Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label PPI USM. Show all posts
Showing posts with label PPI USM. Show all posts

Wednesday, January 04, 2012

Pengajian Membebaskan Manusia

Sebelum berangkat ke Pulau Pinang, saya menelepon Mas Hilal untuk memesan kamar penginapan milik Masjid Kampus USM. Lelaki asal Lombok ini pun dengan senang hati membantu agar kami sekeluarga bisa meluruskan kaki dan bermalam dengan lelap. Lalu, di akhir percakapan, saya memberitahu bahwa kami akan hadir dalam pengajian Sabtu pagi, PPI USM.

Setiba di kampus dalam taman, saya mengambil kunci kamar dan Mas Hilal sekaligus meminta saya untuk menyampaikan ceramah dalam pengajian tersebut. Saya pun mengangguk perlahan, meskipun tanpa harus menjadi penceramah, kami akan tetap hadir. Selain jarak tempatnya tak sampai sepeminuman teh (gaya bahasa Bastian Tito, sebagaimana diulas oleh Gus Mushthafa), kami menyukai pengajian ini karena ia adalah ruang pertemuan jiwa, raga dan senyuman.

Saya pun membicarakan topik Agama Membebaskan Manusia, dengan menekankan pada pemerhatian kekuatan umat, yaitu kuat secara fisik, ekonomi, dan politik. Yang terakhir, hakikatnya bukan dalam pengertian sempit, partai politik, tetapi kehendak untuk membuat politik di negeri Republik sehat walafiat. Kalau umat tak sakit-sakitan, mempunyai daya beli yang wajar dan tak tersandera oleh politikus jahat, maka kehidupan mereka tentu jauh lebih sejahtera.

Friday, January 28, 2011

Anjung Semarak

Tanpa mengabaikan kantin lain di kampus, terutama kantin Anjung Budi yang berpemandangan pantai dan pohon cemara, warung di atas adalah tempat yang menyeronokkan. Namanya pun unik, Anjung Semarak. Ia mungkin diambil dari nama pohon Semarak Api, yang mengeluarkan bunga berwarna merah menyala setelah diterjang hujan. Terletak di sebelah kedai buku, ia menjadi ruang mahasiswa untuk makan dan minum, bercengkerama, bahkan berdiskusi dengan dosen. Ketika saya baru datang, ada beberapa mahasiswa melingkari seorang dosen. Bahkan, di ujung yang lain, saya sempat menyapa seorang profesor yang sedang sendirian menikmati minuman.

Dari atas, pengunjung bisa melemparkan pandangan ke segala penjuru, seperti lalu lalang mahasiswa yang berjalan ke dan dari kampus, bangunan IPS (Institut Pasca Siswazah), Dewan Budaya, DTSP (Dewan Tunku Syed Putra) atau bulatan yang menancapkan tonggak bertulisan salam dalam pelbagai bahasa dunia. Dari sana, mahasiswa hanya perlu melangkah pendek untuk memelototi buku-buku baru dan lama, termasuk membeli koran harian. Ah, betul-betul surga di bumi!

Ia juga tempat yang nyaman untuk menyeruput minuman di waktu senja. Saya sengaja membawa Malam Terakhir Leila S Chudori, yang berisi beberapa cerita pendek. Ditemani air cincau (di kampung saya dikenal cao), buku itu mengalirkan makna ke batin dan gelas itu mengalirkan cairan ke kekerongkongan. Ups, kenapa nomor 13? Adakah itu petanda sial? Mungkin, sebab sehari kemudian, si kecil menumbuk mata saya sehingga perih dan pedih. Hampir semalaman saya menahan beban berat di pelupuk. Malah setelah terlelap dan bangun subuh, mata itu masih tak bisa memandang ringan sekeliling.

