Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Book. Show all posts
Showing posts with label Book. Show all posts

Sunday, October 23, 2011

Makan Pikiran


Makan pikiran? Dua kata ini mungkin tak lazim. Ia bisa dimaksudkan sebagai keadaan yang membuat kita banyak berpikir. Masalahnya, kata banyak pikiran mengandung maksud situasi tidak nyaman. Padahal, bukankah banyak pikiran sepatutnya menyenangkan karena kita mempunyai banyak pikiran, bukan sedikit pikiran? Lalu, bagaimana apabila kita membaca buku Food and Philosophy? Adakah "Belly Happiness" sebagaimana dilaungkan oleh Epicurus hanya berhenti pada pemenuhan kesenangan fisik semata-mata?

Wednesday, September 10, 2008

Kuras-Kuras Kreatif

Kemarin, saya mencomot buku Kuras-Kuras Kreatif yang ditulis sastrawan Azizi Haji Abdullah (Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka, 2007). Sebuah catatan perjalanan kepenulisan sebagai pengarang produktif dalam bidang sastra di tanah Melayu. Meskipun tidak mempunyai pengetahuan teori sastra, beliau menulis sebagai pemenuhan rasa. Sesuatu yang kemudian melahirkan sejumlah cerita pendek dan novel.

Ternyata, kegigihan penerima anugerah S.E.A Write Award ini memantik rasa penasaran saya karena putera kelahiran Kedah ini memanggul beban yang amat berat jika tidak bisa menakwilkan peristiwa menjadi sebuah tulisan. Lalu, dengan serta merta, dia pergi dari rumah meninggalkan isteri untuk satu atau dua hari tinggal di hotel menyelesaikan kehendak mengubah kenyataan menjadi fiksi. Malah, dia blusukan tempat pelacuran karena terpengaruh Chairil Anwar bahwa seorang sastrawan mesti bohemian dan menabrak kelaziman. Secara tersirat juga, ada banyak perempuan dalam proses kreatif kepengarangannya sehingga mereka seperti pendorong kuat untuk terus menulis.

Di dalam buku ini juga, penulis novel Senja Belum Berakhir membela diri bahwa karyanya ini bukan jiplakan dari karangan Toha Muchtar, sastrawan Indonesia, berjudul Pulang. Diakui bahwa novel ini memang telah dibaca dan memberikan ilham dalam mengarang novel di atas. Selain itu, dengan penuh takzim, bekas guru sekolah agama ini mengakui bahwa Shahnon Ahmad, sastrawan terkemuka Malaysia, telah menjadi guru yang baik dalam bidang penulisan. Tambahan lagi, dia juga banyak membaca karya-karya Pramodya Ananta Toer.

Wednesday, January 02, 2008

Membaca Ulang Buku yang Pernah Dipinjam


Akhirnya, saya meminjam kembali buku The History of The Qur'anic Text yang ditulis oleh Prof M. M. Al-A'zami. Buku yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan dipuji oleh banyak orang karena berhasil menjadi pandangan perlawanan terhadap kajian orientalis terhadap al-Qur'an. Selain itu, ia tentu saja akan membantu saya nanti ketika akan menghadapi ujian promosi. Lebih-lebih lagi, saya juga menemukan buku Adnin Armas bertajuk Metodologi Bibel dalam Studi al-Qur'an yang diterbitkan oleh Gema Insani Pers. Karya ini juga disanjung karena mampu menjawab tudingan orientalis terhadap ketidaksucian al-Qur'an.

Biarlah mereka bertarung ide tentang al-Qur'an, sementara kata Nasr Abu Zayd bahwa praktik agama itu sendiri tidak serumit teori yang diperdebatkan. Tidak berarti saya meremehkan, tetapi mencoba mencocokkan apakah kerumitan itu tidak bisa disederhanakan menjadi kata-kata yang menyentuh jiwa. Ya, pesan al-Qur'an harus juga mampu diwujudkan dalam bahasa-bahasa yang bisa mengantarkan pembacanya lebih dekat dengan persoalan hidupnya. Mungkin, sastera adalah jawaban yang tepat bagaimana ayat suci itu menemukan bentuknya dalam daya ucap setiap orang yang sedang gundah karena pegangannya lemah.

