Bawang putih adalah bumbu andalan saya dalam menggoreng tempe. Dengan menumbuknya hingga halus dan mencampur bumbu itu dengan air dan garam, saya bisa mencelupkan tempe yang telah dipotong tipis. Menurut Pramoedya Anantatoer, sastrawan terkemuka, bawang inilah yang membuatnya tetap kuat bekerja di pembuangan Pulau Buru. Selain itu, tambah penulis Bumi Manusia itu, bawang berkhasiat mengeringkan lukanya akibat kekerasan aparat. Tumpukan bawang di atas berasal dari negara China, yang dijual di sebuah pasaraya tak jauh dari rumah. Coba Anda perhatikan! Dari mana bawang yang Anda nikmati hari ini?
Showing posts with label Cerita Keseharian. Show all posts
Showing posts with label Cerita Keseharian. Show all posts
Thursday, May 31, 2012
Bawang Putih
Bawang putih adalah bumbu andalan saya dalam menggoreng tempe. Dengan menumbuknya hingga halus dan mencampur bumbu itu dengan air dan garam, saya bisa mencelupkan tempe yang telah dipotong tipis. Menurut Pramoedya Anantatoer, sastrawan terkemuka, bawang inilah yang membuatnya tetap kuat bekerja di pembuangan Pulau Buru. Selain itu, tambah penulis Bumi Manusia itu, bawang berkhasiat mengeringkan lukanya akibat kekerasan aparat. Tumpukan bawang di atas berasal dari negara China, yang dijual di sebuah pasaraya tak jauh dari rumah. Coba Anda perhatikan! Dari mana bawang yang Anda nikmati hari ini?
Sunday, May 16, 2010
Pagi di Danau
Sabtu kemarin, danau kampus itu renyah karena pagi-pagi ia telah meraup air hujan deras. Kemudian, matahari menyembul, memendarkan butiran air di dedaunan. Ikan pun berenang riang. Beberapa pengunjung memanjakan dengan remah-remah roti. Di ujung itu, mereka berkumpul dan berlompatan untuk menelan apa saja. Yang paling ketara, lele dumbo melahap setangkup roti, lalu menyurut ke dalam air. Setelah puas, kami pun beranjak, menuju masjid kampus untuk mengikuti pengajian.
Aha, Ustaz Zaki membahas kesabaran. Bukankah watak ini mengandaikan seperti danau itu, tenang dan tak bergolak? Penghuni di dalamnya pun tak tergesa-gesa. Biawak melata dengan anggun, burung berlompatan dari dahan ke dahan, apalagi kura-kura yang berenang pelan dan merangkak lambat ketika naik ke tanah pembatas. Dari binatang, kita pun belajar sabar. Kesabaran itu juga tecermin dari raut sang ustaz, yang berjalan jauh dari Seberang Pulau untuk sampai ke masjid ini.
Dengan menyitir kitab suci yang mengandung firman Allah bahwa manusia akan dicoba dengan ketakutan, kelaparan, kurang harta, jiwa dan buah-buah, pria kelahiran Jambi ini mengurai hal ihwal tantangan manusia menjalani kehidupan. Tema ini mengetuk benak karena saya pun merasa bahwa kesabaran itu mudah diucapkan, namun sangah susah diwujudkan. Tentu, pelaziman sifat ini memerlukan perubahan cara berpikir dan keyakinan. Tanpa keduanya, ia akan selalu berada jauh di sana. Lalu, siapa pun saling mendahului untuk memenangkan persaingan dengan terburu nafsu.
Saturday, February 13, 2010
Burung Hitam
Gambar burung berwarna hitam itu saya ambil ketika sedang tepekur di depan komputer. Karena dihalangi kaca, ia tidak merasa kalau sedang disorot kamera. Sampai hari ini saya tak tahu namanya, namun kehadirannya acapkali menyita. Suaranya pendek, tak seindah burung jalak. Hampir di setiap pojok kampus, hewan ini bisa ditemukan. Tak hanya nama binatang bersayap itu, nama pohon tempat ia bertengger, saya pun tak mengenalinya.
