Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Masjid. Show all posts
Showing posts with label Masjid. Show all posts

Monday, September 28, 2015

Idul Adha di Kubang Pasu

Pada hari raya Idul Adha 1436 H, saya menunaikan sembahyang sunnah di sini. Setiap kali melewati jalan raya di depannya, saya selalu membatin untuk bisa melaksanakan shalat di masjid Lama ini. Biasanya, kami sekeluarga pergi ke Masjid Muttaqin Tanah Merah, tak jauh dari rumah.

Di bandingkan masjid-masjid lain dari sekitar Kedah, Masjid tersebut tampak berbeda. Warna coklat dan bentuk yang kuno tiba-tiba menyergap kesadaran saya. Betul, masjid  ini adalah salah satu di antara tempat ibadah yang telah lama berdiri di negeri Darulaman. Tentu saja, pelantang yang berada di atap menjadikannya tak jauh berbeda dengan masjid kampung saya, Langgundi. Saya pun tak pasti, apakah merek pengeras suara itu TOA, jenama yang biasa di mana-mana.

Sebelum shalat ditunaikan, sang imam dan sekaligus khatib menerangkan tata cara sembahyang, seperti niat dan takbir yang diselingi bacaan tasbih, tahmid dan takbir. Tak perlu waktu lama, sekitar jam 8.30 shalat dimulai. Kemudian, khutbah disampaikan hanya dalam hitungan menit, ringkas dan bernas. Betul-betul sang khatib mengikuti ajaran Nabi, khotbah tidak disampaikan berjela-jela. Akhirnya, seusai ibadah, para jamaah diminta untuk makan di warung makan Kashmir, yang berada di belakang Masjid. Oh ya, saya sempat bersirobok dengan tiga ekor sapi yang menunggu untuk dikorbankan. Suasananya benar-benar menyenangkan, tambahan lagi cuaca cerah. Sinar matahari membelai bumi dengan lembut, sehingga pikiran tak berserabut. Masihkah ada kemelut?

Monday, November 12, 2012

Sudut Penglihatan


Kampus banyak menyediakan tempat seperti ini. Mereka tinggal memilih, namun juga memikirkan tanda, seperti larangan menggunakan sepatu di lantai pondok tempat pengunjung berteduh dan menikmati pemandangan. Dari sini dengan mudah kita menjangkau kantin, bank, kantor pos dan toko yang menjual keperluan sehari-hari. Tak jauh dari gedung Pusat Seni dan Budaya ini, kita bisa mengayunkan langkah kaki ke masjid. Tempat-tempat ini menyediakan sudut untuk memanjakan mata kita menikmati alam. Seperti kata Willard Spiegelman, dalam Seven Pleasures: Essays on Ordinary Happines, melihat itu adalan anugerah yang mendatangkan kebahagian.

Setiap tempat itu mempunyai waktu. Lagi-lagi kita menyesuaikan untuk mendapatkan keriangan. Dari Anjung Siswa ini, saya meluruskan kaki karena bersendirian seraya menikmati koran The Malay Mail. Dengan pena di tangan saya kadang menggarisbawahi kata-kata penting yang dimuat di surat kabar. Permenungan bisa meluap di sini karena siapa pun akan merasa tidak dikerangkeng oleh tembok tebal dan dielus oleh angin alam. Namun, kita pun tahu kita perlu mengakhiri keasyikan sebab sang bayu bisa mendatangkan masuk angin.

Untuk itu, tubuh ini perlu kehangatan dengan menyesap kopi dan mengganjal perut dengan beberapa potong ba(h)ulu buatan  Pak Hj Ibrahim. Dengan bungkus plastik yang ciamik dan catatan kandungan yang lengkap, seperti tepung, telur, gula, minyak sayur, perasa buah, soda dan garam,  ia telah menjadi bagian dari kehendak pasar bahwa bungkus itu membantu menaikkan permintaan. Tak hanya itu, selain informasi kandungan, kita juga bisa membaca fakta nutrisi, tenaga 207kcal, protein 0,8g, karbohidrat 15.5g dan lemak 0.02g.

Dari sini pula, saya bisa menikmati angin berhembus lembut. Sementara di depan meja dan kursi ini, hamparan rumput dan pepohonan yang hijau serta aliran air sungai menyeret khayalan ke peristiwa masa lalu di kampung halaman, silih berganti antara permainan, sekolah dan pertemanan. Mungkin berlebihan kalau kita menyebutnya ini pesta, tetapi semua pasti berakhir. Saya akan beranjak. Lamat-lamat, lagu Rhoma Irama bertajuk Pesta Pasti Berakhir mengalun dengan pembukaan cabikan gitar.