Oleh karena itu, saya berusaha untuk juga selalu membawa pulang karya sastera, baik dalam bentuk novel maupun cerpen. Boleh dikatakan, hampir semua karya sastera yang menjadi koleksi perpustakaan telah saya pinjam. Mungkin, karya lama tidak menarik perhatian karena kertasnya udah menguning dan baunya apek. Ya, dengan musik lembut saya menekuri dunia cerita agar pemikiran yang njlimet itu menemukan bentuknya yang mudah dicerna. Bukankah membaca novel The Age of Reasonnya Jean Paul Sartre lebih melenakan dibandingkan dengan membacanya bukunya yang sarat dengan telaah sistematik tentang eksistensi?

Bukan berarti menggampang masalah dan mengambil jalan pintas meraih makna, tetapi harus ada upaya untuk menyerasikan antara dunia ide dan praksis. Jika demikian, ini akan selalu mengingatkan saya pada sosok guru filsafat saya, Romo Haryatmoko di UIN Yogyakarta, yang selalu menyisipkan contoh keseharian dari teori filsafat yang diajarkannya. Dengan demikian, ilmu ini terasa dekat dan tidak lagi mengawang-awang.

Betapapun saya menganggap hidup mesti mengalir, terkadang ada ngarai yang menghadang laju perahu kita. Seperti hari ini, saya begitu terkejut bahwa saya tidak bisa menemui Profesor yang telah sekian bulan tidak bertemu karena beliau menjadi profesor tamu di Fakultas Sastera dan Seni Universitas Brunei Darussalam. Padahal, niat ini telah bulat dan segera mengajukan kepastian tentang ujian disertasi saya. Ada sepersekian detik, saya merasakan kaki lunglai, tetapi kebaikan teman saya membantu melupakan sejenak dan bersama-sama keluar makan siang. Saya juga mengirim pesan pendek (sms) ke isteri bahwa pertemuan dengan pembimbing ditunda hingga ke tanggal 14 Januari 2008. Dia menguatkan saya agar sabar menanti hari tiba.

Hikmahnya, saya ingin segera menyelesaikan pembacaan terhadap manuskrip Bahr al-Lahut yang diterima dari Perpustakaan Universitas Leiden, atas kebaikan keraninya Silvia Vermetten. Dalam waktu dua mingguan, saya bisa menyelesaikan beberapa pertanyaan yang harus dijawab mengenai otentisitas, asal usul, materi dari kitab yang ditulis pada abad ke-7M ini. Apakah Abdullah Arif (Arifin) adalah nama dari sang pengarang atau gelar yang disandangnya? Tentu, ini memerlukan kejelian dan ketelatenan.


Tuesday, April 24, 2007

Great Tradition in Ethics

Untuk keperluan disertasi, saya mencari pengertian hedonisme yang digunakan oleh Toshihiko Izutsu untuk menggambarkan pandangan dunia orang Arab pada masa Nabi.

Di tengah pembacaan, saya menemukan kalimat yang menarik: In opposition to Aristippus, Epicures maintains that the duration of pleasures is more important than their intensity in achieving happiness. Consequently, he argues that the mental pleasures are in general superior to the physical, since they are longer lasting, albeit less intense. Although he finds the physical pleasures unobjectionable in themselves, he contends that the pursuit of them for their own sake does not lead to happiness, but to the reverse (see Denise (et.al), 1996: 49).

Ya, kesenangan mental sejatinya diburu, bukan material!

Tuesday, March 06, 2007

Thursday, March 01, 2007

Penyalahgunaan Kejahatan

Apa yang terlintas ketika kita melihat buku ini yang bersampul hitam dan gambar seorang Presiden dengan dua tanduk di kepala? Dengan mudah kita akan mengatakan bahawa buku ini ingin menyampaikan pesan, George Bush adalah sosok jahat.


