PISSN : 2615-2207
Agrosainstek, 6 (1) 2022: 12-22
EISSN : 2579-843X
AGROSAINSTEK
Jurnal Ilmu dan Teknologi Pertanian
Website jurnal : http://agrosainstek.ubb.ac.id
Research Article
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan
Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
Evaluation of 36 Genotypes Upland Rice On Biotic And Abiotic
Stress In Six Different Locations
Yashanti Berlinda Paradisa1*, Sri Indrayani1, Heru Wibowo2, Ambar Yuswi Perdani1,
Dody Priadi3, Puspita Deswina3, Eko Binnaryo Mei Adi3, Enung Sri Mulyaningsih1,
Yuli Sulistyowati1, Yuliana Galih Dyan Anggraheni1, Fiqolbi Nuro4
1 Pusat
Riset Rekayasa Genetika, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, Jl. Raya Jakarta-Bogor
Km.46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat 16911
2 Direktorat pengelolaan koleksi ilmiah, BRIN, Kampus Geodiversitas, Karangsambung. Jalan Raya
Kebumen- Krsambung KM19. Jawa Tengah
3 Pusat Riset Hortikultura dan Perkebunan, Organisasi Riset Pertanian dan Pangan, BRIN, Jl. Raya JakartaBogor Km.46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat 16911
4 Pusat Riset Mikrobiologi Terapan, Organisasi Riset Hayati dan Lingkungan, BRIN, Jl. Raya Jakarta-Bogor
Km.46, Cibinong, Bogor, Jawa Barat 16911
Received: May 17, 2021 /Received in revised : February 8, 2022/ Accepted: June 28, 2022
ABSTRACT
Biotic and abiotic stress during cultivation is one of the challenges in increasing upland rice production.
Stress can be mild to severe, potentially reducing yield. Knowing the ability of plants to adapt to stressful
environments from the start is essential information in the assembly of new high-yielding varieties. This
study aims to determine stress in 36 upland rice lines and the adaptability of several upland rice lines to
environmental stress. The genetic material used was 36 upland rice lines and two comparison varieties with
four replications. The line is planted in Lampung, DI. Yogyakarta and East Java, two locations each. That area
has different soil types and elevations. Data were analyzed descriptively and tabulated. In addition, the
average scoring of biotic and abiotic stress for each location was calculated. The results showed that biotic
stresses found in the plantations were Leaf Blast, Neck Blast, Bacterial Leaf Blight, Brown Spot, Red Striped,
Rats, Birds, Rice Leaf Roller, and Stem Borer. Meanwhile, the abiotic stresses found were drought and salinity.
From 36 tested lines, it showed that G26 was resistant to biotic stress caused by pests and diseases, G29 was
drought-tolerant, and G6 was salinity tolerant.
Keywords: aluminum, disease, drought, pests, salinity, upland rice
ABSTRAK
Cekaman biotik dan abiotik selama budidaya merupakan salah satu tantangan dalam peningkatan produksi
padi gogo. Cekaman dapat berskala ringan hingga berat sehingga berpotensi menurunkan hasil. Mengetahui
kemampuan tanaman dalam beradaptasi dengan lingkungan tercekam sejak dini merupakan informasi
penting dalam perakitan varietas unggul baru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis cekaman yang
muncul pada 36 galur padi gogo serta mengetahui kemampuan adaptasi galur tersebut dalam menghadapi
*Korespondensi Penulis.
E-mail : yb.paradisa@gmail.com
DOI: https://doi.org/10.33019/agrosainstek.v6i1.286
Paradisa et al.
cekaman lingkungan. Bahan genetik yang digunakan adalah 36 galur padi gogo hasil persilangan dan 2
varietas pembanding yang ditanam sebanyak 4 ulangan. Galur ditanam pada 2 lokasi per daerah dari Propinsi
Lampung, DI. Yogyakarta, dan Jawa Timur dimana memiliki jenis tanah dan ketinggian yang bervariasi. Data
yang diperoleh dilakukan analisis secara deskriptif dan dilakukan tabulasi serta dihitung rata-rata skoring
cekaman biotik dan abiotik yang terjadi pada setiap lokasi. Berdasarkan hasil pengamatan, cekaman biotik
yang ditemukan pada pertanaman adalah Blas Daun, Blas Leher, Hawar Daun Bakteri, Bercak Coklat, Hawar
Daun Jingga, Tikus, Burung, Hama Putih Palsu, dan Penggerek Batang. Sedangkan Cekaman abiotik yang
ditemukan adalah kekeringan dan salinitas. Selain itu, diketahui bahwa G26 tahan terhadap cekaman biotik
baik yang disebabkan hama maupun peyakit, galur G29 toleran kekeringan dan galur G6 toleran salinitas.
Kata kunci: aluminium, hama, kekeringan, padi gogo, penyakit, salinitas.
1. Pendahuluan
Salah satu upaya peningkatan produksi beras
untuk memenuhi kebutuhan pangan adalah
dengan penanaman padi gogo. Padi gogo umumnya
digunakan dalam pengembangan lahan kering dan
lahan-lahan marginal (Supriyanto 2013). Selain itu,
alih fungsi lahan sawah mendorong pemerintah
untuk memanfaatkan lahan sub optimal sebaik
mungkin. Lahan kering termasuk ke dalam
kelompok lahan sub optimal banyak dijumpai di
Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Irian. Secara
khusus lahan kering beriklim kering dijumpai di
wilayah NTB, NTT, Sulawesi Selatan, Sulawesi
Tengah, Sulawesi Utara, dan Kepulauan Maluku
(Lubis et al. 2007). Saat ini, luas total lahan kering
di Indonesia mencapai 144,5 juta ha dan 99,6 juta
ha berpotensi digunakan sebagai lahan pertanian.
Namun yang sudah dimanfaatkan untuk budidaya
tanaman pangan maupun tanaman tahunan/
perkebunan, serta kegiatan lainnya seluas 74,8 juta
ha, sehingga sisanya sekitar 24,8 juta ha
merupakan lahan potensial tersedia (Mulyani et al.
2017).
Upaya pemanfaatan lahan marginal kering
untuk budidaya padi gogo secara optimal menjadi
tumpuan dalam memenuhi kebutuhan bahan
pangan, terutama beras (Idwar et al. 2019). Selain
itu, pembukaan lahan baru untuk budidaya padi
gogo relatif lebih murah dan lebih mudah
dibandingkan dengan pencetakan lahan sawah
(Mulyani et al. 2017). Pada tahun 2005-2013, laju
pertumbuhan produksi padi sawah cenderung
menurun sedangkan produksi padi gogo
cenderung
meningkat.
