Mengikuti seminar ini, saya memeriksa kembali bahasa yang saya gunakan. Sebelum mengkritik orang lain, saya tentu perlu melihat kembali tulisan saya yang pernah dimuat di blog, surat kabar dan majalah. Aha, di sana saya menemukan banyak ketidaktaatasasan. Anda bagaimana? Mungkin kita pernah melakukan kesalahan serupa, namun tak menghalang kita untuk terus berusaha agar bahasa ini dirawat dengan sepenuh hati.
Tuesday, April 03, 2012
Mulia Bangsa, Tinggi Bahasa
Mengikuti seminar ini, saya memeriksa kembali bahasa yang saya gunakan. Sebelum mengkritik orang lain, saya tentu perlu melihat kembali tulisan saya yang pernah dimuat di blog, surat kabar dan majalah. Aha, di sana saya menemukan banyak ketidaktaatasasan. Anda bagaimana? Mungkin kita pernah melakukan kesalahan serupa, namun tak menghalang kita untuk terus berusaha agar bahasa ini dirawat dengan sepenuh hati.
Thursday, November 04, 2010
Titik Temu antara Proyek dan Kelestarian
Friday, October 08, 2010
Profesor Carl Ernst
Sebelum sampai ke ruangan ini, saya berjalan kaki ke banyak tempat di kampus, kantor penerbit, kantin Alumni dan baru ke Dewan Persidangan Universitas untuk mengikuti ceramah umum oleh Profesor Karl Enst yang akan mengungkap sikap Eropa dan Amerika terhadap Islam. Hampir setiap detik langkah, dada ini ditaburi angin segar dan telinga sekali-kali dipenuhi cericit burung. Matahari bersinar lembut, karena pagi baru datang. Aha, saya menjejaki lorong baru, melewati laboratorium biodiversitas, yang tembus ke penerbit. Biasanya dengan sepeda motor, saya mengambil jalan beraspal, namun dengan kaki saya bisa merasakan lebih banyak ruang yang bisa dibaui.
Tak perlu waktu lama, saya hanya menyerahkan bungkusan kepada pegawai yang bertugas di jantung kampus, dunia perbukuan. Lalu, saya beranjak pergi dengan mengambil jalan lain, sekolah bahasa, dan menuju ke kantin alumni. Niat hati ingin duduk sendirian, saya akan meneruskan pembacaan Sang Pencerah di pinggir panggung yang menghadap laut dan jurang hijau. Namun kehendak itu tak menjadi kenyataan, saya malah mendekati seorang teman yang juga duduk bersama kawannya. Kami pun ngobrol ke sana-kemari, mengusir pagi.
Setelah hampir sejam, saya pamit untuk menghadiri ceramah. Sesampai di tempat, saya berjumpa dengan banyak orang, sebagian mereka saya kenal dengan baik. Di dalam ruangan, saya memerhatikan peserta dari pelbagai latar belakang. Nah, dari perbedaan inilah, sesi tanya-jawab menggambarkan ketidaksamaan pandangan tentang Islam, Kristen dan Barat. Sementara, salah seorang dari media, Encik Kamarul menggugat profesor tentang peran media dalam menyampaikan informasi. Tentu, yang menarik dari pernyataan guru besar itu adalah tentang siapa sesungguhnya yang mempunyai kekuasaan pemujukan (a power of persuasion)? Media, intelektual atau politisi? Menurut saya, jawabannya mudah, mereka semua memiliki daya itu. Masalahnya siapa yang lebih mampu menggerakkan agar dorongan itu menjadi tindakan? Saya berpikir otoritas, dalam pengertian hermeneutik dan politik.
Saturday, August 07, 2010
Mitos Pribumi Malas
Sunday, July 26, 2009
Mengasup Sast[e]ra Melayu Nusantara
Hari Minggu sepatutnya berlibur, namun saya malah terdampar di ruangan berudara dingin untuk mendengar para pakar sastera Melayu Nusantara menemukan jawaban tentang apakah kekuasaan itu? Kemarin saya telah mengikuti sesi pertama, yang salah satu disampaikan oleh Prof Mohammad Haji Salleh bahwa konsep kuasa itu perlu didekonstruksi dengan merujuk pada pemikiran hubungan kuasa (power) dan pengetahuan (knowledge) Michel Foucault, filsuf Perancis kesohor itu.
