Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Islamic Issues. Show all posts
Showing posts with label Islamic Issues. Show all posts

Friday, November 28, 2008

Siapa Melecehkan Agama?

Sumber Suara Merdeka, 28 November 2008

PELECEHAN terhadap agama Islam terus berlangsung di muka bumi ini. Yang terbaru adalah penayangan kartun yang amat melecehkan Nabi Muhammad SAW pada blog apotuak.wordpress. com dan kebohongandariislam .wordpress. com. Pada waktu hampir bersamaan, muncul pula berita mengenai rencana peluncuran produk game Sony, meski akhirnya ditunda.

Peluncuran game komputer PS3 bertajuk Little Big Planet ini ditunda, karena ada kutipan ayat Alquran berikut ini: ”Kullu nafsin dzaiqatul maut" (setiap yang bernyawa pasti mati—Red). Tindakan cepat manajemen Sony tentu patut diapresiasi, karena bisa menghindari respons emosional dari umat Islam.

Apabila ini dianggap keberhasilan umat Islam menjaga agamanya, mungkin kita hanya perlu menganggukkan kepala pelan. Kita tidak perlu terlalu bergairah menyambutnya sebagai kemenangan, karena ternyata banyak pelecehan lain yang kurang diperhatikan justru oleh kaum muslim sendiri teradap ajarannya. Nampaknya sebagian umat Islam telah mengalami pandangan miopik dalam merawat agama.

Jika mau konsisten menjaga Alquran, setiap muslim justru merasa terhina karena nilai-nilai kitab suci ini diinjak-injak sendiri oleh penganutnya, seperti kealpaan menjaga kesejahteraan manusia dan kelestarian alam.

Kemiskinan yang menjerat dan kerusakan alam yang meruyak adalah contoh nyata betapa kita telah mengabaikan perintah Alquran untuk menegakkan etika sosial sebagai pesan utama kitab suci dan tidak merusak alam karena melanggar titah Tuhan.

Salah Kaprah

Pernyataan umum yang kerapkali didengar adalah bahwa kekafiran itu selalu hanya dikaitkan dengan kelompok di luar Islam. Padahal pengertian kafir (kufr) di dalam Alquran mempunyai sejarah semantik yang panjang, yang tidak dapat diringkas hanya melalui pernyataan pendek dan bombastis, apalagi dalam pengertian tunggal seperti di atas.

Kata kafir sebenarnya juga menempalak muslim yang mengabaikan kelestarian alam dan tidak pandai bersyukur. Yang terakhir ini tak hanya diwujudkan pernyataan verbal, misalnya ucapan alhamdulillah, tetapi juga dibarengi dengan peduli terhadap penderitaan orang lain. Jika perusak alam bisa dikategorikan sebagai perbuatan kafir, mengapa muslim gagal mengangkat masalah pembalakan liar sebagai pelecehan terhadap agama?

Mengapa pembela Islam bungkam terhadap pelaku penggundulan hutan yang jelas-jelas telah menginjak kandungan kitab suci yang terang-terang telah diterakan, sementara penyisipan Alquran dalam permainan game dianggap pelecehan dan kita telah merasa lega karena menganggap telah menunaikan misi suci?

Demikian pula, perintah kitab suci yang diulang-ulang agar kesalihan pribadi berjalan seiring dengan kesalihan sosial, ternyata gagal diwujudkan dalam dunia nyata. Para penganutnya lebih mudah melihat ketundukan pada agama dalam bentuk ibadah ritual, misalnya shalat. Sementara kepedulian terhadap nasib manusia sering dikucilkan.

Pernyataan dalam hadits bahwa seseorang muslim yang kekenyangan dan membiarkan tetangga kelaparan maka rahmat Allah akan ditarik, tentu pesan yang juga menegaskan betapa sebenarnya kita luput memerhatikan pesan agama yang penting untuk diutamakan itu.

Hampir semua orang lebih mengedepankan pembelaan simbolik yang abstrak. Celakanya, terkadang para sarjana dan para elitenya juga mendukung, sekadar untuk mendapatkan dukungan politik. Di sinilah perlunya komunitas baru yang tidak lagi terpukau dengan perayaan simbol keagamaan semata-mata. Betapa pun penting simbol itu, namun terkadang isinya gerowong, jika ia semata-mata teriakan tanpa tindakan nyata.

