Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Showing posts with label Politics. Show all posts
Showing posts with label Politics. Show all posts

Saturday, November 06, 2010

Mencegah DPR ke Luar Negeri

Oleh Ahmad Sahidah

Suara Karya, Kamis, 4 Nopember 2010

Ketika banyak orang menyoal anggota legislatif yang bertandang ke Yunani, media massa Ibukota melaporkan bahwa DPR sendiri terbelah mengenai peri pentingnya mereka melawat ke negeri seberang untuk melakukan studi banding. Ironis, sebagai kaum terpelajar mereka masih harus bersekolah kembali untuk mengerti etika. Meskipun dengan alasan kesungguhan, logika tentang pengalaman, bukan hanya pengetahuan, ia tetap melawan akal sehat. Hakikatnya, mereka bisa dengan mudah membuka buku Mohammad Hatta, Alam Fikiran Yunani, yang ditulis oleh wakil presiden pertama RI. Meski orang nomor dua di awal kemerdekaan itu tidak pernah melawat ke negeri Dewa itu, namun dia memahami dengan baik filsafat negeri Zeus.

Dengan pemahaman yang utuh ini, Hatta hampir-hampir merupakan cermin yang sempurna dari kearifan yang ingin ditimbulkan dari kedalaman berpikir. Meskipun ia bisa meraup kekayaan dengan cara culas, namun lelaki asal Sumatera Barat ini memilih hidup sederhana. Cerita sepasang sepatu yang ingin dibelinya pun menunjukkan bahwa keinginan itu tak semestinya menghalalkan segala cara. Dengan analogi ini, sepatutnya, anggota DPR yang berkunjung ke Yunani akan meneladani perilaku mulia itu, meski berharap cemas ini tidak akan terwujud karena alasan mereka pun tidak kokoh dan hanya didasarkan dari kekacauan berpikir.

Masihkah tersisa persangkaan baik untuk mereka yang ingin melakukan studi banding ke luar negeri? Tidak! Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa aroma tidak sedap selalu mengiringi program jalan-jalan yang dibungkus dengan alasan studi banding. Lagi pula, sebagai orang yang terpilih dan dipercaya banyak orang, sepatutnya anggota dewan yang terhormat itu memiliki mandat (credential) yang teruji, baik moral maupun pendidikan. Adalah berlebihan jika mereka menghabiskan anggaran hanya untuk menengok kembali pelajaran tentang etika dan cara mengurus negara.

Baca Buku

Memang benar, pengetahuan dan pengalaman adalah dua hal yang berbeda. Secara kognitif, pengetahuan tentang baik bisa diperoleh oleh manusia, namun pengalaman tentang baik bersifat subjektif, lain lubuk lain ikannya. Adalah wajar jika seseorang atau kelompok ingin mengetahui kebiasaan yang baik dari orang lain. Mungkin ada keuntungan praktis yang akan diperoleh oleh anggota DPR yang melakukan studi banding ke Yunani. Masalahnya, apakah anggota legislatif tidak melihat bahwa Yunani yang dulu dan sekarang jauh berbeda?

Jasad pemikir besar, seperti Socrates, Aristoteles dan Plato, telah menjadi abu. Pemikiran mereka yang cemerlang pun telah menyebar yang bisa dilihat dari dekat. Kalaupun ingin mempelajari pemikiran mereka secara langsung, anggota DPR bisa bertandang ke Kunikunoya, toko buku asal Jepang, yang menyediakan buku-buku asing dengan mudah. Mereka hanya perlu melangkahkan kaki sepelemparan batu ke Plaza Senayan. Kalaupun buku Aristoteles, Politics, dan Plato, Republics, tak tersedia, mereka bisa memesan pada petugas yang hanya berbandrol harga 5 dolar AS dan 3 dolar AS. Kedua buku ini berharga murah karena dicetak dengan kertas koran. Dengan uang Rp 150 ribu, mereka bisa menekuri ide cerdas dari filsuf kawakan itu.

Hakikatnya, bangsa ini telah menyerap pemikiran besar itu dalam praktik kenegaraan. Harus diakui tata kelola Republik ini mengacu pada pengalaman Eropa yang diilhami dan dikembangkan dari pemikiran besar para filsuf itu. Adalah berlebihan jika mereka masih kagok untuk melihat kembali praktik politik dan etik itu ke negara asalnya. Apatah lagi, pengalaman panjang sebagai negeri yang pernah mempunyai kerajaan besar di Asia Tenggara dan mengalami transisi ke demokrasi yang sejati, hakikatnya bangsa Indonesia telah berhasil menyemai nilai-nilai etika itu dalam praktik politik.

Hanya saja, tantangan terbesar untuk mereka yang duduk di parlemen adalah mewujudkan tugas mereka yang terkait dengan keterwakilan, pembuatan undang-undangan dan pengawasan. Di atas kertas, semua ini telah diterakan dalam peraturan. Namun, implementasi di lapangan lancung. Betapa banyak undang-undang yang seharusnya telah disahkan terbengkalai. Demikian pula, betapa banyak masalah konstituennya diabaikan oleh wakilnya dan pengawasan terhadap eksekutif hanya berbuah kongkalikong. Masih segar di ingatan, perebutan jabatan elit publik adalah lubuk rezeki bagi banyak anggota dewan, yang telah menjebloskan mereka ke hotel prodeo.

Atas dasar kenyataan ini, mereka tidak perlu belajar ke Yunani untuk memastikan apakah praktik di atas keliru atau tidak. Akal sehat saja jelas-jelas menampik apa yang disebut dengan Nudirman Munir sebagai 'pengalaman' itu tidak bisa ditemukan di internet. Kealpaan untuk menyemai nilai etik lebih disebabkan para anggota itu gagap menjadi petinggi. Ukuran 'luar negeri' masih dijadikan standar untuk belajar sesuatu. Padahal, di negeri ini, hampir semua aliran filsafat telah didiskusikan. Malah, buku-buku filsafat, dari klasik hingga posmodern, telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Belum lagi, betapa banyak perguruan tinggi yang mempunyai jurusan filsafat.

Kalau pun kita masih menyisakan empati terhadap anggota dari pelbagai fraksi yang berkunjung ke negeri Xena itu, mari kita membuat panggung rakyat untuk menguji sejauh mana mereka mengambil pelajaran dan kehendak untuk mewujudkan hasil studi banding itu menjadi kenyataan. Jika laporan yang dibuat tak jauh berbeda dengan makalah, buku dan opini yang telah banyak beredar di masyarakat, dengan senang hati kita bisa menerakan tanda 'silang' dan menulis dengan tinta merah di dahi mereka, 'pecundang'. ***

Penulis adalah peneliti Pascadoktoral di Universitas Sains Malaysia



Saturday, March 13, 2010

Mempersoalkan Selebritas Politik

Seputar Indonesia, Saturday, 13 March 2010

Temuan Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) tentang rancangan anggaran jalan-jalan DPR untuk tahun 2010 senilai Rp100 miliar cukup menghentak akal sehat.


