Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label PPI. Show all posts
Showing posts with label PPI. Show all posts

Friday, May 21, 2010

Menjelang Esok


Pengurus Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia memanfaatkan email mailist list dan facebook untuk mengabarkan acara mingguan, pengajian di Masjid Khalid. Untuk Sabtu besok, giliran mahasiswa PhD bidang industri makanan, Herpandi Gumay, menyampaikan ceramah, yang berkisar tentang makanan halal. Saya pun tak sabar untuk mendengarkan pria kelahirkan Palembang ini mengurai tentang asupan yang sehat. Sebelumnya, kami sempat ngobrol tentang radikal bebas dalam proses pemakanan.

Sunday, May 09, 2010

Malam Ahad


Semalam, kami datang beramai-ramai ke konsulat untuk menghadiri acara temu-ramah dengan Pak Moenir, konsul, yang sebentar lagi akan mengakhiri masa tugasnya. Tak hanya mahasiswa, perwakilan kampus Universiti Sains Malaysia, Encik Marimuthu dan Prof Mohd Yusoff, juga hadir. Ketiga orang ini pun memberikan sambutan. Saya pun sibuk mencatat apa yang mereka uraikan. Ada banyak kata kunci, seperti prestasi, kinerja, terobosan, gambar besar, dan mahasiswa.

Di sela rangkaian acara, Persatuan Pelajar Indonesia memberikan cendera mata pada Pak Moenir. Mas Herpandi berujar bahwa hadiah itu adalah bentuk ungkapan keikhlasan mahasiswa terhadap alumnus Universitas Diponegoro ini. Nilainya mungkin tak seberapa, tambahnya sebagai pembawa acara. Hadirin pun tak bisa menahan tawa. Selain kado itu, seorang mahasiswa juga menyerahkan program tahunan PPI USM, sebagai bentuk ikatan. Bagaimanapun, peran konsulat sangat besar dalam keberlangsungan kegiatan organisasi yang berdiri tahun 1993 tersebut.

Acara ini pun usai. Seluruh tamu diminta untuk makan malam. Tepatnya, sangat malam. Di meja, mereka memilih aneka lauk dan kuah. Agak aneh, saya pun menggrauk pelbagai lauk dan sayur. Padahal, satu sama lain tidak nyambung karena aneka ragam lauk menyatu. Sepatutnya, daging ini tak bisa digabungkan dengan kuah yang itu. Piring itu berubah menjadi onggokan. Sambil menikmati makam malam, kami pun bertukar cerita, dari isu politik hingga humor. Menurut Pak Moenir, para diplomat kita tidak lagi mematut diri dalam pelbagai function. Hal-hal substantif perlu diketengahkan agar pertemuan tak hanya mengurus asupan, dandanan dan hal-remeh yang lain. Sepanjang pengamatan saya, bapak dari empat orang anak itu telah membuktikan dalam berbagai kesempatan.

Tak perlu waktu lama, asupan itu habis. Selanjutnya, acara karaoke bersama. Lagu dan nyanyian berhamburan. Lagu Koes Lus Kapan-Kapan menjadi pamungkas. Sebelum pulang, kami bergambar bersama agar ingatan itu sempat tertera. Kata Pak Moenir, gambar itu akan muncul di facebook, dan saya pun menanti cemas. Ternyata, gambar itu benar-benar nangkring di status dan saya meletakkan pose bersama itu sebagai penanda bahwa betapapun kita mengusung perbedaan, akhirnya semua harus ikhlas hati untuk duduk dan berdiri bersama untuk mengekalkan ingatan.

Thursday, April 29, 2010

Pengajian Mahasiswa dan Pekerja

Sabtu pagi adalah acara rutin pengajian mahasiswa dan keluarga Indonesia di masjid Kampus. Ia tidak hanya menjadi tempat belajar, tetapi juga bertemu sesama warga. Tak perlu mengerutkan dahi, hal ihwal agama hanya perlu dicerna di hati. Lagipula, mereka hanya perlu mendengar, sambil sesekali berbisik antar teman. Jika penceramah melucu, mereka pun tertawa. Kadang konsentrasi buyar, anak kecil berlarian atau berceloteh. Belum lagi, seorang ibu harus keluar untuk menyuapi anaknya yang merengek karena lapar.

Merawat jamaah agar terus mengunjungi rumah ibadah ini memerlukan kesabaran dan keteguhan. Mereka telah berjasa menautkan banyak orang. Setiap individu telah membantu kegiatan ini, ada yang menyiapkan LCD dan komputer, memastikan penceramah dan tentu mengabarkan lewat media sosial atau email. Itupun tak semua datang. Sebagian sibuk, sebagian yang lain tak ada kabar. Atau, diam-diam pengajian itu tak menarik minat mereka untuk hadir.

Apa perlu sekali-kali panitia mengundang pendakwah beken, seperti Aa Gym, Ustaz Jefri, atau Bang Haji? Mungkin. Pasti, yang hadir membludak. Sayangnya, biaya untuk kegiatan semacam ini begitu besar. Rasanya kegiatan itu tetap seperti sedia kala. Segelintir yang datang, namun senantiasa wujud. Toh, sebelum dan sesudah pengajian, mereka akan bertemu banyak orang. Nah, semangat pengajian itulah yang akan memancar, bahwa hidup itu akan terasa nyaman dengan tegur sapa, kebaikan, dan kebersamaan.

Kehadiran pekerja Indonesia tentu menambah poin dari kegiatan mahasiswa ini. Sayangnya, hanya pekerja perempuan, sementara lelaki belum tampak batang hidungnya. Selagi napas kegiatan ini berdenyut, ikhtiar untuk mengasup pelajaran membuncah. Setiap orang tentu mengail hikmah yang berbeda. Malah, akibat lain bisa hadir, seperti tukar menukar informasi, menemukan teman baru, dan menambah data baru tentang perubahan kecenderungan keberagamaan. Pendek kata, tatap muka itu membuka banyak kemungkinan, yang tak ditemukan persuaan di telepon genggam atau sejenisnya.

Sunday, September 06, 2009

Buka Bersama Mahasiswa

Acara bertajuk Majlis Berbuka Puasa Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Sains Malaysia digelar di DUP A dan B. Mereka yang duduk di kursi adalah Zulheri, Ahmad, Hilal, Yatno, Andre dan Toni. Sementara yang berdiri di belakang adalah Ismed asal Padang dan Herpandi, Palembang. Dalam acara ini, mahasiswa S1, S2, dan S3 tumplek blek. Kesempatan seperti ini kembali menautkan hubungan kekeluargaan yang telah direnggut oleh rutinitas. Dengan hanya sumbangan RM 5 (Rp 15 ribuan), acara sederhana ini diwujudkan, sebagai mimpi merekatkan kebersamaan.

