Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Bahasa. Show all posts
Showing posts with label Bahasa. Show all posts

Tuesday, April 03, 2012

Mulia Bangsa, Tinggi Bahasa


Mengikuti seminar ini, saya memeriksa kembali bahasa yang saya gunakan. Sebelum mengkritik orang lain, saya tentu perlu melihat kembali tulisan saya yang pernah dimuat di
blog, surat kabar dan majalah. Aha, di sana saya menemukan banyak ketidaktaatasasan. Anda bagaimana? Mungkin kita pernah melakukan kesalahan serupa, namun tak menghalang kita untuk terus berusaha agar bahasa ini dirawat dengan sepenuh hati.

Seperti dijelaskan oleh Tan Sri Dzulkifli Razak, ketinggian bahasa Melayu bisa dilihat pada pengertian kata budi, yang tidak bisa sepenuhnya dialihbahasakan kepada kosa kata bahasa lain. Meskipun Georg-Hans Gadamer menegasakan dalam karya Kebenaran dan Metode bahwa terjemahan itu mungkin, tapi sebuah kata tertentu tetap mengandaikan pandangan hidup yang khas dari pemakainya. Bagaimanapun, kata budi mengandaikan makna dasar dan relasional, di mana yang terakhir mengandaikan makna yang telah berkelindan dengan banyak ideologi kebudayaan besar dunia. Apalagi jika kata ini dikaitkan dengan kata lain, seperti bicara, pekerti dan bahasa, maka kata majemuk tersebut mengandaikan falsafah hidup dari pemakainya.

Lalu, mengapa kita banyak menemukan orang ramai tak lagi menghargai bahasa kebangsaannya? Apakah betul mereka telah mengkhianati jati dirinya? Dua persoalan tersebut sempat mengemuka dalam acara seminar kebangsaan yang diselenggarakan oleh Persatuan Karyawan bersama Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universitas Sains Malaysia, 24 Maret 2012 di Dewan Kuliah A. Tentu, kita tak perlu menuding jari, sebab usaha untuk memartabatkan bahasa itu adalah kehendak bersama untuk memelihara jiwa kita bersama. Hanya saja, apabila pengkhianat itu masih memaksakan kehendaknya untuk menomorduakan bahasa kebangsaan, semua harus berdiri untuk menempelak kebebalannya.

Saturday, January 28, 2012

Nasib Imbuhan Pe-an

Sumber: Majalah Tempo, 21 November 2011


Bahasa!



Oleh: Ahmad Sahidah


Kemusnahan bahasa tidak terelakkan disebabkan alasan kesejarahan, demografi atau bahkan serbuan bahasa asing. Yang terakhir kadang dibenarkan untuk menjadikan bahasa tertentu bisa menyesuaikan dengan perkembangan zaman melalui penyerapan kosa kata baru. Belum lagi, ikhtiar penerjemahan ilmu pengetahuan dan istilah teknologi modern memaksa pegiat bahasa untuk mengerutkan dahi dalam memastikan bahasa sasaran, bahasa Indonesia, tidak semakin pupus. Yang merepotkan, penerjemahan bahasa filsafat, yang meskipun susunannya bukan sama sekali baru, tetapi mengandaikan pemahaman tertentu membuat dosen mengambil jalan mudah dengan penyerapan begitu saja thing-in-itself menjadi sesuatu-dalam-dirinya.


Gagasan Kant tentang noumena di atas tentu masih bisa dipahami dengan menyebut sesuatu-dalam-dirinya. Lalu, bagaimana dengan istilah filsafat yang mengandaikan kata benda yang dibentuk dengan pengimbuhan pe-an yang bermakna proses menjadi? Kata dasar hancur akan berarti proses menjadi hancur dengan imbuhan pe-an. Malangnya, penghancuran tidak digunakan untuk menggantikan kata dekonstruksi, sebagai kata kunci dalam pemikiran Jacques Derrida. Demikian pula, penyerapan kata diferénsiasi yang diartikan sebagai berikut: 1. Proses, cara, perbuatan membedakan; pembedaan; 2.Perkembangan tunggal, kebanyakan dari sederhana ke rumit, dari homogen ke heterogen; dan 3.Proses pembedaan hak dan kewajiban warga masyarakat berdasarkan perbedaan usia, jenis kelamin, dan pekerjaan.


Jika -isasi dimasukkan dalam kamus kita, apakah kata diferensiasi di atas merupakan bentukan dari akhiran -isasi dan diferens? Tentu tidak, karena kata yang terakhir ini tidak ditemukan dalam kamus. Lalu, mengapa kita hanya mengambil turunan kata bahasa Inggeris dan tidak kata dasarnya, differ?


