Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian

ISSN 0216-4418 E-ISSN 2541-0822 697/AU3/P2MI-LIPI/07/2015 JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Volume 36 Nomor 2, Desember 2017 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian ISSN 0216-4418 E-ISSN 2541-0822 JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Volume 36 Nomor 2, Desember 2017 Jurnal ini memuat tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian pertanian pangan hortiikultura, perkebunan, peternakan, dan veteriner yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian dan atau ketentuan kebijakan, yang ditujukan kepada pengguna meliputi pengambil kebijakan, praktisi, akademisi, penyuluh, mahasiswa dan pengguna umum lainnya. Pembahasan dilakukan secara komprehensif serta bertujuan memberi informasi tentang perkembangan teknologi pertanian di Indonesia, pemanfaatan, permasalahan dan solusinya. Ruang lingkupnya bahasan meliputi bidang ilmu: pemuliaan, bioteknologi perbenihan, agronomi, ekofisiologi, hama dan penyakit, pascapanen, pengolahan hasil pertanian, alsitan, sosial ekonomi, sistem usaha tani, mikro biologi tanah, iklim, pengairan, kesuburan, pakan dan nutrisi ternak, integrasi tanaman-ternak, mikrobiologi hasil panen, konservasi lahan. Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 818/E/2015 Dewan Redaksi Ketua Deciyanto Soetopo Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan) Anggota Budi Marwoto Hermanto Markus Anda Endang Yuli Purwani I Made Jana Mejaya Sri Muharsini Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura) Ekonomi Pertanian (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) Mineralogi dan Klasifikasi Tanah (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian) Teknologi Pascapanen (Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian) Pemuliaan dan Genetika Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) Parasitologi dan Mikologi (Balai Besar Penelitian Veteriner) Mitra Bestari Elna Karmawati Nur Richana Marwoto Irsal Las Masganti Supriadi Zulkifli Zaini Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan) Teknologi Pascapanen (Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian) Hama Penyakit Tanaman (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi) Agroklimat dan Lingkungan (Forum Komunikasi Profesor Riset Kementan) Kesuburan dan Biologi Tanah (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa) Hama Penyakit Tanaman (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) Budi Daya Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan) Redaksi Pelaksana Yadi Rusyadi Morina Pasaribu Mumuh M. Buhary Bursatriannyo Hidayat Raharja Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian Penerbit Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Alamat Redaksi Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian Jalan Salak No. 22, Bogor 16151 Telp. : (0251) 8382563 Faks. : (0251) 8382567 E-mail : bpatp@litbang.pertanian.go.id Website : http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/; http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jppp ISSN 0216-4418 E-ISSN 2541-0822 JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Volume 36 Nomor 2, Desember 2017 Daftar Isi − Penyakit embun dan cara pengendaliannya pada tanaman kedelai dan kacang hijau Sumartini dan Mudji Rahayu 5966 − Potensi pengembangan plastik Biodegradable berbasis pati sagu dan ubi kayu di Indonesia Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani 6776 − Perubahan iklim dalam konteks sistem produksi dan pengembangan kopi di Indonesia M. Syakir dan E. Surmaini 7790 − Peningkatan kadar antosianin beras merah dan beras hitam melalui biofortifikasi Buang Abdullah 9198 − Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni 99108 J. Litbang Pert. Vol. 31 No. 4 Desember 2012: ....-.... JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal ISSN 0216-4418 Volume 36, 2017 Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya. UDC: 633631.84.095.337 Aniswatul Khamidah, Sri Satya Antarlina, dan Tri Sudaryono (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tmur, Malang) Ragam produk olahan temulawak keanekaragaman pangan (Orig. Ind.) untuk mendukung J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 112, 8 tab., 3 ill., 83 ref. Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) termasuk golongan tanaman rempah yang memiliki manfaat untuk meningkatkan nafsu makan dan sebagai antikolesterol, antiinflamasi, antianemia, antioksidan, dan antimikroba. Kurkuminoid sebagai zat utama yang berwarna kuning dalam temulawak diketahui memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Selain digunakan untuk pengobatan, temulawak berpeluang dikembangkan dalam industri pangan, terutama sebagai pewarna alami dalam makanan. Komponen terbesar dalam temulawak adalah pati 41,45% dan serat 12,62%. Temulawak juga mengandung minyak atsiri 3,81% dan kurkumin 2,29%. Temulawak dapat dikembangkan menjadi berbagai produk olahan pangan, antara lain simplisia, tepung, pati, minuman instan, kue kering, manisan, mi, kerupuk, stick, cake, dodol, dan permen jeli. Makalah ini memaparkan kandungan rimpang temulawak, manfaat, penanganan pascapanen, dan berbagai produk olahan temulawak. (Penulis) Kata kunci: Temulawak, manfaat, produk olahan, keanekaragaman pangan _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 63365: 633.15 Yulia Pujiharti (Balai Pengkajan Teknologi Pertanian Lampung, Lampung) Peluang peningkatan produksi padi di lahan rawa lebak Lampung (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 1320, 3 tab., 38 ref. Luas lahan rawa lebak di Provinsi Lampung pada tahun 2012 mencapai 55.714 ha dengan tingkat produktivitas padi 5,13 t/ ha sehingga masih berpeluang ditingkatkan. Tulisan ini membahas peluang peningkatan produksi padi di lahan rawa lebak di Lampung. Peningkatan produksi dapat dilakukan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas lahan, mengurangi senjang hasil, dan menurunkan kehilangan hasil. Indeks pertanaman di lahan rawa lebak dapat ditingkatkan dengan menerapkan sistem surjan. Sementara produktivitas ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT) dengan komponen teknologinya antara lain penggunaan varietas unggul baru, cara tanam legowo 2:1 atau 4:1, pemberian hara sesuai kebutuhan tanaman, pengelolaan tata air sehingga tanaman padi terhindar dari terendam atau kekeringan, serta pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu. Penurunan senjang hasil dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi spesifik lokasi dan mengintensifkan penyuluhan ke petani. Sementara kehilangan hasil dapat dikurangi melalui penerapan pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu dan penggunaan alat dan mesin pertanian pada kegiatan usaha tani. Peningkatan produksi ini akan berdampak pada peningkatan ketersediaan pangan daerah dan nasional dalam upaya mencapai swasembada beras. (Penulis) Kata kunci: Padi, produksi, rawa lebak, sumber pertumbuhan _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336633.912-153 Fitra Aji Pamungkas, dan Rantan Krisnan (Balai Penelitian Ternak, Bogor) Pemanfaatan sari kedelai sebagai bahan pengencer pengganti kuning telur untuk kropreservasi spermatozoa hewan (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2127, 2 tab., 52 ref. Bahan pengencer yang biasa digunakan untuk kriopreservasi spermatozoa berasal dari produk hewani seperti kuning telur. Kuning telur mengandung kolesterol, fosfolipid, dan low density protein yang dapat mencegah pembentukan kristal es sehingga melindungi integritas membran plasma terhadap kejutan dingin selama proses kriopreservasi. Namun, penggunaan kuning telur menimbulkan kekhawatiran terutama potensi peningkatan kontaminasi mikroba dan agen penularan zoonosis. Kedelai merupakan produk protein nabati yang sering digunakan sebagai pengemulsi dalam produksi makanan untuk manusia dan berfungsi sebagai pelindung dari kejutan dingin sama halnya low density lipoprotein pada kuning telur. Beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengencer berupa sari kedelai untuk kriopreservasi spermatozoa menghasilkan kualitas yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan bahan pengencer berbasis kuning telur. Konsentrasi sari kedelai yang optimal pada bahan pengencer untuk kriopreservasi spermatozoa berkisar 0,81,5%. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, kuning telur, pengencer, kriopreservasi, spermatozoa _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336633.18-152.63 M. Thamrin dan S. Asikin dan M.A. Susanti (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru) Budi daya padi di lahan rawa pasang surut dan pengaruhnya terhadap penggerek batang padi (Orig, Ind.) J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2838, 9 tab., 4 ill., 57 ref. Budi daya padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan sudah sejak lama dilakukan petani dan berpengaruh terhadap penurunan populasi dan tingkat serangan hama penggerek batang padi. Makalah ini menguraikan budi daya padi di lahan rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan pengaruhnya terhadap tingkat kerusakan tanaman akibat penggerek batang padi. Penyiapan lahan dengan menebas sisa tanaman padi dan memintalnya kemudian membiarkannya membusuk dapat menggagalkan larva penggerek batang padi menjadi imago (dewasa). Pembibitan dengan cara tanam pindah yang dilakukan beberapa kali juga dapat mematikan larva penggerek batang padi. Sementara pemotongan daun bibit padi sebelum ditanam dapat mengurangi populasi kelompok telur hama tersebut. Pemberian abu sekam juga dapat menurunkan kerusakan tanaman akibat serangan hama tersebut. Faktor lain yang berkontribusi terhadap pengurangan tingkat kerusakan tanaman padi adalah keberadaan gulma purun tikus. Penggerek batang padi lebih tertarik meletakkan telurnya pada gulma tersebut dibandingkan pada padi sehingga kerusakan padi yang ditanam berdekatan dengan area purun tikus lebih rendah. Populasi musuh alami yang melimpah pada area purun tikus efektif menekan perkembangan hama penggerek batang padi. (Penulis) Kata kunci: Padi, budi daya, penggerek batang padi, lahan rawa pasang surut _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Pengembangan kedelai di Papua: Potensi lahan, strategi pengembangan, dan dukungan kebijakan (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 4758, 9 tab., 1 ill., 48 ref. Kedelai adalah salah satu tanaman pangan strategis dan penting di Indonesia. Komoditas ini digunakan untuk bahan pangan, pakan ternak, dan berbagai produk industri. Papua memiliki potensi untuk pengembangan kedelai karena didukung olehlahandengan luas mencapai 2,75 juta ha yangtersebar di sentra pengembangan kedelai, yaitu Kabupaten Keerom, Nabire, Jayapura, Merauke, dan Sarmi. Selain lahan yang cukup luas,teknologi budi daya spesifik lokasijuga sudah tersedia untuk dikembangkan di Papua.Pengembangan kedelai di Papua memerlukandukungan kebijakan pemerintah, baik di tingkat pusat maupun daerah. Kebijakan yang diperlukan antara lain berupa program dan insentif bagi petani kedelai agar mereka berpartisipasipenuh menerapkan teknologi yang telah dihasilkan melalui penelitian. Kebijakan lainnya adalah mendorong BUMN, swasta, dan koperasi untuk mengembangkan agroindustri di Papua. Keterpaduan program pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat mendorong minat petani mengembangan kedelai sebagai tanaman prioritas. Penyediaan sarana produksi,pengembangan pasar, dan harga yang layakbagi petani mutlak diperlukan untuk menjamin keberlanjutan produksi kedelai di Papua. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, potensi lahan, strategi pengembangan, dukungan kebijakan ________________________________________________________________________________________________________________________________ S.W. Indiati (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi, Malang) UDC: 6336 Tungau Puru (Eryophyes gastroticus Nalepa) pada Ubi Jalar dan Teknologi Pengendaliannya (Orig. Ind.) Sumartini dan Mudji Rahayu (Balai Penelitian Aneka Kacang dan Umbi, Malang) J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 3946, 3 tab., 2 ill., 34 ref. Penyakit Embun Tepung dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau (Orig. Ind.) Tungau puru (gall mite) merupakan hama ubi jalar pada musim kemarau dan telah menyebar di berbagai sentra produksi ubi jalar di Indonesia. Gejala serangan ditandai dengan terbentuknya puru atau benjolan pada daun, tangkai daun, dan batang dengan bagian ujung puru terdapat lubang kecil. Serangan tungau puru menurunkan hasil ubi jalar sekitar 11%. Selain menurunkan hasil umbi, serangan puru juga menyebabkan petani sulit memperoleh setek sehat sebagai bahan perbanyakan tanaman. Tungau puru dapat dikendalikan dengan memadukan beberapa komponen pengendalian, antara lain penggunaan setek batang bebas puru, sanitasi lingkungan, pengaturan waktu tanam, pengendalian mekanis, dan pengendalian dengan pestisida nabati ataupun kimia. J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 5966, 1 tab., 4 ill., 38 ref. (Penulis) Kata kunci: Ubi jalar, tungau puru, Eryophyes gastroticus, pengendalian _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336633.18(594) Sitti Raodah Garuda, Yuliantoro Baliadi, dan Martina S. Lestari (Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Papua) Penyakit embun tepung disebabkan oleh cendawan Erysiphae diffusa (Cook and Peck) pada tanaman kedelai dan E. polygoni (DC Sawada) pada kacang hijau. Penyebaran penyakit penting ini menyebabkan kehilangan hasil mencapai 35% pada kedelai dan 26% pada kacang hijau. Di Indonesia, penyakit ini terjadi di sentra produksi kedelai dan kacang hijau. Di luar negeri, penyebaran penyakit embun tepung meliputi Asia, Amerika Serikat, dan Brazil. Intensitas penyakit biasanya tinggi pada musim kemarau, pada saat suhu dingin di pagi hari dan kondisi berembun di sekitar pertanaman. Gejala penyakit embun tepung mudah dikenali dengan ciri seperti tepung di permukaan atas daun. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesis dan transpirasi. Selain itu, haustorium Erysiphe menyerap nutrisi tanaman sehingga mengganggu beberapa fungsi dan proses metabolisme. Penyakit embun tepung perlu dikendalikan untuk menekan kehilangan hasil kedelai dan kacang hijau. Cara pengendalian yang disarankan adalah penyemprotan dengan bahan nabati (ekstrak biji mimba, kompos teh, susu sapi, minyak dari citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman teh) pada kedelai dan penggunaan varietas tahan Vima-1 pada kacang hijau. (Penulis) Kata kunci: Kedelai, kacang hijau, penyakit embun tepung, pengendalian _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 63363.495 Elmi Kamsiati, Heny Herawati, dan Endang Yuli Purwani (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian, Bogor) Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu dan Ubi Kayu di Indonesia (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 6776, 7 tab., 2 ill., 52 ref. Plastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan namun berdampak buruk bagi lingkungan karena sulit terdegradasi di alam. Teknologi produksi plastik biodegradable atau bioplastik yang dibuat dari bahan alami dan ramah lingkungan sudah mulai dikembangkan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati relatif lebih mudah diproduksi dan bahan baku mudah diperoleh. Pati ubi kayu dan sagu memiliki potensi sebagai bahan baku plastik biodegradable ditinjau dari ketersediaan dan karakteristiknya. Selain pati sebagai bahan utama, diperlukan pula plastisizer atau bahan pemlastis dan bahan penguat struktur untuk menghasilkan plastik biodegradable dengan karakteristik yang baik. Tahapan produksinya meliputi pencampuran, pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang ramah lingkungan dan berpeluang besar dikembangkan. (Penulis) Kata kunci: Pati, sagu, ubi kayu, bioplastik, teknologi produksiengolahan sampai menjadi produk siap pakai. _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 633.18 M. Syakir dan Elza Surmaini ( 1Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 2 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi, Bogor) Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 7790, 5 tab., 5 ill., 78 ref. Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang berperan strategis dalam perekonomian hampir dua juta rumah petani di Indonesia. Potensi ekspor kopi Indonesia cukup tinggi karena cita rasanya yang disukai, namun tren peningkatan produksi kopi nasional hanya 1-2% per tahun. Di sisi lain, dampak perubahan iklim juga mengancam tercapainya target peningkatan produksi. Makalah ini merupakan tinjauan dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi dan strategi adaptasinya di Indonesia. Daerah penghasil utama kopi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan akibat El Niño mengakibatkan penurunan produksi kopi 10%. Sebaliknya, musim hujan yang panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80%. Dampak tidak langsung perubahan iklim adalah meningkatnya serangan hama penggerek buah kopi dan penyakit karat daun yang menyebabkan penurunan produksi sekitar 50%. Akibat kenaikan suhu, sentra produksi kopi diproyeksikan akan berpindah ke wilayah dengan elevasi yang lebih tinggi. Berbagai teknologi adaptasi telah dihasilkan, namun tingkat adaptasi petani kopi umumnya masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya akses sebagian besar petani terhadap informasi iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan informasi pengelolaan risiko iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengambil kebijakan, stakeholder, dan petani harus mengakselerasi upaya adaptasi karena perubahan iklim telah terjadi dan akan terus berlangsung. (Penulis) Kata kunci: Kopi, perubahan iklim, produksi, adaptasi _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Buang Abdullah (Balai Penelitian Tanaman Padi, Subang) Peningkatan Kadar Antosianin Beras Merah dan Beras Hitam Melalui Biofortifikasi (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 9198, 3 tab., 4 ill., 34 ref. Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia pertanian dan merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan gizi masyarakat. Beras yang merupakan makanan pokok di Indonesia dapat ditingkatkan kandungan gizinya melalui program pemuliaan tanaman guna menghasilkan varietas padi yang berasnya mengandung vitamin, mineral, dan/atau senyawa lain seperti antosianin yang bermanfaat bagi kesehatan. Antosianin dapat dihasilkan oleh tanaman secara alami. Biofortifikasi beras yang mengandung antosianin tinggi telah dilakukan melalui program perakitan varietas padi beras merah dan beras hitam dengan prosedur pemuliaan konvensional. Dua varietas unggul padi fungsional yang mengandung antosianin tinggi telah dilepas yaitu Inpari-24 Gabusan sebagai varietas unggul padi beras merah dengan kandungan antosianin 8 ug/100g dan Inpari-25 Opak Jaya sebagai varietas ketan merah dengan kandungan antosianin 11 ug/100g. Varietas unggul padi beras merah hasil biofortikasi telah berkembang luas di beberapa daerah karena disukai konsumen dan mengun-tungkan petani. Beberapa galur harapan padi beras merah dan beras hitam yang mengandung antosianin lebih tinggi masih dalam tahap pengujian daya hasil dan multilokasi. Beberapa di antara galur tersebut diharapkan dapat dilepas sebagai varietas unggul padi beras merah dan beras hitam yang lebih baik dari varietas yang sudah ada. Untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan hipertensi, dengan mengonsumsi pangan fungsional hasil biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif dibandingkan dengan pangan hasil fortifikasi karena senyawa penting yang ditambahkan melalui biofortifikasi bersifat diwariskan dan langgeng. (Penulis) Kata kunci: Padi, beras merah, beras hitam, antosianin, biofortifikasi _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni (Balai Besar Penelitian Tanaman Padi, Subang) Heritabilitas, Sumber Gen dan Durabilitas Ketahanan Varietas Padi terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri (Orig. Ind.) J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 99108, 3 tab., 45 ref. Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu kendala dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang efektif dan mudah diterapkan petani. Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber gen ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan strategi mempertahankan durabilitas varietas tahan sebagai salah satu upaya pengendalian melalui pemuliaan tanaman mendukung upaya peningkatan produksi padi. Perakitan dan pengembangan varietas tahan berperan penting mengendalikan penyakit HDB, karena memiliki mekanisme ketahanan genetik yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Varietas dengan ketahanan vertikal mudah dipatahkan oleh patogen, sehingga perlu upaya perakitan varietas dengan ketahanan horizontal. Untuk memperoleh keturunan tanaman padi yang tahan terhadap penyakit HDB dalam perakitan varietas, posisi tetua tahan sebaiknya diperankan sebagai tetua betina yang memiliki daya gabung khusus yang tinggi. Sifat ketahanan HDB dari populasi tetua yang mengandung gen dari hasil silang ganda memilliki heritabilitas lebih tinggi. Populasi turunan dari silang ganda memiliki ketahanan multigenik dan berpeluang menghasilkan individu rekombinan tahan untuk periode yang lama (durable). Ketersediaan varietas tahan yang durable menjadi syarat utama dalam pengendalian penyakit HDB secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan ketahanan varietas melalui perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di antaranya padi liar, padi lokal, dan padi introduksi. (Penulis) Kata kunci: Padi, varietas, ketahanan, hawar daun bakteri, durabilitas, heritabilitas J. Litbang Pert. Vol. 31 No. 4 Desember 2012: ....-.... JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal ISSN 0216-4418 Volume 36, 2017 The description given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission of charge UDC: 6336238 Aniswatul Khamidah, Sri Satya Antarlina, dan Tri Sudaryono (Assessment Institute for Agricultural Technology East Java, Malang) Various Food Products of Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) to Support Food Diversification (Orig. Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 112, 8 tab., 3 ill., 83 ref. Temulawak or javanese ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) is a rhizome herb that has medical benefits for increasing appetite and as an anticholesterol, antiinflammatory, antianemia, antioxidant and antimicrobe. Curcuminoid, a yellow substance in temulawak, has many health benefits. Besides for medicine, temulawak is used for food industry material mainly as natural dyes in food. The main components of temulawak are starch (41.45%) and fiber (12.62%). Temulawak also contains essential oils (3.81%) and curcumin (2.29%). Temulawak can be processed into various food products such us dried chips/ simplicia (for steeping herbs), flour, instant drink, cookies, sweets, noodles, crackers, stick, cake, dodol and jelly candy. This paper describes composition, benefits, post-harvest handling and a variety of food products of temulawak. (Author) Keywords: Javanese ginger, benefits, food product, food diversification _______________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336.34 Yulia Pujiharti (Assessment Institute for Agricultural Technology Lampung, Lampung) Opportunity to Increase Rice Production in Fresh Water Swampy Land in Lampung (Orig. Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 1320, 3 tab., 38 ref. The area of fresh water swampy land in Lampung in 2012 was 55,714 ha with rice productivity of 5.13 t/ha so it is possible to be increased. The article discusses opportunity to increase rice production in fresh water swampy land in Lampung. Increasing rice yield can be done by enhancing cropping index and land productivity, lowering yield gap and decreasing yield loss. Cropping index in fresh water swampy land can be increased by cultivating rice with surjan system, while rice yield is increased by integrated crop management (ICM) which its components include the use of improved varieties, planting with legowo 2: 1 or 4: 1, fertilizer application according to plant need, water management to prevent rice plant from submerging or drought, and integrated pest management. Rice yield gap is decreased by implementing location specific technologies and intensifying counseling to farmers, while yield loss is lowered by applying integrated pest management and using agricultural tools and machineries in rice farming. These production increases have an impact on the regional and national food availability in an effort to achieve rice self-sufficiency. (Author) Keywords: Rice, production, fresh water swampy land, growth source __________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Fitra Aji Pamungkas dan Rantan Krisnan (Indonesian Research Institute for Animal Production, Bogor) Utilization of Soybeans as the Extender Change of Egg Yolk for Cryopreservation of Animal Spermatozoa (Orig. Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2127, 2 tab., 52 ref. The extenders commonly used for cryopreservation of spermatozoa are based on animal products such as egg yolk. Egg yolk contains cholesterol, phospholipid and low density protein which prevent the formation of ice crystals and protect the integrity of plasma membrane during cryopreservation process. Furthermore, egg yolk increased the risk of microbial contamination and related to the possible transmission of zoonotic agents. Soybeans are the products of vegetable protein which is often used as an emulsifier in the production of food for humans and serves as a protection from the cold shock as well as low density protein in egg yolk. Several studies showed that soybean extenders for cryopreservation of spermatozoa produce the same quality or even better than the egg yolk based extenders. The optimal concentration of soybean in the extenders for cryopreservation of spermatozoa was 0.8-1.5%. (Author) Keywords: Soybean, egg yolk, extender, cryopreservation, spermatozoa _______________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 M. Thamrin, S. Asikin dan M. A. Susanti (Indonesian Swampland Agricultural Research Institute, Banjarbaru) Effect of Rice Farming on The Development of Rice Stem Borer in Tidal Swampland (Orig, Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 2838, 9 tab., 4 ill., 57 ref. Rice cultivation in tidal swampland of South Kalimantan has been practiced by farmers in the long period and influences the population of rice stem borer. This paper describes rice cultivation in tidal swampland of South Kalimantan and its impact on injury level caused by rice stem borer. Land preparation by slashing and spinning the rest of rice crop and then left it to rot, can thwart rice stem borer larvae to become imago (adult). Seeding by transplanting several times can kill stem borer larvae, while cutting the leaves of rice seedlings before planting can reduce egg population of the pest. Rice husk ash application is also able to reduce plant damage caused by stem borer. Another factor that contributes to the decreasing level of plant damage due to the pest is the presence of “purun tikus” (Eleocharis dulcis) weeds. Rice stem borers are more interested in laying eggs in the weed than that in rice plant resulted in low damage of rice planted adjacent to “purun tikus” area. Abundant population of natural enemy in “purun tikus” area also effectively suppresses the development of rice stem borer. (Author) Keywords: Rice, cultivation, rice stem borer, tidal swampland _______________________________________________________________________________________________________ local government programs is expected to encourage farmers’ interest in developing soybean as a priority crop. Provision of production facilities, market development, and appropriate prices for farmers is absolutely necessary to ensure the sustainability of soybean production in Papua. (Author) Keywords: Soybean, land potential, development strategy, policy support _______________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Sumartini dan Mudji Rahayu (Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute, Malang) UDC: 6336 S.W. Indiati (Indonesian Legume and Tuber Crops Research Institute, Malang) Gall Mite (Eryophyes gastroticus Nalepa) on Sweet Potato and Its Control Method (Orig. Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 3946, 3 tab., 2 ill., 34 ref. Gall mites Eryophyes gastroticus is a pest of sweet potato in dry season and has spread in some production centers in Indonesia. The symptoms of the attack is characterized by galls on leaf, petiole and stem, with a narrow hole at the top of the galls. Estimated yield loss caused by the pest was accounted 11%. On the other hand, the gall mite attacks decrease the quality of stem cuttings as a planting material. The use of gall-free cuttings, sanitation, setting planting time; mechanical control, and using chemical or botanical pesticides, either in combination or a single application are suggested to control the pest. (Author) Keywords: Sweet potato, gall mites, Eryophyes gastroticus, control _______________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336275 Sitti Raodah Garuda, Yuliantoro Baliadi, dan Martina S. Lestari (Assessment Institute for Agricultural Technology Papua, Papua) Soybean Development in Papua: Land Potential, Strategy Development, and Policies Supporting (Orig. Ind.) IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 4758, 9 tab., 3 ill., 48 ref. Soybean is one of the strategic and important food crops in Indonesia. These commodities are used for foodstuff, animal feed, and various industrial products. Papua has the potential for soybean development because it is supported by land with an area of 2.75 million ha spread over soybean development centers, namely Keerom, Nabire, Jayapura, Merauke, and Sarmi. In addition to extensive land, site-specific cultivation technology is also available for development in Papua. The development of soybean in Papua requires the support of government policies, both at the central and regional levels. The required policies include programs and incentives for soy farmers to fully participate in applying technology that has been produced through research. Another policy is to encourage stateowned enterprises, private companies and cooperatives to develop agro-industries in Papua. The integration of central and Powdery Mildew Disease and Their Control on Soybean and Mungbean (Orig. Ind.) IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 5966, 1 tab., 4 ill., 38 ref. Powdery mildew disease is caused by Erysiphae diffusa (Cook and Peck) fungi on soybeans and E. polygoni (DC Sawada) on mungbean. Both diseases are an important disease because of their widely spread and high yield loss, reaching 35% in soybeans and 26% in mungbean. In Indonesia, the disease occurs in central areas of soybean production and mungbean. The spread of the disease includes Asia, the United States of America , and Brazil. The symptoms of powdery mildew are easily recognizable in the presence of white flour on the top surface of the leaves. The intensity of powdery mildew is usually high in the dry season, when the temperature is cold in the morning and much mildew conditions around the plant. This situation will interfere with the process of photosynthesis and transpiration. In addition, Erysiphe’s haustorium absorbs plant nutrients that will interfere with some metabolic functions and processes. Control of powdery mildew will suppress the loss of grain bean and results nationally supports the availability of soybean and mungbean. Recommended control measures are spraying with plant materials (extracts of neem seeds, tea compost, cow´s whole milk, essential oil of citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, and tea tree) on the incidence of powdery mildew disease on soybean and the use of Vima1 varieties for control of powdery mildew disease on mungbean. (Author) Keywords: Soybean, mungbean, powdery mildew, control _______________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336 Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani (Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and Development, Bogor) The Development Potential of Sago and Cassava Starch-Based Biodegradable Plastic in Indonesia (Orig. Ind.) IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 6776, 7 tab., 2 ill., 52 ref. Plastic is a packaging materials that are widely used but has an adverse impact on the environment because it is difficult to degrade in nature. Production technology of biodegradable plastics from natural resources that have characteristic environmentally friendly has developed. Starch-based biodegradable plastic is a widely developed type because the production process is simple and the raw materials more readily available. The starch of cassava and sago has potential as a raw material of biodegradable plastic because of the availability and its characteristic. Also, to make starch as the main ingredient, plasticizers and structural strengthening materials are required to produce biodegradable plastic with excellent characteristics. The production stages of biodegradable plastics include mixing, heating, and casting. The starch-based biodegradable plastic that can apply to an environmentally friendly packaging material has an excellent opportunity developed in Indonesia. (Author) Keywords: Starch, sago, cassava, biodegradable plastics, production technology _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 633.186633.18-158.6 1 M. Syakir dan 2E. Surmaini (1Indonesian Agency for Agricultural Research and Development, Jakarta; 2Indonesian Agroclimate Research Institute and Hydrology, Bogor) Climate Change in the Contex of Production System and Coffee Development in Indonesia (Orig. Ind.) IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 7790, 5 tab., 5 ill., 78 ref. Coffee is one of the Indonesian largest export commodities and has a strategic role in the economy of nearly two million farmers’ livelihood. The potency of Indonesia’s coffee export is quite high because of its preferred taste, however the trend of national coffee production is only 1-2% per year. On the other hand, the impacts of climate change also threaten the achievement of increased production targets. This paper reviews the impact climate change on coffee production and the adaptation strategies. The main coffee producing regions in Indonesia are Aceh, North Sumatera, South Sumatera, Lampung, Bengkulu, East Java and South Sulawesi Provinces. Most of these regions are vulnerable to climate change. The increasing of extreme climate events such as drought due to El Niño causes a decline in national coffee production to 10%. On the contrary, the longer wet season due to La Niña caused the decreased coffee production to 80%. Indirect impacts due to rising temperatures are increased incidence of coffee borer and leaf rust disease which can lead to a 50% decline on coffee production. Due to rising temperatures, the projected coffee production areas are projected to shift to higher elevations. Numerous adaptive technologies have been intoduced, however adaptive capacaity of farmers are still low. This condition is exacerbated by the limited access of most farmers to climate information, markets, technology, farming credits, and climate risk management information. To overcome the problem, policy makers, stakeholders and farmers have to accelerate the adaptation practices since the climate change has occurred and will continue to happen. (Author) Keywords: Coffee, climate change, production, adaptation Top of Form _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336633.17 Buang Abdullah (Indonesian Center for Rice Research, Subang) Increasing Anthocyanin of Red and Black Rice Biofortification (Orig. Ind.) through IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 9198, 3 tab., 4 ill., 34 ref. Bio-fortification is a new paradigm for agriculture and a tool for improving nutritional status of human health. Rice as a staple food for Indonesian community is potential to be increased its nutritional content to produce rice with high vitamin, mineral and/or antioxidant (anthocyanin) which is benefit for human health. Anthocyanin is a compound that produced by plants. Bio-fortification of rice for high content of anthocyanin was carried out through development of red and black rice through conventional breeding. Bio-fortification is more effective than fortification to combat generative diseases. Two red improved rice varieties were released with high anthocyanin content were released by IAARD, namely Inpari 24 Gabusan as a red rice variety with anthocyanin content of 8 ug/100g and Inpari 25 Opak Jaya as a waxy red rice variety with anthocyanin content of 11 ug/100g. Red rice varieties produced from biofortification are rapidly adopted by farmers and stake-holders. Several number of red and black rice advanced lines having higher anthocyanin content are being tested in the field for their yield trial. These lines could be released as red and black rice varieties that better than the existing varieties. In order to overcome degenerative diseases such as cancer, diabetes, and high blood consuming functional food from bio-fortification would be more efficient than that from fortification, because the important compound which added through bio-fortification is derivative and eternal. (Author) Keywords: Rice, red rice, black rice, anthocyanin, bio-fortification _________________________________________________________________________________________________________________________________ UDC: 6336633.74-156 Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni (Indonesian Center for Rice Research, Subang) Heritability, Gene Resource, and Durability of Rice Varieties Resistance To Bacterial Leaf Blight Disease (Orig. Ind.) IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 99108, 3 tab., 45 ref. Bacterial leaf blight (BLB) disease is one of the obstacles in increasing of rice production. The use of resistant varieties is an effective and easy to implement for farmers. This paper discusses the heritability and source of resistance genes of rice varieties against the BLB disease and strategies to maintain the durability of resistant varieties as one of the control efforts through plant breeding to supports the increasing of rice production. Assembling and development of resistant varieties play an important role in controlling BLB disease because it has a genetic resistance mechanism that can be inherited to progeny level. Varieties with vertical resistance are easily broken by pathogens, so it is necessary to assembling of varieties with horizontal resistance. To obtain the resistant progeny to BLB disease in the assembly of varieties, the position of the resistant varieties should be played as a female parent that has a high specific joining power. The nature of resistance to BLB is from a population whose parent genes are derived from multiple cross results has higher heritability. The populations derived from a double-cross have multigenic resistance and have the potential to produce recombinant individuals resistant for prolonged periods (durable). The availability of durable resistant varieties become a key requirement in sustainable BLB disease control. This matter can be done by improving the resistance of varieties through the assembling of varieties with various sources of resistance such as wild rice, local rice, and introduced rice. (Author) Keywords: Rice, varieties, resistance, bacterial leaf blight, durability, heritability _________________________________________________________________________________________________________________________________ DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p59-66 59 Penyakit Jurnal Litbang embunPertanian tepung dan Vol..... 36 (Sumartini No. 2 Desember dan Mudji 2017:Rahayu) 59-66 PENYAKIT EMBUN TEPUNG DAN CARA PENGENDALIANNYA PADA TANAMAN KEDELAI DAN KACANG HIJAU Powdery Mildew Disease and Their Control on Soybean and Mungbean Sumartini dan Mudji Rahayu Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jalan Raya Kendalpayak km 8, Kotak Pos 66 Malang 65101 Telp. (0341) 801465; (0341) 801468 E-mail: sumartiniputut@yahoo.co.id; balitkabi@litbang.pertanian.go.id Diterima: 9 Mei 2017; Direvisi: 12 Oktober 2017; Disetujui: 26 Oktober 2017 ABSTRAK Penyakit embun tepung disebabkan oleh cendawan Erysiphae diffusa (Cook and Peck) pada tanaman kedelai dan E. polygoni (DC Sawada) pada kacang hijau. Penyebaran penyakit penting ini menyebabkan kehilangan hasil mencapai 35% pada kedelai dan 26% pada kacang hijau. Di Indonesia, penyakit ini terjadi di sentra produksi kedelai dan kacang hijau. Di luar negeri, penyebaran penyakit embun tepung meliputi Asia, Amerika Serikat, dan Brazil. Intensitas penyakit biasanya tinggi pada musim kemarau, pada saat suhu dingin di pagi hari dan kondisi berembun di sekitar pertanaman. Gejala penyakit embun tepung mudah dikenali dengan ciri seperti tepung di permukaan atas daun. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesis dan transpirasi. Selain itu, haustorium Erysiphe menyerap nutrisi tanaman sehingga mengganggu beberapa fungsi dan proses metabolisme. Penyakit embun tepung perlu dikendalikan untuk menekan kehilangan hasil kedelai dan kacang hijau. Cara pengendalian yang disarankan adalah penyemprotan dengan bahan nabati (ekstrak biji mimba, kompos teh, susu sapi, minyak dari citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman teh) pada kedelai dan penggunaan varietas tahan Vima-1 pada kacang hijau. Kata Kunci: Kedelai, kacang hijau, penyakit embun tepung, pengendalian ABSTRACT Powdery mildew disease is caused by Erysiphae diffusa (Cook and Peck) fungi on soybeans and E. polygoni (DC Sawada) on mungbean. Both diseases are an important disease because of their widely spread and high yield loss, reaching 35% in soybeans and 26% in mungbean. In Indonesia, the disease occurs in central areas of soybean production and mungbean. The spread of the disease includes Asia, the United States of America , and Brazil. The symptoms of powdery mildew are easily recognizable in the presence of white flour on the top surface of the leaves. The intensity of powdery mildew is usually high in the dry season, when the temperature is cold in the morning and much mildew conditions around the plant. This situation will interfere with the process of photosynthesis and transpiration. In addition, Erysiphe’s haustorium absorbs plant nutrients that will interfere with some metabolic functions and processes. Control of powdery mildew will suppress the loss of grain bean and results nationally supports the availability of soybean and mungbean. Recommended control measures are spraying with plant materials (extracts of neem seeds, tea compost, cow´s whole milk, essential oil of citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, and tea tree) on the incidence of powdery mildew disease on soybean and the use of Vima1 varieties for control of powdery mildew disease on mungbean. Keywords: Soybean, mungbean, powdery mildew, control PENDAHULUAN Kedelai dan kacang hijau merupakan komoditas pangan sumber protein nabati. Bijinya mengandung 3545% dan 23-29% protein berturut-turut pada kedelai dan kacang hijau (RISTEK 2000; Ginting et al. 2008). Kedelai sebagian besar digunakan untuk bahan baku tempe, tahu, dan kecap, sedangkan kacang hijau sebagai bahan baku kecambah (sayur), bakpia, dan aneka kue. Kedua jenis komoditas pangan ini selain dikonsumsi secara tunggal, juga dapat dicampurkan dalam pembuatan aneka kue atau camilan. Di satu sisi, kebutuhan akan kedelai dan kacang hijau terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, produksi nasional kedelai pada tahun 2015 baru mencapai 963.183 ton (Kementan 2017a) produksi kacang hijau 271.463 ton (Kementan 2017b). Kementerian Pertanian mencanangkan swasembada kedelai yang berimplikasi terhadap aspek budi daya untuk mendukung program tersebut, termasuk pengendalian hama dan penyakit. Dalam upaya peningkatan produksi kedelai dan kacang hijau dijumpai berbagai masalah, antara lain patogen penyebab penyakit. Salah satu penyakit utama pada kedelai dan kacang hijau ialah penyakit embun tepung. Penyakit ini tersebar luas di dunia, baik pada tanaman yang dibudidayakan seperti 60 tanaman aneka kacang maupun pada gulma (Khodaparast dan Abbasi 2009). Di luar negeri penyakit embun tepung pada kedelai telah lama diketahui. Penyakit ini telah tersebar di beberapa negara penghasil kedelai seperti Amerika Serikat, Brazil, dan China. Di Indonesia, pada tahun 2009 terjadi penularan penyakit embun tepung pada pertanaman kedelai di Kebun Percobaan (KP) Muneng, Probolinggo, Jawa Timur. Infeksi penyakit embun tepung pada tanaman kedelai varietas Mahameru dan Anjasmoro sudah sangat parah. KP Muneng secara geografis terletak pada ketinggian 10 mdpl, relatif dekat dengan pantai Ketapang. Curah hujan dalam 10 tahun terakhir menunjukkan pada periode April-Juni rata-rata 47108 mm dengan jumlah hari hujan 39 hari. Pada Mei-Juni 2009, jumlah hujan tertinggi mencapai 132 mm dan terendah 41 mm, dengan jumlah hari hujan terendah 3 hari dan tertinggi 9 hari. Cuaca relatif tidak stabil pada musim kemarau, sering turun hujan gerimis. Kondisi ini merupakan faktor pemicu munculnya penyakit embun tepung pada tanaman kedelai. Kedelai varietas Anjasmoro dan Mahameru memiliki sensitif terhadap patogen parasit obligat tersebut. Tingkat keparahan penyakit rata-rata sangat tinggi, mencapai 50% pada varietas Mahameru dan 60% pada Anjasmoro (Rahayu 2011). Benih kedelai dari tanaman yang terinfeksi penyakit embun tepung dapat menurunkan daya kecambah sampai 50% tetapi tidak disebutkan kehilangan hasil secara pasti, namun hasil penelitian di Amerika Serikat menunjukkan penurunan hasil kedelai varietas rentan mencapai 35% apabila infeksi terjadi pada awal pertumbuhan tanaman (Hartman et al. 1999). Penyakit embun tepung pada kacang hijau juga telah tersebar di beberapa negara penghasil kacang hijau seperti India, Pakistan, Thailand, China, Myanmar, dan Indonesia (Nair et al. 2014). Di Thailand, penurunan hasil dapat mencapai 26,2% (Tantanapornkul et al. 2005), sedangkan di Filipina 21% apabila semua daun tertutupi oleh penyakit embun tepung pada saat tanaman berbunga (Semangun 2005). Menurut Semangun (2005), di Indonesia penyakit embun tepung tersebar di Jawa, Bali, dan Sumatera. Penyebaran penyakit ini bisa melalui angin, sehingga tidak tertutup kemungkinan dapat menyebar cepat ke provinsi lainnya. Intensitas penyakit embun tepung di lapang mencapai 44% (Sumartini 2002) dan kehilangan hasil dapat mencapai 80% pada varietas lokal. Menurut Fondevilla dan Rubiales (2012), di Spanyol kehilangan hasil kacang kapri akibat penyakit embung tepung berkisar antara 2550%, menurunkan total biomasa, jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong, jumlah cabang, dan tinggi tanaman. Tulisan ini membahas gejala dan penyebab, siklus penyakit dan faktor-faktor yang memengaruhi penyakit dan cara pengendalian penyakit embun tepung pada tanaman kedelai dan kacang hijau. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66 GEJALA DAN PENYEBAB PENYAKIT Gejala penyakit embun tepung didahului oleh bercak putih pada daun bagian bawah. Bercak putih tersebut seperti tepung yang merupakan kumpulan konidia dan konidiofor cendawan penyebabnya (Gambar 1A dan 1B). Bercak putih akan meluas ke seluruh daun, bahkan pada varietas rentan, polong dan batang juga memutih. Penyakit yang menyerupai tepung tersebut adalah konidifor dan konidia cendawan penyebab embun tepung. Konidium akan membentuk haustorium yang berkembang di dalam sel-sel daun, menghisap cairan nutrisi tanaman, sehingga proses metabolisme terganggu. Selain itu, konidium dan konidiofor di permukaan atas daun akan menghambat fotosintesis dan transpirasi (Mignucci and Boyer 1979). Infeksi yang parah menyebabkan daun mengering dan akhirnya rontok. Infeksi yang parah sebelum fase pembungaan menyebabkan polong kecil atau bahkan tidak terbentuk polong sama sekali. Gejala tersebut hampir sama dengan gejala penyakit embun tepung pada beberapa komoditas lainnya, misalnya kacang buncis, anggur, dan melon (termasuk tanaman perdu). Berbeda dengan embun tepung pada tanaman “ek” (pohon “ek”), penghambatan hanya terjadi pada metabolisme primer, misalnya karbohidrat dan protein (Mignucci dan Boyer 1979). Pada tanaman kedelai, penghambatan terjadi pada metabolisme primer dan sekunder (termasuk daya tahan tanaman, misalnya adanya fenol dan lignin) (Marcais dan Deprez-Loustau, 2012). Menurut Grau (2006), penyakit embun tepung pada tanaman kedelai yang disebabkan oleh cendawan Microsphaera diffusa (Gambar 1C), dan pada kacang hijau yang disebabkan oleh cendawan Erysiphe polygoni (Gambar 1D). Almeida et al. (2008) menyebutkan bahwa M. diffusa yang menginfeksi tanaman kedelai merupakan sinonim dari E. diffusa. Bentuk visual cendawan penyebab penyakit embun tepung dapat dilihat menggunakan mikroskop. Bentuk visual penyakit ini perlu diketahui bila suatu saat dijumpai gejala yang sama, sehingga setidaknya dapat diketahui familinya. Klasifikasi penyebab penyakit embun tepung menurut Mc Laughlin et al. (1977) adalah sebagai berikut: Kerajaan Filum Subfilum Klas Ordo Famili Genus Spesies : : : : : : : : Fungi Ascomycota Pezizomycotina Leitiomycetes Erysiphales Erysiphaceae Erysiphe Microsphaera diffusa (Erysiphe diffusa) pada kedelai Erysiphe polygoni pada kacang hijau Setiap individu baik manusia, makro organisme maupun mikroorganisme, berbeda rantai DNAnya. Berdasarkan analisis sequen dari inti r-DNA dinyatakan cendawan penyebab penyakit embun tepung pada kedelai 61 Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu) A B C D Gambar 1. Gejala penyakit embun tepung pada tanaman kedelai dan kacang hijau (A dan B). Konidia M. diffusa (isolat Muneng) dan E. polygoni (C dan D). terdapat dua spesies, yaitu E. glycines dan E. diffusa (Takamatsu et al. 2002). Klasifikasi ini lebih detail daripada klasifikasi morfologi. FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI PENYAKIT Faktor yang mempengaruhi penyakit embun tepung antara lain suhu, kelembaban, dan sinar matahari. Di Indonesia, komoditas kacang-kacangan banyak ditanam pada lahan sawah setelah panen padi. Pada musim kemarau pertama, sebagian lahan masih bisa ditanami padi, sedangkan pada musim kemarau kedua sebagian besar petani menanam palawija, termasuk kedelai, kacang tanah, dan kacang hijau. Pada saat itu bertepatan dengan bulan Juni atau Juli. Pada bulan-bulan tersebut suhu udara di Indonesia agak rendah, rendah pada pagi hari dan tinggi pada siang hari. Kondisi ini cocok bagi perkembangan penyakit embun tepung. Perkembangan penyakit lebih cocok pada suhu dingin, kelembaban rendah, dan suasana teduh (Anonim 2006). Menurut Ilag (1978), suhu dan kelembaban udara yang sesuai untuk perkembangan penyakit embun tepung masing-masing berkisar antara 2226oC dan 8088%. Penyakit embun tepung pada pohon “ek” (E. alpitoides) membutuhkan kelembaban yang agak lebar, berkisar antara 7696%, di mana pelepasan konidia berlangsung jika udara kering, dan sebaliknya untuk perpanjangan tabung kecambah membentuk haustorium apabila kelembaban minimal 96% (Hewitt 1974). Cendawan E. alphitoides membutuhkan keadaan kering untuk melepaskan konidia ke atmosfer, meski demikian cendawan masih membutuhkan air bebas untuk pembentukan haustorium. Selain kelembaban, kejadian penyakit embun tepung juga bergantung pada curah hujan. Menurut penelitian Basova (1987), curah hujan yang dibutuhkan untuk epidemi penyakit embun tepung pada pohon “ek” berkisar antara 7080 mm/bulan. Sinar matahari juga berpengaruh terhadap epidemi penyakit embun tepung. Pada daerah yang terkena banyak sinar matahari lebih banyak terjadi penyakit embun tepung daripada daerah yang teduh (Giertych dan Suszka 2010). Penyakit ini juga dapat terjadi apabila terdapat tanaman inang yang rentan, patogen yang agresif, dan cuaca yang mendukung. Pengamatan Rahayu (2011) menunjukkan kedelai varietas Anjasmoro dan Mahameru terinfeksi patogen penyakit embun tepung dengan intensitas yang tinggi, yaitu 60% pada varietas 62 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66 Anjasmoro dan 50% pada varietas Mahameru, sehingga banyak biji yang keriput dan daya kecambah menurun sampai 50%. SIKLUS PENYAKIT EMBUN TEPUNG Penyakit embun tepung berkembang dengan organ yang disebut konidia. Konidia yang berada di permukaan daun berkecambah membentuk haustorium (Gambar 2). Cendawan mengisap atau memperoleh nutrisi dari sel-sel epidermis dan selanjutnya berkembang dalam sel-sel epidermis daun dan membentuk konidia serta konidiofor pada permukaan daun. Sebagian konidia akan berkembang membentuk kleistotesium. Kleistotesium yang berada pada permukaan daun berkembang membentuk askus yang membentuk askospora dan menginfeksi daun (Gambar 3). Siklus hidup penyakit embun tepung dilalui dengan dua cara. Pertama, dari konidia membentuk haustoria, kemudian membentuk konidia lagi. Kedua, konidia membentuk kleistotesium dan berkembang membentuk askus, dari askus membentuk askospora dan selanjutnya membentuk haustorium (Gambar 4). TANAMAN INANG Selain menginfeksi kedelai, M. diffusa juga menginfeksi jenis kacang yang lain seperti buncis Phaseolus vulgaris, ercis Pisum aestivum, kacang tunggak Vigna unguiculata, dan kacang hijau Vigna radiata (Sweets dan Wrather 2000). Tanaman bukan kacang yang menjadi inang jamur embun tepung di antaranya ialah tomat Gambar 3. Siklus penyakit embun tepung pada tanaman kacang hijau (Shumann 2016). Lycopersicum esculentum dan beet gula Beta vulgaris. Hasil penelitian Mignucci dan Chamberlain (1978) menunjukkan dari 35 anggota famili Leguminosae, 14 anggotanya dinyatakan imun terhadap M. diffusa. Dari lima jenis kedelai liar hanya Glycine canescens yang imun. Spesies Lotus tidak ada yang terinfeksi. Tanaman tersebut dapat digunakan sebagai rotasi tanaman untuk mengeliminasi patogen penyebab penyakit embun tepung pada kedelai atau kacang-kacangan lainnya. Beberapa jenis gulma berperan sebagai inang alternatif bagi penyakit embun tepung jika tanaman inang tidak ada di lapangan, contohnya Euphorbia hirta (Jawa: patikan kebo), asterase Pseudoelephantopus spicatus (Gambar 4A), dan Heliotrophium indicum (Jawa: buntut tikus) (Gambar 4B). Konidia Konidiofor Haustorium Epidermis Parencim Epidermis Gambar 2. Irisan melintang daun yang terinfeksi Erysiphe polygoni (Rasbak 2016.) 63 Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu) A B Gambar 4. Gulma asterase P. spicatus (A), dan H. indicum (B) yang terinfeksi cendawan embun tepung di lapangan (Sumartini, Mudji Rahayu). Tabel 1. Perbedaan penyakit embun tepung pada tanaman kacang hijau dan kedelai Keterangan Kacang hijau Kedelai Stadium asexual Erysiphe poligoni Erysiphe diffusa (Mc. Taggart, Ryley, and Shivas 2012) Erysiphe glycine (Takamatsu et al. 2002) Stadium sexual Podosphaera fusca Microsphaera diffusa Inang lain Famili Kacang-kacangan: buncis, Famili Cucurbitaceae: melon, semangka, timun, labu kuning, labu putih dll. E. glycine pada buncis (Phaseolus vulgaris), Helianthus annuus, Sonchus, oleraceus, Hypochaeris brasiliensis, and Biden pilosa (Almeida et al., 2008) Kisaran suhu untuk perkembangan penyakit Suhu maksimum 27,2 – 30,3 0C (Thakur dan Agrawal, 2008) Suhu udara dingin, 18-24 0C (Mignucci and Lim, 1980) Kisaran kelembaban untuk perkembangan penyakit RH pagi 67-90%, RH siang 12-38% (Thakur dan Agrawal, 2008) RH rendah, 70% (Mignucci and Boyer 1979) Penyebab penyakit embun tepung pada tanaman kedelai dan kacang hijau hanya sama pada genus dari stadium aseksual, sedangkan stadium seksualnya berbeda. Perbedaan lainnya ialah tanaman inang, faktor abiotik yang berpengaruh (kisaran suhu dan kelembaban) terhadap perkembangan penyakit (Tabel 1). PENGENDALIAN Penyakit embun tepung dapat dikendalikan dengan cara mekanis, kultur teknis, penanaman varietas tahan, biofungisida, dan fungsisida kimia. Pengendalian secara mekanis adalah memetik semua daun-daun yang terinfeksi cendawan penyebab penyakit embun tepung. Cara ini tidak efektif dan tidak efisien karena tepung cendawan bisa saja tercecer atau terbawa angin dan membutuhkan banyak tenaga kerja. Pengendalian Kultur Teknis Sanitasi lingkungan. Membersihkan gulma di antara tanaman yang berperan sebagai inang alternatif bagi patogen E. polygoni. Cendawan E. polygoni bisa bertahan hidup pada tanaman yang tidak dibudidayakan atau gulma, baik berdaun lebar maupun berdaun sempit. Jika tanaman yang dibudidayakan sudah panen E. poligoni bisa bertahan hidup pada gulma. Rotasi tanaman. Rotasi tanaman akan memutus siklus hidup suatu mikroorganisme yang bertindak sebagai patogen penyebab penyakit. Pergiliran tanaman setelah 64 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66 kacang hijau harus mempertimbangkan jenis tanamannya. Pilihlah yang bukan inang dari E. polygoni. Setelah satu musim bukan kacang hijau, diperbolehkan tanam kacang hijau. Pemupukan. Sulfur dan seng merupakan hara mikro yang dibutuhkan tanaman. Fungsinya adalah untuk meningkatkan jumlah khorofil, sehingga fotosintat juga akan meningkat. Fotosintat yang besar akan menghasilkan biomasa yang besar sehingga meningkatkan hasil. Hasil penelitian di India menunjukkan pemupukan tanaman padi pada pola tanam padi-lentil (leguminosae) dengan campuran 40 kg/ha sulfur dan 6 kg/ha seng menekan intensitas penyakit embun tepung 10% dan meningkatkan bobot biomasa 14% (Sing et al. 2013). Penanaman Varietas Tahan Penanaman varietas tahan penyakit embun tepung merupakan cara pengendalian yang efektif dan ramah lingkungan, namun benih sering tidak tersedia pada waktu yang tepat. Badan Litbang Pertanian pada tahun 2008 telah melepas kacang hijau unggul varietas Vima-1 yang tahan terhadap penyakit embun tepung. Beberapa varietas unggul kacang hijau yang tahan terhadap penyakit embun tepung disajikan pada Tabel 2. Ketahanan varietas Vima-1 disebabkan oleh gen yang dibawa tetuanya. Sebagian petani di Pantura Jawa Tengah adalah pemasok kacang hijau ke Yogyakarta untuk kebutuhan bakpia. Sebelum ditemukan varietas unggul Vima-1, mereka menanam varietas lokal yang kulit bijinya tidak mengkilat (buram). Akhir-akhir ini kacang hijau varietas Vima 1 sudah banyak ditanam petani dengan alasan kulit biji buram dan rasa lebih gurih. Selain itu, varetas Vima-1 juga tahan terhadap penyakit embun tepung, sehingga pertanaman petani tidak lagi terjangkit patogen embun tepung. Varietas Vima-1 juga sudah berkembang di Nusa Tenggara Timut (NTT) yang merupakan sentra kacang hijau. Pengendalian Biologi Penyemprotan fungisida nabati. Pengendalian dengan bahan alami seperti ekstrak biji mimba, minyak cengkeh Tabel 2. Beberapa varietas kacang hijau tahan dan agak tahan penyakit embun tepung. Varietas Camar Merpati Sampeong Kutilang Vima 1 Produktivitas (t/ha) Ketahanan 1,35 1,2-1,8 1,0-1,8 1,13-1,96 1,38-1,76 Tahan Tahan Agak tahan Tahan Tahan Sumber: Balitkabi (2012). atau ekstrak bawang merah juga dapat menekan intensitas penyakit embun tepung. Minyak cengkeh (3 ml/l air) lebih efektif menekan penyakit embun tepung daripada ekstrak bawang merah (10 g/l air). Penyemprotan ekstrak biji mimba untuk pengendalian embun tepung pada kacang hijau (1 ml/l bahan induk 50 g/l air) dapat menekan penyakit embun tepung sampai 38% dan menekan kehilangan hasil hingga 70% (Rajid et al. 2009). Penggunaan kompos teh untuk pengendalian penyakit embun tepung pada tomat yang disebabkan oleh E.polygoni telah diteliti oleh Segarra et al. (2009) di Spanyol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan penyemprotan larutan kompos teh dan air (1:5, v/v) dengan interval seminggu sekali, dimulai pada saat tanaman tomat berumur 60 hari, empat kali penyemprotan, menghambat intensitas penyakit embun tepung 19% jika dilakukan sebelum terjadi gejala penyakit (preventif) dan efektif menurunkan penyakit (100%). Dengan kata lain mengeradikasi embun tepung jika dilakukan setelah kejadian penyakit (curatif). Perina et al. (2013) di Brazil mengevaluasi pengaruh susu sapi, minyak citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman teh pada patogen embun tepung melalui Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil penelitian menunjukkan E. diffusa dapat dikendalikan dengan susu sapi dan bahan-bahan nabati tersebut. Dengan konsentrasi 100 ml/l dan 1 ml/l air masing-masing untuk susu sapi dan minyak citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon menurunkan keparahan penyakit 6774%. Penyemprotan fungisida hayati. Cendawan Ampelomyces quisqualis yang merupakan musuh alami terbukti efektif menekan pertumbuhan E. polygoni yang sedang menginfeksi tanaman kacang hijau. Mekanisme kerja cendawan tersebut ialah memarasit seluruh permukaan cendawan E. polygoni. Aplikasi suspensi konidia cendawan A. quisqualis di tingkat laboratorium yang digunakan adalah 107 spora/ml air, dan disarankan menggunakan kerapatan 10 6/ml air untuk aplikasi di lapangan pada sore hari (Yusnawan dan Hardaningsih, 2006). Keunggulan cara ini ialah satu kali aplikasi dapat menghambat perkembangan patogen embun tepung. Pengendalian dengan fungisida kimia. Hasil pengujian di Malang pada musim kemarau tahun 1999 menunjukkan di antara delapan jenis fungisida yang diuji, heksakonazol merupakan efektif menekan penyakit embun tepung pada kacang hijau. Fungisida tersebut menekan intensitas penyakit embun tepung sebesar 42% pada saat tanaman berumur 42 hari (Sumartini 2002). Hasil penelitian efikasi beberapa macam fungisida untuk pengendalian cendawan E. polygoni pada cumin di Brazil menunjukkan fungisida sulfur (80 WP) lebih efektif daripada hexaconazol (5 EC), difenoconazol (25 EC), propiconazol (25 EC), picoxystrobin (25 EC), dinocap (48 EC), dan dapat menghambat penyakit sebesar 73% (Khunt et al., 2017). Pengendalian dengan fungisida kimia merupakan cara terakhir apabila cara-cara yang lain tidak efektif. Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu) Dari uraikan di atas diketahui pengendalian penyakit embun tepung yang paling efektif pada tanaman kacang hijau adalah penanaman varietas Vima-1. Varietas unggul sudah tersedia di beberapa daerah dan disukai oleh petani, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan biaya pengendalian. Pengendalian penyakit embun tepung pada tanaman kedelai dengan penanaman varietas tahan belum dapat disarankan karena belum diketahui secara pasti varietas yang benar-benar tahan. Hal ini merupakan tantangan bagi pemulia tanaman kedelai dalam menghasilkan varietas tahan. Untuk sementara, pengendalian penyakit embun tepung pada tanaman kedelai disarankan dengan penyemprotan kompos teh karena sisa teh banyak tersedia di warung atau restoran yang tidak memerlukan biaya, bahkan turut berperan dalam pemanfaatan limbah. KESIMPULAN Embun tepung merupakan penyakit utama tanaman kedelai dan kacang hijau. Tanpa pengendalian, penyakit ini dapat menurun hasil 35% pada kedelai dan 26% kacang hijau. Jenis tanaman inang antara lain leguminae dan cucurbitasae, baik yang dibudidayakan maupun tidak dibudidayakan (gulma). Cara pengendalian penyakit penting ini mencakup penanaman varietas tahan, secara kultur teknis dengan sanitasi lingkungan, rotasi dengan tanaman bukan inang, pemupukan dengan hara sulfur dan seng. Selain itu, penyakit embun tepung juga dapat dikendalikan secara biologi, yaitu dengan fungisida nabati (ekstrak biji mimba dan kompos teh), dan fungisida hayati (cendawan Ampelomyces quisqualis). Alternatif terakhir adalah penyemprotan dengan fungisida kimia apabila cara terdahulu tidak mampu mengendalikan penyakit embun tepung. DAFTAR PUSTAKA Almeida, A.M.R., E. Binnekck, F.P. Fernanda, R.R.M. Silvana, R.Z. Paula, Riberio do Valle, and C.A Silveira. 2008. Characterization of powdery mildews strains from soybean, bean, sunflower, and weeds in Brazil using rDNA-ITS sequences. Tropical Plant Pathology 33(1): 020–026. Anonim. 2016a. Erysiphe diffusa. EPPO Global Database. https:// gd.eppo.int/taxon/MCRSDI. [17 Januari 2017]. Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi). 2012. Deskripsi varietas unggul Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi). 2014. Deskripsi varietas. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Basova, S.V. 1987. Seasonal dynamics of powdery mildew of pedunculate oak in a seed grafting plantation (in Russian). Mikol. Fitopathol. 21: 269–273. 65 Fondevilla, S. and D. Rubiales. 2012. A reviw of Powdery mildew control on pea. Agron Sustain Dev. 32: 401–409. Ginting, E., Ratnaningsih, dan R. Iswanto. 2008. Karakteristik Fisik dan Kimia 17 Genotipe Kacang Hijau untuk Bahan Pangan. hlm. 451–464. Dalam A. Harsono, A.Taufik, A. A. Rahmiana, Suharsono, M. M. Adi, F. Rozi, Adi Widjono, dan Rudi Suhendi (Eds.) Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi. Prosiding Seminar Nasional 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Giertych M.J and Suszka J. 2010. Influence of cutting off distal ends of Quercus robur acorns on seedling growth and their infection by the fungus Erysiphe Alphitoides in difference light condition. Dendrobiology 64: 73–77. Grau, C. 2006. Powdery Mildew of Soybean. UW Extension. University of Wisconsin, Madison USA. 2pp. http://fyi.uwex.edu/ fieldcroppathology/files/2010/12/powdery_mildew_06.pdf. [41-2008]. Hartman, G.L., J.B. Sinclair, and J.C. Rupe. 1999. Compendium of Soybean Diseases Fourth Edition. American Phytopathological Press. 100 pp. Hewitt, H.G. 1974. Conidia germination in Microsphaera alphitoides. Trans Br. Mycol Soc 63: 587–628. Kementan (Kementerian Pertanian). 2017a. Produksi Kedelai. http:/ / www. p ert a n i a n . go. i d / D a t a 5 t a h u n / ATAP -T P 2 0 1 5 / 2 4 ProdKedelai.pdf. [4 April 2017]. Kementan (Kementerian Pertanian). 2017b. Produksi Kacang Hijau. http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/ATAP-TP2015/26ProdKcHijau.pdf. [4 April 2017]. Khodaparast, S.A and M. Abbasi. 2009. Spesies, host range, and geographical distribution of powdery mildew fungi in Iran. Mycotaxon 108: 213–216. Khunt, A.R., L.F. Akbari, G.J. Goswami, and A.S. Vamja. 2017. Efficacy various fungicides for the management of cumin powdery mildew caused by Erysiphe polygoni. International Journal of Current Microbiology Application Science 6(4): 1.218–1.223. Marcais, B. and M.L Deprez-Loustau. 2012. European oak powdery mildew: impact on trees, effects on enviromental factors, and potential effect of climate change. Annals of Forest Science. Mc. Laughlin M.R., J.S. Mignucci, and C.M. Milbarth. 1977. Microsphaera diffusa, the perfect stage of the soybean powdery mildew pathogen. Phytopathology 67: 726–729. USA. Mc. Taggart, A.R., M.J. Ryley, and R.G. Shivas. 2012. First report of the powdery mildew Erysiphe diffusa on soybean in Australia. Australian Plant Diseases. Notes 7: 127-129. DOI:10.1007/ s13314-012-0065-7. Mignucci, J.S. and D.W. Chamberlain. 1978. Interaction of Microsphaera diffusa with soybean and other legumes. Phytopathology 68: 169–173. Mignucci, J.S. and J.S. Boyer. 1979. Inhibition of photosyntesis and transpiration in soybean infected by Microsphaera diffusa. Phytopathology 69: 227–230. Mignucci, J.S. and S.M. Lim. 1980. Powdery mildew development on soybean with adult plant resistance. Phytopathology 70: 919–921. Nair, R., R.Schafleitner, W. Easdown, A. Ebert, P. Hanson, J. d’arros Hughes, and J.D.H. Keatinge. 2014. Legume Improvement Program AVRDC-The World Vegetable Centre. Impact and Future Prospects. Asian Vegetable Research Centre. Shanhua, Tainan, Taiwan. Perina, F.J., Eduardo Alves, R.B. Periera, C.L. Gelvaine, Claudia R.G.L, and H.A. de Castro. 2013. Essential Oil and whole milk in control of soybean powdery mildew. Ciencia Rural, Santa Maria 43(11): 1938–1944. 66 Radjid, B.S., D. Runik, S.W. Indiati, dan Sumartini. 2009. Evaluasi teknologi budi daya kacang hijau di lahan tadah hujan. Laporan Teknis Tahun 2009. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. 10 hlm. Rahayu, M. 2011. Penyakit embun tepung Microsphaera diffusa pada stadia generatif dua varietas kedelai. Suara Perlindungan Tanaman 1(2): 1–7. Rasbak. 2016. Erysiphe necator mycelium. https://pl.wikipedia.org/ wiki/Plik:Erysiphe_necator_mycelium.svg. [10 Oktober 2016]. RISTEK. 2000. Tempe. Deputi Kemenristek Bidang Pendayagunaan dan Pemasyaratan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http:// www.ristek.go.id. [10 Maret 2017]. Segarra, G., M. Reis, E. Casanova, and M.I. Trillas. 