Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Eksistensialisme. Show all posts
Showing posts with label Eksistensialisme. Show all posts

Monday, October 13, 2014

Hasil Tes dan Eksistensialisme

Apa makna kesehatan? Menunggu hasil tes tentu menempatkan kita pada kecemasan (angst). Di sini, kita menemukan tubuh dan sekaligus diri sendiri. Kebebasan dan kecemasan tiba-tiba datang silih berganti. Bebas untuk makan dan berleha-leha atau cemas penyakit yang ditimbulkan oleh kealpaan.

Menunggu hasil tentu pekerjaan yang membosankan (boredom). Tapi, hari ini kita bisa menyiasatinya dengan membaca, berselancar di media sosial atau menikmati lagu melalui telepon genggam. Tapi benarkah jemu raib hanya karena kita tunduk pada hiburan? Lagipula kebebasan apa yang hendak dirayakan? Padahal dalam E Warterberg, Existensialism, "That much-vaunted freedom we posses is actually a source of much of trouble and pain" (2008: 37).

Aha! Kita hanya perlu diam. Dengan bernafas perlahan, kita akan menemukan ruang di mana peristiwa, orang dan lain-lain yang hadir di hadapan kita adalah bagian dari kehidupan kita. Empati perlu hadir agar diri tak tersepit sunyi tak terperi. Hanya perasaan ini yang bisa memakmurkan kesentosaan sebab empati itu adakah kepenuhan (abundance) karena kita berbagi ruang dan waktu dengan khalayak. Benar apa yang dinubuatkan oleh Epicurus (341–270 BC), "Not what we have, but what we enjoy, constitutes our abundance." 

Monday, April 01, 2013

Sunyi itu Nyeri

Eksistensialisme dikenal sebagai jalan yang merayakan kebebasan pribadi. Tak ayal, ia sepi. Adakah betul sunyi itu nyeri? Muhammad Iqbal, filsuf eksistensialis, pernah bertutur pada sang anak, Javid, bahwa ia merasa sepi dan berharap anaknya tak mengikuti jejak sang ayah yang dirundung kesunyian.

Gambar buku ini telah melukiskan dengan sempurna orang yang menatap keluasan, namun ia menikmati kesendirian dan membelakangkan orang ramai. Apakah kita mau menjalani hidup seperti orang ini? Mungkin, betapa pun kita hidup bersama, kadang kala kita dibekap oleh keseorangan. Ada ruang yang tak bisa ditundukkan oleh siapa pun, bahkan tentara khusus sekalipun.

Ketika eksistensialis ingin meretas penghalang kehidupan, absurditas, ia sebenarnya sedang bermain-main dengan kecelaruan yang diciptakan oleh dirinya sendiri. Bukakah rasa cemas (angst) itu diperoleh dari pengalaman hidupnya yang dibentuk oleh kepercayaan masyarakat yang ia membesar di dalamnya? Bukankah ia bebas karena ada aturan yang ditolaknya? Bukankah ia bosan karena secara sadar atau tidak ia terlempar dalam rutinias kehidupan khalayak? Diam-diam, betapa pun orang lain itu ancaman dan neraka, ia memerlukannya penanda itu untuk menempel kode pada jidatnya. 

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...