Buku ini tidak berbicara secara khusus tentang prilaku orang nomor satu di negeri Paman Sam di atas. Ia ingin mencoba untuk menempatkan 'kejahatan' sebagai pembahasan falsafah. Menariknya, sekarang ia menyatakan bahwa sekarang kita sedang menghadapi sebuah benturan mentalitas (a clash of mentality), bukan sebuah benturan peradaban (sebagaimana tesis Samuel Hungtinton yang terkenal itu).


sebuah mentalitas yang berasal dari sebuah kemutlakan, dugaan kepastian moral dan dikotomi simplistik berlawanan dengan sebuah mentalitas yang mempertanyakan pembelaan terhadap sikap serba mutlak di dalam politik, yang berhujah bahwa ktia harus tidak merancukan kepastian (certitude) moral subjektif dengan kepastian (certainty) moral objektif.

Tuesday, February 27, 2007

Emoh Politik?


Ada sebuah definisi menarik tentang negara (state) dalam buku Managing Politics and Islam in Indonesia oleh Donald J Porter, yaitu ia adalah 'seperangkat organisasi yang diinvestasikan oleh otoritas untuk membuat keputusan mengikat bagi masyarakat dan organisasi, yang secara yuridis terletak di sebuah wilayah khusus dan mengimplementasikan, jika perlu, dengan kekuatan (force). Selain itu, negara terdiri dari lembaga legal-formal dan pejabat resmi (birokrasi, eksekutif, legislatif, polisi, pengadilan dan militer dan intelijen.

Lalu, bagaimana jika pejabat resmi itu lemah, bisa dipastikan keputusan yang seharusnya mengikat, menjadi longgar. Hampir-hampir, di segala lapisan praktik penyimpangan, tapi diterima karena dianggap lumrah. Keadaan kaotik adalah pemandangan biasa.


Monday, February 26, 2007

Yang dicela dan dipuja

Tak semua orang suka film India, tapi tak mungkin kita 'bisa' mengelak bahwa budaya kita adalah turunan Negeri Gangga ini.

Buku bertajuk Socioloty Goes to the Movies mengajak kita untuk memahami fenomena film Bollywood dari kajian sosiologi. Lebih khusus, ia mencoba untuk memahami kemungkinan hubungan antara sinema, kebudayaan dan masyarakat melalui sebuah perbincangan antardisiplin dengan kajian terhadap sinema dari film dan media dan kajian budaya (cultural studies).

Ada sebuah kutipan menarik dari seorang pengarah musik (music director) Kalyanji, "In India life begins and ends with music. For instance, a newborn baby is greeted into the world by songs...there is a song and dance when he weds and dies." (hlm. 47)

Adalah tidak aneh jika kita harus menghela napas sejenak ketika di dalam alur cerita, tiba-tiba disuguhkan sebuah tarian. Sebuah scene yang bisa masuk dalam segala cuaca. Di sini, kita sekaligus bisa memahami bahwa tarian adalah ekspresi segala, dalam sedih dan gembira, bahagia dan sengsara dan tangis dan gembira.

Mereka yang Mesti Bicara

All men are intellectuals, one could therefore say: but not all men have in society the function of intellectuals (Antonio Gramsci, Prinson Notebooks, hlm. 9)

Kutipan di atas menjadi sangat penting. Paling tidak, ia akan menyenangkan semua orang. Intelektual dalam struktur sosial boleh dimasukkan sebagai kelas menengah. Mereka dipandang sebagai kekompok yang 'berkuasa' karena ide-idenya.

The ideas of the ruling class are in every eposth the ruling ideas: i.e. the class which is the ruling material force of society, is at the same time its ruling intellectual force. The class which has the means of material production as its disposal, has control at the same time over the menas of mental production, so that thereby, generally speaking, the ideas of those who lack the menas of mental production are subject to it. The ruling ideas are nothing more than the ideal expression of the dominant materials relationship grasped as ideas...Insofar, therefore, as they (the individuals of the ruling class) rule as a class and determine the extent and ocmpass of an epoch, it is self-evident that they do this in itw whole range, hence among other things rule also as thinkers, as producers of ideas and regulate the production and distributions of ideas of their age. Thus their ideas are the ruling ideas of an epoch. For instance, in an age and in acountry where royal power, aristocracy and bourgeoisie are contending for mastery, the doctrine of the separation of powers proves to be dominant idea and is expressed in an eternal law. (lihat Manheim dalam Ideology and Utopia).