Paparan sastrawan negara itu menggugat konsep absolute monarchy jika hanya dipahami bahwa kekuasaan itu hanya ada pada raja. Ternyata, dalam praktiknya, kekuasaan itu juga menyebar pada pembantunya, seperti bendahara, laksamana, pengarang, guru dan lain-lain. Jadi, raja bukan satu-satunya memerankan pemilik kekuasaan. Malah, ada raja yang hanya ada di atas kertas, seperti Sultan Mahmud, yang tak sempat mengurus negeri karena terlalu asyik dengan hobbinya berburu 'perempuan'. Namun, pada masa yang sama, A Rogayah Hamid menceritakan bahwa raja tak selalu digambarkan buruk, malah dalam Hikayat Upu Daeng Menambun, penguasa itu dilukiskan secara elok. Pendek kata, ada raja adil yang disembah, dan pada waktu lain, ada lalim (zalim), raja disanggah.
Jika demikian, di manakah sebenarnya kuasa raja jika dikontekstualisasikan pada masa kini? Inilah perbincangan yang memantik minat banyak peserta karena tak jarang menimbulkan masalah legitimasi, otoritas dan perubahan sistem. Namun, apa pun uraian mereka tentang konsep kuasa, ada yang mungkin perlu diketengahkan bahwa suara rakyat adalah suara Tuhan, vox populi, vox dei.
Thursday, December 25, 2008
Menumbuhkan Gairah Membaca Huruf
Kehadiran penulis novel remaja terkenal, seperti Ahadiat Akashah dan Mawar Shafe'ie, melengkapi pertemuan ini dengan protes penulis novel 'pop' yang selama ini dianggap tidak mempunyai bobot ternyata tidak beralasan. Mereka justeru mempunyai tanggungjawab moral bagaimana menanamkan nilai-nilai kebaikan pada pembacanya. Tentu, beberapa pembicara lain yang berbicara dari perspektif psikologi dan filsafat turut mengayakan pembahasan bagaimana seharusnya mewujudkan korpus sastra remaja dan tentu menyebarluaskan karya ini kepada khalayak luas.
Tentu, dukungan yang kuat dari orang nomor satu USM, Tan Sri Dato Dzulkifli Abdul Razak, dalam pidato utama (keynote speech) telah mewarnai perbicangan menjana korpus dan membinca khalayak sastra selama dua hari, 23-24 Desember 2008 di Dewan Budaya. Informasi yang kaya tentang masalah kerusakan lingkungan, krisis identitas, dan kemiskinan diharapkan menjadi data dalam penulisan novel, sehingga remaja bisa mengenal isu lebih luas, tidak hanya melulu cinta.
Friday, December 19, 2008
Menyampaikan Kritik dengan Kelakar
Pembukaan ceramah yang dibuka dengan anekdot orang Kelantan pergi ke London dan terpaksa tidak menggunakan toilet umum karena tertulis Male. Kata yang terakhir ini dalam dialek Kelantan merupakan penyebutan kata malam, sehingga yang bersangkutan berpikir bahwa toilet tersebut hanya digunakan untuk malam saja. Saya pun tergelak dan mendapatkan suguhan cara bertutur yang merangsang keterlibatan lebih jauh dengan ceramah.
Ternyata, isinya memang menyentak karena menyentuh masalah yang jarang diungkap, yaitu hubungan antara etnik di kampus, dan tentu sebagai cermin dari keadaan sosial lebih luas. Namun demikian, kritik internal itu saya lihat sebagai bentuk kecintaan beliau untuk meletakkan pondasi yang kokoh bagaimana kampus menjadi peneraju hubungan yang harmoni dan tentu ini harus diletakkan dalam sikap terbuka dan saling menjaga. Memang tidak dapat dielakkan bahwa budaya 'sate' yang beliau jelaskan menyebabkan pengurusan banyak hal terhambat karena ada sekelompok orang yang selalu mencucuk dan mengipasi keadaan.
