Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Kajian Islam. Show all posts
Showing posts with label Kajian Islam. Show all posts

Wednesday, November 24, 2010

Hari Raya dan Makna Kurban

Rabu, 17 November 2010 Seputar Indonesia

Ahmad Sahidah PhD Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia

Shalat dua rakat, takbir, dan penyembelihan korban merupakan kegiatan yang identik dengan perayaan Idul Adha. Media cetak dan elektronik akan memuat gambar ribuan orang berjamaah menunaikan sembahyang dan sejumlah orang kaya menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyu’. Betapa tersentuh kita melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada si miskin. Selang beberapa waktu kemudian, penganutnya terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiositas dan sikap filantrofis itu hilang tak berbekas.

Jika umat Muslim bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya tak keberatan menyisihkan uangnya untuk berderma, maka di luar hari raya itu, sepatutnyan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, boleh dikatakan setelah itu, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, tebersit dalam benak bahwa kebiasaan perayaan itu seakan-akan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.

Padahal, jika suasana kebersamaan itu merembesi dalam keseharian, betapa hidup bisa tertanggungkan. Bukankah, komunitas yang bertetangga itu perlu ruang untuk saling menyapa dalam suasana damai dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, tentu keadaan semacam ini menjadi ruang bertegursapa dengan jiran. Sayangnya, kebanyakan mereka tak hirau. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang. Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?

Menyemai Semangat

Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983). Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.

Masalahnya, apakah keutamaan bersembahyang jamaah, seperti shalat Id, dan berderma hanya dilakukan pada hari raya Kurban? Jawabannya jelas tidak, justeru kehendak mewujudkan ‘suasana’ hari raya Kurban di hari-hari yang lain merupakan keberhasilan memaknai kategori imperaktif dari sebuah kewajiban. Hari raya itu adalah momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas Muslim terjalan berjalan dengan baik. Hari raya Id adalah puncak dari berkumpulnya komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga misalnya. Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi tidak meminta umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu hanya setahun sekali.

Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya mereka yang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas. Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas on line untuk beramal. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat. Diharapkan dengan sikap seperti ini akan mendorong pemerataan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Melalui semangat berkorban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud.

Teladan

Jika banyak orang yang bisa berkorban sapi pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan wakatunya dan juga lebih produktif? Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain. Apalagi seperti telah diketahui umum untuk memenuhi kebutuhan sapi korban, Indonesia harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan negara lain, yang tentu saja menghabiskan devisa negara.

Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Jauh dari itu, ikhtiar semacam ini menjadi jembatan menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial. Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.

Keberhasilan Lembaga Amil Zakat Yaumil, LNG Bontang Kalimatan Timur dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut diberi perhatian. Tidak saja pendataan kaum miskin yang meliputi pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang mereka, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan. Pertanggjungjawaban dan keterbukaan semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak lembaga yang serupa, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkorban ini. Kalau hanya meluang waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, mungkin itu belum cukup untuk disebut berkorban.

Oleh karena itu, pemisahan kata hari raya dan makna kurban dalam judul di atas sebenarnya ingin menegaskan betapa perayaan itu kadang melupakan makna kurban yang sesungguhnya. Hari besar ini hanya mengisi liburan sehari. Media massa pun berlomba-lomba untuk mengulang berita yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berbeda waktu. Padahal, pengorbanan ini menyimpan makna yang jauh lebih kaya dari sekedar bersembahyang dan membagikan daging korban. Kebersamaan pada salat id adalah kehendak bersama untuk hidup rukun dan penyembelihan hewan itu adalah simbol pengorbanan untuk menolong orang lain agar tak berkubang dalam kemiskinan. Jika semangat ini bisa diraih, maka kita bisa memperoleh makna kurban hari raya, tanpa dipisah oleh kata dan. Semoga!

Idul Adha dan Kemandirian Ekonomi

Selasa, 16 November 2010 Koran Tempo

Ahmad Sahidah PhD, PENELITI PASCADOKTORAL DI UNIVERSITAS SAINS MALAYSIA

Sebagai ibadah, Idul Adha berkait erat dengan salat id dan penyembelihan hewan kurban. Menurut fiqh, ia merupakan puncak dari ibadah haji, yang juga dirayakan oleh umat Muslim seluruh dunia. Ritual penyembelihan kurban merupakan bagian khas yang selalu menarik perhatian. Sebelumnya, pasar sapi dan kambing dadakan bermunculan dan penyembelihan sesudah shalat juga telah mengundang banyak orang untuk datang. Sayangnya, untuk mencukupi kebutuhan daging, Indonesia harus mengimpor sapi dari luar negeri. Pada masa yang sama, kebijakan ini juga merugikan peternak lokal, karena harga jual sapi tak sepadan dengan biaya pakan dan tenaga.

Jauh sebelumnya, Yusuf Kalla (Tempo, 30/06/08) menyesalkan bahwa Indonesia harus mengimpor sapi dari luar. Sepatutnya ini tidak perlu terjadi karena sebagai negara agraris, para petani mempunyai banyak kesempatan untuk sekaligus beternak. Oleh karena itu, pemerintah mendukung usaha Nusa Tenggara Barat untuk mewujudkan “Bumi Sejuta Sapi” melalui pinjaman tanpa bunga. Di Pulau Sumbawa sendiri telah disiapkan lahan 1.007 hektar proyek percontohan Lar Limung dengan harapan pada tahun 2013 negeri seribu Masjid itu menghasilkan sejuta ekor sapi dan dengan sendirinya menggerakkan sektor ekonomi lainnya.

Kegagalan swasembada ini bermuara dari pengertian ibadah yang dirayakan pada 10 Dzulhijjah ini yang hanya dipahami sebagai pelaksanaan shalat dua rakaat dan berkurban. Sementara, bagaimana mewujudkan pesan tersirat dari Idul Adha itu sendiri tidak ditonjolkan. Penegasan Nabi bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan Tuhan selama hari-hari Kurban selain menyembelih binatang ternak menunjukkan Tuhan hadir tidak hanya di tempat ibadah, sakral, tetapi dalam ritual ‘penyembelihan kurban’, profan. Dengan kata lain, hal ihwal duniawi merupakan jalan lain menuju ilahi. Sepatutnya, sebagaimana dalam etika Protestan Max Weber, dorongan untuk berkurban bisa dianggap panggilan atau beruf yang bisa mendorong pada kemandirian ekonomi umat.

Semangat Bederma

Idul Adha adalah momen untuk mengingatkan Muslim agar mengagungkan Tuhan dan peduli dengan masyarakat sekelilingnya. Pada hari raya inilah mereka bersua dan bercengkerama. Ini tidak berarti setelah mereka menunaikan shalat dua rakat dan berkorban seekor lembu, tugas agama telah tertunai secara sempurna. Semangat dari perintah ini adalah bagaimana rasa religiositas merembesi prilaku sehari-hari dan keprihatinan itu berbuah tindakan. Lalu, bagaimana mewujudkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari?

Pengagungan Tuhan tentu mengandaikan ketaatan mutlak hamba yang tidak direcoki dengan berhala-hala lain dalam kehidupan, seperti jabatan, rumah, mobil dan lain-lain. Sementara keprihatinan itu mendorong semua pihak untuk memikirkan bagaimana upaya menghapuskan kemiskinan bisa dilakukan melalui pengadaan dan pemeliharaan hewan ternak yang melibatkan peternak tak bermodal. Mungkin, inilah yang perlu dirawat lebih telaten dan teratur agar amal kedermawanan itu tidak bersifat sementara dan karikatif.

Di tengah kehendak mewujudkan perubahan itu, sebenarnya banyak lembaga amil zakat yang mencoba menjadikan usaha ternak menjadi bagian proyek yang produktif. Salah satunya adalah Lembaga Amil Zakat Yaumil LGN Bontang Kalimatan Timur. Dengan mendata rumah tangga miskin, badan tersebut mengelola ternak yang diserahkan pada peternak tanpa modal dan diawasi secara berkala. Lebih jauh dari itu, publik juga mempunyai akses terhadap perkembangan usaha tersebut melalui laman sesawang (website) dan tak hanya itu, seluruh kegiatan amal ini telah diaudit.

Dengan slogan amanah, profesional dan inovatif, lembaga di atas berhasil menjadi mediasi antara dermawan dan orang yang memerlukan modal untuk usaha kecil. Uniknya, syarat pengisian formulir pinjaman memasukkan pengesahan ketua Rukun Tetangga dan pengurus masjid (takmir) setempat. Ini berarti bahwa pemberian kredit mikro ini memusatkan pengembangan ekonomi berbasis lokal. Selain itu, ia juga melihat bahwa masjid tidak hanya dilihat sebagai tempat ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial-ekonomi). Pendek kata, fungsi sosial dari agama harus diperhatikan untuk mewujukan ketahanan dan kemandirian umat.

Tentu, banyak organisasi serupa yang telah berkiprah di tengah masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk kelompok masyarakat yang berjuang untuk menegakkan syari’ah secara formal, organisasi yang memusatkan perhatian pada pengembangan ekonomi masyarakat luas telah maju selangkah dalam menanamkan nilai-nilai syari’ah itu dalam kehidupan praktis. Maksud syari’ah yang terkait dengan pembelaan martabat manusia akan lebih terasa dengan amal nyata, dibandingkan retorika. Untuk itu, mereka yang acapkali turun ke jalan seraya membawa spanduk dan bendera untuk mendirikan negara Islam atau khilafah, sebaiknya pulang ke kampung halaman masing-masing, karena kedaulatan umat itu ditandai dengan kesejahteraan konkrit, bukan janji-janji kemakmuran yang akan diraih dengan mengubah dasar negara.

