia membawa diri di masyarakatnya dan menemukan kesenangan dan minat yang mungkin tak sepenuhnya sama dengan orang tuanya.

Perlahan tapi pasti, si kecil belajar dari televisi dan lingkungannya. Adakah kita telah menciptakan ruang yang baik bagi si kecil dan kawan-kawan seusianya? Jauh lebih penting, adakah sebagai orang tua kita bisa menjadi rujukan bagi tindak-tanduknya? Akhirnya, kita sebagai orang tua bertungkus-lumus untuk mewujudkan lingkungan yang nyaman bagi anak-anak kita secara bersama-sama. Pendek kata, setiap rumah harus membuka diri bagi kehadiran anak-anak untuk merasa nyaman .

Dengan apa mereka dibesarkan? Tradisi, namun mereka membuka diri bagi kebudayaan luar. Terkait makanan, pertama kali mereka harus merasakan kudapan lokal, sebelum mencicip rasa jajanan luar.  Bayangkan kalau anak-anak kita menyoal kita, berapa lama kita harus membuang waktu hanya untuk meletakkan biji wijen satu per satu di kulit onde-onde itu? 

Tuesday, March 13, 2012

Tertib itu Penting

Dua anak kecil ini tanpa harus diminta meletakkan sepatu dan sandal di rak yang telah disediakan oleh pusat perbelanjaan. Dari hal sederhana inilah, orang tua seharusnya melakukan perubahan dalam masyarakat luas. Mari belajar menempatkan sesuatu di tempatnya, yang pada gilirannya kita akan belajar bagaimana kita membawakan diri dalam kehidupan kita yang terkait dengan kewajiban dan hak-hak dalam hubungan sosial.

Friday, March 09, 2012

Anak Kecil Menyukai Gambar

Sebagaimana anak seusianya, Nabbiyya akan mendatangi raku buku-buku untuk anak-anak yang bergambar. Meskipun belum bisa membaca, ia sangat menyukai majalah yang dipenuhi aneka gambar, seperti Donald Bebek, Barney dan lain-lain. Malah Tante Dewi, Ibu Arkana, menghadiahkan majalah Barney untuk Nabbiyya.

Mengapa anak kecil menyukai gambar? Karena secara alamiah, gambar itu mampu mencerminkan kenyataan dengan tepat. Ia bisa merasakan wajah senang, cemberut, tertawa dan sinis dari raut muka tokoh di majalah. Kelucuan sering hadir dalam gambar-gambar itu, sehingga anak-anak kadang memilih bacaan daripada melihat orang tuanya. Mungkin, para orang tua harus mengubah wajah mereka menghadapi anak-anak mereka.

Lebih jauh, kehadiran anak-anak di toko buku adalah penting agar mereka tidak selalu menemukan keriangan di arena permainan, yang malah bersebelahan dengan Kedai Buku Populer ini. Sementara, saya akan mengunjungi rak non-fiksi, karena saya masih berharap bahwa hidup yang rumit ini bisa dilihat dalam satu buku. Ternyata tidak! Kenyataan itu jauh lebih kompleks dibandingkan dengan barisan huruf-huruf yang bertebaran di halaman buku.

Thursday, January 26, 2012

Belajar

Seperti anak seusianya, si kecil belajar mencorat-coret kertas dengan pena. Khayalannya kadang tak bisa dipahami, meskipun ia mencoba menjelaskan coretan dengan kosakata yang terbatas pula. Bayangkan, ia menyebut pena dengan mamami, dan kertas dengan buk. Apa pun, anak-anak kita akan melangkah lebih cepat dari ayunan kaki kita.