Heran, saya bisa menikmati nyanyian burung yang saya tak tahu riwayatnya dan warna hijau daun pohon yang tegak berdiri di depan jendela. Ya, pohon yang memiliki bunga berwarna merah menyala. Memang, tak setiap pohon diberi papan nama, seperti pohon Semarak Api di depan kantor pos. Meski tak kenal, saya menyayangi keduanya, hingga hari ini.
Tuesday, November 03, 2009
Trek Jogging
Saya tidak lagi menggunakan trek lari (jogging) stadium untuk berolahraga. Selain menghindari kejenuhan, saya menemukan suasana lain di sepanjang jalan di atas. Seorang lelaki tua menyapu jalan dari pasir yang bertaburan, bahkan ketika jam kerja usai. Seorang pekerja perempuan Indonesia yang baru turun dari bis umum, berlari kecil menuju toko bahan bangunan, dan lalu lalang kendaraan yang terburu-buru beranjak pulang.
Dengan menyusuri trotoar, kaki ini berlari kecil untuk membakar lemak yang menimbun di tubuh. Tak jauh dari jalan di atas, jalan menanjak menghadang, yang membuat langkah makin berat. Namun, kaki tetap bergerak, meski melambat. Keringat menetes. Napas beradu cepat. Beberapa menit kemudian, jalan mendatar dijejaki sehingga langkah terasa ringan. Kelegaan menguap dari lubang pori-pori. Tak lama kemudian, jalan menurun, yang justeru tidak membuat nyaman, malah harus menahan tubuh agar tak menggelinding.
Kemarin, saya terpaksa berteduh di bawah pohon nangka karena hujan turun. Dengan menggunakan plastik, saya telah menyimpan telepon genggam agar tak basah. Namun, tak lama kemudian, reda mendera. Sisa butiran hujan hingga di rerumputan dan dedaunan. Meski air merembesi sepatu, saya terus berlari. Matahari pun muncul, memendarkan tetesan air. Sore itu benar-benar indah untuk dinikmati.
Monday, October 26, 2009
Sumpah Pemuda Para Pekerja
Para pekerja Indonesia tampak antusias mengikuti persembangan lagu, terutama dangdut, dari penyanyi undangan dan bertambah bersemangat ketika lomba karaoke dipagelarkan. Mereka betul-betul penikmat sejati dangdut. Tak ayal, ketiga salah seorang peserta membawakan lagu Raja, penonton tak bisa menyembunyikan kekesalannya karena ia menyisipkan kata-kata saya tak suka dangdut. Sebelumnya, mereka mendengarkan sambutan dari ketua panitia, Pak Karnadi Kasan Sardji dan konsul Jenderal RI, Pak Moenir Ari Soenda, lalu disisipkan pemutaran potongan gambar korban Gempa yang telah dilatari lagu Opik, Bila Waktu Telah Berakhir, sehingga penayangan bencana itu tampak lebih kuat menyentuh rasa.
Acara inti, refleksi Sumpah Pemuda, dibawakan oleh peneliti dari Universitas Sains Malaysia, yang menutup ceramahnya dengan pembacaan Teks Sumpah Pemuda. Dengan tangan terkepal, mereka mengikuti pembacaan sumpah yang pertama kali dibacakan pada 28 Oktober 1928. Setelah acara menyongsong Sumpah Pemuda usai, saya pun turut larut dalam kerumunan, menikmati lagu. Dari sekian nyanyian, saya benar-benar menikmati lagu Seni Rhoma Irama, yang dibawakan oleh Edi Santoso. Meski suara pas-pasan, namun pengaruh musik yang mengiringinya yang menghentak tak ayal membuat kaki saya turut menghantam lantai. Herannya, para pekerja yang sebelumnya turun ke lantai depan panggung dan berjingkrak-jingkrak tampak kikuk dengan lagu Bang Haji, malah sebagian duduk.
