Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label My Article. Show all posts
Showing posts with label My Article. Show all posts

Tuesday, January 04, 2011

”Perang Baru” Indonesia-Malaysia

Jawa Pos, 22 Desember 2010


Oleh: Ahmad Sahidah

SEHARI sebelum tim Indonesia Malaysia turun lapangan di babak penyisihan piala Suzuki AFF 2010, di koran Kosmo! (1/12/10) terpampang judul besar: Malaysia sedia bedil Indonesia. Saya terkejut. Adakah diam-diam di bawah sadar wartawan Malaysia senantiasa bergolak menghadapi saudara serumpunnya sehingga kosa katanya berbau ”kegeraman”?

Mungkin tidak. Sebab, dalam sepak bola, kita telah banyak menyerap perbendaharaan kata yang terkait dengan perang, seperti taktik, pertahanan, serangan, merebut, menguasai, hingga manuver. Apalagi, setelah kalah telak 1-5, koran yang sama menurunkan berita ternyata Malaysia dibedil. Pengakuan ini tentu menghapus prasangka di atas.

Khairy Jamaluddin, ketua Pemuda UMNO (United Malay National Organization), acap menyuarakan pandangan kritisnya mengenai Indonesia. Kali ini tidak. Di twitter-nya, dia menulis nama stadion nasional dengan Gelora Bung Karno damn scary. Berbeda dengan Malaysia, mereka hanya menyebut Stadium Bukit Jalil, nama yang dilekatkan sesuai dengan tempat lapangan bola dan terkesan tidak gagah. Boleh jadi, di sana tidak ada tokoh yang membuat bulu kuduk berdiri. Tampaknya, kita memang lebih menyukai hal-hal besar, sedangkan orang Malaysia hanya menyebut stadionnya yang lebih bersih dan terawat daripada Gelora Bung Karno hanya dengan nama daerah.

Tentu, pertemuan keduanya di final akan membuat dua warga negaradeg-degan, siapa yang akan menjadi pemenang. Namun, harus diakui, warga Indonesia lebih ekspresif dalam menafsirkan laga dua seteru itu. Tiba-tiba, petinggi negara berharap TKI yang bekerja di Malaysia berbondong-bondong ke Bukit Jalil, memerahkan Stadion Bukit Jalil. Seorang sutradara berkicau di twitter, ayo ganyang Malaysia! Sepertinya, pertandingan ini betul-betul menjadi katup dari kegeramanya kepada tetangganya yang sering dipandang congkak dan pongah. Kalau hanya sebatas itu, siapa pun mafhum. Belum lagi, di tengah lapangan, kita akan sering mendengar sumpah serapah terhadap lawan. Namun, semua harus tunduk pada aturan bersama. Itu hanya permainan.

Persaingan

Mengingat di peringkat dunia FIFA Indonesia berada di atas Malaysia, di atas kertas sepatutnya tim nasional kita bisa menang, apalagi sebelumnya membelasah negeri jiran dengan skor 5-1 pada babak penyisihan. Namun, Malaysia tidak kalah gertak. Ia meramalkan bahwa pertandingan final itu boleh jadi seperti Piala Dunia Afrika Selatan, Juli lalu. Sang juara, Spanyol, sebelumnya bertekuk lutut kepada Swiss. Namun, Negeri Matador itu melenggang ke final dan mengalahkan Belanda dengan skor tipis 1-0. Malah koran Sinar Harian memuat berita bahwa kekuatan dua tim itu adalah 50:50 setelah Tim Harimau tampil meyakinkan mengalahkan Vietnam di babak semifinal.

Namun, jauh dari sekadar menumpukan perhatian pada pertandingan, kita juga harus memeriksa seberapa besar dua negara memberikan ruang untuk warganya bermain bola. Ketika final piala Nike ASEANbawah 15 tahun dihelat di Universitas Sains Malaysia pada Juni 2010, salah seorang official Indonesia memuji lapangan kampus yang terawat dan layak untuk dijadikan ajang pertandingan internasional. Malah, ia juga memuji fasilitas stadium Bukit Jalil lebih terpelihara daripada Gelora Bung Karno.

Jadi, perang dua tim itu hakikatnya mengandaikan persaingan dalam banyak hal, penyediaan fasilitas publik, pengurusan olahraga, dan pengaturan ketertiban penonton. Harus diakui, fasilitas, manejemen, dan kesadaran penggemar sepak bola untuk tertib di sini masih rendah daripada di Malaysia. Namun, pada waktu yang sama, kita perlu bangga karena antusiasme pada si kulit bundar ini mencerminkan Indonesia yang kompak. Bola di Malaysia masih menjadi milik Melayu, bukan Tionghoa dan India, sehingga penonton pun masih berasal dari etnik pribumi. Ia belum menjadi perekat kebangsaan sebagaimana di sini.

Antisipasi

Tentu tanpa diminta petinggi Republik, pekerja kita akan datang ke Bukit Jalil, apalagi pertandingan itu melibatkan tim sepak bola Indonesia. Banyak buruh migran yang memenuhi stadion untuk memberikan dukungan. Penulis sendiri melihat dari dekat gelegak penonton kita di sana dengan berteriak dan mengibarkan bendera Merah Putih. Tidak bisa disangkal, di dada warga kita Garuda telah tertancap kuat, tanpa Anas Urbaningrum harus mengatakan senayankan Bukit Jalil.

Dengan dukungan penyediaan bus oleh Kedutaan Besar RI di Kuala Lumpur, tentu para pendukung Timnas Merah Putih akan berdatangan ke Kuala Lumpur. Sayangnya, kepastian tiket bisa diperoleh tiga hari sebelum pluit ditiup dan karcis untuk final tersebut diutamakan untuk warga lokal. Namun, bisa dijamin tanpa disediakan bus, warga kita di sana akan menyemuti Bukit Jalil. Tentu, kapasitas stadion yang hanya memuat sebanyak separoh penonton di Senayan tidak akan memberikan peluang yang besar untuk warga Indonesia. Sebab, animo warga lokal untuk menyokong pasukan (bahasa Malaysia untuk tim) kesayangannya juga besar.

Namun, antisipasi kerusuhan di tempat yang sama antar pendukung Christian Gonzales dan pendukung lokal seperti di Piala Tiger tahun 2005 harus dipikirkan. Tentu, kericuhan akan mudah tersulut mengingat bau kemarahan terhadap negeri bekas jajahan Inggris itu masih menguap. Demikian juga warga negeri jiran tidak berterima terhadap perlakuan Benteng Demokrasi Rakyat (Bendera) yang dianggap melecehkan kehormatan mereka dan mendapatkan perhatian luas setelah media di sana tidak lagi menutupi masalah seperti itu seperti tahun-tahun sebelumnya.

Namun, sejatinya, kita harus melihat sepak bola sebagai ”perang” yang mengedepankan sportivitas dan katup bagi sikap agresif yang merugikan. Apa pun hasilnya, ia seharusnya menjadi cermin dari kehidupan berbangsa yang ingin maju, yaitu penyemaian disiplin, kekompakan, kepatuhan, dan ketahanan. Inilah perang sesungguh-nya. (*)


*) Dr Ahmad Sahidah, peneliti Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan Universitas Sains Malaysia.


Menemukan Melayu di Riau

Riau Pos, 3 Januari 2011

Oleh Ahmad Sahidah

Jauh-jauh hari, Persatuan Karyawan (baca: pengkarya) Pulau Pinang-Malaysia mengagendakan kunjungan ke Riau. Sebagai organisasi dalam bidang penulisan, peserta ingin memburu akar Melayu di Negeri Lancang Kuning.

Meskipun pada awalnya kami ingin mengunjungi banyak tempat yang memungkinkan kembali menengok akar, selain kunjungan wajib ke Universitas Riau dan Riau Pos, warga jiran yang merupakan civitas academica Universitas Sains Malaysia (USM) hanya sempat menyiangi Candi Muara Takus dan Istana Siak Sri Indrapura. Rencana ke Pulau Penyengat untuk mengunjungi makam Raja Ali Haji tak kesampaian karena waktu yang terbatas.

Bagaimanapun, kunjungan intelektual ini dirancang bukan sekadar melancong, apalagi menggenapi agenda tahunan organisasi tersebut, tetapi lebih jauh merangkai kembali masa lalu Melayu dan untuk mengkritik prilaku masa kini dan menciptakan masa depan yang lebih baik. Tentu isu ini akan makin merekatkan Riau dan Semenanjung Malaysia untuk mewujudkan kerja sama yang lebih luas dalam bidang kesehatan, pendidikan dan gaya hidup. Tiga unsur yang dinilai oleh United Nation of Development Program (UNDP). Apatah lagi dalam kunjungan ke Riau Pos, Wakil Pemimpin Redakri H Yasril menegaskan, tentang kepedulian koran ini pada penghargaan karya kreatif, Anugerah Sagang, yang makin menguatkan titik temu keduanya.

Kerja sama pendidikan perguruan tinggi Riau dan Semenanjung Malaysia sebenarnya telah banyak dilakukan. Untuk itu, kunjungan kami pun tak hanya berhenti membentang makalah, malah ke depan kerja sama kedua perguruan tinggi di atas akan terus dilestarikan, mengingat tak banyak orang Riau yang melanjutkan kuliah tingkat master dan doktor ke wilayah Utara Malaysia dibandingkan ke wilayah Selatan, seperti Kuala Lumpur, Johor, Selangor dan Malaka. Apalagi di Riau, Malaysia memiliki perwakilan konsulat, yang mempunyai konsul muda Encik Zamani yang sangat responsif dalam menyambut rencana kedatangan rombongan. Pendek kata, kerja sama antara perguruan tinggi kedua negara bisa dilakukan lebih teratur dan terukur.

Dua Melayu

Meskipun Riau dan Semenanjung Malaysia berkongsi sejarah pada masa lalu, kemelayuan keduanya pun berjalan tidak satu atap. Berdirinya dua negara merdeka, Indonesia dan Malaysia, telah melahirkan identitas Melayu yang tak lagi bernafas sama.Di sini, Melayu mengandaikan identitas etnik di belahan Sumatera, sementara di Malaysia, ia adalah unit politik yang telah diresmikan di dalam konstitusi menjadi orang Islam, berbahasa Melayu dan beradat-istiadat Melayu.Bagaimanapun, definisi seperti ini dikritik oleh Mahyuddin Al-Mudra, pimpinan Balai Pengkajian dan Pengembangan Dunia Melayu Jogjakarta, sebagai penyangkalan terhadap sejarah panjang Melayu itu sendiri.

Tentu kritik itu tak sepenuhnya bisa dilontarkan untuk melihat wujud Melayu Semenanjung. Di sana, Melayu dengan sendirinya memasukkan berbagai etnik lain, seperti Jawa, Bugis, dan Aceh, yang di tanah asalnya mereka tidak menerima penyematan Melayu untuk jati diri mereka. Apa pun perbedaan pandangan ini tidak bisa dielakkan karena pengertian identitas itu sendiri mengandaikan uraian panjang terkait pengalaman khas dan mengandaikan berbagai sudut pandang, seperti klasik, modern, pascamodern. Meskipun yang terakhir mengatakan identitas itu adalah mitos, namun ia hadir dalam dunia nyata. Paling tidak, ada dengusan nafas yang sama, bahasa dan adat.

Prof Sohaimi Abdul Aziz, memuji bentuk-bentuk bangunan pemerintahan yang mengekalkan ornamen lokal, Lancang Kuning, sebagai penanda dari sebuah ciptaan arsitektur lokal. Guru besar dalam bidang sastra ini tak melihat hal serupa, sehingga dunia Melayu di Semenanjung pelan tapi pasti tak membekas. Saya pun melihat banyak bangunan megah di sana tak lagi setia dengan warisan lokal, seperti KLIA (Kuala Lumpur International Airport) dan Menara Kembar Petronas. Keduanya hadir sebagai kepanjangan arsitek asing yang memanjakan ruang minimalis dan miskin sentuhan simbol lokal.

Wisata Budaya

Nah, di tengah perbedaan itu, hakikatnya kedua warga serumpun masih mempunyai akar yang sama. Keduanya bisa bertukar tempat tanpa menemui halangan berarti. Salah satu yang paling efektif untuk menyuburkan hubungan itu adalah pelancongan. Harus diakui Malaysia lebih berhasil memajukan pariwisata karena pemerintah dan rakyatnya mempunyai kesadaran yang jauh lebih kuat dibandingkan di sini. Di sana, turis merasa nyaman, karena fasilitas dan penerimaan orang lokal. Andaikata di sini kita juga bersikap sama, tentu banyak turis dari Semenanjung, termasuk sebagian turis mancanegara yang berkunjung ke Semenanjung akan melanjutkan perjalananya ke Riau.