Saturday, August 22, 2009

Sebagian Kebersamaan Kami di Sana


Sebagian besar tampak muram karena tim yang didukung kebobolan dan tanpa bisa membalas. Namun, perasaan seperti ini adalah wajar. Agak jarang seseorang merasa gembira menerima kekalahan, dan sangat tidak mungkin berjingkrak kegirangan untuk merayakanya. Di sela kesedihan ini, mungkin ada sesuatu yang menyembul, yang bisa dimunculkan kegembiraan karena telah berhasil bermain dan menyuguhkan pertandingan bagi khalayak.

Di tengah minimnya dana, kerjasama antara mahasiswa telah mampu keluar dari mitos 'tak ada dana, tak ada kegiatan'. Kegiatan sebegini telah menantang siapa pun untuk saling bahu membahu mengatasi keterbatasan. Pekerjaan ditanggung setiap individu yang telah disepakati pada rapat penyusunan panitia, tukang motret, konsumsi, transportasi, perlengkapan, acara dan lain-lain. Mereka pun tak dibayar, malah kaos panitia berwarna hitam yang tertera kata Crew PPI USM CUP IV adalah hasil urunan setiap panitia. Ya, mereka tidak hanya tidak diganjar dengan uang, malah harus merogok kocek untuk menyukseskan perhelatan.

Perasaan senasib dan komitmen untuk memberikan yang terbaik bagi organisasi adalah kunci keberhasilan program tahunan Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Sains Malaysia kali keempat ini. Paling tidak, panitia telah memberikan tontonan final yang menarik antara PPI Universitas Islam Internasional Malaysia dan Universitas Nasional Malaysia, yang berakhir skor tipis 3-2. Pemain terbaik, Apim, yang bernomor punggung 10, betul-betul menyuguhkan atraksi yang menarik. Dari tribun saya bersama para penonton berdecak kaum karena mahasiswa UIAM ini berhasil melewati beberapa pemain dan acapkali membahayakan gawang lawan.

Akhirnya, dari semua olah tubuh ini, acara dipamungkasi dengan doa, agar raga tidak liar.

Tuesday, August 18, 2009

PPI USM CUP IV


Permainan telah usai. Satu hari sebelum hari kemerdekaan, mahasiswa Indonesia menggelar final PPI USM CUP IV di lapangan stadion Kampus. Sebuah pertunjukan yang menyenangkan!

Friday, August 14, 2009

Hari Keluarga PPI USM


Setelah lomba olahraga antar mahasiswa, kami pun merayakan kebersamaan dengan makan malam dan nyanyian. Sebelumnya, para peserta dipilih untuk menyampaikan pesan. Tak pernah ada keindahan yang secerah malam itu, salah satu larik yang sempat muncul pada acara itu. Di sini, tua muda tumpah ruah. Malah, anak kecil pun turut bermain, mengikuti tingkah orang tuanya. Kadang ada jarak emosional karena faktor usia, tetapi ini pun luruh oleh lagu dan celotehan lucu.

Bertempat di Bistro USM, sebuah gedung bertahun 1938 bekas barak Inggeris, kami pun merenungkan kembali Indonesia. Meski ada gelak tawa, tetapi semua sadar bahwa di tangan anak muda masa depan negeri khatulistiwa itu dipelihara dengan cinta. Rezki dan Inda menyanyi dengan sangat menyentuh, ditambah petikan gitar Ariel dan Andrea, gelap malam semakin sempurna sebagai kebahagiaan. Reiza juga turut menyumbang lagu lucu, dan mereka pun tertawa lepas. Saya yang tua turut melepas tawa, meski tak cukup mengerti, sebab lagu itu bukan Rhoma Irama.

Sebenarnya masih banyak gambar yang menunjukkan keasyikan, namun tak mungkin saya memunggah di sini semuanya. Tapi, jelas tergambar bahwa mereka menemukan dunianya yang telah hilang oleh rutinitas. Di sini, mereka akan menemukan jalan pulang dan sembari beriltizam untuk menunaikan kebaikan setelah usai belajar. Keceriaan mereka adalah bukti keyakinan pada hidup untuk dinikmati, bukan diinkari.

Tuesday, May 05, 2009

Bermain Bola



Ini peristiwa biasa, seperti kebanyakan orang melakukannya. Namun, bagi saya, ia sesuatu yang baru. Pertandingan persahabatan antara mahasiswa Indonesia yang belajar di Universitas Sains Malaysia. Saya didapuk sebagai pemain untuk tim pascasarjana. Beberapa hari sebelumnya, tim 'tua' ini telah bersuara di milis untuk menentukan posisi.

Pada hari pelaksanaan, saya berangkat dengan Iman, anak tetangga jiran flat. Sayangnya, meskipun semangat membaja, saya tidak bisa turun lapangan. Demam semalam masih mengendap dengan senang. Saya hanya menonton dari kejauhan. Meskipun saya bisa memaksa diri untuk bermain mengocek bola, panas sore itu tentu akan menguras tenaga dan menyengat kepala yang sebelumnya diserang pening. Agar bisa bertahan lama, saya meneguk air yang disediakan panitia. Anehnya, segar tak kunjung datang. Meski, Didi, koordianator acara ini, menelepon dari lapangan agar saya menggantikan pemain lain, saya tak kunjung beranjak.

Sebelum usai, saya dan Iman pulang. Saya tetap merasa kegembiraan. Teman-teman Indonesia yang belajar di seberang berpayah-payah datang untuk meramaikan acara itu. Tentu, teman-teman S1 tampak paling siap dengan kostim dan latihan yang rutin. Mereka juga menunjukkan kekompakan yang luar biasa. Selain tepat waktu, mereka juga turut membantu kepanitiaan kecil agar main bareng ini berjalan sukses. Foto di atas diambil oleh Mahda, mahasiswa S1 yang sekarang sedang pulang liburan dan bercerita ingin memborong bacaan di toko buku Medan.