2009. Control of tomato powdery mildew (Erysiphe polygoni) in tomato by foliar application of compost tea. Journal of Plant Pathology 91(3): 683–689. Semangun, H. 2005. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di Indonesia 2ed. Gajah Mada University Press. 475 hlm. Shumann, G.L. 2016. Plant Diseases: Their Biology and Social Impact. APS Press. http://www.apsnet.org/edcenter/K-12/TeachersGuide/ PowderyMildew/Pages/PowderyMildewsLifeCycle.aspx. [3 Maret 2017]. Sing A.K, B.P. Bhatt, K.M. Sing, A. Kumar, Manibhushan, U. Kumar, N. Chandra, and R.C. Bharati. 2013. Dynamics of powdery mildew (Erysiphae trifolii) disease of lentil influenced by sulfur and zinc nutrition. Plant Pathology Journal 12(2): 71–77. Sumartini, M. Anwari, dan Yusmani. 2002. Efektivitas fungisida terhadap penyakit embun tepung pada kacang hijau. hlm. 248 255. Dalam Peningkatan produktivitas, kualitas dan efisiensi J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66 sistem produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian menuju ketahanan pangan dan agribisnis. Bogr: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sweets. L.E. and A. Wrather. 2000. Soybean diseases. Integrated pest management manuals. Plant protection programs of the University of Missouri. Columbia. 26 pp. Takamatsu, S., Shein Hyon-Dong, U. Paksiri, S. Limkaisang, Y. Taguchi, Thi Binh Nguyen, and Sato Yukio. 2002. Two Erysiphe spesies associated with recent outbreak of soybean powdery mildew: result of molecular phytogenetic analysis based on nulear r-DNA sequences. Mycoscience 43(4): 333341. http:// hdl.hadle.net/10076/2631.10-4-2014]. Tantanapornkul, N., S. Wongkaes, and P. Laosuwan. 2005. Effect of powdery mildew on yield, yield component, and seed quality of mungbean. Suranaree J. Sci. and Technol 13(12): 152162. Thakur, M.P. and K.C. Agrawal. 2008. Epidemiological studies on powdery mildew of mungbean and urdbean. http://dx.doi.org/ 10.1080/09670879509371940. [23 Maret 2014]. Yusnawan, E. dan S. Hardaningsih. 2006. Keefektivan Ampelomyces quisqualis yang ditumbuhkan pada berbagai media terhadap penyakit embun tepung. hlm. 483490. Dalam Suharsono, A.K. Makarim, A.A. Rahmiana, M.M. Adi, A. Taufik, F. Rozi, I.K. Tastra, dan D. Harnowo (Eds.). Peningkatan produksi kacangkacangan dan umbi-umbian mendukung kemandirian pangan. Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. PotensiLitbang Jurnal pengembangan Pertanianplastik Vol. 36biodegradable No. 2 Desember .... (Elmi 2017: Kamsiati 67-76 et al.) DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p67-76 67 POTENSI PENGEMBANGAN PLASTIK BIODEGRADABLE BERBASIS PATI SAGU DAN UBIKAYU DI INDONESIA The Development Potential of Sago and Cassava Starch-Based Biodegradable Plastic in Indonesia Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114 Telp. (0341) 801465; (0341) 801468 E-mail: elmikamsiati@gmail.com; bbpascapanen@litbang.pertanian.go.id Diterima: 2 Maret 2017; Direvisi: 10 Oktober 2017; Disetujui: 27 Oktober 2017 PENDAHULUAN ABSTRAK Plastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan namun berdampak buruk bagi lingkungan karena sulit terdegradasi di alam. Teknologi produksi plastik biodegradable atau bioplastik yang dibuat dari bahan alami dan ramah lingkungan sudah mulai dikembangkan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati relatif lebih mudah diproduksi dan bahan baku mudah diperoleh. Pati ubi kayu dan sagu memiliki potensi sebagai bahan baku plastik biodegradable ditinjau dari ketersediaan dan karakteristiknya. Selain pati sebagai bahan utama, diperlukan pula plastisizer atau bahan pemlastis dan bahan penguat struktur untuk menghasilkan plastik biodegradable dengan karakteristik yang baik. Tahapan produksinya meliputi pencampuran, pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang ramah lingkungan dan berpeluang besar dikembangkan. Kata kunci: Pati, sagu, ubi kayu, bioplastik, teknologi produksi ABSTRACT Plastic is a packaging materials that are widely used but has an adverse impact on the environment because it is difficult to degrade in nature. Production technology of biodegradable plastics from natural resources that have characteristic environmentally friendly has developed. Starch-based biodegradable plastic is a widely developed type because the production process is simple and the raw materials more readily available. The starch of cassava and sago has potential as a raw material of biodegradable plastic because of the availability and its characteristic. Also, to make starch as the main ingredient, plasticizers and structural strengthening materials are required to produce biodegradable plastic with excellent characteristics. The production stages of biodegradable plastics include mixing, heating, and casting. The starch-based biodegradable plastic that can apply to an environmentally friendly packaging material has an excellent opportunity developed in Indonesia. Keywords: Starch, sago, cassava, biodegradable plastics, production technology P lastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan dan berkembang luas di seantero negeri. Sebagian besar barang yang dibutuhkan, mulai dari peralatan elektronik, perlengkapan rumah tangga, perlengkapan kantor sampai makanan dan minuman menggunakan plastik sebagai pengemas karena ringan, kuat, mudah dibentuk, dan harganya terjangkau (Mahalik dan Nambiar 2010). Tidak hanya di bidang industri, kemasan plastik juga banyak digunakan oleh retail, pedagang tradisional, dan rumah tangga. Menurut Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia (INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun 2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Jika jumlah penduduk Indonesia pada semester pertama tahun 2017 sekitar 261 juta jiwa, maka penggunaan plastik secara nasional mencapai 4,44 juta ton. Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak negatif terhadap kelestarian lingkungan (Tokiwa et al. 2009), karena sulit terdegradasi sehingga terjadi penumpukan sampah plastik yang mencemari lingkungan. Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (2016), permasalahan sampah plastik di Indonesia sudah meresahkan. Selain Tiongkok, Indonesia adalah negara pembuang sampah plastik terbesar ke laut. Sampah plastik yang dibuang sembarangan menyumbat saluran air dan bahkan menumpuk di pintu-pintu sungai sehingga mengakibatkan banjir. Plastik yang ditimbun di tanah juga sulit terdegradasi. Polimer sintetis yang merupakan bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan (Gironi dan Piemonte 2011). Para peneliti dan ilmuwan terus berupaya menghasilkan bahan kemasan plastik yang ramah lingkungan. Beberapa penelitian telah menghasilkan teknologi pembuatan plastik dari bahan alami yang dapat terdegradasi dalam waktu singkat yang disebut sebagai 68 sebagai bahan baku, teknologi dan proses produksi, serta peluang pengembangan bioplastik di Indonesia. PLASTIK BIODEGRADABLE VS PLASTIK KONVENSIONAL Plastik didefinisikan sebagai bahan sintetik atau semi sintetik yang diproses dalam bentuk polimer termoplastik atau termoset dengan berat molekul yang tinggi dan dibentuk menjadi produk berupa film dan filamen. Polimer plastik tersusun dari monomer melalui reaksi polimerisasi. Sebagian besar plastik terdiri atas 50020.000 monomer, misalnya polietilen yang dibuat dari etilen. (PlasticEurope 2017; Nkwachukwu et al. 2013). Berdasarkan bahan bakunya, plastik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu plastik dari bahan yang tidak dapat diperbaharui dan dapat diperbaharui. Dari segi kemudahan terdegradasi oleh alam, plastik dibedakan menjadi dua, yaitu mudah terdegradasi (biodegradable) atau bioplastik dan sulit terdegradasi (non biodegradable) atau plastik konvensional (Gambar 1). Plastik biodegradable dibuat dari bahan nabati yang merupakan produk pertanian yang dapat diperbaharui. Oleh karena itu, produksi bahan nabati dapat berkelanjutan dan bioplastik dapat terdegradasi lebih cepat karena bersifat ramah lingkungan. Namun harga plastik biodegradable lebih mahal daripada plastik kovensional karena teknologinya belum berkembang luas. Keterbatasan bahan baku plastik konvensional berupa minyak bumi dan meningkatnya tuntutan terhadap produk **Bio-PE Bio-PE **Polyuretan Polyuretan Dapat diperbaharui * Pati *Pati * PLA *PLA * PHA/ PHBs *PHA/PHBs Nonbiodegradable **LDPE LDPE **HDPE HDPE * PP, PE,PVC *PP, PE, PVC * PET *PET Biodegradable tidak dapat diperbaharui plastik biodegradable atau bioplastik. Plastik biodegradable terbuat dari bahan polimer alami seperti pati, selulosa, dan lemak. Bahan utama yang sering digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA). (Coniwanti et al. 2014; Yuniarti et al. 2014; Susanti et al. 2015). Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia dan aneka umbi. Sumber karbohidrat yang banyak mengandung pati di antaranya jagung, sagu, ubi kayu, beras, ubi jalar, sorgum, talas, dan garut. Karakteristik fungsional pati yang unik memungkinkan pati digunakan untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan pangan maupun nonpangan (Koswara 2009). Pati juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pembuatan biodegradable plastik (bioplastik). Industri di beberapa negara sudah mengembangkan pati sebagai bahan bioplastik. Jenis pati yang banyak digunakan adalah pati jagung dan pati kentang. Jenis pati dari kedua komoditas ini banyak digunakan oleh industri bioplastik di beberapa negara Eropa dan Australia. Di Thailand, bahan baku yang digunakan untuk bioplastik adalah pati ubi kayu. Pati komoditas pertanian lebih kompetitif dan tersedia cukup melimpah sebagai bahan baku plastik biodegradable. Menurut Swamy dan Singh (2010), permintaan bioplastik terbesar adalah yang berbahan dasar pati. Teknologi pembuatan plastik biodegradable berbahan dasar pati sudah mulai dikembangkan di Indonesia sejak beberapa waktu yang lalu. Bahan baku yang diteliti untuk pembuatan plastik biodegradable antara lain pati tapioka dengan campuran kitosan dan pemlastis gliserol (Lazuardi dan Cahyaningrum 2013), pati sagu dengan campuran pemlastis gliserol (Yuniarti et al. 2014), pati sorgum dan kitosan (Darni dan Utami 2010), pati kulit ubi kayu (Anita et al. 2013), dan pati jagung (Coniwanti et al. 2014). Namun secara komersial, industri yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena permintaan di dalam negeri masih rendah. Industri bioplastik di Indonesia antara lain PT. Inter Aneka Lestari yang memproduksi Enviplast, PT. Harapan Interaksi Swadaya menghasilkan Ecoplast, dan perusahaan Avani Eco memproduksi eco bag, ketiganya menggunakan bahan baku pati ubi kayu. Di Indonesia, plastik biodegradable sebagai bahan pengemas mulai digunakan oleh beberapa industri waralaba jasa boga, sedangkan industri pangan belum banyak menggunakan (Enviplast). Harga plastik biodegradable lebih mahal dari plastik konvensional diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu, belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik konvensional juga membuat bioplastik belum banyak digunakan. Tulisan ini membahas manfaat plastik biodegradable sebagai pengemas, potensi pati sagu dan pati ubi kayu J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76 **Polycaprolacton Polycaprolacton **PBT, PBT, PBS PBS **PTT PTT Gambar 1. Sifat bahan baku plastik konvesional dibandingkan dengan degradabilitas plastik. Bio-PE (Bio-Poli Etilen); PLA (Poli Lactic Acid); PHA (Poli Hidroksi Alkanoat); PHB ( Poli Hidroksi Butirat); LDPE (Low Density Poli Etilen); HDPE (High Density Poli Etilen); PP (Poli Propilen); PBT (Poli Butilen Terephtalat); PBS (Poli Butilen Suksinat). Sumber: Thielen (2014); Swamy and Sigh (2010). 69 Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.) Tabel 1. Perbandingan antara plastik konvensional dengan plastik biodegradable pada beberapa aspek. Aspek Plastik konvensional/non biodegradable Plastik Biodegradable/Bioplastik Bahan baku Sebagian besar dibuat dari bahan yang tidak dapat diperbaharui (minyak bumi) Sudah mapan Dibuat dari bahan yang dapat diperbaharui (bahan nabati) Sudah ada produsen yang mengembangkan. Namun masih banyak yang dalam tahap penelitian. Sosial Sudah banyak dikenal dan digunakan masyarakat. Belum banyak dikenal masyarakat. Ekonomi Harga lebih murah Harga sedikit lebih mahal Lingkungan Tidak ramah lingkungan (perlu ratusan tahun untuk dapat terdegradasi oleh alam). menghasilkan emisi karbon yang tinggi ramah lingkungan (dapat terdegradasi oleh alam dalam waktu yang singkat (sekitar 3-6 bulan).emisi karbon yang lebih rendah Teknologi Sumber: Thielent 2014; Swamy and Sing 2010; Money 2009; Lu et al. 2009; Patel et al. 2005; Swa 2014; Sing et al. 2009. ramah lingkungan menjadi peluang bagi pengembangan plastik biodegradable. Tabel 1 menampilkan perbandingan plastik konvensional dan plastik biodegradable ditinjau dari aspek ketersediaan bahan baku, teknologi, sosial, ekonomi, dan lingkungan. Polimer alami seperti makromolekul yang secara alami terdapat pada beberapa tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan baku plastik biodegradable. Demikian juga molekul yang lebih kecil seperti gula, disakarida, dan asam lemak dari tanaman yang dapat digunakan sebagai bahan dasar plastik biodegradable. Semua sumber daya yang dapat diperbaharui dapat digunakan, dimodifikasi, dan diproses menjadi plastik berbahan dasar alami (biobased plastik) (Mooney 2009; Lu et al. 2009). Bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan plastik biodegrdable adalah pati, selulosa, dan Poly Lactic Acid (PLA) (Pulungan et al. 2015; Yuniarti et al. 2014; Darni dan Utami 2010; Paramawati et al. 2007). Pati diperoleh dari tanaman sumber karbohidrat seperti sagu, jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya. Selulosa dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti jerami, tongkol jagung, dan pelepah nenas. PLA merupakan hasil fermentasi bakteri asam laktat terhadap substrat yang mengandung gula. Berbagai jenis bahan baku tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan. Menurut Pulungan et al. (2015) dan Tsou et al. (2014), PLA memiliki sifat mekanis yang bagus, sehingga potensial digunakan sebagai bahan baku bioplastik namun harganya mahal. Kelebihan selulosa antara lain mudah diperoleh, biasanya digunakan sebagai bahan penguat dalam pembuatan plastik biodegradable. Menurut Lazuardi dan Cahyaningrum (2013) serta Darni dan Utami (2010), pati tanaman lebih mudah diperoleh dan jumlahnya cukup banyak. PATI SEBAGAI BAHAN BAKU PLASTIK BIODEGRADABLE Dalam menghasilkan plastik biodegradable lebih banyak menggunakan pati tanaman sebagai bahan baku. Pati merupakan polimer alami, dihasilkan dari pemanfaatan karbon dioksida dan air melalui proses fotosintesis, dapat terdegradasi sempurna dan harganya relatif murah. Secara ekonomi, pati lebih kompetitif dibandingkan dengan minyak bumi karena berasal dari bahan nabati yang dapat diperbaharui. Proses produksi plastik biodegradable dari pati lebih sederhana dibandingkan dengan bahan baku lain. Pati dapat diproses menggunakan beberapa metode menjadi plastik biodegradable. Jenis pati yang banyak digunakan adalah pati jagung dan pati ubi kayu (Sriroth et al. 2000; Lu et al. 2009). Plastik biodegradable berbahan dasar pati merupakan jenis bioplastik yang paling banyak diproduksi (Swamy dan Sigh 2010). Di Indonesia, pati menjadi pilihan sebagai bahan baku plastik biodegradable karena ketersediaannya cukup melimpah. Jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan baku plastik biodegradable di antaranya pati ubi kayu, pati sagu, dan pati jagung. Pati dari sumber karbohidrat lain maupun limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku plastik biodegradable di antaranya pati umbi porang, pati biji durian, dan pati dari kulit ubi kayu (Pradipta dan Mawarni 2012; Akbar et al. 2013; Anita et al. 2013; Lazuardi dan Cahyaningrum 2013; Wicaksono 2013; Yuniarti et al. 2014; Coniwanti et al. 2014; Radhiyatullah et al. 2015). Sagu dan ubi kayu merupakan sumber pati yang ketersediaannya yang cukup melimpah di Indonesia. Tanaman Sagu Sagu merupakan komoditas penghasil karbohidrat potensial, khususnya pati. Indonesia merupakan negara yang memiliki areal pertanaman sagu terluas di dunia. Areal pertanaman terluas terdapat di Papua dan areal semi budi daya sagu berada di Maluku, Sulawesi, Kalimantan, dan Sumatera (Maherawati et al. 2011; Syakir dan Karmawati 2013). Menurut Badan Litbang Kehutanan dalam Syakir dan Karmawati (2013), luas hutan sagu di Indonesia mencapai 1,25 juta ha, sedangkan luas areal semi budi daya 134 ribu ha dan masih terdapat lahan yang 70 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76 sesuai untuk pengembangan sagu di Sumatera, Papua, Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Di beberapa daerah, sagu telah dibudidayakan. Data Ditjen Perkebunan (2017) menunjukkan daerah produksi sagu yang cukup besar adalah Riau, Papua, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan Kalimantan Selatan (Tabel 2). Produktivitas tepung sagu beragam, bergantung pada jenisnya. Satu batang sagu unggul dapat menghasilkan 200400 kg tepung. Sagu asal Sentani, Papua, memiliki kandungan karbohidrat 5687% dan pati 8184%. Produktivitas pati sagu kering dapat mencapai 25 t/ha/tahun, lebih tinggi dibanding pati ubi kayu 1,5 t/ha/ tahun dan jagung 5,5 t/ha/tahun (Limbongan 2007; Muhidin et al. 2012). Pati sagu dapat dimanfaatkan untuk pangan dan nonpangan. Sebagai bahan pangan, sagu dimanfaatkan sebagai bahan baku mi (Purwani et al. 2006, Prayoga et al. 2016) dan bahan tambahan fungsional pati resisten (Purwani et al. 2012). Selain sebagai bahan pangan, pati sagu juga prospektif dikembangkan sebagai bahan baku industri substrat fermentasi butanol-etanol, plastik biodegradable, gula cair, penyedap makanan, dan bioetanol (Yuniarti et al. 2014; Fitriani et al. 2010; Muhidin et al. 2012). Pati sagu terdiri atas fraksi amilosa dengan kadar 28,84% dan amilopektin dengan kadar 71,16%. Kadar amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat fungsional pati sagu. Pati sagu berbentuk oval dengan ukuran 7,555 µ m, Ukuran pati juga berpengaruh terhadap sifat fungsionalnya. Sifat fisikokimia pati sagu dapat dilihat pada Tabel 3. Kandungan amilosa dan amilopektin berpengaruh pada sifat fisiko kimianya, di antaranya daya serap air, kelarutan, derajat gelatinisasi pati, dan swelling power. Semakin tinggi kandungan amilopektin, pati cenderung lebih sedikit menyerap air, lebih basah dan lengket. Sebaliknya, pati dengan kadar amilosa tinggi cenderung lebih banyak menyerap air, lebih kering, dan kurang melekat (Jading et al. 2011; Koswara 2009). Semakin tinggi kandungan amilosa semakin tidak mudah pembentukan gel karena suhu gelatinisasi lebih tinggi. Gelatinisasi adalah proses pembengkakan granula pati karena adanya panas dan air, sehingga granula pati tidak dapat kembali ke bentuk semula. Ukuran granula pati Tabel 2. Data luas area dan produksi budidaya sagu di daerah sentra produksi. Luas (Ha) Provinsi Riau Papua Maluku Sulawesi Tenggara Kalimantan Selatan Produksi (ton/tahun) 2015 2016 2015 2016 83.691 35.260 36.723 4.572 6.579 89.611 38.548 40.147 4.963 7.511 366.032 28.298 9.683 4.759 3.836 377.914 29.834 10.209 6.278 4.405 Sumber: Ditjenbun (2017). Tabel 3. Karakteristik fisikokimia pati sagu asal Papua. Karakteristik Kadar air (b/b) Kadar abu (% bk) Kadar lemak (% bk) Kadar protein (% bk) Kadar karbohidrat (% bk) Ukuran granula (µm) Kadar amilosa (%) Kadar amilopektin (%) Suhu gelatinisasi (°C) Daya serap pati terhadap air (%) Swelling power (pati 10%) 55°C 75°C 90°C Kelarutan pati (°Brix) 55°C 75°C 90°C Sumber: Jading et al. (2011). Pati sagu basah Pati sagu kering 42,51 0,20 0,63 0,45 56,22 5,057,5 27,45 72,45 66,073,0 11,10 13,69 0,20 0,76 0,46 84,89 7,555,0 28,84 71,16 65,071,5 51,34 2,89 30,11 40,60 3,39 35,62 42,05 0,00 0,00 0,60 0,20 0,60 0,90 71 Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.) merupakan pati yang diambil dari ubikayu. Tapioka dapat dimanfaatkan untuk bahan pangan maupun industri non pangan. Sebagi bahan pangan, tapioka setelah melalui proses modifikasi dapat digunakan sebagai food ingredient (Herawati 2008; Herawati et al. 2010, Herawati 2012). Tapioka juga dapat digunakan sebagai bahan baku plastik biodegradable. Selain tapioka, limbah kulit ubi kayu dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku plastik biodegradable. Rendemen tapioka ubi kayu berkisar antara 1525%. Tapioka sering digunakan sebagai pengganti tepung sagu karena sifat keduanya yang hampir sama. Tapioka juga digunakan sebagai pengental makanan karena memiliki sifat kental dan bening ketika dipanaskan. Sifat kimia dan fisik tapioka dapat dilihat pada Tabel 5. Komponen utama penyusun tapioka adalah pati dengan kandungan amilopektin sedikit lebih tinggi daripada amilosa. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya, kandungan amilosa dan amilopektin mempengaruhi kristalinitas dan kekuatan mekanis bioplastik yang dihasilkan. Pati dengan kandungan amilopektin tinggi dengan penambahan plasticizer dapat meningkatkan kekuatan mekanisnya. berkaitan dengan suhu gelatinisasi. Pati dengan ukuran granula kecil cenderung memiliki suhu gelatinisasi yang tinggi karena ikatan molekulnya lebih kuat sehingga energi yang diperlukan untuk proses lebih tinggi. (Jading et al. 2011; Koswara 2009). Menurut Westling et al. (1998) dan Thuwall et al. (2006), amilosa dan amilopektin menghasilkan bioplastik dengan karakteristik yang berbeda. Amilosa yang tinggi cenderung membentuk kristal yang menghasilkan sifat mekanis yang lebih kuat dibanding amilopektin yang berbentuk amorf. Namun penambahan plastiziser dan proses pada kelembaban tinggi meningkatkan kristalinitas bioplastik dengan bahan baku pati beramilopektin tinggi dan meningkatkan sifat mekanisnya. Penambahan plastisizer tidak mempengaruhi kristalinitas pati beramilosa tinggi. Ubi Kayu Budi daya yang relatif mudah membuat komoditas ini banyak diusahakan oleh petani. Menurut BPS (2016), produksi ubi kayu nasional pada tahun 2015 mencapai 22,9 juta ton. Sentra produksi ubi kayu di Indonesia adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, dan Sumatera Utara. Produksi ubi kayu dalam beberapa tahun terakhir di sentra produksi dapat dilihat pada Tabel 4. Ubi kayu mengandung karbohidrat cukup tinggi, berkisar antara 34,737,9%. Sebagai bahan industri ubi kayu umumnya diproses menjadi tapioka. Tapioka TEKNOLOGI PRODUKSI PLASTIK BIODEGRADABLE Pati alami yang digunakan sebagai bahan baku plastik biodegradable memiliki stabilitas termal yang rendah dan Tabel 4. Data produksi ubikayu di sentra produksi ubikayu. Produksi (ton/tahun) Provinsi Lampung Jawa Tengah Jawa Timur Jawa Barat Sumatera Utara 2010 2011 2012 2013 2014 2015 8,637,594 3,876,242 3,667,058 2,014,402 905,571 9,193,676 3,501,458 4,032,081 2,058,785 1,091,711 8,387,351 3,848,462 4,246,028 2,131,123 1,171,520 8,329,201 4,089,635 3,601,074 2,138,532 1,518,221 8,034,016 3,977,810 3,635,454 2,250,024 1,383,346 8,038,963 3,758,552 3,458,614 2,020,214 1,495,169 Sumber: BPS (2016). Tabel 5. Sifat kimia dan fisik tapioka. Sifat kimia Kadar Sifat fisik Kadar Air (% bb) Abu (% bk) Lemak (% bk) Protein (% bk) Pati (% bk) Amilosa (% bk) 1214 0,110,19 0,330,76 0,100,15 80,1683,55 30,8833,13 25,9627,60 196.43227,74 0.660.69 19.6666,73 0.910,97 10.1215,01 Amilopektin (% bk) 48,8550,42 Kristalinitas (%) Kekerasan (g) Kepaduan Kelengketan (g.s) Elastisitas Kapasitas pembengkakan (g/g bk) Solubilitas (%) Sumber: Syamsir et al. (2011). 