Tahukah Anda bahwa kebanyakan orang Arab yang berkunjung ke Malaysia, baik Jalan Bukit Bintang dan Pantai Batu Ferringhi di Kuala Lumpur, namun mereka terlepas pandang bahwa di Riau memiliki bekas sebuah kerajaan Islam Siak Sri Indrapura yang memancarkan kegemilangan hingga ke Semenanjung? Kalau mereka tahu pendiri kerajaan tersebut berasal dari perantau tanah Arab, mungkin daya tarik Siak akan jauh lebih cemerlang. Ketika kami berkunjung ke sini dan bersembahyang di Masjid Syahabuddin yang permai, kami hanya mendapati turis Arab lokal dari Solo, Jawa Tengah, sedang tetirah di serambi masjid sebelah kiri, sepelemparan batu dari sungai yang mengalir sahdu.

Demikian pula, ketika rombongan mengunjung Candi Muara Takus, sang pemandu Zulkifli menjelaskan, bahwa bangunan tempat ibadah itu didirikan pada abad ke-11. Pengunjung pun tak bisa menyembunyikan decak kagum, ternyata di abad itu, Riau telah membangun peradaban yang agung, di mana pada waktu yang sama Eropa masih berada di dalam era kegelapan. Namun, kegemilangan itu tak memancar kuat karena pemerintah lokal tak membangun penyangga untuk membuat kehadiran candi itu makin menarik. Pos satuan pengaman tampak layu, sampah ditemukan di berbagai sudut candi, warung dibangun seadannya yang tak terintegrasi dengan aura candi yang magis. Malangnya lagi, fasilitas umum, seperti dua kamar mandi terbengkalai, itu pun hanya ada dua dan airnya mengalir malas.

Catatan lain yang mungkin perlu diresapi oleh warga di sini adalah kesiapan untuk memperlakukan turis dengan ramah, termasuk pedagang yang menjual makanan. Pengalaman buruk teman Malaysia, Encik Omar, membayar sepiring nasi, telor, dan segelas es teh sebesar Rp20 ribu tentu perlu mendapatkan perhatian semua pihak. Padahal kami makan di warung kecil di antara lorong dua bangunan tak jauh dari Aston, tempat kami menginap. Boleh jadi pengalaman buruk ini akan membuat pengunjung dari tanah Semenanjung tak akan menemukan Melayu di sini. Semoga tidak.***

Ahmad Sahidah PhD, Staf Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia (USM), Pulau Pinang, Malaysia

Wednesday, December 15, 2010

Merayakan Kebebasan, Mungkinkah?

Jika ditanyakan soal di atas, jawabannya mungkin tidak sesederhana ya dan tidak. Ia jauh lebih rumit karena mengandaikan perdebatan banyak hal. Apa pun, rambu-rambu harus dibuat. Di sini, kita akan menemukan makna kebebasan hakiki. Masalanya, siapa yang dipercaya untuk membuatnya? Ini memerlukan satu artikel lagi.

Tuesday, November 30, 2010

Mencegah TKI Menjadi Korban

Hakikatnya, semua pihak terkait mengetahui apa yang harus dilakukan untuk melayani buruh migran. Kehendak yang kuat harus tertanam agar suara-suara kepedihan seperti di atas tak terus berdengung, mengusik telinga. Kami pun melakukan apa yang bisa disuarakan dari mereka yang bisu. Kami mengumpulkan cerita-cerita yang terbiar, yang mungkin telah banyak beredar. Semoga!

Wednesday, November 24, 2010

Hari Raya dan Makna Kurban

Rabu, 17 November 2010 Seputar Indonesia

Ahmad Sahidah PhD Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universiti Sains Malaysia

Shalat dua rakat, takbir, dan penyembelihan korban merupakan kegiatan yang identik dengan perayaan Idul Adha. Media cetak dan elektronik akan memuat gambar ribuan orang berjamaah menunaikan sembahyang dan sejumlah orang kaya menyumbang seekor sapi atau lebih ke tempat ibadah. Gambaran ini selalu hadir di hari suci itu. Betapa damai kita melihat ribuan orang mengagungkan Tuhan dalam suasana syahdu dan khusyu’. Betapa tersentuh kita melihat begitu banyak orang bermurah hati, peduli pada si miskin. Selang beberapa waktu kemudian, penganutnya terperangkap dalam rutinitas, seakan-akan gairah religiositas dan sikap filantrofis itu hilang tak berbekas.

Jika umat Muslim bisa meluangkan waktu berjamaah dan kaum kaya tak keberatan menyisihkan uangnya untuk berderma, maka di luar hari raya itu, sepatutnyan mereka juga bisa melakukan hal yang sama. Namun, boleh dikatakan setelah itu, masjid dan surau dibekap sepi, dan orang-orang miskin mengais rezeki dalam kesusahan tak terperi dan penganggur menanggung beban berhari-hari. Tak ayal, tebersit dalam benak bahwa kebiasaan perayaan itu seakan-akan untuk menebus kealpaan beribadah dan keteledoran mengabaikan nasib yang teraniaya selama setahun.

Padahal, jika suasana kebersamaan itu merembesi dalam keseharian, betapa hidup bisa tertanggungkan. Bukankah, komunitas yang bertetangga itu perlu ruang untuk saling menyapa dalam suasana damai dan tentram. Dengan meluangkan waktu berjamaah di lingkungan tempat kita tinggal, tentu keadaan semacam ini menjadi ruang bertegursapa dengan jiran. Sayangnya, kebanyakan mereka tak hirau. Kalaupun alasannya tak ada waktu karena kesibukan, namun di hari Minggu atau libur tempat ibadah itu pun masih lengang. Di tengah banyak peternak atau petani membutuhkan sapi untuk dipelihara, orang-orang berduit itu seakan-akan tak melihat, padahal jika sedikit uangnya dibelikan seekor sapi tak akan membuatnya bangkrut. Lalu, kemanakah mereka?

Menyemai Semangat

Dalam wacana antropologi, berkorban (sacrifice) berkait keadaan pelaku sebagai pembawa polusi, dosa atau kesalahan dan persembahan itu dianggap sarana untuk membersihkan tubuh seseorang atau sosial dari noda moral ini (Veena Das, 1983). Dalam Islam, subjek itu adalah orang kaya yang dermawan dan murah hati. Dengan kemurahan hati inilah, mereka juga turut menyucikan batin dari sifat-sifat tercela. Dengan memberi sebagian hartanya, hakikatnya mereka telah merasa cukup dan perasaan inilah yang membuat manusia bersyukur, salah satu kunci kebahagiaan.

Masalahnya, apakah keutamaan bersembahyang jamaah, seperti shalat Id, dan berderma hanya dilakukan pada hari raya Kurban? Jawabannya jelas tidak, justeru kehendak mewujudkan ‘suasana’ hari raya Kurban di hari-hari yang lain merupakan keberhasilan memaknai kategori imperaktif dari sebuah kewajiban. Hari raya itu adalah momentum untuk merayakan keutamaan berjamaah dan memeriksa kembali apakah solidaritas Muslim terjalan berjalan dengan baik. Hari raya Id adalah puncak dari berkumpulnya komunitas-komunitas dalam ruang yang lebih besar, selanjutnya masyarakat memelihara kebersamaan dalam lingkungan yang lebih kecil, di tingkat Rukun Tetangga misalnya. Demikian pula, kedermawanan yang dirayakan di ruang terbuka pada hari raya sebagai wujud dari kepedulian yang dipupuk sepanjang tahun. Nabi tidak meminta umatnya untuk peduli pada kaum terpinggir itu hanya setahun sekali.

Dengan tingkat mobilitas yang tinggi, sepatutnya mereka yang berpunya tak perlu merasakan kesulitan untuk menafkahkan rezekinya melalui lembaga yang mengembangkan amal itu menjadi modal produktivitas. Hampir semua lembaga tersebut telah menyediakan fasilitas on line untuk beramal. Kalaupun mereka ingin melihat amal itu berbuah, mereka bisa datang untuk menengok kelompok-kelompok binaan sehingga terjalin silaturahmi yang erat. Diharapkan dengan sikap seperti ini akan mendorong pemerataan. Seperti ditegaskan Paul Wachtel (1989) bahwa timbulnya bermacam-macam penyakit sosial karena arah pembangunan yang selalu menekankan pada pertumbuhan (growth), bukan pendistribusian hasil pembangunan dengan merata dan adil. Melalui semangat berkorban, ikhtiar meneteskan rezeki ke bawah itu akan terwujud.

Teladan

Jika banyak orang yang bisa berkorban sapi pada hari raya itu, mengapa kedermawanan itu juga tidak dilakukan di luar hari yang telah ditentukan wakatunya dan juga lebih produktif? Padahal jika hal yang sama dilakukan melalui program penyertaan dalam program desa binaan ternak sapi, kegiatan ini akan mendongrak sektor ekonomi yang lain. Apalagi seperti telah diketahui umum untuk memenuhi kebutuhan sapi korban, Indonesia harus mengimpor binatang pemamah biak ini dari Australia dan negara lain, yang tentu saja menghabiskan devisa negara.

Tentu, pelibatan mereka yang berduit untuk berinvestasi dalam ternak akan menggairahkan ekonomi pedesaan. Jauh dari itu, ikhtiar semacam ini menjadi jembatan menumbuhkan hubungan masyarakat yang saling memercayai, sebagai bagian penting dari modal sosial. Memang sebelumnya program IDT (Inpres Desa Tertinggal) telah melibatkan warga pedesaan untuk beternak sapi, namun sayangnya sebagian mereka menjual hewan tersebut untuk memenuhi keperluan sehari-hari. Namun, hal ini tidak mencegah perorangan yang berduit untuk memulai usaha yang sama dengan mempekerjakan kaum profesional, termasuk lulusan perguruan tinggi yang berlatang belakang peternakan dan manejemen.

Keberhasilan Lembaga Amil Zakat Yaumil, LNG Bontang Kalimatan Timur dalam mewujudkan desa binaan dalam peternakan sapi patut diberi perhatian. Tidak saja pendataan kaum miskin yang meliputi pekerjaan, status, surau terdekat tercatat rapi dan bisa diakses publik melalui laman sesawang mereka, tetapi juga perkembangan, evaluasi dan yang jauh lebih penting hasil audit juga diterakan. Pertanggjungjawaban dan keterbukaan semacam ini akan menjadikan lembaga tersebut bisa diperhatikan orang ramai dan sekaligus mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok lain untuk melakukan hal yang sama. Semakin banyak lembaga yang serupa, semakin banyak orang bekerja dan meraup berkah dari semangat berkorban ini. Kalau hanya meluang waktu berjamaah dan berderma pada hari raya, mungkin itu belum cukup untuk disebut berkorban.

Oleh karena itu, pemisahan kata hari raya dan makna kurban dalam judul di atas sebenarnya ingin menegaskan betapa perayaan itu kadang melupakan makna kurban yang sesungguhnya. Hari besar ini hanya mengisi liburan sehari. Media massa pun berlomba-lomba untuk mengulang berita yang sama seperti tahun-tahun sebelumnya, hanya berbeda waktu. Padahal, pengorbanan ini menyimpan makna yang jauh lebih kaya dari sekedar bersembahyang dan membagikan daging korban. Kebersamaan pada salat id adalah kehendak bersama untuk hidup rukun dan penyembelihan hewan itu adalah simbol pengorbanan untuk menolong orang lain agar tak berkubang dalam kemiskinan. Jika semangat ini bisa diraih, maka kita bisa memperoleh makna kurban hari raya, tanpa dipisah oleh kata dan. Semoga!

Idul Adha dan Kemandirian Ekonomi

Selasa, 16 November 2010 Koran Tempo

Ahmad Sahidah PhD, PENELITI PASCADOKTORAL DI UNIVERSITAS SAINS MALAYSIA

Sebagai ibadah, Idul Adha berkait erat dengan salat id dan penyembelihan hewan kurban. Menurut fiqh, ia merupakan puncak dari ibadah haji, yang juga dirayakan oleh umat Muslim seluruh dunia. Ritual penyembelihan kurban merupakan bagian khas yang selalu menarik perhatian. Sebelumnya, pasar sapi dan kambing dadakan bermunculan dan penyembelihan sesudah shalat juga telah mengundang banyak orang untuk datang. Sayangnya, untuk mencukupi kebutuhan daging, Indonesia harus mengimpor sapi dari luar negeri. Pada masa yang sama, kebijakan ini juga merugikan peternak lokal, karena harga jual sapi tak sepadan dengan biaya pakan dan tenaga.