Rumah Kami Retak

Persatuan Pelajar Indonesia di Universiti Sains Malaysia goyah. Ia menuju 'retak', menunggu terbelah. Tentu pertanda buruk bagi sebuah organisasi yang dihuni tak begitu banyak anggota. Tapi, apa boleh buat, para pejuang itu memilih untuk berumah berbeda, milis resmi dan perjuangan. Dalam sebuah pertemuan kelompok yang terakhir, pengurus PPI diminta untuk memenuhi tuntutan anggota yang tidak rela milis sebelumnya ditutup. Alasannya pemberangusan sejarah, penghilangan jaringan (networking) dan ketidakpekaan terhadap perasaan ratusan penghuni yang ada di dalamnya, baik masih berstatus mahasiswa ataupun alumni.

Gambar ini adalah momen musyawarah tahunan. Saya bertanggung jawab sebagai panitia pengarah (steerring committee). Sejak awal, saya telah menghidu bau persaingan untuk merebut orang nomor satu. Meski tidak sepanas acara mahasiswa di Indonesia, dengan melempar kursi atau beradu mengencangkan urat, namun pembahasan tata tertib berjalan alot, namun tak jarang diselingi kelucuan. Konflik bertunas. Setiap calon merapal doa dan menghitung peta dukungan suara. Akhirnya, pemenangnya adalah mahasiswa S1. Acara usai.

Tak lama setelah kepengurusan terbentuk, mahasiswa dikejutkan dengan keputusan pengurus untuk menutup milis dan digantikan dengan rumah baru. Di sini, perselisihan menyeruak. Tak hanya di dunia maya, di dunia nyata mereka beradu argumentasi untuk mempertahankan yang lama dan menyodorkan rumah baru. Saya sendiri mengelak untuk terlibat secara langsung. Sekarang, bola liar makin membesar. Keduanya telah memilih jalan berbeda. Lalu, kapankah ini berakhir? Menunggu waktu.

Saturday, August 23, 2008

Memberi Napas pada Demokrasi

Untuk pertama kalinya saya akan merayakan pesta demokrasi di luar negeri. Tidak hanya itu, saya juga terlibat dalam Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) Perwakilan Indonesia di Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Jauh hari sebelumnya saya telah diminta untuk membantu kepanitiaan ini.

Baru hari ini, kami berkumpul untuk membicarakan perhelatan lima tahunan ini di ruang musyawarah KJRI. Peserta yang terdiri dari unsur mahasiswa, dosen, staf KJRI dan masyarakat Indonesia merumuskan kerja beberapa bulan yang akan datang. Hal teknis berkaitan pengisian formulir yang disebut A LN sempat memunculkan perdebatan karena isian Nomor Paspor tidak boleh tidak harus diterakan, padahal ada sebagian warga Indonesia di Malaysia yang tidak berdokumen atau tidak memperpanjang paspor tetapi mempunyai kartu tanda penduduk Indonesia.

Pertemuan pertama ini tentu adalah awal yang baik karena kami telah memulai pembagian kerja tanpa harus disibukkan oleh belum turunnya kucuran dana dari Jakarta. Paling tidak, ini pembelajaran bagi kita bahwa bangsa kita masih selalu dalam keadaan 'darurat' sehingga memerlukan langkah-langkah terobosan dari kebuntuan ketidakcakapan anggota Komite Pemilihan Umum. Mahasiswa dan masyarakat berada dalam posisi ini.

Dengan berkumpul, kita akan menyelami watak dan gaya orang di ruang resmi dan tidak. Tambahan lagi, dari mereka, saya belajar bahwa kerjasama menuntut masing-masing individu mau bersuara dan mendengar. Ada banyak ide dan gagasan yang membuat kerja kepanitiaan lebih mudah dan terarah. Mengurai 45 ribu pemilih dalam program kerja adalah tidak mudah, tetapi kehendak melakukannya dengan hati dan pikiran akan membantu menyempurnakannya.

Di sela-sela rapat, saya keluar untuk ke toilet dan sempat terhenti karena dengan jelas melihat puluhan tenaga kerja wanita Indonesia yang tinggal di bagian belakang kantor konsulat sedang makan. Mereka adalah para pekerja yang 'terlempar' karena bermasalah dengan majikan. Pemandangan yang mendatangkan iba karena mereka harus terkurung di sana untuk menunggu cemas nasibnya. Saya rasa perwakilan kita di sana telah berbuat banyak untuk menjadi rumah bagi mereka yang sedang berjuang hidup mati di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Malah, ada seorang perempuan dengan bayinya di tengah kerumuman kawan senasib.

Lalu, apa makna demokrasi bagi kerja kepanitiaan dan pemandangan di atas?

Monday, July 28, 2008

Malam Budaya Indonesia di Malaysia

Saya dan isteri berangkat lebih awal ke dewan pertemuan tempat perhelatan malam budaya Indonesia bertajuk Sparkling. Pengarah opera musikal, Ibu Junita Batubara, meminta kami untuk datang dua jam lebih awal untuk menyempurnakan olah vokal persembahan pascasarjana Universiti Sains Malaysia.

Ternyata, sesampai di sana, band Tequelectric sedang latihan, sehingga kami menunda sejenak untuk melakukan gladi bersih untuk terakhir kali. Namun tak lama kemudian, akhirnya kami melakukan latihan. Indonesia Pusaka, Apuse dan Ampar-Ampar Pisang dan selarik puisi berjudul Sepi tak Berujung adalah menu kami yang harus dikunyah dan akhirnya dilantunkan dengan sepenuh jiwa.

Menjelang jam 8 malam, bapak dan ibu konsul datang. Panitia terkejut atas kedatangan wakil pemerintah Indonesia di Pulau Pinang ini sebelum acara dimulai. Ternyata, beliau berdua sengaja datang lebih awal karena baru selesai mengikuti acara Fareview di gedung Dewan Budaya, sebelah Dewan Tunku Syed Putera, tempat malam budaya akan digelar. Saya dan isteri menemani mereka untuk menunggu acara dimulai di ruang VIP lantai atas. Lalu, disusul kemudian oleh Saudara Irfan, ketua Persatuan Pelajar Indonesia USM. Katanya, Mahda memberitahu kalau Bapak Munir, konsul RI, datang.

Akhirnya upacara pembukaan segera akan dimulai. Seluruh undangan diminta masuk dan kehadiran Pak Munir dan Isteri di ruangan yang luas itu diiringi lagu daerah. Saya pun menyelinap ke balik panggung untuk menyiapkan diri tampil. Setelah acara sambutan, pelbagai seni budaya Indonesia dipanggungkan, seperti Tari Saman yang dibawakan dengan kompak oleh mahasiswa Universitas Presiden Jakarta, Tari Poco-Poco oleh putera-puteri dari mahasiswa PhD Indonesia di USM, Tari Prawiro dan akhirnya sesi kami, membawakan lagu daerah di atas, dan muskik angklung.