Saturday, September 29, 2012

Sore dan Sate


Sore sesudah hujan, kepulan asap sate di depan Masjid al-Shahab mengundang selera. Seminggu sebelumnya, kami berhasrat untuk mencoba menikmati sate. Dengan hanya berbekal gerobak, kipas, dan arang kayu si penjual menggelar menu berupa ketupat, timun dan bawang merah. Harga setusuk sate tak mahal. Kami pun duduk menunggu seraya menikmati minuman yang dibeli dari penjual yang lain. Dengan berbagi, mereka bisa mengaut keuntungan. Tak lama kemudian, sepiring sate datang, hinggap di meja. Bau daging terbakar menyengat hidung. Lalu, 15 tusuk berpindah ke perut. Karena mendekati azan Maghrib, kami pun bergegas untuk beranjak pulang sambil membawa sisa sate. Dengan ramah wanita setengah baya, pemilik warung itu, bertanya, "Nak dibungkus ke?" Isteri pun mengangguk.

Setelah makan, pengunjung warung makan bisa berjamaah di sini. Masjid tersebut menyediakan lahan parkir yang luas dan fasilitas lain yang memadai, seperti wifi, ruang pertemuan, toko pakaian dan dobi atau penatu. Mungkin, mereka bisa bersembahyang lebih dahulu baru berkunjung ke kedai makan yang tak hanya menyediakan sate, tetapi juga makanan dan kudapan yang lain. Kehadiran dua tempat yang berbeda, beribadah dan makan, dalam satu kawasan tampak elok. Masjid itu tak menampik kegiatan lain, karena hakikatnya ia hadir agar manusia bisa hidup dengan nyaman.

Sebenarnya saya juga menemukan pemandangan serupa dengan masjid al-Muttaqin, yang paling dekat dengan rumah. Di sekitar masjid, warung makan bertebaran. Bahkan, dalam jarak beberapa meter, terdapat lokasi pasar malam yang selalu disemuti oleh orang ramai setiap hari Kamis sore. Menjelang malam, kita bisa mereguk banyak kesenangan. Namun, siapa pun tahu bahwa makan itu hanya menghabiskan waktu tak lama. Selanjutnya, manusia akan mengasup keperluan batin dalam waktu yang tak terbatas. Marilah bersembahyang, Marilah raih kebahagiaan! 

Wednesday, July 11, 2012

Sedekah Pisang


Semalam kami mengunjungi Masjid Muttaqin untuk menunaikan sembahyang Maghrib. Ketika menginjakkan kaki di serambi, saya bersirobok dengan setandan pisang. Untuk kesekian kalinya, saya menemukan pemandangan seperti ini. Seorang dermawan meletakkan buah yang mudah tumbuh di negeri tropis di bibir masjid. Tak hanya di rumah ibadah, saya juga seringkali mengalami hal serupa di warung makan, bahkan di POM Bensin Shell, tak jauh dari masjid tersebut. Setiap hari Jum'at, di depan kasir Shell, pisang emas tersedia untuk dinikmati oleh siapa pun.

Dulu, di Masjid kampus USM, saya juga sering menikmati pisang yang disedekahkan oleh seseorang tanpa nama. Boleh jadi, si dermawan berharap agar tangan kanan memberi, sementara tangan kirinya tidak tahu. Keikhlasan adalah wujud kepedulian pada sesama tanpa dibebani perbedaan latar belakang. Namun, tak semestinya kebaikan itu anonim. Untuk menarik orang ramai berbuat kebaikan, kadang pengumuman perlu dibuat. Seperti tertera di papan masjid Muttaqin, ada beberapa nama yang telah bersedia untuk berinfaq makanan buka puasa pada tahun ini.

Tentu saja, keikhlasan pada gilirannya tidak lagi dengan penyembunyian nama. Pengelolaan sedekah, derma, atau amal tentu menuntut penghitungan dan pertanggungjawaban untuk mengelak dari penyalahgunaan. Di sini, nama penyumbang disebut. Tak hanya itu, mereka yang murah hati kadang diabadikan sebagai nama bangunan. Tidak ada yang salah. Kebaikan harus disebarkan. Mereka yang baik harus dikenang. Namun, seperti Zainuddin MZ bilang, aneh, dengan sedekah 100 rupiah, kita berharap masuk surga.