Bagi saya, ini adalah siri yang menampilkan warna lain karena beliau menyatakan bahwa keterbukaan itu pernah dialami semasa bersekolah dan kuliah. Pendek kata, perubahan itu sebenarnya mempunyai rujukan internal yang mungkin perlu diwujudkan kembali untuk meraih kemajuan. Tahniah, Tan Sri, saya menemukan kedamaian dalam acara itu.
Thursday, December 18, 2008
Menyemai Hubungan Serumpun
Meskipun ruangan Dewan Persidangan Universiti tidak membludak karena liburan, namun partisipasi peserta dari Indonesia dan lokal cukup untuk menghadirkan perbincangan yang menarik tentang hubungan dua serumpun. Semua orang tentu mempunyai kesan berbeda, namun yang lebih penting dari itu adalah kesedian untuk berbagi gagasan dan mau duduk bersama.
Sejatinya kami mahasiswa Indonesia yang belajar di Malaysia tidak mempunyai prasangka yang berlebihan karena kami melihat begitu dekat saudara yang dulu disatukan oleh langgam kebudayaan yang sama. Malang tak dapat ditolak, kadang saudara bisa bertengkar hebat, bahkan mungkin bertikam lidah dalam arti verbal.
Namun itu tidak akan terjadi jika kita mengurai masalah dengan jernih dan keingingan untuk mengungkai perselisihan dengan kesadaran sejarah, sosial dan budaya. Identitas, dalam perspektif posmodernisme, adalah mitos. Ia berbeda dengan pandangan pra-modern yang menganggapnya stabil dan pasti. Sementara modernitas melihatnya sebagai sebuah atribut budaya yang dikonstruksi, bukan given. Di sinilah, kita akan memilih ke mana identitas itu dilekatkan.
Monday, December 15, 2008
Bersama Menulis untuk Pencerahan
Kegairahan untuk menyuburkan minat kepenulisan merupakan tujuan (matlamat) dari persatuan ini. Dari sini diharapkan lahir para penulis yang mampu menyuguhkan pencerahan. Ada banyak kegiatan yang telah dilakukan, seperti penerbitan, lokakarya, seminar, dan jumpa tokoh. Agar kiprah organisasi makin dikenal, pengurus telah melahirkan situs yang beralamat di www.karyawanpn.org [dalam konstruksi] dan sekaligus sebagai pengekalan eksistensi agar bisa mewariskan tradisi literasi. Keikutsertaan mahasiswa dari luar negara, seperti Thailand dan Indonesia, merupakan ikhtiar kerjasama serantau untuk memajukan kegiatan kepengarangan.
Sebelum aktif di organisasi ini, saya sebenarnya telah mengikuti beberapa kegiatan yang telah dihelat oleh kumpulan penulis kreatif ini, misalnya Seminar Pramoedya Ananta Toer dan Seminar Latif Mohidin, seorang seniman. Di sinilah, sebenarnya universitas yang acapkali menjadi tuan rumah untuk beberapa kegiatan telah turut mewarnai kampus yang bertema taman ini dengan gelegak sastra, sehingga keindahan itu bisa terungkap nyata.
Monday, December 01, 2008
Mengubah Keadaan dengan Kata
Tanpa kehendak untuk mengumpulkan gagasan apa yang bisa dilakukan, maka keinginan untuk berubah tidak akan terwujud. Bersamaan dengan HUT Korpri, kami menggelar seminar bertajuk Peningakatan Kualitas Manusia untuk Kejayaan Bangsa. Ada lima makalah yang ditampilkan dalam perhelatan ini, yaitu Prof Adirukmi, Pak Supri, Pak Nuh, Pak Karnadi, Pak Sugeng dan saya sendiri. Tindak lanjut dari acara ini adalah menggagas Universitas Terbuka bagi para pekerja Indonesia agar mereka mendapatkan pengalaman baru dan sekaligus jalan keluar dari rutinitas mereka. Lebih dari itu, cara ini adalah membuka potensi menjadi pekerja yang lebih terampil.
Sebagai langkah awal, ini adalah usaha cemerlang karena kami bisa duduk bersama untuk belajar. Selain itu, tentu para pekerja mendapatkan peluang untuk menyampaikan impiannya mengubah kehidupan mereka lebih baik. Kesediaan Prof Madya Adirukmi, koordinator PERMAI untuk Pendidikan, untuk memberikan kursus yang diperlukan pada masa yang akan datang tentu memberikan kesempatan emas bagi TKI untuk tidak terkungkung dengan kebiasaan selama ini.