Friday, February 23, 2007

Melahirkan Anak yang Riang

Kalau Anda melihat buku ini, pertama yang terlintas adalah dua bocah perempuan yang tertawa lepas (keturunan China dan Afrika Amerika) dan dua orang yang tak begitu jelas, namun menunjukkan bahasa tubuh yang sama, gerakan kegembiraan. sebuah pemandangan yang acapkali kita lihat di sekitar kita. Mungkin, sekilas terbersit di benak bahwa buku ini akan membuat anak-anak menunjukkan keriangan yang sama.

Buku yang bertajuk Raising an Optimistic Child, sebagaimana kata pengarangnya, adalah untuk memberikan alat memahami sebab umum dan abadi dari depresi yang dialami anak. Meskipun karya ini diilhami dari temuan-temuan dalam psikologi, neorobiologi dan genetik, tapi sang penulis tidak menyediakan ruang yang besar untuk menjelaskan bagaimana teori-teori ini bekerja dan melihat dunia anak kecil, melainkan keduanya menitikberatkan pada bagaimana gagasan besar dalam dunia ilmiah itu diterjemahkan menjadi tindakan praktis sehari-hari.

Dengan bahasa yang bisa diakses pembaca secara umum, buku ini mengingatkan kita bahwa anak-anak sekarang terancam oleh perkembangan teknologi yang pesat. Namun demikian, dalam keadaan seperti ini, sebenarnya banyak unsur-unsur yang memungkinkan lahirnya generasi yang optimis dan mengalami kebahagiaan abadi yang otentik, persahabatan sejati dan pemenuhan kebutuhan yang sebagian besar bisa dimulai sejak usia enam tahun. Demikian juga terbuka kemungkinan bagi meruyaknya depresi, kecemasan dan banyak penyakit fisik, dari penyakit jantung hingga kencing manis.

Karya ini menyediakan informasi bagaimana orang tua dari anak kecil menciptakan kondisi yang membantu keberlangsungan optimisme dan mencegah depresi. Memang, bagi orang dewasa tidak terlalu susah untuk menghadapi hilangnya mood, dengan cara merubah cara mereka berpikir tentang sesuatu, namun pendekatan semacam ini tidak berlaku bagi anak kecil. Sejak dilahirkan hingga usia enam tahun, anak kecil justeru meniru bagaimana orang tua mereka berpikir dan mengekspresikan emosi. Otak anak kecil, jelas sang penulis, adalah sebuah alat perekam yang akan menyimpan setiap perilaku interaksi antara orang dewasa dan akhirnya digunakan untuk melakukan hal yang sama ketika dewasa.

Selanjutnya, kita akan diperlihatkan apa yang harus dilakukan terhadap anak kecil kita jika mereka tampak malas-malasan, titik awal depresi. Di sini orang tua seharusnya menilik kembali bagaimana menjadi orang tua yang optimistik. Paling tidak, ada enam faktor yang harus mendapat perhatian, yaitu orang tua mempunyai hubungan yang baik, meluangkan waktu dan penuh perhatian, bersikap empati dan konsisten, nilai-nilai bersama dan akses terhadap lingkungan alamiah yang penuh tantangan.

Selain orang tua melihat ke dalam, mereka juga perlu memahami hal apa yang menyebabkan buah hatinya terserang depresi. Dalam psikiatri, depresi bisa dimulai sejak dalam kandungan apabila sang ibu mengalami ketertekanan ketika sedang hamil. Tanda-tanda depresi anak meliputi perasaan, pikiran, fisik dan prilaku (lebih jauh lihat hlm. 27-28).

Pemicu ketertekanan anak itu sendiri ternyata bersumber dari dunia sekelilingnya, seperti depresi orang tua, pemisahan dari ibu pada masa awal kelahiran, perceraian atau konflik keluarga, kematian atau penyakit dari anggota keluarga, penderaan fisik, kurangnya penghargaan dan dorongan dan seterusnya (hlm. 30-31).