Meski Maruarar Sirait, anggota badan anggaran,membenarkan kunjungan ke luar negeri––asalkan dapat dipertanggungjawabkan––, tetap timbul pertanyaan: hasil seperti apakah yang ingin disuguhkan? Bukankah hal serupa sebelumnya hanya berbuah kritik keras dari masyarakat? Tidak saja hanya memanjakan pelesiran, para anggota Dewan yang terhormat itu justru lebih menikmati berbelanja di toko ternama dan hanya beberapa jam memenuhi tugas kunjungan kerja. Itu cerita dulu ketika anggota Dewan yang berkunjung ke Negeri Kincir Angin diprotes mahasiswa. Naga-naganya, gelagat yang sama sudah tampak. Perilaku politikus sekarang ini bersinggungan dengan hal ihwal selebritas.

Jika selebritas dipahami sebagai pribadi yang namanya mendapatkan perhatian masyarakat luas, politikus layak menyandang gelar itu. Siaran langsung Panitia Khusus (Pansus) Bank Century telah membuat wakil rakyat sadar atas kehadiran kamera. Seperti dinyatakan oleh J Gamson dalam Claims to Fame: Celebrity in Contemporary America, penampilan tokoh politik untuk mendapatkan perhatian publik telah mendorong mereka untuk meminjam teknik-teknik secara langsung dari selebritas hiburan. Seperti penghibur, politikus dilatih, ditangani, didandani secara hati-hati agar “terang-benderang”. Tentu, panggung yang memenuhi ruang untuk tampil total adalah “drama” Pansus Century.

Layaknya persembahan, penyelenggaraan “hiburan” ini berbiaya mahal, Rp5 miliar. Para pemainnya mempunyai pelbagai watak, protagonis, antagonis, dan pragmatis. Yang terakhir bisa dikatakan sebagai tokoh figuran, yang tampil hanya untuk melengkapi alur cerita. Dengan banyak kamera, mereka tampil sempurna, yaitu memerankan tokoh yang sedang melawan kejahatan.Masalahnya, plot itu berkembang dan skrip pun kadang berubah. Sebagian kelompok tetap berpendirian teguh dan yang lain berubah. Mungkin, kesetiaan mereka hanya untuk tema yang telah melekat pada profesi ini, mendahulukan kepentingan kelompok. Nah, karena tanpa skrip, para pemain kadang banyak melakukan improvisasi.

Tentu, di tengah perhelatan, pemain lain turut meramaikan suasana untuk membuat kejutan. Kemunculan Andi Arief, staf ahli Presiden,membongkar rahasia aktor utama tentu mengejutkan banyak kalangan.Tidak saja karena tugas mantan aktivis ini seharusnya berkait dengan penanggulangan bencana alam, tetapi juga lantaran mantan pentolan Partai Rakyat Demokratik tersebut ternyata mempunyai akses luar biasa terhadap cerita buruk “hero”.Meski demikian, cerita Pansus ini tetap tidak keluar dari pakem dalam sebuah drama, ketegangan sebelum kisah usai.

Mendongkrak Citra

Para aktor harus tampil maksimal agar lakon mereka bisa memaksa penonton untuk tidak beringsut dari tempat duduk. Selain menghibur, sedu sedan mereka juga tak jarang membuat haru pemirsa. Malah, kemarahan pelakon dibuat tampak alamiah agar mampu menguras emosi penonton. Namun, pada waktu yang sama, tontonan itu sekaligus dituntut sebagai tuntunan.

Ia mengusung sejumlah pesan dan makna. Hiburan yang gagal untuk memenuhi tuntutan yang terakhir ini layak disebut berselera rendah. Nah, drama Pansus kemarin telah memperlihatkan secara langsung kepada pemirsa. Tak ada penyuntingan sehingga tingkah laku mereka bisa dinilai secara utuh. Karakter mereka terlihat jelas di layar kaca. Disengaja atau tidak, pertengkaran Ruhut Sitompul, wakil Partai Demokrat, dan Gayus Lumbuun, wakil Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, misalnya, betul-betul menghasilkan drama yang menegangkan. Di luar asas kepatutan, mimik mereka tak ubahnya pelakon sinetron kita yang gemar mendramatisasi adegan pertengkaran.

Sayangnya, dialog yang keluar tak mencerminkan watak sebagai kaum terpelajar. Alih-alih menjernihkan masalah, mereka telah menjadikan panggung itu untuk menunjukkan kekuatan. Namun, di luar perseteruan ini, mereka mempunyai kesamaan, menampilkan selera berbusana yang memukau. Di luar urusan mengorek informasi, anggota DPR juga mempertimbangkan penampilan diri. Andi Rahmat dari Partai Keadilan Sejahtera harus merogoh kocek Rp5–7 juta untuk sepasang jas.Tak hanya itu, layaknya kaum metroseksual yang kontras di bagian lingkar lengan dan leher, wakil PKS dalam Pansus ini juga tampil maksimal dengan mencocokkan warna pakaian dan sepatu.

Berbeda dengan Ruhut Sitompul, istrinya, Diana Leovita, biasa mendesain busana dan mengatur seluruh tampilan, termasuk pilihan warna, agar sang suami terlihat cerah.Untuk memenuhi selera ini, Ruhut menegaskan istrinya harus berbelanja bahan pakaian hingga ke India dan Thailand. Untuk tas,mereka menggemari Louis Vuitton. Saya tidak tahu, apakah kenaikan gaji mereka yang hampir menyentuh 100% akan makin memanjakan selera mode mereka.

Menagih Janji

Jika Andi Rahmat ingin dicitrakan sebagai politikus muda yang segar,i dealis,dan penuh energi, maka penampilan modis itu adalah jawaban yang paling mudah dilihat. Tampaknya, politikus yang lain juga berlaku sama.Tidak ada yang salah, tetapi jauh dari itu, tanggung jawab besar ada di pundak mereka berkait dengan fungsi pengawasan, penganggaran, pengesahan undang-undang dan sebagai wakil konstituen.