Agama Progresif

Tarik menarik kubu liberal dan revivalis berkait dengan persoalan keagamaan selama ini masih berkisar pada isu negara Islam, perkawinan antarumat beragama, jalan keselamatan, kebenaran mutlak, yang sejatinya mengandaikan pluralisme pendapat. Memang, kita memerlukan jawaban dari persoalan tersebut, namun perseteruan yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai tidak harus menenggelamkan isu lain, pembebasan umat dari ketergantungan. Apatah lagi, perselisihan di atas hanya berpusar pada kalangan elit intelektual kedua kelompok. Sementara, konsep etik Islam berkait dengan pembelaan terhadap kaum miskin terabaikan.

Untuk itu, Islam Progresif tak ingin lagi berkutat pada isu-isu kontroversial tersebut, melainkan bagaimana mewujudkan keadilan sosial yang selama ini diabaikan. Pada masa yang sama, Omid Safi dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (2003) menegaskan bahwa keadilan itu tidak terwujud jika keadilan perempuan tidak diperhatikan. Tentu, tesis yang terakhir ini tidak berlebihan karena kaum perempuan memegang posisi kunci dalam ekonomi keluarga. Keberhasilan Grameenbank Mohammad Yunus dari Bangladesh dalam memberdayakan partisipasi kaum ibu dalam penguatan kemandirian keluarga tentu menjadi proyek yang patut dipertimbangkan oleh banyak pihak. Di banyak daerah di Indonesia, kaum ibu juga terlibat dalam usaha peternakan sapi, yang tentu saja usaha mereka akan makin kuat dengan dukungan banyak pihak.

Sudah saatnya, semangat revolusioner agama tidak dibekap pada jargon dan drama panggung. Energi umat yang banyak dihabiskan untuk memperebutkan kebenaran sepihak telah menghilangkan kesempatan untuk merawat pesan tersirat kewajiban agama, kepedulian terhadap yang teraniaya dan terpinggirkan. Adalah ironi jika mereka yang menabalkan dirinya cerdik pandai hanya beradu hujah, sementara umat yang mesti dibela menanggung padah. Ketimpangan distribusi kekayaan telah menimbulkan banyak mudarat. Jika ibadah Kurban itu merupakan ikhtiar untuk menciptakan keadilan sosial, maka sepatutnya semua kelompok bahu membahu untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dan kelompok yang terakhir inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan orang ramai. Selamat Hari Raya Berkorban!

Tuesday, July 27, 2010

Memahami Metafora Burqa

Sinar Harian, 27 Juli 2010.
Oleh - Ahmad Sahidah


Perancis menetapkan larangan pemakaian burqa. Nampaknya, banyak negara Eropah berlumba-lumba untuk mengharamkan gaya berpakaian yang unik ini. Pertimbangan politik tentu sahaja mengemukakan dengan dalih penghormatan kepada perempuan.

Meskipun demikian, tidak semua bersetuju, namun majoriti menghendaki agar perempuan tak menutup seluruh tubuhnya kerana dianggap menghalang penyertaan Muslimah dalam kehidupan masyarakat tempatan. Ideologi negara-negara Eropah menghendaki perempuan untuk meraikan kebebasan sebagaimana golongan lelaki.

Dalam kalangan Muslim sendiri, perdebatan di antara penyokong dan penentangnya masih tidak berganjak daripada persoalan normatif. Padahal, kemungkinan untuk menggeser perbezaan ini kepada dialog yang lebih mendasar terbuka lebar. Martabat perempuan tidak lagi dibatasi kepada penutupan tubuhnya, tetapi lebih jauh lagi daripada tangan-tangan jahat melalui pencitraan ideal oleh iklan yang menjadikan badan mereka sebagai objek. Di sinilah, analisis kajian budaya (cultural studies) diperlukan untuk memahami lebih jauh makna perlambangan pakaian.

Televisyen telah menjadi alat ampuh bagi industri untuk menjual barangan hingga ke bilik tidur pelanggan. Kaum perempuan dibuat tidak selesa dengan keadaan dirinya dan pada masa sama, alat solekan menawarkan jalan keluar agar golongan hawa ini tampil menyerlah. Hampir tidak ada dari anggota tubuh perempuan yang tidak tersentuh oleh barang jualan; dari kuku, rambut, kulit, mata, bahkan alat sulit. Padahal ilmu kesihatan hanya menyarankan wanita untuk tidur secukupnya, makan secara teratur, minum air lapan gelas sehari, pengurusan tekanan (stres) dan bersukan agar mereka nyaman dengan tubuhnya.

Sepatutnya kontroversi berkait pakaian perempuan tidak hanya memperkatakan perintah normatif, dengan mengabaikan sisi lain dari falsafah hukum atau ilat (sebab). Bagaimanapun, tudung atau burqa itu adalah penanda kehormatan bagi wanita. Di sini, pertimbangannya berkait dengan kepatutan. Selain itu, common sense juga perlu dijadikan pertimbangan agar amalan keagamaan khalayak berada pada titik keseimbangan antara ekstrem kanan dan kiri. Tudung yang menyisakan muka dan telapak tangan telah diterima orang awam sebagai ciri khas Muslimah, dibandingkan burqa. Akibat logik dari amalan ini tentu sahaja pertanggungjawaban moral dari simbol itu, bahawa ia harus menjaga nilai etika yang dikandungnya.

Imej sejati

Penutupan seluruh badan perempuan hakikatnya boleh dilihat sebagai perlawanan terhadap kehendak menjadikan tubuh golongan hawa ini sebagai objek daripada industri, alat solekan, fesyen hingga makanan diet dan suplemen. Idea kebebasan perempuan telah disalahgunakan untuk memenangkan pelabur dalam industri kecantikan. Hampir seluruh media mengepung ruang gerak perempuan. Bahkan, diam-diam perempuan yang menggunakan burqa pun tidak boleh mengelak daripada serbuan iklan. Di balik burqa, seluar dan kasut berjenama mereka telah menjadi bahagian fesyen.

Padahal, Cynthia M Frisby, ahli psikologi kepenggunaan, menunjukkan data, bahawa pendedahan terhadap imej kecantikan ini secara negatif mempengaruhi kepercayaan diri perempuan sehingga menyebabkan mereka terjebak pada perilaku tidak sihat dan menjadi sangat tidak puas dengan keadaan tubuh dan daya tariknya (2004, 324).

Bahkan penyelidikan empirik lain menunjukkan iklan barangan kecantikan cenderung menciptakan ketidakbahagiaan di antara perempuan muda tentang tubuhnya. Memang, pernyataan ini berasal daripada pengalaman perempuan di barat, namun mengingat iklan-iklan yang sama menyerbu masuk ke dalam ruang keluarga di televisyen keluarga kita di sini, maka secara hipotetik fenomena yang sama juga boleh diandaikan terjadi di sini.

Dari fakta di atas, fungsi agama seharusnya tidak lagi membebankan perempuan dengan menaburkan ugutan. Bagaimanapun, dunia ‘gemerlap’ yang ditawarkan oleh industri itu tak lebih daripada fatamorgana. Oleh itu, penekanan terhadap ajaran agama yang sederhana perlu ditonjolkan. Ahli agama harus menawarkan kecantikan spiritual sebagai antitesis daripada keayuan lahiriah. Pengutamaan nilai-nilai agama yang mengedepankan perilaku dan sikap juga sentiasa mendapat perhatian. Tetapi, menawarkan kehidupan asketik (akhirat) sebagai pelarian juga bukan merupakan jawapan. Hidup sihat dan perilaku yang baik adalah kecantikan perempuan yang sempurna.

Kritik agama dan feminisme

Kedua-dua kritik ini sebenarnya mengandaikan keberatan yang sama terhadap industri massa alat-alat solek, bahawa tubuh perempuan perlu dilindungi dari barangan kilang yang cenderung membuat perempuan tidak berasa nyaman dengan dirinya, meski dengan nada yang berbeza. Yang pertama terkesan normatif dengan hanya menyandarkan pada hujah kitab suci, tanpa mahu sedikit membuka pintu bagi alasan feminisme yang bersandar kepada analisis ilmu sosial. Sejatinya, kedua-duanya boleh bertaut untuk menghadapi objektivikasi perempuan yang telah disandera menjadi objek bendawi, tidak lebih. Jiwa perempuan telah ditiadakan dan ditukar dengan secarik kain yang katanya memenuhi trend, solekan untuk menutup ketuaan, dan suplemen untuk menambah kesegaran.

Jika aurat perempuan tidak semata-mata ditutupi dalam pengertian verbal, tetapi juga metaforikal, maka kehadirannya harus diterima apa adanya, tanpa perlu digilap untuk menambah sinar. Jadi, adalah ironi jika ada kecenderungan tudung yang terlalu mengambil berat hiasan. Banyak manik yang dibubuh pada pakaian hakikatnya gagal memahami aurat metaforikal. Selagi keindahan merupakan penampalan dari luar maka wanita tidak akan pernah mempercayai dirinya. Kebergantungan pada benda luar telah merampas peluangnya untuk berasa cukup dengan anugerah diterimanya.

Bagaimanapun, di tengah pertikaian batas aurat perempuan, kebanyakan ulama bermuafakat, seorang wanita hanya boleh menunjukkan muka dan telapak tangan. Lebih jauh, kebanyakan orang menganggap tudung sebagai penanda menjadi Muslimah sempurna. Kadangkala, ia dijadikan pijakan untuk berhijrah dari kehidupan ‘liar’ kepada kesolehan, seperti ditunjukkan oleh janji para pelakon bahawa pada saatnya nanti mereka akan memakai tudung. Tentu tindakan seumpama ini kadang dikritik bahawa yang perlu ditudungi itu hati. Pernyataan yang terakhir ini mengandaikan ideologi Islam etik yang memang mementingkan perilaku, bukan selembar kain di kepala. Namun, akhirnya hal ini harus kembali ke pangkal, bahawa perempuan itu harus dihormati kerana kehadiran dirinya, bukan benda-benda lain yang ditampal pada tubuhnya agar tampak cantik.