Di tengah keterbatasan panitia, tentu acara ini sangat penting untuk belajar merawat kebudayaan yang mungkin sudah tak dinikmati seperti dulu lagi. Dukungan dari banyak pihak tentu meringankan kerja panitia yang telah banyak mengubah konsep semula tentang acara ini. Memang, panitia mendapatkan dukungan dari Departemen Budaya dan Pariwisata untuk menyampaikan kampanye visit Indonesia 2008, sehingga malam budaya ini benar-benar menjadi malam Indonesia di negara tetangga. Cuplikan video kunjungan wisata Indonesia 2008 yang ditayangkan mampu menggugah cita rasa estetik penonton betapa negeri nusantara ini indah permai.

Penonton yang hadir cukup mewakili ragam bangsa seluruh dunia, seperti Timur Tengah, Iran, dan Eropa, termasuk mahasiswa Malaysia. Mereka tentu akan mengenal lebih dekat keadaan Indonesia yang elok. Malah, teman kami dari Iran, Mustafa (lihat gambar sebelah), sengaja merekam persembahan kami dari balik panggung hingga kami mementaskan persembahan di atas. Sebuah sudut pandang penggambaran yang menentramkan.

Tentu, persembahan musik Tequelectric menampilkan sisi lain dari malam kebudayaan, karena ia adalah adaptasi terhadap fenomena kebudayaan modern. Tambahan lagi, penampilan jazz band kampus benar-benar mengusung cara ungkap komunitas lain dalam merayakan kebersamaan. Mungkin, kehadiran The Times, band indie lokal, adalah penutup yang manis karena penonton berdesakan ke depan panggung untuk berjingkrak. Saya tentu tidak turut turun karena usia tua menghalangi untuk mengimbangi gairah anak muda mengusir dingin AC yang makin menusuk.


Friday, July 25, 2008

Menikmati Tembang Jawa

Memasuki hari ketiga latihan, kami makin menemukan irama kebersamaan. Apalagi, ada beberapa selipan yang membuat saya makin nyaman menikmati penampilan opera musikal. Pada pembukaan, Wahyu membuka persembahan dengan membawakan tembang (pangkur) Jawa, yang kata mahasiswa PhD Teknik Industri ini, bercerita tentang agama dan pengetahuan. Selebihnya, saya tak bertanya lebih terperinci arti perkata dari tembang ini, tetapi selalu saja memejamkan mata ketika lamat-lamat saya menikmatinya dari jarak yang cukup jauh. Nuansa magis tiba-tiba menyemburat bersama angin malam.

Tanah Air Beta, lagu kebangsaan, yang dinyanyikan bersama juga mendatangkan suasana lain. Kami berempat mencoba untuk menemukan kekompakan, meskipun saya yakin masing-masing mencoba untuk meresapi berdasarkan pengalaman yang mungkin tidak sama. Tetapi, jelas lagu ini mengandaikan tentang tanah air yang dibanggakan, tempat nanti bersemayam dan kedekatan yang dalam untuk merawat dwipantara.

Di sela-sela menyanyi, tiga orang membawakan tiga puisi dengan tiga dialek berbeda, Jawa, Menado dan Madura. Melalui bahasa Indonesia, ketiga daerah ini melebur menjadi satu dalam mengungkapkan perasaan yang paling dalam sebagai anak manusia, meskipun tak harus menghapus kekhasannya masing-masing. Justeru, karena perbedaan inilah kami merangkai kebersamaan. Ia seperti menampilkan ragam warna yang melahirkan pelangi, sehingga setiap orang akan merasa nyaman melihatnya.

Wednesday, July 23, 2008

Apuse Kokondao dan Ampar-Ampar Pisang

Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik, mengajari kami menyanyi dengan diiringi piano. Tak hanya sekedar melantukan lagu, tapi kami mencoba untuk membahas kemungkinan penyertaan persembahan opera dan koreografi yang menambah cemerlang penampilan. Ya, latihan ini adalah sebagian dari kegiatan untuk mendukung Malam Budaya Indonesia di Universitas Sains Malaysia dalam tajuk Sparkling Indonesia.

Saya sendiri tidak mengerti makna lagu, tapi menyanyikannya sepenuh hati. Saya mengandaikan sedang membaca mantra, yang hanya berharap ada tuah jika mengulang-ulang kata, yang saya yakin itu menunjukkan ekspresi manusia yang tulus dan riang. Lagu Kalimantan di atas juga dinyanyikan beberapa kali untuk menemukan kekompakan antara kami. Akhirnya, sesi ketiga adalah lagu kebangsaan, Indonesia Tanah Air, yang betul-betul menjadi penutup yang manis karena lagu ini menyeret saya ke masa lalu, masa kecil yang tak direpotkan oleh gundah gulana dan risau.

Di sela-sela berlatih, Stenly, Wahyu, Yunita, Tetty dan saya saling melempar cerita untuk memancing tawa dan canda. Mungkin di sinilah sebenarnya kita bisa berbagi banyak hal yang lahir secara spontan. Dari mereka, saya menemukan kiat dan model menjalani pertemanan. Dengan gaya masing-masing mereka menyampaikan pesan pada saya, bahkan tak jarang kritik yang terselubung. Suasana yang hangat membuat segala sesuatu terasa menyenangkan.

Malam nanti, latihan juga akan dilakukan untuk makin menumbuhkan apresasi terhadap lagu dan menyemai kedekatan antara peserta. Lebih dari itu, saya rasa ini adalah cara kami merawat Indonesia, melakukan kegiatan tanpa pamrih dan menjalin silaturahmi di antara mahasiswa yang ada di tanah jiran ini. Kedalaman pertemuan akan membantu kita menepis prasangka yang acapkali muncul jika kita bersua dengan perbedaan. Oleh karena itu, kita seharusnya tak lagi disibukkan dengan perbedaan, karena memang itu niscaya. Sudah saatnya, kita merayakan kesamaan sebagai manusia agar hidup tidak melulu muram. Itu saja!

Tuesday, July 22, 2008

Membuka diri bagi Kemungkinan

Dalam dua hari ini, saya mengikuti dua pertemuan penting, pertama menghadiri acara Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS) Malaysia di Sungai Dua, dekat kampus, dan silaturahmi dengan Dai Bachtiar, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia di Konsulat Jenderal RI Pulau Pinang.