Jauh sebelumnya, Yusuf Kalla (Tempo, 30/06/08) menyesalkan bahwa Indonesia harus mengimpor sapi dari luar. Sepatutnya ini tidak perlu terjadi karena sebagai negara agraris, para petani mempunyai banyak kesempatan untuk sekaligus beternak. Oleh karena itu, pemerintah mendukung usaha Nusa Tenggara Barat untuk mewujudkan “Bumi Sejuta Sapi” melalui pinjaman tanpa bunga. Di Pulau Sumbawa sendiri telah disiapkan lahan 1.007 hektar proyek percontohan Lar Limung dengan harapan pada tahun 2013 negeri seribu Masjid itu menghasilkan sejuta ekor sapi dan dengan sendirinya menggerakkan sektor ekonomi lainnya.

Kegagalan swasembada ini bermuara dari pengertian ibadah yang dirayakan pada 10 Dzulhijjah ini yang hanya dipahami sebagai pelaksanaan shalat dua rakaat dan berkurban. Sementara, bagaimana mewujudkan pesan tersirat dari Idul Adha itu sendiri tidak ditonjolkan. Penegasan Nabi bahwa tidak ada yang lebih dekat dengan Tuhan selama hari-hari Kurban selain menyembelih binatang ternak menunjukkan Tuhan hadir tidak hanya di tempat ibadah, sakral, tetapi dalam ritual ‘penyembelihan kurban’, profan. Dengan kata lain, hal ihwal duniawi merupakan jalan lain menuju ilahi. Sepatutnya, sebagaimana dalam etika Protestan Max Weber, dorongan untuk berkurban bisa dianggap panggilan atau beruf yang bisa mendorong pada kemandirian ekonomi umat.

Semangat Bederma

Idul Adha adalah momen untuk mengingatkan Muslim agar mengagungkan Tuhan dan peduli dengan masyarakat sekelilingnya. Pada hari raya inilah mereka bersua dan bercengkerama. Ini tidak berarti setelah mereka menunaikan shalat dua rakat dan berkorban seekor lembu, tugas agama telah tertunai secara sempurna. Semangat dari perintah ini adalah bagaimana rasa religiositas merembesi prilaku sehari-hari dan keprihatinan itu berbuah tindakan. Lalu, bagaimana mewujudkan semangat ini dalam kehidupan sehari-hari?

Pengagungan Tuhan tentu mengandaikan ketaatan mutlak hamba yang tidak direcoki dengan berhala-hala lain dalam kehidupan, seperti jabatan, rumah, mobil dan lain-lain. Sementara keprihatinan itu mendorong semua pihak untuk memikirkan bagaimana upaya menghapuskan kemiskinan bisa dilakukan melalui pengadaan dan pemeliharaan hewan ternak yang melibatkan peternak tak bermodal. Mungkin, inilah yang perlu dirawat lebih telaten dan teratur agar amal kedermawanan itu tidak bersifat sementara dan karikatif.

Di tengah kehendak mewujudkan perubahan itu, sebenarnya banyak lembaga amil zakat yang mencoba menjadikan usaha ternak menjadi bagian proyek yang produktif. Salah satunya adalah Lembaga Amil Zakat Yaumil LGN Bontang Kalimatan Timur. Dengan mendata rumah tangga miskin, badan tersebut mengelola ternak yang diserahkan pada peternak tanpa modal dan diawasi secara berkala. Lebih jauh dari itu, publik juga mempunyai akses terhadap perkembangan usaha tersebut melalui laman sesawang (website) dan tak hanya itu, seluruh kegiatan amal ini telah diaudit.

Dengan slogan amanah, profesional dan inovatif, lembaga di atas berhasil menjadi mediasi antara dermawan dan orang yang memerlukan modal untuk usaha kecil. Uniknya, syarat pengisian formulir pinjaman memasukkan pengesahan ketua Rukun Tetangga dan pengurus masjid (takmir) setempat. Ini berarti bahwa pemberian kredit mikro ini memusatkan pengembangan ekonomi berbasis lokal. Selain itu, ia juga melihat bahwa masjid tidak hanya dilihat sebagai tempat ibadah, tetapi juga muamalah (interaksi sosial-ekonomi). Pendek kata, fungsi sosial dari agama harus diperhatikan untuk mewujukan ketahanan dan kemandirian umat.

Tentu, banyak organisasi serupa yang telah berkiprah di tengah masyarakat. Di tengah hiruk-pikuk kelompok masyarakat yang berjuang untuk menegakkan syari’ah secara formal, organisasi yang memusatkan perhatian pada pengembangan ekonomi masyarakat luas telah maju selangkah dalam menanamkan nilai-nilai syari’ah itu dalam kehidupan praktis. Maksud syari’ah yang terkait dengan pembelaan martabat manusia akan lebih terasa dengan amal nyata, dibandingkan retorika. Untuk itu, mereka yang acapkali turun ke jalan seraya membawa spanduk dan bendera untuk mendirikan negara Islam atau khilafah, sebaiknya pulang ke kampung halaman masing-masing, karena kedaulatan umat itu ditandai dengan kesejahteraan konkrit, bukan janji-janji kemakmuran yang akan diraih dengan mengubah dasar negara.

Agama Progresif

Tarik menarik kubu liberal dan revivalis berkait dengan persoalan keagamaan selama ini masih berkisar pada isu negara Islam, perkawinan antarumat beragama, jalan keselamatan, kebenaran mutlak, yang sejatinya mengandaikan pluralisme pendapat. Memang, kita memerlukan jawaban dari persoalan tersebut, namun perseteruan yang telah berlangsung lama dan tak kunjung usai tidak harus menenggelamkan isu lain, pembebasan umat dari ketergantungan. Apatah lagi, perselisihan di atas hanya berpusar pada kalangan elit intelektual kedua kelompok. Sementara, konsep etik Islam berkait dengan pembelaan terhadap kaum miskin terabaikan.

Untuk itu, Islam Progresif tak ingin lagi berkutat pada isu-isu kontroversial tersebut, melainkan bagaimana mewujudkan keadilan sosial yang selama ini diabaikan. Pada masa yang sama, Omid Safi dalam Progressive Muslims: On Justice, Gender, and Pluralism (2003) menegaskan bahwa keadilan itu tidak terwujud jika keadilan perempuan tidak diperhatikan. Tentu, tesis yang terakhir ini tidak berlebihan karena kaum perempuan memegang posisi kunci dalam ekonomi keluarga. Keberhasilan Grameenbank Mohammad Yunus dari Bangladesh dalam memberdayakan partisipasi kaum ibu dalam penguatan kemandirian keluarga tentu menjadi proyek yang patut dipertimbangkan oleh banyak pihak. Di banyak daerah di Indonesia, kaum ibu juga terlibat dalam usaha peternakan sapi, yang tentu saja usaha mereka akan makin kuat dengan dukungan banyak pihak.

Sudah saatnya, semangat revolusioner agama tidak dibekap pada jargon dan drama panggung. Energi umat yang banyak dihabiskan untuk memperebutkan kebenaran sepihak telah menghilangkan kesempatan untuk merawat pesan tersirat kewajiban agama, kepedulian terhadap yang teraniaya dan terpinggirkan. Adalah ironi jika mereka yang menabalkan dirinya cerdik pandai hanya beradu hujah, sementara umat yang mesti dibela menanggung padah. Ketimpangan distribusi kekayaan telah menimbulkan banyak mudarat. Jika ibadah Kurban itu merupakan ikhtiar untuk menciptakan keadilan sosial, maka sepatutnya semua kelompok bahu membahu untuk mewujudkan tujuan mulia tersebut dan kelompok yang terakhir inilah yang seharusnya mendapatkan dukungan orang ramai. Selamat Hari Raya Berkorban!

Saturday, November 06, 2010

Mencegah DPR ke Luar Negeri

Oleh Ahmad Sahidah

Suara Karya, Kamis, 4 Nopember 2010

Ketika banyak orang menyoal anggota legislatif yang bertandang ke Yunani, media massa Ibukota melaporkan bahwa DPR sendiri terbelah mengenai peri pentingnya mereka melawat ke negeri seberang untuk melakukan studi banding. Ironis, sebagai kaum terpelajar mereka masih harus bersekolah kembali untuk mengerti etika. Meskipun dengan alasan kesungguhan, logika tentang pengalaman, bukan hanya pengetahuan, ia tetap melawan akal sehat. Hakikatnya, mereka bisa dengan mudah membuka buku Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, yang ditulis oleh wakil presiden pertama RI. Meski orang nomor dua di awal kemerdekaan itu tidak pernah melawat ke negeri Dewa itu, namun dia memahami dengan baik filsafat negeri Zeus.

Dengan pemahaman yang utuh ini, Hatta hampir-hampir merupakan cermin yang sempurna dari kearifan yang ingin ditimbulkan dari kedalaman berpikir. Meskipun ia bisa meraup kekayaan dengan cara culas, namun lelaki asal Sumatera Barat ini memilih hidup sederhana. Cerita sepasang sepatu yang ingin dibelinya pun menunjukkan bahwa keinginan itu tak semestinya menghalalkan segala cara. Dengan analogi ini, sepatutnya, anggota DPR yang berkunjung ke Yunani akan meneladani perilaku mulia itu, meski berharap cemas ini tidak akan terwujud karena alasan mereka pun tidak kokoh dan hanya didasarkan dari kekacauan berpikir.

Masihkah tersisa persangkaan baik untuk mereka yang ingin melakukan studi banding ke luar negeri? Tidak! Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa aroma tidak sedap selalu mengiringi program jalan-jalan yang dibungkus dengan alasan studi banding. Lagi pula, sebagai orang yang terpilih dan dipercaya banyak orang, sepatutnya anggota dewan yang terhormat itu memiliki mandat (credential) yang teruji, baik moral maupun pendidikan. Adalah berlebihan jika mereka menghabiskan anggaran hanya untuk menengok kembali pelajaran tentang etika dan cara mengurus negara.

Baca Buku

Memang benar, pengetahuan dan pengalaman adalah dua hal yang berbeda. Secara kognitif, pengetahuan tentang baik bisa diperoleh oleh manusia, namun pengalaman tentang baik bersifat subjektif, lain lubuk lain ikannya. Adalah wajar jika seseorang atau kelompok ingin mengetahui kebiasaan yang baik dari orang lain. Mungkin ada keuntungan praktis yang akan diperoleh oleh anggota DPR yang melakukan studi banding ke Yunani. Masalahnya, apakah anggota legislatif tidak melihat bahwa Yunani yang dulu dan sekarang jauh berbeda?

Jasad pemikir besar, seperti Socrates, Aristoteles dan Plato, telah menjadi abu. Pemikiran mereka yang cemerlang pun telah menyebar yang bisa dilihat dari dekat. Kalaupun ingin mempelajari pemikiran mereka secara langsung, anggota DPR bisa bertandang ke Kunikunoya, toko buku asal Jepang, yang menyediakan buku-buku asing dengan mudah. Mereka hanya perlu melangkahkan kaki sepelemparan batu ke Plaza Senayan. Kalaupun buku Aristoteles, Politics, dan Plato, Republics, tak tersedia, mereka bisa memesan pada petugas yang hanya berbandrol harga 5 dolar AS dan 3 dolar AS. Kedua buku ini berharga murah karena dicetak dengan kertas koran. Dengan uang Rp 150 ribu, mereka bisa menekuri ide cerdas dari filsuf kawakan itu.

Hakikatnya, bangsa ini telah menyerap pemikiran besar itu dalam praktik kenegaraan. Harus diakui tata kelola Republik ini mengacu pada pengalaman Eropa yang diilhami dan dikembangkan dari pemikiran besar para filsuf itu. Adalah berlebihan jika mereka masih kagok untuk melihat kembali praktik politik dan etik itu ke negara asalnya. Apatah lagi, pengalaman panjang sebagai negeri yang pernah mempunyai kerajaan besar di Asia Tenggara dan mengalami transisi ke demokrasi yang sejati, hakikatnya bangsa Indonesia telah berhasil menyemai nilai-nilai etika itu dalam praktik politik.