Hal
tersebut
mengindikasikan bahwa kedepannya produksi
padi gogo lebih potensial untuk ditingkatkan
dibandingkan padi sawah (Irawan 2015). Namun
dalam usaha pengembangan budidaya padi di
lahan kering menghadapi tantangan persaingan
dengan komoditas lain seperti ubi kayu, jagung,
dan tanaman industri. Oleh karena itu,
produktivitas padi gogo harus ditingkatkan dengan
pengunaan varietas unggul baru (VUB) sehingga
dapat meningkatkan daya saing (Hafif 2016).
13
Selain itu, permasalahan yang dihadapi dalam
pemanfaatan VUB adalah cekaman biotik dan
abiotik. Cekaman biotik dapat berupa serangga
hama, penyakit, dan nematoda parasit tanaman.
Sedangkan cekaman abiotik dapat berupa
kekeringan, keracunan Fe, keracunan Al, naungan,
suhu rendah, dan salinitas (Sitaresmi et al. 2015).
Sehingga usaha peningkatan produksi padi gogo
perlu dilakukan dengan menggunakan VUB yang
tahan terhadap cekaman tersebut. Sifat-sifat
penting dalam perakitan VUB padi untuk lahan
kering antara lain hasil tinggi, toleran terhadap
cekaman kekeringan, keracunan alumunium, tahan
terhadap penyakit blas dan memiliki mutu beras
yang baik (Hairmansis et al. 2015).
VUB merupakan teknologi yang sangat
berperan dalam peningkatan produktivitas padi
gogo. VUB diperoleh dengan memanfaatkan
berbagai sumber keragaman genetik yang berasal
dari kultivar lokal maupun varietas unggul
nasional sebagai tetua persilangan (Mulyaningsih
et al. 2016). Peningkatan produksi dengan
penggunaan VUB dapat mencapai 56% (Juanda
2016). Laboratorium Agronomi Puslit Bioteknologi
LIPI, memiliki galur-galur potensial padi gogo
toleran Al. Galur-galur padi gogo ini telah melewati
uji lapang di lahan masam Lampung Timur
Indonesia dimana galur tersebut sangat potensial
untuk
dikembangkan
guna
meningkatkan
ketersediaan varietas unggul. Melalui Program
Prioritas Nasional Pangan 2018 galur-galur
tersebut dilakukan uji multi lokasi. Penggunaan
VUB tahan cekaman juga berkontribusi terhadap
penurunan penggunaan pestisida.
Inventarisasi terhadap cekaman biotik dan
abiotik merupakan suatu langkah awal yang harus
dilakukan sebelum melakukan upaya pengendalian
organisme pengganggu tanaman (OPT) serta
sebelum adanya cekaman seperti kekeringan,
salinitas, dan keracunan aluminium menghambat
pertumbuhan tanaman. Hal ini bertujuan agar
tindakan pencegahan dan pengendalian yang akan
dilakukan menjadi lebih tepat, efektif dan efisien.
Selain itu, inventarisasi bermanfaat untuk
pencegahan, pengendalian, pemberantasan, dan
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
penanggulangan (Pratiwi et al. 2017). Pencegahan
dilakukan untuk meminimalkan munculnya OPT.
Tindakan
pengendalian
dilakukan
untuk
membatasi perkembangan OPT. Sedangkan
tindakan
pemberantasan
dilakukan
untuk
memusnahkan OPT sehingga tidak menular pada
tanaman yang sehat serta penanggulangan pasca
pengendalian OPT.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui jenis
cekaman yang menyerang pada galur hasil
persilangan sehingga dapat dijadikan dasar untuk
pengelolaan cekaman yang akan mempengaruhi
produktivitas hasil. Selain itu, penelitian juga
bertujuan untuk mengetahui kemampuan adaptasi
beberapa galur padi gogo terhadap cekaman
lingkungan. Sehingga dapat dilakukan tindakan
pencegahan yang tepat sasaran untuk mencegah
timbulnya kerugian yang semakin besar pada saat
galur tersebut ditanam kedepannya.
2. Bahan dan Metode
Pengujian dilakukan pada beberapa lokasi di
Indonesia dengan jenis tanah dan ketinggian yang
bervariasi (Tabel 1). Penanaman dilakukan pada
bulan Januari-Juli 2018. Bahan genetik yang
digunakan terdiri atas 36 galur harapan padi gogo
dan 2 varietas pembanding (Tabel 2) ditanam
sebanyak 4 ulangan. 36 galur tersebut merupakan
koleksi dari Laboratorium Agronomi untuk
Evaluasi Produk Bioteknologi, Pusat Penelitian
Bioteknologi, LIPI.
Setiap genotipe ditanam sebanyak 2-5 butir per
lubang tanam secara tugal pada petakan 4x5 m
dengan jarak tanam 15x30 cm. Pemupukan
dilakukan dengan menggunakan 300 kg NPK
(Phonska) dan 100 kg Urea / ha melalui 3 tahapan
pemberian pupuk. Pemberian pupuk 200 kg
dilakukan 10 HST, 100 kg NPK/ha pada 35 HSTdan
100 kg Urea/ha pada primordia berbunga.
Pengendalian hama dan penyakit dilakukan
dengan menggunakan prinsip Pengendalian Hama
Terpadu.
Pengamatan dilakukan terhadap keberadaan
faktor cekaman yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman seperti faktor biotik dan abiotik yang
muncul selama kegiatan budidaya. Inventarisasi
faktor biotik seperti serangan hama dan penyakit
serta faktor abiotik seperti salinitas, kekeringan,
dan cekaman aluminium dilakukan dengan cara
skoring berdasarkan International Rice Standard
Evaluation System ([IRRI] International Rice
Research Institue 2013). Bagian tanaman yang
diamati meliputi gejala pada batang dan daun pada
setiap petakan perlokasi. Data yang diperoleh
dilakukan analisis secara deskriptif dan dilakukan
tabulasi serta dihitung rata-rata skoring cekaman
biotik dan abiotik yang terjadi pada setiap lokasi.