* Penulis ialah Felo Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia

Saturday, May 22, 2010

Merawat wibawa ulama

Ahmad Sahidah

Fellow Peneliti Pascadoktoral pada Universitas Sains Malaysia


Di dalam tradisi Islam, ulama diberi kepercayaan untuk merawat pengetahuan keagamaan. Tak hanya itu, tradisi kesarjanaan Muslim ini tidak melulu berkait dengan kapasitas intelektual, tetapi juga prilaku keseharian. Pendek kata, kealiman seseorang tak hanya diukur dari kepintaran, tetapi juga prilaku yang mencerminkan teladan. Inilah yang membedakan dengan tradisi Pencerahan yang menolak hal ihwal ‘pribadi’ (argumentum ad hominem) sebagai ukuran menilai kelayakan otoritas.


Lalu, bagaimana dengan Majelis Ulama Islam sekarang sebagai lembaga yang mempunyai wewenang keagamaan? Mengapa banyak orang menjadikan lembaga ini bahan olok-olok, tidak hanya orang biasa, bahkan sebagian santri dan kaum terpelajar dari insitusi Islam juga tak menaruh simpati? Saya masih ingat ketika seorang sarjana muda berlatar belakang lembaga Islam terkemuka meminta MUI untuk menyetempel (maaf) bokong Inul Daratista sebagai haram dalam sebuah pertemuan di kota pelajar. Dalam jejaring sosial, laman blog dan percakapan acapkali ditemukan celetukan yang menjadikan lembaga tersebuh sebagai bahan lelucon. Dalam sebuah status facebook, seorang santri bahkan mengusulkan pembubaran.


Apa yang salah dengan lembaga itu? Adakah ini disebabkan fatwa yang dikeluarkan acapkali bertabrakan dengan kepentingan orang ramai? Coba lihat beberapa keputusan yang mungkin tak membuat nyaman khalayak luas: pengharaman barang bajakan, rokok, film ‘kontroversial’ dan terbaru perayaan Hari Kasih Sayang (Valentine Day). Memang yang terakhir ditegaskan oleh MUI cabang Malang, namun selalu saja tak menepis anggapan bahwa MUI di manapun sama saja, mengekang kehendak publik. Benarkah?


Fatwa


Boleh dikatakan fatwa berkait dengan kepentingan dan ketentraman masyarakat luas dari ketentuan agama. Dasar sejati dari fatwa adalah memelihara jiwa, agama, akal budi, keturunan dan harta. Di sinilah, kita harus mencermati perbedaan antara falsafah hukum (usul fiqh) dan produk hukum (fiqh). Memang, tak sepenuhnya fatwa berdampak pada pelaksanaan, karena lembaga yang dimaksud tidak menjadi bagian dari hukum positif dan adanya aparat yang melaksanakan keputusan. Kekuatan hukum yang tidak mengikat inilah yang sebenarnya berbuah kebaikan, sebab fatwa tersebut kadang berada pada ranah perselisihan (ikhtilaf), bukan prinsip.


Dengan tiadanya lembaga sentral resmi yang menaungi lembaga yang mengeluarkan keputusan tersebut, hampir setiap kelompok, organisasi atau bahkan perorangan memberikan pendapat terhadap persoalan yang sedang dipertikaikan. Tak jarang, hasil kajian kelompok, seperti forum bahtsul masail Forum Musyawarah Pondok Pesantren Putri (FMP3) se-Jawa Timur ke-12 di Ponpes Lirboyo, Kediri, tentang hukum haram bagi foto pra-pernikahan, pelurusan rambut dan pengojek perempuan telah menimbulkan respons yang beragam. Sebagian mendukung dan yang lain tidak. Ini menunjukkan betapa di kalangan internal kesarjanaan Muslim perbedaan pendapat itu lumrah. Bukankah di kitab-kitab fiqh kita selalu menemukan hal yang sama?


Namun demikian, komentar miring atau usulan membubarkan forum seperti ini tidak muncul ke permukaan. Demikian juga, ketika NU mengeluarkan fatwa tentang keharaman acara infotainment,karena ghaibah meruyak, tak ada yang mencoba mengolok-ngolok, demikian juga pada Muhammadiyah. Anehnya, MUI yang anggotanya yang mencerminkan kedua organisasi tersebut acapkali dijadikan bahan sindiran. Apalagi, sekarang, lembaga ini digawangi oleh dua tokoh penting dari organisasi yang dimaksud, K H Sahal Mahfudh dan Profesor Din Syamsuddin, yang sebenarnya menunjukkan potret kewibawaan.


Memang, tak dapat dielakkan, terkadang fatwa MUI menimbulkan sanggahan, bahkan dari sarjana Muslim sendiri. Keharaman pluralisme, sekulerisme dan liberalisme telah menimbulkan silang sengketa. Lagi-lagi, harus dijelaskan di sini bahwa tafsir terhadap pengertian mazhab yang dimaksud itu tidak sama. Adalah wajar, jika ‘hukum’ terhadap ketiga pemahaman ini juga berbeda. Pendek kata, keberterimaan pada perbedaan harus mendorong siapapun untuk terbuka bagi dialog. Stempel yang melekat sebagai kepanjangan tangan pemerintah tak dapat dihindari karena fatwa yang dikeluarkan sejalan dengan kepentingan pihak berkuasa, namun pada waktu yang sama pendiriannya pernah berseberangan.


Pengawal Tradisi


Dalam The Ulama in the Contemporary Islam, Muhammad Qazim Zaman menulis dalam pengantar bahwa tantangan dan konsekuensi modernitas telah menantang peran ulama. Perguruan tinggi dan pengaruh cetakan dan media yang lain telah menjebol akses istimewa ulama terhadap wewenang yang digenggamnya selama ini. Namun, bagaimanapun karya-karya mereka tetap menjadi rujukan dan pertimbangan berkait dengan wacana keagamaan. Bahkan di Barat pun, dari zaman Skolastik hingga Descartes, Hume ke Kant, Hegel, Hüsserl hingga kaum Eksistensialis , perdebatan filsafat terus berlangsung yang dengan sendirinya menegaskan adanya titik sambung antara masa lalu dan kekinian.


Nah, Majelis Ulama Indonesia juga telah melakukan hal yang sama. Kalau menilik fatwa yang telah dikeluarkan, selain merujuk pada kita suci dan Hadits, kaidah fiqh, mereka juga memasukkan pandangan ulama terdahulu sebagai pertimbangan. Pendek kata, kesinambungan gagasan terus berjalan. Selain terlibat dalam perebutan wacana itu, mereka juga sekaligus memikul beban untuk menjadi teladan. Di sini, alim ulama terdahulu telah memberikan contoh yang patut dipertimbangkan. Imam Abu Hanifah, misalnya, yang meninggalkan bisnis untuk sepenuhnya mengabdikan hidupnya untuk pengetahuan keagamaan. Kesederhanaan dan keberanian menjaga jarak dari kekuasaan telah menorehkan kekaguman.


Bagaimanapun, MUI telah menjadi wajah dari pelbagai aliran. Kehadirannya mencerminkan kesepakatan pelbagai organisasi keagamaan. Atas dasar inilah, wibawa MUI dipertaruhkan. Tentu, pada masa yang sama, ia membuka diri pada dialog, perbedaan dan hubungan silaturahmi pelbagai lapisan, baik dalam dan luar. Fatwa bahwa Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah final telah menempatkan lembaga ini sebagai soko guru bagi terpeliharanya Bhinneka Tunggal Ika di Republik ini. Jadi, upaya mengecilkan keberadaannya hakikatnya telah menutup perannya untuk menjadi institusi jalan tengah keberagamaan di Indonesia!


Dimuat di Surat Kabar Solo Pos, 21 Mei 2010

Friday, February 12, 2010

Melihat Kajian Islam Negara Tetangga

Sumber: Solo Pos, 12 Februari 2010


Ahmad Sahidah

Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia


Perbincangan Kajian Islam keindonesiaan perlu mendapat keutamaan dalam wacana keagamaan. Meskipun kehadiran Islam Liberal atau Revivalis tidak dapat dielakkan karena pengaruh kesarjanaan Barat dan Timur Tengah yang begitu kuat, apatah lagi keduanya dipandang sebagai kuasa akademik yang telah mewarnai pergolakan pemikiran di seluruh pelosok dunia Muslim, namun sejatinya kekuatan dua kubu ini tidak menjadi penghalang tumbuhnya kelompok baru. Bagaimanapun, masing-masing mempunyai peran dan ranah yang diperlukan untuk akhirnya masyarakat menemukan sintesis yang makin meneguhkan penghayatan keagamaan mereka.


Harus diakui kegairahan untuk menghidupkan perbincangan isu keagamaan di sini membuncah, di mana kedua kelompok yang berseteru sama-sama berupaya agar pandangannya mengisi ruang publik secara dominan. Pendukung kedua belah pihak sama-sama merayakan kebesarannya masing-masing. Pada masa yang sama, muncul kelompok penengah yang mencoba untuk keluar dari kebuntuan ini. Mereka menamakan dirinya Progresif, yang percaya bahwa sudah saatnya umat menerjemahkan idealisme sosial di dalam al-Qur’an dan ajaran Islam ke dalam sebuah tindakan yang berkait dengan keadilan sosial. Lebih jauh, komunitas Muslim secara keseluruhan tidak bisa mencapai keadilan tanpa menjamin keadilan bagi perempuan Muslimah (Omid Safi, 2003).


Menengok liyan


Selama belajar di Universitas Sains Malaysia, saya tidak menemukan kegiatan seminar di kampus yang mencoba untuk mendatangkan para sarjana Muslim kritis seperti Abdullahi al-Naim, Abu Fadl, Nasr Abu Zayd dan Mohammed Arkoun, sebagaimana banyak dilakukan banyak kampus Indonesia. Di sana, kesarjanaan Islam Malaysia tidak bisa dilepaskan oleh bayang-bayang kebesaran Naquib al-Attas yang dikenal dengan gagasan Islamisasi pengetahuan. Boleh dikatakan sarjana negara tetangga lebih menitik beratkan kajian keislaman pada persoalan praktis, seperti ekonomi Islam, produktivitas zakat dan pengelolaan haji yang efektif.