Sejatinya tugas mereka lebih menuntut kesigapan dan ketulusan, bukan apa yang mereka pakai. Namun, apa mau dikata,demam selebritas juga dialami para wakil rakyat. Bagaimanapun,Pansus Century sedikit banyak memenuhi fungsi yang melekat pada Dewan. Paling tidak, perlawanan oleh pihak yang merasa dijadikan sasaran telah membuka kebobrokan lain dalam penyelenggaraan negara. Orang pun tahu bahwa dalam memenangi pertarungan ini, segala cara dilakukan, yang muaranya membuka borok lawan.

Di tengah perjalanan pemeriksaan, ternyata petinggi yang tampil membela rakyat itu tersandung dengan penilapan pajak, demikian pula orang yang diamanahi untuk memeriksa keuangan malah lebih asyik mengumpulkan hibah. Celakanya lagi, pemberi hibah itu bersuara dan justru membuka persekongkolan penguasa dan pengusaha. Sepertinya, drama ini telah berhasil membuka kotak pandora di mana banyak kejahatan berhamburan. Demikian juga dengan anggaran yang dibuat Dewan. Sejatinya uang negara itu dialokasikan untuk kepentingan khalayak. Anggota Dewan mempunyai penghasilan lebih dari cukup untuk hidup normal, bahkan untuk jalan-jalan.

Menggunakan anggaran untuk melancong ke luar negeri dengan alasan kunjungan kerja atau yang lain ternyata tidak berbuah kebaikan, karena itu kedok untuk menghabiskan uang negara saja.Tidak lebih. Sebagai perantara, mereka seharusnya mempertanggungjawabkan kepada konstituen bahwa suara pemilih telah disalurkan.Tanpa pertanggungjawaban ini, mereka gagal dan rakyat bisa menghukum dengan tidak memilihnya lagi dalam pemilihan umum. Sekarang, kuasa di tangan rakyat,bukan? Sayangnya, merujuk pada survei yang dilakukan Asia Foundation pada 2003, hanya 20% yang mengetahui peran DPR sebagai representasi kepentingan pemilih.

Bagaimanapun, ini juga berkait dengan sistem distrik proporsional yang memungkinkan satu daerah pemilihan mengirimkan wakil lebih dari satu orang. Berbeda dengan sistem dua partai yang mengandaikan satu lawan satu sehingga wakil itu mencerminkan kepentingan kawasan tertentu. Meskipun calon yang lolos meraih kemenangan atas tiket partai dari sebuah koalisi,sejatinya ia harus menang atas konstituen tanpa dibebani kepentingan sempit partai.

Di sini,rakyat dituntut untuk secara cerdas menilai wakilnya karena bisa dikatakan hampir seluruh waktu wakilnya diwakafkan pada pelayanan terhadap konstituen. Memang harus diakui bahwa masyarakat kebanyakan masih terjebak pada sandiwara politik yang dangkal. Namun bukankah ini harus berakhir?(*)

Ahmad Sahidah Ph.D
Postdoctoral Research Fellow di Universitas Sains Malaysia

Wednesday, February 17, 2010

Kecabulan dalam Politik

Koran Surya, 17 Februari 2010

Ahmad Sahidah
Postdoctoral Research Fellow pada Pusat Pengajian Ilmu Kemanusiaan,
Universiti Sains Malaysia

“Politics can’t be any diertier of a job than the one I am already in,” Stormy Daniels, Porn-film star, on running for Lousiana US Senate seat held by Dave Vitter (Times, 23 Februari 2009).

Kalimat di atas semacam ironi karena “kesucian politik” disindir justru oleh seorang pemain film cabul, Stormy Daniels. Atau boleh jadi makna pernyataan itu adalah bahwa politik termasuk bidang yang sama kotornya dengan profesi Stormy Daniels. Ini semua tergantung pada konteks yang melingkarinya. Namun, jamak diketahui politik acapkali menghalalkan segala cara. Untuk meraih jabatan, politisi harus memoles dirinya agar tampak cantik di mata orang dan akhirnya dipilih dengan cara yang tak jarang culas.

Tapi, benarkah dunia politik senaif itu? Pada dasarnya, politik adalah proses kontestasi kekuasaan secara berkeadaban. Kehadiran politikus diharapkan menjadi perantara agar suara masyarakat menemukan saluran. Namun, jalan ke arah itu telah menimbulkan keluhan karena sifat ‘kotor’ itu melekat pada praktik meraih kedudukan, seperti sejak awal, para calon itu telah merusak pohon.

Poster yang ditebarkan telah merusak pohon dengan pemakuan gambar atau selebaran janji-janji. Banyak ruang publik tampak kotor oleh selebaran yang tak sempat dibersihkan. Celakanya lagi, setelah terpilih, para politikus dianggap sebagai biang masalah. Carut marut penyelesaian Undang-undang bukan rahasia umum lagi, belum lagi kongkalingkong untuk meloloskannya dengan uang sogok, praktik yang telah mengantarkan sebagian anggota dewan yang ‘terhormat’ itu ke bui.

Malah, sebagian lain menjadi makelar (broker) proyek tidak halal yang telah makin menebalkan kantong uangnya, lagi-lagi sebagian telah mendekam di hotel prodeo. Sekarang, berita tentang separuh anggota DPR yang tidak mempunyai nomor pokok wajib pajak (NPWP) telah menambah daftar wajah muram politikus.

Menyoal Anggaran

Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (Fitra) menegaskan bahwa anggaran DPR untuk 2010 sarat dengan hura-hura. Dana tersebut dialokasikan untuk acara kunjungan ke luar negeri dengan pelbagai dalih. Mulai dari studi komparasi, kunjungan kerja, kunjungan kerja spesifik, hingga delegasi kunjungan parlemen ke luar negeri.

Menurut Sekretaris Jenderal Fitra, Yuna Farhan, minimal akan ada 58 kunjungan ke luar negeri dengan anggaran lebih dari Rp 100 miliar tahun ini. Maruarar Sirait, anggota Badan Anggaran DPR, membenarkan perjalanan ke luar negeri sepanjang ia bisa dipertanggungjawabkan. Masalahnya, benarkah mereka bisa memanggul amanah?

Tentu kenyataan di atas menambah sikap antipati rakyat terhadap prilaku anggota dewan. Betapa tahun-tahun sebelumnya, kunjungan anggota parlemen ke luar negeri telah menimbulkan kritik keras dari pelbagai pihak, namun mereka bergeming. Selain biaya yang sangat besar, hasil kunjungan yang dilakukan juga tidak dipertanggungjawabkan.