Thursday, May 03, 2012

Subuh



Di sela mengikuti kegiatan di luar kampus, program pemantapan kurikulum, saya menyempatkan diri bersembahyang di Masjid Politeknik Syed Sirajuddin, Arau Perlis. Masjid ini terletak di pinggir danau dan lapangan sepak bola, tak jauh dari tempat penginapan. Saya menyusuri jalan yang ditutupi  bumbung memanjang dari satu tempat ke tempat lain. Warna kaca jendela yang kekuningan dan kebiruaan menyerlahkan tempat ibadah ini. Sepertinya, malam yang gelap menyergap bangunan ini.

Selama tiga hari, saya menunaikan Subuh di sini bersama para mahasiswa. Mereka tampak bersemangat mengikuti shalat berjamaah dengan aneka ragam pakaian, seperti jubah, kaos klub sepakbola, sarung atau celana olahraga. Selepas sembahyang, sang imam memimpin membaca zikir dan doa, sebuah kebiasaan yang ditabukan di Negeri Perlis. Demikian pula, doa qunut dipanjatkan, meskipun amalan ini juga tidak ditunaikan di negeri yang bertetangga dengan Kedah.

Tak hanya Subuh, ketika Maghrib tiba, saya juga bergegas dan kadang sempat membaca koleksi bacaan di rak dekat pintu masjid. Secara tak sengaja, saya sempat menikmati buletin yang diterbitkan oleh Majelis Ulama Perlis, yang berisi isu keagamaan termasuk soal-jawab terkait persoalan sehari-hari. Menariknya, salah satu edisi membahas musik, yang memasukkan lagu dangdut itu haram. 

Friday, January 06, 2012

Jum'atan, Untuk Apa?

Untuk keempat kalinya, saya menunaikan salat Jum'at di masjdi AlBukhari. Siapa pun akan terpesona dengan bangunan masjid yang dimiliki pengusaha ternama, Syed Muchtar Albukhari. Selain bersih, reka bentuk masjid ini juga menyerlah indah. Uniknya, ia adalah bagian dari satu kawasan yang terdiri dari pelbagai peruntukan, mal (suq), pemakaman, dan universitas internasional. Tadi, saya sempat berjumpa dan bersalaman dengan Prof Dzulkifli Abdul Razak, yang sekarang menjadi rektor Universitas AlBukhari. Padahal dulu, ketika menyelesaikan PhD di Universitas Sains Malaysia, saya tak pernah berbicara dengan Naib Canselor yang berhasil membawa USM pada tingkat akademik yang membanggakan.

Pada hari tersebut, khotib membicarakan etika pendidikan anak. Dengan mengutip hadits yang diriwayatkan Al-Tirmidzi, pengkhotbah menyampaikan pernyataan Nabi bahwa anak-anak itu adalah bunga-bungaan dari surga. Sebagai anugerah dan amanah, anak-anak harus diperkenalkan dengan hal-hal prinsip dalam agama, yaitu ketuhanan, kerasulan, salat dan kitab suci. Untuk kali ini, kandungan khotbah tampak lebih membumi, dibandingkan dengan isu-isu sebelumnya yang selalu memanaskan telinga, seperti ancaman Barat terhadap Islam, bahaya penghancuran akidah umat oleh pihak lain, sementara musuh itu adalah nafsu kita sendiri (Silahkan rujuk al-Muhasibi, dalam Kitab Risalah al-Murtarsyidin).

Selain itu, saya juga turut memerhatikan keadaan jamaah, dari segi etnik, negara dan pakaian. Perbedaan itu tak lagi menjadi penghalang untuk berada dalam satu ruangan. Pakaian yang melekat kadan bisa dijadian penanda asal-muasal, meskipun kita tak bisa mengatakan mereka yang menggunakan jubah adalah orang Arab, tetapi warga lokal yang telah menunaikan ibadah haji. Di tengah jalan, saya sempat terserempak dengan orang-orang kampung halaman yang memakai sarung juga sedang menuju masjid terdekat. Mungkin, kita menganggap Jum'atan adalah ibadah rutin, tidak lebih, tanpa pernah memberikan kejutan, untuk apa? Kalau sekadar datang mendengarkan khotbah dan menunaikan salat dua rakaat, lalu umat pulang tanpa bisa mengubah hidup mereka lebih baik, maka sudah saatnya Jumatan itu diberi daya kekuatan untuk jauh lebih menggugah kesadaran terhadap isu-isu terkini.