Lalu, sumpah pemuda itu menjelma menjadi dangdut.
Sunday, October 25, 2009
Menggalang Kepedulian Pekerja
Monday, September 21, 2009
Selamat Hari Raya Idul Fitri
Kami mengucapkan mohon maaf lahir dan batin. Mungkin, Tuhan memaafkan kekhilafan kami, namun di tangan Anda, kesalahan itu luruh, tak berbekas. Gambar di atas adalah peristiwa biasa, tapi bagi kami istimewa. Inilah untuk pertama kalinya, kami merayakan hari kemenangan. Si kecil masih berusia 6 bulanan. Seperti warga Indonesia yang lain di Negeri Jiran, kami pun bergambar bersama setelah sebelumnya bersalaman, saling memaafkan. Para pegawai konsulat, pekerja migran, mahasiswa menyatu, menikmati kebersamaan. Berbeda dengan tahun yang lalu, hari itu langit cerah, meski agak mendung sebelum shalat Id ditunaikan. Pas jam 8.39, matahari menyembul, melimpahkan sinar ke bumi.
Acara sembahyang idul fitri dimulai dengan sambutan Pak Karnadi Kasan Sarji, yang diikuti Pak Moenir Ari Soenanda, Konsul Jenderal. Kemudian, Pak Arbi, melantunkan ajakan shalat. Tiba-tiba, suasana senyap. Ratusan orang sepertinya terkunci. Hanya takbir sang imam memecah kesunyian. Setelah usai, imam yang juga bertindak sebagai khotib, berdiri memulai khotbah. Ustaz Maulana Siregar membuka dengan takbir. Jamaah tampak larut dalam setiap kata yang dilontarkan, selain tampak lugas juga diselipkan banyolan. Tak jarang, tawa kami berderai ketika dengan dialek Batak, khotib yang sengaja diundang dari Jakarta ini menceritakan kisah Ibrahim dan Ismail, sebagai latar dari asal-muasal laungan takbir, tahlil, dan tahmid.
Di sela-sela ceramah, sang ustaz juga menyentil jasa para pekerja. Mereka adalah duta bangsa, yang akan merawat nama harum negara. Sebelumnya, Pak Moenir menyajikan data bahwa pulangan (remittance) TKI berjumlah 15 triliun, sebuah angka yang cukup besar untuk mendongkrak nadi perekonomian kampung mereka. Ya, pekerja migran merupakan jamaah terbesar pada masa itu. Meski mereka telah menyumbangkan devisa, tambah ustaz, nasibnya tetap sengsara, sebuah ungkapan yang memantik tawa.
Thursday, September 17, 2009
Dilarang Tidur dalam Surau
Thursday, September 10, 2009
Malam Kebudayaan Indonesia
Sparkling Indonesia akan digelar untuk kedua kalinya pada 2-3 Oktober 2009. Acara malam kebudayaan Persatuan Pelajar Indonesia ini merupakan kegiatan rutin tahunan untuk memperkenalkan wajah Indonesia di kampus. Sebelumnya, acara serupa, Inaweeks turut melakukan hal yang sama. Namun, panitia juga memasukkan acara musik lokal dengan mengundang Bunkface sebagai wujud silaturahmi. Pada Sparkling 1 mereka menampilkan The Times, band lokal yang juga gape bermain musik.
Tentu, perhelatan ini sangat penting di tengah perseteruan kedua negara, Indonesia-Malaysia, memuncak. Kabar terakhir, Khairi Jamaluddin, Ketua Pemuda UMNO, partai terbesar di negeri jiran, berucap, "Don't test our patience" (The Star, 10/9/09). Nada kemarahan ini muncul karena rakyat Indonesia tidak memahami bahwa Orang Malaysia juga sensitif dan marah jika negaranya dicerca. Apatah lagi, bendera kebangsaannya dibakar. Berbeda dengan pemimpin lain, seperti Rais Yatim, yang cenderung tampil kalem dengan mengusulkan kerjasama kebudayaan antara kedua negara.