Tuesday, January 11, 2011

Mengejar si Kulit Bundar

Saya mengambil gambar dari atas menjelang pertandingan persahabatan PPI USM. Tadi sore, saya merumput bersama teman-teman di lapangan sebelah. Meskipun demam masih bersarang, saya melakukan pemanasan agar rasa tak enak enyah. Karena pemain tak cukup, kami meminta dua warga lokal berkebangsaan India untuk bermain. Mereka pun dengan senang hati turun lapangan. Jadilah, permainan berlangsung tanpa wasit dan hakim garis.

Dengan napas tak panjang dan lari tak cepat, saya hanya membayangi pemain lawan dan sekali-kali menerima bola, lalu mengirim ke teman, tak jauh dari saya berdiri. Sekali-kali, saya berlari sekencang mungkin untuk mengejar lawan yang mendapatkan umpan terobosan, hanya untuk menghalang langkahnya. Bagi saya, bola adalah olahraga untuk membuat saya tak bosan berlari di trek, menambah kedekatan dengan banyak orang, dan tentu sekarang memberikan contoh pada si kecil bahwa sukan itu penting.

Sebelumnya, saya sempat ngobrol ringan dengan teman-teman buruh migran asal Indonesia. Mereka sengaja datang untuk merayakan kebersamaan. Mereka bercerita bahwa permainan ini adalah jeda dari rutinitas. Mas Yono, Mas Cholil dan Mas Anton tampak bersemangat mengocek bola. Merek berlari kencang, melesat seperti kijang. Sebelum azan, saya pun beranjak dari lapangan, menepi ke tiang gawang seraya mengambil dan mereguk minuman hingga kerongkongan tak lagi menjerit karena kering. Bola membuat saya haus. Air itu terasa sangat nikmat.

Sunday, January 09, 2011

Mahasiswa Indonesia yang tergabung dalam Persatuan Pelajar Indonesia Universitas Kebangsaan Malaysia sedang melakukan pemanasan di lapangan bola kampus. Mereka akan berlaga dalam pertandingan persabatan dengan PPI Universitas Sains Malaysia, Konsulat Jenderal, dan Ikatan Pekerja Muslim Indonesia (IPMI). Jauh-jauh dari Bangi, sekitar 5 jam dengan bus, anak muda itu datang, yang juga didukung perusahaan pengiriman barang Mandiri. Melihat persiapan mereka, banyak orang yang meramalkan tim ini akan memenangkan permainan, namun kadang bola bercerita lain, mahasiswa dari UKM itu takluk di babak penyisihan melalui adu penalti karena bermain imbang 1-1 melawan IPMI.

Sementara, PPI USM yang bertanding tanpa beban berhasil menempati posisi pertama dengan mengalahkan IPMI karena kesalahan pemain tim pekerja yang membuahkan tendangan penanti. Tentu, tim konsulat yang dimotori pemain veteran agak kewalahan bermain dalam waktu panjang sehingga banyak memungut bola di gawang sendiri. Namun, seperti yang diungkapkan oleh Pak Chilman Arisman, Konsul, dalam sambutan Makan Malam dengan para pemain, di Dewan Banquet, bahwa hal itu tak membuat risau karena sudah dijangkakan. Jauh dari sekadar bermain bola, keakraban pegawai pemerintah, mahasiswa dan pekerja adalah cermin ideal tentang hubungan warga yang setara. Di lapangan, kita mencari keunggulan atas dasar kecepatan, ketahanan dan kelihaian.

Mungkin ada pemenang, tetapi tim yang kalah tak perlu menundukkan kepala. Kemenangan sejati hakikatnya keberhasilan melawan diri sendiri. Lagipula, bukankah sebuah pertandingan mengandaikan yang menang dan kalah? Jadi, yang terakhir tak perlu gundah gulana karena ia sejatinya telah berperan dalam menyangga kehidupan. Lagi-lagi, hasil akhir dari permainan kadang tak sejalan dengan ramalan di atas kertas, tak jauh beda dengan hidup, kita tak bisa menjangka ke mana nasib ini mengalir. Tapi, yang jelas, tubuh kita harus sehat, dan itu dengan bermain bola. Lalu, apa hubungannya dengan menggelecek? Ada. Kata tersebut adalah padanan dari dribble. Untuk itu, kita tak perlu menggunakan kata Irfan Bachdim men-dribble bola, meskipun pemain blasteran itu fasih berbahasa Inggeris.