Lagipula, mereka mempunyai staf ahli yang bekerja dan dibayar mahal. Di tangan para sarjana inilah seharusnya anggota DPR mengasup bahan yang diperlukan untuk menunaikan tugas. Demikian pula, di era informasi, siapa pun dengan mudah mengumpulkan maklumat untuk mendapatkan sebanyak mungkin data bagi keperluan kerja dewan.

Sepatutnya, dengan keuangan negara terbatas, mereka tidak menghambur-hamburkan anggaran. Kalaupun begitu berhasrat untuk jalan-jalan, gaji dan tunjangan mereka lebih dari cukup untuk memenuhi keinginan berpelesiran. Adalah aneh jika mereka tetap memaksakan program yang tidak ada manfaatnya sama sekali bagi khalayak luas. Tentu, anggota parlemen yang masih mempunyai nurani dituntut untuk menyangkal kunjungan seperti ini. Jika dipaksakan, mereka yang menyandang wakil rakyat itu tidak lebih dari orang udik yang ingin terpandang dengan bertandang ke luar negeri.

Menyoal Anggaran

Salah satu tugas anggota dewan adalah menjadi wakil yang tanggap dengan hal ihwal konstituen. Tentu tugas-tugas pokok lainnya juga menuntut kesungguhan, yaitu pengawasan, anggaran dan legislasi. Seperti dijelaskan oleh Patrick Zieganhain dalam The Indonesian Parliament and Democratization (2008) berkait dengan fungsi keterwakilan bahwa mereka harus memerhatikan kepentingan khusus yang ada di kawasan yang mereka wakili.

Keberhasilan pemilihan kembali tergantung pada kemampuan wakil bersangkutan dalam memerantai dana dan pelayanan pemerintah dengan konstituennya. Bagaimanapun, posisi anggota legislatif sangat diperhitungkan karena mereka memiliki akses pada departemen pemerintahan pusat dan anggota-anggota pemerintahan yang tidak diragukan lebih besar dibandingkan warga kebanyakan.

Sayangnya sebagai mediasi, mereka acapkali menuntut komisi. Alih-alih membantu daerah mendapatkan anggaran, mereka telah menjadikan daerah pemilihannya sebagai sapi perahan. Sepatutnya, kehadiran mereka betul-betul menjadi wakil yang turut meringankan beban, bukan malah menjadi beban. Di sini, masyarakat luas berhak untuk mendapatkan akses apa yang telah dilakukan wakilnya.

Selagi hubungan konstituen dan wakilnya selesai setelah penghitungan surat usai, maka ikatan batin antara mereka tidak kokoh. Boleh jadi, sistem pemilihan kita yang bersifat distrik proporsional tidak melahirkan calon yang betul-betul mewakili sebuah kawasan.
Andaikan pemilihan anggota DPR itu mensyaratkan dua kursi, calon yang kalah bersabar dan yang menang betul-betul memikul tanggung jawab. Di sini, kepercayaan pemilih tumbuh subur. Mereka akan menilai apakah nantinya wakil tersebut benar-benar memperjuangkan kepentingan masyarakat, sehingga perlu dipilih kembali atau dihukum dengan tidak dicontreng. Siapa yang bersih dan berdedikasi akan terpilih. Jadi, siapa bilang politik itu dengan sendirinya kotor atau cabul?

Tuesday, May 05, 2009

Rumah Kami Retak

Persatuan Pelajar Indonesia di Universiti Sains Malaysia goyah. Ia menuju 'retak', menunggu terbelah. Tentu pertanda buruk bagi sebuah organisasi yang dihuni tak begitu banyak anggota. Tapi, apa boleh buat, para pejuang itu memilih untuk berumah berbeda, milis resmi dan perjuangan. Dalam sebuah pertemuan kelompok yang terakhir, pengurus PPI diminta untuk memenuhi tuntutan anggota yang tidak rela milis sebelumnya ditutup. Alasannya pemberangusan sejarah, penghilangan jaringan (networking) dan ketidakpekaan terhadap perasaan ratusan penghuni yang ada di dalamnya, baik masih berstatus mahasiswa ataupun alumni.

Gambar ini adalah momen musyawarah tahunan. Saya bertanggung jawab sebagai panitia pengarah (steerring committee). Sejak awal, saya telah menghidu bau persaingan untuk merebut orang nomor satu. Meski tidak sepanas acara mahasiswa di Indonesia, dengan melempar kursi atau beradu mengencangkan urat, namun pembahasan tata tertib berjalan alot, namun tak jarang diselingi kelucuan. Konflik bertunas. Setiap calon merapal doa dan menghitung peta dukungan suara. Akhirnya, pemenangnya adalah mahasiswa S1. Acara usai.

Tak lama setelah kepengurusan terbentuk, mahasiswa dikejutkan dengan keputusan pengurus untuk menutup milis dan digantikan dengan rumah baru. Di sini, perselisihan menyeruak. Tak hanya di dunia maya, di dunia nyata mereka beradu argumentasi untuk mempertahankan yang lama dan menyodorkan rumah baru. Saya sendiri mengelak untuk terlibat secara langsung. Sekarang, bola liar makin membesar. Keduanya telah memilih jalan berbeda. Lalu, kapankah ini berakhir? Menunggu waktu.

Saturday, December 13, 2008

Mendekatkan Saudara Serumpun, Indonesia- Malaysia

Koran Jawa Pos, 13 Desember 2008

Oleh Ahmad Sahidah*

Pertemuan rutin General Border Committee (GBC) Indonesia-Malaysia yang memasuki usia ke-37 mungkin bisa dijadikan titik tolak untuk membincangkan masalah perbatasan Indonesia-Malaysia secara lebih baik. Tentu isu kepemilikan Ambalat akan selalu menjadi batu ganjalan karena merupakan area konflik, mengingat kawasan itu mengandung sumber minyak bumi yang luar biasa. Meski demikian, masalah tersebut telah diserahkan kepada tim teknis kedua negara melalui kementerian luar negeri masing-masing.

Masalah aturan keterlibatan (rules of engagement) militer dalam menjaga perbatasan bahwa jika kedua militer dihadapkan dengan masalah, tidak terjadi bentrokan (clash) merupakan kesepakatan yang cemerlang. Dino Pati Djalal menyebut itu sebagai bentuk kemajuan luar biasa (Jawa Pos, 12/12/08). Ikhtiar untuk mengetatkan perbatasan dalam usaha menghindari tindak kejahatan, seperti penyelundupan dan perdagangan manusia (trafficking), adalah upaya yang perlu mendapatkan perhatian karena praktik semacam itu masih leluasa. Inilah praktik yang tidak hanya merugikan negara, tetapi juga merupakan kejahatan kemanusiaan yang mesti dicegah.