Demikian pula, di media kita tidak menemukan diskursus keagamaan yang diperebutkan oleh banyak aliran sebebas di sini. Bahkan, Sisters in Islam, Lembaga Swadaya Masyarakat yang dianggap pengusung aliran liberal, tak bisa meninggalkan kepercayaan arus utama dengan mengasuh satu rubrik konsultasi berkait dengan isu wanita di harian terkemuka Utusan dengan tetap memanfaatkan undang-undang syariah yang diberlakukan di negeri jiran. Namun tetap saja, ulama, institusi agama dan perguruan tinggi tidak memberikan ruang pada NGO yang dimotori oleh Zainah Anwar ini untuk menyuarakan gagasan di khalayak lebih luas. Malah, mereka merekomendasikan agar lembaga yang berbasis di Petaling Jaya ini dibubarkan.


Para sarjana Muslim di sana lebih banyak menekuri kembali tradisi khazanah Muslim dan mencoba untuk menyalakan semangat Andalusia di mana kajian keilmuan Islam mencakup pelbagai disiplin. Menjadi sarjana Muslim tak cukup hanya dengan hanya menekuni ilmu-ilmu keislaman yang telah mapan, tetapi juga sains dan teknologi. Oleh karena itu, banyak sarjana mencoba untuk mengkaji banyak isu dengan pelbagai disiplin, tentu saja sarjana disiplin lain dilibatkan untuk menerjemahkan pesan Islam tentang pelbagai isu. Malah, warisan Mohammad Natsir tetap dilestarikan dengan pelbagai kegiatan, seperti penyelenggaraan konferensi pemikiran tokoh Masyumi dan Dewan Dakwah Islamiah Indonesia (DDII) ini di Kolej Universiti Islam Selangor yang dihadiri oleh Anwar Ibrahim, ikon reformasi, dan pemikiran Haji Abdul Malik Karim Amrullah atau lebih dikenal dengan HAMKA diapresiasi dengan penerbitan kembali karya ulama yang juga novelis ini.


Teori dan Praktik


Sebenarnya, secara teoretik, diskursus keislaman berpijak pada tujuan syariah (maqasid al-syariah), namun praktiknya bagaimana memelihara agama, nyawa, akal, kehormatan, dan harta telah menimbulkan pertikaian pendapat, yang justeru tidak banyak tempat untuk diperdebatkan. Keasyikan berselisih pendapat mengenai kawin antaragama, kebenaran mutlak dan negara Islam, sebenarnya hanya memperlihatkan kegenitan kalau tidak berupaya mencoba mengurus persoalan khalayak yang lebih besar berkait dengan kesehatan, pendidikan dan kesejahteraan.


Keberhasilan Malaysia dalam mengurus haji melalui Yayasan Tabung Haji sebenarnya tidak dilepaskan dari tangan-tangan terampil dalam bidang ekonomi dan manajemen. Jadi, persoalan haji tidak hanya menjadi wewenang sarjana agama, tetapi juga ahli lain yang terkait dengan pengurusan keperluan calon jamaah haji dari hulu ke hilir. Di sana, para sarjana tidak mengotak-atik hukum haji dengan menggugat kewajiban dan kemungkinan waktunya tidak hanya pada bulan Dzulhijjah saja, sehingga bisa menghindari kesesakan, justeru mereka menjadikan haji sebagai tantangan untuk menaikkan produktivitas, dengan mendorong pihak terkait menginvestasikan dana keuntungan pengelolaan haji dalam bidang perkebunan, perhotelan dan kegiatan ekonomi lain, dan bahkan mendorong para sarjana untuk membuat pengurusan haji lebi baik. Dari keuntungan inilah, rata-rata calon jamaah haji Malaysia mendapatkan pelayanan lebih baik dibandingkan sejawatnya dari Indonesia, berkaitan dengan penginapan, catering dan transportasi.


Demikian pula manajemen zakat yang melibatkan banyak sarjana ekonomi dan manajemen telah membuat Lembaga Zakat di pelbagai negara bagian menangguk dana yang melimpah. Dana tersebut telah banyak membantu kaum fakir Miskin, sehingga gubernur Selangor pernah mewacanakan untuk membagikan hasil zakat tersebut kepada warga non-Muslim, meskipun akhirnya ditentang banyak pihak. Dengan dana ini juga, banyak para pelajar yang mendapatkan faedah dari zakat melalui pemberian beasiswa. Perolehan dana yang besar itu disebabkan lembaga yang tidak hanya bertumpu pada zakat perorangan tetapi jaga zakat profesi dan perusahaan.


Adalah tidak salah membongkar kembali kemapanan sebuah dogma, namun pada waktu yang sama seharusnya kritisisme itu mempunyai jalan keluar mengubah keadaan. Justeru, penglibatan sarjana Muslim bidang lain dalam isu keagamaan merupakan solusi dari kebuntuan nilai-nilai formalitas yang dianggap melumpuhkan spirit nilai-nilai luhur. Selagi persoalan agama hanya dibingkai dalam perdebatan etik dan epistemologi, tanpa beranjak pada praktik, maka nilai-nilai pembebasan dari agama itu sendiri telah dikebiri. Jika tujuan syariah itu sendiri adalah memperbaiki kualitas manusia, maka diskursus keagamaan itu perlu memerhatikan pelbagai aspek. Dengan kata lain, Ia tidak terjebak pada gagasan untuk gagasan, tapi untuk tindakan dan perubahan. Kesadaran inilah yang tampaknya mendorong banyak sarjana di sana mengkaji Islam dari buminya sendiri.

Saturday, September 05, 2009

Jalan Tengah 'Membaca' Pesan Tuhan

Dr Ahmad Sahidah

(Pengajar Peradaban Islam dan Asia, KDU College)

Salah satu keistimewaan Ramadhan adalah hari ke-17, peristiwa Nuzul Quran, turunnya kitab suci yang ditujukan bagi kemaslahatan manusia. Peringatan demi peringatan hadir untuk menyucikan kehadiran buku pedoman Muslim tersebut. Khotbah demi khotbah diperdengarkan untuk menyanjungnya sebagai kitab segala zaman. Tak ada seorang Muslim pun yang meragukan hal tersebut. Namun, para sarjana liberal menyoal kemutlakan tafsir terhadap teks (baca: nash) yang diterakan. Sementara pada waktu yang sama, para pembela 'makna' harfiah menggelorakan permusuhan pada pemahaman kontekstual, dengan menyebut gagasan mereka sebagai sesat, bidah, dan tak jarang divonis halal darahnya.

Perseteruan di atas bukan sesuatu yang baru. Para sahabat sendiri kadang berselisih paham tentang makna sebuah ayat. Padahal, mereka merupakan komunitas yang paling dekat dengan kehidupan Nabi dan bahu-membahu dalam mewujudkan sebuah masyarakat kenabian (prophetic society). Bisa dibayangkan, generasi selanjutnya akan semakin dihadapkan dengan kemungkinan perbedaan pembacaan karena mereka mengalami penjarakan yang cukup jauh. Lebih-lebih, yang terakhir ini tidak mengalami konteks ayat yang dipahami sehingga teks (baca: ayat Alquran) menjadi barisan huruf yang polisemi.

Petunjuk manusia
Telah diketahui umum bahwa Alquran diturunkan untuk menjadi petunjuk (hudan) bagi manusia. Namun, sebagaimana ditegaskan dalam surat Albaqarah (ayat 2-5), pedoman itu diperuntukkan bagi orang yang bertakwa (lilmuttaqin), yaitu orang yang beriman pada yang gaib, bersembahyang, dan mengeluarkan derma. Selain itu, mereka juga mempercayai kitab yang telah diturunkan pada nabi-nabi sebelumnya, Zabur, Taurat, dan Injil, serta meyakini adanya hari akhir (akhirat). Dengan petunjuk ini, manusia akan mendapatkan keberuntungan. Sekilas, susunan kalimat yang padat ini tampak terang benderang, namun hakikatnya ia mengandaikan sebuah uraian yang tidak ringkas.

Bagaimanapun, pemahaman terhadap ayat di atas tidak bisa diringkas menjadi satu kesimpulan, tanpa mengaitkan dengan ayat-ayat lain di dalam Alquran sehingga ditemukan satu pemahaman, yang mengandaikan satu pandangan hidup (weltanschauung). Relasi ayat dengan ayat lain adalah salah satu cara memahami pesan secara utuh. Di sinilah, para pembaca tak lagi terpaku pada satu penjelasan, namun juga dituntut untuk menemukan pengertian kata kunci, seperti gaib, shalat, akhirat di ayat lain. Pada akhirnya, dalam analisis semantik Toshihiko Izutsu, fokus kata tertinggi adalah Allah, yang menyinari seluruh pengertian semantik kata-kata penting di dalam Alquran.

Dari pendekatan di atas, pemahaman terhadap Alquran tak lagi bersifat atomik, sepotong-sepotong, tetapi tematik (maudhu'i), bersifat menyeluruh. Pemahaman seperti ini diharapkan akan memenuhi maksud 'Tuhan', meskipun tidak mutlak, tetapi mengandaikan pengertian yang seimbang. Dengan demikian, pengertian ketakwaan tak lagi dipandang sebagai sosok yang mengasyiki ibadah di rumah Tuhan, tetapi lebih jauh mencintai Tuhan dengan mencintai manusia. Adalah aneh jika ada segelintir orang membela Tuhan, tetapi pada masa yang sama menggelorakan kekerasan pada manusia atas nama tafsir kebenaran terhadap firman-Nya.