Tabel 1. Lokasi Penanaman
No
1
2
3
4
5
6
Desa
Sukadana
Taman Bogo
Karang Wuni
Karang Rejek
Muneng
Curungrejo
Lokasi Penanaman
Kecamatan
Kabupaten
Sukadana
Lampung Timur
Purbolinggo
Lampung Timur
Wates
Kulon Progo
Wonosari
Gunung Kidul
Sumber Asih
Probolinggo
Kepanjen
Malang
Propinsi
Lampung
Lampung
DI. Yogyakarta
DI. Yogyakarta
Jawa Timur
Jawa Timur
Jenis Tanah
Ketinggian
PMK (Ultisol)
PMK (Ultisol)
Entisol
Mediterania
Gromusol
Gromusol
30 m dpl
30 m dpl
12 m dpl
156 m dpl
10 m dpl
350 m dpl
Tabel 2. Identitas Genotipe yang digunakan pada percobaan
Kode
Persilangan
1
2
3
4
5
Pembanding
Jumlah
Galur
Nomor Galur
6
18,19,20,21,22,23
16
5,6,7,17,25,26,27,28,29,30,31,
32,33,34,35,36
Hasil tinggi x Moderat Al
3
14,15,16
Moderat Al x Toleran Al
7
8,9,10,11,12,13,24
Hasil tinggi x Moderat Al
4
1,2,3,4
1
1
37
38
Tetua
Keunggulan Tetua
Danau gaung x Situ
Patenggang
Situ Patenggang x
B11930F-TB2
B11492F-TB-12 x
B1178G-TB-29
Inpago 8 x
B11930F-TB-2
TB368B-TB-25-MR2 x B11178G-TB-29
Situ Patenggang
Inpago-9
Moderat Al x hasil tinggi,
aromatik
Hasil tinggi, aromatik x
Toleran Al
14
Paradisa et al.
3. Hasil
Cekaman biotik pada pertanaman padi gogo
berupa serangan penyakit dan hama (Tabel 3).
Berdasarkan gejala yang muncul, penyakit yang
dominan ditemukan pada pertanaman adalah blas
daun (leaf blast), blas leher (neck blast), hawar
daun bakteri (HDB/Kresek), bercak coklat, dan
hawar daun jingga (HDJ). Hama yang ditemukan
dan menyerang pada lokasi penanaman adalah
tikus, burung, hama putih palsu, dan penggerek
batang. Cekaman abiotik yang ditemukan pada
beberapa lokasi penanaman adalah kekeringan
dan salinitas (Tabel 6). Sebaran adaptasi galur
yang diuji pada cekaman biotik dan abiotik dari
seluruh lokasi uji dapat dilihat pada tabel 7.
Beberapa gejala tanaman yang mengalami
cekaman dapat dilihat pada gambar 1.
Tabel 3. Jumlah genotipe yang terserang penyakit dan hama pada beberapa lokasi
Lokasi
Sukadana
Taman Bogo
Karang Wuni
Karang Rejek
Muneng
Curungrejo
BD
3
14
16
0
38
5
Penyakit
HDB
BC
0
0
0
0
0
0
0
38
38
38
35
0
BL
17
10
0
0
0
3
HDJ
0
0
0
0
38
0
Tikus
0
0
0
0
0
21
Hama
Burung HPP
0
0
0
0
0
0
0
0
0
38
22
0
PB
0
0
0
37
38
0
Keterangan : BD = blast daun, BL = Blas Leher, HDB=Hawar Daun Bakteri,BC= Bercak Coklat, HDJ = Hawar Daun
Jingga, HPP= Hama Putih Palsu, PB= Penggerek Batang
Tabel 4. Kandungan tanah dari setiap lokasi penanaman
No
Lokasi
pH
(H2O)
C-org
(%)
N-total
(%)
1
2
3
4
5
6
Sukadana
Taman Bogo
Karang wuni
Karang Rejek
Muneng
Curungrejo
6.34
6.38
6.61
6.48
6.16
6.18
6.1
4.81
4.82
4.82
4.29
5.62
0.53
0.45
0.44
0.48
0.42
0.5
KTK
cmol(+)/k
g
19.55
10.42
8.47
6.41
6.43
6.76
KB
(%)
KA
(%)
98.21
90.595
98.819
98.284
98.445
98.373
0.665
6.7179
0
0
0
0
ST
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
sedang
Keterangan : KB = Kejenuhan basa, KA = Kejenuhan Al, dan ST = Status Kesuburan Tanah. Data diperoleh dengan
mengirimkan sampel tanah dari setiap lokasi ke Laboratorium ekologi tumbuhan (Pusat Penelitian
Biologi, LIPI)
Tabel 5. Data curah hujan dan jumlah hari hujan dalam 1 bulan dari setiap lokasi penanaman.
No
1
2
3
4
5
6
Lokasi
Sukadana
Taman Bogo
Karang Wuni
Karang Rejek
Muneng
Curungrejo
Stasiun Klimatologi
Sukadana
Taman Bogo
Bpp. Kulwaru
Bpp. Wonosari
Muneng
Kepanjen Cd
Curah Hujan dalam mm
Bulan ke I
II
III
IV
V
182 219 296 516 426
187 332 384 587 312
512 296 314
28
2
281 175
8
1
0
212 172
89
54
32
326
60
59
2
23
I
11
14
28
17
21
19
Jumlah Hari Hujan
Bulan ke II
III IV
V
11 10 21
18
18 13 24
21
25 20 14
2
17
2
1
0
16 12
6
4
6
5
1
1
Keterangan : Data berdasarkan data yang diberikan oleh Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika melalui
Stasiun Klimatologi Lampung, Stasiun Klimatologi Kelas IV Mlati Yogyakarta, dan Stasiun
Klimatologi Karangploso Malang.