Saturday, January 01, 2011

Mengawali Waktu di Tahun Baru

Seperti diniatkan semalam, ada dua kegiatan yang akan dilakukan untuk memulai hari pertama di tahun 2011: mengikuti pengajian di Masjid Kampus dan bermain bola di lapangan Minden. Lalu, apa kaitannya dengan gambar di atas? Kebetulan. Setiap kali saya, isteri dan Nabiyya mengikuti kegiatan di atas, kami acapkali melihat upacara ijab kabul pernikahan di dalam rumah Tuhan itu. Sebelumnya, kami melepaskan pandangan sambil lalu.

Namun, di hari pertama tahun baru, saya sengaja datang tepat waktu, 10 pagi untuk pengajian. Seperti biasa, tak seorang pun mahasiswa hadir sesuai pengumuman di milis. Hanya tampak pekerja migran yang sedang belajar membaca al-Qur'an. Lalu, saya pun duduk mengikuti upacara di atas hingga usai. Sang penghulu memimpin acara dengan khidmat. Pengantin lelaki menghapal kalimat, saya terima nikahnya... dengan mas kawin sekian tunai. Lalu disaksikan kerabat, ijab kabul akhirnya berlangsung dengan baik. Wajah lega tampak bertempiaran. Setelah usai, saya pun ke ruangan pengajian, dengan tema Gelombang Dakwah Islam di Nusantara yang dibawakan oleh Pak Dedy AlMasdi, calon doktor di Fakultas Farmasi.

Di sore hari, kami pun pergi lapangan bola. Mendung menggelayut di langit, hujan seakan-akan mengancam. Namun, hanya sedikit muram, butiran air itu tak tumpah. Sesampai di lapangan, saya bergegas, melakukan pemanasan dan bermain bola bersama teman Indonesia dan warga lokal, yang kebanyakan berkebangsaan India. Meskipun tak menggunakan lapangan besar, kami tetap bersemangat mengocek si kulit bundar, seakan-akan melupakan beberapa hari sebelumnya ketika pertandingan final Indonesia-Malaysia mengguncang publik.

Sebelum Maghrib, kami pun beranjak, pulang. Di tengah perjalanan, kami mampir ke warung makan Thailand, Mutiara, untuk makan malam. Saya pun sempat menunaikan shalat berjamaah di surau flat Ivory yang mungil dan bersih itu. Sang imam, mahasiswa Arab, tampak gagah dengan baju hem, jas dan celana. Dengan jiwa tentram dan badah sehat, siapa pun tak perlu lagi memanjangkan angan untuk meraih kebahagiaan, karena di situ kita mengecapi kegembiraan. Lalu, adakah pesta semalam telah membuat Anda melewati hari ini dengan mengaji dan berolahraga? Tidak apa-apa, besok masih ada matahari untuk memenuhi resolusi. Selamat tahun baru 2011, Kawan!

Saturday, November 27, 2010

Meregang Otot

Bermain bola untuk pertama kalinya setelah Nabiyya lahir mendatangkan sensasi tersendiri. Ya, kemarin kami, mahasiswa dan staf konsulat melakukan pertandingan persahabatan di lapangan sepak bola milik Majlis Perbandaran Pulau Pinang, di belakang rumah sakit Adventist, sepelemparan batu dari kantor konsulat Indonesia. Karena kurang peregangan, otot pegal, meskipun setiap inci dari urat terasa lebih kencang dan nyaman. Belum lagi, saya bisa mereguk udara lebih leluasa dan melempar pandangan lebih jauh.