Saya tegaskan dalam sesi tanya jawab bahwa saya bukan anggota dan kader PKS, tapi menaruh simpati dengan partai dakwah ini. Bagi saya, politik itu sederhana, yaitu siapa mendapatkan apa dan kapan. Jila, PKS kemudian menyodorkan ide ingin melayani tentu merupakan terobosan baru yang perlu disambut baik oleh komponen masyarakat yang lain. Apalagi, dengan tegas bahwa partai yang banyak digerakkan oleh bekas aktivis mahasiswa Islam kampus ingin mengubah keadaan bersama yang lain.

Sementara, semalam saya mencatat beberapa hal penting dengan komitmen duta besar baru untuk berpegang pada prinsip peduli dan berpihak. Dua kata yang cukup mewakili apa yang bisa dilakukan dengan prinsip ini, yaitu melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara jiran ini. Tentu adalah sangat menyenangkan jika pelayanan yang akan diberikan pada warga negara yang bermastautin berkaitan dengan administasi selesai dalam satu hari, atau apa yang dia sebut dengan one day service.

Dalam kesempatan ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal lebih dekat apa yang diinginkan oleh duta besar baru ini mengingat begitu banyak masalah yang acapkali timbul antara dua negara serumpun ini. Jika kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa bahwa kualitas hubungan antara keduanya tidak setara karena Indonesia tampak tidak berdaya berhadapan dengan mitranya adalah wajar. Misalnya, bagaimana Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian mandatory consular notification yang berisi permintaan terhadap pemerintah Malaysia agar menginformasikan warga negara Indonesia yang mempunyai masalah hukum pada perwakilan Indonesia.

Secara umum, Dai Bachtiar secara lugas telah menjabarkan apa yang ingin dilakukan dalam waktu dekat, seperti mewujudkan hotline, tempat pengaduan masyarakat Indonesia serta menyediakan data base bagi hal ihwal keberadaan warga RI di Malaysia. Angka yang disampaikan mantan Kapolri ini bahwa dari 1700 tahanan di penjara Kajang terdapat 1300 warga negara Indonesia adalah mengejutkan. Jelas kenyataan ini memprihantinkan dan sekaligus persoalan ini akan menjadi data penting bagi para pembuat kebijakan dan komponen masyarakat lain yang peduli untuk memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.

Sunday, July 20, 2008

Merawat Indonesia melalui Wacana dan Aksi Nyata

Untuk pertama kalinya PPI menghelat sebuah diskusi 'kecil' dalam memancing minat mahasiswa dalam mengenal dirinya dan persoalan bangsanya. Acara-acara sebelumnya boleh dikatakan lebih memerhatikan seremoni bukan diskusi intensif yang tidak memerlukan 'tetek bengek' sebuah acara yang biasanya diisi sambutan.

Tema acara ini adalah Persatuan, Sebuah Keniscayaan: Antara Harapan dan Kenyataan. Sebagai nara Sumber adalah Suyatno, MA, Mahasiswa PhD Ilmu Politik Universitas Sains Malaysia. Sementara peserta dari diskusi adalah Irfan, Haswin, Yatno, Hilal, Doni, Ahmad, Cut, Gaby, Dita , Ahmad, Pangeran, Fajar dan Dede.

Perbincangan ini mengandaikan keinginan untuk menciptakan hubungan sinergi antara masyarakat kreatif dan pemerintah, yang meliputi isu penting, di antaranya keinginan untuk maju dan berubah dimiliki oleh keduanya, tidak adanya titik temu untuk saling bekerja sama, masing-masing mempunyai kepentingannya sendiri dan demokrasi adalah modal penting untuk kemajuan, tapi bukan panacea (obat mujarab).

Dari mana memulai untuk mewujudkan cita-cita di atas? Jawabanya dari kita sendiri. Paling tidak dari beberapa gagasan yang sempat terlontar dalam perbincangan ini meliputi:

1. Tidak semestinya Lembaga Swadaya Masyarakat mewakili kepentingan khalayak, dengan demikian PPI mempunyai kesempatan untuk berbuat untuk kebutuhan anggota dan lebih jauh untuk Indonesia 2. Media alternatif bisa dijadikan untuk membuat masyarakat tidak mudah lupa (amnesia), seperti kenaikan BBM sengaja ditutupi dan orang disibukkan dengan kasus Front Pembela Islam dan Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Berbangsa dan Beragama. 3. Media mainstream tidak mewakili keinginan kritis masyarakat 4. Kebersamaan organisasi atau apapun berakar pada kesamaan visi, dan kita hadir dalam kegiatan pergerakan mahasiswa karena tekad yang kuat untuk merawat keindonesiaan, sehingga perbedaan yang berakhir dengan pemisahan harus diakomodasi melalui dialog. Dari sinilah lahir otonomi. Lebih jauh, kata Mas Yatno, kontrak politik itu hakikatnya adalah pemenuhan kesejahteraan 5. Merawat Indonesia adalah merawat PPI 6. Liason Officer PPI sebagai pintu gerbang mahasiswa Indonesia mengenal USM dan diterima oleh LO untuk memulai tinggal di kampus, institusi tempat bertanya melalui website, sebagai alternatif 7. PPI bukan organisasi massa 8. Menjadi pelajar yang baik tidak harus menyelesaikan studi cepat, lama dengan catatan tidak mengganggu keuangan keluarga dan banyak melakukan kegiatan seperti diskusi, membaca dan akhirnya berpikir dan membaca yang baik, dan lebih penting membuat pilihan agar terpenuhi unsur-unsur kognitif, afektif, dan psikomotorik dalam proses pembelajaran 9. Anjuran untuk mengenal Malaysia lebih dekat dari pelbagai sudut pandang, berkaitan dengan budaya, dan sekaligus warga Negara Indonesia di sini, seperti dilakukan oleh Mas Hilal dengan advokasinya pada tenaga kerja Indoensia 10. PPI harus fokus pada usaha untuk mendapatkan hasil maksimal, rujukan survey Ahmad Farisi bisa dijadikan pertimbangan dalam melakukan kegiatan ke depan 11. Dede mengusulkan agar PPI harus lebih memberikan perhatian pada kerja-kerja konkret dari persoalan yang muncul sebelumnya 12. Proses itu penting dalam ikhtiar mencari pengetahuan dan dengan sendirinya kita memeroleh pengalaman dan makna 13. Pandangan dikotomis, kata Irfan, harus dihindari karena menjebak kita pada pandangan hitam putih (binary distinction) 14. Mencintai dan menggunakan produk bangsa sendiri, seperti produk Mustika Ratu, Sari Ayu, Extra Joss (sponsor acara Sparkling), dan lain-lain 15. Ilmu sosial mengajarkan kritik dan paradigma sehingga tidak terjebak pada kebingungan karena ia segenap persoalan hakikatnya bisa dijelaskan 16. Menjelaskan Indonesia secara persuasif kepada warga Malaysia dan 17. Perbedaan tidak disikapi antipasti tetapi justeru didekati untuk menemukan persamaan Memiliki budaya dengan sendirinya mengandaikan keinginan merawat agar tidak punah.