15
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
Tabel 6. Jumlah genotipe yang mengalami cekaman abiotik
Lokasi
Sukadana
Taman Bogo
Karang Wuni
Karang Rejek
Muneng
Curungrejo
Kekeringan
38
38
38
0
0
0
Salinitas
0
0
38
0
0
0
Tabel 7. Sebaran skoring genotipe yang mengalami cekaman biotik dan Abiotik
Genotipe
G1
G2
G3
G4
G5
G6
G7
G8
G9
G10
G11
G12
G13
G14
G15
G16
G17
G18
G19
G20
G21
G22
G23
G24
G25
G26
G27
G28
G29
G30
G31
G32
G33
G34
G35
G36
Situ
Patenggang
Inpago 9
Biotik
HDJ Tikus
1
9
1
7
1
7
1
7
1
3
1
7
1
7
1
9
1
9
1
7
1
7
1
5
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
3
1
0
1
0
1
0
1
0
1
0
1
1
1
1
1
0
1
1
1
1
1
1
1
1
1
0
1
0
1
0
1
0
BD
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
5
BL
1
1
1
0
1
1
1
0
0
0
0
1
0
0
0
1
1
1
1
1
0
0
0
1
0
0
1
1
0
0
0
0
1
3
7
7
HDB
1
1
1
3
1
3
3
3
1
3
3
3
1
3
1
3
1
1
1
1
3
3
1
1
3
1
1
1
3
1
1
1
1
1
1
1
BC
5
5
5
5
5
5
5
5
3
5
5
3
5
5
3
5
5
3
3
3
5
5
3
3
5
3
5
5
5
5
3
5
5
3
3
5
1
0
1
3
1
1
1
3
3
1
Abiotik
Kekeringan
Salinitas
3
5
3
5
3
3
3
3
3
5
3
1
3
5
3
5
3
3
3
3
3
3
3
3
3
7
3
7
3
7
3
7
3
5
3
7
3
5
3
7
3
5
3
5
3
7
3
5
3
7
3
7
3
7
3
7
1
3
3
7
3
5
3
5
3
7
3
7
3
7
3
7
Burung
1
1
0
0
3
3
3
3
3
3
1
1
1
1
3
3
1
1
3
3
1
1
3
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
HPP
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
1
3
3
1
1
1
1
1
PB
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
1
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
3
0
1
3
3
5
3
0
1
3
3
5
Keterangan : BD = blast daun, BL = Blas Leher, HDB=Hawar Daun Bakteri,BD= Bercak Coklat, HDW = Hawar Daun
Jingga, HPP= Hama Putih Palsu, PB= Penggerek Batang
16
Paradisa et al.
Gambar
1.
Penampakan tanaman yang
mengalami cekaman akibat
serangan penyakit blas (A),
Hama Putih Palsu (B), dan
cekaman kekeringan (C).
4. Pembahasan
Cekaman merupakan suatu kondisi dimana
perubahan lingkungan mungkin dapat menekan
pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Cekaman
dapat
menyebabkan
defisiensi
pertumbuhan, hasil panen, kerusakan permanen
atau kematian jika stres melebihi batas toleransi
tanaman (Mosa et al. 2017). Cekaman dapat
dikategorikan menjadi 2 yakni cekaman biotik dan
abiotik. Cekaman biotik merupakan cekaman
akibat organisme lain yang berbagi lingkungan dan
berinteraksi dengan tanaman seperti jamur,
bakteri, oomycetes, nematoda dan herbivora.
Faktor cekaman abiotik meliputi berbagai faktor
lingkungan yang mempengaruhi pertumbuhan
tanaman seperti radiasi, salinitas, banjir,
kekeringan, suhu ekstrem, logam berat (Mosa et al.,
2017; Sardhara & Mehta, 2018).
Cekaman Biotik pada Pertanaman Padi Gogo
Faktor biotik yang ditemukan pada pertanaman
di beberapa lokasi pengujian berupa hama dan
penyakit pada pertanaman padi. Berdasarkan
gejala yang muncul, penyakit yang dominan
ditemukan pada pertanaman adalah blas daun,
blas leher, hawar daun bakteri, bercak coklat, dan
hawar daun. Penyakit blas disebabkan oleh jamur
Pyricularia grisea (Cooke) Sacc. merupakan
penyakit utama pada pertanaman padi gogo.
Penyakit blas sudah ditemukan hampir di semua
sentra penanaman padi Indonesia, terutama
pertanaman padi huma dengan kelembaban yang
tinggi (Sudir et al. 2015). Pada varietas Ciherang,
apabila serangan berlanjut sampai fase generatif
dapat menyebabkan kehilangan hasil sekitar 3,65 t
ha-1 atau setara dengan 61% (Suganda et al.
2016).
Patogen menginfeksi daun dan menghasilkan
bercak jorong dengan ujung runcing sehingga
membentuk seperti belah ketupat. Pusat bercak
17
berwarna kelabu atau keputih-putihan dengan tepi
berwarna coklat atau coklat kemerahan. Bentuk
dan warna bercak penyakit blas bervariasi
tergantung dari kondisi lingkungan, umur bercak,
dan tingkat ketahanan tanaman padi (Semangun
2008). Blas daun ditemukan di semua lokasi
budidaya kecuali Karang Rejek pada semua galur
yang diuji (Tabel 7). Namun rata-rata skala
penyakit hanya bernilai 1. Hal ini menunjukkan
galur relatif tahan terhadap penyakit blas. Namun
terdapat tiga galur yang berbeda yakni G34, G35
dan G36.
Penyakit blas yang berkembang pada leher
malai menyebabkan busuknya ujung tangkai malai
disebut blas leher. Serangan pada fase ini dapat
mengakibatkan busuknya ujung tangkai malai dan
menyebabkan biji menjadi hampa serta tangkai
malai menjadi mudah patah (Semangun 2008).
Blas leher ditemukan di Sukadana, Taman Bogo,
dan Curungrejo. Penyakit blas leher dengan skala 0
ditemukan pada 18 galur dan skala 1 ditemukan
pada 17 galur. Serangan pada blas leher lebih
sedikit ditemukan mungkin dikarenakan tindakan
pengendalian yang dilakukan pada saat budidaya
sudah tepat. Seperti blas daun, galur G34, G35 dan
G36 menunjukkan skala penyakit 3 dan 7. Hal ini
menunjukkan bahwa ketiga galur tersebut
merupakan varietas yang rentan terhadap
penyakit blas sehingga tidak potensial untuk
dikembangkan sebagai VUB. Hal ini dikarenakan
blas merupakan penyakit utama pada padi gogo
(Sudir et al. 2015; Paradisa et al. 2018).
Hawar Daun Bakteri (HDB) ditemukan di
Muneng dan Curungrejo. HDB ditemukan pada
semua galur yang diuji, dimana terdapat terdapat
24 galur dengan skala penyakit 1 dan 14 galur
dengan skala penyakit 3. Hal ini menunjukkan
bahwa galur yang ditanam tahan dan agak tahan
terhadap HDB. Gejala HDB atau dikenal dengan
penyakit kresek disebabkan oleh X. oryzae pv.
Oryzae (Saylendra et al. 2017). Tanaman padi yang
terserang memiliki gejala bercak memanjang
dengan tepi bergelombang dari ujung daun yang
berkembang
sepanjang
tepi
kemudian
berkembang menjadi hawar dan warna daun
berubah menjadi kuning pucat (Khaeruni et al.
2014).