Skala prioritas
Sebenarnya, dari ayat yang menegaskan kitab suci sebagai petunjuk bagi orang yang bertakwa, siapa pun secara sederhana bisa mencerap isinya. Apakah lagi, dalam keseharian tanda-tanda ketakwaan itu mudah dilihat dan diamalkan. Malangnya, betapa banyak orang yang menyatakan diri Muslim, menunaikan shalat, berderma, dan percaya pada akhirat, namun kenyataannya, di negeri ini, keberuntungan sebagai manusia tak kunjung diraih. Tidakkah ini berarti manusia itu gagal mencerap makna sebagai orang bertakwa sehingga selalu dirundung kerugian?

Oleh karena itu, pemahaman terhadap ayat shalat dalam Albaqarah, misalnya, harus dikaitkan dengan surat Al-Ma'un, yang menegaskan kesia-siaan sembahyang tanpa disertai kepedulian terhadap orang-orang terpinggirkan, anak yatim, dan fakir-miskin. Pemahaman munasabah ayat bi al-ayah (hubungan antarteks) telah lama diperkenalkan dalam ilmu-ilmu Alquran. Namun, sayangnya, kebanyakan proses pembelajaran keagamaan menekankah tanda kesalehan pada ibadah tertentu (shalat) dan mengabaikan ibadah lain (derma). Celakanya lagi, kalaupun yang terakhir ditekankan, sikap kedermawanan lebih ditegaskan sebagai bentuk keprihatinan karikatif, yaitu dorongan untuk memberi sedekah, zakat, dan infak hanya sebatas kewajiban itu sendiri.

Falsafah filantropi dalam dunia Islam belum menjadi sebuah kesadaran Muslim. Sehingga, mereka gagal memahami makna tersirat dari kewajiban menyantuni orang papa dan pada masa yang sama menyucikan harta. Tujuan dari sikap dermawan itu adalah bukan pada keutamaan tangan di atas (metafor memberi) semata-mata, tetapi bagaimana tetangga tidak 'kelaparan'. Demikian pula, menyucikan harta bukan berarti jalan pintas untuk membersihkan kekayaan yang diperoleh dari penyalahgunaan kekuasaan, misalnya. Lebih jauh, keduanya bisa dipahami bagaimana kedermawanan itu menyelesaikan masalah kemiskinan dan mendorong manusia untuk selalu menimbang cara pemerolehan harta yang baik. Oleh karena itu, gagasan zakat produktif adalah layak untuk dikembangkan.

Sekarang, betapa sangat erat kaitan shalat, yang mengandaikan hubungan manusia-Tuhan, dengan kepedulian sosial, yang memperlihatkan relasi harmonis antarmanusia. Kesempurnaan satu kewajiban mengandaikan pelaksanaan kewajiban lain adalah suatu pandangan yang tidak memisahkan antara hak Tuhan dan hak manusia. Lalu, apakah mungkin mewujudkan hubungan ideal ini tanpa otoritas dan kekuasaan? Di sinilah, pangkal perseteruan kelompok di atas bermula. Apakah ajaran agama itu bersifat ideal-etik atau empiris-praktik?

Betapa pun keduanya berbeda mengenai cara bagaimana mewujudkan sebuah hubungan ideal manusia dengan Tuhan dan manusia dengan sesamanya, sejatinya, keduanya mengandaikan sebuah ide pembebasan. Harus diakui model keduanya sama-sama dianjurkan dalam kitab suci. Masalahnya, keduanya enggan untuk bertemu dan mencari jalan tengah. Padahal, pada masa yang sama, kitab suci mengandaikan pembacaan yang terakhir sebagai jalan keluar dari sifat ideal dan kenyataan yang selalu mengalami ketegangan.

(-)

Sumber: Republika, 5 September 2009

Friday, May 22, 2009

Teks Agama itu Milik Umat

Republika, Jum'at, 22 Mei 2009


Pernyataan Menteri Agama, Maftuh Basuni, bahwa Ulama harus mengawal teks keagamaan tentu perlu diamini (Republika, 25/3/09). Mereka adalah pemilik otoritas, yang di dalam hermeneutik keberadaannya diakui dalam menjelaskan kandungan teks keagamaan. Demikian pula tradisi keagamaan secara terus menerus hidup karena kegigihan ulama sejak dulu mengajarkannya di tengah-tengah masyarakat. Dua kata kunci, otoritas dan tradisi adalah istilah teknis yang disodorkan oleh Georg Hans-Gadamer, filsuf terkemuka Jerman. Meskipun keduanya telah digunakan oleh Romantisisme dan dikritik oleh pencerahan, namun penulis Truth and Method ini merehabilitasinya. Keduanya penting untuk menemukan kebenaran sebuah pengetahuan, termasuk teks agama.


Profesor saya, Dr Zailan Moris, memberikan perumpamaan mengenai otoritas. Jika seorang ‘pasien’ ingin memastikan keadaan penyakitnya, ia harus menemui dokter karena ia mempunyai otoritas menjelaskan diagnosa yang dibuatnya. Demikian pula, umat harus merujuk kepada ulama, karena di pundaknya otoritas diembannya dalam menerang hal ihwal keagamaan. Tentu pernyataan ini boleh dipahami karena seperti dokter, ulama mempunyai keahlian berkait dengan ilmu-ilmu keagamaan untuk mentafsirkan teks.


Demikian pula, pemikiran apapun berada di dalam tradisi tertentu dalam menjelaskan dirinya. Adalah tidak heran jika Nasr Hamid Abu Zayd, sarjana Mesir, betapapun dianggap liberal, tetap menggunakan karya ulama generasi awal, seperti al-Itqan al-Suyuthi untuk mengkritik teks keagamaan, dalam hal ini al-Qur’an. Seperti dijelaskan dalam Tekstualitas al-Qur’an: Kritik terhadap Ulumul Qur’an (2003: 3), ilmu-ilmu al-Qur’an itu dibaca ulang dengan pembacaan baru dan serius. Misalnya, beliau membahasakan pentingnya asbab al-nuzul dengan bahasa baru, hubungan dialektik antara teks dan realitas.


Tanggung Jawab Bersama


Pernyataan Arkoun di atas menegaskan bahwa tugas mengawal teks tidak hanya menjadi monopoli ulama, namun setiap individu kreatif, seperti pemikir, penulis, seniman, sarjana, politisi dan pelaku ekonomi. Mereka harus melakukannya secara bersama agar pesan keagamaan tak hanya diringkus di ruang dan waktu tertentu, seperti khotbah, pengajian dan majelis taklim.


Seniman berhak untuk menyuguhkan teks agama dalam kiprah keseniannya. Ekspresi keagamaan di sini disampaikan secara dramatik dengan menggunakan sarana estetik, seperti teater, arsitektur, kaligrafi, dan karya seni lain. Simbol-simbol Islam diubah ke dalam bentuk perlambangan yang bisa dinikmati khalayak sebagai warisan budaya. Ini dapat dilihat respons masyarakat luas pada tahun 1980-an pada persembahan Lautan Jilbabnya Emha Ainun Najib, kiai mbeling itu.


Demikian pula politisi mempunyai tugas yang maha berat karena ia dianggap mewakili suara masyarakat. Mereka memanggul beban yang sangat penting karena kedekatannya dengan orang ramai. Di sini, kiprah mereka tidak hanya ditunjukkan menjelang pemilihan umum, tetapi juga selama mereka menjadi wakil di parlemen. Teks agama diterjemahkan dengan pembelaan terhadap kepentingan publik melalui perjuangan pengesahan undang-undang dan menyelesaikan masalah yang dihadapi khalayak. Keterlibatan para kiai dalam politik tidak dengan sendirinya merupakan jaminan bahwa mereka mampu menerjemahkan teks agama ke dalam tugas legislatifnya.


Tentu yang paling penting adalah bagaimana ekonom Muslim mengurai pesan ekonomi dalam kitab suci ke dalam kegiatan praktis. Ia tidak hanya sebatas pendirian Bank Islam, dan Asuransi (Takaful) tetapi juga mendorong produktivitas umat agar tidak menjadi kelompok konsumtif. Dengan demikian, kiprah para ahli ekonomi yang bergiat dalam organisasi keagamaan, seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah, diharapkan membuat terobosan baru untuk memandirikan amal usaha anggotanya. Dulu ketika Dawan Rahardjo berkhidmat di Muhammadiyah, saya sempat berharap bahwa kegiatan ekonomi di persyarikatan ini akan tumbuh subur. Sayangnya, malah beliau hengkang.


Tantangan Ulama


Seperti ditegaskan oleh Mark Sedgwick dalam Islam and Muslims: A Guide to Diverse Experience in a Modern World (2006: 37) bahwa persoalan yang mendera umat sejak paruh kedua abad ke-sembilanbelas ulama telah kehilangan otoritas sebelumnya dan penafsiran lama Islam secara umum digantikan oleh pemahaman mandiri oleh kelas menengah baru dan terdidik. Malah, kehadiran Muslim intelektual yang terdidik dalam sains modern juga mengambil tempat yang penting.

Peranan ulama telah berbagi dengan pihak lain yang sebelumnya tidak dikenal sebagai penanggungjawab ‘pengawalan’ teks, meminjam istilah Maftuh Basuni. Jika demikian, merujuk pada Arkoun, hakikatnya tugas menafsirkan teks itu tidak lagi dikuasai oleh ulama, melainkan merupakan tugas bersama karena teks itu harus diterjemahkan di dalam pelbagai medium. Contohnya sumbangan Habiburrahman el-Syirazi dengan novel Ayat-Ayat Cinta dan Andrea Hirata dengan Laskar Pelanginya yang mampu mentafsirkan teks keagamaan ke dalam bentuk cerita fiksi.