Mungkin peserta yang lain akan menyodorkan catatan yang berbeda bagaimana merawat Indonesia agar kita bisa memahami sejauh mana warganya mengerti persatuan dan kesatuan melalui tindakan bukan sekadar jargon.

Friday, May 30, 2008

Menjelang Kongres PPI Malaysia

Esok, perhelatan kongres Persatuan Pelajar Indonesia Malaysia ke-10 akan digelar. Jika tidak ada aral melintang, acara tahunan ini akan dihelat hingga 1 Juni 2008 di Universitas Kebangsaan Malaysia (UKM). Tepatnya di Aula Abdullah Mohammad Salleh. Menurut Mas Widdy Mubarak, human kongres, acaranya akan dimulai jam 8 pagi. Satu ikhtiar yang bagus untuk menunjukkan semangat, menggelar acara di awal pagi.

Saya menaruh minat dengan pergerakan mahasiswa Indonesia di tanah jiran ini. Bahkan, saya pernah menulis makalah untuk sebuah konperensi internasional di Malang yang membahas peran PPI dalam hubungan dua bangsa, Indonesia dan Malaysia. Kebetulan di acara ini saya juga berjumpa dengan beberapa mahasiswa yang juga turut serta, seperta dari UKM dan UIAM. Di sana, malah saya berjumpa dengan teman adik kelas di Jogja.

Dengan pengalaman dua kali mengikuti kongres, saya telah menyelami karakter perhelatan mahasiswa Indonesia di tingkat nasional di sini. Seperti perhelatan yang lain, pemilihan ketua adalah sesi yang paling menguras perhatian dan tentu saja disertai kasak-kusuk yang melibatkan emosi, ideologi dan tak jarang solidaritas etnik. Pada Kongres ke-8 di Universitas Teknologi Malaysia, Skudai Johor, saya tidak menemukan pertarungan ideologi yang begitu kuat seperti yang ke-9 di Universitas Utara Malaysia, Sintok Kedah. Pada yang terakhir, saya menemukan aroma mobilisasi ideologi pelbagai kelompok, NU, Partai Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera dan independen.

Saya memprediksikan pada kongres besok di Universitas Kebangsaan Malaysia, PKS akan menggolkan calonnya karena didukung oleh kekompakan pegiatnya. Meskipun, calon dari Universitas Malaya yang dijaring melalui konvensi akan memberi perlawanan yang sengit karena mencoba untuk menggunakan keterikatan kelompok ideologis tradisional dan modern serta mencoba menjaring dukungan dari cabang dari Universitas atau kolej swasta. Saya lihat cabang-cabang dari universitas Swasta akan datang sebagai peserta pasif seperti sebelumnya, tanpa mampu menyodorkan anggotanya untuk turut bertanding meramaikan pesta demokrasi ini. Maaf, jika pandangan ini dianggap terlalu peyoratif, tetapi sekaligus sebuah pengakuan bahwa kehadiran mereka tetap penting.

Sementara Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, telah diplot ke calon dari kelompok yang didukung partai tertentu (maaf jika salah!), padahal sebelumnya saya maju di Kedah untuk membelajarkan adik-adik bertarung di ruang yang lebih besar. Tradisi menegaskan bahwa selalu saja ketua PPI Malaysia didominasi oleh 3 universitas besar di sekitar Kuala Lumpur, Universitas Islam Antarabangsa Malaysia (UIAM), Universitas Kebangsaan Malaysia dan Universitas Malaya. Demikian pula, Mas Aliyuddin Syah, juga mencoba mencairkan kebekuan dengan turut serta mencalonkan diri, meskipun suaranya lebih baik daripada saya, dengan tambahan satu utusan (6 orang) sehingga perolehannya 12 suara. Keinginan untuk membentuk aliansi universitas di luar dominasi KL, seperti Johor, Perak, dan Pulau Pinang bubrah di tengah jalan.

Terus terang, pertarungan kali ini akan lebih seru karena posisi penting di PPIM tahun ini dianggap sekaligus pertarungan menjelang pemilihan umum tahun 2009. Saya masih belum melihat apakah Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Amanat Nasional dan Partai Kebangkitan Bangsa yang mempunyai cabang istimewanya di sini telah bertaruh untuk memenangkan pertandingan ini. Bagaimanapun, kehadiran mereka tetap bisa diterima, dengan catatan tidak bermain kasar. Namanya juga usaha.

Bagaimanapun, kongres bukan tujuan dari sebuah perkumpulan, melainkan alat untuk meraih tujuan bersama. Oleh karena itu, semua peserta harus memikirkan kembali apa tujuan dari PPI agar kegiatan ke depan makin mengukuhkan eksistensi sebagai garda terdepan dalam mewujudkan kehidupan yang lebih baik bagi mahasiswa dan warga Indonesia di negeri jiran. Tanpa pernah merumuskan agenda jangka pendek dan panjang, kita hanya akan menjadi perkumpulan yang mengulang-ulang acara seremonial belaka. Celakanya, ia menghabiskan begitu banyak uang, baik yang diperoleh dari pemerintah RI melalui KBRI Malaysia dan sponsor.

Saturday, January 05, 2008

Makin Erat dengan Perbedaan

Untuk ketiga kalinya saya mengikuti musyawarah anggota PPI USM dengan pelbagai peran. Tentu, banyak warna yang menyemburat di arena ini. Boleh dikatakan, jalannya sidang tidak sealot tingkat se-Malaysia. Meskipun tidak bisa dikatakan kurang greget, sidang ini tetap memberikan ruang bagi munculnya gagasan untuk menjadi kebersamaan ini punya arti, betapapun sederhananya.