Hanya saja, tantangan terbesar untuk mereka yang duduk di parlemen adalah mewujudkan tugas mereka yang terkait dengan keterwakilan, pembuatan undang-undangan dan pengawasan. Di atas kertas, semua ini telah diterakan dalam peraturan. Namun, implementasi di lapangan lancung. Betapa banyak undang-undang yang seharusnya telah disahkan terbengkalai. Demikian pula, betapa banyak masalah konstituennya diabaikan oleh wakilnya dan pengawasan terhadap eksekutif hanya berbuah kongkalikong. Masih segar di ingatan, perebutan jabatan elit publik adalah lubuk rezeki bagi banyak anggota dewan, yang telah menjebloskan mereka ke hotel prodeo.

Atas dasar kenyataan ini, mereka tidak perlu belajar ke Yunani untuk memastikan apakah praktik di atas keliru atau tidak. Akal sehat saja jelas-jelas menampik apa yang disebut dengan Nudirman Munir sebagai 'pengalaman' itu tidak bisa ditemukan di internet. Kealpaan untuk menyemai nilai etik lebih disebabkan para anggota itu gagap menjadi petinggi. Ukuran 'luar negeri' masih dijadikan standar untuk belajar sesuatu. Padahal, di negeri ini, hampir semua aliran filsafat telah didiskusikan. Malah, buku-buku filsafat, dari klasik hingga posmodern, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi, betapa banyak perguruan tinggi yang mempunyai jurusan filsafat.

Kalau pun kita masih menyisakan empati terhadap anggota dari pelbagai fraksi yang berkunjung ke negeri Xena itu, mari kita membuat panggung rakyat untuk menguji sejauh mana mereka mengambil pelajaran dan kehendak untuk mewujudkan hasil studi banding itu menjadi kenyataan. Jika laporan yang dibuat tak jauh berbeda dengan makalah, buku dan opini yang telah banyak beredar di masyarakat, dengan senang hati kita bisa menerakan tanda 'silang' dan menulis dengan tinta merah di dahi mereka, 'pecundang'. ***

Penulis adalah peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia



Yogya Menyangga Hubungan Serumpun

Kedaulatan Rakyat, 05/11/2010 08:54:23

Pernyataan Dato’ Seri Ahmad Zahid Hamidi, Menteri Pertahanan Malaysia, bahwa negeri jiran itu akan membantu Indonesia tentu melegakan banyak pihak. Meskipun demikian, politikus berdarah Yogyakarta ini tetap menunggu lampu hijau dari Indonesia. Untuk kesekian kalinya, melalui bekas ketua Pemuda UMNO ini, negeri jiran mengulurkan bantuan pada korban bencana alam di sini. Sebenarnya, pemerintah Indonesia juga melakukan hal serupa, meskipun tak sebanyak Malaysia karena bencana di negeri ini tak kunjung henti dan terjadi di banyak negeri.

Tak hanya itu, mahasiswa kedokteran asal Malaysia yang belajar di Universitas Negeri Surakarta dan Universitas Gadjah Mada turut turun ke lapangan untuk menjadi sukarelawan (Utusan, 28/10/10). Berita seperti ini tentu menyerap ke dalam kesadaran warga di sana betapa mereka begitu baik dan rela membantu saudaranya. Tak ayal, kebaikan ini diungkit ketika segelintir demonstran yang membakar bendera Jalur Gemilang di depan kedutaan besar Malaysia di Jakarta. Mereka heran dengan ulah sekelompok orang yang memperlakukan saudaranya dengan kasar sementara mereka tak pernah menyakiti dan bahkan menyantuni warga Indonesia yang ditimpa bencana?

Padahal, di tengah hubungan yang naik turun ini, keduanya telah menjalin hubungan yang erat untuk memastikan kerja sama dalam pelbagai bidang berjalan baik. Malaysia menanamkan modal dalam bidang perbankan, perkebunan, perminyakan dan pariwisata. Malah, bank CIMB Niaga menangguk keuntungan hingga Rp 1,79 triliun untuk tahun 2010. Dengan kenyataan ini, pemangku kepentingan harus segera memikirkan komunikasi efektif dengan negara tetangga agar riak permusuhan tak menyebabkan gelombang pertengkaran.

Bagaimanapun, pembiaran isu perselisihan akan menyeret pada kemungkinan kerugian yang ditanggung keduanya. Sementara, pemulihannya tak mungkin disemai dalam waktu singkat. Apalagi, dengan penerbangan dua kali dari Kuala Lumpur-Yogyakarta, sepatutnya maskapai penerbangan Air Asia, MAS dan Garuda Indonesia, akan lebih banyak mengangkut penumpang yang akan berkunjung ke kota ini. Yogyakarta adalah kota yang relatif dikenal di negeri jiran itu. Apa lagi, iklan Visit Indonesia selalu memasukkan kota pelajar ini sebagai bagian dari daerah yang layak untuk dikunjungi. Namun, program yang tidak dilakukan oleh Yogyakarta adalah kerja sama antara pemerintah daerah untuk mewujudkan kota kembar (sister city) dengan negara yang setiap hari berhubungan secara langsung dalam banyak kegiatan ekonomi dan politik secara intensif. Biasanya, proses di atas diikuti dengan universitas kembar.

Sebenarnya, kerja sama antara perguruan tinggi telah dilakukan dengan menyelenggarakan seminar internasional bersama antara Universitas Gadjah Mada dan Universitas Malaya. Dengan kekuasaan pengetahuan yang ada pada mereka, isu terkait dengan pertikaian dua negara sepatutnya bisa didiskusikan secara lebih rasional dan berkepala dingin. Namun, apa lacur, tidak semua kalangan akademikus mempunyai pandangan yang sama tentang isu yang seringkali muncul berulang-ulang. Untuk itu, kita memerlukan kuasa lain untuk turut mendorong dialog lebih sehat, politikus dan media. Keduanya harus memastikan bahwa penghalang hubungan dua negara selalu bersumber pada masalah lapuk.

Kadang tak dapat dielakkan, provokasi media dan politisi membuat emosi khalayak luas ikut tersulut. Meski mayoritas orang tak bertindak kasar, namun coretan di media sosial, seperti Facebook dan Twitter, membuat cemas banyak orang yang ingin melihat hubungan kedua negara berada pada kedudukan setara. Untungnya, banyak politikus dan media yang lain berusaha untuk melihat persoalan secara lebih jernih. Adalah tidak keliru mengungkit perlakuan tidak adil negara tetangga terhadap buruh migran Indonesia, misalnya, tetapi pada waktu yang sama kita di sini tidak bisa menafikan usaha aparatur di sana untuk menyelesaikan masalah yang mengganggu keduanya. Contoh yang masih segar di ingatan adalah peristiwa tragis yang menimpa Win Faidah, buruh migran asal Pacitan, yang harus menanggung penderitaan batin yang dahsyat karena diperkosa oleh majikannya. Tak hanya itu, siksaan fisik yang dialami turut merusak tubuhnya. Namun, hanya dalam hitungan hari, pihak aparat berhasil meringkus sang majikan yang berkebangsaan India. Simpati pun datang dari pejabat publik lokal, seperti gubernur dan kepala polisi daerah. Media pun turut memberitakan tragedi ini sehingga ia menjadi peringatan agar hal serupa tak berulang dan pelakunya segera dihukum berat. Pendek kata, kejahatan kemanusiaan harus diadili, tanpa harus memantik isu bahwa itu dilakukan oleh warga Malaysia secara keseluruhan.

Harus diakui, sebagian besar pekerja kita di sana bisa mencari nafkah dengan baik. Pada waktu yang sama, tantangan yang jauh lebih besar adalah memastikan agar hubungan kedua negara bisa berlanjut secara mulus. Keduanya telah banyak mempertaruhkan modal dan menandatangani kerja sama untuk keuntungan kedua belah pihak. Jika ulah segelintir orang merusak kehendak yang lebih besar itu, kita takluk pada gertakan sekelompok kecil masyarakat yang marah. Apalagi, iklan Visit Indonesia ditayangkan kembali di televisi Malaysia, yang tentunya menyedot anggaran cukup besar dari Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata RI. Dengan makin banyaknya tujuan daerah wisata yang dijual ke warga negara tetangga, diharapkan limpahan wisatawan tak hanya berkisar di daerah terkenal, seperti Bali dan Jakarta. Yogyakarta sepatutnya mengambil inisiatif untuk mendorong kerja sama dengan kota-kota yang ada di Semenanjung untuk menarik turis dan investasi. Adalah aneh jika kota pelajar ini bisa menjalin dengan kota-kota di dunia, seperti Kyoto Jepang, Toeloes Perancis, Estevan Iran, Gangbuk-gu Korea Selatan, Hu, Vietnam, Hefei China, Baalbek Libanon dan lain-lain, namun tidak mau melirik potensi yang jauh lebih besar dengan kota-kota negeri tetangga.

Tentu, kita tidak mengabaikan kerja sama dengan negara-negara yang berada nun jauh di seberang, namun alangkah mendesaknya hubungan dengan negara terdekat terjalin lebih akrab. Ini terkait dengan kemungkinan arus kedatangan turis karena faktor jarak dan biaya. Demikian pula, hubungan yang terawat ini akan makin memudahkan kedua belah pihak untuk memantau perkembangan tenaga kerja asal Yogyakarta yang bekerja di seantero Malaysia. Maukah kita? q - k. (1906 A-2010). *) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia.

Tuesday, October 12, 2010

Membela TKI, Membela Kedaulatan

Jurnal Nasional, 12 Oktober 2010

PERISTIWA tragis kembali menimpa pembantu Indonesia di Malaysia. Win Faidah, buruh migran dari Lampung kelahiran Pacitan, menahan sakit luar biasa di rumah sakit Pulau Pinang. Bekas kekerasan masih terlihat jelas di punggung. Bahkan, menurut kepala sosial budaya Konsulat RI Pulau Penang, Irzani Ratni, kakinya bengkak dan berair karena harus menahan luka akibat pukulan kayu. Sambil menahan sakit, dia masih bisa berbicara dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Dai Bachtiar, duta besar RI untuk Kuala Lumpur. Dia memegang telepon genggam yang ditempelkan di telinga kanan. Bagaimanapun, penyiksaan dan pemerkosaan oleh majikan ini sangat menyiksa terlebih bagi seorang perempuan yang berada jauh dari kampung halaman.

Bagi mahasiswa Indonesia yang belajar di Pulau Penang, Malaysia, berita ini tentu sangat menghentak. Ia begitu dekat dengan mereka. Tempat pembuangan korban tak jauh dari kampus tempat kebanyakan mahasiswa belajar, Nibong Tebal. Namun, pembantu yang bekerja di dalam rumah memang susah disentuh. Padahal, di ruang publik kami acap kali melihat banyak pembantu Indonesia bersama majikan dan anak tampak kompak dan akrab. Kami pun tidak mengetahui apa yang terjadi di balik tembok tebal itu tempat mereka bekerja. Tentu, libur sehari dalam seminggu yang disepakati dua negara baru-baru ini memungkinkan pembantu itu keluar dari rumah majikan untuk menikmati dunia luar.

Masalahnya, adakah pihak terkait mampu mengawasi perilaku pembantu dalam bersosialiasi, mengingat keberadaan mereka di negeri tetangga sangat riskan menghadapi kejahatan terorganisasi. Di sini, pelbagai masalah bisa menghadang, terutama umpan sindikat menjebak mereka menjadi pekerja ilegal. Sebagian besar pembantu di Indonesia disalurkan ke majikan Tionghoa dan sebagian kecil India. Sebagai pengetahuan umum, pembantu rumah tangga (PRT) yang mengalami penyiksaan, seperti Nirmala Bonat, Ceriyati dan Muntik, di bawah majikan Tionghoa dan India. Tentu, ini tidak untuk menyudutkan ras tertentu, namun ingin mengungkap bahwa terdapat jurang kebudayaan yang membuat pembantu dan majikan terperangkap dalam kemungkinan kesalahpahaman yang berujung perselisihan.

Kedaulatan

Kedaulatan adalah istilah yang sering kali dikaitkan dengan sebuah kekuasaan terhadap sebuah kawasan (teritori). Tak ayal, persengketaan batas laut antara Indonesia-Malaysia baru-baru ini telah turut memantik protes rakyat dan pada waktu yang sama memaksa pemerintah kedua negara duduk berunding di Kinabalu. Sejatinya, pesan yang hendak disampaikan, masing-masing negara harus menghormati kedaulatan masing-masing. Jauh dari itu, harus saling menghargai dan menyemai kerja sama mengingat keduanya bertetangga dan mempunyai akar kebudayaan yang sama. Apalagi dua negara ini terikat perjanjian sebagai sesama warga ASEAN, yang ingin membentuk komunitas warga se-Asia Tengara yang kuat tahun 2015.