Penyakit Hawar Daun Jingga (HDJ) ditemukan
hanya di Kebun Percobaan Muneng pada semua
galur yang ditanam dengan skala serangan
mayoritas dengan skoring 1 sehingga diduga
semua galur yang ditanam tahan terhadap
serangan HDJ. Penyebab HDJ masih belum bisa
dipastikan penyebabnya hingga saat ini. Gejala
awal pada daun yang terinfeksi berupa bercak
berwarna jingga kemudian berkembang ke arah
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
ujung daun sehingga menghasilkan gejala hawar
dan daun mengering (Sudir and Suparyono 1996).
Penyakit bercak daun atau bercak coklat
disebabkan oleh Cochliobolus miyabeanus (S. Ito &
Kurib.) (Deng et al. 2019) dengan gejala pada daun
berupa bintik-bintik berwarna coklat dengan pusat
berwarna abu-abu atau keputihan berbentuk
silinder menyerupai biji wijen disertai halo kuning
sedangkan bintik-bintik muda kecil, melingkar dan
dapat muncul sebagai titik coklat tua atau coklat
keunguan (Singh et al. 2014). Penyakit ini hanya
ditemukan di Karang Rejek dan menyerang semua
galur. Penyakit bercak coklat dengan skala 3
ditemukan pada 14 galur dan penyakit dengan
skala 5 ditemukan pada 24 galur.
Bervariasinya skala penyakit pada galur
tanaman padi, dapat disebabkan oleh perbedaan
kondisi iklim mikro di setiap lokasi penanaman
seperti suhu dan kelembaban. Faktor ketinggian
tempat di lokasi penanaman memberikan
pengaruh terhadap tingkat serangan penyakit.
Semakin tinggi lokasi suatu tempat maka suhu
akan semakin rendah, dimana kondisi ini membuat
intensitas serangan penyakit makin meningkat
(Zulaika et al. 2018).
Hama tikus hanya ditemukan pada Desa
Curungrejo dan menyerang 21 galur yang ditanam.
Berdasarkan hasil pengamatan (Tabel 7), terdapat
17 galur yang tidak diserang oleh tikus. Skala
serangan tikus pada pertanaman sangat bervariasi,
terdapat 6 galur berskala 1, 4 galur dengan skala 3,
1 galur dengan skala 5, 7 galur dengan skala 7, dan
3 galur dengan skala 9. Serangan tikus pada
umumnya terjadi di tengah petakan dan
mengakibatkan tanaman padi terpotong serta
berserakan (Cristanti and Arisoesilaningsih 2013).
Gejala serangan burung ditemukan hanya di desa
Desa Curungrejo. Hama burung menyerang 22
galur tanaman padi dimana terdapat 10 galur
dengan skala 1 dan 12 galur dengan skala 3.
Serangan burung mengakibatkan malai tidak
memiliki spikelet dan biji banyak yang kosong
(Cristanti and Arisoesilaningsih 2013).
Hama Putih palsu (Cnaphalocrosis medinalis)
hanya ditemukan di Kebun Percobaan Muneng
dengan semua galur yang terserang dengan
mayoritas skala kerusakan 1, sedangkan hanya
galur G30 dan G31 yang menunjukkan skala
kerusakan 3. Menurut Sopialena et al. (2021),
serangan hama ini menyebabkan daun padi
menggulung dan terdapat garis putih dimana garis
putih tersebut sejajar dengan ibu tulang daun. Di
dalam gulungan daun, terdapat larva hama.
Serangan Penggerek batang ditemukan di Karang
Rejek dan Muneng. Hampir semua galur padi gogo
menunjukkan skala kerusakan 3 terhadap
serangan penggerek batang, sedangkan galur G10
dan G24 menunjukkan skala kerusakan 1. Gejala
serangan penggerek menyebabkan titik tumbuh
tanaman muda mati pada fase vegetatif (sundep)
dan gejala malai mati dengan bulir hampa yang
kelihatan berwarna putih pada fase generatif
(beluk) (Baehaki 2015).
Tabel 7 menunjukkan sebaran adaptasi galur
yang diuji pada cekaman biotik dari seluruh lokasi
uji. Dari 36 galur yang diuji hanya satu galur (G26)
yang memiliki adaptasi terhadap kedelapan
cekaman biotik dan mengalahkan kedua varietas
pembanding. Selain itu, terdapat 5 galur (G18,
G19, G23, 24 dan 31) menunjukkan adaptasi
terhadap 6 jenis cekaman biotik yang sama baik
dengan Situ Patenggang dan lebih baik dari Inpago
9. Cekaman biotik pada tumbuhan dapat
menyebabkan kehilangan hasil sebelum dan
sesudah panen (Singla and Krattinger 2016). Pada
umumnya diakibatkan karena sulitnya OPT untuk
dikendalikan. Oleh karena itu, diperlukan tindakan
pengelolaan agar kerusakan yang disebabkan oleh
faktor cekaman biotik dapat diminimalkan. Salah
satunya adalah dengan pengembangan genotipe
tahan karena lebih efisien untuk mencegah
kehilangan hasil dan menjaga kualitas produksi
(Angessa and Li 2016).
Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa
di setiap lokasi penanaman ditemukan jenis OPT
yang berbeda-beda. Menurut Mosa et al., (2017),
Patogen (bakteri, virus, jamur), serta parasit,
serangga, dan nematoda menyebabkan berbagai
bentuk cekaman biotik dengan efek negatifnya
pada tanaman di bawah kondisi lingkungan
tertentu seperti lokasi geografis dan iklim serta
sifat inang tertentu. Pada penelitian ini, tindakan
pengendalian dilakukan dengan menggunakan
Prinsip PHT seperti budidaya tanaman sehat dan
pengamatan dan pemantauan rutin. Untuk
mendapatkan
tanaman
sehat,
dilakukan
pengolahan tanah yang baik, penggunaan benih
sehat, pemupukan berimbang sesuai kebutuhan
tanaman dan pengendalian gulma. Hal ini
dilakukan agar tanaman dapat tumbuh secara
optimal. Tanaman yang sehat akan lebih tahan
terhadap serangan OPT dan akan lebih mampu
mengatasinya serangan tersebut. Selain itu,
pengamatan dan pemantauan OPT secara rutin
dapat membantu menganalisis kondisi lingkungan
yang ada, membuat keputusan yang bijaksana,
mengambil tindakan pengendalian OPT yang tepat
baik tepat mutu, tepat jenis, tepat waktu, tepat
dosis/konsentrasi, dan tepat cara.
Respon ketahanan tanaman terhadap OPT
dapat dikarenakan tindakan pengendalian yang
dilakukan yakni dengan penerapan Prinsip PHT.