Perbedaan kadang muncul, tetapi itu bisa makin menambah erat karena dari sini kita saling mengerti. Bukankah di sini kita bisa lebih jernih mendengarkan apa yang dinginkan orang lain melalui ide dan ucapannya? Belajar mendengar dan akhirnya mempertimbangkan keinginan orang lain akan membuat kita tidak selalu memikirkan diri sendiri dan mencari titik temu sehingga kita bisa berbuat lebih banyak untuk kebaikan bersama?

Seperti biasa, peserta yang hadir tidak membludak. Kita bisa menghitung dengan mudah. Tetapi, tentu mereka mewakili banyak kepala dan keinginan. Pasti, pengalaman ini akan membekas, yang dengan sendirinya menjadi catatan hidup kelak. Pertemuan semacam ini membelajarkan bagaimana kita belajar mempertahankan 'tradisi' dan organisasi, yang secara tidak langsung merawat akar kita di negeri orang.

Ya, semoga Persatuan Pelajar Indonesia menjadi batu ujian dan sekaligus rumah kita yang apa pun keadaannya kita semua harus menanggungnya. Amin.

Friday, May 04, 2007

Ketika Nestapa Dibincangkan

Forum Diskusi yang membincangkan Pekerja Indonesia di Malaysia yang diselenggarakan oleh Persatuan Pelajar Indonesia Universiti Sains Malaysia di Hotel Vistana 3 Mei 2007 dan dilanjutkan dengan pertemuan tidak resmi di Kafe Minden bersama mahasiswa Indonesia telah menerbitkan sikap optimis.
Merekam acara ini sebenarnya tidak bisa dilepaskan dari kegigihan panitia untuk melibatkan langsung pihak terkait dan organisasi sosial kemasyarakatan dari kedua negara. Memang pernah terbersit ragu di sebagian mahasiswa yang terlibat dalam kelangsungan acara di atas, karena kita sepertinya mengukir di atas air. Tetapi justeru keraguan inilah yang mendorong panitia terus bergerak untuk mewujudkan impiannya agar saudara kita tidak lagi merasa kesepian. Akhirnya, halangan dan rintangan bisa dilalui.
Terus terang, kegiatan ini menjadi sangat mahal, untuk itu kami berusaha menebuskannya dengan bersungguh-sungguh membuat sebuah catatan tentang apa yang harus dilakukan pemerintah, masyarakat dan mahasiswa menghadapi persoalan TKI.
Sesi pertama yang dimoderatori oleh Dr. Wahyudi Kumorotomo ini melibatkan Dr. Ir. Arifien Habibie, MS (ketua Pokja Perlindungan TKI), Perwakilan Imigrasi Malaysia, Prof Madya Dr Arndt Graf (Dosen Jerman di USM), Prof Madya Haji Mohd Haji Mohd Yusoff (Timbalan Dekan Komunikasi), dan Muhammad Iqbal, S. Psi, M.Sos.Sc (Pakar Perburuhan). Pada bagian pertama ini panitia berusaha untuk memahami masalah TKI dan jalan keluarnya. Lalu, bagian kedua panitia berusaha mendengar langsung pengalaman Datuk Raja Zulkepley Dahalan (Presiden Persatuan Agensi), En. Faruk Senan (majikan), Ibu Farida (pembantu), Neng Arni dan Sri Yuliarni (Pekerja Pabrik), dan Ahmad Zaki, Lc (pegiat buruh dan ketua Forkommi wilayah Utara).
Di dalam brosur kegiatan, informasi tentang tujuan forum ini sangat jelas yaitu meningkatkan kepedulian kita terhadap pekerja, mengumpulkan data tentang mereka, menilai kembali kebijakan-kebijakan Pemerintah RI, mengembangkan kerjasama antara kedua belah pihak, baik antara pemerintah maupun bukan pemerintah (lembaga swadaya masyarakat).
Kehadiran teman-teman dari UM dan UIAM membuat pertemuan ini tidak sekedar upacara, tetapi lebih jauh membongkar 'ketidakbecusan' masyarakat Indonesia tentang nasib pekerja yang mencari nafkah di negeri Jiran ini. Kritik Bang Amin terhadap perundang-undangan berkaitan dengan pekerja yang hanya menguntungkan pihak pemerintah kedua negara dan majikan tentu menjadi sebuah pertimbangan penting untuk melahirkan sebuah rekomendasi dan akhirnya ke dalam mendorong mahasiswa USM untuk tidak lagi hanya bermain kata-kata tetapi juga mewujudkan gagasan besar itu ke dalam aksi nyata bersama para pekerja.
Dalam seminggu ini, tim perumus mencoba untuk mencatat kembali sebuah perhelatan penting bertajuk "Pekerja Indonesia di Malaysia: Strategi Komunikasi dan Harmonisasi". Kami telah memperoleh banyak bahan, baik artikel, presentasi (rekaman), dan perbincangan tidak resmi untuk menghasilkan sebuah rumusan yang menyeluruh. Namun demikian, kami sadar bahwa sumbangan teman-teman Mahasiswa seluruh mahasiswa akan menyegarkan pembacaan kami terhadap masalah yang acapkali menggelayuti para TKI.
Tim Perumus:
Ahmad Sahidah, Wahyudi Kumorotomo, Puji Harto, Supriyanto dan Alhilal Furqan

Wednesday, May 02, 2007

Musik Kita di Negeri Jiran

Orang Arab bilang al-Musiqiyyu takhtazu 'alaina, bahwa musik itu membuat kita istimewa. Ya, dengan musik kita merasa menemukan daya ungkap dari peristiwa yang tak sempat terucap.

Seperti pagi ini, ketika meriang menyerang karena minum air dingin kemarin sehabis main pingpong sama Mas Hilal, tapi saya berusaha kuat untuk mengenyahkannya dengan mendengar lagu Rhoma Irama. Lho, kenapa harus bang Haji? Ceritanya panjang. Tak perlu ditulis di sini.

Dulu si pemilik lagu "Begadang" ini turut mengharubirukan publik peminat musik di negeri Jiran. Kawan karib saya dari Kedah justeru ingat kata Penasaran dari lagu bang Haji, meskipun dia tidak tahu artinya. Anehnya lagi, orang Melayu yang tak terbiasa bilang 'bisa' terpaksa akur karena penyanyi kita banyak menyelipkan kata ini di dalam lirik.

Sayangnya, ada sebagian orang Malaysia kesal dengan lagu kita dengan mengatakannya sebagai 'penjajahan' model baru. Band Spider tak mampu bersaing dengan Nidji. Radio mereka dijejali dengan kumpulan musik tanah air. Lalu, kenapa mereka begitu sangat jengkel dengan kita? Ada apa?