Kehadiran novel ini tentu membantu penyampaian pesan keagamaan secara lebih luas dan mampu menggerakkan model dakwah melalui literasi. Meskipun ini bukan hal baru, karena Ibn Tufayl telah menulis Hayy Ibn Yaqzan untuk menggunakan sarana yang bukan konvensional seperti kitab fiqh, tauhid dan hadits yang diajarkan secara klasikal atau majlis taklim. Melalui novel, penulis sedang menyampaikan teks keagamaan dalam bentuk kisah yang sebenarnya juga ditunjukkan kitab suci. Meskipun al-Qur’an bukan buku cerita seperti lazimnya, ia banyak menggunakan kisah-kisah masa lalu (asatir al-awwalin) untuk menggugah kesadaran manusia terhadap makna hidup.


Akhirnya, teks keagamaa itu tidak lagi diringkus ke dalam sebuah kuasa tunggal. Ia seharusnya bisa hadir di mana-mana dengan daya ungkap yang beragam. Tentu ulama mempunyai tanggungjawab untuk mempertimbangkan otentisitasnya, tanpa harus terjebak pada kejumawaan menjadi sang hakim yang mengetukkan palu dengan mengabaikan kearifan. Lebih dari itu sejauh mana ulama menempatkan diri sebagai bagian tim dinamis bersama komponen lain, seperti seniman. Ikthiar MUI (Majelis Ulama Indonesia) memberikan penghargaan terhadap kerja kesenian patut dihargai dan perlu dikembangkan untuk menjadikan umat pemilik teks dengan pelbagai daya ungkap.


Ahmad Sahidah, Staf Asisten Peneliti dan Kandidat PhD Kajian Peradaban Islam Universitas Sains Malaysia


Friday, December 12, 2008

Membaca Kitab Suci dengan Hati

Koran Republika, edisi Jumat, 12 Desember 2008

Ahmad Sahidah
Kandidat Doktor Kajian Peradaban Islam pada Universitas Sains Malaysia

Alquran adalah Kitab Suci yang telah menjadi bagian dari kehidupan sehari-hari penganutnya. Ia telah menuntun individu untuk selalu dekat dengan penciptanya melalui apa yang telah difirmankan. Memang kebanyakan tidak memahami kandungannya, tetapi membacanya saja telah mendatangkan pahala sehingga yang bersangkutan merasa tentram. Di kepala mereka tebersit keselamatan akan digenggam dan carut-marut hidup akan terurai.

Tetapi, tidak bagi sarjananya. Mereka bertengkar tentang isinya. Malah, sejak dulu satu generasi setelah Nabi Muhammad, bijak pandai Muslim telah memahami secara berbeda terhadap teks yang sama. Apatah lagi dalam usia ke-14 abad, perselisihan makin meruyak. Ditingkahi lagi dengan keterlibatan sarjana Barat yang makin memperbesar area konflik interpretasi. Tentu yang tidak dapat dilupakan perbedaan apakah Alquran makhluk atau tidak pada zaman Khalifah al-Ma'mun telah menentukan mati dan hidupnya seseorang.

Sementara pada masa yang sama sarjana Muslim juga terbelah perhatian terhadap Kitab Suci ini. Ada yang menonjolkan kedalaman Alquran dari sisi ilmu pengetahuan, sementara yang lain menumpukan pada makna spiritual. Mereka mengasyiki apa yang telah menjadi spesialisasinya dan mencoba mencari pembenaran keyakinannya atau malah ada yang mendapatkan ilham dari kalam Tuhan melahirkan teori baru. Tuhan telah membuka hal ihwal dunia.

Pembacaan dengan hati
Pembacaan dengan hati, mengapa? Padahal, hati sebagai terjemahan dari kata qalb sering berubah-ubah? Meski demikian, hati di sini adalah terjemahan lain dari fu'ad. Memang dalam tradisi ilmu Alquran, penafsiran dibagi ke dalam naqli (riwayat), aqli (akal budi), dan isyarat (spiritual). Mungkin hati lebih dekat dengan yang terakhir. Tentu, hati tidak kemudian dipisahkan dari dua yang pertama karena suasana batin itu juga berkaitan dengan keadaan lahir dan rasio kita.

Tartil atau membaca Alquran sesuai dengan aturan hakikatnya sebagian dari mendekati Alquran. Ia adalah cukup bagi awam, tetapi kaum terpelajar menempalak sebagai igauan. Tentu, perspektif masing-masing tidak bisa dijadikan ukuran menilai yang lain. Justru Georg Hans Gadamer menegaskan bahwa ketika seorang memahami berbeda sesuatu yang sama maka mereka telah benar-benar memahami, bisa dijadikan pijakan untuk kita tidak lagi mengusik orang lain. Malahan, masing-masing memberikan apresiasi dan dukungan sebab siapa tahu keduanya bisa bertukar tempat atau malah saling menguatkan.

Pembacaan Kitab Suci ini tidak semata-mata pelarian dari ketidakmengertian. Ia adalah ayat Tuhan yang seperti ditegaskan oleh Allah merupakan sebagian tanda-tanda kebesarannya yang ada pada diri manusia dan di cakrawala. Meringkus kekuasaan Tuhan pada Kitab Suci, kita telah sewenang-wenang mengerdilkan kemahaluasannya.

Mengatakan bahwa jalan menuju Tuhan bisa dengan akal budi, seperti diyakini filsuf Muslim, Ibn Tufayl, dalam karya cemerlangnya Hayy Ibn Yaqzan, tidak perlu dipaksakan bagi Muslim yang enggan berfilsafat. Jelas-jelas yang terakhir ini jika dilakukan adalah sebuah kepongahan.

Pembacaan Kitab Suci dengan hati tidak serta-merta menepikan logika, tetapi justru ia mengatasi ketidakmampuan akal budi meraup pesonanya serta-merta. Bukankah filsuf juga mengakui keterbatasan akal budi? Apatah lagi Kitab Suci memang juga berkaitan dengan cita rasa estetik sehingga perasaan manusia yang bisa menghampirinya.

Membaca begitu saja tentu berbeda dengan mengkaji yang kadang menuntut pelaku meragukannya. Ini saja telah menghentikan kekhusyukan. Membaca dengan hati hakikatnya ingin menghadirkan pesan utama Alquran, yaitu membebaskan manusia dari penindasan. Tentu, ia akan mengambil beberapa bentuk sebagaimana diterakan dalam Alquran.

Dengan pembacaan berulang-ulang pesan itu akan terus tertanam. Keteraturan membacanya justru makin menguatkan pembacanya untuk menjadikan pesan itu sebagai bagian dari falsafah hidupnya. Pembaca seakan-akan memahat pesan ini secara terus-menerus sehingga ia tertancap dalam di hati. Tentu, kesungguhan ini akan menggerakkan pembaca untuk mewujudkan pesan itu dalam kenyataan. Tindakan adalah akibat wajar dari sebuah keyakinan.

Pesan utama
Jadi, pembacaan apa pun tentang Kitab Suci mesti bermuara pada pesan utama itu meskipun untuk menggapainya dengan pelbagai pendekatan. Muaranya akhirnya juga ke hati. Saya sendiri tidak menampik tradisi luar untuk mengupas kedalamannya sebab ternyata Toshihiko Izutsu, sarjana Kajian Islam Jepang, berhasil mengungkap maknanya melalui pendekatan semantik Barat. Malah, hasil kajiannya menunjukkan kesamaan kesimpulan dengan para penafsir Muslim ortodoks mengenai hubungan Tuhan dan manusia (lihat dalam God and Man in the Koran: Semantics of the Koranic Weltanschauung).

Sekali lagi, setelah kita menimang-nimang Kitab Suci dengan perlbagai cara, akhirnya hati kita yang akan menuntunnya, ke mana perintah Tuhan itu dimaksudkan. Hati telah menjadi penentu motif, kehendak, dan kepentingan membaca Alquran. Semua ragam itu justru membenarkan kenyataan manusia sebagai makhluk yang dilahirkan dengan perbedaan latar belakang. Penghormatan terhadap keragaman justru mengukuhkan pesan Nabi sendiri bahwa Alquran mempunyai empat makna, yaitu harfiah (zahir), metaforis (batin), moral (had), dan analogis (muttala').

Mungkin cerita ini adalah penutup dari tulisan dan sekaligus mengantarkan kita pada sebuah pilihan. Teman tetangga kamar saya, Ilyas, dari Aljazair, bercerita bahwa dulu ia menyukai musik, tetapi sekarang dia meninggalkannya karena musik yang terindah adalah Alquran. Berbeda dengan kawan karib lain saya, Pak Sugeng, yang selalu memutar bacaan Alquran bersamaan dengan mesin mobilnya dihidupkan.

Dalam sepanjang jalan, saya dengan sendirinya mendengar alunan Kitab Suci. Saya perhatikan dari kedua teman tersebut, perilakunya yang tenang dan tindak tanduknya yang menenteramkan. Mungkin mereka berdua menyodorkan hatinya ketika menikmati Kitab Suci, sementara saya sendiri masih bergulat dengan teks dan berharap cemas ke mana akhirnya pencarian makna itu berakhir. Lalu, Anda berada di kelompok mana?

Saturday, September 20, 2008

Menyoal Formalisasi Syari'ah

Sebelum Pancasila disahkan sebagai dasar negara, kata syari’at telah tertera pada sila pertama. Kalaupun akhirnya kata ini ‘hilang’, tapi semangatnya masih terasa hingga sekarang. Romantisisme mengembalikan tujuh kata terakhir acapkali muncul ke permukaan. Paling tidak, masyarakat Muslim masih terbelah dalam ke dua kelompok: formalis dan substansialis.

Seiring dengan era keterbukaan, kelompok formalis menyuarakan dengan nyaring bahwa syari’ah adalah satu-satunya pilihan. Tetapi, mereka tidak berada dalam satu payung dan mempunyai strategi yang berbeda untuk memperjuangkan hukum Tuhan di bumi. Strategi struktural biasanya diartikulasikan lebih lunak dan untuk sementara mengedepankan isu-isu netral, sementara cara kultural ditunjukkan dengan sosialiasi melalui demonstrasi, ceramah, dan tulisan dengan bahasa yang tak jarang garang.