Monday, November 28, 2011

Mengisi Hari Pertama


Apa yang harus dilakukan oleh sebuah keluarga di hari libur? Diam di rumah, berpesiar, atau silaturahim adalah pilihan. Kami memilih mengunjungi danau Aman, tak jauh dari rumah. Karena matahari masih naik sepenggalah, tak banyak orang yang mengunjungi tempat bermain dan danau buatan ini. Mereka yang datang bisa dihitung dengan jari. Biasanya, musim liburan, tempat ini dipenuhi hiruk-pikuk dan hilir-mudik pengunjung.

Setelah puas berada di area permainan di atas, kami pun beranjak ke tepi danau. Di sana, kami pun melempar roti ke permukaan air. Ikan-ikan pun berlompatan, berebut, dan melahap pakan dengan lahap. Ini mengingatkan kami pada kebiasaan memberi makan ikan di danau kampus Minden, Pulau Pinang.

Thursday, February 10, 2011

Ada Apa dengan Ada?

Kenyataan hidup itu kadang bukan pilihan kita. Namun, kita mempunyai kuasa untuk memberikan makna agar ia bisa dicerna. Jika Anda ingin melihat si kecil dikenal, Anda bisa menjadikan media internet untuk meletakkan peristiwa dalam kehendak kita. Namun, apakah populeritas itu adalah keinginan yang harus dipenuhi? Untuk apa kita nongol di majalah dan agar orang ramai tahu bahwa kita ada?

Ada itu hadir dalam banyak hal, memang. Kita ada karena berpikir, berbelanja dan memamerkan diri di cafe, mall, dan panggung. Ada itu kadang tidak ada. Coba lihat, tidak jarang kita melihat orang yang merenung di pinggir jalan, di tengah keramaian? Bagaimana kita mengatakan bahwa ia ada, sementara jiwanya entah ada di mana?

Mengada itu memang rumit, tetapi ia mudah diraih jika kita mau menyatukan jiwa dan raga kita selaras. Keadaan ini bisa diraih jika tubuh kita sehat dan akal kita kuat. Keduanya harus berjalin kelindan, jika tidak, boleh jadi pikiran kita seluas samudera, namun jika minda itu disangga oleh tubuh renta, alahai, alamat kita telah menunda kematian yang sesunguhnya.

Tuesday, February 08, 2011

Nomor 16

Kami mengajak si kecil ke lapangan kampus. Mungkin, ia tak bisa memahami sepenuhnya mengapa 22 orang saling memperebutkan bola, lalu mengopernya lagi. Kami hanya ingin ia merasakan ruang lapang, hijau rerumputan dan semangat kesukanan. Di lapangan inilah, saya pernah mengocek bola, menonton pertandingan persahabatan dan mereguk udara lebih banyak karena langit menggantung dan menghembuskan napas.

Nomor 16 di kaos itu adalah tanggal lahir si kecil. Sebenarnya, saya juga memesan kaos dengan namanya dan bernomor 1, tetapi ukurannya cocok untuk sang ibu. Kaos dan nomor adalah penanda tentang kehendak kebersamaan dan pembedaan sekaligus. Meskipun kami berkaos merah yang sama, namun nomor yang ditempelkan dibedakan agar mudah untuk mengenal si pemakai. Hidup juga begitu, kita hakikatnya bersama-sama mewujudkan mimpi, namun perannya tak sama.

Malah, sebagaimana pertandingan persahabatan di atas, pekerja bersama mahasiswa Indonesia dan staf Universitas Sains Malaysia mungkin setengah mati untuk mengalahkan satu sama lain, namun dalam kehidupan nyata, musuh abadi itu bersemayam di dada kita. Wasitnya yang memimpin pertandingan adalah staf kampus, yang kami saling mengenal secara rupa sebab seringkali terserempak di stadion ketika kami sama-sama berlari di trek.

Sunday, January 30, 2011

Belajar dari Dora

Dalam toko buku itu, kita akan menemukan begitu banyak pilihan rujukan. Tapi, bagi anak kecil, ia hanya mau menikmati sesuatu yang dekat, dikenal dan dipahami. 