Peran Media

Pada hari yang sama (12/12/08), Utusan dan Jawa Pos memuat foto pertemuan Badawi dan SBY dan berita yang sama-sama memberikan harapan untuk mewujudkan hubungan kedua negara bertambah erat dan mampu menyelesaikan masalah yang acapkali mendera. Mungkin senyum dua orang nomor satu itu secara lahir bisa dijadikan pertanda ke arah kemajuan hubungan persahabatan. Di sini, betapa peran media sangat diperhitungkan.

Hal lain yang perlu diperhatikan berkaitan dengan media, dibandingkan dengan Indonesia, Malaysia memang tidak seterang negara tetangganya dalam memberitakan sikapnya terhadap beberapa masalah, seperti perbatasan, hak cipta, dan tenaga kerja. Ketika media di Indonesia meributkan reog Panorogo yang dijadikan ikon pariwisata Malaysia, secara relatif warga Malaysia tidak mengetahuinya. Sementara itu, televisi di sini (Indonesia) mencuatkan isu tersebut sehingga menimbulkan respons kemarahan yang meluas di kalangan khalayak. Tentu, pemberitaan semacam itu makin menimbun rasa jengkel masyarakat di sini terhadap negara tetangga.

Demikian pula ketika kasus Ceriyati, pembantu yang bergantungan di bangunan kondominium karena melarikan dari kekejaman majikannya, mencuat ke permukaan, media Malaysia justru menampilkan sikap keprihatinan pejabat terkait di sana dengan mengunjungi Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur. Di sini, media memublikasikan para pegiat LSM yang menyoroti ketidakbecusan negara tetangga melindungi warga negara Indonesia. Oleh karena itu, harus ada jalan lain untuk mengurai benang kusut semacam ini agar kedua belah pihak menemukan cara ungkap yang memberikan jalan keluar, bukan malah membuat kemarahan berkobar.

Hubungan Masyarakat

Kalau kita perhatikan di beberapa media, ada banyak ketidakpercayaan antara masyarakat dua negara. Jika ditelisik, banyak komentar di media Malaysia, seperti KOSMO! dan Metro, yang memuat rasa kesal warga setempat karena Kuala Lumpur seperti Jakarta saja. Malah tidak itu saja, pedagang kecil sering menyatakan kejengkelannya karena ternyata banyak warga negara Indonesia yang menjadi pedagang kaki lima. Belum lagi, perilaku para TKI yang berkelakuan seenaknya. Misalnya, bergerombol dengan pakaian ala rocker dan berambut panjang, ternyata, dipandang tidak elok oleh orang lokal, meskipun di Jakarta itu mungkin hal biasa.

Demikian pula, kita akan banyak menemukan komentar miring pembaca media di sini terhadap Malaysia dengan menyebutnya sebagai bangsa yang suka mengakui hasil kebudayaan Indonesia sebagai miliknya, seperti batik. Padahal, sebagaimana ditulis oleh Borhan Abu Samah (Utusan, 10/12/08), motif keduanya berbeda. Mungkin,Anda bisa membandingkan batik yang dipakai Abdullah Badawi dan SBY pada pertemuan di atas sehingga dengan sendirinya bisa dibedakan corak batik antara keduanya. Tentu, saya serta-merta bisa merasakannya karena saya sering mengamatinya dari dekat. Meski demikian, harus diakui pakaian resmi Malaysia itu diilhami oleh batik Indonesia.

Untuk itu, upaya menghilangkan duri yang menghalangi hubungan dua negara tidak hanya melibatkan pemimpin elite formal, tetapi juga masyarakat luas. Peran Eminent Persons Groups (EPG), kelompok di luar hubungan antara pemerintah, yang dipimpin Try Soetrisno (bekas wakil presiden) dan Musa Hitam (bekas wakil perdana menteri) tentu merupakan jalan keluar dari hubungan formal yang kadang terkendala birokrasi. Maka, kelompok yang digawangi oleh banyak pakar dan tokoh masyarakat itu diharapkan lebih menunjukkan taring dalam merapatkan hubungan masyarakat dua negara tersebut.

Untungnya, perguruan tinggi masing-masing negara juga telah memberikan sumbangan penting bagi upaya menghilangkan prasangka yang selalu menghantui hubungan dua kakak-beradik itu. Malah, Universitas Sains Malaysia, tempat saya belajar, akan menggelar kuliah umum bertajuk Hubungan Bangsa Dua Serumpun: Realiti Masa Kini dan Cabaran (baca: Tantangan) Masa Depan yang akan disampaikan oleh alumnusnya, Profesor Yusril Ihza Mahendra, pada 18 Desember 2008.

Mungkin, kabar putusan pengadilan Malaysia (27/11/08) terhadap Yim Pek Ha, majikan Nirmala Bonat, dengan hukuman 18 tahun karena melakukan tindakan kekerasan bisa menjadi penanda yang baik. Bagaimanapun, warga Indonesia telah mendapatkan keadilan dan itu akan menambah keyakinan kita bahwa warga Indonesia yang lain akan menerima perlakuan sama. Peristiwa tersebut sejatinya membuat warga dua negara makin bersemangat untuk memupuk rasa saling memercayai dalam mewujudkan hubungan yang tulus dan tidak lagi terperangkap sikap saling menafikan. Semoga. (*)

*Ahmad Sahidah, Kandidat Doktor Departemen Peradaban Filsafat dan Peradaban Universitas Sains Malaysia

Tuesday, November 04, 2008

Mengajak Masyarakat Memilih Pemimpin

Hari minggu yang lalu, saya bersama Dr Jamhir, Pak Sugeng dan Pak Supri menunaikan tugas sebagai panitia pemilu di Pulau Pinang berupa pemasyarakatan pesan agar masyarakat Indonesia yang ada di sana menyukseskan pemilihan umum 2009. Dalam acara sosialisasi ini, panitia menyelenggarakan lomba karaoke untuk memancing para TKI datang. Bertempat di sebuah aula di Kompleks Tun Abdul Razak (KOMTAR), acara ini berlangsung sangat meriah karena didatangi banyak warga Indonesia.