Mengingat kedaulatan juga menunjukkan sebuah kekuasaan memaksa warga untuk bertindak atas dasar kebaikan bersama, penyelesaian kasus penyiksaan pembantu oleh majikan ini harus dilihat sebagai tugas bersama. Karena kebetulan melibatkan warga kedua negara. Bagaimanapun masalah tidak sesederhana penangkapan si pelaku dan perlindungan terhadap korban, juga terkait kebijakan pengiriman buruh migran. Dalam sebuah workshop tentang buruh migran di Pulau Penang, Ustaz Azmi, dari lembaga swadaya masyarakat Teras, meminta Pemerintah Indonesia menghentikan pengiriman pembantu muslim untuk keluarga Tionghoa. Dengan alasan rentan terhadap benturan karena perbedaan praktik kehidupan keseharian. Secara tersirat ini menunjukkan imbauan kepada pihak terkait menghentikan pengiriman pembantu pada keluarga berkebangsaan India, karena hambatan sama.

Tentu, ide di atas adalah gagasan ekstrem. Mengingat tidak semua pembantu Indonesia mengalami perlakuan tidak manusiawi. Secara persentase, mereka yang mengalami masalah dengan majikan itu kecil, dengan menengok jumlah pekerja yang berada di tempat perlindungan (shelter) Konsulat. Namun, gagasan itu perlu dipertimbangkan mengingat kebanyakan korban kekerasan pembantu rumah tangga asal Indonesia terjadi di keluarga Tionghoa dan India. Padahal, hal ini tidak terjadi di Singapura, di mana kebanyakan Tenaga Kerja Wanita (TKW) Indonesia bekerja pada majikan berkebangsaan Tionghoa dan sedikit keluarga India. Di sinilah, gagasan atase sosial di perwakilan luar negeri menjadi penting untuk mengantisipasi dan mendampingi korban kekerasan.

Kepastian

Dari beberapa percakapan pribadi, para pekerja yang berada di bawah perlindungan Konsulat Pulau Penang hanya ingin kepastian pulang ke Tanah Air. Namun pada waktu yang sama, sebagian mereka memilih bertahan karena ingin mendapatkan gaji yang belum terbayar. Tentu, korban kekerasan tidak bisa menuntut gaji dengan segera karena mereka harus menjalani proses pengadilan. Perwakilan sebenarnya telah berusaha semaksimal mungkin untuk membantu warga Indonesia dengan memberikan tempat berlindung dan pendampingan di pengadilan. Tentu mereka tidak ingin penantian Nirmala Bonat selama empat tahun juga menimpa mereka.

Sebagian yang lain lari dari rumah majikan karena mereka tertipu. Seorang ibu setengah baya dari Sampang Madura, berijazah S1, tidak betah harus menjadi pembantu, sementara dalam perjanjian dengan agen di Indonesia dijanjikan sebagai pengajar dengan gaji yang lumayan. Inilah modus operandi yang telah dikenal orang ramai, di mana banyak pekerja merasa tertipu. Tentu mereka akan mudah bertikai dengan majikan. Cerita lain, seorang ibu muda dari Surabaya yang harus menunggu lebih tiga bulan di penampungan karena gaji belum dibayar oleh bekas majikan. Dalam sebuah pertemuan, saya pun terkejut karena mata mereka kosong menyiratkan keputusasaan. Dengan tenang, dia mengatakan, tidak bersembahyang, karena ibadah tak bisa memberikan jalan keluar.

Nah, dalam keadaan ketidakpastian, perwakilan pemerintah telah memberikan pilihan pada mereka untuk pulang tanpa harus menunggu gaji. Namun tidak semua memilih jalan ini karena utang untuk modal bekerja akan ditagih. Sama juga dengan Win Faidah, buruh migran malang itu hanya perlu kepastian kembali ke kampung halaman. Bantuan uang Rp5,5 juta dari duta besar tentu tidak akan menghapus pengalaman buruk, Namun dukungan dari banyak pihak tentu akan meringankan bebannya. Tentu saja, pelaku harus ditindak segera tanpa menunggu waktu lama seperti dialami oleh Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat dari Lombok, yang masih bernapas di luar karena memberi uang jaminan RM200.000 sambil menunggu keputusan kasasi. Meski putusan hakim telah ditetapkan, 18 tahun penjara.

Semua pihak harus memerhatikan proses pengadilan ini dengan cermat. Perhatian yang sangat besar dari Pemerintah Indonesia dan respons cepat dari kepolisian lokal patut dihargai. Korban sempat diselamatkan dan pelaku bisa ditangkap dalam waktu cepat. Kasus semacam ini tentu menjadi pelajaran berharga bagi kedua negara betapa perdagangan manusia (human trafficking) berakibat sangat buruk pada martabat buruh migran. Ketiadaan jaminan seorang pekerja telah menyebabkan "majikan" bisa seenaknya memperlakukan pekerja tanpa prikemanusiaan. Iklan layanan masyarakat di televisi Malaysia tentang human trafficking mendorong setiap warga turut membantu aparat menangkap sindikat yang mengambil keuntungan dari ketidakberdayaan calon pekerja. Harapan tentu dilayangkan kepada lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang memberi perhatian pada buruh migran untuk melihat dari dekat bagaimana pembantu rumah tangga di Malaysia asal Indonesia didampingi. Bukan hanya menceritakan nasib di media yang memilukan sambil mengkritik ketidakbecusan pemerintah. Dengan bersama, benang kusut masalah pekerja rumah tangga di luar negeri akan bisa diurai.

Ahmad Sahidah, Fellow Peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia

Wednesday, September 29, 2010

Menyoal Kedaulatan Serumpun

Mengungkap kembali untuk menemukan kejernihan. Artikel ini (Koran Tempo, 17 September 2010) adalah sebagian dari keseluruhan pandangan khalayak yang sempat terungkap dan perlu disuarakan di sela-sela pertikaian. Dengan jeda, kita bisa mengungkai benang kusut hubungan serumpun. Tanpa proses kesadaran, konfrontasi, negosiasi dan damai yang memadai, kita akan senantiasa mengulangi pertengkaran.

Wednesday, August 25, 2010

Sengketa Kedaulatan Indonesia-Malaysia


Jawa Pos, 25 Agustus 2010
Hentikan Drama Itu!




Oleh: Ahmad Sahidah

UTUSAN, koran utama Malaysia, menurunkan berita utama dan gambar pelemparan kotoran ke halaman Kedutaan Besar Malaysia di Jakarta (24/8/10), yang dianggap keterlaluan. Di Twitterland, Khairi Jamaluddin, ketua pemuda UMNO (United Malays National Organisation) akan melayangkan protes ke Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) atas tindakan Lumbung Informasi Rakyat (Lira) yang dianggap menggugat kedaulatan tanah airnya.

Tampak, Malaysia ingin mengimbangi serangan bertubi-tubi dari masyarakat Indonesia dengan memberikan ruang pada media yang sebelumnya cenderung menganggap remeh masalah perselisihan di Pulau Bintan. Pada waktu yang sama, Lira berhasil mencuri perhatian banyak orang, terutama warga Malaysia.

Mari kita berpikir jernih. Pemerintah Indonesia mengakui bahwa batas perairan itu masih dipersengketakan, sehingga dengan sendirinya dimungkinkan terjadi benturan antara aparat di bawah. Sebab, bagaimanapun, mereka akan mematuhi garis pedoman yang telah ditetapkan atasannya. Namun, perlu diingat bahwa ada kesepakatan di antara kedua belah pihak melalui General Border Committee ke-37 bahwa aturan keterlibatan tentara (the rule of engagement) sebatas mengawal keadaan sehingga bentrokan senjata harus dihindari. Pendek kata, kekerasan tidak dibenarkan sama sekali untuk menyelesaikan perselisihan di lapangan.

Lalu, mengapa banyak orang marah? Itu karena mereka tidak mengerti. Kedua, mereka sedang memainkan pedang bermata dua, menyerang Malaysia dan kelemahan pemerintah, terutama karena SBY dianggap tidak tegas menghadapi tetangganya.

Kompromi

Dalam perselisihan, kompromi adalah jalan keluar yang mungkin dilakukan. Jika Indonesia menganggap Malaysia enggan ke meja ke perundingan, negeri jiran beranggapan bahwa RI tidak mau berkompromi dalam banyak isu, seperti moratorium tenaga kerja wanita (TKW), Ambalat, dan sekarang terkait wilayah perairan Selat Malaka. Padahal, instrumen untuk menyelesaikan ini sudah disepakati oleh kedua belah pihak, seperti tim kementerian luar negeri masing-masing telah berunding mengenai Ambalat. Hingga memasuki tahun keenam, kedua tim ini mengalami jalan buntu untuk menyelesaikan konflik tentang kepemilikan blok yang kaya minyak itu.

Jadi, usul untuk mengajak kedua belah pihak berunding agar perselisihan batas perairan tidak meruyak akan menghadapi masalah yang sama, kebuntuan dan ini sekaligus kegagalan keduanya. Coba lihat moratorium TKW untuk sektor pembantu rumah tangga (PRT), yang bahkan melibatkan orang nomor satu masing-masing, SBY-Najib Tun Razak, tak juga bisa menyelesaikan tuntutan Indonesia agar gaji minimum PRT adalah RM 800, sedangkan Malaysia tidak menyetujui dengan alasan tidak ada skim seperti ini di Malaysia.

Tampaknya, hal serupa terulang. Ketika dulu banyak pekerja Indonesia dipulangkan karena tidak mempunyai dokumen, sehingga pemerintah RI gusar, Malaysia mengambil kebijakan alternatif. Alih-alih menyelesaikan masalah, pada waktu itu Malaysia justru memasukkan pekerja dari negara lain, seperti Pakisan, Bangladesh, dan negara-negara tetangga yang lain karena Indonesia tidak memberikan izin pekerja migran itu kembali ke Malaysia.

Orkesta dan Drama

Tentu, yang paling memuakkan kita adalah orkestra yang dimainkan anggota legislatif yang bersuara keras terhadap masalah sengketa yang membelit kedua negara. Tanpa memberikan informasi yang utuh, drama yang tidak lucu akan terus dipanggungkan. Perlu diingat, anggota parlemen Malaysia tidak menjadikan isu penangkapan nelayan Malaysia oleh petugas patroli Kementerian Kelautan dan Perikanan sebagai masalah besar. Justru, setelah Lira melempar kotoran (di Malaysia disebut najis) ke halaman Kedutaan Besar Malaysia, anggota parlemen dari daerah pemilihan Rembau, Khairi Jamaluddini, mengirimkan protes ke KBRI di Kuala Lumpur.

Lalu, apakah harapan kita kepada pihak berwenang, dalam hal ini Marti Nata Legawa sebagai bos di Kementerian Luar Negeri? Persoalan batas perairan itu harus segera diselesaikan. Dalam wawancara dengan radio SBS Australia (24/8/10), saya menegaskan bahwa sejatinya kita bisa menyelesaikan masalah ini, mengingat elite yang berkepentingan dengan isu kedaulatan sama-sama berlatar belakang Jawa, Purnomo Sugiantoro (Indonesia) dan Ahmad Zahid Hamidi (Malaysia, yang mempunyai darah Jogjakarta). Mungkin yang juga perlu diketahui, beberapa hari setelah insiden Pulau Bintan, Hanifah Aman, menteri luar negeri Malaysia, memenuhi undangan Da'i Bachtiar dalam acara peringatan HUT Ke-65 Kemerdekaan RI di Kuala Lumpur. Betapa dekatnya hubungan emosional itu.

Nah, kalau para elite tampak rukun, untuk apa anggota legislatif suka ribut dan sebagian warga Indonesia bertindak provokatif merusak plak Kedutaan Besar Malaysia di Jalan Rasuna Said, bahkan yang memuakkan dengan melempar kotoran? Malah Laskar Merah Putih berdemo di depan konsulat Malaysia di Medan seraya mengancam akan melakukan sapu (sweeping) terhadap warga dan mahasiswa Malaysia di Sumatera Utara (Antara, 23/8/10). Jelas, drama pengalihan isu ini makin sempurna. Tampaknya, tak hanya wakil rakyat yang galak, warga biasa pun menunjukkan sikap patriotik.