Dora tentu adalah pilihannya. Tidak saja ia bisa mengikuti cerita tokoh tersebut dalam pelbagai judul, Nabbiyya juga memiliki tas bergambar dora, yang dulu dengan bangga memanggulnya.

Dari film ini, ia bisa belajar bahasa Inggris dan Spanyol. Anak-anak mendapatkan pengetahuan melalui hiburan.

Friday, January 28, 2011

Anjung Semarak

Tanpa mengabaikan kantin lain di kampus, terutama kantin Anjung Budi yang berpemandangan pantai dan pohon cemara, warung di atas adalah tempat yang menyeronokkan. Namanya pun unik, Anjung Semarak. Ia mungkin diambil dari nama pohon Semarak Api, yang mengeluarkan bunga berwarna merah menyala setelah diterjang hujan. Terletak di sebelah kedai buku, ia menjadi ruang mahasiswa untuk makan dan minum, bercengkerama, bahkan berdiskusi dengan dosen. Ketika saya baru datang, ada beberapa mahasiswa melingkari seorang dosen. Bahkan, di ujung yang lain, saya sempat menyapa seorang profesor yang sedang sendirian menikmati minuman.

Dari atas, pengunjung bisa melemparkan pandangan ke segala penjuru, seperti lalu lalang mahasiswa yang berjalan ke dan dari kampus, bangunan IPS (Institut Pasca Siswazah), Dewan Budaya, DTSP (Dewan Tunku Syed Putra) atau bulatan yang menancapkan tonggak bertulisan salam dalam pelbagai bahasa dunia. Dari sana, mahasiswa hanya perlu melangkah pendek untuk memelototi buku-buku baru dan lama, termasuk membeli koran harian. Ah, betul-betul surga di bumi!

Ia juga tempat yang nyaman untuk menyeruput minuman di waktu senja. Saya sengaja membawa Malam Terakhir Leila S Chudori, yang berisi beberapa cerita pendek. Ditemani air cincau (di kampung saya dikenal cao), buku itu mengalirkan makna ke batin dan gelas itu mengalirkan cairan ke kekerongkongan. Ups, kenapa nomor 13? Adakah itu petanda sial? Mungkin, sebab sehari kemudian, si kecil menumbuk mata saya sehingga perih dan pedih. Hampir semalaman saya menahan beban berat di pelupuk. Malah setelah terlelap dan bangun subuh, mata itu masih tak bisa memandang ringan sekeliling.

Wednesday, December 15, 2010

Membiarkan

Membiarkan adalah kata yang membuat cemas. Di satu sisi, si kecil harus menjelajah, membuka apa saja, untuk mengerti. Namun, haruskan semua ia harus lihat? Belum lagi, setelah menekuri gambar, ia pun dengan santai membuang begitu saja, tak mengembalikan bacaan itu di rak. Orang tua pun mencoba bersabar, mengajar agar barang itu dikembalikan ke tempat semula. Namun, hingga hari ini, ia masih belum mengerti. Tiba-tiba, ia beranjak pergi, mencari ruang lain untuk bermain.

Monday, December 13, 2010

Berlari

Anak kecil itu berlari, tepatnya berjalan lebih cepat, seperti yang lain di stadion kampus. Tentu, Anda bisa menebak siapa yang sedang berlari di depannya, berkaos putih dan bercelana hitam. Tentu ia terlalu kecil untuk berlari sejajar dengan orang tuanya, namun ia telah memulai untuk melangkah. Kita pun juga begitu, selalu mengejar apa yang ada di depan.

Mungkin sekali waktu, kita hanya perlu menikmati perjalanan kita sendiri. Biarlah yang ada di depan bertarung dengan kehendak sendiri. Dengan daya yang ada pada kita, setiap langkah adalah ikhtiar untuk membuat nyaman tubuh dan pikiran kita sendiri. Kadang tebersit, kita hanya ingin mengejar dan mengejar harapan, sehingga melupakan apa yang sedang digenggam.