Menurut Nuryanto (2018), penerapan teknologi ini
memiliki berbagai kelebihan dalam mendukung
18
Paradisa et al.
pertumbuhan tanaman padi dan mampu
mengurangi tingkat kehilangan hasil padi sampai
30%.
Namun, respon ketahanan dapat juga
disebabkan oleh faktor genetik dikarenakan
beberapa genotip menunjukkan respon rentan
terhadap serangan OPT meskipun sudah dilakukan
tindakan pengendalian.
Cekaman Abiotik pada Pertanaman
Berdasarkan Kriteria dari Pusat Penelitian
Tanah (1983), diketahui bahwa lahan pertanaman
memiliki tingkat kesuburan tanah yang sedang.
Lahan yang mengandung Aluminium hanya
terdapat di Sukadana dan Taman Bogo dengan
level sangat rendah dikarenakan kejenuhan Al
berada dibawah 20%. Sedangkan di lokasi lainnya
tidak mengandung Al (Kejenuhan Al 0%). Hal ini
menunjukkan pada enam lahan penanaman tidak
terjadi cekaman Al. Cekaman kekeringan hanya
terjadi di Sukadana, Taman Bogo, dan Karang
Wuni. Meskipun Curah hujan dan hari hujan di
Sukadana dan Taman Bogo cukup tinggi (Tabel 5),
namun lahan penanaman yang digunakan
merupakan lahan tadah hujan dan cukup jauh dari
sumber air. Sehingga pada saat penanaman, terjadi
kekurangan air pada pertanaman. Hal ini juga
terjadi di Karang wuni. Selain itu, tanah di karang
wuni termasuk dalam tanah entisol dimana tanah
dengan jenis ini memiliki kemampuan mengikat air
yang rendah (Vashisth and Kadyampakeni 2019).
Sedangkan di Karang Rejek, Muneng, dan Curung
Rejo, meskipun ditanam di lahan tadah hujan, tidak
terjadi cekaman kekeringan pada pertanaman. Hal
ini dikarenakan lokasi penanaman tidak jauh dari
sumber air sehingga kekurangan air dapat diatas
dengan tindakan penyiraman maupun irigasi.
Kekeringan berdampak pada penampilan
seluruh galur yang diuji. Tanaman yang mengalami
cekaman menunjukkan gejala layu, daun
menggulung dan mengering (Sihombing et al.,
2017; Sujinah & Jamil, 2016). Hal ini dikarenakan
pengurangan laju transpirasi dan memperkecil
luas permukaan daun (Sujinah and Jamil 2016).
Kekurangan air mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman sehingga menyebabkan
dehidrasi dan penurunan hasil panen. Dampak
utama kekeringan adalah ketidakseimbangan
metabolik dan osmotik yang menyebabkan
hilangnya turgor dan penutupan stomata sehingga
membatasi serapan karbon dioksida sehingga
menyebabkan represi pertumbuhan sel tertekan
dan fotosintesis berkurang (Mosa et al. 2017).
Akibatnya, tanaman padi terjadi penurunan jumlah
daun, luas daun, jumlah anakan, tinggi tanaman
(Sihombing et al. 2017) dan peningkatan prolin
(Sulistyono et al. 2012).
19
Cekaman salinitas hanya ditemukan di Karang
Wuni. Cekaman ini hanya terjadi dikarenakan
lokasi penanaman hanya berjarak 1.5 km dari bibir
jalur pantai selatan pulau Jawa. Cekaman salinitas
pada
tanaman
menghambat
pertumbuhan
tanaman dan mempengaruhi produksi. Kondisi
salin mengakibatkan meningkatnya tekanan
osmotik tanah, mengganggu keseimbangan hara,
dan berdampak racun bagi tanaman (Muharam &
Saefudin, 2016; Jalil et al., 2016; Puspafirdausi et
al., 2017; Kusmiyati et al., 2014; Susianto et al.,
2016). Tanaman sulit menyerap nutrisi pada
kondisi osmotik tinggi sehingga pertumbuhan
tanaman terhambat. Defisiensi unsur hara pada
tanah salin akan tampak pada karakter daun
(Kusmiyati et al. 2014). Selain itu, pada daerah
salin kesuburan tanah rendah yang disebabkan
oleh hilangnya organisme penyubur tanah seperti
mikroba dan cacing. Pada tanaman padi, cekaman
salinitas berdampak pada tanaman kerdil yang
diikuti oleh menurunnya jumlah anakan, bobot
1000 butir gabah, bobot kering akar dan hasil (Jalil
et al. 2016).
Cekaman abiotik seperti kekeringan dan
salinitas
merupakan
faktor
pembatas
pertumbuhan tanaman. Dampak cekaman tersebut
mulai dari penurunan hasil hingga gagal panen.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 36 galur
yang diuji terdapat 8 galur (G3, G4, G6, G9, G10,
G11, G12, dan G29) yang memiliki toleransi yang
lebih tinggi dibandingkan dengan kedua varietas
pembanding terhadap dua jenis cekaman abiotik
(Tabel 7). Masing-masing ditemukan 1 galur yang
toleran kekeringan (G29) dan toleran salinitas (G6)
mengalahkan kedua pembanding.
Cekaman merupakan faktor pembatas utama
dalam produksi. Cekaman baik biotik maupun
abiotik dapat mempengaruhi pertumbuhan dan
produktivitas tanaman. Hal ini dikarenakan
cekaman dapat menyebabkan gangguan pada
aktivitas morfologi, fisiologis, dan biokimia
tanaman (Sardhara and Mehta 2018). Cekaman
biotik dan abiotik, dapat terjadi secara bersamaan.
Cekaman ganda dapat meningkatkan pengaruh
negatif pada tumbuhan, serta dapat meningkatnya
kepekaan
tanaman
terhadap cekaman yang
lainnya (Darmanti 2016). Inventarisasi cekaman
baik biotik maupun abiotik dapat memberikan
gambaran tentang
penyebaran cekaman pada
suatu wilayah. Sehingga
dapat tindakan
pengelolaan
lingkungan
dan
pencegahan
pengendalian yang tepat dan spesifik lokasi pada
saat varietas unggul baru dilepas ke masyarakat.
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
5. Kesimpulan
Cekaman biotik yang ditemukan pada
pertanaman adalah Blas Daun, Blas Leher, Hawar
Daun Bakteri, Bercak Coklat, Hawar Daun Jingga,
Tikus, Burung, Hama Putih Palsu, dan Penggerek
Batang. Sedangkan Cekaman abiotik yang
ditemukan
adalah
kekeringan,
keracunan
aluminium dan salinitas.