Sebelumnya, kami melakukan pengecekan data pemilih di kantor konsulat dan pada jam 1-an akhirnya kami berempat menuju tempat acara di atas. Sebagai bagian program Panitia Pemilu di Luar Negeri, acara ini menyisipkan banyak gambaran tentang pahlawan devisa, yang menemukan oase bisa bertemu dengan saudaranya dan mempunyai panggung untuk mengaktualisasikan dirinya dengan bernyanyi. Bisa ditebak, kebanyakan peserta lomba karaoke membawakan lagu dangdut, seperti SMS, Kucing Garong, Selamat Malam, Hari Berbangkit, dan Buta. Dua terakhir adalah lagu Rhoma Irama. Tingkah polah mereka kadang memantik tawa karena gaya dandanan, ekspresi cuek dan tentu kadang diikuti penari latar dadakan yang menambah sesak panggung. Gelegak mereka terasa dan tentu saja ini baik sebagai katup dari kebosanan dengan rutinitas pekerjaan dan berada di negeri orang. Terus terang, gaya mereka tidak cocok untuk acara sejenis yang dihelat oleh penduduk lokal.

Hal lain yang mungkin dicermati adalah berapa biaya yang harus dikeluarkan untuk menghelat acara sosialisasi ini? Tentu mahal. Untuk sewa gedung saja, panitia harus merogoh kocek sekitar RM 8000 (hampir Rp 20 jutaan). Namun atas nama demokrasi, kita telah berkorban untuk mengeluarkan biaya yang sangat besar. Negara telah menanggung beban baru untuk melahirkan pemimpin yang bisa mengurus negeri ini.

Saturday, August 23, 2008

Memberi Napas pada Demokrasi

Untuk pertama kalinya saya akan merayakan pesta demokrasi di luar negeri. Tidak hanya itu, saya juga terlibat dalam Panitia Pemilu Luar Negeri (PPLN) Perwakilan Indonesia di Konsulat Jenderal Republik Indonesia. Jauh hari sebelumnya saya telah diminta untuk membantu kepanitiaan ini.

Baru hari ini, kami berkumpul untuk membicarakan perhelatan lima tahunan ini di ruang musyawarah KJRI. Peserta yang terdiri dari unsur mahasiswa, dosen, staf KJRI dan masyarakat Indonesia merumuskan kerja beberapa bulan yang akan datang. Hal teknis berkaitan pengisian formulir yang disebut A LN sempat memunculkan perdebatan karena isian Nomor Paspor tidak boleh tidak harus diterakan, padahal ada sebagian warga Indonesia di Malaysia yang tidak berdokumen atau tidak memperpanjang paspor tetapi mempunyai kartu tanda penduduk Indonesia.

Pertemuan pertama ini tentu adalah awal yang baik karena kami telah memulai pembagian kerja tanpa harus disibukkan oleh belum turunnya kucuran dana dari Jakarta. Paling tidak, ini pembelajaran bagi kita bahwa bangsa kita masih selalu dalam keadaan 'darurat' sehingga memerlukan langkah-langkah terobosan dari kebuntuan ketidakcakapan anggota Komite Pemilihan Umum. Mahasiswa dan masyarakat berada dalam posisi ini.

Dengan berkumpul, kita akan menyelami watak dan gaya orang di ruang resmi dan tidak. Tambahan lagi, dari mereka, saya belajar bahwa kerjasama menuntut masing-masing individu mau bersuara dan mendengar. Ada banyak ide dan gagasan yang membuat kerja kepanitiaan lebih mudah dan terarah. Mengurai 45 ribu pemilih dalam program kerja adalah tidak mudah, tetapi kehendak melakukannya dengan hati dan pikiran akan membantu menyempurnakannya.

Di sela-sela rapat, saya keluar untuk ke toilet dan sempat terhenti karena dengan jelas melihat puluhan tenaga kerja wanita Indonesia yang tinggal di bagian belakang kantor konsulat sedang makan. Mereka adalah para pekerja yang 'terlempar' karena bermasalah dengan majikan. Pemandangan yang mendatangkan iba karena mereka harus terkurung di sana untuk menunggu cemas nasibnya. Saya rasa perwakilan kita di sana telah berbuat banyak untuk menjadi rumah bagi mereka yang sedang berjuang hidup mati di negeri yang jauh dari tempat kelahirannya. Malah, ada seorang perempuan dengan bayinya di tengah kerumuman kawan senasib.

Lalu, apa makna demokrasi bagi kerja kepanitiaan dan pemandangan di atas?

Tuesday, July 22, 2008

Membuka diri bagi Kemungkinan

Dalam dua hari ini, saya mengikuti dua pertemuan penting, pertama menghadiri acara Pusat Informasi dan Pelayanan Partai Keadilan Sejahtera (PIP PKS) Malaysia di Sungai Dua, dekat kampus, dan silaturahmi dengan Dai Bachtiar, Duta Besar Indonesia untuk Malaysia di Konsulat Jenderal RI Pulau Pinang.

Saya tegaskan dalam sesi tanya jawab bahwa saya bukan anggota dan kader PKS, tapi menaruh simpati dengan partai dakwah ini. Bagi saya, politik itu sederhana, yaitu siapa mendapatkan apa dan kapan. Jila, PKS kemudian menyodorkan ide ingin melayani tentu merupakan terobosan baru yang perlu disambut baik oleh komponen masyarakat yang lain. Apalagi, dengan tegas bahwa partai yang banyak digerakkan oleh bekas aktivis mahasiswa Islam kampus ingin mengubah keadaan bersama yang lain.

Sementara, semalam saya mencatat beberapa hal penting dengan komitmen duta besar baru untuk berpegang pada prinsip peduli dan berpihak. Dua kata yang cukup mewakili apa yang bisa dilakukan dengan prinsip ini, yaitu melayani masyarakat Indonesia yang tinggal di negara jiran ini. Tentu adalah sangat menyenangkan jika pelayanan yang akan diberikan pada warga negara yang bermastautin berkaitan dengan administasi selesai dalam satu hari, atau apa yang dia sebut dengan one day service.

Dalam kesempatan ini, masyarakat Indonesia bisa mengenal lebih dekat apa yang diinginkan oleh duta besar baru ini mengingat begitu banyak masalah yang acapkali timbul antara dua negara serumpun ini. Jika kemudian ada pertanyaan dari mahasiswa bahwa kualitas hubungan antara keduanya tidak setara karena Indonesia tampak tidak berdaya berhadapan dengan mitranya adalah wajar. Misalnya, bagaimana Malaysia tidak bersedia menandatangani perjanjian mandatory consular notification yang berisi permintaan terhadap pemerintah Malaysia agar menginformasikan warga negara Indonesia yang mempunyai masalah hukum pada perwakilan Indonesia.