Mungkin, panitia acara Sparkling juga bekerja lebih keras untuk melibatkan sebanyak mungkin organisasi lokal untuk menjalin silaturahmi pada acara tersebut. Ia tidak semata-mata promosi kebudayaan yang mempunyai sifat narsis, tetapi lebih jauh menyemai nilai-nilai kemanusiaan hakiki, persaudaraan. Hakikatnya, kehadiran Bunkface sebagai band lokal telah menunjukkan ikhtiar merajut kembali hubungan yang hampir retak karena ulah segelintir orang.
Tuesday, September 01, 2009
Sekolah Usai
kwitansi (di sana disebut resit) di atas adalah jaminan pribadi (personal bond) yang dibayarkan ke universitas pertama kali saya mendaftar sebagai mahasiswa. Tak banyak, RM 500 atau sekitar Rp 1, 5 juta. Untuk mengambilnya di kantor keuangan kampus, saya harus melampirkan surat bebas pustaka, surat keterangan kampus kalau diwisuda dan tentu membubuhkan nomor rekening Bank. Ada banyak tanda di kertas yang sudah mulai menguning karena sudah berusia hampir 5 tahun, seperti BCA, USD dan lain-lain. Ia menyimpan cerita panjang.
Sekarang, setelah ijazah di tangan, yang hanya selembar itu, sekolah kehidupan tentu lebih menantang. Ternyata sekolah belum usai. Sekarang, saya berjibaku untuk mendapatkan tanda lulus sebagai manusia. Rapor masih centang perenang. Ndilalah, saya merampungkan sekolah menjelang Ramadhan. Inilah awal untuk menjalani kelas baru, belajar menahan diri, sebuah disiplin yang kadang tak ditemukan dari angka 100 yang diterakan dalam nilai rapor dalam subjek apa pun (baca: grade).
Kelas baru bukan lagi kutipan kalimat para pemikir, ujian yang harus dilalui, atau penulis tesis yang menyita waktu sehingga membuat dahi berkerut, tetapi bagaimana mewujudkan kata-kata indah dalam buku itu menjadi wajah diri dalam hubungannya dengan manusia di sekitar, alam, dan Tuhan yang selayaknya ada pada bilik hati yang sangat rahasia. Aha, ternyata bacaan yang bejibun itu tumpul menghadapi keadaan sekitar yang menyerimpung, misalnya kesadaran masyarakat terhadap lingkungan yang tak sejalan dengan predikatnya sebagai penjaga alam. Sepatutnya saya mengambil inisiatif untuk memulai menciptakan keadaan yang mendorong mereka peduli di lingkungan saya paling kecil, flat tempat tinggal.
Mungkin langkah kecil, seperti tadi pagi, ketika saya membeli minuman dan koran, saya bilang "tak memerlukan plastik", adalah pembelajaran diri. Apa susahnya membawa sejumlah barang pulang tanpa harus menggungakan plastik? Lalu, diam-diam, saya menunjukkan kesadaran itu tanpa liyan menyadari. Oh ya, kuasa itu juga penting. Saya sedang mempertimbangkan itu untuk memaksa orang lain melakukan hal yang sama.
Sunday, August 30, 2009
Menemukan Wakil Rakyat
Sore itu, saya betul-betul menemukan peristiwa yang menyenangkan, tidak hanya bertemu dengan pekerja pasar yang berasal dari satu kampung, namun melihat bagaimana fungsi keterwakilan itu benar-benar berjalan. Sosok seperti ini seharusnya menjadi anutan para anggota DPRD dan DPR di Indonesia yang baru disahkan. Di tangan mereka, masalah rakyat didengar dan dicarikan jalan keluar, seperti saya temukan pada pengalaman di atas. Meski agak cemas, saya tetap menggantungkan harapan agar calon yang terpilih betul-betul mengerti tiga fungsi pokok sebagai anggota legislatif.