Galur G26 tahan
terhadap cekaman biotik baik yang disebabkan
hama maupun peyakit. Sedangkan galur G29
toleran kekeringan dan galur G6 toleran salinitas.
6. Ucapan Terimakasih
Ucapan terima kasih kami sampaikan kepada
Bapak Supartopo atas bantuan teknis pada saat
penanaman dan pengamatan di lapangan.
Penelitian ini didanai oleh DIPA PN Pangan LIPI
tahun anggaran 2018.
7. Pernyataan Konflik Kepentingan
(Declaration of Conflicting Interests)
Penulis menyatakan tidak ada potensi konflik
kepentingan sehubungan dengan penelitian,
kepengarangan, dan/atau publikasi dari artikel
ini (The authors have declared no
potential
conflicts of
interest
concerning
the study,
authorship, and/or publication of this article).
8. Daftar Pustaka
[IRRI] International Rice Research Institue. 2013.
Standard Evaluation System for Rice. 5th ed.
Philippines: International Rice Research
Instiitute.
http://www.clrri.org/ver2/
uploads/SES_5th_edition.pdf.
[PPT] Pusat Penelitian Tanah. 1983. Term of
Reference Survei Kapabilitas Tanah. Proyek
Penelitian
Pertanian
Menunjang
Transmigrasi (P3MT). Puslittan Bogor.
Angessa TT, Li C. 2016. Exploration, Identification
and Utilization of Barley Germplasm for
Barley Improvement. In: Zhang G, Li C,
editors. Exploration, Identification and
Utilization of Barley Germplasm. Elsevier Inc.
p. 223–240. http://dx.doi.org/10.1016/
B978-0-12-802922-0/00009-1.
Baehaki S. 2015. Hama Penggerek Batang Padi dan
Teknologi Pengendalian. Iptek Tanam
Pangan. 8(1):1–14.
Cristanti
LD,
Arisoesilaningsih
E.
2013.
Pertumbuhan Padi Hitam dan Serangan
Beberapa Herbivor di Sawah Padi Organik
Kecamatan Kepanjen. J Biotropika. 1(5):221–
225. https://www.biotropika.ub.ac.id/index.
php/biotropika/article/view/197.
Darmanti S. 2016. Pengaruh Kumulatif Cekaman
Biotik dan Abiotik Terhadap Penurunan
Pertumbuhan Tajuk Tanaman Kedelai
[Glycine max (L.) Merr.] cv. Grobogan. Bul
Anat dan Fisiol. 1(1):48–53.
Deng G, Zou Q, Chen Y, Wang L, Huang G, Cui Y,
Ding M, Wang Y. 2019. The complete
mitochondrial genome of Cochliobolus
miyabeanus
(Dothideomycetes,
Pleosporaceae) causing brown spot disease
of rice. Mitochondrial DNA Part B.
4(2):2832–2833.
doi:10.1080/23802359.2019.1660273.
Hafif B. 2016. Optimasi Potensi Lahan Kering
Untuk Pencapaian Target Peningkatan
Produksi Padi Satu Juta Ton Di Provinsi
Lampung. J Penelit dan Pengemb Pertan.
35(2):81–88.
doi:10.21082/jp3.v35n2.2016.p81-88.
Hairmansis A, Supartopo, Suwarno. 2015. Seleksi
Varietas Partisipatif Terhadap Galur-Galur
Elit Padi Gogo di Lahan Petani. Ilmu Pertan.
18(2):61–68. doi:https://doi.org/10.22146/
ipas.8600.
Idwar I, Hamzah A, Nasrul B. 2019. Optimalisasi
Pemanfaatan Lahan Marginal Kering untuk
Budidaya Padi Gogo di Riau. Unri Conf Ser
Agric Food Secur. 1:190–198. doi:10.31258/
unricsagr.1a25.
Irawan B. 2015. Dinamika Produksi Padi Sawah
dan Padi Gogo : Implikasinya Terhadap
Kebijakan Peningkatan Produksi Padi. In:
Pasandaran E, Rachmat M, Hermanto, Ariani
M, Sumedi, Suradisastra K, Haryono, editors.
Memperkuat Kemampuan Swasembada
Pangan.
IAARD
PRESS.
p.
68–88.
http://www.litbang.pertanian.go.id/buku/s
wasenbada/BAB-II-4pdf.
Jalil M, Sakdiah H, Deviana E, Akbar I. 2016.
Pertumbuhan dan Produksi Beberapa
Varietas Padi (Oryza sativa L) pada Berbagai
Tingkat Salinitas. J Agrotek Lestari.
2(2):63–74.
Juanda BR. 2016. Peningkatan Produksi Padi
Melalui Potensi dan Pengembangan Wilayah
Produksi Benih Unggul di Propinsi Aceh.
AGROSAMUDRA, J Penelit. 3(2):72–80.
Khaeruni A, Taufik M, Wijayanto T, Johan EA. 2014.
Perkembangan Penyakit Hawar Daun
Bakteri pada Tiga Varietas Padi Sawah yang
Diinokulasi
pada
Beberapa
Fase
Pertumbuhan.
J
Fitopatol
Indones.
10(4):119–125. doi:10.14692/jfi.10.4.119.
20
Paradisa et al.
Kusmiyati F, Sumarsono, Karno. 2014. Pengaruh
Perbaikan Tanah Salin Terhadap Karakter
Fisiologis
Calopogonium
mucunoides.
Pastura J Ilmu Tumbuh Pakan Ternak.
4(1):1–6.
Lubis E, Hermanasari R, Sunaryo, Santika A,
Suparman E. 2007. Toleransi galur padi gogo
terhadap cekaman abiotik. Apresiasi Has
Penelit
Padi
2007.:725–739.
http://www.litbang.pertanian.go.id/special/
padi/bbpadi_2008_p2bn2_16.pdf.
Mosa KA, Ismail A, Helmy M. 2017. Plant Stress
Tolerance. Springer International Publishing.
Muharam, Saefudin A. 2016. Pengaruh Berbagai
Pembenah Tanah Terhadap Pertumbuhan
Dan Populasi Tanaman Padi Sawah (Oryza
sativa, L) Varietas Dendang Di Tanah Salin
Sawah Bukaan Baru. J Agrotek Indones.
1(2):141–150. doi:10.7868/s086956521621
0155.
Mulyani A, Nursyamsi D, Syakir M. 2017. Strategi
Pemanfaatan Sumberdaya Lahan untuk
Pencapaian
Swasembada
Beras
Berkelanjutan. J Sumberd Lahan. 11(1):11–
22. doi:10.21082/jsdl.v11n1.2017.11-22.