Sedianya ingin berlari kecil, namun jika mendapatkan umpan, saya pun sekuat tenaga berlari membawa bola dan kembali mengumpan bola pada kawan. Tiba-tiba, otot dan urat terasa ditarik kuat, ada sedikit nyeri di situ. Tak hanya menggunakan kaki, mulut pun tak berhenti bersuara, meminta umpan dan memberi ide agar bola ditendang ke kawan di sayap kiri, atau umpan tarik ke depan gawang. Kadang di tengah permainan tawa pun pecah karena melihat kelucuan, apakan tidak, Pak Usman menggunakan tangan agar bola tak menembus gawang dan wasit pun, Mas Didi, mengeluarkan kartu ATM untuk menghukum kartu kuning, meski pemain lawan meminta kartu merah.

Untungnya, matahari berselimut awan, sehingga terik tak menerjang bumi. Di sela-sela permainan, kami pun masih sempat ngobrol ringan. Seorang staf berujar baru pertama kali main bola, yang lain membanyol, bahwa salah seorang pemain adalah pemain dunia, bukan akhirat. Aha, kelakar yang lumayan menerbitkan tawa ketika napas ngos-ngosan. Akhirnya, permainan usai, lalu bersiap-siap ke konsulat untuk menikmati nasi goreng dan kerupuk udang.



Saturday, October 02, 2010

Halal Bihalal Warga

Saling memaafkan memang membuat nyaman siapapun. Kadang pertengkaran itu muncul karena kata-kata yang disalahpahami. Oleh karena itu, hal penting yang perlu diberi perhatian bersama adalah ketaksaan makna dari kata. Dengan menjernihkan pemahaman terhadap kemungkinan polisemik, sejatinya kita bertarung dengan pikiran kita sendiri tentang orang lain, demikian juga sebaliknya. Lalu, mengapa kita melemparkan kesalahan pada liyan? Boleh jadi orang lain memang keliru, namun ia tak sepenuhnya menanggung kesalahan itu. Jika kita yakin ingin melakukan perbaikan, maka setiap individu mengusung tugas suci dengan segala resikonya.

Thursday, September 30, 2010

Silaturahim di RumahTerbuka


Bersama kawan di acara Silaturahim Rumah Terbuka Alumni Universitas Sains Malaysia, saya menemukan banyak jejak, masa lalu. Tak hanya terkait dengan perkuliahan, tetapi juga kehidupan. 

Tentang hidup, Andi Siti, penyanyi dari Sabah, melantunkan lagu yang sama-samar hinggap, tak tahu judul dan penyanyinya. Namun, ia masih terngiang-ngiang hingga sekarang. Kabur, terang, jelas selalu berjalin kelindan. Hanya orang yang percaya meyakini bahwa hidup itu terang.

Terbuka bermakna tidak tertutup. 

Monday, August 16, 2010

Mengaji Lagi


Anak kecil ini bersama kawan-kawannya acapkali hadir di pengajian mahasiswa Indonesia di Masjid Kampus Khalid. Kadang diam, tetapi mereka sering berlarian dan berceloteh. Tentu, kehadiran mereka kadang mengganggu jalannya pengajian. Tapi, tak ada anggota jamaah menyergah mereka, karena tak lama kemudian orang tuanya membawanya membawa menjauh dari majlis. Malah, diam-diam kami menikmati keadaan seperti ini, karena mereka hakikatnya juga belajar dengan caranya yang khas.

Indonesia Baru


Seraya mengutip lagu Pemilu Rhoma Irama, saya menyisipkan apa yang harus dilakukan untuk membuat Indonesia lebih baik, di antaranya mengamalkan aturan permainan (a rule of the game),menyuburkan kejujuran (transparency) dan keadilan untuk semua (Justice for all).

Inilah sekelumit pernyataan yang diselipkan dalam slide yang sempat diterakan pada malam Syukuran Wisuda Mahasiswa Indonesia di Universitas Sains Malaysia pada 5 Agustus 2010 di Dewan Utama Restu Tekun Saujana. Ada banyak gambar yang diambil untuk memperlihatkan betapa bencana kemanusiaan itu bisa menyergap siapa saja dan di mana saja. Namun pada waktu yang sama, jalan keluar itu bisa ditemukan.