Secara umum, pengusung substansialis lebih banyak dukungan karena bisa lebih luwes memosisikan dirinya di dalam masyarakat majemuk. Mereka bisa duduk bersama dengan kelompok lain tanpa dibebani perbedaan, yang menurut kelompok formalis tak bisa diterima. Namun, ironisnya, meskipun sama-sama sebagai bagian dari ummah, kedua kelompok ini sering gontok-gontokan, perang kata-kata dan penghujatan.

Menengok Syari’ah di negeri Jiran

Meskipun prosentase populasi Muslim di Malaysia tidak sebanyak Indonesia, namun pendakuan sebagai Negara Islam dan pelaksanaan hukum Islam relatif tidak menimbulkan gejolak. Ini dikarenakan hukum itu hanya diterapkan pada orang Islam, sedangkan non-Muslim berada di bawah hukum sipil. Selain itu, umat Islam di sana relatif homogen, dibandingkan Indonesia yang heterogen.

Keberadaan pelembagaan hukum itu hakikatnya ingin mewujudkan tujuan syari’ah (maqasid al-syari’ah), yang meliputi pemeliharaan agama, jiwa, akal, keturunan dan harta. Contoh yang paling mendapat sorotan di negeri serumpun ini adalah hukum keluar dari Islam (murtad). Meskipun persoalan ini sempat mencuat, tetapi Abdullah Badawi sendiri telah menutup ‘pintu’ untuk membahas masalah ini dikaitkan dengan isu hak asasi karena akan menimbulkan gejolak.

Untuk mewujudkan konsep di atas, negeri serumpun ini melakukan dua strategi secara serentak, yaitu positif dan negatif. Yang pertama meliputi mengukuhkan sistem Islam dan ajarannya, pendidikan, keuangan, persediaan sarana untuk pembangunan sosial ekonomi dan memajukan kegiatan dakwah dan kampanye secara rapi. Kedua meliputi langkah pengawasan, pencegahan dan menutup serta membasmi praktik-praktik kemaksiatan.

Kedudukan Islam di negeri Jiran dilindungi secara hukum melalui lembaga pemerintahan dan mahkamah syari’ah yang tidak boleh diganggugugat oleh pengadilan sipil. Namun, praktik ini sebenarnya untuk ‘melindungi’ orang Melayu yang identik dengan ‘Muslim’. Meskipun ada yang melihat Keislaman lebih dilihat sebagai pengekalan ‘kekuasaan’, bukan pemerataan ‘kesejahteraan’. Hal ini bisa dilihat dari kebijakan ekonomi negara yang lebih menguntungkan kelompok bisnis, dibandingkan pembagian kue nasional terhadap masyarakat kebanyakan. Sebagaimana, kaum terpeljar di sana mempertanyakan kembali ‘trickle down effect’ (menetes ke bawah) yang macet.

Mencari Konsensus Minimal

Sebenarnya, di antara dua pilihan ini salah satunya tidak boleh memaksakan kehendak karena ada aturan yang harus dipatuhi bersama, selain itu terdapat nilai-nilai etik yang tak tertulis dalam mengekspresikan pendapat. Bagaimanapun pemerintah telah mengadopsi hukum Islam dengan mengesahkan undang-undang Zakat, Haji, dan lain-lain. Kekhawatiran bahwa negeri khatulistiwa ini akan menjadi negara Islam, sebagaimana tesis Arslan Salim, bahwa kelompok Islam telah berhasil memasuki tingkatan ketiga dari lima hierarki yang harus dipenuhi untuk menjadi negara Islam adalah terlalu berlebihan.

Namun yang perlu mendapat perhatian adalah prilaku ‘tebang-pilih’ pada pemberantasan maksiat dan minuman keras yang dirasakan tidak adil karena sasarannya adalah ‘penjaja’ pinggir jalan dan warung kaki lima, sementara mereka yang beraksi di hotel berbintang luput dari tindakan. Hal ini hanya akan makin menjauhkan orang yang papa secara rohani dan duniawi makin terpuruk, karena pengawal agama justeru mengasarinya.

Lebih dari itu, hukum Islam tidak hanya berkaitan dengan prinsip-prinsip (Mabadi) tetapi juga keadilan (‘adalah), sebagai raison d'être. Jika kelompok liberal menyangkal formalisasi, ini bisa dipahami sebab persoalan moralitas yang didengungkan di dalam kitab suci lebih bersifat etik. Tapi, etika semata-mata akan mandul, jika tidak ada otoritas yang mempunyai wewenang untuk mewujudkan nilai etik dalam kehidupan konkret.

Kritik kelompok substansialis tidak hanya berkutat pada ‘kegagalan’ formalis dalam menciptakan masyarakat berkeadilan meskipun menegakkan aturan syari’ah secara formal. Sebab, mereka yang menabalkan diri sebagai anti formalisasi juga menggunakan ‘agama’ dalam bentuk lain, seperti memobilisasi massa dalam pengajian akbar, istighasah, dan melibatkan pemimpin keagamaan dalam memberikan legitimasi politik. Menurut saya, ini boleh dikategorikan sebagai fundamentalisme ‘lunak’.

Demikian juga kelompok formalis tidak terjebak pada ‘angan-angan’ bahwa simbol-simbol agama yang disahkan menjadi ‘undang-undang’ dengan sendirinya telah menyelesaikan masalah, sebab tak jarang di balik tegaknya simbol itu bercokol kekuasaan otoritarian baru, yaitu orang kaya dan elit agama, yang jauh dari masyarakat yang dibelanya.

Hanya saja, perbedaan dua kubu ini diharapkan tidak menumpulkan kekuatan masing-masing dalam mewujudkan cita-cita kenabian, yaitu kesejahteraan manusia secara lahir dan batin. Titik temu dan sinergi diperlukan dan sekaligus komitmen untuk tidak ‘mendramatisasi’ keadaan masing-masing untuk konsumsi publik yang lebih luas wajib dikedepankan. Bagaimanapun, ajaran agama bisa dilihat sebagai persoalan ilmiah akademik yang menuntut penalaran, sehingga perbedaan itu hal yang sangat biasa. Tetapi, upaya menggeser wilayah ini pada ranah ‘populer’ hanya akan menyeret ‘massa’ pada benturan.

MUI, NU dan Muhammadiyah diharapkan menjadi penyeimbang dua kekuatan yang bisa menjadi potensi ke depan pertarungan memasuki wilayah akar rumput. Contoh nyata adalah ketika kekuataan formalis, yang diwakili oleh FPI menggeruduk markas Islam Liberal, Ulil dan kawan-kawan juga melibatkan ‘massa’ untuk menghadang laju ‘kelompok’ yang ditengarai sebagai kawanan yang menggunakan kekerasan dalam membela Tuhan.

Sekarang, pembela syari’ah dan penentangnya tak perlu bersitegang tentang signifikasi penegakan hukum Islam. Jika yang pertama merasa bahwa ‘semangat’ syari’ah telah diakomodasi maukah mereka ‘menularkan’ gagasan ini bisa dipahami oleh masyarakat Muslim kebanyakan, dan pihak kedua ‘mewujudkan’ gagasan ideal dalam pilot project yang lebih indah? Kalau hanya sekedar ‘peraturan’ di atas kertas tanpa bukti konkret bahwa formalisasi syari’ah mendatangkan manfaat, ini sama saja dengan menggambar di atas air. Justeru energi yang meluap dan gairah yang membuncah untuk ‘menjalankan’ syari’ah bisa dilakukan di lingkungan masing-masing.

Diharapkan simpul-simpul pendukung syari’ah akan menciptakan riak dan akhirnya menjadi gelombang. Tanpa harus tergantung pada pemerintah atau negara mereka bisa berbuat sesuatu yang memang menjadi kebutuhan masyarakat agar terjaga kesucian kemanusiaannya, kebebasan intelektual dan hak miliknya, yang justeru menjadi tujuan pemberlakuan hukum Islam. Sebaliknya, para penentang pemberlakukan aturan syari’ah memikirkan kembali posisinya karena gagasan-gagasannya acapkali berseberangan dengan mayoritas Muslim yang justeru sebagai subjek perubahan akan makin memperkuat resistensi terhadap ide-ide liberal.
Jadi, saya melihat selama ini para pendukung dan penentang syari’ah sama-sama bersikukuh untuk terus menggelorakan keyakinan dan mewujudkannya dalam pelbagai retorika, kegiatan dan polemik. Kedua-duanya bisa terjebak pada pengutuban yang ekstrim yang hanya menumbuhkan sikap eksklusif. Bahkan, perlu ada upaya membuka ruang komunikasi, yang sebenarnya pernah dilakukan oleh Ulil Abshar Abdalla dan Ahmad Jaiz dalam sebuah pertemuan di UIN Jakarta.

Tapi, sayangnya, upaya ‘penjelasan’ (tabayun) yang diharapkan mencairkan kebekuan komunikasi selama ini tidak membantu untuk mencapai ‘kesepakatan’ minimal. Masing-masing kelompok memamerkan kepiawaiannya bermain kata untuk menundukkan yang lain. Tentu saja, para pendukungnya yang hadir pada waktu itu bertepuk tangan menyemangati para jagonya. Sebuah drama panggung yang sempurna. Sama sekali tidak ada ikhtiar untuk mengakhiri perdebatan semacam ini dan mencoba untuk mendekatkan gagasan yang mungkin bisa dimiliki bersama untuk mewudukan cita-cita syariat sejati, yaitu menegakkan martabat kemanusiaan.

Tuesday, September 16, 2008

Islam Liberal Jilid Dua, Mungkinkah?

Ulil Abshar Abdalla di dalam situs Islam Liberal menulis dua artikel penting, yang pertama tentang Ibn Khaldun dan kedua Sayyid Quthb. Hampir-hampir keduanya jarang disebut oleh pemikir Muslim sealirannya dalam mengapresiasi sejarah pemikiran Islam. Tapi, Ulil mencoba untuk mengaktualisasikan dengan strategi pembacaan kritis. Betapapun seperti dikatakannya karena tugas kuliah dan ternyata calon doktor Harvard ini menemukan semangat progresif dari kedua tokoh di atas.