Mulyaningsih ES, Perdani AY, Indrayani S, Suwarno
S. 2016. Seleksi Fenotipe Populasi Padi Gogo
untuk Hasil Tinggi, Toleran Alumunium dan
Tahan Blas di Tanah Masam. J Penelit Pertan
Tanam
Pangan.
35(3):191–198.
doi:10.21082/jpptp.v35n3.2016.p191-197.
Nuryanto B. 2018. Pengendalian Penyakit
Tanaman Padi Berwawasan Lingkungan
Melalui Pengelolaan Komponen Epidemik. J
Penelit dan Pengemb Pertan. 37(1):1–12.
doi:10.21082/jp3.v37n1.2018.p1-8.
Paradisa YB, Indrayani S, Mulyaningsih ES. 2018.
Pengujian ketahanan sembilan kultivar padi
lokal terhadap tiga ras utama penyakit blas.
Pros Semin Nas Biodivers Indones. 4(2):107–
110. doi:10.13057/psnmbi/m040202.
Pratiwi T, Karmanah K, Gusmarianti R. 2017.
Inventarisasi Hama Dan Penyakit Tanaman
Jati Unggul Nusantara Di Kebun Percobaan
Cogrek Bogor. J Sains Nat. 2(2):123–133.
doi:10.31938/jsn.v2i2.42.
Puspafirdausi FA, Sofyan ET, Fitriatin BN. 2017.
Aplikasi Konsorsium Pupuk Hayati Terhadap
Populasi Bakteri Pelarut Fosfat dan Bobot
Kering Padi (Oryza Sativa L.) Pada Beberapa
Tingkat Salinitas. Jur Agroekotek. 9(1):61–67.
Sardhara K, Mehta K. 2018. Effects of Abiotic and
Biotic Stress on the Plant Xournals. Acad J
Bot Sci. 01(01):5–9.
21
Saylendra A, Nurmayulis, Ahdiani P. 2017. Potensi
Pseudomonas sp. untuk Mengendalikan
Penyakit Hawar Daun Bakteri (Xanthomonas
oryzae pv. Oryzae) Secara In Vitro.
Agrosainstek. 1(1):34–38.
Semangun H. 2008. Penyakit-penyakit Tanaman
Pangan di Indonesia. kedua. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Sihombing TM, Damanhuri, Ainurrasjid. 2017. Uji
Ketahanan Tiga Genotip Padi Hitam ( Oryza
Sativa L .) Terhadap Cekaman Kekeringan.
J Produksi Tanam. 5(12):2026–2031.
Singh R, Sunder S, Agarwal R. 2014. Brown spot of
rice : an overview Brown spot of rice : an
overview. Indian Phytopathol. 67(3):201–
215.
Singla J, Krattinger SG. 2016. Biotic Stress
Resistance Genes in Wheat. 2nd ed. Elsevier
Ltd. http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12394437-5.00229-1.
Sitaresmi T, Wening RH, Rakhmi AT, Yunani N,
Susanto U. 2015. Pemanfaatan Plasma
Nutfah Padi Varietas Lokal dalam Perakitan
Varietas Unggul. Iptek Tanam Pangan.
8(1):22–30.
Song Ai N, Tondais SM, Butarbutar R. 2010.
Evaluasi Indikator Toleransi Cekaman
Kekeringan Pada Fase Perkecambahan Padi
(Oryza Sativa L.). J Biol. 14(1):50–54.
doi:10.24843/
jbiounud.
Sopialena, Sahid A, Stella N, Rugian T. 2021.
Pengendalian Hama Penting Tanaman Padi
Menggunakan Jamur Beauveria bassiana
Bals. J Agrifor. XX(1):25–34.
Sudir, Nasution A, Santoso, Nuryanto B. 2015.
Penyakit Blas Pyricularia grisea pada
Tanaman Padi dan Strategi Pengendaliannya.
Iptek Tanam Pangan. 9(2):85–96.
Sudir, Suparyono. 1996. Keparahan Penyakit
Hawar Daun Jingga pada Beberapa Galur dan
Varietas Padi. J Perlindungan Tanam Indones.
2(1):5–11. doi:10.22146/jpti.9359.
Suganda T, Yulia E, Widiantini F, Hersanti H. 2016.
Intensitas Penyakit Blas (Pyricularia oryzae
Cav.) pada Padi Varietas Ciherang di Lokasi
Endemik dan Pengaruhnya terhadap
Kehilangan Hasil. J Agrik. 27(3):154–159.
doi:https://doi.org/10.24198/agrikultura.v2
7i3.10878.
Sujinah, Jamil A. 2016. Mekanisme Respon
Tanaman
Padi
terhadap
Cekaman
Kekeringan dan Varietas Toleran. Iptek
Tanam Pangan. 11(1).
Evaluasi 36 Genotipe Padi Gogo Terhadap Cekaman Biotik Dan Abiotik Pada Enam Lokasi Berbeda
Sulistyono E, Suwarno, Lubis I. 2012. Karakterisasi
Morfologi dan Fisiologi untuk Mendapatkan
Marka Morfologi dan Fisiologi Padi Sawah
Tahan Kekeringan ( -30 kPa ) dan
Produktivitas Tinggi ( > 8 ton / ha ). J Ilmu
Pertan Indones. 17(2):96–102.
Supriyanto B. 2013. Pengaruh Cekaman
Kekeringan Terahadap Pertumbuhan Dan
Hasil Padi Gogo Lokal Kultivar Jambu (Orysa
sativa Linn). J AGRIFOR. XII(1):77–82.
Susianto NC, Hariyono D, Aini N. 2016. Pengaruh
Aplikasi Gypsum Dan Pupuk Kandang Sapi
Pada Tanah Salin Terhadap Pertumbuhan
Dan Hasil Tanaman Kedelai ( Glycine max L .
Merril ). Plantropica J Agric Sci. 1(2):55–63.
Vashisth T, Kadyampakeni D. 2019. Diagnosis and
management of nutrient constraints in citrus.
In: Srivastava AK, Hu C, editors. Fruit Crops:
Diagnosis and Management of Nutrient
Constraints. Elsevier Inc. p. 723–737.
http://dx.doi.org/10.1016/B978-0-12818732-6.00049-6.
Zulaika Z, Soekarno BP, Nurmansyah A. 2018.
Pemodelan Keparahan Penyakit Blas pada
Tanaman Padi di Kabupaten Subang. J
Fitopatol
Indones.
14(2):47–
53.doi:10.14692/jfi.14.2.47.
22