Tuesday, October 28, 2008
Isu Ajaran Sesat di Malaysia
Bentuk ajaran Islam yang dianggap sesat di antaarnya adalah Islam Liberal dengan alasan mendukung sekulerisme, pluralisme, tafsir ulang al-Qur'an melalui hermeneutik dan usulan kitab suci edisi kritis serta feminisme. Tentu, kajian seperti ini cukup berat bagi kebanyakan peserta dari latar belakang bukan kajian keislaman, namun demikian isu-isu lain seperti aqidah, syari'ah dan tasawuf masih bisa dijangkau oleh hadirin dengan dititikberatkan pada sisi praktis.
Justeru, saya tertarik dengan gugatan dua orang peserta yagn telah merasa menjadi korban dari stigma ajaran sesat yagn dilekatkan pada kampung mereka, Kampung Seronok. Padahal, ajaran yang dimaksud, yaitu Kelompok Taslim yang diduga digagas oleh Mohammad Syafi'ie sebenarnya tidak ada, namun mereka telah menerima perlakuan diskriminasi dan hujatan. Usulan mereka agar Profesor Zakaria mengkaji ulang pandangan masyarakat tentu menjadi pelajaran bagi kita bahwa pelekatan sesat pada keyakinan sebuah kelompok bisa melahirkan kejahatan kemanusiaan, yang juga diamini oleh dekan Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Kebangsaan Malaysia ini.
Tuesday, August 05, 2008
Sejenang di Wakaf Poetika
Saya sendiri mencatat hal-hal penting berkaitan dengan sosok yang sedang dirayakan ini. Putera kelahiran Trengganu tahun 1945 ini pernah belajar teater (di Malaysia juga dikenal dengan seni lakon) di Institut Kesenian Jakarta. Malah, kalau saya dengan puisinya yang dibacakan oleh pemuisi tamu, ada beberapa bahasa Indonesia yang menyelip dan biasanya bertahun 1980-an ketika beliau tinggal di Indonesia. Karyanya tersebar di sejumlah media, seperti Utusan Malaysia, Berita Minggu, Dewan Sastera, Dewan Budaya dan lain-lain.
Untuk kedua kalinya, saya mengikuti pembacaan puisis Encik Marzuki. Secara pribadi, saya seringkali menemukan ketenangan beliau ketika menyusuri lorong dan jalan kampus, sebuah petanda bahwa memang ia adalah sosok seniman yang serius. Di pameran itu, beberapa karya puisinya dicetak dan ditempelkan di tembok musium dan bahkan ada yang digantung ke langit-langit di tengah ruangan . Ada banyak kata-kata Indonesia berhamburan, seperti sore, sekoci dan belasungkawa. Sempat terdengar seorang guru yang mengantarkan para muridnya untuk mengikuti acara ini meminta mereka untuk memotret dan mencari kata-kata asing itu di dalam kamus. Demikian pula, saya menemukan banyak kata asing, seperti bungkau dan sejenang, kata terakhir ini menjadi tema dari kegiatan ini.
Di tengah berjalan menikmati rimba kata, saya sempat berbincang dengan Prof Arnd Graft, pemuisi tamu. Kebetulan juga, pada masa yang sama, saya juga diberitahu oleh Prof Salleh Yaapar bahwa dia akan berjumpa dengan Prof Yusril, mantan sekretaris kabinet SBY, di Jakarta untuk sebuah wawancara. Menurut Graft, gaya berpuisi Marzuki Ali mempunyai kesamaan dengan Rendra. Ya, penyair Burung Merak ini memang banyak dikagumi oleh sastrawan lain, bahkan Fatimah Busu, sastrawati dan bekas dosen di USM, menyatakan secara lugas bahwa beliau menggemari Rendra. Sebelum pulang, saya sempat menyalami Encik Marzuki Ali, menyatakan selamat (tahniah) dan beliau dengan senyum tersungging menyambut gembira.