Acara yang dihelat PPI-USM ini tak hanya menggelar penghargaan pada mereka yang telah lulus, tetapi juga persembahan angklung yang menyanyikan tentang negeri yang dirindukan itu. Sebagai pembuka, ia menggugah hadirin. Sebelumnya, bacaan ayat suci al-Qur'an dan doa telah membuat suasana sahdu. Tak lupa, pembina organisasi ini, Prof Madya Anton Abdul Basah Kamil turut memberikan pesan untuk mahasiswa. Tentu, karya multimedia yang menampilkan pesan-kesan mahasiswa terhadap teman-teman yang diwisuda menimbulkan keharuan. Apakan tidak, seorang mahasiswa lelaki terisak-isak, yang justeru memantik tawa penonton waktu itu. Alamak! Kelucuan itu hadir di atas tangisan.

Thursday, August 12, 2010

Teman Baik



Mas Heri dan Pak Supri sedang berdiri untuk menerima penghargaan dari PPI USM karena telah menyelesaikan kuliahnya di kampus dalam taman. Di sebelahnya adik-adik S1 yang juga mendapatkan hal yang serupa.

Tuesday, August 10, 2010

Membaca al-Qur'an Bersama



Membaca al-Qur'an bersama di masjid kampus mungkin tak sama dengan apa yang diandaikan oleh Susan Kennel Harrison, Kandidat Doktor di Toronto School of Theology, Koran Tempo, 10 Agustus 2010, dalam artikelnya berjudul "Membaca Kitab Suci Bersama", yang melibatkan pelbagai penganut agama, Kristen, Yahudi dan Muslim. Namun, sama saja, mereka sejatinya sedang menyemai iman dalam lingkaran kecil, sementara para sarjana acapkali ingin membandingkan dengan kelompok di luar dirinya. Tak perlu merasa lebih dari yang lain.

Di dalam gambar di atas, mereka sedang mengurai mengapa kita rugi jika tak mengingat Alqur'an. Sang ustaz, Mohd Yasir Yusuf, dengan lugas memaparkan ayat-ayat yang menjelaskan tema itu. Jauh dari sekadar menguras tenaga menggunakan analisis ilmiah, pertemuan semacam ini menautkan mahasiswa dengan sesama rekan, para pekerja migran dan tentu merawat kebersamaan yang acapkali tersandera oleh kepentingan sesaat. Sebagai tambahan, seorang lelaki berambut keriting dan memakai baju koko putih adalah Rizki yang baru sampai ke kampus untuk melanjutkan jenjang master dalam bidang film. Ia tak perlu waktu lama untuk segera larut dalam kegiatan mahasiswa.

Tentu, hal serupa dituntut pada mahasiswa lain agar meluangkan waktu, duduk bersama, mencari makna dari huruf-huruf yang diterakan dalam kitab suci. Tak seperti kumpulan para sarjana yang berdiskusi dengan sengit, mereka datang untuk mendengar dan mendapatkan kesempatan untuk bertanya. Nah, inilah potret sesungguhnya dari sebagian besar umat Muslim di Indonesia. Sayangnya, para intelektualnya tak sempat menyaring apa yang harus disampaikan pada mereka. Alih-alih menentramkan, pendapatnya acapkali membuat banyak orang awam bingung dan dirundung keraguan. Bisa jadi hal ini terjadi karena media secara tidak sadar mewartakan isu kontroversial, yang sepatutnya berpusar pada segelintir orang. Apa lacur, dunia maya membuat informasi tak bisa dihalang untuk diasup oleh siapa saja. Salah siapa?

Sunday, August 08, 2010

Menjelang Ramadhan


Untuk menyambut Ramadhan, PPI-USM (Persatuan Pelajar Indonesia), Forkommi (Forum Komunikasi Masyarakat Muslim Indonesia di Malaysia, IPMI (Ikatan Pekerja Muslim Indonesia) melaksanakan acara tarhib di Masjid Al-Ittifaq, Sungai Nibong Kecil, Pulau Pinang. Tentu, kegiatan dua hari menjelang puasa merupakan peristiwa penting karena warga Indonesia, mahasiswa, pekerja dan warga keturunan bisa merajut kembali silaturahmi. Hal lain bahwa kegiatan ini bisa dilakukan di masjid lokal, petanda terdapat kedekatan emosional dalam banyak hal di antara kedua warga negara.