4.8913,15 72 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76 memerlukan modifikasi kimia untuk meningkatkan sifat mekanis. Oleh karena itu, dalam pembuatan bioplastik dengan bahan dasar pati memerlukan tambahan plasticizer (bahan pemlastis) untuk meningkatkan sifat mekanis. Bahan tambahan lain yang banyak digunakan adalah kitosan, gelatin, dan selulosa yang berfungsi memperkuat sifat mekanis. Modifikasi pati juga dapat dilakukan untuk mengubah sifat mekanis dari pati alami. Jenis bahan yang berbeda akan menghasilkan plastik biodegradable dengan karakteristik yang berbeda (Coniwanti et al. 2014; Yuliasih dan Sunarti et al. 2014; Radhiyatullah et al. 2015). Plasticizer Plasticizer berfungsi meningkatkan elastisitas polimer plastik biodegradable. Anita et al. (2013) menyatakan plasticizer merupakan bahan organik dengan berat molekul rendah yang dapat menurunkan kekakuan dan meningkatkan fleksibilitas polimer. Semakin banyak plasticizer yang digunakan semakin meningkatkan fleksibilitas polimer. Namun, menurut Kumoro dan Purbasari (2014), penambahan plasticizer terlalu banyak menyebabkan interaksi antara plasticizer dengan molekul pati yang dapat menurunkan mobilitas molekuler. Hal senada juga dinyatakan Saputra et al. (2015) bahwa penambahan bahan pemlastis yang terlalu banyak akan menyebabkan plastik biodegradable bersifat soft and weak. Bahan yang biasa digunakan sebagai plasticizer adalah gliserol, gliserin, dan sorbitol. Kumoro dan Purbasari (2014) menyatakan kelebihan gliserol sebagai plasticizer akan memberikan fleksibilitas pada struktur pati sehingga bisa dibentuk. Penambahan gliserol akan meningkatkan elastisitas polimer yang dihasilkan. Demikian juga menurut Darni dan Utami (2010), sorbitol yang ditambahkan pada pembuatan bioplastik meningkatkan elastisitasnya. Hidayati et al. (2015) menyatakan penambahan plasticizer akan meningkatkan fleksibilitas dan mengurangi kerapuhan dari biodegradable film. Selain itu, asam laurat ada juga digunakan sebagai plasticizer (Wafiroh et al. 2010). Kitosan Kitosan biasanya digunakan sebagai bahan campuran pati dalam pembuatan plastik biodegradable dengan tujuan meningkatkan sifat mekanik bioplastik yang dihasilkan. Kitosan merupakan biopolimer yang diperoleh dari limbah produk crustacea. (Lazuardi dan Cahyaningrum 2013). Menurut Darni dan Utami (2010), kelemahan bioplastik berbahan baku pati tidak tahan air (hidrofilik). Penambahan bahan yang bersifat hidrofobik seperti selulosa, kitosan, dan protein dapat dilakukan untuk memperbaiki kelemahan ini. Setiani et al. (2013) menyatakan penambahan kitosan bertujuan meningkatkan sifat mekanik pati. Proses Produksi Ada tiga cara efektif dalam menggunakan pati sebagai bahan dasar pembuatan plastik biodegradable. Pertama, pati digunakan sebagai bahan pengisi plastik berbasis minyak bumi, jumlahnya relatif sedikit, berkisar antara 6 15% dan hanya patinya yang bersifat biodegradable. Kedua, pati dicampur dengan polimer biodegradable seperti PLA. Jumlah pati yang digunakan mencapai 85%. Ketiga, membuat pati termoplastik, Dengan adanya plasticiser (air, gliserin, dan sorbitol), temperatur tinggi (90-160°C), dan shearing dapat melelehkan pati dan kemudian dialirkan seperti termoplastik (Sriroth et al. 2000; Mooney 2009; Cornelia et al. 2013; Coniwanti et al. 2014). Tahapan pembuatan plastik biodegadable berbahan dasar pati adalah mengintegrasikan teknik pencampuran, pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable yang dihasilkan berupa lembaran film (Coniwanti et al. 2014; Radhiyatullah et al. 2015; Lazuardi dan Cahyaningrum 2013). Beberapa hasil penelitian pembuatan bioplastik dengan bahan dasar pati dapat dilihat pada Tabel. 6. Pembuatan plastik biodegradable dengan teknik blending cukup sederhana. Namun implementasi teknologi produksi dalam skala lebih besar belum banyak dilaporkan. Di beberapa negara, teknologi produksi plastik biodegradable dalam skala besar tidak hanya menghasilkan lembaran film tapi juga dalam bentuk lainnya. Plastik biodegradable dengan berbagai bentuk dapat dibuat dari pati dengan bahan tambahan. Campuran pati alami, pati tergelatinisasi, pati termoplastis, dan pati termodifikasi, polimer atau monomer (asam laktat, hidroksi alkanoat) dapat ditambah dengan plasticizer, bleaching maupun pewarna dilakukan melalui proses ekstrusi menggunakan ekstruder pada suhu 100160°C. Hasil ekstrusi setelah melalui proses pengeringan dan pelleting menghasilkan pellet plastik biodegradable (Gambar 2). Pellet atau biji bioplastik selanjutnya dapat diproses menjadi berbagai bentuk plastik menggunakan plastik converter berupa film blowing untuk menghasilkan kantung plastik. Penggunaan termoforming dan injection moulding akan menghasilkan produk seperti keyboard dan pesawat telepon. Blow moulding digunakan untuk menghasilkan produk berupa botol plastik, dan extrucsion coating menghasilkan film laminasi untuk kemasan makanan ringan, retort pouch. 73 Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.) Tabel. 6. Hasil-hasil penelitian dalam pembuatan plastik biodegradable dari pati. Pemlastis Bahan tambahan Sumber Pati ubikayu: kitosan Pati sagu Pati sagu + kitosan Pati sorgum + kitosan Tapioka + selulosa serat bambu Tepung nasi aking + tapioka Pati kulit singkong Pati tapioka + nano serat selulosa Gliserol Gliserol. Gelatin Sorbitol Gliserin Ggliserol Gliserol Asam asetat glasial, Asam asetat Lazuardi dan Cahyaningrum 2013 Yuniarti et al. 2014 Pulungan et al. 2015 Darni dan Utami 2010 Susanti et al. 2015 Kumoro dan Purbasari, 2014 Anita et al. 2013 Wicaksono et al. 2013 dan/atau dan/atau Pati tergelatinisasi  dan/atau Granula pati Monomer  dan/atau Polimer Pati termoplastis Crosslingking Esterifikasi Eterifikasi Pati termodifikasi Reaksi Mixer Blender Extruder Dengan/tanpa      Bahan baku  Campuran pati/polimer Bahan tambahan + plasticizer + compatabilizer + bahan tambahan lain seperti bleaching, pewarna  Pengeringan dan pelleting  Pellet bioplastik  Plastik "Converter" (film blowing, termoforming, injecting moulding, extruction, coating, sheet extrucsion)  Produk Gambar 2. Tahapan proses produksi plastik biodegradable (Sriroth 2000; Patel 2005). Peluang dan tantangan Pengembangan Plastik biodegradable Plastik biodegradable, sama halnya dengan plastik konvensional, dapat digunakan untuk berbagai keperluan. Sifatnya yang ringan dan fleksibel dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, tidak hanya sebagai bahan pengemas, bergantung pada karakteristik plastik biodegradable itu sendiri. Plastik biodegradable dengan bahan dasar pati umumnya memiliki karakteristik seperti plastik dengan bahan dasar Low Density Polietilen (LDPE), High Density Polietilen (HDPE), dan Polypropilen (PP). Sifat mekanik plastik biodegradable dari beberapa bahan baku dibandingkan dengan LDPE, HDPE dan PP dapat dilihat pada Tabel 7. Jenis plastik biodegradable dapat digunakan sebagai kantung belanja dan kantung buah dan sayur 74 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76 Tabel 7. Sifat mekanis plastik Biodegradable dari berbagai bahan baku dibandingkan dengan plastik LDPE, HDPE, dan PP. Bahan baku Pati ubi kayu: kitosan (2:1), gliserol 20%. Pati sagu, gliserol 6,1%. Pati sagu + kitosan 2%, gelatin 1,5%. Tapioka + serat bamboo, gliserin. Tepung nasi aking: tapioka (30:70), gliserol 15%. Pati kulit ubi kayu, gliserol. Pati tapioka + nano dan selulosa dari ampas tapioka. LDPE PP HDPE Kuat tarik/tensile streght (MPa) Elastisitas (modulus young) (MPa) - 4,81 Lazuardi dan Cahyaningrum (2013) 3,72 9,75 0,068 20,65 960 1138 Yuniarti et al. (2014) Pulungan et al. (2015) Susanti et al. (2015) Kumoro dan Purbasari (2014) 0,021 22,41 - Anita et al. (2013) Wicaksono et al.(2013) 12,415,2 24,7302 31,72 166 1430 800 Darni dan Utami (2010) Darni et al. (2014) Darni dan Utami (2010) yang juga memiliki fungsi sekunder sebagai kantung sampah yang bersifat compostable. Selain itu, jenis plastik biodegradable juga dapat dibuat menjadi sarung tangan, jas hujan, dan apron. Menurut Iflah et al. (2012), plastik biodegradable dapat digunakan sebagai bahan pengemas paprika, tomat, dan meningkatkan kesegaran buah dibanding menggunakan kantong PE. Plastik biodegradable paling banyak digunakan sebagai pengemas (Swamy dan Singh 2010; Platt 2005). Peluang pengembangan plastik biodegradable masih terbuka seiring dengan semakin tingginya tuntutan terhadap upaya pelestarian lingkungan. Bahan baku plastik biodegradable yang berasal dari bahan nabati juga memiliki peluang keberlanjutan dibandingkan dengan plastik konvensional yang dihasilkan dari minyak bumi yang semakin berkurang. Plastik biodegradable menjadi salah satu alternatif mengurangi dan mensubtitusi penggunaan plastik konvensional. Bahan baku plastik biodegradable berupa pati mudah diperoleh di Indonesia. Kelebihan bioplastik berbahan dasar pati bersifat compostable tanpa memerlukan ruang pengomposan bersama. Penelitian di Indonesia sudah cukup banyak menggali potensi bahan baku pati dalam pembuatan plastik biodegradable, demikian juga peluang penggunaan limbah pertanian. Namun belum banyak penelitian yang melaporkan scale up produksi plastik biodegradable secara komersial. Di Indonesia sudah ada industri yang memproduksi plastik biodegradable berbasis pati ubi kayu (tapioka), yaitu Enviplast yang memproduksi kantung plastik, apron, dan sarung tangan. Avani Eco memproduksi kantung plastik dan jas hujan dari pati ubi kayu. Namun justru produk ini lebih banyak diekspor. Menurut SWA (2014), harga plastik biodegradable lebih mahal 22,5 kali harga plastik konvensional. Harga kantong plastik produk Avani Eco, Rp 200300 ,- per lembar lebih mahal daripada kantung plastik konvensional. Hal ini disebabkan antara lain oleh kapasitas produksi yang belum optimal. Menurut Sumber Platt (2005), harga plastik biodegradable berbahan dasar pati turun dengan meningkatnya efisiensi proses produksi dan ditemukannya bahan baku dengan harga yang lebih murah. Pada tahun 2003, rata-rata harga bioplastik berbahan dasar pati berkisar antara 3,05,0 Euro/kg, kemudian turun menjadi 1,53,5 Euro atau ratarata 1,75 Euro/kg. Dari sisi bahan baku, produsen bioplastik di Indonesia memanfaatkan pati ubi kayu yang banyak tersedia. Produk utama yang dihasilkan adalah kantung plastik yang volume penggunaannya cukup besar. Dari sisi teknologi, produksi plastik biodegradable dari pati lebih sederhana dibandingkan dengan jenis plastik biodegradable lain (misalnya PLA, perlu proses fermentasi). Dari segi teknologi, produksi plastik biodegradable baru dapat dikembangkan oleh industri skala menengah dan besar. Menurut Bastioli (2003) dalam Patel (2005), pati bukan penentu utama harga plastik biodegradable. Biaya utama yang menentukan adalah komponen modifikasi pati dan proses yang masih memungkinkan untuk diefisienkan. Pengembangan plastik biodegradable dapat dimulai dari pengembangan teknologi proses dan formulasi bahan baku untuk menghasilkan produk dengan harga yang lebih bersaing. Pengkajian kelayakan ekonomi dan sosial pengembangan bioplastik diperlukan, termasuk kebijakan penggunaan plastik biodegradable untuk mempercepat pengembangan industri bioplastik. Dalam hal ini, peran berbagai pihak perlu disinergikan dalam pengembangan plastik biodegradable. KESIMPULAN Plastik biodegradable ramah lingkungan telah dikembangkan sebagai subtitusi penggunaan plastik konvensional. Plastik biodegradable dapat diproduksi dari bahan dasar pati yang banyak tersedia di Indonesia, Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.) di antaranya pati sagu dan pati ubi kayu. Teknologi produksi plastik biodegradable relatif sederhana dan produk yang dihasilkan memiliki karakteristik yang menyerupai jenis kemasan plastik yang banyak digunakan, seperti LPDE, HDPE, dan PP. Penelitian untuk memproduksi plastik biodegradable berbasis pati telah banyak dilakukan di Indonesia, namun kebanyakan dalam skala laboratorium. Teknologi produksi biodegradable plastik dalam skala yang lebih besar masih perlu dikembangkan untuk menghasilkan produk yang secara ekonomi menguntungkan. DAFTAR PUSTAKA Akbar., F. A. Zulisma, dan H. Harahap. 2013. Pengaruh waktu simpan film plastik biodegradasi dari pati kulit singkong terhadap sifat mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia USU. 2(2): 1115. Anita, Z., F. Akbar, dan H. Harahap,. 2013. Pengaruh penambahan gliserol terhadap sifat mekanik film plastik biodegradasi dari pati kulit singkong. Jurnal Teknik Kimia USU 2(2): 3741. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Ubi Kayu Menurut Provinsi (ton), 19932015. https://www.bps.go.id/dynamictable/ 2015/09/09/880/produksi-ubi-kayu-menurut-provinsi-ton1993-2015.html [28 September 2017]. Coniwanti, P., L. Laila, dan M.R. Alfira. 2014. Pembuatan film plastik biodegradabel dari pati jagung dengan penambahan kitosan dan pemlastis gliserol. Jurnal Teknik Kimia 20(4): 22 30. Cornelia, M., R. Syarief, H. Effendi, dan B. Nurtama. 2013. Pemanfaatan pati biji durian (Durio zibethinus Murr.) dan pati Sagu (Metroxylon sp.) dalam pembuatan bioplastik. J. Kimia Kemasan 35(1): 2029. Darni, Y., dan H. Utami. 2010. Studi pembuatan dan karakteristik sifat mekanik dan hidrofobisitas bioplastik dari pati sorgum. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 7(4): 8893. Darni, Y., T.M. Sitorus, dan M. Hanif. 2014. Produksi bioplastik dari sorgum dan selulosa secara termoplastik. Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 10(2): 5562. Dijten Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 20152017: Sagu. Sekretariat Jenderal Ditjen Perkebunan Kementrian Pertanian. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/ file/statistik/2017/Sagu-2015-2017.pdf. [27 Juli 2017] Fitriani, S., E. Sribudiani, dan Rahmayuni. 2010. Karakteristik mutu pati sagu dari provinsi Riau dengan perlakuan Heat Moisture Treatment (HMT). Sagu. 9(1): 3844. Gironi, F and V. Piemonte. 2011. Bioplastics and Petroleum-based Plastics: Strenghs and Weaknesses. Energy Source, Part A 33: 19491959. Herawati, H. 2008. Peluang pengembangan alternatif produk “modified starch” dari tapioka. Naskah disampaikan pada Seminar Nasional Pengembangan Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian, 7 Agustus 2008, Surakarta. Herawati, H., I.N. Widiasa, dan Kendriyanto. 2010. Modifikasi asam suksinat-gelombang pendek untuk produksi tapioka suksinat. AGRITECH. 30(4): 223230. Herawati, H. 2012. Teknologi proses produksi food ingredient dari tapioka termodifikasi. Jurnal Litbang Pertanian. 31(2): 6876. Hidayati, S., A.S., Zuidar, A. dan Ardiani. 2015. Aplikasi sorbitol pada produksi biodegradable film dari nata de cassava. Reaktor 15 (3): 196204. Iflah, T. Sutrisno, dan T.C. Sunarti. 2012. Pengaruh kemasan starchbased plastics (Bioplastik) terhadap mutu tomat dan paprika 75 selama penyimpanan dingin. Jurnal Teknologi Industri Pertanian. 22(3): 189197. Jading, A., E. Tethool, P. Payung, dan S. Gultom. 2011. Karakteristik fisikokimia pati sagu hasil pengeringan secara fluidisasi menggunakan alat pengering cross flow fluidized bed bertenaga surya dan biomassa. Reaktor. 13(3): 155164. Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Menyambut Hari Peduli Sampah 2016. http://www.menlhk.go.id/siaran-34menyambut-hari-peduli-sampah-nasional- 2016.html. [11 Februari 2016] Koswara, S. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. E-book Pangan.com. http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/ TEKNOLOGI-MODIFIKASI-PATI.pdf. [26 Februari 2016] Kumoro, A.C., dan A. Purbasari. 2014. Sifat mekanik dan morfologi plastik biodegradable dari limbah tepung nasi aking dan tepung tapioka menggunakan gliserol sebagai plasticizer. Teknik. 35(1): 816. Lazuardi, G.P. dan S.E. Cahyaningrum,. 2013. Pembuatan dan karakterisasi bioplastik berbahan dasar kitosan dan pati singkong dengan plasticizer gliserol. Unesa Journal of Chemistry. 2 (3). Limbongan, J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 26(1): 1624. Lu, D.R., C.M. Xiao, and S.J. Xu. 2009. Starch-based completely biodegradable polymer materials. eXPRESS.Polymer Letters. 3(6): 366–375 Mahalik, N.P., and A.N. Nambiar. 2010. Trends in food packaging and manufacturing systems and technology. Trends in food science & technology. 21: 117128. Maherawati, R.B. Lestari, dan Haryadi. 2011. Karakterisasi pati dari batang sagu Kalimantan Barat pada tahap pertumbuhan yang berbeda. AGRITECH. 13(1): 913. Mooney, B.P. 2009. The second green revolution? production of plant-based biodegradable plastics. Biochem. J. 418: 219–232. Prayoga, M., M.H.B. Djoefrie, E.Y. Purwani, dan R.K. Dewi. 2016. Karakterisasi mi berbasis pati sagu (Metroxylon spp.) asal Sorong Selatan (characterization of noodle based on sago starch (Metroxylon spp.) from South Sorong district). Jurnal Metroxylon Indonesia. 1(1): 4349. Muhidin, S. Leomo, M.J. Arma, dan Sumarlin. 2012. Pengaruh perbedaan karakteristik iklim terhadap produksi sagu. Jurnal Agroteknos 2(3): 190194. Nkwachukwu, O.I. C.H. Chima, A.O. Ikenna and L.Albert. 2013. Focus on potential environmental issues on plastic world towards a sustainable plastic recycling in developing countries. Intr. J of Industrial Chemistry. 4(34): 113. Paramawati, R., C.H. Wijaya, S.S. Achmadi, dan Suliantari. 2007. Evaluasi ciri mekanis dan fisik bioplastik dari campuran poli (asam laktat) dengan polisakarida. Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia. 12(2): 7583. Patel, M., F.M. Weidemann., J. Schleich, B. Husing., G. Angerer. 2005. Tehno-economic Feasibility of Large-Scale Production of Bio-Based Polymers in Europe. European Commission.Joint Reaearch Centre (DG JRC). Institute for Prospective Technological Studies. p. 3749. Pradipta, IMD., L.J. Mawarni. 2012. Pembuatan dan karakterisasi polimer ramah lingkungan berbahan dasar Glukomanan Umbi Porang. JURNAL SAINS DAN SENI POMITS 1(1): 16. Platt, D.K. 2005. Biodegradable Polymers: Market Report. Smithers Rapra Limited. UK. p. 1630. PlasticEurope. 2017. What is Plastichttp://www.plasticseurope.org/ what-is-plastic.aspx. [ 5 Juli 2017]. Pulungan, M.H., V.S. Qushayyi, dan Wignyanto. 2015. Pembuatan plastik biodegradable pati sagu (kajian penambahan kitosan dan gelatin). Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015. 76 Purwani, E.Y., Widaningrum, R. Thahir, and Muslich. 2006. Effect of heat moisture treatment of sago starch on its’s noodle quality. Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(1): 814. Purwani, E.Y., T. Purwadaria, and M.T. Suhartono. 2012. Fermentation RS3 derived from sago and rice starch with Clostridium butyricum BCC B2571 or Eubacterium rectale DSM 7629. Anaerob. 18(1): 5561. Radhiyatullah, A., N. Indriani, dan M.H.S. Ginting. 2015. Pengaruh berat pati dan volume plasticizer gliserol terhadap karakteristik film bioplastik dari pati kentang. Jurnal Teknik Kimia USU. 4(3): 3539. Saputra, A., M. Lutfi, dan E. Masruroh. 2015. Studi pembuatan dan karakteristik sifat mekanik plastik biodegradable berbahan dasar ubi suweg (Amorphophallus campanulatus). J. Keteknikan Pertanian Tropis dan Biosistem. 3(1): 16. Setiani, W., T. Sudiarti, dan L. Rahmidar. 2013. Preparasi dan karakterisasi edible film dari poliblend pati sukun-kitosan. Valensi. 3(2): 100109. Song, J.H., R.J. Murphy., R. Narayan, and G.B.H. Davies. 2009. Biodegradable and Compostable Alternatives to Conventional Plastics. Phil. Trans. R. Soc. B (2009) 364, 2127–2139 .doi:10.1098/rstb.2008.0289. Sriroth, K., R. Chollakup, K. Piyachomkwan, and C.G. Oates. 2000. Biodegradable Plastics From Cassava Starch in Thailand. http:/ / c i a t - l i b r a r y. c i a t . c g i a r. o r g / A r t i c u l o s _ C i a t / a s i a / proceedings_workshop_00/538.pdf. [13 April 2016] Susanti, Jasruddin, dan Subaer. 2015. Sintesis komposit bioplastic berbahan dasar tepung tapioka dengan penguat serat bambu. Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika. 11(2): 179184. SWA. 2014. Enviplast, Inovasi Kantong Ramah Lingkungan. http:/ /swa.co.id/swa/trends/marketing/enviplast-inovasi-kantongramah-lingkungan. [7 Oktober 2016]. Swamy, J.N. and B. Singh. 2010. Bioplastics and global sustainability. Plastics Research Online. Society of Plastics Engineers. 10.1002/spepro.003219. Syakir, M., dan E. Karmawati. 2013. Potensi tanaman sagu (Metroxylon spp.) sebagai bahan baku bioenergi. Perspektif 12(2): 5764. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76 Syamsir, E., P. Hariyadi, D. Fardias, N. Andarwulan, dan F. Kusnandar. 2011. Karakterisasi tapioka dari lima varietas ubikayu (Manihot utilisima Crantz) asal Lampung. J Agrotek. 5(1): 93105. Thielen, M. 2014. Bioplastics: Plants and Crops Raw Materials Products. Fachagentur Nachwachsende Rohstoffe e.V. (FNR) Agency for Renewable Resources. https://mediathek.fnr.de/ media/downloadable/files/samples/b/r/brosch.biokunststoffeweb-v01_1.pdf. [27 Juli 2017] Tsou, C.H., M.C. Suen, W.H. Yao, J.T. Yeh, C.S Wu, C.Y. Tsou, S.H Chiu, J.C. Chen, R.Y. Wang, S.M. Lin, W.S. Hung, M.D. Guzman, C.C. Hu, and K.R. Lee. 2014. Preparation and Characterization of Bioplastic-Based Green Renewable Composites from Tapioca with Acetyl Tributyl Citrate as a Plasticizer. Materials 2014, 7, 5617-5632; doi:10.3390/ma7085617. Thuwall, M., A. Boldizar, and M. Rigdahl. 2006. Extrusion processing of high amylose potato starch materials. Carbohydrate Polymers. 65: 441446. Tokiwa, Y., B.P. Calabia, C.U. Ugwu, and S. Aiba. 2009. Biodegradability of plastics. Int. J. Mol. Sci. 10: 37223742. Wafiroh, S. T. Adiarto, dan E.T. Agustin. 2010. Pembuatan dan karakterisasi edible film dari komposit kitosan-pati garut (Maranta Arundinaceae L) dengan pemlastis asam laurat. J. Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 13(1): 916. Westling, A.R., M. Stading, A.M. Hermanson, and P. Gatenholm. 1998. Structure, mechanical and barrier properties of amylose and amylopectin film. Carbohydrate Polimers 36: 217224. Wicaksono, R., K. Syamsu, I. Yuliasih, dan M. Masir. 2013. Karakteristik nanoserat selulosa dari ampas tapioka dan aplikasinya sebagai penguat film tapioka. Jurnal Teknologi Industri Pertanian 23(1): 3845. Yuliasih, I dan T.C. Sunarti. 2014. Pati sagu termodifikasi sebagai bahan starch-based plastics. Prosiding Seminar Kulit, Karet dan Plastik ke-3, 29 Oktober 2014. Yogjakarta. Yuniarti, L.I., G.S. Hutomo, dan A. Rahim. 