Terus terang, ketika puisi dibacakan oleh Asraf, saya merasa merinding, apalagi tiupan flute menambah ruang hening dengan bunyi. Aneh, bukan? Ada bunyi, tetapi terasa sepi. Ya, Matinya Dalang Tua, yang ditulis oleh Marzuki mewakilkan pintanya pada Kopratasa, band lokal, agar membunuh penjenayah (penjahat) yang merosakkan (merusak) budaya bangsa. Keprihatinan sang penyair benar-benar terasa. Terima kasih Encik, Anda telah menyampaikan kegundahan saya juga dan di sini ternyata kita sebagai serumpun bisa menemukan bahasa yang sama melawan ketidakadilan. Semoga!
Sunday, July 20, 2008
Merawat Indonesia melalui Wacana dan Aksi Nyata
Tema acara ini adalah Persatuan, Sebuah Keniscayaan: Antara Harapan dan Kenyataan. Sebagai nara Sumber adalah Suyatno, MA, Mahasiswa PhD Ilmu Politik Universitas Sains Malaysia. Sementara peserta dari diskusi adalah Irfan, Haswin, Yatno, Hilal, Doni, Ahmad, Cut, Gaby, Dita , Ahmad, Pangeran, Fajar dan Dede.
Perbincangan ini mengandaikan keinginan untuk menciptakan hubungan sinergi antara masyarakat kreatif dan pemerintah, yang meliputi isu penting, di antaranya keinginan untuk maju dan berubah dimiliki oleh keduanya, tidak adanya titik temu untuk saling bekerja sama, masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri dan demokrasi adalah modal penting untuk kemajuan, tapi bukan panacea (obat mujarab).
Dari mana memulai untuk mewujudkan cita-cita di atas? Jawabanya dari kita sendiri. Paling tidak dari beberapa gagasan yang sempat terlontar dalam perbincangan ini meliputi:
1. Tidak semestinya Lembaga Swadaya Masyarakat mewakili kepentingan khalayak, dengan demikian PPI mempunyai kesempatan untuk berbuat untuk kebutuhan anggota dan lebih jauh untuk Indonesia 2. Media alternatif bisa dijadikan untuk membuat masyarakat tidak mudah lupa (amnesia), seperti kenaikan BBM sengaja ditutupi dan orang disibukkan dengan kasus Front Pembela Islam dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berbangsa dan Beragama. 3. Media mainstream tidak mewakili keinginan kritis masyarakat 4. Kebersamaan organisasi atau apapun berakar pada kesamaan visi, dan kita hadir dalam kegiatan pergerakan mahasiswa karena tekad yang kuat untuk merawat keindonesiaan, sehingga perbedaan yang berakhir dengan pemisahan harus diakomodasi melalui dialog. Dari sinilah lahir otonomi. Lebih jauh, kata Mas Yatno, kontrak politik itu hakikatnya adalah pemenuhan kesejahteraan 5. Merawat Indonesia adalah merawat PPI 6. Liason Officer PPI sebagai pintu gerbang mahasiswa Indonesia mengenal USM dan diterima oleh LO untuk memulai tinggal di kampus, institusi tempat bertanya melalui website, sebagai alternatif 7. PPI bukan organisasi massa 8. Menjadi pelajar yang baik tidak harus menyelesaikan studi cepat, lama dengan catatan tidak mengganggu keuangan keluarga dan banyak melakukan kegiatan seperti diskusi, membaca dan akhirnya berpikir dan membaca yang baik, dan lebih penting membuat pilihan agar terpenuhi unsur-unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran 9. Anjuran untuk mengenal Malaysia lebih dekat dari pelbagai sudut pandang, berkaitan dengan budaya, dan sekaligus warga Negara Indonesia di sini, seperti dilakukan oleh Mas Hilal dengan advokasinya pada tenaga kerja Indoensia 10. PPI harus fokus pada usaha untuk mendapatkan hasil maksimal, rujukan survey Ahmad Farisi bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan ke depan 11. Dede mengusulkan agar PPI harus lebih memberikan perhatian pada kerja-kerja konkret dari persoalan yang muncul sebelumnya 12. Proses itu penting dalam ikhtiar mencari pengetahuan dan dengan sendirinya kita memeroleh pengalaman dan makna 13. Pandangan dikotomis, kata Irfan, harus dihindari karena menjebak kita pada pandangan hitam putih (binary distinction) 14. Mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri, seperti produk Mustika Ratu, Sari Ayu, Extra Joss (sponsor acara Sparkling), dan lain-lain 15. Ilmu sosial mengajarkan kritik dan paradigma sehingga tidak terjebak pada kebingungan karena ia segenap persoalan hakikatnya bisa dijelaskan 16. Menjelaskan Indonesia secara persuasif kepada warga Malaysia dan 17. Perbedaan tidak disikapi antipasti tetapi justeru didekati untuk menemukan persamaan Memiliki budaya dengan sendirinya mengandaikan keinginan merawat agar tidak punah.