Setelah kita mengenali faktor orang tua, tanda-tanda dan pemicu depresi pada anak kecil, penulis memberikan langkah-langkah praktis untuk mengatasi semua itu, yang sebenarnya bisa dilakukan oleh pasangan normal. Bagian penting ini diletakkan pada bab ke dua.

Menariknya, upaya mengatasi depresi yang tertinggi adalah spirualitas. Ini didasarkan pada beberapa kajian terbaru, di antaranya Pusat Medik Universitas Duke di bawah pengayoman Profesor Harold Koenig, menunjukkan bahwa spiritualitas, dalam segala manifestasinya, berangkali merupakan anti-depresi yang paling ampuh. Tanpa nilai-nilai spiritual, kehidupan kita hampa, tanpa sebuah sistem kepercayaan, kita akan menjadi pecundang.

Lalu, apa kaitannya dengan anak kecil? Ternyata nilai-nilai spiritualitas merupakan sarana untuk mengukuhkan dan memasuki dunia batin yang damai, yang menjadi dasar bagi optimisme bagi orang tua dan sekaligus anaknya. Selain itu, ia juga menguatkan kebersamaan keluarga. Namun, sang penulis mengingatkan bahwa meskipun kebanyakan keluarga mempunyai kebiasaan dan adat, tetapi acapkali bukan ritual sejati. Dengan merujuk kepada pernyataan David Cortesi bahwa sebuah tindakan ritual hanya akan menjadi rutinitas jika tidak disertai kesedaran akan makna simbolik dan emosinya, buku ini menyuarakan hal yang sama dengan prinsip-prinsip keagamaan secara umum untuk tidak memisahkan agama dari ruh dan semangatnya.

Di sini, penulis memberikan pesan yang sebenarnya akrab dengan kita, yaitu meditasi, doa, ibadah, menghadiri tempat suci, menikmati alam sambil berjalan kaki, menjadi sukarelawan untuk kegiatan amal, memelihara binatang dan musik yang akan melonggarkan ketegangan orang tua yang diikuti tarian sang anak.

Meskipun buku ini ditujukan untuk orang tua, namun hakikatnya ia bisa dibaca juga oleh mahasiswa yang bisa menjadi ‘penyampai’ pesan untuk orang tua keponakannya dan tentu saja para pendidik di negeri ini agar tidak mengulang melahirkan generasi yang membuat bangkrut bangsa ini.


Judul Buku : Raising an Optimistic Child
Penjulis : Bob Murrah, Ph.D. dan Alicia Fortinberry
Penerbit : McGraw-Hill
Cetakan : 2006
Tebal : 239 halaman+ Indeks

Ahmad Sahidah Kandidat Doktor Ilmu Humaniora Universitas Sains Malaysia

Wednesday, February 21, 2007

Islam dan Politik

Politik menjadi sangat penting untuk memahami pesan Islam. Untuk itu, ia bisa dijadikan variabel untuk menuntaskan wajah 'muram' teks yang kita pahami.

Hari ini, saya meminjam buku Islam and Politics in the Contemporary World, oleh Beverly Milton-Edwards dan sebagai penyeimbang sekaligus saya mengambil buku Identitas Politik Umat Islam oleh Kuntowijoyo.

Saya tertarik dengan pernyataan Pak Kunto di awal bab XVII (hlm. 219) bahwa dalam politik umat Islam seperti penumpang perahu yang berlayar di laut lepas, tanpa bintang tanpa kompas, tidak tahu tujuan dan tidak tahu cara berlayar. Kadang-kadang umat dibuat bingung sebab panutannya berbuat seenaknya, lupa bahwa di belakangnya ada banyak orang. Karenanya kaidah politik umat harus ditentukan dengan jelas, sehingga umat terbebas dari temperamen pribadi seorang pemimpin. Bahkan, seorang pemimpin harus mengikuti kaidah, bukan sebaliknya, menentukan kaidah.