Kesadaran Baru

Sebenarnya kehendak untuk melahirkan sebuah komunitas baru untuk melahirkan masyarakat yang lebih mementingkan pesan agama yang substil telah diyakini banyak orang. Mereka yang peduli terhadap pengutamaan terhadap undang-undang agama sejatinya sedang berikhtiar untuk menjaga kepentingan kemanusiaan, meliputi agama, akal, kehidupan, keturunan, dan harta.

Jadi, seharusnya tugas keagamaan memberi perhatian utama pada pemerataan pendidikan, akses kesehatan dan ekonomi, serta partisipasi publik untuk mengoreksi mereka yang diberi amanah berkuasa.

Kegagalan orang Islam, termasuk yang duduk di lembaga legislatif, untuk mendorong negara melindungi masyarakat korban lumpur di Porong, Sidoarjo, adalah contoh paling nyata dari kesilapan kita dalam memahami agama. Sebab perusak alam —bahkan penyebab kesengsaraan manusia— inilah sebenarnya yang telah melecehkan agama. Hampir-hampir kita bungkam untuk mengaitkan perilaku semacam ini sebagai pelanggaran nilai-nilai religiusitas. Sebuah kealpaan yang telah begitu mendalam menghinggapi umat beragama di Indonesia.

Demikian pula pengabaian terhadap nasib jutaan orang yang terbelit kemiskinan. Para pemimpinnya tak mampu mengelola kekayaan negara, namun diberi penghormatan sebagai ”penjaga agama” dengan mendapat tempat di barisan terdepan dalam setiap perayaan keagamaan, seperti Maulid Nabi dan Nuzulul Quran, bahkan disiarkan langsung di televisi.
Sebenarnya acara ini mempertontonkan kegagalan kita dalam menempatkan sesuatu secara proporsional, yang pernah disebut Nabi Muhammad sebagai ekspresi kezaliman.

Acara kenegaraan yang berbiaya mahal dan dihadiri para pemimpin yang selalu datang dengan mobil mewah itu jelas-jelas menohok kenyataan masyarakat kebanyakan yang hidup miskin dan papa. Tetapi media televisi mengemas perayaan ini sebagai kepedulian terhadap syiar agama, yang pada masa Rasulullah justru tidak pernah dirayakan.

Muhammad dan Umar ibn Khattab sebagai pemimpin membawakan diri sebagai sosok sederhana. Ini seharusnya mempermalukan para elite sekarang yang menjajakan agama ke mana-mana, namun pada masa yang sama melawan sosok yang patut diteladaninya (Rasulullah—Red) . Sejatinya, kegagalan negara melindungi rakyat ini mestinya mendorong kelompok keagamaan untuk menjadi perantara kesejahteraan rakyat, tanpa harus bergantung kepada negara.

Sayangnya, saat ini banyak organisasi keagamaan yang terlalu asyik dengan kasak kusuk politik kekuasaan. Sudah saatnya organisasi seperti ini mengajarkan agama tidak lagi sebagai barang murah yang ”dijual” di atas panggung dan diteriakkan di pinggir jalan. Lalu, kita berada pada komunitas yang mana? (32)

—Ahmad Sahidah, kandidat doktor Kajian Peradaban Islam pada Universitas Sains Malaysia.

Tuesday, October 28, 2008

Isu Ajaran Sesat di Malaysia

Saya telah mencatat di jadual kegiatan tentang ceramah mengenai isu-isu ajaran sesat yang diselenggarakan oleh Pusat Kajian Sains dan Filsafat Islam kampus. Hari ini, 28 Oktober 2008, saya memenuhi undangan umum ini di ruang Dewan Persidangan Universiti, dekat kantor rektorat. Profesor Zakaria Stapa mengurai beberapa isu penting berkaitan dengan persoalan ajaran yang menyimpang di dalam Islam.

Bentuk ajaran Islam yang dianggap sesat di antaarnya adalah Islam Liberal dengan alasan mendukung sekulerisme, pluralisme, tafsir ulang al-Qur'an melalui hermeneutik dan usulan kitab suci edisi kritis serta feminisme. Tentu, kajian seperti ini cukup berat bagi kebanyakan peserta dari latar belakang bukan kajian keislaman, namun demikian isu-isu lain seperti aqidah, syari'ah dan tasawuf masih bisa dijangkau oleh hadirin dengan dititikberatkan pada sisi praktis.

