Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Politik Ekonomi. Show all posts
Showing posts with label Politik Ekonomi. Show all posts

Wednesday, February 19, 2014

Pesona Pewarta Gaek

A Kadir Jasin, wartawan kawakan, memberikan ceramah di kampus dalam rangka memperingati 30 tahun UUM. Meskipun mantan pemimpin redaksi Berita Harian ini berbicara di 'Fakultas Ekonomi', namun tajuk perbincangan Ekonomi dan Politik tentu akan menyeret rekan-rekan dari fakultas lain.

Sebagai orang yang berkecimpung dalam dunia persuratkabaran, lelaki yang lahir di Kedah ini memiliki segudang informasi tentang banyak isu. Namun, jauh lebih penting dari sekadar melahap maklumat, peserta menikmati kelakar, tafsiran dan tentu sikapnya terhadap petinggi negeri. Angka-angka dalam grafis yang disodorkan terkait jumlah penduduk (1911-1957) dan pendapatan rumah tangga (isi rumah) antara etnik (1957-1970) menjadi pijakan awal untuk memahami isu yang disampaikan.

Alamak! Dalam sebuah sesi tanya-jawab, salah seorang peserta minta maaf karena mengajukan sebuah pertanyaan yang terkait politik praktis. Tentu, ini bisa dipahami karena Pak Kadir adalah penulis blog The Scribe yang acapkali mengurai gejolak politik dan mendapat perhatian khalayak ramai. Ternyata, di dalam ruangan berhawa dingin, politik itu bukan hanya "hingar-bingar", tetapi juga perenungan, atau kontemplasi dalam bahasa Aristoteles. Dengan jawaban lugas, peserta tahu bahwa sosok yang begitu banyak mengenal orang penting di seantero negeri telah mengambil posisi, sesuatu yang wajar apabila ide itu akhirnya mesti menjelma tindakan

Friday, May 31, 2013

Olahraga, Ekonomi dan Moralitas

Donald J Trump dan Robert T Kiyosaki memandang penting olahraga dalam membentuk kepribadian seseorang. Saya bersetuju, tetapi tidak berpandangan sama dalam kaitannya dengan pandangan ekonomi kedua jutawan ini (baca: Why We Want You To Be Rich, dalam edisi Bahasa Melayu, Selangor: PTS, 2012).

Manusia memang harus kaya. Tetapi kalau rumusannya 90% versus 10%, saya melihat ini adalah proporsi yang tidak adil. Apatah lagi, keduanya menempatkan 1% orang adikaya itu sebagai pencapaian yang perlu dirayakan. Bayangkan! Dengan kaya, kata salah satu di antara mereka, saya tak perlu antri naik pesawat. Bukankah ini menunjukkan ia enggan menjadi bagian dari 'keramaian', sementara pada waktu yang sama ia ingin selalu dipuja-puja oleh khalayak dengan seminar keuangan dan wirausaha

Kekayaan manusia harus menimbang kelestarian alam dan kesejahteraan sesama. Jika sebuah sistem mengingkari hal ini tatanan dunia akan goncang. Apalah artinya uang jika si kaya merasa senang sementara ada ratusan juta orang yang kelaparan, tak bisa mendapatkan air bersih dan sulit untuk merawat tubuhnya dari penyakit. Penumpukan kekayaan itu tak baik dan logis meskipun pemiliknya berderma atau menghamburkan sedikit uangnya untuk amal, tanggungjawab sosial perusahaan, dan bantuan-bantuan lain. Akhirnya, pandangan Gandhi mungkin perlu disimak bahwa bumi telah menyediakan cukup, tetapi tidak bagi manusia yang tamak. 

Thursday, April 12, 2012

Monday, January 23, 2012

Ekonomi Tumbuh, Tapi Terbit Keluh

Ekonomi Republik tak goyah akibat hantaman krisis, tumbuh dan kukuh. Tentu, kita harus tabik pada pemerintah. Tak semestinya kita terus-menerus menempelak mereka yang berkuasa karena tidak memenuhi harapan orang ramai. Hanya saja, kritik kita pada SBY dan jamaah menteri adalah wujud dari kegeraman, mengapa amanah yang diberikan kepada mereka tak sepenuhnya membuat mereka yakin untuk melangkah lebih jauh.

Wednesday, April 27, 2011

Memikirkan Tembakau

Mendung menghalangi kita untuk membaca iklan tersebut dengan jelas. Tentu, kamera telepon genggam dengan kekuatan 1.3 megapixel tak bisa menembus kegelapan. Seruan yang ada di papan itu adalah permohonan terhadap warga untuk tidak menghasilkan olahan berbahan tembakau tanpa izin. Ya, belakangan ini, kita banyak menemukan rokok tanpa cukai, yang di daerah ini dikenal dengan durnoan. Dengan tegas, pihak berkuasa memasang papan iklan besar untuk menakut-nakuti warga dengan sangsi hukum. Ujung-ujungnya, hanya perusahaan besar bisa menangguk keuntungan dari niaga ini, sementara pemodal kecil menggigit jari.

Papan iklan itu berdiri kokoh di pasar kecamatan, tak jauh dari rumah saya. Kita tentu mendukung usaha pejabat setempat untuk menenggakkan aturan. Namun pada waktu yang sama, pemangku kepentingan juga memikirkan nasib petani, yang hingga kini seringkali tak membawa hasil karena tata niaga tanaman ini yang tidak menguntungkan mereka. Belum lagi, perubahan iklim telah memorak-porandakan jadual tanam. Sejatinya, petani tembakau hanya menjadi sapi perahan dari pabrikan besar, sebab gudang-gudang perusahaan hanya membeli tembakau dalam rentang waktu singkat, lalu setelah itu harga bahan rokok ini jatuh menjunam. Alasan lama, stok sudah cukup dan gudang penuh.

Nah, menjelang musim tanam di bulan Mei, kita berharap anggota wakil rakyat daerah dan pemerintah menyelesaikan ihwal di atas agar petani kita tidak selalu menjual tembakau murah dan membeli rokok berizin dengan harga mahal. Lebih celaka lagi, ketika mereka harus membayar mahal cukai rokok, hasil pajak itu ditilap pegawai yang mengurusnya. Lebih jauh, kita harus mendorong usaha bersama mengurangi ketergantungan warga terhadap asap rokok agar mereka sehat dan petani tak selalu menanggung rugi.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...