Padahal sejarah mereka adalah foto kopi dari Indonesia. Ambil contoh misalnya tentang sastera, kita akan mendapati betapa kesusasteraan di Malaysia harus melacak asal-usulnya ke Sumatera dan Jawa (baca lebih jauh di dalam Haruan Mat Piah (ed.), Traditional Malay Literature). Oleh karena itu, saya kesal jika Chairul Tanjung, pemilik Trans TV, ikut-ikutan bikin Visi 2030, seperti digagas Mahatir dengan 2020. Kita telah memiliki visi sendiri, tak perlu ikut-ikutan. Visinya apa? Tanyaken saja daripada Pak Soeharto? Lho, kok saya sewot? Padahal saya juga sekolah di sini, artinya mengikuti apa yang diidealkan oleh Malaysia. Padahal kata Pak Yulihasri, kita memiliki universitas yang tak kalah bagusnya dengan Malayasia. Duh, di sinilah paradoks.

Sebenarnya kekhawatiran orang Melayu bisa dipahami karena mereka tertekan oleh keperkasaan ekonomi orang Cina dan sekarang orang India mulai menggeliat dengan tampilnya dua taipan asal negeri Gangga, Ananda Krishnan (pemilik Astro) dan Joe Fernandes (Air Asia). Sementara jika mereka menggugat kedua bangsa ini, buru-buru kerajaan akan mengamankannya (baca: menangkap) karena dianggap memicu persoalan sensitif SARA. Tapi, kenapa pemerintahnya tidak mencegahnya penduduknya merendahkan kita, orang Indonesia? Dari panggilan Indon, demostrasi Khairi Jamaluddin, menantu Pak Lah, ke KBRI dan banyak masalah lain yang secara halus merendahkan kita? Padahal Najib itu keturunan Bugis, Tan Sri Juned, Presiden UIAM adalah Aceh, dan Khir Toyo adalah Jawa. Apakah karena koran-koran di sini selalu memperlihatkan wajah kita yang 'buruk'? Sehingga masyarakatnya perlu katup pengaman dari ketertekanannya dengan tidak menghormati kita?

Sudah waktunya kita menanyakan kebijakan surat kabar di sini. Untuk itu, Mas Dian bisa mengajukan protes dan saya akan turut serta jika memang terpaksa harus turun jalan. Lawan surat kabar mereka yang tidak pernah memberitakan keberhasilan Indonesia di sini. Ambil contoh jika salah satu seorang pelajar SMU di sini dapat nilai 9A dalam ujian nasional, seluruh surat kabar memberitakan besar-besaran, bahkan PMnya turut serta merayakannya. Tapi, pernahkan mereka memberitakan keberhasila pelajar SMA kita memenangkan olimpiade Fisika di Cina baru-baru ini? Tidak. Mereka hanya mau memperlihatkan ketidakberdayaan kita karena masalah ekonomi, bencana, terorisme, flu burung, sampah, dan kejelekan yang lain. Apakah kita ingin menutupinya? Tidak, justeru itu juga menjadi konsumsi berita sehari-hari di surat kabar Indonesia. Tapi, atas dasar etika jurnalisme, sebuah media harus menyampaikan berita yang seimbang (cover both sides). Boleh jadi, mereka ingin mencari spin doctors, yang harus dikorbankan untuk menunjukkan kemajuan mereka dan sebagai contoh orang yang terbelakang adalah kita, bangsa Indonesia.

Ahmad Sahidah
Kawan Karib Fauzi, Anak Tempatan.

[Sumber milis PPI: 2 Mei 2007]

Friday, April 27, 2007

Menemukan Islam yang Asli, Mungkinkah?

Tulisan saya di Jurnal Pemikir yang bermotto Telaga Akal Pancuran Budi (Bil. 48, April-Jun 2007) lahir dari kegelisahan tentang apakah agama yang saya anut adalah asli atau bukan? Bolehkah saya mengatakan tentang agama saya seperti dalam iklan, "Ini asli lho?!"?

Mungkin, kalau kita mau membaca artikel bertajuk "Menemukan Islam Tulen: Mengatasi Tradisionaliti dan Modeniti" di dalam Jurnal di atas, kita akan dihadapkan dua pilihan: Tradisional atau Modern? Kesimpulan saya adalah bahwa Islam yang asli atau otentik itu melampaui kategori keduanya.

Tentu saja, paparan tulisan ini lebih kental sisi teoretiknya, meskipun ada beberapa pernyataan yang menuju praksis. Pendek kata, saya sedang mencari basis epistemologi dan metafisik dari doktrin Islam tentang beragama secara otentik.

Lalu, bagaimana gagasan di atas diwujudkan dalam keseharian ? Saya justeru menemukan di dalam pengajian halaqah yang diperjuangkan oleh Mas Hilal, Mas Baim, Mas Maulana dan Mas Supri. Di dalam pengajian ini, kita duduk melingkar untuk membaca dan menelaah al-Qur'an, yang disebut dengan istilah tadabbur. Selain itu, acara ini juga mencatat amaliah kita selama seminggu, seperti menunaikan salat duha, berjamaah shalat lima waktu, berapa lembar al-Qur'an yang didaras, puasa sunnah, dan tahajud. Namun demikian, kita juga membahas isu-isu kontemporer, curhat, dan apakah dalam satu minggu ini kita melakukan olahraga (riyadah). Sebagaimana dikatakan Mas Hilal, pencatatan itu dilakukan bukan untuk gagah-gagahan, tetapi cara mudah untuk mengingatkan agar tetap istiqamah. Ya, untuk menjadi muslim atau muslimah tulen memang bukan perkara gampang, tetapi tidak ada kata terlambat untuk memulainya. Hari ini, jangan menunggu esok!

Malangnya, agak susah untuk bisa melakukan shalat jamaah secara rutin atau ibadah-ibadah lain yang telah disebutkan di atas. Sebenarnya motivasi dan semangat bisa dihadirkan jika kita mau dekat dengan mereka yang terbiasa melakukannya, atawa kita boleh belajar dari pengalaman orang lain melalui bacaan. Barangkali buku yang ditulis oleh seorang sarjana Barat Muslimah Michaela Ozelsel bertajuk 40 Hari Khalwat: Catatan Harian Seorang Psikolog dalam Pengasingan diri Sufistik akan membantu kita untuk melantingkan semangat yang tertimbun dalam diri kita.

Ahmad Sahidah
Sedang membaca buku Ozelsel (Penanda buku ada di Hari ke-6).

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...