Andaikata saya menjadi khotib, saya akan senantiasa mengulas isu kemanusiaan dan kealaman. Untuk itu, saya akan membincangkan isu-isu anti perang, anti kekerasan dan penyelamatan alam ini dengan memulai langkah kecil agar umat tidak membuang sampah sembarangan, mengurangi penggunaan plastik, mengutamakan angkutan umum, dan tidak hidup bermewah-mewah, karena hidup yang terakhir ini adalah kepalsuaan. Apa pun, Jum'atan adalah ruang yang paling mungkin untuk menanamkan pengetahuan untuk berbuah tindakan.

Saturday, December 24, 2011

Masjid dan Perubahan

Saya mengambil gambar tersebut dari lantai dua. Kemarin, saya menunaikan sembahyang Jum'at di Masjid Muttaqin. Sebelumnya, saya melakukannya di Masjid Al-Bukhari, 20 menit dari rumah. Tema khotbah pada waktu itu adalah peningkatan mutu aqidah umat. Pengkhotbah masih muda dan bersuara keras terkait bahaya serbuan keyakinan lain. Jamaah tampak tepekur. Manakala, anak-anak kecil tak jarang membuat gaduh. Biasanya, khotib mengingatkan agar anak-anak di tingkat dua tak bising.

Tentu, selain mencermati isi khotbah, saya memerhatikan mode pakaian jamaah. Kebanyakan jamaah memakai kopiah putih, meskipun mereka belum menunaikan ibadah haji. Selain sarung, yang di Malaysia, dikenal dengan kain pelikat, setengah mereka memakai jubah dan serban. Sementara, pekerja dari Pakistan, Bangladesh, dan India mengenakan baju 'takwa' khas mereka. Kebanyakan sarung yang dipakai oleh mereka berjenama Gadjah Duduk, selain itu Atlas, Wadimor, dan Mangga. Ada seorang warga Indonesia yang menutup tubuhnya dengan sarung bermerek BHS, meskipun sudah tampak lusuh, si pemakainya tampak senang dengan kain mahal itu.

Saya sendiri memakain baju koko yang dibeli di kedai depan madrasah ibtidaiyah, tempat saya menghabiskan masa kecil di kampung halaman dulu. Dengan sarung bercap wadimor dan kopiah bersulam benang berwarna 'emas' dan kecoklatan, saya menekuri isi khotbah. Ketiganya tampak berwarna sejalan, coklat dan warna keemasan. Dulu, waktu kecil, saya sekenanya memakai baju dan sarung, tanpa pernah memikirkan keserasian. Mengapa? Karena anak kecil itu tahu bahwa fungsi pakaian itu adalah penutup tubuh, sementara orang dewasa itu berlagak, dengan pakaian yang melekat pada tubuhnya, diharapkan kehadirannya akan menyerlah. Ironik!

Saturday, October 08, 2011

Jum'atan di Masjid Tua

Masjid Zahir mulai dibangun pada 11 Maret 1912 dan diresmikan oleh Sultan Abdul Hamid Halim Shah pada 15 Oktober 1915. Ia menjadi penanda negeri Kedah. Menunaikan shalat Jum'at di sini, saya merasa diseret ke masa lalu.

Seperti biasanya, si khotib akan mengingatkan jamaah agar tidak bercakap-cakap karena ia menghilangkan keutamaan kewajiban ini. Saya pun diam dan mengambil pena untuk menulis kata-kata kunci terkait kandungan khotbah. Di hari itu, tema yang dibahas adalah hasad dan dengki. Dengan menyuguhkan cerita Habil Qabil, dua putera Nabi Adam, dan Nabi Yusuf, penggambaran dua sifat etika buruk ini tampak hidup. Jamaah tentu tak perlu mengerutkan dahi untuk mencerna pesan moral.

Meskipun si khotib menggunakan bahasa Malaysia, namun saya memastikan ia adalah warga Indonesia. Logatnya berbeda dengan warga jiran ini. Kata-kata hairan, terbuku, hodoh, membelakangkan, dan lain-lain adalah kosa kata yang jamak digunakan, namun pengucapan sahaja dengan huruf akhir tidak diucapkan [e] menunjukkan ia memang bukan warga lokal. Suaranya pun terdengar seperti anak kecil dan mencoba untuk bergaya seperti dai sejuta umat, Zainuddin MZ. Boleh jadi, pengkhotbah itu adalah mahasiswa KUIN (Kolej Universiti Insaniah).