Ternyata, setelah saya baca koran lokal keesokan harinya, kegiatan yang sama juga dilakukan oleh koleganya di tempat lain. Mungkin, mereka sadar bahwa masyarakat memerlukan wakil yang bisa dipercaya, wakil yang bisa menjenguk mereka bukan hanya ketika menjelang pemilihan umum. Satu hal, sebagai pemegang amanah, dia tak lagi bertanya apakah orang yang sedang mengalami masalah itu berasal dari partainya atau tidak, melainkan dia sepenuhnya wakil dari tempat dia berasal. Semoga!
Sunday, August 23, 2009
Berbuka Puasa di Konsulat
Tahun yang lalu, mahasiswa dan staf konsulat berbuka puasa dengan duduk di kursi, tetapi sekarang mereka lesehan, duduk di atas tikar plastik. Seperti tampak dalam gambar, Bapak yang berbaju putih adalah Mr Moeniru Ari Soenanda, konsul jenderal, yang didampingi beberapa mahasiswa, Noval, Hamimu, Yatno, Heri, Syukri dan Rizal. Sementara di depannya, Isyam, Pak Wahyu, Pak Kasim, Wahyu dan Faisal, saya tak tahu pasti sebelum Pak Wahyu, berkopiah hitam. Sambil menunggu bedug, tepat azan Magrib, kami bertukar cerita. Sementara di ujung sana, beberapa mahasiswa juga melakukan hal yang sam.a
Ditingkahi rinai hujan, kami akhirnya berbuka dengan menu yang beragam, seperti kue, kurma, kolak dan aneka jenis minuman. Rizal, mahasiswa Teknologi Industri asal Palembang, melantukan azan. Saya pun mengambi kue dan kurma tiga biji dan air jeruk kotak. Tak lama kemudian, kami pun bersiap-siap berjamaah maghrib. Dr Ali Jamhuri, doktor Manajemen asal Malang, menjadi imam Maghrib. Kira-kira 10 menit, sembahyan bersama usai. Lalu, tuan rumah, Pak Moenir, mengundang jamaah untuk merayakan ulang tahun yang ke-54 dengan memotong kue coklat, yang sebelumnya didahului doa oleh Dr Ahmad. Di sela-sela pemotongan kue, para jamaah secara spontan menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun. Meriah! Blitz kamera berpendaran. Tanpa menunggu lebih lama lagi, orang nomor satu di perwakilan Indonesia Pulau Pinang ini meminta jamaah untuk menyantap hidangan, berupa gule kambing, opor ayam, sayur, ikan, dan beragam jenis menu yang lain.
Di sela-sela berbuka, kami pun berbincang banyak hal, politik, ekonomi, pariwisata dan tentu lelucon yang dimulai oleh Pak Moenir dengan cerita pihak Imigrasi yang melarang turis Madura memasuki Perancis, khawatir Menara Eiffel Perancis tumbang. Sebelumnya, beliau bercerita tentang kesukaan masyarakat Pulau Garam ini terhadap besi. Lalu, Syukri, yang katanya bisa berbahasa Jawa, Batak dan Aceh, menimpali dengan cerita lucu lain. Mereka bersahut-sahutan dengan banyak cerita. Namun, Kumandang Isya membubarkan acara santap malam itu. Jamaah bersiap-siap menunaikan shalat Isya dan tarawih, yang dipimpin oleh Nuhung, mahasiswa PhD bidang Sejarah Islam asal Sulawesi. Akhirnya, malam penuh berkah itu diakhiri siraman rohani, istilah yang digunakan oleh Pak Purnomo, staf konsulat, untuk ceramah agama oleh Dr Ahmad, Postdoctoral Research Fellow Universitas Sains Malaysia dengan Tema Empat Asas Menjadi Muslim yang Baik.
Tuesday, August 18, 2009
Kurangi Penggunaan Plastik
Kampanye pengurangan penggunaan plastik pada pameran menyambut wisuda Universitas Sains Malaysia merupakan langkah bijak karena di sekelilingnya adalah gerai yang menjual aneka makanan. Tentu, pembungkus yang digunakan kebanyakan plastik, hanya sedikit yang menggunakan kertas daur ulang. Saya pun tak bisa mengelak menggunakannya ketika membeli panganan.