Justeru, saya tertarik dengan gugatan dua orang peserta yagn telah merasa menjadi korban dari stigma ajaran sesat yagn dilekatkan pada kampung mereka, Kampung Seronok. Padahal, ajaran yang dimaksud, yaitu Kelompok Taslim yang diduga digagas oleh Mohammad Syafi'ie sebenarnya tidak ada, namun mereka telah menerima perlakuan diskriminasi dan hujatan. Usulan mereka agar Profesor Zakaria mengkaji ulang pandangan masyarakat tentu menjadi pelajaran bagi kita bahwa pelekatan sesat pada keyakinan sebuah kelompok bisa melahirkan kejahatan kemanusiaan, yang juga diamini oleh dekan Fakultas Ilmu Keislaman Universitas Kebangsaan Malaysia ini.

Friday, October 24, 2008

Agama, Simbol, dan Tindakan

Suara Merdeka, 24 Oktober 2008
  • Oleh Ahmad Sahidah
DI Indonesia, ajaran Islam berjalin kelindan dengan kepercayaan lokal. Sebab sebelum datangnya agama dari Arab, penduduk di Nusantara telah menganut kepercayaan dan agama tertentu. Tetapi dengan pemanfaatan pesan keagamaan itu, yang juga bercorak esoterik, Islam tidak menemukan kesulitan untuk diterima dan diamalkan oleh penduduk lokal.

Namun, kenyataan itu terkadang dianggap sinkretik, dan para pembaharu berupaya untuk menampilkan kembali agama Islam yang murni. Sementara pada masa yang sama, tindakan religius tidak akan ada tanpa ekspresi-ekspresi simbolik, sebagaimana dikatakan oleh Louis Dupre dalam Religious Mystery and Rational Reflection: Excursions in the Phenomenology and Philosophy of Religion (1998: 7).

Meskipun Schleimacher muda menyatakan ide agama sebagai sebuah perasaan batin murni dan terlepas dari ekspresi simboliknya, namun para fenomenolog menganggap ekspresi lahiriah —seperti doa dan pengorbanan bersama— sebagai aktivitas komunal yang sangat penting bagi tindakan religius. Menurut mereka, tindakan menuju kepada yang transenden (dan tidak bisa diekspresikan secara langsung) mensyaratkan keberadaan sebuah representasi simbolik secara konkret.

Bagi saya, pendapat Schleirmacher lebih cocok pada kalangan orang terpelajar yang mempunyai kemampuan tafakur sehingga mampu menghadirkan Ilahi dalam kesadarannya. Sementara itu, orang kebanyakan masih terpaku pada bentuk ritual simbolik untuk mengikat mereka dalam praktik keagamaan.

Pendek kata, instrumen tersebut tetap diperlukan dalam tindakan komunal. Dengan demikian, mereka yang memahami kerumitan isu esoterik dan eksoterik perlu berhati-hati dalam menggagas tentang tafsir baru terhadap dunia keberagamaan.

Sesat Pikir

Dalam kajian Toshihiko Izutsu, sarjana Jepang dalam kajian Islam, Alquran tidak membuang kepercayaan orang Arab pra-Islam, seperti Tuhan kitab dan akhirat, tetapi memberikan makna baru terhadapnya, baik dalam medan makna maupun perhatian tertinggi (the ultimate concern) dari istilah terkait. Jika sebelumnya kata-kata kunci itu berhubungan dengan hal material, di dalam kitab suci istilah-istilah tersebut melampaui hal ihwal bendawi dan diarahkan kepada kekuasaan Allah. Dengan sendirinya, ia memunculkan pandangan dunia baru.

Karena itu tidak heran, jika pembaharu muslim tidak mengadopsi budaya Arab, seperti berpakaian, untuk mengekspresikan keagamaannya. Namun, malangnya, ketika menolak ekspresi lahir Timur Tengah, kaum reformis lebih nyaman dengan tata berbusana Barat, sementara itu kaum tradisional dengan tradisi ”Jawa”. Celakanya, yang terakhir itu juga merasa nyaman dengan pola ekspresi Barat.

Sekarang, tampak bahwa hal-hal berbau Arab telah diidentikkan dengan kecenderungan eksklusif dan tidak elok, sementara itu simbol budaya Jawa yang sebenarnya warna lain dari India tidak dipersoalkan. Seakan-akan ia adalah self evident sebagai identitas. Mungkin hal itu tidak bisa dilepaskan dari rezim Soeharto yang sebelumnya menyodorkan dunia sanskrit Jawa sebagai ekspresi simbolik dalam hubungan sosial dan politik, dan telah begitu dalam memengaruhi alam bawah sadar masyarakat, termasuk sarjananya.