Ibn Khaldun dipuji setinggi langit. Dia dianggap sosok yang tepat yang bisa menjelaskan realitas dari kalangan sarjana Muslim. Demikian pula Sayyid Quthb. Tapi, sayangnya Quthb dikritik karena terbelah antara memilih Islam lunak atau estetik dan Islam formal atau ideologis. Kalau diperhatikan, dengan mengikuti kategori aku estetik dan aku-ideologis, Islam Liberal masih berada pada yang pertama dan memang dalam kenyataannya ia berada pada gerakan individu, bukan massa. Sebenarnya Islam Liberal bisa menjadi massa karena latar penggiatnya yang kebanyakan lulusan pesantren dan IAIN/UIN yang akrab dengan pengalaman organisasi komunal.

Sayangnya, banyak pesantren yang emoh berada di bawah telunjuk gagasan liberal. Bahkan, Pesantren Annuqayah Madura, tempat saya belajar, boleh dikatakan masih alergi dengan ide-ide liberal. Bahkan kyai mudanya yang pernah saya jumpai menyayangkan langkah-langkah Ulil dan kawan-kawan dalam mengutamakan gagasan yang tidak mendesak untuk disampaikan pada masyarakat umum.

Tafsir lain tentang Quthb

Inilah tokoh yang acapkali disalahpahami oleh banyak orang, bahkan oleh pengagumnya di sini sekalipun. Tulisan Roxanne L Euben, Enemy in the Mirror. Islamic Fundamentalism and The Limits Of Modern Relationalism, membantu kita untuk memberi napas baru bagi pembacaan yang lebih berimbang tentang Quthb. Pembacaan Euben terhadap karya Quthb mengantarkan dia pada keyakinan bahwa sosok yang mati di tiang gantungan ini menyangkal teori kedaulatan politik modern yang bertumpu pada sekulerisme dan imperialisme. Dalam bahasa yang lebih abstrak keduanya merupakan buah dari modernisme dan Pencerahan (Aufklarung).

Tesis Quthb adalah jika akal dijadikan sumber kebenaran, pengetahuan dan otoritas, maka ini berakibat pada penyangkalan terhadap dasar transenden yang menyebabkan bencana kemanusiaan, yang menggerus komunitas, otoritas dan secara khusus moralitas. Jelas, kritik ini ditujukan pada kegagalan Barat dalam mewujudkan masyarakat yang berkeadaban.

Ketergesaan meringkus gagasan Quthb ke dalam pemikiran patologis dan mereduksinya sebagai bentuk frustasi, tambah Euben, menghilangkan kesempatan untuk memahami praktik politik fondasionalis. Padahal, beberapa teoretikus politik Barat mempunyai pandangan yang sama dengan Quthb tentang visi modernitas yang mengalami krisis dan pembusukan, meskipun berbeda bagaimana menyembuhkan penyakit ini.

Tentu kesamaan ini bisa dipahami karena gagasan Quthb juga banyak mempertimbangkan ide para filsuf Barat, seperti Plato, Aristoteles, Descartes, Bertrand Russell, Comte, Marx, Hegel, Fichte dan Nietzsche. Dari sini, kita boleh menyimpulkan bahwa mata pedang kritik bisa diarahkan ke mana saja ketika ada satu ‘kuasa’ yang mengebiri kemajuan, peradaban dan keadilan sejati. Ia tidak dihunjamkan kepada liyan (the other) karena alasan primordialisme.

Bahkan, kebebasan yang menjadi penyangga bagi peradaban Islam, dalam pandangan Quthb, mengandaikan kebebasan yang dirumuskan oleh Isaiah Berlin dalam Four Essays on Liberty (1969), pada kategori positif dan negatif. Yang pertama, bebas dari ketundukan pada kekuasaan tirani dan sekaligus kebebasan untuk tunduk pada Tuhan, dengan menanggalkan dominasi nafsu. Kebebasan di sini sekaligus menegaskan kesetaraan, yang ini hanya mungkin diwujudkan di bawah kedaulatan Tuhan.

Selain itu, yang perlu dicermati adalah bahwa Quthb tidak menjelaskan bentuk kedaulatan konkrit. Tokoh utama Ikhwanul Muslimin ini hanya menyatakan bahwa masalah yang muncul ke permukaan harus diselesaikan melalui musyawarah sebagaimana dianjurkan di dalam al-Qur’an (lihat Ali ‘Imran: 159). Dengan kata lain, bentuk ‘negara’ dibiarkan terbuka untuk ditafsirkan. Malahan tugas utama negara yang perlu mendapatkan perhatian yaitu terciptanya keadilan sosial. Komunitas yang ada di dalamnya bertanggungjawab untuk melindungi anggota masyarakatnya yang lemah. Sebuah pandangan progresif yang acapkali terlupakan bahkan oleh para pengikutnya di sini.

Memang, Quthb mengkritik keras konspirasi Zionis dan Kristen, yang dianggap sebagai bentuk xenophobia oleh Euben, tetapi beliau menegaskan bahwa masyarakat Islam yang berkeadilan dicirikan oleh keragaman, sebuah kondisi inklusif yang dibangun atas dasar pluralitas sejarah, kebudayaan dan identitas. Semua unsur ini disatukan di bawah hubungan yang setara di hadapan sang Khaliq. Secara tersirat, pernyataan ini menerima keragaman internal umat Islam, yang tentu saja menolak upaya penyeragaman yang belakangan ini ingin dipaksakan sebagian kelompok terhadap masyarakat yang lain.


Islam Otentik

Robert D Lee dalam Overcoming Traidition and Modernity: The Search for Modernity (1997) menyetarakan Sayyid Quthb dengan Mohammed Arkoun yang sama-sama mencari otentisitas Islam di tengah ketidakseimbangan modernitas Barat yang diterapkan di Timur. Bagaimanapun, ‘fundamentalisme’ Sayyid Quthb adalah respons terhadap modernitas dan kritik intelektual terhadap liberalisme. Secara tegas keduanya memperjuangkan al-ashalah (otentisitas).

Tetapi, mengapa banyak sarjana moderat mengafirmasi Arkoun dan menegasikan Quthb? Bisa dikatakan ini terjadi karena otentisitas yang diperjuangkan yang pertama melibatkan elit dan yang kedua melibatkan massa. Tak terelakkan, massa mudah mengundang kerumunan yang gampang dikendalikan, tentu saja tanpa bermaksud meremehkan mereka. Sementara elit lebih asyik bergumul dengan wacana di ruang-ruang seminar dan diskursus ilmiah di media dan buku.

Biasanya massa menyuarakan pendapatnya dalam suasana kumpulan dan kalimat-kalimat pendek dan bombaptis. Tidak dapat dielakkan, kondisinya menjadi sangat emosional dan ofensif. Ini bisa dipahami karena wakilnya cenderung ingin menggelorakan dan mengaduk-aduk psikologi khalayak. Sementara, para sarjana bergulat dengan pemikiran yang memerlukan kecermatan dan kehati-hatian dalam kalimat yang panjang, seimbang dan analitikal. Meskipun, tak jarang yang terakhir ini jika berada di depan massa dan berdiri di podium juga lepas kendali.

Namun, penggerak massa di sini perlu diajak turut serta dalam dialog agar tidak mudah memantik kontroversi dan berujung kontraproduktif, yang justeru menghalangi tujuan kebajikan, menegakkan nilai-nilai kemanusiaan yang berlandaskan agama. Saya sendiri merasakan mereka yang mendaku moderat dan ‘murni’ jarang mau membicarakan persoalan umat secara bersahaja dan dalam suasana kebersamaan. Keduanya sama-sama mempunyai ‘panggung’ sendiri dan celakanya, satu sama lain saling menjegal di medianya masing-masing. Mungkin, upaya Metro TV dalam Dialog Today yang melibatkan kedua kelompok ketika membahas al-Qiyadah al-Islamiyyah, bisa ditradisikan dalam skala lebih luas.

Dari dua sarjana Barat di atas, kita mendapatkan pembacaan yang seimbang tentang tokoh pemikiran keagamaan yang terlanjur disingkirkan dalam diskursus keagamaan Islam moderat dan liberal. Namun demikian, kaum sayap ‘kanan’ tidak perlu berapi-api menyudutkan kelompok moderat, seakan-akan monster yang akan menggerogoti umat tanpa mau mendengar apa yang diinginkan untuk mewujudkan masyarakat Islam yang dikehendaki Nabi.

Dengan mengacu pada dua model pemikiran otentik yang peduli terhadap segelintir elit atau khalayak massa, kita bisa memahami kedudukan masing-masing dalam menjalankan peran kekhalifahannya di bumi. Walau bagaimanapun, pada praktiknya, agama tidak serumit teori yang diperselisihkan para sarjananya. Lalu, kita harus memilih yang mana? Tentu kita harus mendorong mereka membuka diri terhadap kemungkinan bekerja sama, sehingga tidak terjebak pada dikotomi ‘kanan’ atau ‘kiri’.

Terlepas dari semua itu, saya menemukan kecenderungan liberalisme Islam pada apa yang disebut Ulil aku-estetik, yang cenderung mengasyiki dunia kata dan mengabaikan massa, sehingga akan menjauhkan dari umat yang harus dibelanya. Di sini, aku-estetik tak mampu mendorong khalayak untuk berbuat mengubah nasibnya. Tentu, aku-ideologis tidak serta merta dipandang melawan yang pertama, karena bagi saya ia adalah kaki dari pandangan aku-estetik. Tanpa tindakan, pemikiran tak lebih dari igauan. Lalu, mungkinkah Islam Liberal akan merumuskan kembali perjuangannya dalam mewujudkan perubahan? Kita tunggu saja.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...