Sebagaimana layaknya kegiatan lain, jamaah mendengar beberapa kata sambutan, lalu disusul dengan tilawah al-Qur'an yang dilantunkan oleh Dede Suparna, pekerja Indonesia, dan kemudian acara pembacaan shalawat yang dibawakan dengan indah oleh para pekerja perempuan asal Indonesia. Pada detik tersebut, saya betul-betul hadir karena bacaan pujian terhadapa sang Nabi menyeret saya ke kampung halaman. Acara inti adalah pesan-pesan agama tentang pentingnya berpuasa yang dikaitkan dengan kecerdasan intelektual, spiritual dan emosional. Aspek ini memperlihatkan pada hadirin bahwa kecerdasan emosional itu meliputi kemampuan mengontrol 'emosi' dan menunda pemuasaan hasrat. Nah, berpuasa itu merupakan laku untuk belajar keduanya.

Bagusnya, penulis buku Ketika Allah Menguji Kita ini banyak menyelipkan cerita untuk mengukuhkan tesis di atas, bahwa kecerdasan emosional itu penting, seraya mengutip Daniel Goldman, penulis terkenal berkait dengan kemampuan intelektual dan emosional. Tentu, yang menarik adalah bagian tanya jawab yang lebih jauh memetakan latar-belakang jamaah. Persoalan fiqh juga mengemuka, seperti apakah batal mencicipi makanan untuk mengenal rasanya bagi seorang ibu?

Akhirnya, acara yang dipandu Supriyanto, mahasiswa master Sains Komputer, berakhir dengan doa yang dibacakan oleh penceramah. Kami pun mengamini agar suara-suara keindahan itu menjadi kenyataan.

Friday, August 06, 2010

Rapat dan Helmet

Rapat PPI USM bersama Prof. Madya Haji Mohamad bin Mohd Yusof di Komunikasi. Dari sekian isu, saya terkesan dengan helm[et] yang berada di depan salah seorang pengurus PPI USM. Apakah ia juga turut mendengar apa yang kami bincangkan?

Tuesday, August 03, 2010

Ibu Irzani Ratni dan Mahasiswa


Segera saya mengambil gambar mereka sebelum siap. Apakah kita harus senantiasa mematut diri jika dipotret? Justeru, dalam keadaan belum siap, saya menemukan tawa renyah dan lepas. Ups, yang tak memajang diri pun terkena tempias.

Saturday, July 24, 2010

Para Pekerja Mengaji


Mereka menyesaki pojok masjid untuk mendengar, merasakan dan memenuhi hasrat untuk kesalehan. Para pekerja itu masih menyempatkan waktu untuk mengaji, di tengah pekerjaan yang mungkin menumpuk. Saya pun tak sempat bertanya, betapa banyak yang hadir teman-temannya. Sementara, kalangan mahasiswa sendiri tidak bertambah.

Lintas Batas



Pengajian mahasiswa Indonesia di kampus membuka diri untuk ustaz dari Malaysia dan Yaman. Ini adalah terobosan untuk menjalin silaturahmi dan sekaligus bersedia untuk menerima perbedaan.

Tuesday, June 15, 2010

Pengajian Mahasiswa

Pengajian agama biasa menampilkan pembicara di atas podium dan jamaah duduk bersila, sekali-kali mengangkat lutut. Namun, kal ini, tidak. Sang ustaz cukup duduk dan jemarinya memainkan tuts komputer untuk menyampaikan materi melalui power point. Hebatnya lagi, mahasiswa PhD bidang teknologi makanan ini menyodorkan grafis dalam menerangkan hubungan agama dan budaya. Jadilah, saya mengerutkan kening. Alamak!

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...