Implikasi Simbol

Islam berkaitan dengan dimensi spiritual dan sosial adalah postulat lama yang diyakini oleh banyak orang, meskipun dalam matra politik kaum muslim terbelah. Jika Islam keindonesiaan ditafsirkan sebagai perwujudan kebudayaan lokal, seharusnya penampilan kebudayaan dan berpakaiannya mencerminkan penampilan setempat; selain menunjukkan konsistensi, juga menunjukkan kepercayaan diri. Selain itu, hal tersebut memiliki pesan moral bahwa kita harus berdiri di kaki sendiri.

Keengganan kita membawa kebudayaan lokal ke ranah publik karena pencitraan bahwa di dalam acara resmi kita lebih keren menggunakan jas dan dasi. Sebuah sesat pikir yang dianut banyak orang. Celakanya, batik dipinggirkan dan hanya digunakan untuk acara perkawinan, sehingga penggunaan produk lokal itu tidak diapresiasi oleh orang ramai karena tidak dijadikan pakaian sehari-hari, baik dalam acara formal maupu nonformal.

Pada sebuah kesempatan, seorang anggota DPR tanpa malu menggunakan jas dan dasi ketika mengunjungi korban bencana alam, padahal cuaca panas. Sebagai pengusung Islam kebangsaan, apa sebenarnya yang ada di benaknya tentang dunia simbolik dan implikasinya kepada kehidupan lebih luas?

Baju koko, sarung, dan kopiah, telah menjadi ciri khas pakaian muslim yang seharusnya dilihat tidak semata-mata sebagai warisan tradisi, tetapi sekaligus ekspresi lokal yang mengandaikan kepercayaan terhadap kebudayaan sendiri.

Lebih dari itu, masyarakat luas menghargai produk lokal untuk mendorong produktivitas, dan bukannya sikap konsumeristik yang bergantung kepada barang dan merek (jenama) luar. Sayangnya, para pemimpin kita dan anak-anaknya tidak menunjukkan teladan dengan memamerkan mobil produk luar, berbeda dari elite negara tetangga yang menggunakan proton —produk otomotif lokal— dalam acara resmi mereka.

Jika simbol yang ditunjukkan sebagai muslim merupakan karya kreatif bangsa sendiri, maka tindakan-tindakan lain berkaitan dengan selera, preferensi, dan pencitraan, sejauh mungkin mencerminkan identitas sendiri, tanpa kemudian menjadi sosok chauvinistik apatah lagi antimanusia asing (homofobia).

Malahan itu lebih didorong untuk menolong diri dan masyarakatnya, bagaimana menerjemahkan simbol (iman) dan tindakan (amal) yang bisa mengangkat jatidiri sekaligus membantu ekonomi masyarakatnya. Saya yakin, itulah yang menjadikan kita sebagai orang beragama yang sejati. (32)

–– Ahmad Sahidah, kandidat doktor Departemen Filsafat dan Peradaban pada Universitas Sains Malaysia.

Tuesday, June 20, 2006

Titik Temu Islam dan Barat, mungkinkah?

Hari ini, PBNU menyelenggarkan ICIS II untuk menjembatani Islam dan Barat.
Mungkinkan Barat bisa memahami Islam dengan baik? Jika ukurannya adalah perspektif mereka bahwa ada pemisahan agama dan negara? Jika teori yang mereka gunakan adalah pembangunan dan hubungan internasional tidak mempertimbangkan agama sebagai varibel penting untuk analisis politik. Pemisahan agama dan politik mengabaikan fakta bahwa kebanyakan tradisi agama ditegakkan dan dikembangkan dalam konteks sejarah, politik, sosial dan ekonomi. Doktrin dan hukum-hukum mereka dikondisikan oleh konteks-konteks ini (John L Esposito, 'Islam dan Barat: Konsep-Konsep Peradaban, dalam Dialektika Peradaban: Modernisme Politik dan Budaya di Akhir Abd ke-20 (Yogyakarta: Qalam Press, 2003), hlm. 139.
Menurut Esposito, kecenderungan Pasca-Pencerahan untuk mendefinisikan agama sebagai sebuah sistem kepercayaan (terbatas pada kehidupan personal dan pribadi), bukan sebagai sebuah pandangan hidup, sesungguhnya telah menghambat kemampuan kita untuk memahami hakikat dari Islam dan agama-agama dunia yang lain. Secara dangkal, kecenderungan ini telah menggolongkan agama, melakukan kekerasan pada hakikatnya, dan memaksankan konsepsi tradisi agama yang statis, konkret, bukan menyampaikan dinamika batinnya.
Kritik Esposito adalah

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...