Sayangnya, polisi tak bertindak tegas. Berbeda dengan ketika kelompok Islam di Solo akan melakukan sweeping, serta merta pihak keamanan menangkap pelaku yang akan merazia warga Amerika. Jadi, mari hentikan drama ini dan menuntut pihak berwenang melakukan tugasnya. Jika tidak, demokrasi kita gagal memilih wakil di Senayan dan pemerintah yang bisa menunaikan kewajibannya dengan baik. (*)

*) Ahmad Sahidah PhD, Fellow Peneliti Pascadoktoral Universitas Sains Malaysia

Monday, August 23, 2010

Tafsir Hierarki Tiang Islam

Koran Jakarta, Jumat, 20 Agustus 2010

Pemerintah berusaha menambah kuota haji Indonesia. Tentu ini kabar gembira karena di tempat kelahiran saya, Sumenep, hingga 2015, kuota haji telah terpenuhi sehingga banyak orang berharap-harap cemas untuk bisa menunaikan ziarah Mekkah segera. Berapa pun tambahan itu, haji merupakan penanda banyak hal, kemakmuran dan kesadaran beragama. Namun, catatan antropologi tentang haji menunjukkan tidak melulu tentang dua hal tersebut, tetapi juga gengsi sosial.

Dalam sejarahnya, praktik ini juga telah mendorong kemerdekaan bangsa dengan menyuburkan gerakan melawan penjajah. Haji hakikatnya merupakan salah satu dari fondasi Islam yang dikenal dengan lima rukun atau tiang, selain kepercayaan pada Tuhan, salat, zakat, dan puasa. Setiap muslim bisa dipastikan menghafal urutan ini, bahkan anak-anak diajarkan dalam bentuk nyanyian. Secara verbal, ia mudah dipahami, namun penghayatan terhadap dasar ini memerlukan pemahaman yang menyeluruh.

Pelaksanaan kelima rukun secara sambil lalu hanya akan melahirkan kerumunan penganutnya. Pembelaan terhadap tiang agama ini kadang bersifat karikatif, bukan substantif. Sekelompok orang membawa bendera bertuliskan syahadat, tapi kepada sesama muslim menghujat. Hakikatnya rukun Islam tersebut sangat sederhana, mudah diucapkan, namun tak sesederhana mengamalkan setiap hari dengan sempurna.

Secara semantik, salat di kitab suci dikaitkan dengan kepedulian terhadap sesama, sehingga sembahyang itu bisa menjadi sia-sia jika pelakunya tak menyantuni fakir miskin dan merawat anak yatim.Mungkin inilah yang menyebabkan salat tidak dikatakan salat karena ia tidak bisa mencegah pelakunya berbuat kemungkaran. Bagaimana tidak, ketika ratusan ribu orang berbondong-bondong ingin mencapai pahala berlipat dengan bersembahyang di Masjid Nabawi, jutaan orang menanggung nestapa di negeri asal karena tak cukup makan dan tempat tinggal.

Perhatian tertinggi dalam agama, atau the ultimate concern, jelas seorang teolog Karl Rahner, adalah Tuhan. Akibatnya, hal ihwal lain berada di urutan setelahnya. Pendek kata, Tuhan adalah fokus tertinggi. Secara semantik, tambah Toshihiko Izutsu, sarjana kajian Islam Jepang, Allah merupakan kata yang berada di kedudukan tertinggi di antara kata-kata kunci dalam kitab suci.

Namun, kadang pernah tebersit pada benak kita bahwa Tuhan itu hanya instrumen untuk memenuhi kehendak-kehendak lain dalam keseharian, misalnya perolehan kekayaan dan jabatan. Bahkan doa-doa kita melulu berisi permintaan harta dan pemenuhan hasrat. Lalu, setelah aqidah kokoh, seorang muslim menunjukkan secara simbolik melalui salat. Tak hanya itu, meski salat menjadi ruang batin antara manusia dan Tuhannya, ia juga didorong untuk menjadi perekat sosial.

Ternyata, ibadah itu makin jelas fungsi sosialnya, bukan untuk Tuhan. Karena ia mahakaya, zakat dianjurkan untuk menyucikan harta dan keprihatinan terhadap si miskin.Kewajiban ini selalu bersanding dengan perintah salat sehingga keduanya tidak bisa dipisahkan, seakan-akan dua sisi koin. Nilainya mengandaikan masing-masing harus menyatu.

Bahkan ketika zakat ditunaikan , puasa sebagai kewajiban selanjutnya mengandaikan satu perintah yang muslim untuk merasakan lapar agar terhadap sesama selain sebagai cara untuk menguatkan diri, bersabar menghadapi cobaan, dan berani menerima tantangan. Sayangnya, aura keagamaan yang memancar di bulan puasa tak terasa di luar Ramadan. Masjid dan surau kembali dibekap sepi. Tadarus Al Quran berhenti. Sebelas bulan setelah puasa, kembali pada perayaan hasrat. Padahal nilai puasa yang tak merembesi bulan-bulan di luar Ramadan menandakan puasa sebelumnya hanya meraih lapar dan dahaga. Masihkah kita abai?

Keserentakan

Jika urutan itu dipahami sebagai hierarkis, haji merupakan pamungkas dari seluruh nilai yang terkandung dalam aqidah, salat, zakat dan puasa. Rukun kelima itu merayakan semua ajaran yang telah terpatri kuat sehingga kewajiban ini tidak semata-mata pemenuhan hasrat gengsi sosial, seperti disinyalir antropolog di atas. Lebih jauh, pelaksanaan haji juga menuntut kesungguhan pemerintah untuk bertindak profesional dalam mengurus jamaah. Bagaimanapun, kenyamanan beribadah mengandaikan hal lain, selain pengetahuan dan pelayanan.

Ini juga meneguhkan bahwa ibadah itu tidak semata-mata merawat batin, tetapi juga raga. Tanpa tubuh yang sehat, jamaah tidak mungkin memenuhi menjalankan sa i, tawaf, dan jumrah dengan sempurna. Meski demikian, jauh dari sekadar memenuhi syarat dan rukun haji, makna dari pelaksanaan ibadah ini juga perlu diperhatikan secara mendalam. Berkaca pada negara tetangga yang berhasil mengelola Tabung Haji dalam pelbagai kegiatan bisnis dan akhirnya membantu meningkatkan pelayanan haji, pihak pengelola haji Tanah Air segera berbenah diri. Dengan biaya lebih murah dibandingkan Indonesia, Malaysia ternyata memberikan pelayanan yang lebih bermutu. Celakanya, selalu ada tangan kotor dalam pelaksanaan haji yang dikelola Departemen Agama. Bagaimanapun, di tengah gairah melakukan haji, ulama harus menyampaikan kepada umat tentang pesan esoterik ibadah haji.

Pengalaman Hamzah Fansuri, seorang sarjana dan sufi Aceh, yang menemukan Tuhan tidak di Ka’bah, bukan berarti Sang Maha Segala itu tidak ada situ, sejatinya Dia ada di mana-mana. Coba simak puisi yang diungkap dalam Sidang Ahli Suluk: Hamzah Fansuri dalam Mekkah// Mencari Tuhan di Baitul Ka’bah// dari Barus ke Qudus terlalu payah//akhirnya jumpa di dalam rumah. Bagaimanapun, dimensi batin dalam Islam yang dipelopori oleh para selalu mengundang kontroversi dan paling apes tak jarang diberangus penguasa yang bersekongkol dengan pengawal agama, seperti dialami oleh para pengikut Hamzah Fansuri.

Haji, dengan demikian, boleh dikatakan sebagai puncak dari perjalanan muslim dalam memenuhi kewajibannya sebagai makhluk. Kehendak untuk menunaikan fardu ain ini sejatinya memaksa muslim memeriksa empat rukun sebelumnya. Kalaupun sudah bergelar haji, mereka tetap harus memperbarui tekad dan amal agar makna sejati haji itu terpatri, yaitu melalui ibadah yang bisa merekatkan hubungan sosial. Keserentakan nilai yang terkandung dalam rukun Islam tersebut adalah cara ideal untuk menjadi muslim sejati.

Penulis adalah Fellow Peneliti Pascadoktoral pada Universitas Sains Malaysia
Ahmad Sahidah

Friday, August 06, 2010

Ruang Publik di Negeri Pluralis

Suara Karya, Jum’at, 6 Agustus 2010

Apa yang berselerak di benak kita tentang fasilitas umum? Paling jelas, telepon umum dan water closet (WC) atau kamar mandi. Namun boleh dikatakan nasib keduanya mengenaskan. Yang pertama telah tergerus oleh kepemilikan telepon genggam dan yang terakhir diacuhkan oleh pengguna. Lihat fasilitas ini di terminal, hampir tak layak untuk disebut tempat membersihkan diri. Meskipun fasilitas itu dimiliki oleh pemerintah, sepatutnya orang ramai juga turut merawat agar keberadaan mereka layak untuk dimanfaatkan. Apa lacur, kebanyakan terbengkalai atau menjadi tempat sampah alternatif.

Sementara semi-ruang publik lain, seperti mall (pasaraya), gedung bioskop dan café bertaburan, terutama di kota-kota besar. Malah kehadirannya telah mengikis keberadaan ruang publik yang bisa diakses oleh orang ramai, seperti lapangan bola dan taman kota. Memang, mall dan café bebas dimasuki siapa saja, namun pada waktu yang sama keduanya mengandaikan mereka yang berduit. Selain itu, mall dan café tertentu telah menyeleksi pengunjung, tak ayal ia telah menjadi ruang terbatas. Malah, sebagian menjadi identitas, penanda yang membedakan pengunjungnya dari khalayak. Apalagi, menurut Piere Bourdieu, sosiolog Perancis, kelas borjuis mempunyai kecenderungan untuk menjaga jarak dengan kebutuhan sehari-hari yang diasup kebanyakan.

Hakikatnya ruang publik mengandaikan fisik (public space) dan bukan fisik (public sphere). Pada era reformasi, banyak warga secara relatif mendapatkan ruang untuk bertukar dan mengungkapkan gagasan. Hakikatnya keduanya berjalin kelindan, karena gagasan itu tidak semestinya di usung di tengah jalan melalui unjuk rasa. Ruang fisik yang dimaksud bisa berupa ruang pertemuan, café atau kantor lembaga penelitian. Dengan kata lain, public sphere adalah sebuah kawasan dalam kehidupan sosial tempat orang ramai bisa berkumpul dan secara bebas berbincang masalah mereka dan diharapkan mempengaruhi tindakan politik.

Apa lacur, ada segelintir orang yang bertindak serampangan. Kasus pembubaran pertemuan anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) dengan masyarakat oleh Front Pembela Islam (FPI) Banyuwangi menunjukkan bahwa ruang publik kita telah disandera oleh kekuatan partikelir. Padahal, ruang lain yang diberi kuasa bertindak untuk menertibkan keadaan atau dikenal juga dengan sphere of public authority, seperti ditegaskan Jürgen Habermas, filsuf Jerman, tersedia. Aparat negara akan mengambil tindakan jika sebuah kelompok masyarakat tertentu dianggap mengancam kehidupan bersama.

Sayangnya, ke belakangan ini kita selalu disuguhkan dengan para militer yang mengambil alih tugas polisi. Memang, kehadirannya kadang dipandang sebagai kritik terhadap pihak berwajib yang mandul dalam menunaikan tugasnya, seperti pemberantasan judi dan minuman keras, atau yang dikenal dengan penyakit masyarakat. Namun berkait dengan eksekusi terhadap pelanggaran, mereka sama sekali tidak mempunyai hak. Tugas mereka adalah membahas jalan keluar bersama komunitas lain agar mendorong pihak berwajib segera menunaikan wewenangnya. Apatah lagi, korban yang selalu menjadi saasaran adalah lapisan bawah, sementara judi dan minuman keras di hotel bintang lima tak tersentuh.

Lalu, bagaimana ruang publik fisik seperti taman dan fasilitas permainan? Sangat memprihatinkan. Pengalaman saya menunjukkan itu. Di Jakarta, misalnya, hampir fasilitas itu terselip di tengah-tengah gedung batu yang angkuh. Taman Monumen Nasional juga belum mampu menyuguhkan ruang publik yang memadai untuk menjadi tempat rehat warga. Bandingkan dengan Kuala Lumpur yang mempunyai taman luas di tengah kota, yang berjalin kelindan dengan pusat perbelanjaan, Suria KLCC. Di sini, pengunjung bisa beraktivitas, seperti nongkrong atau berolahraga. Belum lagi, sungai buatan membuat orang ramai merasa tentram di tengah kota yang sibuk. Tak jauh dari tempat ini, KL Sentral berdiri kokoh sebagai pusat pelbagai moda angkutan, seperti bus, taksi, monorail dan lrt (light rail transport) yang menjangkau ke tempat-tempa penting, seperti bandara, pusat kota, dan segenap pelosok.