Mungkin peserta yang lain akan menyodorkan catatan yang berbeda bagaimana merawat Indonesia agar kita bisa memahami sejauh mana warganya mengerti persatuan dan kesatuan melalui tindakan bukan sekadar jargon.
Wednesday, July 16, 2008
Becermin melalui bahasa
Kuliah ini juga diikuti dengan anugerah bahasa Melayu Universiti Sains Malaysia 2007. Untuk tahun ini, hadiah digondol oleh dosen arsitektur Prof Madya Zulkifli Hanafi. Sebelum acara ini dihelat, Abdullah Hassan memberikan kuliah selama hampir dua jam tentang pentingnya bahasa nasional dalam menunjukkan identitas atau jati diri. Di dalam buku kecil, saya mencatat beberapa hal penting, di mana saya menemukan ketakutan kita pada Barat tetapi pada sisi lain, kita tidak bisa mengelakkan diri dari cara mereka memahami realitas. Ya, di satu sisi kita khawatir bahwa globalisasi melalui penggunaan bahasa Inggeris dengan sendirinya akan membawa pandangan hidup yang khas dan akhirnya mengubah prilaku pemakainya. Namun, di sisi lain, warga Malaysia tidak bisa melepaskan dari kenyataan bahwa bahasa internasional ini telah digunakan dalam musik, film dan mungkin juga makanan. Pendek kata, bahasa mengusung budaya di mana ia bersemai.
Menengok catatan saya, pakar bahasa ini banyak merujuk pada banyak ahli filsafat dan sosiologi Barat, seperti Lock, Leibniz, yang dengan sendirinya alih-alih memperoleh jati diri, bahkan untuk memberi definisi tentang jati diri dia harus mengambil dari takrif pemikira Barat. Ini seakan-akan memerangkap kita untuk tidak bisa keluar dari tawanan Barat. Jika jadi diri berkait dengan asal usul nenek moyang, bahasa, geografi maka tidak sepenuhnya ketiga unsur ini bisa menegaskan siapa kita.
Hanya saja dalam sesi tanya jawab, saya mengajukan masalah kedekatan emosional Indonesia dan Malaysia yang dimulai pada tahun 1920-an, ketiak penggiat kiri Indonesia, Tan Malaka, Sutan Djenain, Djamaluddin Saleh bereksil ke Tanjung Malim, tepatnya Sultan Idris Training College untuk sama-sama berjuang melawan kolonialisme. Tentu perasaan senasib sepenanggungan ini lahir dari perasaan kesamaan 'bahasa', sehingga mereka bisa menemukan titik pijak yang sama menghadapi penjajah. Lalu, apakah penggunaan bahasa Inggeris dalam pelajaran sains matematik di sekolah karena pembuat kebijakan banyak berlatar belakang pendidikan bahasa Inggeris dan pada masa yang sama kaum kiri tidak mendapatkan posisi untuk juga turut mengubah cara pandang bahwa bahasa Melayu itulah yang menyuburkan jati diri sebagai bangsa.
Monday, July 14, 2008
Meraup Semangat dari Liyan
Thursday, June 19, 2008
Seri Sejarah Lisan V
Saya telah merencanakan hadir dalam acara ini satu hari sebelumnya dengan Stenly Djatah, mahasiswa PhD Filsafat. Kami berjanji untuk berangkat bareng jam 9-an dari kampus ke Taman Buku. Pada pagi harinya saya mengirimkan semacam undangan secara tersirat kepada teman-teman Indonesia untuk hadir ke acara ini.