Menariknya, kalau kita lihat makna diferensiasi ketiga, kita bisa menerka bahwa itu adalah pengertian sosiologis. Pendek kata, kata itu telah mengalami penafsiran lebih jauh tentang pembedaan struktur masyarakat. Lalu, apakah pembedaan mengandaikan makna kata diferesiasi? KBBI pun tak berani untuk menyejajarkan dua kata yang sebenarnya merupakan padanan. Kamus kita hanya mengartikan pembedaan sebagai berikut, proses, cara, perbuatan membedakan.


Akibat kegagapan kamus, orang ramai pun merasakan perbedaan antara pembedaan dan diferensiasi. Kaum cerdik pandai akan mengutamakan terakhir jika berbicara susunan masyarakat dalam perbincangan ilmiah. Malah, hal serupa, klasifikasi, yang mengandung arti yang sama dengan pengelompokan, tak menyurutkan langkah mereka untuk menggunakan yang terakhir. Malangnya, penggunaan kata pengklasifikasian juga ditemukan, yang jelas-jelas berlebihan. Berbeda dengan bahasa Malaysia, kata klasifikasi diterjemahkan dengan pengelasan, yang merupakan gabungan antara imbuhan pe-an dengan kelas. Sepatutnya, pengelasan juga bisa digunakan, mengingat kata kelas, yang berasal dari class, telah diserap ke dalam bahasa Indonesia. Apa lacur, kamus kita hanya berhenti di kata mengelaskan untuk menunjukkan memperlakukan orang lain berdasarkan kelas atua kedudukan. Mungkin, kata pengelasan dianggap lebih cocok untuk proses menyambungkan besi dengan cara membakar.


Tentu, keengganan kita untuk menggunakan imbuhan pe-an disebabkan padanan dalam bahasa Indonesia yang terlalu panjang. Misalnya, dehumanisasi yang berarti penghilangan harkat manusia akan membuat penutur merasa tidak bisa mengungkapkan gagasan besar tentang humanisme jika tidak menggunakan dehumanisasi dan merasa tak sepenuhnya menerima padanannya dalam bahasa Indonesia. Apatah lagi, imbuhan de yang bermakna hilang telah diserap ke dalam bahasa Indonesia untuk membuka jalan agar bahasa Indonesia berlimpah kosa kata. Padahal sejatinya, ia telah mengubur khazanah sendiri dan makin membuat orang ramai malas untuk mencari sinonim dalam bahasa setempat.


Sementara, bahasa Malaysia mencoba memanfaatkan kata nyah untuk dipadankan dengan de agar istilah-istilah asing yang bermakna negatif, seperti un, anti dan dis, bisa diterjemahkan ke dalam bahasa tempatan. Adalah tidak aneh, jika Karim Raslan, kolomnis ternama, menggunakan penyahpusatan untuk menyebut desentralisasi dan penyahisanan untuk dehumanisasi. Mungkin, kita merasa aneh mendengar kata majemuk yang mendapatkan imbuhan pe-an seperti di atas, meskipun masing-masing penggalan kata dari keduanya bisa ditelusuri di dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia.


Yang menarik, ketika kita akrab dengan kata pengumuman, yang berasal dari pe-an dan umum, hampir-hampir kita tak menggunakan kata pengkhususan sebagai padanan kata spesialisasi. Kita akan menyebut dokter spesialisasi jantung, meskipun kita pun juga mengenal dokter umum. Sementara orang negeri jiran akan memilih dokter pakar untuk mengelak dari penggunaan kata berakhiran -isasi, walaupun belakangan ini ada kecenderungan mereka menyuburkan pemakaian kata berakhiran -isasi di tempat lain, seperti realisasi, yang sebelumnya lebih mengutamakan kata perwujudan. Bagaimanapun, kita tak menyangkal –isasi, tetapi membiarkan kedigdayaan pe-an surut, secara perlahan imbuhan ini akan musnah.


*) Dosen Filsafat dan Etika Universitas Utara Malaysia

Monday, December 05, 2011

Bahasa Kita Tak Ringkas?

Bahasa Indonesia dan Malaysia tak terelakkan harus menyerap bahasa Inggeris, karena yang terakhir telah digunakan sebagai bahasa antarabangsa. Kadang dua bahasa menyerap begitu saja atau memindahkan konsep kata tertentu dalam bahasa sendiri, seperti kata locker di atas menjadi peti simpanan barang. Mengapa tidak peti saja agar padanan untuk locker juga ringkas? Adakah pembentukan kata dasar yang didahului awalan pe bisa mengandaikan susunan bahasa Inggeris lock+er? Mungkingkah pepeti?