Berbeda ketika membeli barang keperluan yang tidak berminyak, saya tidak meminta plastik. Minuman yang saya suka acapkali diletakkan begitu saja di keranjang sepeda motor. Penjual kedai terpaksa mengangguk sambil tersenyum ketika saya menolak tawaran plastik dengan bertukas save the planet. Tentu tak arif hanya membeli satu kotak minuman seharga RM 1.20 dan sebuah koran Sinar Harian saya membawa plastik pulang. Selama barang itu bisa digenggam, sebaiknya memang kita tak perlu meminta plastik pembungkus. Mubazir!
Kemarin, malah, kami membawa tas green bag, produk Tesco, agar kami tak membawa banyak plastik ke rumah. Tas ini dibuat dari serat yang biasa digunakan untuk karung beras, jatah Bapak saya sebagai pegawai rendahan. Saya begitu menikmatinya karena merasa telah berbuat untuk menyelamatkan bumi dari sampah. Duh, narsis banget! Tapi, ini adalah kabar gembira yang mungkin orang lain tak merasa dicecoki khotbah kebaikan.
Monday, August 03, 2009
Pelestari Kompang
Inilah wajah pelestari kompang, Encik Haji Zainuddin bin Andika. Dalam seminar membincangkan Kompang: Tradisi dan Transformasi, wawancara dengan pemelihara tradisi ini disisipkan dalam sebuah klip video pendek bagaimana pejuang kemerdekaan Malaya ini tetap memproduksi alat penabuh untuk menghadirkan kompang dalam kehidupan masa kini.
Monday, July 27, 2009
Teman Baik yang Lain
Foto di atas adalah teman baik saya. Dia sedang memastikan peristiwa yang diurusnya berjalan baik. Ya, memang berhasil. Tentu, saya banyak belajar bagaimana kawan yang bekerja di sebuah bagian penting universitas itu mengelola perhelatan. Selamat kawan, Anda telah menyuburkan tradisi literasi di negeri ini.
Friday, July 24, 2009
Mengaji di Masjid Kampus
Friday, July 10, 2009
Monday, July 06, 2009
Mendekati Hari H
Mewujudkan sebuah kegiatan memerlukan kebersamaan. Rapat merupakan kegiatan yang tak dapat dielakkan. Namun, suasana pertemuan tidak harus menegangkan. Canda adalah cara paling ampuh menghilangkan ketegangan. Inilah sebagian anggota yang hadir untuk menyelesaikan tugas akhir menjelang perhelatan. Tentu, mereka adalah sebagian dari 21 orang yang tidak bisa diambil dalam satu waktu karena keterbatasan jarak ambil.
Ternyata penyebaran poster yang diagendakan untuk dilakukan malam setelah rapat dibatalkan. Poster tersebut harus distempel oleh pejabat berwenang agar tidak dicopot karena dianggap illegal. Demikian pula, penjualan tiket juga ditunda karena belum diisi nomor untuk penanda dan sekaligus memudahkan penarikan undian. Diharapkan dengan adanya doorprize, diskusi Novel Tetralogi Andrea Hirata akan memantik minat orang ramai dan mengikuti acara hingga usai. Dengan tema "Menemukan Identiti Melayu Melalui Novel Tetralogi Andrea Hirata", program ini akan menjadi salah satu pintu masuk bagi upaya memahami isu yang paling krusial dalam hubungan kemanusiaan serumpun.
Besok, kami akan membuka konter penjualan di depan perpustakaan Hamzah Sendut 1 dan sekaligus menjadikannya tempat pusat kegiatan menjelang hari pelaksanaan kegiatan. Di sini, kami bisa menjadikan pos untuk memantau pergerakan kegiatan. Lebih dari itu, tempat ini adalah sangat strategis untuk menyebarkan informasi tentang program di atas. Antusiasme teman-teman dalam mengikuti kegiatan ini sejak awal telah menumbuhkan semangat yang kadang digerus oleh banyak rintangan.