Setiap orang hakikatnya mengurus hidupnya sendiri. Bahkan dalam kebersamaan, masing-masing sedang memperbesar kenikmatan yang bisa diraup sebanyak mungkin. Namun, pertemuan itu bisa dijadikan cara agar satu sama lain saling berbagi untuk mewujudkan kegembiraan tanpa harus mengorbankan orang lain. Namun drama hidup kadang berjalan di luar keinginan, ada yang merasa nyaman ketika korban berjatuhan.

Tuesday, December 07, 2010

Merayakan Peristiwa


Semalam, saya menulis di twitter, menyahuti kicauan teman, Irfan Syauqi Beik, bahwa pagi ini saya akan berolahraga seraya menambah kata, umat harus kuat, agar cermat. Tahun baru Islam, yang dikenal dengan peristiwa hijrah Nabi, tentu menjadi titik penting untuk menentukan resolusi. Sayangnya, pagi ditingkahi hujan, sehingga saya tak bisa menunaikan janji, namun kami menebusnya di sore hari, menikmati trek stadion kampus. Si kecil pun dengan riang berjalan ringan, perlahan.

Saya pun berlari mengelingi trek untuk memeras keringat. Baru tiga putaran, saya berhenti karena melayani perbincangan kawan baru. Isterinya adalah teman ibunya Nabiyya. Jadilah, kami pun ngobrol ringan. Sebelum berpisah, saya berpesan kalau ada waktu keluarga itu menghadiri pengajian Sabtu pagi di masjid kampus, lumayan untuk menjalin silaturahim. Lalu, saya pun melaju lagi untuk meringankan tubuh. Ya, saya merasa tubuh ini makin berat dan malas jika tidak bergerak, terlalu asyik duduk di kursi memelototi komputer. Tak perlu waktu lama, kami pun beranjak dari stadion menuju warung Mamak (India Muslim), Istimewa, untuk mengasup roti canai.

Terus terang, di warung ini kami bisa menikmati keriangan karena lokasinya yang menyenangkan, luas dan bersih. Dari sini, kami pun masih sempat melihat bukit yang hijau, tak jauh. Di sela-sela menikmati roti, selain melihat tingkah si kecil, saya pun membaca berita koran yang mengupas tentang perayaan tahun baru Hijriyyah. Ia menegaskan kembali apa yang disampaikan ustaz dua minggu yang lalu, bahwa hijrah itu secara etimologi meninggalkan yang pertama, menuju yang kedua atau lawan dari tetap. Ya, melangkah dari rumah ke stadion adalah hijrah kecil.


Wednesday, December 01, 2010

Belajar Makan

Kadang anak kecil tak lagi mau disuap oleh orang tua. Mereka ingin melakukannya sendiri seperti orang dewasa. Meski berat, orang tua tentu memberikan kesempatan pada mereka untuk belajar, dan selalu saja untuk awal-awal, nasi itu bertaburan. Lho, lauknya mana?

Thursday, November 18, 2010

Melepas Anak Panah

Seperti orang tua yang lain, saya membiarkan si kecil untuk mencari dunianya. Gambar yang bertebaran di majalah mencuri perhatian, tak hanya sekali, berulang kali. Acapkali ia menekuri wajah orang-orang. Adakah dia sedang membandingkan watak orang tuanya dan liyan? Mungkin. Wajah tak pernah menipu kita, bukan? Oh ya, setiap kali saya berkata tegas, ia pun berucap ayah, ayah, seraya menuju pada gambar kami yang digantung di tembok, tak jauh dari meja membaca. Ya, gambar itu adalah pengalaman kami berdua menelusuri kebersamaan di Bukit Cameron, Pahang. Di situ, kami tampak sumringah. Mungkin, si kecil ingin menyampaikan kalimat, mbok ya santai, Dab!