Mungkin benar kata Asier Siregar, official Villa 2000, wakil Indonesia di ajang pertandingan sepak bola Nike 15 tahun ke bawah pada Juni kemarin bahwa kita miskin fasilitas olahraga. Dalam sebuah kesempatan di sela-sela rehat di lapangan Universitas Sains Malaysia, dia tidak bisa menyembunyikan penghargaaannya terhadap perguruan tinggi ini karena memiliki 6 lapangan olahraga dan terawat. Sementara sekolah olahraga Ragunan Jakarta hanya mempunyai satu lapangan dan tampak tidak terpelihara. Bahkan, sekolah Olahraga Bukit Jalil Kuala Lumpur mempunyai 10 lapangan.

Mungkin keterbatasan ruang publik fisik ini bisa dimaklumi karena negara Republik ini sedang membangun, namun kebebasan untuk menyuburkan ruang publik non-fisik, seperti kebebasan berkumpul dan mengemukaan pendapat kadang kebablasan. Kasus kekerasan terkait dengan pemilihan kepala daerah di pelbagai tempat di tanah air menunjukkan kenyataan ini. Belum lagi, kekerasan yang dirayakan oleh segelintir kelompok atas nama ideologi, etnik dan perebutan lahan ekonomi. Padahal, di era reformasi, semua ideologi boleh tumbuh, demikian pula kepala-kepala daerah putera lokal banyak menduduki kursi empuk kekuasaan, dan persaingan ekonomi terbuka luas.

Untuk itu, Jürgen Habermas mengusulkan apa yang disebut dengan kriteria konstitusional sebagai prasyarat munculnya ruang publik, yaitu kesetaraan, ranah kepedulian yang sama, dan inklusivitas. Kesetaraan tidak dimaksudkan menafikan status, namun sekaligus menampik status sekaligus. Tentu, sebuah pembahasan akan berjalan baik, jika masing-masing mempunyai keprihatinan yang sama. Nah, sejalan dengan tujuan akhir dari sebuah komuniksi, yaitu konsensus, maka setiap kelompok harus meyakini sikap inklusif sebagai patokan. Dalam bahasa Hannah Arent, filsuf Jerman, secara fenomenologis publik itu dimaknai ruang kemunculan bersama. Pluralitas merupakan dimensi penguat dan lahirnya konsensus.

Namun, jika kita harus berterus terang, ketiga syarat ini susah untuk diraih, karena mereka yang berseberangan merasa tak setara, memiliki tujuan yang berbeda dan sebagian merayakan pandangan sempit dan eksklusif. Betapa segelintir orang datang untuk memaksa pandangannya dan hanya berteriak dan melaungkan kalimat takbir dalam sebuah diskusi. Bagaimana mungkin kita mau mendengar pandangan orang lain, apabila kita hanya ingin mereka tunduk dan patuh? Untungnya, mayoritas warga negeri ini masih memegang teguh kemajemukan sebagai pandangan hidup.

Nah, selagi kelompok ini bermunculan tanpa ada yang mencegah beraksi, maka kehidupan publik kita akan terus menanggung nestapa. Belum lagi, khalayak luas yang tak leluasa menikmati ruang fisik untuk bermasyarakat. Mereka terpaksa menggigit jari karena fasilitas untuk bermain telah dikapling oleh mereka yang berduit. Kegairahan membangun kota satelit dengan segenap fasilitas makin meminggirkan orang ramai untuk istirahat sejenak dari hiruk pikuk kota. Mereka akan mudah marah dan tak ramah. Tak ayal, kekerasan yang muncul di ibukota dipicu secara tidak langsung oleh para remaja yang tak bisa bermain. Masihkah kita abai tentang hal ini?

Penulis adalah postdoctoral research fellow Univesitas Sains Malaysia

Monday, July 26, 2010

Kontroversi ESQ di Malaysia

Jawa Pos, 23 Juli 2010

Oleh Ahmad Sahidah

KASUS penyesatan ESQ (the Emotional and Spiritual Quotient) Leadership Training di wilayah federal Malaysia memantik kontroversi. Kursus ini dianggap dapat merusak akidah (keyakinan) dan syariah. Meskipun dinyatakan hanya oleh seorang di antara 14 mufti di Malaysia, fatwa sesat itu mengguncang publik. Tidak saja kursus tersebut telah menghasilkan 60 ribu alumni yang meliputi pelbagai instansi dan lembaga swasta, banyak petinggi dan pesohor yang juga terlibat di dalamnya. Bahkan, sebagian mufti juga pernah mengikuti pelatihan itu.

Wan Zamidi Wan Teh, mufti wilayah persekutuan, melihat modul pelatihan itu mengandung ajaran yang menyesatkan karena memasukkan unsur-unsur bukan Islam ke dalam materi, seperti SQ-nya Donah Zohar yang beragama Yahudi, God Spot-nya V.S. Ramachandran yang beragama Hindu, dan suara hati (conscience) yang berbau filsafat.

Namun, pada waktu yang sama, mufti lain menyangkal keputusan itu, malah sebaliknya melihat ESQ sebagai model dakwah yang efektif untuk menanankan nilai-nilai murni agama. Sebuah koran harian, Sinar, dengan getol menempatkan ulasan yang luas untuk mendukung model ESQ sebagai pelatihan motivasi, jika dibandingkan dengan model lain yang tidak mencerminkan prinsip-prinsip Islam.

Motivasi

Hakikatnya hal serupa, kata banyak orang, telah dilaksanakan, namun masih mengacu pada model program motivasi Barat. Kehadiran ESQ dianggap angin segar. Kementerian Pertahanan melalui orang nomor satunya, Ahmad Zahid Hamidi, yang berdarah Ngayogyakarta, menjadikan ESQ sebagai kursus tambahan bagi pegawai di kementeriannya.

Antusiasme masyarakat juga tinggi. Buktinya, banyak perusahaan mengursuskan pegawainya, termasuk para pesohor, seperti Erra Fazira. Bagi para pengkritik, perubahan sikap itu hanya berlaku dua bulan. Setelah itu, peserta akan kembali pada kehidupan semula.

ESQ betul-betul telah menarik minat banyak orang untuk kembali menemukan semangat dalam pekerjaan dan hidupnya dengan kembali menjiwai syahadat serta rukun Iman dan Islam. Namun, pelatihan ini dikritik karena berbau bisnis. Dengan biaya sekitar RM 800 (Rp 2,4 juta), tentu mereka yang berkantong tebal yang dapat meningkatkan imannya, sedangkan yang tidak berduit menggigit jari karena jalan menuju Tuhan mahal. Malah, kalau dilaksanakan di hotel, biaya bisa membengkak hingga RM 1.380 (Rp 4 jutaan). Karena itu, beberapa sarjana di Malaysia melihat kursus tersebut lebih menonjolkan unsur bisnis daripada dakwah.

Namun, menilik kesaksian alumninya, kursus tersebut memang telah membuat hidup mereka lebih bermakna. Tentu, keberhasilan semacam itu diharapkan oleh banyak orang. Dengan kata lain, motivasi yang ditanamkan oleh ESQ telah meresap. Setidaknya dua orang terkenal, Mukhris Mahathir, wakil menteri dan anak Mahathir Mohamad, serta Fauziah Nawi, bintang film, menegaskan hal itu. Hebatnya lagi, pelatihan tersebut juga diikuti oleh peserta nonmuslim, yang juga turut memberikan penghargaan yang tinggi terhadap apa yang disebut The ESQ 165 Way.

Terkait dengan kenyataan tersebut, mungkin solusi yang bisa dilakukan, ESQ perlu mengimbangi dengan pelatihan gratis bagi khalayak sebagai tanggung jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility).

Retorika

Kata kunci yang mendorong mufti memberikan fatwa sesat adalah pluralisme dan liberalisme. Sejatinya, fatwa nasional telah mengharamkan pemahaman itu. Namun, penyematan pada ESQ dirasakan terburu-buru oleh mufti lain, seperti ulama vokal Harussani Zakaria. Meski demikian, ulama yang terakhir ini menghargai pendirian sejawatnya, sekaligus mendorong ESQ memantapkan panel syariah agar praktik ESQ bisa dipantau.

Malah, bekas mufti lain, Dr Asri Zainul Abidin, menengarai praktik talibanisasi dengan fenomena mudahnya pengharaman oleh ulama terhadap sesuatu. Bagi dosen hadit di Universiti Sains Malaysia tersebut, ulama perlu mencari jalan keluar dan alternatif, bukan main hantam dengan fatwa sesat.

Dari peristiwa di atas, hikmah yang bisa dipetik dari perbedaan itu adalah realitas pluralitas pendapat itu sendiri yang mesti disikapi dengan keterbukaan dan kearifan. Hal lain yang perlu dipikirkan adalah kegairahan banyak sarjana muslim dan ulama yang menjadikan Islam liberal sebagai ancaman, tidak hanya di ruang seminar, masjid, bahkan di media massa. Padahal, jika ia mengacu pada Jaringan Islam Liberal (JIL), kita bisa menghitung dengan jari pegiat yang berhikmat di dalamnya. Justru, musuh terbesar adalah umat Islam sendiri yang tidak jelas warnanya.

Coba lihat di Malaysia, sebagaimana di Indonesia, adakah keislaman telah merembes dalam kehidupan sehari-hari mayoritas umatnya? Tidak. Masjid dan surau roboh, meminjam A A Navis, karena tidak dikunjungi jamaah. Kebersihan dan kelestarian lingkungan terabaikan, padahal merupakan bagian dari jati diri muslim.

Kemewahan meruyak di tengah banyaknya umat yang masih daif dan sakit-sakitan. Selagi sarjana muslim terpaku pada retorika pengambinghitaman Islam liberal, tanggung jawab mereka untuk mendorong pengentasan kemiskinan dan kebodohan umat terabaikan.

Demikian pula, alasan adanya sekularisme sebenarnya menempelak muka mereka sendiri. Bagaimana pun, Malaysia adalah negara sekuler, bukan teokratik. Jadi, adalah aneh menjadikan alasan sekularisme sebagai biang pengharaman ESQ. Justru, tafsir baru terhadap maqashid syariah (tujuan syariah) perlu disesuaikan dengan semangat baru, yaitu pembelaan terhadap nasib umat yang masih terbengkalai, sedangkan para elite bergelimang kemewahan.

Adalah aneh jika retorika pembelaan Islam itu menyembunyikan tugas utama para ulama, memartabatkan manusia. Hal ini tentu saja tidak saja mensyaratkan perawatan kerohanian, tetapi juga kejasmanian. (*)

*) Ahmad Sahidah PhD, peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia

Wednesday, July 21, 2010

Suburkan Intelektual Publik

Ahmad Sahidah
Fellow Peneliti Pascadoktoral Universitas Sains Malaysia

Media cetak dan elektronik kembali berfungsi sebagai pilar keempat dalam demokrasi. Sayangnya, pada masa yang sama, sebagian pemilik media menggunakan alat ini untuk mengokohkan kedudukan politiknya dalam pertarungan kekuasaan.


Aneh, televisi dan koran yang seharusnya menyuarakan kepentingan publik, malah merupakan kepanjangan suara segelintir elite dan kelompok kartelnya. Untungnya, masih ditemukan media yang dengan teguh memegang prinsip jurnalistik, tidak berpihak, kecuali pada kebenaran.

Jika demikian, apa yang harus dilakukan? Menggantungkan harapan pada media yang menjadi kepanjangan tangan segelintir orang membuat sempit wilayah para intelektual untuk menyuarakan apa yang menurut mereka kebenaran.

Salah satu yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong intelektual publik untuk bersuara lantang. Sosok ini layaknya intelektual, yang berurusan dengan gagasan, namun mereka menulis (juga berbicara) untuk masyarakat lebih luas, bukan hanya kaum sarjana, konsultan atau profesional, tegas Richard A Posner dalam Public Intellectuals: A Study of Decline. Oleh karena itu, John Rawls tidak termasuk di dalamnya meskipun menyalin kerumitan filsafat dalam isu politik penting, karena penulis karya fenomenal A Theory of Justice ini tidak menulis untuk khalayak luas.