Secara umum, Dai Bachtiar secara lugas telah menjabarkan apa yang ingin dilakukan dalam waktu dekat, seperti mewujudkan hotline, tempat pengaduan masyarakat Indonesia serta menyediakan data base bagi hal ihwal keberadaan warga RI di Malaysia. Angka yang disampaikan mantan Kapolri ini bahwa dari 1700 tahanan di penjara Kajang terdapat 1300 warga negara Indonesia adalah mengejutkan. Jelas kenyataan ini memprihantinkan dan sekaligus persoalan ini akan menjadi data penting bagi para pembuat kebijakan dan komponen masyarakat lain yang peduli untuk memberikan perhatian dan pelayanan terhadap mereka.

Sunday, February 25, 2007

Debat lewat Milis

Ada adagium dalam ilmu filsafat bahwa pengetahuan itu lahir dari pertanyaan. Berangkat dari asumsi ini saya bertanya:

Saya tidak tahu, sejak kapan ada Lembaga Kajian Pasca Sarjana (Institute of Post Graduate Studies) di Universiti Sains Malaysia? Mungkin, ketika Yusril sekolah di USM, beliau menyelesaikan doktornya di jurusan ini? Padahal kalau ditilik kata postgraduate merujuk kepada jenjang pendidikan, bukan sebuah disiplin atau kajian, apatah lagi jurusan. Uniknya lagi, label sebagai pakar hukum tata negara, tapi lulusan Institute of Post Graduate Studies? Tak pelak, kita tidak perlu menjadi ahli sesuai dengan jurusan yang kita ambil?

Jadi, saya tidak sedang membuat pernyataan. Jelas, tidak ada sepotong kalimatpun yang menyatakan bahwa sang wartawan telah melakukan kesalahan (sebagaimana kesimpulan Pak Syukri) dan apalagi menggugat keabsahan gelar Doktor Pak Yusril (sebagaimana kekhawatiran Mas Faiqun).

Saya juga menyadari sepenuhnya, tulisan yang bercorak features itu dibuat dalam keadaan ‘deadline’ jadi agak susah untuk melakukan apa yang disebut dengan investigative reporting atau jurnalisme sastrawi dalam bahasa Mas Andreas Harsono (lihat majalah Pantau dalam http://www.pantau.or.id/). Dian, sahabat wartawan saya, menyatakan bahwa itu bukan kesalahan fatal.

Hakikatnya, saya sedang menanyakan istilah-istilah kunci yang digunakan di dalam sebuah paragraf yang menimbulkan pertanyaan hermeneutis. Jika, teman-teman milis bersedia menjawab, maka sebenarnya kita sedang melakukan sebuah dialog falsafah.

Persoalanya, kadang kita tidak bisa dilepaskan dari horizon of expectation, di mana masing-masing individu melesakkan ‘harapan’nya sendiri akan makna sebuah teks, sehingga teks (dalam hal ini pertanyaan yang saya ajukan) menjadi ‘liar’. Tapi, saya mafhum karena bahasa itu adalah penyederhanaan dari realitas yang rumit.

Lebih jauh, saya akan mencoba untuk melihat ihwal yang dipersoalan, yaitu IPS atawa Institut Pengajian Siswazah sebagai jawatan yang mengurus administrasi kemasukan (enrollment). Sementara mahasiswa belajar di masing-masing pusat pengajian (School) atau fakulti (Faculty). Jadi, menurut saya, kita tidak belajar di IPS, melainkan di masing-masing jurusan yang berada di bawah pusat pengajian dan fakulti. Menurut salah seorang profesor, Yusril dulu belajar ilmu politik di Pusat Pengajian Ilmu Kemasyarakatan. Tambahnya lagi, dia pintar.

Coba bandingkan jika kalimat beritanya ditulis dengan uraian sebagai berikut: Yusril yang lulusan (atau alumnus, jadi bukan alumni, seperti dikatakan oleh Pak Syukri, sebab yang terakhir ini adalah jamak) PhD dari Ilmu Sosial Kemasyarakatan Universiti Sains Malaysia, menurut saya, adalah informasi yang lebih tegas (dalam bahasa ilmu komunikasi disebut straightforward information).

Sebenarnya, saya menggulirkan wacana ini untuk membandingkan bagaimana mahasiswa USM dan luar USM di Malaysia melihat persoalan di atas secara objektif. Sampai hari ini, pelajar USM tidak ada yang menegaskan sikap. Sementara Ismail S Wekke dari UKM, menyatakan bahwa meskipun beliau ‘dekat’ dengan Bang Yusril, kalau beliau salah ia akan tidak mendukungnya (kalimat dari saya sendiri).

Jika diakhir kalimat saya menyatakan siapakah yang akan menjadi pecundang dan pemenang? Ini adalah pertanyaan perangsang agar teman-teman tergerak memberikan pendapat. Ternyata memang kedua-duanya dimenangkan oleh SBY. Semua bisa tersenyum, meskipun sempat saling ledek. Yusril bilang pada Ruki, “Lu, stroke?” dan yang terakhir menimpali, “Mau adu panco”. Nah, mengenai ledekan ini, terserah teman-teman mau menafsirkan makna di sebalik kata verbal.

Sebelum saya mengakhiri tulisan singkat ini, saya mengutip kata-kata Eric Berne, “Seorang pecundang tak tahu apa yang akan dilakukannya bila kalah, tetapi sesumbar apa yang akan dilakukannya bila menang. Sedangkan, pemenang tidak berbicara apa yang akan dilakukannya bila ia menang, tetapi tahu apa yang akan dilakukannya bila kalah.“

Thursday, February 22, 2007

Isu Politik selalu menarik, Mengapa?

Iseng-iseng saya memancing respons teman-teman Universiti Sains Malaysia tempat sekolah Yusril dahulu kala.

Inilah petikannya:
Kalau Anda membaca halaman utama Jawa Pos hari ini (baca: kamis, 22/2/07) mengenai "Yusril dekati Kalla", Anda akan menemukan paragraf pertama sebagai berikut:

JAKARTA - Sadar posisinya di kabinet sedang kritis, Menteri Sekretaris Negara Yusril Ihza Mahendra melakukan berbagai upaya. Salah satunya, kemarin, pakar hukum tata negara lulusan Institute of Post Graduate Studies, Universiti Sains Malaysia, itu melobi Wakil Presiden Jusuf Kalla.