Orang tua memang selalu direpotkan tingkah anaknya. Ketika kami merapikan kamar, dengan santai si kecil akan mengacak hingga suasana bilik itu seperti kapal pecah. Sepertinya ia meledek kami, bahwa rumah itu harus meriah, di mana pelbagai benda bertaburan. Malah, dengan tenang, tangan mungilnya menarik apa pun yang digeletakkan di meja. Apa pun yang menarik perhatian dan bisa dijangkau, semua harus digenggam, lalu dibuang. Adakah rasa nyaman hadir dalam keadaan centang-perenang? Mungkin, apabila kita mau melihat itu dari cara si kecil melihat keadaan. Apalagi, dalam sebuah penelitian, anak yang aktif cenderung cerdas.

Kami pun mencoba memahaminya, menerima tingkahnya yang mengusik rasa nyaman. Toh, tak hanya di rumah, kami pun juga dihadapkan dengan cara pandangan lain di luar. Pendek kata, rumah kami adalah tempat paling dekat untuk belajar menerima perbedaan. Tapi, saya pun tak henti-henti mengajarkan si kecil untuk belajar membersihkan rumah dan sering mengajaknya ke tempat sampah, membuang sisa-sisa masakan. Meskipun, dengan senang hati, kami bisa membuangnya melalui jendela, tanpa bersusah payah ke bawah, hanya untuk membuang sampah.

Monday, September 20, 2010

Teman Karib dan Si Kecil

Di Taman Belia, Pulau Pinang, kami menyusuri setapak, menikmati aroma pohon, mendengar gemiricik air, dan membaui bau rerumputan. Ruang publik ini sangat menyenangkan. Bersama kawan karib, Mas Zulheri Rani, ekspatriat, taman itu menjadi jejak yang abadi. Sebagaimana taman ini menjadi tempat pertama saya mengenal Pulau Mutiara secara lebih dekat. Dibandingkan lima tahun yang lalu, ia makin rimbun dan hijau. Mungkin dulu saya mengecapi bau tanah ketika kemarau menerjang, sementara kemarin kami menjejaki tanah yang masih menyisakan basah karena hujan sehari sebelumnya.

Marcus Cicero, filsuf Romawi, menukas tentang kesempurnaan hidup dengan memiliki perpustakaan dan taman. Erich Fromm, filsuf dan psikolog, membedakan antara memiliki (have) dan mengada (being) berhubung manusia dan benda. Kalau eksistensi kita berada pada being, kita tak perlu memiliki taman untuk menikmati keindahan, cukup luangkan waktu pergi ke taman yang berjarak dari rumah kita, lalu meraup udara segar yang bertempiaran dari pucuk bunga dan pepohonan. Demikian pula dengan perpustakaan, kita akan merasa 'memiliki' dengan hanya menjadi anggota. Pendek kata, sudut pandang kadang mengubah peristiwa dan suasana seakan-akan bagian dari hidup kita yang penuh.

Si kecil pun tak bisa menyembunyikan kegembirannya, tecermin dari wajahnya yang sumringah. Ditemani ibunya, ia berdiri di tepi kolam renang, melihat beberapa anak bermain di dalam air. Sementara, saya merenung di kursi tak jauh dari mereka, betapa orang tua juga menikmati hari libur dengan membaca koran di luar, tetapi tak merampas hak anaknya untuk mereguk udara segar. Lalu, saya telah merancang bahwa pada kunjungan berikutnya saya akan membaca buku baru yang tergeletak di meja, hampir-hampir tak tersentuh. Wow, di bawah pohon dan kicau burung, saya akan menekuri huruf tentang Harapan dan Masa Depan oleh Noam Chomsky. Lalu, saya akan mengitari taman untuk membuat badan ini tak malas bergerak. Ternyata hidup ini sesederhana kita mau meluangkan waktu untuk bergerak dan membaca.

Sunday, August 22, 2010

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...