Friday, January 29, 2010

Akhirnya Sembahyang di Sini

Akhirnya saya menunaikan shalat Jum'at di masjid ini. Sebelumnya, saya hanya melewati jika pergi ke pasar Malam depan pasar rakyat Tun Sardun atau ke Maybank. Memang, sebelumnya kami sempat mampir, namun hanya dua kali, untuk membayar zakat pada malam idul fitri. Kebetulan, panitia zakat fitrah yang berada di bawah Majelis Agama Islam Pulau Pinang mengambil tempat di situ. Tak ada bedanya dengan masjid yang lain, suasana tampak hikmat. Namun berbeda dengan di kampung saya, di sini sang khotib tidak memegang tongkat pada masa berkhotbah. Jamaah yang datang pun berjubel. Malah, sebagian meluber ke halaman.

Coba lihat papan nama yang berlatar hijau bertuliskan Mesjid Taqwa yang dibawahnya tertera Taman Brown/Taman T Sardun P Pinang. Nama tempat di mana masjid ini berdiri berada di lokasi Taman Tun Sardun. Sebelumnya, daerah ini dikenal dengan nama Taman Brown. Nama taman tersebut terakhir diambil dari pemiliknya, tuan tanah berkebangsaan Inggeris. Tak jauh dari masjid, Sekolah Agama Rakyat berdiri, tempat anak-anak Melayu belajar fardu ain dan fardu kifayah, dua istilah yang acapkali terdengar ketika membicarakan sekolah agama di sana.

Tuesday, January 26, 2010

Kotak Amal


Hampir dipastikan di setiap masjid di Indonesia ditemukan kotak amal. Gambar di atas saya ambil dari sebuah masjid di Pondok Kopi, Jakarta Timur. Dengan dibuat sedemikian rupa, kotak tersebut memungkinkan pengunjung mengetahui isi di dalamnya, yaitu pintu kotak dibubuhi kaca. Tentu, jika kosong, siapa pun yang datang diminta untuk menabung kebajikan. Ternyata, keadaan kotak tersebut mencerminkan suasana tempat ibadah ini ketika shalat jamaah ditunaikan: tak banyak orang yang hadir. Padahal lokasinya berada di tengah-tengah pemukiman yang padat. Suara azan yang berkumandang melalui pengeras suara tak mengusik warga untuk shalat Maghrib berjamaah.

Di sela-sela menunggu iqamah, para berjamaah berzikir dengan melafazkan syahadat dan diakhiri miftahul jannah. Untuk pertama kalinya, saya mengalami zikir semacam ini. Di kampung, zikir sebelum shalat Maghrib juga rutin dilakukan sambil menunggu kehadiran makmum yang lain. Namun meskipun jamaah yang hadir tak memenuhi ruang utama, saya merasa gembira karena begitu banyak remaja dan anak kecil yang hadir. Di mana-mana, anak kecil tak bisa menghentikan sifat khasnya, bersendau gurau. Namun, tak ada orang tua yang menghardik.

Monday, September 28, 2009

Masjid Terapung


Untuk kesekian kalinya, saya mengunjungi tempat ibadah ini, Masjid Terapung Tanjung Bunga. Dulu, saya berkunjung untuk shalat magrib bersama kawan karib, Dr Sufyan dan Dr Fauzi, setelah menyusuri jalan Batu Ferringhi yang terkenal itu. Sama dengan masjid lain, namun keunikannya ia dibangun di bibir pantai, seakan-akan sedang terapung. Kehadirannya untuk melengkapi perumbahan susun di sebelahnya yang diperuntukan untuk korban Tsunami tahun 2004. Seperti tertera di papan peresmian, ia diresmikan oleh Perdana Menteri ke-4, Abdullah Badawi pada tanggal 16 Mei 2007.

Dengan jendela dan pintu di sana-sini, angin laut berhembus. Setelah shalat, saya sempat berdiri di pagar melihat anak-anak bermain bola volley (di sana disebut tampar) di depan rumah susun. Mereka tampak riang. Malah ketika bolanya terbang jauh, jatuh ke laut, serta merta salah seorang dari mereka berlari untuk mengambilnya, tanpa memerhatikan onggokan batu yang dijadikan pagar penahan ombak. Namanya juga anak kecil. Tampak perahu ditambat oleh nelayan, tenang, karena ombak tak menghempas.

Di beberapa sudut masjid, tampak semacam gazebo, yang dilengkapi dengan kursi beton. Mungkin, inilah tempat yang mengasyikkan untuk menjaring ilham atau iseng menghabiskan waktu sore, sambil menunggu matahari yang akan tenggelam dan menyemburatkan warna jingga. Tak lama, saya pun beranjak untuk pulang, seraya membawa sepotong riang. Lagi-lagi, sepanjang jalan keriangan itu tak ilang-ilang, karena lagu-lagu lembut itu membelai ubun-ubun.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...