Selanjutnya, saya akan memosisikan sebagai apa?

Thursday, June 29, 2006

Islam Liberal

Setelah makan di kantin Kampus, saya ke toko buku. Ketika melihat-lihat di highlight, ada buku terbungkus plastik berjudul Islam Liberal: Tafsiran Agama yang Kian Terpesong. Rasa penasaran membuat saya merogoh kocek untuk memilikinya. Saya berharap buku ini membantu saya lebih jauh memahami kritik pemikir Islam Malaysia terhadap Islam Liberal. Setelah Mufti Perak Datuk Seri Harussani Zakaria mengharamkan Pluralisme, Liberalisme dan Sekulerisme, saya ingin mengetahui lebih detil akar pengetahuan kenapa orang Islam di negeri Jiran alergi dengan arus pemikiran liberal. Tidak jarang mereka mengkhawatirkan virus ini menyerang rakyat Melayu, setelah Indonesia mengalami 'kerasukan' hama ini.

Meskipun salah satu pemikir moderat Candra Muzaffar mempertanyakan persepsi Mufti akan pengertian ketiga istilah di atas, namun gaung pemikir cemerlang ini tidak sehebat tokoh ulama dari Perak ini. Ia tenggelam oleh liputan yang memihak terhadap ulama.

Saturday, June 24, 2006

Jilbab

Kadang, saya perlu melakukan sesuatu yang beda, agar hidup sepertinya penuh warna. Pagi ini, pukul 7, saya berangkat ke kampus untuk membaca berita dan artikel di surat kabar. Udara segar dan bumi belum terang karena malam masih menyisakan selimutnya.

Hampir satu jam saya menghabiskan waktu di depan komputer. Tubuh menuntut jatah sarapan. Saya bergegas ke warung India di Sungai Dua depan Masjid kampus. Di sana, sebungkus nasi lemak dan kopi membuat perut nyaman. Tapi, setelah kenyang, saya tidak bisa kembali ke kampus karena hujan deras mengguyur bumi. Biasanya tidak lama, namun hari ini langit sepertinya senang bermain air. Ia menumpahkan tetes tak henti-henti. Di tengah dingin menusuk, terbersit untuk merokok.

Sambil menunggu hujan reda, saya menekuri buku Jilbab : Antara Kesalehan, Kesopanan dan Perlawanan tulisan Fadwa el Guindi (Jakarta: Serambi, 2003). Sebagai sebuah kajian, buku ini mencoba melakukan sintesis antara etnografi, sejarah, teks al-Qur'an, Hadits dan tafsir. Lengkap sudah wajah penelitian ini. Ia tidak hanya melihat fenomena jilbab sebagai 'kewajiban normatif' yang diterakan dalam teks, namun juga relasi kuasanya dengan perkembangan dan pergolakan dalam masyarakat Muslim.

Kadang, di tengah pembacaan, saya mencoba untuk mencari bahan bagaimana 'etika' pakaian ini diletakkan dalam kehidupan masyarakat, apakah cukup pada 'etik' atau 'hukum' yang mengakibatkan sangsi, seperti di Iran.

Saya tentu saja memilih yang pertama, tapi menghargai yang kedua pada batas-batas tertentu. Bagaimanapun jilbab tetap berada dalam konteks masyarakat yang menafsirkan. Lalu, bagaimana dengan Anda?

Thursday, June 22, 2006

Embodying Gender


Buku ini ingin menjelaskan tubuh dalam sosiologi.

Pertanyaan kunci yang ingin dijawab adalah
o Apa yang dikatakan sosiologi tentang tubuh?
o Apa dampak dari tubuh yang dijelaskan oleh sosiologi?
o Kerangka konseptual apa digunakan untuk membahas tubuh? Bagaimana hal ini berkaitan dengan isu jender dan pengalaman tubuh?
o Bagaimana alat konseptual feminis berdiri di samping analisis sosiologis?