Dengan berjalan kaki dari kampus, kami berdua berjalan ke Penerbit USM yang terletak di sebelah Pusat Bahasa. Di sana saya disambut oleh teman baik, Ainur Rahim. Malah, saya mengisi daftar hadir pada nomor pertama, termasuk juga Stenly karena dia mengisi daftar hadir yang sebelahnya. Kami pun duduk di meja tempat makan.
Tak lama kemudian, Dato' Ishak datang dengan mobil besar dan disambut oleh Prof Mohammad Salleh dan Salleh Yaapar. Kami pun masuk ke ruangan dan bersama Dr Arent Graft, dosen Sastra Bandingan dari Jerman, dan memilih deretan kursi nomor dua untuk peserta. Dua deretan kursi sofa di depannya khusus untuk petinggi atawa bangsawan. Aha, mengapa saya cemburu? Ya. Di mana-mana kita akan menemukan aturan seperti ini. Kursi kasar untuk peserta, sementara yang terbuat dari bahan lembut untuk orang penting. Masihkan kita akan berbicara kesetaraan? Belum lagi, saya harus mendengarkan ceramah panjang dari Dato'. Duh, sebuah drama yang selalu berulang.
Saya mencatat beberapa sejarah Dato' Ishak selama menjabat sebagai Naib Canselor (setingkat rektor), baik berkaitan dengan masalah akademik, pembangunan fisik, mahasiswa dan isu-isu lain yang berkaitan. Tampak, beliau yang asli kelahiran Pulau Pinang mengungkapkan kekesalannya karena politik pada masanya banyak merecoki kepemimpinannya. Sikapnya yang memegang teguh prinsip kadang berhadapan kehendak politik yang menyebalkan.
Sayangnya, memasuki sesi tanya jawab, saya menerima sms dari teman karib Melayu yang baru datang dari Indonesia. Dengan tergesa, saya pamit pada Stenly untuk pulang. Dua hal penting terlewatkan, bertanya dan makan siang gratis. Tapi, teman, bagi saya, adalah jauh lebih penting. Sayangnya, beberapa menit telepon genggamnya unreachable. Terpaksa saya membelokkan kendaraan ke Warung Jawa. Kebetulan di sana saya berjumpa dengan Aristotulus, teman baik yang lain, yang sedang makan siang dengan temannya. Lalu, saya berkenalan dengan Yunanto, mahasiswa baru asal Indonesia yang mengambil Ilmu Politik. Katanya, dia mengajar di Universitas Indonesia. Tak disangka, ternyata kenal juga dengan teman saya, Hilman Latif yang sama-sama pernah mendapatkan beasiswa Fulbright.
Selanjutnya, saya memesan es teh dan ngobrol ngalor ngidur (ke sana ke mari) tentang perkuliahan, pergerakan dan politik. Tiba-tiba, saya ditelepon En Zailani kalau kawan karib saya ini sudah sampai ke Asrama Mahasiswa Internasional. Saya kemudian mengambil es teh yang telah dipesan tadi untuk dibungkus dan sekaligus pesanan ayam pecel juga dibungkus. Dengan terburu-buru, saya pamit pulang duluan.
Sesampai di kamarnya, saya menemukan banyak oleh-oleh dari Indonesia, salak dan bika Ambon. Sambil menunggu dia ke kamar mandi, saya melihat isu Gus Dur dan Habib Rizieq (you tube). Memang betul, ketua FPI ini galak dan garang. Nadanya tak pernah rendah, selalu tinggi menyerang. Duh, beginikah Islam damai itu?
Thursday, May 29, 2008
Seri Sejarah Lisan ke-4
Di buku kecil itu saya mencoba menyerap apa yang dikisahkan oleh bekas menteri pendidikan ini. Katanya, pengabdiannya selama 13 tahun sebagai rektor adalah bukti bahwa dia diakui kapasitasnya. Keberhasilannya membawa USM dikenal di dunia dan melanjutkan warisan falsafah pendidikan rektor pertama, Hamzah Sendut adalah sumbangan yang lain. Pendekatan antardisiplin (interdiciplinary approach) dalam pendidikan sangat penting, agar tamatan universiti dalam taman ini memahami persoalan lebih holistik adalah rintisan rektor pertama yang sampai hari ini masih diabadikan.