Tak jarang, penggunaan bahasa Melayu dipinggirkan karena susunannya yang tak ringkas. Belum lagi, ikhtiar bahasa Indonesia dan Malaysia untuk kekal teperbaharui menyebabkan keduanya mengambil jalan mudah menyerap begitu saja atau membiarkan susunan aslinya. Kata 'fashion', misalnya, masih ditulis apa adanya dengan huruf miring 'fashion' dalam pelbagai karangan atau berita atau diserap dengan mengambil bunyi kata bersangkutan, fesyen. Sekali waktu, kita masih mendengar tata busana untuk menggantikannya.

Kehadiran sistem pesanan ringkas (short message system) dalam telepon genggam dan media sosial, seperti facebook dan twitter, telah mendorong orang ramai untuk lebih memilih bahasa Inggeris karena keringkasannya. Bayangkan, hanya untuk menyebut locker, kita perlu mengungkapkan tiga kosa kata dalam tiga tarikan napas. Lalu, mengapa bahasa Malaysia tidak menjadikan locker sebagai loker, sebagaimanna message berubah mesej? Bagaimanapun struktur kata dasar yang diakhiri dengan er dalam bahasa Inggeris menyulitkan kita untuk bersikap tegas. Sekali waktu, kita menerimanya, tetapi kita pun bisa mengandaikan struktur sendiri, yakni pe ditambah kata dasar. Tampaknya, kedua bahasa ini akan terus diuji dengan khazanah milik sendiri, meskipun orang ramai pun bisa menggugat, mengapa harus Sanskrit sebagai ukuran?

Lalu, mengapa kita tidak beranjak pada semantik? Makna itu jauh lebih penting daripada sibuk dengan urusan remeh-temeh terkait susunan bentukan kata. Kalau ahli bahasa dan orang ramai memperakui bentuk kata tertentu, bukankah tugas kita adalah bergulat dengan usaha menyepakati makna yang mungkin tersedia secara tersirat? Perlukah, kita menyoal locker, sementara para mahasiswa dan guru mereka bisa memanfaatkan tempat penyimpanan barang tanpa kebingungan dengan asal-muasal? Ehm, saya pun menghela napas, adakah cetusan ini sia-sia?

Thursday, November 24, 2011

Kekuatan Kata

Saya mengambil gambar itu dari tembok kampus. Selain perkataan Nabi, kita juga bisa menemukan kutipan pemikiran dari banyak orang yang terpandang, seperti Lyndon B Johnson yang berujar, "At the desk where I sit, I have learned one great truth, the answer for all national problems - the answer for all the problems of world - come to a single word. That word is "education". Secara tekstual, mungkin kita tak perlu menyulitkan diri dengan menggunakan konteks dekat atau jauh dalam pembacaan kedua pernyataan di atas. Lagi terang dan bersuluh, pernyataan ini sesederhana nasehat orang tua pada anaknya, 'Nak, sabar ya? Meskipun kamu miskin, tetapi pantang untuk berhenti belajar'.

Mengapa kita memerlukan kata-kata itu? Setiap orang mempunyai jawabannya. Namun, nasib kutipan tersebut sepertinya bergaung di ruang kosong. Orang-orang yang melewatinya mungkin tak lagi peduli. Masyarakat kebanyakan bergegas untuk terus memburu nasibnya. Tak jarang, mereka tersandera oleh kekalutan yang membuatnya marah. Boleh jadi, harapan terhadap penyemaian nilai-nilai kemanusiaan melalui pendidikan terhenti di tengah jalan karena kuasa jahat telah menghadangnya. Tentu saja, setiap individu mempunyai halangannya sendiri-sendiri.

Adakah kata-kata itu masih berdaya magis? Tentu, dengan syarat ia hadir dalam konteks. Di tengah aliran informasi mengalir deras, mungkin orang ramai tak lagi bergulat dengan kedalaman kata, sehingga makna tak bisa diraih. Teknologi yang sepatutnya memilah data justeru menghadirkan begitu banyak fakta yang tak terkira. Kata-kata mati rasa. Untuk itu, semua harus menyepi seraya membawa kata-kata lama itu ke dalam refleksi. Biarlah, teknologi menjalankan fungsinya sesedikit mungkin, namun kita tentu saja tak perlu membaca kata-kata di daun lontar. Nah, jika kata-kata itu tak juga mendatangkan makna, itu berarti makna memang tidak ada sepenuhnya di barisan huruf, tetapi juga di kepala. Akhirnya, sejatinya kekuatan kata itu terletak pada diam, setelah mulanya pada kata.

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...