Ikhwal pembicaraan juga berkait dengan kepentingan publik serta persoalan politik dalam pengertian lebih luas. Gus Dur dengan tuntas memainkan peran ini ketika tokoh yang dianggap guru bangsa ini menyebut anggota parlemen layaknya anak Taman Kanak-Kanak. Ternyata, cetusan ini terus bergema hingga sekarang.

Orang ramai pun memahami fenomena sepak terjang wakil rakyat, tanpa perlu merujuk pada buku tebal tentang kajian perilaku anggota dewan yang terhormat itu. Kedegilan fraksi Golongan Karya untuk meloloskan dana aspirasi yang fantastik itu menunjukkan ketidakpekaan sebagai penyambung lidah rakyat. Tak jauh beda dengan anak kecil yang meminta permen sambil merajuk dan terkadang ‘mengancam’.

Sedang tema yang diungkap adalah gagasan besar yang terjadi pada masa hidupnya. Gus Dur telah memilih tema dengan meyakinkan, seperti demokrasi, pribumisasi Islam, dan negara kesatuan. Sama halnya dengan yang dilakukan oleh Hannah Arendt, filsuf dan selingkuhan Martin Heidegger, yang memberikan komentar tentang isu politik pada masanya, seperti totalitarinisme, Zionisme, desegregasi, dan lain-lain tanpa ribet memasukkan filsafat murni.

Demikian pula, Syafi’ie Ma’arif, yang masih meluangkan waktu untuk menyoroti carut-marut republik ini dengan bahasa yang lugas di kolom khusus sebuah harian nasional menunjukkan kualitas sebagai cendekiawan publik karena esai rutinnya itu menggunakan bahasa yang bisa dijangkau pembaca koran.

Intelektual Selebritas

Kehadiran televisi makin memberi ruang pada intelektual untuk menjangkau khalayak lebih luas. Oleh karena itu, kehadirannya menyamai selebritas dan mendapatkan liputan layaknya artis. Dengan sendirinya intelektual publik adalah intelektual selebritas, yang harus mampu berbicara pada khalayak dengan bahasa mereka sehari-hari.

Di wilayah inilah, kaum intelektual bisa berwujud siapa saja, dosen, wartawan, budayawan, dan pegiat. Mereka berlomba-lomba untuk memberikan penerangan isu terbaru melalui pelbagai saluran media. Makin hari nama-nama baru yang mudah dikenal makin banyak.

Akan tetapi, mengingat media arus utama hari ini sebagian telah dijadikan corong segelintir kelompok dengan kepentingannya, maka media sosial yang berlimpah, seperti Facebook, Twitter. dan blog bisa menjadi pilihan untuk memerantarai hubungan nalar antara intelektual dan publik. Media sosial memberi lahan seluas-luasnya untuk para intelektual selebritas dan mereka yang ingin belajar menjadi intelektual.

Dalam Facebook, Prie GS, wartawan Suara Merdeka, berhasil berdialog dengan masyarakat melalui celetukan status yang menggugah nalar publik, termasuk kolom mingguannya di koran tempat pria berkumis lebat ini bekerja.

Demikian pula, dalam ranah per-Twitter-an, Ndoro Kakung disenaraikan sebagai orang yang layak mendapatkan penghargaan. Dengan pengukuran meliputi influence (pengaruh) popularity (popularitas), berapa banyak yang menjadi follower (pengikut) pengguna Twitter; engagement (keterlibatan), seberapa aktif si pengguna berperan serta dalam komunitas Twitter; dan trust (kepercayaan), seberapa besar kepercayaan orang terhadap kandungan (content), maka Ndoro Kakung yang wartawan Tempo itu layak untuk memegang label intelektual publik dalam pengertian yang sempurna.

Lalu bagaimana dengan dunia blog yang turut meramaikan pembahasan isu publik? Sampai saat ini ada beberapa nama yang patut disodorkan sebagai bagian dari intelektual selebritas. Salah satu di antara blogger itu adalah Antyo Rentjoko. Dia berhasil mengemas ide-ide cemerlang dengan bahasa sinikal, namun tak memanjakan cita rasa kasar.

Coba tengok dalam lawan sesawang blogombal.org, bapak dua anak dan satu istri ini menerakan catatan tentang isu publik dengan kelakar, namun menyodok akal sehat pembaca dari segala lapisan. Dalam judul “Benteng di Tengah Kota”, pemilik banyak blog ini, sedang membicarakan ketegangan dan cita rasa sosial sebagaimana tertera dalam teori status sosial dan habitus sosiolog Prancis, Pierre Bordieau, namun dengan bahasa yang lebih renyah, sehingga bisa dikunyah siapa saja. Tak hanya berhenti pada deskripsi etik, pria gundul ini memberikan jalan keluar agar masyarakat tak pengap.

Jadi, jika isu yang beredar di masyarakat disampaikan dengan bahasa keseharian, niscaya keterlibatan khalayak akan makin membesar. Untuk itu, perguruan tinggi yang banyak memproduksi intelektual sepatutnya mendorong civitas academica dan lulusannya tidak lagi terpasung di kampus, berkutat dengan analisis diskursif dan analitikal semata-mata, justru menyeimbangkan dengan tugas darma perguruan tinggi itu yang mencerminkan peran intelektual publik paling nyata. Salah satunya dengan memanfaatkan berbagai media untuk tampil.

Amunisi akademik yang dimiliki oleh dosen dan kepiawaian jurnalistik wartawan sebenarnya merupakan dua kekuatan yang bisa bahu-membahu merontokkan kepongahan kekuasaan, sebab yang terakhir ini kadang-kadang dikangkangi oleh intelektual tukang, atau affiliated intellectual, yang cuma cari makan.n

Monday, May 24, 2010

Membatasi Asap Rokok

Oleh Ahmad Sahidah PhD


Suara Karya, Jumat, 14 Mei 2010

Setelah klausul tentang tembakau pernah menghilang dari Undang-Undang Kesehatan, sekarang kegaduhan beralih pada penolakan sejumlah kalangan terhadap Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengamanan Produk Tembakau Sebagai Zat Adiktif Bagi Kesehatan (RPP Tembakau). Ditengarai industri merokok berada di balik penolakan ini. Dengan menggunakan petani sebagai tameng, para juru bicara mereka menentang aturan tersebut. Tak hanya itu, perusahaan rokok juga memasang iklan yang bernada membela petani. Tapi, benarkah?


Tentu, semua orang telah mafhum tentang bahaya merokok. Merujuk ayat 2 Pasal 113 UU Kesehatan bahwa “Zat adiktif sebagaimana dimaksud pada ayat 1 meliputi tembakau, produk yang mengandung tembakau, padat, cairan dan gas yang bersifat adiktif yang penggunaannya dapat menimbulkan kerugian bagi dirinya dan atau masyarakat sekelilingnya,” siapa pun yang berpikir sehat bisa memahami kalimat tersebut. Asap rokok telah meracuni penikmatnya dan keluarga. Lalu, adalah wajar jika setiap individu bersama-sama melawan ketergantungan yang tidak sehat ini.


Keputusan Majlis Fatwa dan Tajdid PP Muhammadiyah tentang keharaman rokok sebenarnya bukan hal baru. Namun tak ayal ia memantik penolakan dari organisasi keagamaan yang lain. Pertimbangannya bukan saja terkait dengan alasan kesehatan, tetapi juga terkait nasib petani. Sementara Din Syamsuddin, Ketua Muhammadiyah, menegaskan bahwa langkah ini merupakan penyelamatan peradaban. Organisasi yang didirikan oleh Ahmad Dahlan ingin turut serta mendorong tercapainya target MDGs (Millennium Development Goals). Muhammadiyah mencoba turut menanggulangi beberapa macam pandemi yang melanda dunia, seperti flu burung, flu babi, serta TBC dan penyakit saluran pernafasan, yang masih mengancam manusia.


Adalah aneh jika kita masih menganggap kebiasaan rokok itu bisa diterima. Ketidakberdayaan perokok untuk berhenti sejatinya adalah ketidakmampuannya untuk melawan zat adiktif, sesuatu yang diasup dari luar. Ketenangan hakikatnya bermuara pada dalam diri, hati. Kegagalan mendatangkan kenyamanan dari diri sendiri adalah awal keterpenjaraan pada benda lain. Apatah lagi, selama ini penghasil tembakau tidak memperoleh keuntungan dari hasil pertanian nicotiana tobaccum. Jadi, diam-diam sebenarnya perokok turut mengekalkan praktik penindasan ini dan dengan sendirinya memanjakan para cukong. Adakah ketentraman bisa lahir dari kenyataan yang terakhir seperti ini?


Hidup Sehat


Malaysia menyebut kampanye dengan ‘kempen’ yang sebenarnya juga digunakan untuk memasyarakatkan program layanan kemasyarakatan yang lain, seperti kesadaran berlalu lintas, bahkan hingga berpakaian yang sopan. Program anti-merokok dengan slogan Tak Nak! (Tidak Mau) sebenarnya dicadangkan sejak Dr Mahathir memegang kursi perdana menteri karena miris melihat remaja ketagihan dengan asap rokok. Penggantinya, Abdullah Badawi, melanjutkan program ini dengan dukungan penuh kementerian kesehatan. Dengan anggaran RM 20 juta (Rp 60 miliar) setahun, pemerintah secara besar-besaran mempromosikan hidup sehat dengan tidak merokok.


Salah satu cara untuk tidak mendedahkan remaja pada kebiasaan buruk ini adalah melalui perundangan-undangan dan pendidikan kesehatan. Pemerintah menggelontorkan dana besar untuk menyampaikan pesan tentang bahaya merokok melalui pelbagai media, seperti televisi, radio, surat kabar dan majalah. Tidak saja melarang menghisap rokok di kantor-kantor pemerintah, iklan rokoh di media juga tidak diperbolehkan. Malah, meski rokok bisa menjadi sponsor untuk kegiatan olahraga, pemerintah mendorong penyelenggara pertandingan untuk mencari dana dari sumber-sumber lain. Ternyata, usaha ini berhasil. Putaran pertandingan sepak bola liga utama di sana secara rutin diadakan tanpa keterlibatan industri rokok.


Untuk memberikan efek yang lebih kuat, pada bungkus rokok tidak hanya diterakan amaran (peringatan) kerajaan Malaysia, rokok membahayakan kesihatan, tetapi juga peringatan bergambar, seperti kaki melepuh, kerongkongan hancur dan mulut menghitam dan bayi prematur. Jika aturan tersebut yang terakhir tidak dipenuhi, maka perusahaan bersangkutan bisa didenda RM 10 ribu atau dua tahun penjara, atau kedua-duanya jika ditetapkan bersalah. Pemberlakukan aturan baru ini efektif sejak tahun 1 Juni 2009 dan hingga sekarang, kita akan menemukan wajah sebungkus rokok yang membuat kita tak mempunyai nafsu makan.


Jadi, ketika Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri), Ismanu Soemiran menyatakan, RPP itu meresahkan pengusaha rokok dan 2,5 juta petani tembakau adalah berlebihan. Tambahnya, RPP, yang antara lain, mengatur larangan penayangan iklan rokok, sponsor acara, kegiatan CSR (Corporate Social Responsibility), larangan penjualan rokok secara eceran dan pada orang di bawah 18 tahun serta wanita hamil, membuat perusahaan rokok tak berkembang. Justru aturan ini dibuat agar industri ini tidak meracuni masyarakat lebih luas. Oleh karena itu, tak perlu dikembangkan. Ternyata, aturan yang sama tidak membuat bangkrut negara tetangga.


Akhirnya sudah saatnya, semua pihak mempertimbangkan untuk mendukung langkah Departemen Kesehatan untuk mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Demikian juga, pemerintah tidak perlu terlalu risau atas berkurangnya pemasukan cukai rokok, mengingat biaya yang ditanggung pemerintah untuk pemulihan penyakit yang ditimbulkan oleh racun tembakau dan biaya sosial justeru lebih besar. Langkah strategis untuk menciptakan masyarakat yang sehat sangat mendesak. Di sini, yang diperlukan hanyalah keberanian untuk mengatakan tidak pada perusahaan rokok yang telah menyebabkan petani merugi dan orang ramai tidak sehat. Namun demikian, pemerintah harus mencari tanaman alternatif yang bisa mendongkrak taraf kehidupan petani. ***


Penulis adalah Postdoctoral Research Fellow
pada Universitas Sains Malaysia

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...