Seperti di dalam pengantarnya, Alexandra Howson menegaskan bahwa di satu sisi, perkembangan sosiologi tentang tubuh diinformasikan oleh komitmen, betapapun khas dan beragamnya ditafsirkan, pada identifikasi konteks, hubungan, praktik dan struktur yang membentuk penubuhan manusia. Di sisi lain, kesarjanaan ini banyak dituduh terlalu abstrak, ia tidak lagi dapat dipertahankan bahwa tubuh itu secara teoretik terbuka.

Lalu, bagaimana tubuh itu diperlakukan? Jawabanya: tergantung pada lokalitas, partikularitas dan audiens. Semuanya berada dalam keragaman tanggapan.

Interpetation: An Essay in the Philosophy of Literary Criticism

Buku ini membuat saya senang alang-kepalang. Ia tidak hanya membantu untuk memetakan pelbagai teori penafsiran tetapi juga melakukan kritik terhadap teori bersangkutan.

Dimulai dari teori penafsiran Hirsch, ahli linguistik Amerika, Juhl melihat teori intensionalisme pengarang sebagai cara membaca sebuah teks. Seperti diungkapkannya:

Verbal meaning is whatever someone has willed to convey by a particular sequence of linguistic signs and which can be conveyed (shared) by means of those linguistic signs. (1980: 17)

Sebagai pembaca kita bisa berbagi dengan makna pengarang karena terdapat kesepatan tanda-tanda linguistik. Tapi, mungkinkah?

Sunday, June 18, 2006

Islam in World Culture: Comparative Perspektif


Sebuah bunga rampai tentang wajah Islam di dunia. Tapi, saya membelakkan mata untuk satu artikel khusus yang ditulis oleh Anna Gade dan R Michael Feener berjudul 'Muslim Thought and Practice in Contemporary Indonesia'.

Namun ada beberapa pernyataan yang terasa janggal, yaitu halaman 212: Amin rais, who earned his doctoral degree in the United Stetes, led the Muhammadiya Muslim modernist organization beginning in 1993. Rais was received as a Muslim advocate of social justice and at time garnered significant support in a political coalition with Megawati Sukarnoputri. Previous anti Christian and anti-Chinse remarks and calls for the establishment of an Islamic state by Amien Rais, however, had caused considerable concern among his potential constituent, many Muslim among them.

Tulisan yang sengaja saya cetak tebal adalah kutipan yang 'ngawur'. Pak Amin tidak mengakui adanya negara Islam. Lalu, kenapa pernyataan ini tiba-tiba diambil begitu saja tanpa diteliti lebih dalam? Inikah keteledoran yang disengaja? Mungkin sang penulis yang bisa menjawabnya.

Inilah komentar penerbit atas buku tersebut:

Islamic fundamentalism is a growing political factor in world affairs. This work, based on the most recent scholarship, provides both explanatory essays and ready-reference components. An expert on Middle East history, Davidson explains the Islamic fundamentalist worldview and the actions and aims of those who adhere to it. He also addresses Islamic fundamentalist attitudes toward democracy, violence, and women. Ready-reference components include a timeline of events, biographical profiles of key Islamic fundamentalist leaders, 10 primary documents explaining Islamic fundamentalist views, a glossary of terms, an annotated bibliography, and a selection of photos.

Fundamentalisme Agama dan Ekstremisme Politik

Sebuah awal yang menarik:

Men never do evil so completely and cheerfully
As when they do it from religious conviction - Pascal

Buku ini adalah sebuah kumpulan yang merangkum pelbagai tulisan tentang kekerasan yang bisa menyergap manusia atas nama agama dan politik.

Di antara artikel yang membetot perhatian saya adalah tulisan Daphna Canetti-Nisim berjudul 'Two Religious Meaning System, One Political Belief System: Religiosity, Altenative Religiosity and Political Extremism'.

Tampak dari judul bahwa di luar agama formal terdapat agama 'pilihan lain' yang unsur-unsurnya sama dengan agama lembaga (institusionalized religion). Yang pertama berpijak pada ajaran yang 'mapan' dan yang terakhir lebih 'cair'.

Lalu, apa kaitannya dengan politik? Sebuah temuan yang menarik bahwa semakin seseorang bersikap ortodoks dalam kepercayaan agama, maka semakin lemah keterikatannya dengan garis politik-liberal di dalam politik.