2014. Sintesis dan karakteriasi bioplastik berbasis pati sagu (Metroxylon sp). e-J. Agrotekbis 2(1): 3846. Perubahan Jurnal Litbang iklim Pertanian dalam konteks Vol. 36 sistem No. 2 .... Desember (M. Syakir 2017: dan 77-90 Elza Surmaini) DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p77-90 77 PERUBAHAN IKLIM DALAM KONTEKS SISTEM PRODUKSI DAN PENGEMBANGAN KOPI DI INDONESIA Climate Change in the Contex of Production System and Coffee Development in Indonesia 1 M. Syakir dan 2E. Surmaini 1 Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Jalan Ragunan No. 29, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540 Telp. (021) 7806202; (021) 7800644 E-mail: msyakir@litbang.pertanian.go.id; info@litbang.pertanian.go.id 2 Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi Jalan Tentara Pelajar no 1A, Bogor 16111 Telp. (0251) 8312760; (0251) 8312760 E-mail: elzasurmaini@gmail.com; balitklimat@litbang.pertanian.go.id Diterima: 2 Maret 2017; Direvisi: 10 Oktober 2017; Disetujui: 27 Oktober 2017 ABSTRAK Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang berperan strategis dalam perekonomian hampir dua juta rumah petani di Indonesia. Potensi ekspor kopi Indonesia cukup tinggi karena cita rasanya yang disukai, namun tren peningkatan produksi kopi nasional hanya 1-2% per tahun. Di sisi lain, dampak perubahan iklim juga mengancam tercapainya target peningkatan produksi. Makalah ini merupakan tinjauan dampak perubahan iklim terhadap produksi kopi dan strategi adaptasinya di Indonesia. Daerah penghasil utama kopi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan rentan terhadap dampak perubahan iklim. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan akibat El Niño mengakibatkan penurunan produksi kopi 10%. Sebaliknya, musim hujan yang panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80%. Dampak tidak langsung perubahan iklim adalah meningkatnya serangan hama penggerek buah kopi dan penyakit karat daun yang menyebabkan penurunan produksi sekitar 50%. Akibat kenaikan suhu, sentra produksi kopi diproyeksikan akan berpindah ke wilayah dengan elevasi yang lebih tinggi. Berbagai teknologi adaptasi telah dihasilkan, namun tingkat adaptasi petani kopi umumnya masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya akses sebagian besar petani terhadap informasi iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan informasi pengelolaan risiko iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut, pengambil kebijakan, stakeholder, dan petani harus mengakselerasi upaya adaptasi karena perubahan iklim telah terjadi dan akan terus berlangsung. Kata kunci: Kopi, perubahan iklim, produksi, adaptasi ABSTRACT Coffee is one of the Indonesian largest export commodities and has a strategic role in the economy of nearly two million farmers’ livelihood. The potency of Indonesia’s coffee export is quite high because of its preferred taste, however the trend of national coffee production is only 1-2% per year. On the other hand, the impacts of climate change also threaten the achievement of increased production targets. This paper reviews the impact climate change on coffee production and the adaptation strategies. The main coffee producing regions in Indonesia are Aceh, North Sumatera, South Sumatera, Lampung, Bengkulu, East Java and South Sulawesi Provinces. Most of these regions are vulnerable to climate change. The increasing of extreme climate events such as drought due to El Niño causes a decline in national coffee production to 10%. On the contrary, the longer wet season due to La Niña caused the decreased coffee production to 80%. Indirect impacts due to rising temperatures are increased incidence of coffee borer and leaf rust disease which can lead to a 50% decline on coffee production. Due to rising temperatures, the projected coffee production areas are projected to shift to higher elevations. Numerous adaptive technologies have been intoduced, however adaptive capacaity of farmers are still low. This condition is exacerbated by the limited access of most farmers to climate information, markets, technology, farming credits, and climate risk management information. To overcome the problem, policy makers, stakeholders and farmers have to accelerate the adaptation practices since the climate change has occurred and will continue to happen. Keywords: Coffee, climate change, production, adaptation PENDAHULUAN K opi merupakan salah satu komoditas ekspor negara berkembang dengan nilai mencapai 15 milyar dolar Amerika Serikat (AS) pada tahun 2015. Tanaman ini tumbuh di 60-an negara tropis dan 65% produksi dunia dihasilkan oleh empat negara penghasil utama kopi yaitu Brazil, Vietnam, Indonesia, dan Columbia. Di antara hampir 100 spesies yang ditemukan, kopi arabika (Coffea arabica L.) dan kopi robusta (Coffea canephora var. Robusta) mendominasi perdagangan dunia. Kopi arabika mendominasi 70% konsumsi kopi dan sisanya diisi oleh 78 kopi robusta (Damatta dan Ramalho 2006). Kopi arabika tumbuh di dataran tinggi tropis dengan kualitas tinggi, sementara kopi robusta tumbuh di dataran rendah dengan kualitas rendah. Di Indonesia, kopi merupakan komoditas ekspor terbesar setelah kelapa sawit dan kelapa. Karenanya, pengembangan kopi menjadi salah satu prioritas dalam pembangunan pertanian. Pengembangan kopi secara nasional berdampak positif terhadap peningkatan perekonomian masyarakat yang melibatkan sekitar 1,96 juta rumah tangga (RT) petani (BPS 2017). Menurut data Ditjenbun (2016), produksi nasional kopi pada tahun 2015 adalah 639.412 ribu ton. Kementerian Pertanian menargetkan produksi kopi pada tahun 2019 sebesar 0,79 juta ton. Namun, dalam periode 19702015 produksi kopi tidak mengalami kenaikan yang cukup signifikan, hanya 12% per tahun (Kementan 2015). Pencapaian target produksi kopi harus didukung oleh berbagai faktor pendukung seperti peningkatan luas areal tanam, penggunaan bibit/benih varietas unggul, penerapan teknologi budi daya yang tepat, intervensi pemerintah melalui kegiatan rehabilitasi, dan pemberdayaan petani. Di lain sisi, salah satu kendala dalam peningkatan produksi kopi dewasa ini adalah perubahan iklim. Berbagai penelitian menunjukkan produksi pertanian dipengaruhi oleh perubahan iklim (Brown dan Funk 2008; Lobell et al. 2008; Vermeulen et al. 2012). Hal ini antara lain ditandai oleh tingginya frekuensi kejadian iklim ekstrim dan suhu meningkat melebihi kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman (Hannah et al. 2013). Perubahan iklim itu sendiri ditandai antara lain oleh kenaikan suhu, keragaman curah hujan, dan meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Kondisi ini menyebabkan penurunan produktivitas tanaman di daerah dengan suhu yang lebih tinggi karena cekaman panas, erosi tanah karena curah hujan tinggi, dan degradasi lahan akibat meningkatnya intensitas dan durasi kekeringan (Solomon et al. 2007). Dalam laporan penilaian ke-5 (Fifth Assessment Report, AR5) Intergovernmental Panel on Climate Change-IPCC (2014) dinyatakan pada akhir abad ke-21 diproyeksikan kenaikan suhu udara akan melampaui 2oC jika tidak dilakukan upaya mitigasi atau dengan skenario business as usual. Walaupun dilakukan upaya mitigasi secara agresif tetap akan terjadi kenaikan suhu 1,5 oC. Konsekuensi kenaikan suhu adalah pola hujan tidak teratur, meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan, curah hujan tinggi dalam periode cukup lama yang menyebabkan banjir, angin kencang, naiknya permukaan air laut, dan berkurangnya sumber air permukaan dan air tanah. Perubahan iklim berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, termasuk di sektor pertanian yang merupakan sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di perdesaan. Hasil simulasi tanaman berdasarkan skenario proyeksi iklim menyimpulkan dampak perubahan iklm J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 akan lebih parah di daerah tropis yang umumnya banyak terjadi krisis pangan (Cerri et al. 2007). Peningkatan frekuensi iklim ekstrim memicu peningkatan cekaman abiotik dan biotik pada tanaman. Kajian dampak perubahan iklim pada tanaman pangan sudah banyak dilakukan oleh para ahli, namun pada tanaman perkebunan masih terbatas. Tulisan ini merupakan hasil telaah pustaka tentang dampak perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi kopi, proyeksi pergeseran sentra produksi kopi di Indonesia, dan strategi pengelolaan tanaman kopi dalam menghadapi perubahan iklim. PENYEBARAN TANAMAN KOPI Jenis kopi yang mendominasi di pasar dunia adalah kopi arabika dan kopi robusta. Dua jenis kopi lain adalah kopi liberika (Coffea liberica) dan kopi ekselsa (Coffea excelsa) dengan produksi hanya 12% dari produksi kopi dunia. Semua spesies kopi berasal dari benua Afrika. Kopi arabika berasal dari dataran tinggi (1.3002.000 mdpl) Etiopia, Sudan, dan Kenya. Kopi robusta berasal dari Afrika tropis pada ketinggian kurang dari 1.000 mdpl. Kopi liberika dan kopi ekselsa berasal dari dataran rendah di bagian barat dan tengah Afrika. Kopi arabika dibudidayakan oleh lebih dari 80% negara produsen kopi dan terluas di Amerika. Di Asia, kopi spesies ini hampir punah, antara lain disebabkan oleh penularan penyakit karat daun (Hemileia vastatrix), dan saat ini hanya terdapat di dataran tinggi India, Filipina, dan bagian tenggara Indonesia. Daerah penghasil kopi (coffee belt) dewasa ini tersebar di sepanjang daerah ekuator dan perkebunan kopi tersebar di 25 negara, antara lain Meksiko, Brazil, Nikaragua, Costa Rica, Vietnam, dan Indonesia. Brazil merupakan negara produsen kopi utama dunia (Gambar 1). Kopi arabika tumbuh dan berproduksi dengan baik di dataran tinggi tropis. Pertumbuhan, produktivitas, dan kualitas kopi arabika dipengaruhi oleh ketinggian tempat, panjang periode gelap dan terang (fotoperiodisme), distribusi hujan, dan suhu udara (Sihaloho 2009). Tempat yang sesuai bagi pertumbuhan kopi arabika berkisar antara 1.0001.700 mdpl. Pada lokasi dengan ketinggian <1.000 mdpl, tanaman kopi arabika mudah terjangkit penyakit karat daun, sedangkan pada ketinggian tempat >1.700 mdpl produksinya tidak optimal karena pertumbuhan vegetatif lebih cepat dari generatif. Suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan kopi arabika berkisar antara 1823°C dengan curah hujan 1.6002.000 mm/tahun dengan bulan kering 3-4 bulan (Sylvain 1955). Beberapa kultivar dengan pengelolaan yang intensif dapat dikembangkan pada lahan marginal dengan suhu tahunan rata-rata 2425°C seperti di bagian utara dan timur laut Brazil. Pada wilayah dengan suhu rata-rata tahunan di bawah 18°C tidak direkomendasikan pengembangan kopi karena kendala embun beku yang 79 Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) Meksiko China Nikaragua India Ethiopia Nigeria Kenya Brazil Peru Indonesia Madagaskar Angola Robusta Campuran Arabika Gambar 1. Negara penghasil kopi di dunia (Sumber: Bunn 2015). menyebabkan rendahnya produksi (Damatta dan Ramalho 2006). Kopi robusta berasal dari hutan hujan tropis dataran rendah di daerah aliran sungai Kongo sampai Danau Victoria, Uganda. Suhu udara rata rata di daerah tersebut berkisar antara 2326°C dengan curah hujan 2.000 mm yang terdistribusi dalam 9-10 bulan. Suhu yang tinggi dan udara yang kering dapat merusak tanaman kopi (Coste 1992). Kopi robusta dapat tumbuh pada ketinggian 0800 mdpl. Di luar daerah asalnya, kopi robusta dapat tumbuh baik pada daerah dengan suhu tahunan rata-rata 2226°C. Menurut Djaenudin et al. (2003), kondisi optimal untuk pertumbuhan kopi robusta adalah pada daerah dengan kisaran suhu 2225oC, curah hujan 2.0003.000 mm/ tahun, dan 23 bulan kering. Kopi robusta banyak dibubidayakan di Kongo, Brazil, Angola, Madagaskar, Pantai Gading, Vietnam, Indonesia, dan Uganda. Setiap provinsi di Indonesia mempunyai perkebunan kopi, terutama milik rakyat, sebagian besar terletak pada 010oLS, antara lain di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung, Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan sebagian kecil terletak pada 050oLU, seperti di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara. Sentra produksi kopi robusta di Indonesia terdapat di Sumatera Selatan dan Lampung, sedangkan kopi arabika di dataran tinggi Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, Aceh, dan beberapa daerah di Jawa (Gambar 2). Lahan yang subur di Indonesia sesuai bagi pengembangan tanaman kopi. Namun saat ini luas areal pertanaman kopi arabika sangat terbatas dan produksinya rendah. Di lain pihak, permintaan akan kopi arabika Indonesia meningkat dari waktu ke waktu karena mempunyai citarasa dan aroma yang unik dengan harga yang lebih tinggi daripada jenis kopi lainnya. Sayangnya, perubahan iklim menjadi kendala bagi 1,5 juta petani Indonesia dalam meningkatkan produksi dan kualitas kopi. Kualitas kopi ditentukan oleh citarasa dan aroma. Citarasa kopi dipengaruhi oleh varietas, agroekologi, waktu panen, metode pemetikan, pengolahan, penyim- panan (Siswoputranto 1993; Soonthornkamol 2004; Salla 2009), dan pengolahan (Avallone et al. 2002; Jackels dan Jackels 2005). Kopi dengan citarasa yang tinggi dihasilkan melalui proses fermentasi. Di Indonesia, sebagian besar kopi arabika diolah secara fermentasi. Kopi robusta umumnya tidak mendapat perlakuan fermentasi, terutama yang berasal dari perkebunan rakyat (Puslitkoka 2008). Pada proses fermentasi terbentuk senyawa prekursor citarasa yang lengkap. Senyawa prekursor yang sudah ada secara alami pada biji kopi adalah trigonelin, asam klorogenik, lipid, dan peptida (Buffo dan Fraire 2004; Janzen 2012; Wang 2012). Senyawa prekursor lainnya yaitu gula reduksi, asam amino, dan asam organik yang terbentuk pada proses fermentasi (Suslick et al. 2010; Yenetzian et al. 2012; Wang 2012). STATISTIK KOPI INDONESIA Luas areal perkebunan kopi di Indonesia pada periode 1980-2014 cenderung meningkat dan pada tahun 2014 tercatat 1,23 juta ha dengan laju pertumbuhan 1,61% per tahun. Pada tahun 1980 areal perkebunan kopi hanya 0,71 juta ha, terluas terdapat di Sumatera Selatan (249 ribu ha), Lampung (155 ribu ha), Aceh (120 ribu ha), Jawa Timur (102 ribu ha), dan Bengkulu (91 ribu ha) (Ditjenbun 2015). Produksi kopi Indonesia pada tahun 2015 tercatat 6,39 juta ton, 1,23 juta ha di antaranya berasal dari perkebunan rakyat dan sisanya dari perkebunan besar milik swasta (PBS) dan milik negara (PBN). Kopi robusta mendominasi produksi kopi Indonesia, mencapai 75,4% dan sisanya 24,6% adalah kopi arabika. Daerah penghasil kopi robusta di Indonesia terutama Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat. Produksi tertinggi kopi arabika terdapat di Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan Jawa Timur. Walaupun luas areal perkebunan kopi di Aceh lebih rendah, produksinya lebih tinggi dari beberapa provinsi lainnya (Gambar 3). 80 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 Gambar 2. Penyebaran perkebunan kopi di Indonesia (Sumber: Ditjenbun 2015, data diolah). Indonesia tercatat sebagai produsen kopi terbesar ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam (FAO 2013). Meskipun demikian, ekspor kopi Indonesia diperkirakan tidak lebih banyak dari Brazil, Vietnam, dan Kolombia. Indonesia dikenal sebagai penghasil specialty coffee melalui berbagai varian kopi. Kopi arabika yang dikenal dari Indonesia di antaranya kopi lintong, kopi toraja, dan kopi luwak. Ditinjau dari citarasa dan aromanya, kopi asal Indonesia berpeluang menguasai pasar kopi dunia. Volume ekspor kopi Indonesia pada tahun 1980-2015 fluktuatif, namun cenderung meningkat dengan laju pertumbuhan rata-rata 4,39% per tahun. Jika pada tahun 1980 volume ekspor kopi Indonesia 238.677 ton dengan nilai ekspor 656 juta dolar AS, pada tahun 2015 meningkat menjadi 502.021 ton dengan nilai 1.198 juta dolar AS. Kopi Indonesia sebagian besar di ekspor ke Amerika, Jerman, Italia, Jepang, dan Malaysia. DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA TANAMAN KOPI Sejak tahun 1850, suhu udara global meningkat rata-rata 1oC. Pada tahun 2100 mendatang, suhu diproyeksikan akan meningkat 2,64,8°C apabila tidak dilakukan upaya mitigasi yang agresif (IPCC 2014). Peningkatan suhu mempunyai konsekuensi yang kompleks pada pengembangan kopi karena 8090% dari 25 juta petani kopi di dunia merupakan petani kecil, yang rentan terhadap dampak perubahan iklim. Pada saat suhu global meningkat, pasar kopi dunia akan mengalami ketidakpastian sehingga menjadi masalah bagi produsen dan konsumen kopi (International Coffee Organization 2014). Dampak lain dari perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Indonesia, yang oleh para pakar iklim disebut sebagai benua maritim, dipengaruhi 81 Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) Kopi Robusta Kopi Arabika Luas Areal (ha) Luas Areal (ha) Gambar 3. Luas areal dan produksi kopi robusta dan arabika pada 10 provinsi di Indonesia tahun 2015 (Sumber: Ditjenbun 2016). oleh berbagai sirkulasi iklim seperti El Niño Southern Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD), Madden Julian Oscillation (MJO), dan beberapa osilasi lainnya. Pada saat terjadi anomali iklim akibat dua atau lebih sirkulasi tersebut secara bersamaan berdampak terhadap kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan, banjir, dan angin kencang. IPCC (2013) dalam Assessment Report 5 memproyeksikan kawasan yang dipengaruhi oleh monsun seperti Indonesia, awal musim akan lebih cepat dan akhir musim lebih lambat sehingga musim berlangsung lebih panjang. Selanjutnya dinyatakan bahwa pengaruh ENSO terhadap curah hujan akan semakin menguat. Perubahan iklim dapat berpengaruh baik langsung maupun tidak langsung terhadap tanaman kopi. Perubahan iklim secara langsung mempengaruhi pertumbuhan dan produksi kopi, dan secara tidak langsung mendorong berkembangnya hama dan penyakit tanaman kopi (Tabel 1). Pertumbuhan dan Produksi Kopi Perubahan iklim di daerah tropis menyebabkan kerusakan tanaman, penurunan produksi, erosi tanah, dan kegagalan pengolahan tanah karena kejadian hujan lebat dan degradasi lahan akibat longsor dan kekeringan (Solomon et al. 2007). Hasil simulasi tanaman menggunakan skenario proyeksi iklim berbasis Global Circulation Model (GCM) menyimpulkan penurunan produksi pertanian akan lebih parah di daerah tropis (Cerri et al. 2007). Perubahan iklim menyebabkan kenaikan suhu yang akan menurunkan laju pertumbuhan, pembungaan, dan pembuahan tanaman kopi (Villers et al. 2009). Petani kopi di Nikaragua melaporkan perubahan pola hujan dalam 20 tahun terakhir berdampak terhadap ketidakteraturan pembungaan, tidak sempurnanya pematangan buah, dan sering terjadi gugur buah (Jaramillo et al. 2009). Salah satu fenomena anomali iklim yang mempengaruhi produksi kopi adalah El Nino Southern Oscillation (ENSO). Pengaruh ENSO lebih kuat di daerah tropis yang juga merupakan kawasan penghasil kopi (coffee belt) dunia. Fase hangat ENSO, yang dikenal sebagai El Niño menyebabkan musim kemarau lebih panjang 24 bulan dari kondisi normal. Tanaman kopi hanya memerlukan bulan kering 23 bulan, sehingga bulan kering yang lebih panjang akibat El Niño menyebabkan menurunnya produksi kopi. Menurut Sumirat (2008), kekeringan lebih dari tiga bulan berturut-turut menyebabkan daun dan ranting mengering dan banyak biji yang kosong. Data FAO menunjukkan kejadian El Niño yang kuat pada tahun 1972/73, 1982/83, dan 1997/98 menurunkan produksi kopi di hampir semua negara produsen utama kopi dunia (Tabel 2). Perubahan iklim berdampak terhadap penurunan kualitas dan produksi kopi (Baker dan Haggar 2007). Peningkatan suhu mempengaruhi metabolisme tanaman seperti pembungaan, fotosintesis, dan respirasi yang berdampak terhadap penurunan produksi kopi. Menurut Franco (1958), suhu udara di atas 23°C menyebabkan pembentukan dan pematangan buah lebih cepat sehingga kualitas kopi menurun. Suhu udara 30°C dapat menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal seperti daun menguning. Suhu udara yang tinggi selama fase pembungaan menyebabkan gugur bunga. Selain bulan kering (CH<100 mm/bulan) yang panjang, bulan basah (>100 mm/bulan) yang terjadi sepanjang tahun juga menurunkan proses persarian bunga kopi hingga 95%, sehingga populasi tanaman yang produktif lebih rendah. Bulan basah yang panjang sering terjadi pada kejadian iklim La Niña menyebabkan 82 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 Tabel 1. Pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan iklim terhadap tanaman kopi. Gangguan iklim Dampak langsung Dampak tidak langsung Suhu tinggi > 23°C: pematangan buah lebih cepat yang mengakibatkan penurunan kualitas buah > 25°C: penurunan laju fotosintesis> 30°C: pertumbuhan daun, batang, dan bunga tidak normal yang menyebabkan gugur buah dan daun. Meningkatnya serangan hama dan penyakit Hujan lebat, hujan es, angin Kerusakan pohon, gugur buah menjelang panen Tingginya pencucian hara yang menyebabkan kerusakan tanah miskin hara. Erosi tanah dan longsor yang menyebabkan kerusakan infrastruktur yang akan akan meningkatkan biaya. Hujan di luar musim Frekuensi pembungaan yang lebih tinggi Meningkatnya serangan penyakit Mengganggu pengeringan hasil panen Musim hujan panjang Mengurangi pembungaan dan buah karena laju fotosintesis yang rendah akibat penutupan awan yang tinggi Meningkatnya penyakit karena jamur dan hama serangga seperti penggerek buah kopi Musim kemarau panjang Meningkatkan kematian tanaman muda Tanaman yang mengalami cekaman lebih rentan terhadap hama tertentu (Sumber: UNDP 2005). Tabel 2. Penurunan produksi kopi pada tahun El Niño kuat di beberapa negara penghasil kopi. Penurunan produksi kopi (%) pada tahun El Niño Negara 1972/1973 Brazil Columbia Costa Rica India Indonesia* Venezuela Kenya 22,6 7,7 11,8 37,5 8,6 30,8 - 1982/1982 35,3 1,4 10,7 2,6 13,0 Rata-rata 1997/1998 10,0 4,0 14,0 14,5 6,7 14,0 30,0 22,6 4,4 4,7 17,3 8,7 15,8 14,3 Sumber: FAOSTAT data diolah, *DITJENBUN (2015), - tidak terjadi penurunan produksi (http:// www.fao.org/faostat/). penurunan produksi kopi di Kebun Percobaan Sumber Asin, Malang, hingga 98% (Nur 2000). Bulan basah yang terjadi sepanjang tahun La Nina 1996 menurunkan produksi kopi di KP Jollong, Pati, sebesar 48% (Supriadi 2014). Kualitas kopi sangat sensitif terhadap suhu dan curah hujan. Peningkatan suhu dan penurunan curah hujan yang diproyeksikan terjadi di selatan wilayah khatulistiwa berdampak terhadap penurunan produksi kopi. Sebagai contoh, produktivitas kopi yang hanya 150 kg/ha di Sulawesi antara lain disebabkan oleh kurangnya periode kering (Marsh dan Neilson 2007; Neilson et al. 2013). Periode kering yang cukup (23 bulan) diperlukan untuk mendorong pertumbuhan bunga, sedangkan curah hujan yang tinggi menyebabkan gugurnya buah. Sentra produksi kopi yang diproyeksikan mengalami kenaikan suhu dan peningkatan curah hujan disarankan mengganti tanaman kopi dengan komoditas yang toleran perubahan iklim. Assamha (2017) menggunakan skenario Representative Concentration Pathway (RCP) 8,5 untuk memproyeksikan produktivitas kopi di Tana Toraja, Sulawesi Selatan. RCP 8,5 merupakan skenario business as usual dengan asumsi pertumbuhan populasi dan emisi terus meningkat namun minim upaya menekan laju penumpukan GRK di atmosfer, sehingga suhu rata-rata dapat meningkat melampaui 2 