Jika sebelumnya seri sejarah lisan dihelat di ruangan seminar Penerbit, untuk kali ini panitia sengaja memilih tempat di ruangan yang lebih luas, yaitu Dewan Persidangan Universiti. Untuk keempat kalinya saya hadir di sini. Yang terakhir adalah ketika saya mengikuti kuliah umum tasawuf oleh James Morris, dosen di Universitas Boston. Selain itu, acara ini juga banyak diikuti oleh para dosen, berbeda dengan sebelumnya yang kebanyakan diikuti oleh para staf. Sesuatu yang jarang terjadi di Indonesia, pegawai tata usaha mengikuti seminar.
Sayangnya, mahasiswa Indonesia tak ada yang hadir. Padahal saya telah mengirimkan informasi di atas lewat email dan yahoo messenger. Mungkin, kiriman ini agak mendadak karena dikirim pagi hari sebelum acara ini dimulai pada jam 9. Tapi, respons dari Mbak Muthia bahwa saya diharapkan untuk membuat semacam laporan di milis adalah satu permintaan yang menantang. Dalam bentuk feature, ikhtisar ini akan lebih mudah untuk dibaca oleh mahasiswa.
Friday, May 23, 2008
Menulis di Jurnal adalah Eksistensi Saya
Karena berjubel, banyak peserta yang duduk di antara lorong kursi kelas Dewan Kuliah C Fakultas Ilmu Huma. Uniknya, banyak dosen USM yang ikut serta , dan juga mahasiswa asing, Arab dan Indonesia. Saya melihat beberapa di antaranya seperti Yudhi, Boni, dan Deddy. Tapi, sayangnya Badrun tak keliatan batang hidupnya, padahal sebelumnya kami telah merencanakan untuk menghadiri acara penting ini. Mungkin, dia kecapean setelah pagi sebelumnya begadang nonton pertandingan sepak bola piala Champion antara Manchester United dan Chelsea.
Saya mencatat banyak masukan dari paparan pakar lingkungan dan sekaligus angota penasehat SCOPUS ini, di antaranya mengenai etika publikasi (baca lebih jauh dalam situs yang dia berikan http://publicationethics.org.uk/):
1. Authorship - significant contribution
2. Conflict of interest
3. Prior Publication duplication, website and conference publication
4. Multiple submission
5. Referencing
6. Plagiarism
7. Referee Suggestion
Dengan gaya kocak, sang profesor menjelaskan bagaimana membuat abstrak, kata kunci, pembahasan (discussion), dan kesimpulan. Katanya, kesimpulan itu berbeda dengan abstrak. Oleh karena itu, dilarang keras menyalin abstrak menjadi kesimpulan. Selain itu, kesimpulan bukanlah sebuah ulasan, apatah lagi kesimpulan, tidak mempunyai rujukan, dan tidak memperkenalkan materi baru.
Dari pengajaran singkat ini, saya telah merencanakan untuk menulis sebuah artikel di Jurnal Islamic Quarterly, jurnal bulanan dalam bidang Kajian Keislaman dari Inggeris, yang acapkali juga diisi oleh para dosen di Departemen Kajian dan Peradaban Islam, Universitas Sains Malaysia (USM), seperti Dr. Zailan Moris - pembimbing disertasi saya, Dr. Ratna dan Dr. Jasni Sulong. Malah, adalam sebuah kesempatan Dr Ratna meminta saya mengirimkan tulisan. Ya, dosen taman psikologi Universitas Inggeris ini adalah salah seorang penulis produktif, baik di surat kabar maupun jurnal.
Terus terang, saya sangat salut dengan kerelaan dosen-dosen yang masih menyempatkan hadir dalam acara seminar semacam ini. Tidak itu saja, malah seorang profesor yang bergelar Dato', Mohammad Salleh Yaapar, masih bersedia duduk berdesakan mendengarkan ceramah. Saya juga melihat Prof Madya Arnd Graft, dosen Sastra Bandingan asal Jerman, juga tekun mendengarkan kuliah. Hampir secara umum, penanya pada sesi tanya jawab adalah para dosen di lingkungan USM. Saya tidak sempat mengikutinya hingga selesai karena harus menemui Puan Shima, staf bagian pengurusan visa mahasiswa, untuk menanyakan izin untuk mendapatkan single entry visa dari Imigrasi Malaysia.
Pemurnian
Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...