Saya mendapatkan undangan melalui email dari pegawai Muzeum USM untuk menghadiri pameran di atas. Dari jauh, saya membayangkan hasil seni itu hadir dalam kepala.
Showing posts with label Seni. Show all posts
Showing posts with label Seni. Show all posts
Wednesday, November 09, 2011
Wednesday, September 15, 2010
Seni Lukis
Sang pelukis, Qaisar Khan, membiarkan contoh lukisan itu terpajang di mal Queensbay dan meja kursi tempat bekerja tak dipindah, tergeletak. Malah, ada tumpukan selebaran berbunyi portrait done in ten minutes. Portrait in oil color, water color, pastels, crayon and pencils can also be done from life and photos. Lalu, di bawah contoh gambar diterakan alamat, kontak, nomor telepon genggam dan email. Dulu, ia menggelar lapak di depan kompleks pertokoan Ivory, tak jauh dari asrama Kampus. Sekarang, ia memilih khalayak lebih luas untuk menjual karyanya.
Di tengah serbuan kamera, seni lukis hadir untuk memindah wajah kita pada kertas dengan pelbagai alat lukis. Saya pun menikmati cara kerja seniman dalam merekam 'tubuh' manusia pada sehelai kertas dengan tarian tangan yang memegang pensil. Gerakan itu berjalan cepat, kadang lambat, seakan-akan memastikan keaslian itu harus dipindah ke media lain, meski semua pun tahu tak utuh. Justeru dalam ketidakutuhan, ia menampilkan sosok manusia dalam wajah lain pula. Namun, saya bisa menebak siapakah gerangan, meski wajah itu tak berwarna, hitam putih. Itu pun terbatas pada tokoh-tokoh yang juga dikenal khalayak luas, seperti artis, politisi, dan pemimpin dunia.
Saturday, June 20, 2009
Menengok Kampus Favorit
Tak hanya itu, di meja tempat kami duduk melingkar tersedia jenis makanan kampung dan sebungkus nasi lemak yang dibungkus daun. Pada masa yang sama, gambar-gambar lukisan Ian juga dipamerkan di tembok ruang diskusi sehingga suasana mencerminkan keadaan kampung, rumah sederhana, hutan belukar, binatang berkeliaran dan keakraban anggota masyarakat. Karya ini seakan-akan mengolok-olok 'kekotaan' yang ternyata menyuguhkan kemewahan namun berjarak, hutan 'beton', burung tak lagi nyaman, dan warganya yang acuh tak acuh.
Sekali waktu, saya juga menghadiri pameran lukisan abstrak yang menyebabkan saya kelu, tak mampu memberikan apresiasi. Ia hadir seperti kerumunan yang riuh, tak tahu apa yang diinginkan. Kadang ada diterakan judul yang menjelaskan gambar, namun saya tetap dalam kebingungan. Lalu, untuk tak berlama-lama dalam kerisauan, saya menghadirkan rasa pada rupa. Aha, di situ ada harmoni yang tak terungkap melalui sebaris kalimat, bahkan meski diterangkan dalam sekujur buku. Ayo, hadirkan rasa, agar logika tak menderas hingga lemas.
Subscribe to:
Posts (Atom)
Pemurnian
Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...
-
Semalam, kami berlatih menyanyikan lagu daerah, Apuse Kokondao Papua dan Ampar-Ampar Pisang dari Kalimantan. Ibu Yunita, mahasiswa PhD Musik...
-
Semalam takbir berkumandang. Hari ini, kami bersama ibu, saudara, dan warga menunaikan salat Idulfitri di masjid Langgundhi. Setelah pelanta...
-
Saya membawa buku Philosophy for Dummies untuk coba mengenalkan anak pada filsafat. Biyya tampak bersemangat tatkala pertama kali mendapatka...