oC. Hasil kajian menyimpulkan produkstivitas kopi arabika dan robusta pada tahun 2050 akan menurun masing-masing 20% dan 40%. Hama dan Penyakit Hama dan penyakit tanaman merupakan masalah penting yang dihadapi dalam usaha tani kopi. Hama dan penyakit utama tanaman kopi adalah penggerek buah (Hypothenemus hampei) dan penyakit karat daun yang 83 Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) disebabkan oleh jamur H. vastatrix. Serangan hama penggerak buah kopi menurunkan produksi sampai 50% (Samosir et al. 2013). Penyakit karat daun cukup sulit dikendalikan karena berkembang pada daun tanaman yang hidup. Kopi merupakan tanaman tahunan yang membentuk daun sepanjang tahun sehingga siklus infeksi terus berlangsung dari waktu ke waktu (Deepak et al. 2012). Kajian dampak perubahan iklim terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman kopi di Indonesia masih terbatas. Namun kajian di negara sentra produksi tropis lainnya dapat dijadikan acuan. Hasil kajian Ghini et al. (2011) menunjukkan peningkatan kejadian iklim ekstrim sebagai salah satu dampak perubahan iklim meningkatkan perkembangan hama dan penyakit tanaman perkebunan dengan tingkat kehilangan produksi global 10%, terutama di negara tropis (Agrios 2005). Menurut Magina et al. (2011), ledakan hama dan penyakit tanaman disebabkan oleh peningkatan suhu udara. Hama utama yang menyerang tanaman kopi adalah penggerek buah (H. hampei) (Jaramillo et al. 2011). Dalam kondisi peningkatan suhu sangat kecil pun sulit mempertahankan produktivitas kopi (Gay et al. 2006). Jaramillo et al. (2009) memprediksi perkembangan hama penggerek buah kopi pada setiap peningkatan suhu 1oC melahirkan generasi yang lebih banyak sehingga memperluas jangkauan penyebarannya. Hama ini terutama menyerang kopi arabika dengan tingkat kerugian yang lebih besar, apalagi pada tanaman kopi berkualitas tinggi seperti specialty coffee (Schroth et al. 2009). Peningkatan suhu juga menyebabkan kondisi yang sesuai bagi perkembangan organisme penggannggu Suhu historis dengan pengendalian hama Frekuensi Suhu historis tanpa pengendalian hama tanaman (OPT) di dataran tinggi (Alves et al. 2011; Koebler 2013). Berbagai kajian umumnya menggunakan pendekatan modeling untuk mengetahui distribusi OPT di bawah skenario iklim, hanya sedikit yang menggunakan pendekatan lapang (Ghini et al. 2008a; 2008b). Salah satu model yang dikembangkan adalah proyeksi serangan penyakit karat daun terhadap penurunan hasil kopi di beberapa sentra produksi seperti Kostarika, Peru, India, dan Ethiopia. Georgiou et al. (2014) menganalisis hubungan antara perubahan suhu bulanan dengan periode inkubasi jamur karat daun (H. vastatrix) menggunakan model nonlinear. Model ini mengasumsi faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit karat daun adalah suhu dan kesehatan tanaman inang. Skenario yang digunakan adalah kejadian suhu historis dengan kenaikan suhu 2 oC tanpa pengendalian. Kerusakan parah tanaman dihitung jika 1/3 daun kopi terinfeksi jamur karat daun. Luas wilayah yang diamati berukuran grid 30 x 30, sehingga terdapat 900 wilayah. Berdasarkan kejadian historis, dari 900 wilayah yang diamati terdapat 490 kejadian atau 54% areal pertanaman terkena infeksi berat. Dengan pengendalian terdapat sekitar 1.900 kejadian tanpa serangan sedangkan tanpa pengendalian hanya terdapat 470 kejadian tanpa serangan. Peningkatan suhu di atas normal (2 oC) meningkatkan kemampuan jamur untuk berkembang biak. Dalam kondisi kenaikan suhu 2oC, tanpa pengendalian hanya terdapat 60 kejadian tanpa serangan, sedangkan dengan pengendalian meningkat menjadi 1.150 kejadian tanpa serangan (Gambar 4). Kenaikan suhu 2oC dengan pengendalian hama Frekuensi Kenaikan suhu 2oC tanpa pengendalian hama Jumlah serangan Jumlah serangan Gambar 4. Distribusi serangan penyakit karat daun pada tanaman kopi akibat kenaikan suhu udara (Sumber: Sachs et al. 2015). 84 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 PROYEKSI PERGESERAN KESESUAIAN IKLIM TANAMAN KOPI Kesesuaian Iklim Pengembangan komoditas tertentu pada suatu daerah harus mempertimbangkan kesesuaian iklim karena berkaitan dengan fotosintesis tanaman yang menentukan pertumbuhan dan produktivitas. Kesesuaian iklim merupakan bagian dari kesesuaian lahan. Djaenudin et al. (2003) menjelaskan kesesuaian lahan adalah tingkat kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu. Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan biofisik tanah atau sumber daya lahan yang salah satunya adalah iklim, sebelum lahan diberikan masukan yang diperlukan untuk mengatasi kendala. S adalah lahan yang dapat digunakan secara berkelanjutan untuk suatu tujuan yang telah dipertimbangkan. N adalah lahan yang apabila dikelola menghadapi kesulitan sehingga pencegahan penggunaannya untuk tujuan tertentu telah direncanakan. Tingkat kesesuaian lahan yang ditandai dengan simbol S dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu S1, S2, dan S3. S1 (sangat sesuai) adalah kelas lahan yang tidak mempunyai faktor pembatas serius dalam pengelolaan atau hanya mempunyai faktor pembatas yang tidak berarti dan secara tidak sengaja berpengaruh terhadap produktivitas. S2 (cukup sesuai) adalah kelas lahan yang mempunyai faktor pembatas agak berat dalam penggunaannya. S3 (sesuai marginal) adalah kelas lahan yang mempunyai pembatas sangat berat untuk penggunaan berkelanjutan. Kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika dan robusta dapat dilihat masingmasing pada Tabel 3 dan 4. Proyeksi Pergeseran Sentra Produksi IPCC (2014) telah melaporkan dampak peningkatan suhu udara global terhadap produksi kopi di beberapa negara seperti Amerika dan Afrika. Beberapa dekade mendatang diproyeksikan akan terjadi peningkatan suhu yang menyebabkan kondisi iklim tidak optimal bagi pertumbuhan kopi di sentra produksi. Daerah yang sesuai bagi tanaman kopi akan bergerak ke wilayah dengan elevasi lebih tinggi (Sachs et al. 2015). Dalam kondisi demikian, negara penghasil kopi saat ini akan kehilangan sentra produksi seperti Nikaragua, Meksiko, dan Tanzania. Selanjutnya dinyatakan dampaknya akan lebih besar pada dataran rendah. Daerah pada ketinggian kurang dari 500 mdpl akan mengalami penurunan potensi produksi yang tinggi. Sebaliknya, daerah pada ketinggian lebih dari 700 mdpl berpotensi menjadi sentra produksi baru, antara lain dataran tinggi di Afrika Tmur, Indonesia, Papua Nugini, dan Andes. Tabel 3. Tingkat kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika. Tingkat kesesuaian iklim Suhu udara (oC) Curah hujan (mm) S1 S2 S3 N Suhu rata-rata 1622 Suhu maksimum Suhu minimum 2528 1519 1516 2224 2830 1921 1415 2426 3032 2123 <14 >26 >32 >23 1.0001.200 18002.000 > 45 8001.000 2.000-3.000 > 56 < 800 >3.000 >6 S1 S2 S3 N 2225 2528 2729 1820 2.0003.000 2427 1618 1.7502.000 3.0003.500 1922 2832 2224 14-16 1.500-1.750 3.500-4.000 <19 >32 >22 <14 <1.500 >4.000 23 >35 >5-6 >6 Tahunan Panjang bulan kering (CH<100 mm/bulan) 1.2001.800 1-4 Sumber: Wintgens (2012) Tabel 4. Tingkat kesesuaian iklim bagi tanaman kopi robusta. Tingkat kesesuaian iklim Suhu udara (oC) Suhu rata-rata Curah hujan (mm) Suhu maksimum Suhu minimum Tahunan Panjang bulan kering (CH<100 mm/bulan) (Sumber: Wintgens 2012). 85 Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) Berbagai kajian kesesuaian iklim untuk tanaman kopi pada saat ini dan masa mendatang telah dilakukan di beberapa negara penghasil kopi dunia seperti Nikaragua dan Meksiko (Laderach et al. 2009), Kenya (CIAT 2010), Ethiopia (Davis et al. 2012), Haiti (Eitzinger 2013), Rwanda (Nzeyimana et al. 2014), Indonesia (Schroth et al. 2015), dan secara global (Bunn et al. 2015; Ovelle-Riviera et al. 2015). Kajian tersebut menunjukkan luas areal perkebunan kopi yang ada saat ini akan berkurang pada tahun 2050. Beberapa negara diproyeksikan tidak sesuai lagi untuk pengembangan kopi, seperti Ghana dan Nigeria. Sebaliknya, terdapat beberapa negara yang potensial bagi pengembangan kopi, misalnya Florida dan Afrika Selatan. Di Kolombia, Amerika Tengah, Brazil, dan Indonesia, wilayah yang sesuai bagi pengembagan kopi bergesar ke daerah dengan elevasi lebih tinggi. Sentra produksi kopi arabika yang saat ini terdapat di Uganda dan Tanzania akan bergeser ke Kenya dan Kongo dalam beberapa tahun mendatang (Sach et al. 2015). Di Brazil akan terjadi penurunan luas lahan yang sesuai untuk tanaman kopi, seperti di negara bagian Parana 10%. Minas Gerais dan Sao Paulo 50%, sedangkan di negara bagian Goias tidak ada lagi lahan yang sesuai (Schroth et al. 2009; Tucker et al. 2010). Sementara itu, areal baru yang sesuai untuk tanaman kopi terdapat di Santa Catarina dan Rio Grande do Sul. Namun luas areak di kedua daerah tersebut tidak mencukupi untuk menggantikan lahan yang tidak lagi sesuai di wilayah lainnya. Di beberapa negara bagian di Amerika Latin diproyeksi terjadi penurunan kualitas dan produksi kopi karena suhu lebih tinggi, penurunan curah hujan dan perubahan pola hujan yang berdampak terhadap peningkatkan risiko kejadian iklim ekstrim. Sebagai negara kepulauan dan memiliki topografi pegunungan, Indonesia mempunyai wilayah dengan ketinggian di atas 1.000 mdpl yang cukup luas dan cocok untuk pengembangan kopi arabika. Di Aceh, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Bali, dan Flores saat ini terdapat 96 ribu ha areal perkebunan kopi arabika (Ditjenbun 2015). Berdasarkan hasil kajian Schroth et al. (2015), di daerah tersebut terdapat 360 ribu ha lahan yang sesuai untuk pengembangan kopi dan terluas di Sumatera Utara. Di luar lahan yang diusahakan saat ini, terdapat 324 ribu ha yang belum digunakan untuk budi daya tanaman kopi (Tabel 5). Schroth et al. (2015) juga memproyeksikan pergeseran kesesuaian lahan untuk tanaman kopi arabika pada tahun 2050 menggunakan skenario SRESA2 dengan asumsi tidak ada upaya mitigasi untuk menurun emisi gas rumah kaca (business as usual). Berdasarkan rata-rata 19 model GCM, pada tahun 2050 diproyeksi terjadi kenaikan suhu 1,7oC. Curah hujan diproyeksi lebih tinggi 514% di bagian utara (Sumatera dan Sulawesi). Sebaliknya, curah hujan di bagian selatan (Bali, Jawa, dan Flores) menurun. Peningkatan suhu menyebabkan lahan yang sesuai untuk tanaman kopi arabika saat ini akan bergeser ke daerah yang lebih tinggi. Artinya, luas areal yang sesuai akan menurun drastis dari 360 ribu ha menjadi hanya 57 ribu ha pada tahun 2050. Sumatera Utara dan Aceh akan kehilangan hampir 90% lahan yang sesuai pada saat ini, begitu pula di Bali dan Sulawesi Selatan. Di Flores tidak ada lagi lahan yang sesuai untuk tanaman kopi arabika. Luas areal yang sesuai di luar sentra produksi saat ini menurun dari 324 ribu ha menjadi 183 ribu ha pada tahun 2050. Peta kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika saat ini dan tahun 2050 di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan disajikan pada Gambar 5. Kajian proyeksi kesesuaian iklim untuk tanaman kopi arabika dan robusta di Tana Toraja, Sulawesi Selatan, mengindikasikan areal yang sangat sesuai untuk tanaman kopi (S1) pada masa datang akan mengalami perubahan (Assamha 2017). Kesesuaian iklim tanaman kopi arabika pada saat ini dan masa depan terbagi menjadi dua kelas, yaitu S1 dan S2. Pada tahun 2050, luas areal kelas S1 untuk tanaman kopi arabika diproyeksi menurun karena bergeser ke kelas S2. Sebaliknya, kesesuaian iklim kopi robusta diproyeksikan berubah dari kelas S2 ke kelas S1. Tabel 5. Kesuaian iklim dan topografi lahan kopi arabika pada saat ini dan dan proyeksi tahun 2050 untuk beberapa provinsi sentra produksi. Areal yang sesuai di sentra produksi saat ini (ha) Areal yang sesuai di luar sentra produksi saat ini (ha) Areal yang sesuai di sentra produksi tahun 2050 (ha) Areal yang sesuai di luar sentra produksi tahun 2050 (ha) Perubahan areal yang sesuai di sentra produksi tahun 2050 (%) Perubahan di seluruh lahan sesuai tahun 2050 (%) Aceh Sumatera Utara Jawa Timur Bali Flores Sulawesi Selatan 51.318 210.749 6.589 28.397 16.518 46.029 106.808 122.496 5.811 7.464 24.128 57.629 4.808 22.643 6.774 7.424 230 25.405 51.956 47.140 223 4.095 85 79.437 -91 -89 +3 -74 -99 -67 +11 -67 +6 -59 -98 +106 Jumlah 359.600 324.336 57.284 182.936 -84 -33 Provinsi Keterangan: areal tidak termasuk lahan sesuai yang saat ini digunakan di kawasan hutan atau hutan lindung. (Sumber: Schroth et al. 2015). 86 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 Sumatera Utara Kesesuaian (%) Areal kopi saat ini Saat ini Hutan lindung Sulawesi Selatan Saat ini Gambar 5. Kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika saat ini dan tahun 2050 (Sumber: Schroth et al. 2015). STRATEGI BUDI DAYA KOPI YANG ADAPTIF PERUBAHAN IKLIM Dalam beberapa dekade ke depan, perubahan iklim akan terus berlangsung dan mempengaruhi berbagai sistem produksi kopi. Pada saat iklim lebih kering, kejadian iklim ekstrim meningkat dan suhu meningkat melebihi kisaran optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman. Dalam kondisi kondisi tersebut petani harus mengubah praktik budi daya dan varietas, diversifikasi dengan komoditas lain yang lebih toleran (Thornton et al. 2009; Schroth et al. 2009), atau petani beralih profesi dari sektor pertanian ke sektor lain. Hal ini tentu berdampak terhadap ketahanan pangan dan kehilangan pendapatan dari ekspor pertanian. Berbagai teknologi telah diaplikasikan dalam upaya mengatasi dampak perubahan iklim pada perkebunan kopi, seperti pola agroforestri (pola tanam dengan tanaman penaung), penggunaan klon adapatif, dan teknologi konservasi tanah (Yuliasmara 2016). Sistem Agroforestri Sistem agroforestri telah lama diterapkan pada perkebunan kopi. Tanaman penaung merupakan salah satu teknologi budi daya yang dapat diterapkan sebagai langkah antisipasi terhadap pemanasan global. Dari sisi fisiologis, tanaman kopi merupakan tanaman tipe C3 yang membutuhkan cahaya yang tidak penuh untuk dapat tumbuh optimal (Sanger 1998; Carelli et al. 2003). Tanaman kopi akan berfotosintesis dengan baik apabila cahaya matahari yang diterima tidak lebih dari 60% (Prawoto 2007). Lamtoro dan sengon merupakan tanaman penaung yang banyak digunakan (Yahmadi 2007). Keuntungan ekologis dan lingkungan dari penerapan sistem agroforestri antara lain mengurangi erosi tanah, meningkatkan cadangan karbon, menjaga kesuburan tanah dan keanekaragaman hayati. Selain untuk adaptasi, sistem agroforestri pada tanaman kopi juga memiliki aspek mitigasi, yaitu untuk menambah serapan karbon 1015 Mg/ha (Hairiah dan Rahayu 2007), bahkan mencapai 19 Mg/ha (Wibawa et al. 2010). Nilai tambah lain sistem agroforestri adalah memperbaiki kesuburan tanah karena peningkatan kandungan bahan organik dari daun yang gugur. Naungan juga akan meningkatnya mutu produk, terutama citarasa kopi. Dalam kondisi ternaungi, proses pemasakan buah kopi lebih optimal. Sebaliknya, tanpa naungan, buah kopi lebih cepat masak karena tercekam cahaya (Yuliasmara 2016). Klon Adaptif Perubahan Iklim Kekeringan merupakan dampak perubahan iklim yang dialami dalam budi daya kopi. Penggunaan bibit kopi 87 Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) dengan batang bawah klon unggul dengan perakaran kuat terbukti mampu meningkatkan ketahanan tanaman terhadap kekeringan dan penurunan kesuburan tanah. Penggunaan bahan tanam toleran akan mengurangi biaya untuk mitigasi dampak cekaman air. Klon BP 409, BP 42, dan BP 234 toleran terhadap kekeringan. Kopi robusta klon BP 308 juga toleran kekeringan karena memiliki perakaran yang lebih lebat (Nur et al. 2000). Nematoda yang intensitasnya meningkat akibat pemanasan global banyak menimbulkan kerugian pada tanaman kopi robusta. Penggunaan klon tahan atau toleran nematoda sebagai batang bawah merupakan cara yang paling efisien. Hasil penelitian menunjukkan jenis kopi ekselsa (Coffea excelsa) klon Bgn 121.09 dan kopi robusta BP 308 memiliki ketahanan yang tinggi terhadap nematoda. Klon BP 308 dianjurkan sebagai batang bawah tahan nematoda dan toleran kering (Nur et al. 2000). Beberapa klon kopi yang toleran karat daun adalah S 795, Andungsari 2K, dan Komasti. Klon Andungsari 2K dan Komasti agak tahan penyakit karat daun, sedangkan klon S795 relatif tahan penyakit karat daun dan berdaya hasil cukup tinggi dengan kualitas sangat baik ((Yuliasmara 2016). Teknologi Konservasi Tanah Peningkatan suhu udara, penuruan curah hujan, dan kemarau panjang menjadi penyebab kekeringan tanaman dan tanah retak akibat tingginya evapotranpirasi. Upaya adaptasi dapat melalui penerapan teknik konservasi untuk meningkatan ketersediaan air bagi tanaman. Beberapa teknologi konservasi yang dapat diterapkan pada tanaman kopi adalah penggunaan mulsa organik, pembuatan rorak dan biopori (Yuliasmara 2016). Mulsa organik berfungsi mengurangi evaporasi dan erosi, menjaga lengas tanah di sekitar perakaran, menambah kandungan bahan organik sehingga memperbaiki struktur dan tekstur tanah dan menekan pertumbuhan gulma, mengurangi evaporasi dan erosi. Setelah mengalami dekomposisi, mulsa organik melepas unsur hara di sekitar perakaran tanaman budi daya (Agus dan Widianto 2004; Abdoellah 2016). Bahan alami yang mudah terurai seperti daun dan kulit kopi, seresah pangkasan tanaman kopi dan tanaman penaung dapat digunakan sebagai mulsa organik. Mulsa diaplikasikan di sekeliling tanaman kopi dengan diameter sesuai lebar tajuk tanaman. Rorak berfungsi memperbesar resapan air ke tanah dan menampung tanah yang tererosi, unsur hara yang terbawa erosi meresap di sekitar perakaran tanaman, menampung bahan organik yang ada, dan merangsang pembentukan akar serabut tanaman kopi sehingga penyerapan hara oleh tanaman lebih optimal (Yuliasmara 2016). Rorak umumnya dibuat berukuran panjang 0,5-1,0 m, lebar 25-50 cm, dan dalam 25-50 cm. Pada tanah miring, rorak dibuat di antara larikan tanaman kopi sejajar kontur. Hal yang perlu diwaspadai dalam penerapan rorak dan teknologi pemanenan air lainnya adalah air hanya boleh tergenang beberapa saat. Apabila penggenangan berlanjut dikhawatirkan akan terjadi masalah berupa penyakit yang merusak akar tanaman. Pada daerah dengan curah hujan dan kadar liat tanah tinggi, pembuatan rorak dapat menyebabkan penggenangan air yang berlangsung lama (Agus dan Widinato 2004). Biopori adalah lubang dengan kedalaman 80-100 cm dan diameter 1030 cm dimaksudkan sebagai lubang resapan penampung air hujan dan meresapkannya kembali ke tanah (Brata 2009). Biopori juga yang ditutupi material organik dapat menyerap dan menyimpan air, menambah hara tanah, memberi nafas pada perakaran, dan menjadi habitat hewan dan jasad renik. Menurut Bambang dan Sibarani (2009), biopori meningkatkan resapan air tanah hingga tiga kali lebih cepat dibanding areal terbuka. Pembuatan biopori pada areal pertanaman kopi cukup efektif mempertahankan dan meningkatkan lengas tanah. KESIMPULAN Penelitian dampak perubahan iklim pada tanaman kopi di Indonesia masih terbatas. Di sisi lain, perubahan iklim menurunkan produksi dan kualitas kopi serta meningkatkan serangan hama dan penyakit tanaman. Kondisi ini diperparah oleh ketidaksiapan petani kopi menghadapi dampak perubahan iklim dan terbatasnya akses terhadap informasi perkembangan iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan pengelolaan risiko. Petani kopi tidak terorganisasi dengan baik seperti petani padi yang telah memiliki kelompok tani. Selain itu, pelatihan teknologi budi daya yang adaptif bagi petani kopi dalam menghadapi perubahan iklim sangat terbatas. Berbagai teknologi budi daya kopi yang adaptif perubahan iklim sudah dikembangkan namun tingkat adopsinya oleh petani sangat lambat. Oleh karena itu, upaya percepatan adopsi teknologi perlu segera dilakukan karena diperlukan dalam adaptasi perubahan iklim. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan produktivitas dan sistem usaha tani kopi yang toleran perubahan iklim. Para ahli dan pengambil kebijakan harus berpacu dengan waktu untuk mengakselerasi adopsi inovasi teknologi oleh petani karena dampak perubahan iklim telah dirasakan dan akan terus berlangsung. Permintaan kopi Indonesia terus meningkat sehingga pengembangan budi daya kopi di daerah yang lebih tinggi dengan iklim yang lebih sesuai berperan penting menggantikan sentra produksi saat ini. Di Indonesia terdapat cukup luas dataran tinggi yang dapat dikembangkan untuk perkebunan kopi guna mengantisipasi dampak perubahan iklim. Namun pengembangan kawasan ini untuk budi daya kopi memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar sesuai secara klimatologi, pedologi, dan ekologi. Dengan mempertimbangkan dampak ekologi akibat perluasan 88 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 perkebunan kopi diperlukan pengelolaan yang intensif untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu, peningkatan produktivitas kopi juga bertujuan untuk mengatasi masalah terbatasnya luas areal yang sesuai untuk menggantikan areal lama yang tidak lagi sesuai dengan kondisi iklim saat ini dan ke depan. DAFTAR PUSTAKA Abdoellah. 2016. Kopi dan Lingkungan Hidup:Sejarah Botani Proses Produksi, Pengolahan, Produk Hilir dan Sistem Kemitraan. Gadjah Mada University Press. 890 p. Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, 5th ed. London, UK: Elsevier. Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah Lahan Kering. World Agroforestry Centre (ICRAF) SE Asia Regional Office, Bogor. 102 pp. Alves, M.d. C., L. de Carvalho, E. Pozza, L. Sanches, and J.d.S Maia. 2011. Ecological zoning of soybean rust, coffee rust and banana black sigatoka based on Bazilian climate changes. Procedia Environmental Sciences, 6: 3549. Assamha, F.H. 2017. Dampak Perubahan Iklim Terhadap Produktivitas Tanaman Kopi di Kabupaten Tana Toraja. Skripsi. Departemen Geofisika dan Meteorologi. Institut Pertanian Bogor. 33 pp. Avallone, S., J. M. Brillouet, B. Guyot, E. Olguin, and J.P. Guiraud. 2002. Involvement of pectolytic micro-organisms in coffee fermentation. International Journal of Food Science and Technology 37: 191198. Baker, P.S. and J. Haggar. 2007. Global Warming: The Impact on Global Coffee. Los Angeles (US): Specialty Coffee Association of America. BPS (Badan Pusat Statistik). 2017. Jumlah rumah tangga usaha perkebunan tanaman tahunan menurut provinsi dan jenis tanaman. https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/tabel? tid=40&wid=0. [30 Maret 2017]. Bambang, D., dan R.T. Sibarani. 2009. Penelitian Biopori Untuk Menentukan Laju Resap Air Berdasarkan Variasi Umur dan Jenis Sampah. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP. ITS – Surabaya Brata, R.K. 2009. Lubang Resapan Biopori untuk Mitigasi Banjir, Kekeringan dan Perbaikan. Prosiding Seminar Lubang Biopori (LBR) dapat Mengurangi Bahaya banjir. Jakarta. Brown, M.E. and C.C.Funk. 2008. Food security under climate change. Science 319: 580–581. Buffo, R.A. and C.C. Freire. 2004. Coffee flavour: an overview. Flavour and Fragrance Journal 19: 99104. Bunn, C. 2015. Modeling the climate change impacts on global coffee production. Dissertation. Faculty of Life Sciences, Humboldt-Universität zu Berlin. 