Essensi Agama

Pemikiran demokratik tidak mudah menyapa iman-magis religius. Acapkali agama dihilangkan dengan kehadiran demokrasi Barat. Ini berakar dari pandangan tokoh Pencerahan Barat, Seperti Freud dan Marx, yang melihat agama adalah isu tetnang ketidakmatangan (immature) dan kekanak-kanakan (childish), tetapi agama membantu kita untuk menerima penderitaan di dunia dengan janji mendapat ganti di akhirat tanpa perlu mengambil tindakan sosial dan politik.

Mungkin, pernyataan di atas tidak dilihat secara harfiah tanpa menghadirkan konteks yang pekat. Namun demikian, sebagai sebuah kritik, ia perlu mendapat apresiasi. Selain kita juga perlu menengok pandangan pemikiran lain yang lebih simpatik terhadap agama, seperti Allport dan James. Paling tidak, menurut keduanya, agama terbagi dua jenis, instrinsik dan ekstrinsik. Pertama, agama dilihat sebagai tujuan di dalam dirinya. Jenis ini cenderung konservatif dan mengambil posisi ultra-ortodoks. Kedua, agama dipandang sebagai sarana untuk tujuan lain, terutama yang bersifat sosial dan politik dan agama mempunyai implikasi di dalam semua bidang kehidupan.

Lalu, di manakah kita berada?

Wednesday, June 07, 2006

Islam sebagai teori dan praktik

Sebagai praktik, Islam telah menjadi bagian keseharian sejak kecil. Tapi, secara teoretik, ia muncul secara kritis sejak belajar di perguruan tinggi. Hingga sekarang, saya masih menekuri pelbagai persoalan Islam dan sejarah pemikirannya.

Hari ini, saya meminjam buku (baru diperoleh) yang disunting oleh R. Michael Feener berjudul Islam in The World Cultures: Comparative Perspectives. Dari sekian penulis, hanya satu yang beragama Islam [dilihat dari namanya sih?]. Justeru disinilah sumbangan buku ini bagi kita. Orang luar berbicara Islam. Lalu, apakah pemahaman mereka sama dengan kita sebagai muslim? Di sinilah sebuah dialog perlu dimunculkan agar kita sama-sama melihat masalah secara jernih.

Saturday, May 27, 2006

Hujan Semalam

Hujan selalu mendatangkan harap bahwa esok pagi akan segar. Meskipun tidak deras, tapi tetesannya bisa terlihat dari dekat lampu jalan.

Setelah makan malam, saya kembali ke kamar. Untuk melemaskan otot, saya nonton film 'ringan' Charlie's Angles: Full Throttle. Tak perlu banyak mengerutkan dahi, tema, plot dan karakternya jelas, tidak rumit. Tidak puas dengan film laga ini, saya masih berkutat untuk melanjutkan nonton film lain berjudul Trapped. Alurnya memang menegangkan, tapi masih menyisakan haru untuk menguras emosi. Kehadiran Charlize Theron, Courtney Love (Si Janda Court Cobin) dan yang menggemaskan Dakota Fanning membuat film ini enak ditonton. Seperti biasa, ia berakhir bahagia. Yang benar dimenangkan dan yang jahat dikalahkan, bahkan mati.

Lalu, naik ke lantai atas, saya membuka kembali buku yang baru dipinjam The Politics of Islam in Contemporary Malaysia oleh Kamarulnizam Abdullah. Dengan pendekatan konsep 'keamanan' (The Concept of Security), ia mencoba untuk menjelaskan pertarungan kelompok sekuler (UMNO) dan agama (PAS) dalam memperebutkan otoritas politik dan agama di tanah Melayu ini.

Pembacaan ini membuka banyak kemungkinan penjelasan tentang pertarungan pelbagai kelompok untuk meraih kekuasaan politik dan ekonomi. Tentu saja, keterlibatan orang Indonesia sangat menarik karena turut meramaikan hiruk-pikuk pertengkaran di tanah Jiran ini.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...