Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Wisata Makan. Show all posts
Showing posts with label Wisata Makan. Show all posts

Thursday, April 04, 2013

Makanan atau Bacaan

Kalau kita lapar, masihkah kita memilih bacaan? Muhyidin M Dahlan, kerani IBoekoe,  lebih memilih yang pertama dengan membelikan uang yang ada di kantong untuk sebuah buku, malah kadang kehabisan uang karena lebih senang memburu kitab pengetahuan. Tak semua orang bisa melakukan hal ini, termasuk saya.

Tentu, Muhyidin tidak sedang mengabaikan tubuh, tetapi dia sadar bahwa makanan rohani, bacaan, itu jauh lebih penting dirawat daripada menghabiskan waktu dengan wisata kuliner di sekujur tubuh negeri. Tapi, bukankah yang terakhir adalah semacam kesenangan banyak orang untuk menunjukkan kecintaan pada makanan tradisional, seperti yang sering ditulis oleh Anas Urbaningrum, mantan ketua umum Partai Demokrat, dalam akun Twitternya?

Bagaimanapun, kita tidak ingin terperangkap pada pilihan yang ekstrim. Dua dimensi hidup ini, jiwa dan raga, mempunyai keperluaan masing-masing yang harus dipenuhi. Setelah sarapan, kita akan mengisi pikiran, perasaan dan batin kita dengan asupan yang bukan material. Untuk itu, hari ini saya menyusuri buku Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa: Peralihan dari Majapahit ke Mataram oleh Dr H J De Graaf dan Dr TH G TH Pigeud, edisi terjemahan. Di sini, saya ternyata bisa menelusuri asal-muasal nenek moyang saya, yang berpaut dengan banyak cerita, kisah, dongeng dan mitos. Hakikatnya, asupan jiwa itu luas, dan kadang buas. 

Saturday, September 29, 2012

Sore dan Sate


Sore sesudah hujan, kepulan asap sate di depan Masjid al-Shahab mengundang selera. Seminggu sebelumnya, kami berhasrat untuk mencoba menikmati sate. Dengan hanya berbekal gerobak, kipas, dan arang kayu si penjual menggelar menu berupa ketupat, timun dan bawang merah. Harga setusuk sate tak mahal. Kami pun duduk menunggu seraya menikmati minuman yang dibeli dari penjual yang lain. Dengan berbagi, mereka bisa mengaut keuntungan. Tak lama kemudian, sepiring sate datang, hinggap di meja. Bau daging terbakar menyengat hidung. Lalu, 15 tusuk berpindah ke perut. Karena mendekati azan Maghrib, kami pun bergegas untuk beranjak pulang sambil membawa sisa sate. Dengan ramah wanita setengah baya, pemilik warung itu, bertanya, "Nak dibungkus ke?" Isteri pun mengangguk.

Setelah makan, pengunjung warung makan bisa berjamaah di sini. Masjid tersebut menyediakan lahan parkir yang luas dan fasilitas lain yang memadai, seperti wifi, ruang pertemuan, toko pakaian dan dobi atau penatu. Mungkin, mereka bisa bersembahyang lebih dahulu baru berkunjung ke kedai makan yang tak hanya menyediakan sate, tetapi juga makanan dan kudapan yang lain. Kehadiran dua tempat yang berbeda, beribadah dan makan, dalam satu kawasan tampak elok. Masjid itu tak menampik kegiatan lain, karena hakikatnya ia hadir agar manusia bisa hidup dengan nyaman.

Sebenarnya saya juga menemukan pemandangan serupa dengan masjid al-Muttaqin, yang paling dekat dengan rumah. Di sekitar masjid, warung makan bertebaran. Bahkan, dalam jarak beberapa meter, terdapat lokasi pasar malam yang selalu disemuti oleh orang ramai setiap hari Kamis sore. Menjelang malam, kita bisa mereguk banyak kesenangan. Namun, siapa pun tahu bahwa makan itu hanya menghabiskan waktu tak lama. Selanjutnya, manusia akan mengasup keperluan batin dalam waktu yang tak terbatas. Marilah bersembahyang, Marilah raih kebahagiaan! 

Friday, December 09, 2011

Kocor dan Masa Kecil

Untuk ketiga kalinya, saya mengambil kudapan kocor, kue berwarna coklat yang dibuat dari adonan tepung dan campuran gula Jawa atau Melaka. Pertama kali,ketika menemukannya di kantin kampus di bulan November, saya ingin melonjak karena kegirangan. Kalau tidak dilakukan, tidak berarti saya tak merasa gembira, namun tak elok berteriak di tengah orang ramai yang sedang menikmati makan. Ditemani surat kabar, saya menggigit kocor dengan nikmat.

Mengapa kocor begitu nikmat dan istimewa? Karena ia menyeret saya ke masa lalu, masa kecil di kampung halaman. Ia tak bisa dibandingkan dengan burger McDonald, karena yang terakhir ini dulu tak pernah hadir di lidah. Lagipula, kocor hanya hadir pada waktu tertentu, tidak setiap hari. Sekali waktu, ibu membawanya dari kenduri perkawinan tetangga. Di lain waktu, kami menikmatinya di perayaan Maulid Nabi. Lalu, perlukan saya menyebut bahwa kesukaan ini adalah nostalgia yang perlu dirayakan? Tak sama dengan panganan dari luar, kocor adalah wujud dari falsafah lokal, oleh karena itu ia harus diselitkan dalam bungkusan kue-muih sebagai bawaan pulang dari kenduri kawin.

Tapi, pernahkan kita mau menjadikannya setara dengan burger? Misalnya, ia disajikan di Mal yang berdinding kaca dengan gerai berjenama Kedai Tradisi. Apakah penolakan terhadap barang luar mencerminkan kecintaan pada milik sendiri ketika batas-batas keduanya luruh? Namun, saya yakin, kenyataan ini bisa diurai. Diam-diam, kita tak percaya diri bahwa milik kita sejajar dengan kegagahan makanan 'asing' dengan menyergah, sudah bukan masanya lagi kita berbicara batas. Sememangnya, siapakah yang mempunyai kuasa untuk menyatakan itu lebih baik dan sesuai denga kita?

Hanya pada saya, kocor itu jauh lebih menendang daripada burger di lidah. Terus terang, ketika saya menikmati burger di McDonald, saya senantiasa terbayang bacaan Fast Food Nation (Eric Schlosser, 2011) yang menyebutnya sebagai makanan sampah. Sementara kocor mengantarkan pada kenyamanan, karena ia adalah keriangan semata-mata. Selera itu tak lagi subjektif, tetapi memiliki cerita, yang kata Pierre Bordieau, sosiolog Perancis, habitus.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...