Saturday, July 04, 2009
Memburu Andrea Hirata
Poster ini lahir dari sebuah perjalanan panjang. Ia hadir untuk menyambut Andrea Hirata, penulis tetralogi Laskar Pelangi. Bukan sekedar memeras otak, tetapi juga kesabaran seluruh panitia mewujudkan mimpi ini. Malah, sentuhan akhir untuk poster ini diparipurnakan pada jam 2 pagi, setelah rapat bersama yang dihadiri 19 orang. Namun keakraban kami mampu mencairkan kejenuhan. Semua menebarkan tawa dan canda. Kehadiran Chris, mahasiswa bule, dan Ahmad Sahidah, mahasiswa Melayu, menambah greget rapat dan kemungkinan mudahnya penyebaran informasi.
Poster di atas dibuat oleh Pak Ardiansyah, yang seperti diceritakan hingga jam 2 pagi, karena poster tersebut akan digunakan sebagai latar tiket yang akan dicetak esok harinya. Tidak hanya itu, poster ini juga akan dibuat sebagai latar dari name tag, flyer, dan dekorasi. Tentu, kehadiran Gramedia untuk turut serta dalam acara ini dimungkinkan penyebaran poster lebih luas, karena toko buku yang baru buka di TESCO Seberang Prai ini mau mencetak dalam jumlah yang banyak. Sekaligus, ini penanda bahwa informasi tentang kegiatan diskusi novel akan lebih merata penyebarannya.
Perbincangan penyebaran poster tidak sesederhana kita menempel pengumuman, tetapi juga melibatkan banyak orang. Apatah lagi, ia juga berkait dengan pengelakan tumpang tindih dan upaya penempelan yang tepat sasaran. Insyaallah, Senin depan, panitia akan berkumpul lagi untuk membagi poster dan sekaligus meminta mereka menempel maklumat ini sesuai dengan kesepakatan pada rapat hari ini di Bilik Karel, Ilmu Kemanusiaan.
Pandangan Luas itu Menyenangkan
Menyesap kopi di sebuah warung adalah peristiwa biasa. Tapi kali ini, saya berada di ketinggian dan melepaskan pandangan ke segala penjuru, salah satu gambar di atas. Bukit itu dipisahkan oleh laut dan seakan menjadi penanda akhir dari jarak saya dengan dunia. Di sela itu, saya membaca koran The Sun, membual ke sana kemari, menekuri pelbagai kelebatan tingkah pengunjung. Sebagian memelototi laptop, yang lain bercengkerama. Tak hanya itu, meskipu warung kopi ini diboikot oleh sekelompok masyarakat, pegawainya ada yang mengenakan jilbab. Sebuah wajah yang sulawan.
Tapi, biarlah kesulawanan itu hadir. Pilihan kita banyak, namun kita tak bebas memilihnya karena keseharian telah ditentukan oleh iklan media. Selera dan gaya mencerminkan kehendak pabrik. Kita telah menerima jadi dan tak perlu berpikir dan hanya merayakannya hingga akhir. Semua tumpang tindih. Jika sebagian teman saya masih berteriak ancaman Barat, yang lain menganggapnya igauan di siang hari. Identitas yang diperjuangkan hanya berujung kepentingan, tidak lebih. Adalah susah menemukan ketulusan.
Sekarang, ketika refleksi ini diterakan, saya harus menjaga jarak dari objek yang disoal. Kekhawatiran yang selalu mengikuti adalah pembenaran terhadap kesenangan. Kita membungkus prilaku dan gaya dengan segudang alasan. Saya, misalnya, membenarkan duduk di warung itu dengan memasukkan beberapa cerita. Inilah helah untuk menangkis hujatan bahwa saya tidak mempraktikkan apa yang dipikirkan. Banyak omong, tapi pada masa yang sama melanggar apa yang diungkapkan.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Pemurnian
Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...