Saya tidak tahu, sejak kapan ada Lembaga Kajian Pasca Sarjana (Post Graduate Studies) di Universiti Sains Malaysia? Mungkin, ketika Yusril sekolah di USM, beliau menyelesaikan doktornya di jurusan ini? Padahal kalau ditilik kata postgraduate merujuk kepada jenjang pendidikan, bukan sebuah disiplin atau kajian, apatah lagi jurusan. Uniknya lagi, label sebagai pakar hukum tata negara, tapi lulusan Institute of Post Graduate Studies? Tak pelak, kita tidak perlu menjadi ahli sesuai dengan jurusan yang kita ambil?

Terlepas dari ini, mungkin kita perlu mencermati siapa yang akan menjadi pecundang dalam pertarungan dua gajah ini: Taufikurrahman Ruki dari KPK atau Yusril Ihza Mahendra dari Mensetneg? Mungkin, sampul Gatra edisi baru telah menerjemahkan dengan baik perkelahian dua pejabat tinggi ini, Ruki menggunakan tameng bergambar Presiden dan Yusril menggengam 'partainya' Bintang Bulang (sebelumnya Bulan Bintang? Maklum tak lolos electoral threshold).

Kira-kira teman-teman Universiti Sains Malaysia mendukung abang kita nggak ya? Nah, saya sendiri masih tepekur sambil mendengarkan lagu dari Take That yang melankolik dari radio Light and Easy FM?

Ahmad Sahidah
Mahasiswa USM

Friday, June 09, 2006

Dominasi Jawa


Sebuah catatan tentang Perdebatan di PPI Malaysia

Kalau kita mau secara jernih membaca kritik tajam Syahputra, maka harus diakui bahwa tulisan tersebut dibuat dengan sungguh-sungguh dan kepiawaan yang cukup untuk melakukan ‘pemiskinan’ nasionalisme karena menyoal ‘penjajahan’ Jawa terhadap etnik lain, seperti Minang dan Banjar. Bukankah Soeharto telah mempraktikkan ‘cara’ jawa untuk memimpin Indonesia? Tidak hanya dari artikulasi ide, seperti ‘ora pateken’ (ketika dia mengomentari lawan-lawan politiknya untuk mengundurkan diri), ‘mikul dhuwur mindem jero’, dan lain-lain, tetapi juga upaya penyeragamaan ‘struktur’ pemerintahan dengan mengabaikan tradisi lokal.

Tapi, sayang, kebanyakan anggota milis justeru secara emosional menanggapi substansi masalah yang diajukan tokoh yang bermukim di Swedia ini. Kita telah kehilangan nalar kritis untuk menanyakan 1. Kenapa tiba-tiba muncul masalah ini dimilis 2. Latar belakang pengarang 3. Konteks karangan dan hubungan dialektika antara pengarang dengan PPI, Keindonesiaan dan Kemanusiaan. Oleh karena itu, pertanyaan Mas Hadi agar tokoh anti-Jawa ini memperkenalkan diri adalah usulan yang cemerlang sehingga dari forum ini lahir sebuah dialog yang cerdas tentang hakikat keindonesiaan kita.

Kehadiran tiba-tiba isu ini ke dalam milis boleh jadi melahirkan dugaan yang tidak semestinya jika dikaitkan dengan masalah yang mendera PPI kali ini. Bahkan, ketidaktahuan kita akan identitas pengarang makin mengaburkan kita melihat esensi kritik yang perlu direnungkan lebih dalam dan dipahami secara arif. Celakanya, kita terbawa ‘gaya’ langsung-tembak (straightforward) Syahputra dalam menanggapi masalah. Dan terakhir, konteks karangan ini perlu dihadirkan untuk melengkapi ‘gugatan’ penulis terhadap dominasi Jawa (data lengkap telah ditulis) dalam dunia politik dan militer.

Mungkin, pengungkapan kritik Syahputra menjadi kontra-produktif karena melakukan generalisasi bahwa orang Jawa itu ‘monster’. Coba lihat dengan jernih salah satu tokoh kita ini. Pramodya Ananta Toer, penulis calon Hadiah Nobel, dengan lantang mengkritik feodalisme Jawa karena menghambat kemajuan. Meskipun lahir sebagai orang Jawa (Blora), dia tidak menunjukkan fanatisme terhadap tanah kelahirannya karena beliau mengabdikan pada sebuah nation-state yang bernama Indonesia. Tetapi, apakah ia dihujat banyak orang karena pemikirannya melampaui primordialisme kedaerahan? Tidak. Sebab, sudut pandang keindonesiaannya memungkinkan adanya kritik internal terhadap praktik-praktik yang menghalangi terwujudnya kesetaraan.

Mengacu pada kontrak sosial J.J. Rosseau, setiap warga Indonesia mengandaikan sebuah komunitas yang menjamin keragaman sebagai sebuah keniscayaan. Tapi, sayangnya, ‘kebersamaan’ ini riskan retak. Sebab, seperti Ben Anderson tegaskan, komunitas kita adalah masih dalam ‘tingkat’ bayangan bukan kenyataan. (Baca: Imagined Communities yang ditulis Indonesianis ini). Hal ini dikarenakan keragamaan bangsa kita seperti bentangan dari Tehran sampai Inggeris, betapa majemuknya.

Namun demikian, anasir separatisme gagasan yang menghinggapi sebagian warga Indonesia di Luar negeri tidak perlu dilihat sebagai ‘ancaman’, tetapi sebagai kritik sangat tajam agar kita belajar untuk memberikan kesempatan yang ‘adil’ terhadap pelbagai kelompok di tanah air. Akhiri monopoli kekuasaan pada satu etnik!

Oleh karena itu, moderator tidak perlu gegabah untuk mengeluarkan keanggotaan Syahputra, tetapi meminta beliau untuk ‘mengemas’ kritiknya dalam bingkai ‘yang lebih santun’ dan ‘menghargai’ perbedaan.

Akhirnya, adalah terbuka lebar bagi teman-teman untuk menilai kembali ‘pokok’ pikiran yang telah dituangkan dalam milis ini dari saudara kita sendiri yang sedang berada di negeri Swedia. Tentu saja, saya sendiri masih menunggu ide bernas lain dari beliau.

Mungkin, teman kita yang anti-Jawa ini perlu mengenal lebih dalam tentang keragaman Jawadwipa ini. Misalnya, buku Geertz yang membahas the Religion of Java bisa dijadikan acuan untuk tidak 'pukul rata' memvonis manusia yang ada di dalamnya.

Sapere Aude! [Berani berpikir mandiri]

Ahmad Sahidah
Madura-Jawa
Pelajar USM

Pemurnian

Jati diri seringkali dikaitkan dengan darah keturunan. Padahal, secara genetik, kita mungkin tak sepenuhnya berasal dari satu ras. Namun, po...