181 p. Carelli, M.L.C., R.B.Q Voltan, J.I. Fahl and P.C.O Trivelin. 2003. Leaf Anatomyand Carbon Istope Composition in Coffee Species Related to Photosynthetic Pathway. Plant Physiol, 15(1): 19 24. Cerri C.E.P., G. Sparovek, M. Bernoux, W.E. Easterling, J.M. Melillo, and C.C. Cerri. 2007. Tropical agriculture and global warming: impacts and mitigation options. Scientia Agricola 64: 83–99. Coste, R. 1992. Coffee: The plant and the product. 1ed. London: MacMillan Press. 328 p. CIAT (Centro Internacional de Agricultura Tropical). 2010. Climate adaptation and mitigation in the Kenyan coffee sector. Technical report, International Center for Tropical Agirculture, Cali, Colombia. Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2016. Statistik perkebunan Indonesia Komoditas kopi 20152017. 83 hlm. Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A. Hidayat. 2003. Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama tahun 2003. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat. Damatta, F.M., and J.D.C Ramalho. 2006. Impacts of drought and temperature stress on coffee physiology and production: a review, 18(1): 5581. Davis, A. P., T.W. Gole, S. Baena, and J. Moat. (2012). The impact of climate change on indigenous arabica coffee (coffea arabica): predicting future trends and identifying priorities. PloS one. PLoS ONE 7(11): e47981. [8 Oktober 2017]. Deepak, K., B.T Hanumantha, and H.L Sreenath. 2012. Viability of coffee leaf rust Hemileia vastatrix). Urediniospores stored at different temperatures. Biotechnol Biomate 2(5): 13. Eitzinger, A., P.L. Laderach, S. Carmona, C. Navarro, and L. Collet. 2013. Prediction of the impact of climate change on coffee and mango growing areas in haiti. Technical report, Full Technical Report. Centro Internacional de Agricultura Tropical (CIAT), Cali, Colombia. FAO (Food and Agricultural Organization). 2015. FAO Coffee pocketbook 2015. FAO. 194 p. Franco, C.M. 1958. Influence of temperature on growth of coffee plant. IBEC Research Institute, New York. Bulletin No. 16. Gay, C., C.G. Estrada, C. Conde, H. Eakin, and L. Villers, 2006. Potential impacts of climate change on agriculture: a case of study of coffee production in Veracruz, Mexico. Climatic Change 79: 25988. Geogiou, S., A. Jacques, and P. Imbach. 2014. An analysis of the weather and climate condition related to the 201 epidemic of coffee rust in Guetamala. Technical Report. International Coffee Collection. 93 p. Ghini, R., E. Hamada, and W. Bettiol. 2008a. Climate change and plant diseases. Scientia Agricola 65: 98107. Ghini, R., E. Hamada, M.J. Pedro Junior, J.A. Marengo, and R.R.V. Goncalves. 2008b. Risk analysis of climate change on coffee nematodes and leaf miner in Brazil. Pesquisa Agropecua ria Brasileira 43: 18794. Ghini, R., W. Bettiol and E. Hamada. 2011. Diseases in tropical and plantation crops as affected byclimate changes: current knowledge and perspectives. Plant Pathology 60:122–132 Hairiah, K. and S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry Center-ICRAF. Bogor. Hannah, L., P.R. Roehrdanz, M. Ikegami, A.V. Shepard, M.R. Shaw, G. Tabor, L.Zhi, P.A. Marquet, and R.J. Hijmans. 2013. Climate change, wine, and conservation. Proc Natl Acad Sci. International Coffee Organization. 2014. World coffee trade (1963– 2013): A review of the markets challenges and opportunities facing the sector. London. International Coffee Organization. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2013. Climate Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge University Press, Cambridge, United Kingdom and New York, NY, USA. IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2014. Climate change 2014: Impacts, adaptation, and vulnerability. Part a: Global and sectoral aspects. Contribution of working group II to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Technical Report. Jackels, S.C. and C.H. Jackels. 2005. Characterization of the coffee mucilage fermentation process using chemical indicator: a field study in Nicaragua. Journal of Food Science 70(5): 321325. Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini) Janzen, S. O. 2010. Chemistry of coffee. In Comprehensive Natural Products II, Chemistry and Biology. Editor L. Mender and H.W. Liu. Elsevier Ltd. The Boulevard, Lanfod Lane, Kidlington OX5 1GB, United Kingdom. p. 10851113. Jaramillo, J., A. Chabi-Olaye, C. Kamonjo, A.Jaramillo, F. E., Vega, H.-M. Poehling, and C. Borgemeister. 2009. Thermal tolerance of the coffee berry borer hypothenemus hampei: predictions of climate change impact on a tropical insect pest. PLoS One, 4(8): e6487. Jaramillo, J., E. Muchugu, F.E. Vega, A. Davis, C. Borgemeister, and A. Chabi-Olaye. 2011. Some like it hot: the inuence and implications of climate change on co_ee berry borer (hypothenemus hampei) and coffee production in East Africa. PLoS One, 6(9): e24528. Kementan (Kementerian Pertanian). 2015. Rencana Strategis Kementerian Pertanian 20152019. Sekretariat Jenderal Kemenratiena Pertanian. 339 hlm. Koebler, B. 2013. How Climate Change Could Eventually End Coffee,’ US News and World Report. http://www.usnews.com/ news/articles/2013/03/27/buzzkill-how-climate-change-couldeventually-end-coffee. [3 Maret 2017]. Läderach, P., J. Haggar, C. Lau, A. Eitzinger, O. Ovalle, M. Baca, A. Jarvis, and M. Lundry. 2009. “Mesoamerican coffee: building a climate change adaptation strategy.” CIAT Policy brief No. 2, CIAT. Lobell, D.B., M.B. Burke, C. Tebaldi, M.D. Mastrandrea, W.P. Falcon, and R.L. Naylor. 2008. Prioritizing climate change adaptation needs for food security in 2030. Science 319: 607–610. Magina, F., R. Makundi, A. Maerere, G. Maro, and J. Teri. 2011. Temporal variations in the abundance of three important insect pests of coffe in kilimanjaro region, tanzania. In Proceedings, 23rd International Scientific Colloquium on Coffee. Association Scientifique Internationale du Caffe (ASIC), Bali, Indonesia, pages 11141118. Marsh, T. and J. Neilson. 2007. Securing the profitability of the Toraja coffee industry. ACIAR, Canberra Neilson, J., D.S.F. Hartari, and Y.F. Lagerqvist. 2013. Coffee-based livelihoods in South Sulawesi, Indonesia. Appendix 8 to the final report for ACIAR Project SMAR/2007/063. Australian Centre for International Agricultural Research, Canberra Nur, A.M. 2000. Dampak La Nina terhadap produksi kopi Robusta. Studi kasus tahun basah Studi kasus tahun basah 1998. Warta Puslitkoka 16(1): 5058. Nur, A.M., Zaenudin dan S. Wiryadiputra. 2000. Morfologi dan sebaran akar kopi Robusta klon BP 308 pada lahan endemik nematoda parasit, Pratylenchus coffeae. Pelita Perkebunan, 16: 121–131. Nzeyimana, I., A.E.Hartemink, and V. Geissen. 2014. Gis-based multi-criteria analysis for Arabica coffee expansion in Rwanda. PloS one, 9(10): e107449 Ovalle-Rivera, O., P. Laderach, C. Bunn, M. Obersteiner, and G. Schroth. 2015. Projected shifts in coffea arabica suitability among major global producing regions due to climate change. Prawoto, A. 2007. Materi Kuliah Fisiologi Tumbuhan. Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember. Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). 2008. Pengolahan biji kopi primer. Leaflet, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia, Jember. Samosir. F.A., M.U. Tarigan dan S. Oemry. 2013. Survei faktor kultur teknis terhadap perkembangan populasi hama penggerek buah kopi ( Hyphotenemus Hampei) di Kabupaten Simalungun. Agroteknologi: 1(4): 114. Sachs, J., J. Rising. T. Foreman, J. Simmons, and M. Brahm. 2015. The impacts of climate change on coffee: trouble brewing. Columbia University. 153 p. 89 Salla, M. H. 2009. Influence of Genotype, Location and Processing Methods on The Quality of Coffee (Coffea arabica L.). MSc. Thesis Hawassa University. Hawassa, Ethiopia. 105 p. Sanger, A. 1998. Mathematics for Biologists Part Biology. Mathematics for Biologists. Schroth, G, P. Läderach, D. Blackburn, J. Neilson, and C. Bunn. 2015. Winner or loser of climate change. A modeling study of current and future climatic suitability of Arabica coffee in Indonesia. Regional Environmental Change. p. 110. Schroth, G., P. Laderach, J. Dempewolf, S.M. Philpott, J.P. Haggar, H. Eakin, T. Castillejos, J. Garcia-Moreno, H. Soto-Pinto, R. Hernandez, A. Eitzinger, and J. Ramirez-Villegas. 2009. Towards a climate change adaptation strategy for coffee communities and ecosystems in the Sierra Madre de Chiapas, Mexico. Mitig Adapt Strategi GlobChang 14: 605–625. Sihaloho, T.M. 2009. Strategi Pengembangan agribisnis Kopi Di kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Skripsi. Fakultas Pertanian, Institus Pertanian Bogor. Siswoputranto, P. S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia. Kanisius. Jakarta. 417 hlm. Solomon, S., D. Qin, and M. Manning. 2007. Climate Change 2007: The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I for the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge University Press. Soonthornkamol, P. 2004. Effect of Diffrent Species Procedure and Degree of Roasting on Volatile Compounds Production in Thai Coffee. Thesis Master of Science Departement of Food Technology Silpakorn University. Bangkok. 69 p. Sumirat, U. 2008. Dampak kemarau panjang terhadap sifat fisik biji kopi Robusta (Coffea canephora). Pelita Perkebunan 24(2): 8094. Supriadi, H. 2014. Budi daya tanaman kopi untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Perspecti 13(1): 3552. Suslick, B. A., L. Feng, and K. S. Suslick. 2010. Discrimination of complex mixtures by a colorimetric sensor array: coffee aromas. Analytical Chemistry 82 (5): 20672073. Sylvain, P.G. 1955. Some observations on Coffea arabica L. in Ethiopia. Turrialba 5: 37–53. Thornton, P.K., J, van de Steeg, A. Notenbaert, and M. Herrero. 2009. The impacts of climate change on livestock and livestock systems in developing countries: a review of what we know and what we need to know. Agric Syst 101: 113–127. Tucker, C.M., H. Eakin, and E.J.Castellanos. 2010. Perceptions of risk and adaptation: coffee producers, market shocks, and extreme weather in Central America and Mexico. Glob Environ Chang United Nations Development Programme (UNDP). 2005. Adaptation Policy Frameworks for Climate Change.Cambridge University. U.K. 248 p. Vermeulen, S., P.K. Aggarwal, A. Ainslie, C. Angelone, B.M. Campbell, A.J. Challinor, J.W. Hansen, J.S.I. Ingram, A. Jarvis, P. Kristjanson, C. Lau, G.C. Nelson, P.K. Thornton, and E. Wollenberg. 2012. Options for support to agriculture and food security under climate change. Environ Sci Policy 15: 136– 144. Villers, L., N. Arizp, R. Orellana, C. Conde, and J. Hernandez. 2009. Impacts of climatic change on coffee flowering and fruit development in Veracruz, México. Intersciencia 34(5): 322 329. Wang, N. 2012. Physicochemical Changes of Coffee Beans during Roasting. Thesis Master of Science University of Guelph. Ontario, Canada. 82 p. 90 Wibawa, A., F. Yuliasmara dan R. Erwiyono. 2010. Estimasi Cadangan Karbon pada Perkebunan Kopi di Jawa Timur. Pelita Perkebunan 26: 111. Wintgens, N.J. 2012. Coffee: Growing, Processing, Sustainable Production. A Guidebook for Growers, Processors, Traders, and Researchers. Weinhem (GE): Wiley-VCH. Yahmadi, M. 2007. Rangkaian Perkembangan dan Permasalahan Budidaya dan Pengolahan Kopi di Indonesia. Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia, Surabaya. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90 Yenetzian, C., F. Wieland, and A.N. Gloess. 2012. Progress on coffee roasting: a progress control tool for a consistent roast degree-roast after roast. Newfood 15: 2226. Yuliasmara, F. 2016. Strategi Mitigasi Perkebunan Kopi Menghadapi Perubahan Iklim. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao. 28(3): 17. DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p91-98 91 Peningkatan Jurnal Litbangkadar Pertanian antosianin Vol. 36 beras No. merah 2 Desember dan .... 2017: (Buang 91-98Abdullah) PENINGKATAN KADAR ANTOSIANIN BERAS MERAH DAN BERAS HITAM MELALUI BIOFORTIFIKASI Increasing Anthocyanin of Red and Black Rice through Biofortification Buang Abdullah Balai Besar Penelitian Padi Jalan Raya No. 9, Sukamandi, Kabupaten Subang 41256, Jawa Barat Telp. (0260) 520157; (0260) 520158 E-mail: bbpadi@litbang.pertanian.go.id; buangabdullah1217@gmail.com Diterima: 14 Maret 2017; Direvisi: 2 Oktober 2017; Disetujui: 13 Oktober 2017 ABSTRAK Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia pertanian dan merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan gizi masyarakat. Beras yang merupakan makanan pokok di Indonesia dapat ditingkatkan kandungan gizinya melalui program pemuliaan tanaman guna menghasilkan varietas padi yang berasnya mengandung vitamin, mineral, dan/atau senyawa lain seperti antosianin yang bermanfaat bagi kesehatan. Antosianin dapat dihasilkan oleh tanaman secara alami. Biofortifikasi beras yang mengandung antosianin tinggi telah dilakukan melalui program perakitan varietas padi beras merah dan beras hitam dengan prosedur pemuliaan konvensional. Dua varietas unggul padi fungsional yang mengandung antosianin tinggi telah dilepas yaitu Inpari-24 Gabusan sebagai varietas unggul padi beras merah dengan kandungan antosianin 8 ug/100g dan Inpari-25 Opak Jaya sebagai varietas ketan merah dengan kandungan antosianin 11 ug/100g. Varietas unggul padi beras merah hasil biofortikasi telah berkembang luas di beberapa daerah karena disukai konsumen dan menguntungkan petani. Beberapa galur harapan padi beras merah dan beras hitam yang mengandung antosianin lebih tinggi masih dalam tahap pengujian daya hasil dan multilokasi. Beberapa di antara galur tersebut diharapkan dapat dilepas sebagai varietas unggul padi beras merah dan beras hitam yang lebih baik dari varietas yang sudah ada. Untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan hipertensi, dengan mengonsumsi pangan fungsional hasil biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif dibandingkan dengan pangan hasil fortifikasi karena senyawa penting yang ditambahkan melalui biofortifikasi bersifat diwariskan dan langgeng. Kata kunci: Padi, beras merah, beras hitam, antosianin, biofortifikasi ABSTRACT Bio-fortification is a new paradigm for agriculture and a tool for improving nutritional status of human health. Rice as a staple food for Indonesian community is potential to be increased its nutritional content to produce rice with high vitamin, mineral and/or antioxidant (anthocyanin) which is benefit for human health. Anthocyanin is a compound that produced by plants. Biofortification of rice for high content of anthocyanin was carried out through development of red and black rice through conventional breeding. Bio-fortification is more effective than fortification to combat generative diseases. Two red improved rice varieties were released with high anthocyanin content were released by IAARD, namely Inpari 24 Gabusan as a red rice variety with anthocyanin content of 8 ug/100g and Inpari 25 Opak Jaya as a waxy red rice variety with anthocyanin content of 11 ug/100g. Red rice varieties produced from biofortification are rapidly adopted by farmers and stake-holders. Several number of red and black rice advanced lines having higher anthocyanin content are being tested in the field for their yield trial. These lines could be released as red and black rice varieties that better than the existing varieties. In order to overcome degenerative diseases such as cancer, diabetes, and high blood consuming functional food from bio-fortification would be more efficient than that from fortification, because the important compound which added through bio-fortification is derivative and eternal. Keywords: Rice, red rice, black rice, anthocyanin, bio-fortification PENDAHULUAN P erkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah mengubah gaya hidup dan pola konsumsi pangan masyarakat. Berbeda dengan dua dekade lalu, masyarakat dewasa ini lebih menyukai pangan yang siap saji yang umumnya mengandung kadar lemak tinggi namun miskin serat dan zat gizi lainnya. Pola pangan demikian dapat mengganggu kesehatan yang menyebabkan penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, diabetes, dan hipertensi (Krisnatuti dan Yenrina 1999). Menurut Departemen Kesehatan (2012), 26% kematian di Indonesia disebabkan oleh penyakit jantung. Risiko penyakit jantung koroner di perkotaan lebih besar dibanding di perdesaan (Marliyati et. al. 2008). Pencegahan penyakit jantung antara lain dapat melalui pengaturan pola makan, baik jenis dan kuantitas maupun kualitas. Pencegahan penyakit karena kekurangan gizi mikro dapat dilakukan melalui fortifikasi, yaitu penambahan zat tertentu ke dalam bahan pangan. Penyakit karena kekurangan vitamin A, 92 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98 misalnya, dapat diatasi dengan asupan provitamin A, baik dalam bentuk kapsul maupun suplemen (Lamid et al. 2007) atau makanan dan minyak goreng yang sudah ditambahkan provitamin A (Herdiansyah et al. 2002). Padi merupakan bahan pangan utama sebagian besar penduduk Indonesia. Dalam situasi normal, konsumsi beras tidak dapat digantikan oleh komoditas pangan lain (Khumaidi 2008). Keberhasilan revolusi hijau antara lain ditandai oleh dirakit dan dikembangkannya padi unggul varietas IR5 dan IR8 oleh IRRI pada tahun 1966 (Fagi et al. 2009) serta varietas unggul lainnya oleh negara-negara penghasil beras lainnya, terutama Indonesia, India, China, dan Filipina. Hal ini menyebabkan tergantikannya bahan pangan tradisional kaya gizi mikro (besi, seng, dan antosianin) yang berasal dari kacang-kacangan, jagung, sayuran, dan buah-buahan dengan beras yang diketahui miskin gizi mikro. Perbandingan kandungan gizi mikro komoditas padi, gandum, jagung, dan kedelai dapat dilihat pada Tabel 1. Beras mengandung karbohidrat, protein, lemak, vitamin, dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Di Indonesia, beras sebagai bahan makanan pokok menyumbang 63% energi, 38% protein, dan 21,5% zat besi (Indrasari et al. 1997). Menurut Juliano (1993), beras sebagai bahan pangan menyumbang energi 2.709 kcal, protein 59,7 g, lemak 39 g, kalsium 229 mg, besi 11,9 mg, retinol 50 ug, thiamin 10 mg, riboflafin 0,5 mg, dan niasin 1,4 mg. Penelitian tentang nutrisi mikro dalam tanaman pangan telah banyak dilakukan. Grup Konsultasi Proyek Penelitian Nutrisi Mikro Pertanian malaporkan gizi betakaroten, besi, seng dan gizi mikro lainnya cukup tersedia pada plasma nutfah pertanian. Potensi ini dapat dikombinasikan dengan potensi hasil tinggi dalam perakitan varietas. Bioavailabilitas dari galur-galur harapan mudah dicoba pada tikus dan manusia (Gregorio 2002). Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia pertanian dan merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan gizi masyarakat. Biofortifikasi beras melalui perakitan padi fungsional bertujuan untuk mendapatkan varietas unggul yang selain berpotensi hasil tinggi juga mempunyai kandungan unsur mikro, vitamin, dan zat gizi lain yang berguna bagi kesehatan. Varietas padi yang telah mengalami proses pemuliaan, baik secara konvensional maupun nonkonvensional dan mempunyai keunggulan tertentu karena mengandung satu atau lebih komponen pembentuk yang mempunyai fungsi fisiologis tertentu dan bermanfaat bagi kesehatan disebut sebagai padi fungsional (Widjayanti 2004). Berbeda dengan fortifikasi (jelaskan dulu arti fortifikasi), biofortifikasi adalah proses peningkatan kandungan gizi (vitamin, senyawa atau unsur mikro yang berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia) komoditas pertanian melalui proses pemuliaan tanaman. Hasilnya dapat diwariskan ke tanaman berikutnya sehingga lebih efisien dibanding dengan fortifikasi yang setiap saat harus melakukan peningkatan nutrisi tertentu. Biofortifikasi beras untuk nutrisi mikro, vitamin, dan zat penting lainnya dimungkinkan karena plasma nutfah padi memiliki keragaman yang luas. Hasil penelitian menunjukkan padi mengandung zat besi 7,524,4 µg/g, seng 13,558,4 µg/g (Gregorio et al. 2000), dan antosianin 0,04.700 µg/g (Ryu et al. 1998). Melalui biofortifikasi, kandungan besi dan seng pada beras pecah kulit meningkat masing-masing dari 10 µg/g menjadi 12,5 µg/g dan dari 26 µg/g menjadi 35 µg/g. Pada beras sosoh, peningkatan kandungan besi dan seng melalui biofortifikasi masing-masing dari 1 µg/g menjadi 5 µg/g dan dari 20 µg/g menjadi 27 µg/g (Wirth et al. 2009). Mengonsumsi beras biofortifikasi dapat menaikkan hemoglobin darah (Haas et al. 2005). Kandungan vitamin A pada padi telah berhasil ditingkatkan melalui biofortifikasi (Paine et al. 2005). Abdullah et al. (2014) melaporkan bahwa penyilangan dua varietas populer IR64 dan Ciherang dengan Kay Bonet GR2-R telah menghasilkan sejumlah galur IR64 dan Ciherang Golden Rice (IR64GR2-R dan CHR GR2-R) yang mempunyai kandungan karotenoid 7,5-11 µg/g. Biofortifkasi beras yang mengandung antosianin telah menghasilkan padi beras merah varietas Inpari 24 Gabusan dan padi ketan merah varietas Inpari 25 Opak Jaya dengan potensi hasil tinggi dengan rasa pulen dan sudah mulai berkembang. Di beberapa daerah, varietas unggul padi beras merah dan padi ketan merah ini diperdagangkan sebagai beras sehat yang menguntungkan karena harga jualnya tinggi. Tulisan ini membahas upaya peningkatan zat antosianin pada beras melalui biofortifikasi atau perakitan varietas padi yang berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia. Beras dari varietas unggul padi yang dihasilkan berfungsi sebagai makanan pokok dan sumber energi serta kesehatan karena mengandung karbohidrat dan antosianin yang tinggi. Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi mikro beberapa bahan pangan. Besi (µg/g) Komoditas Padi Gandum Jagung Kedelai Seng (µg/g) Tembaga (µg/g) Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran Rata-rata Kisaran 3 37 20 70 2-10 24-61 16-30 48-110 16 31 21 45 10-22 13-68 15-34 36-70 2 4 1 13 1-5 2-9 1-4 4-29 Sumber: Welch dan Graham (2000). 93 Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah) ANTOSIANIN BERAS SEBAGAI KOMPONEN FUNGSIONAL PANGAN Berdasarkan warnanya, beras terdiri atas tiga kelompok, yaitu beras putih, beras merah, dan beras hitam. Warna pigmen merah, ungu, dan hitam terdapat pada lapisan perikarp hingga lapisan luar endosperm beras. Warna pada beras merupakan sifat yang diwariskan oleh tetuanya (Tang dan Wang 2001). Antosianin adalah pigmen yang memberi warna merah, biru atau keunguan pada bunga, buah, dan sayuran. Beras merah dan beras hitam juga mengandung antosianin. Antosianin pada beras pertama kali dipelajari oleh Nagai et al. (1960) sebagaimana dikutip oleh Juliano (2003). Antosianin termasuk komponen flavonoid, yaitu turunan polifenol pada tumbuhan yang mempunyai kemampuan sebagai antioksidan, antikanker, dan mencegah penyakit jantung koroner dengan cara mencegah penyempitan pembuluh arteri (Wang et al. 1997). Dalam jumlah sedikit saja (146 mg/ml), antosianin sudah efektif mencegah produksi lemak jahat LDL (Low Densisty Lipoprotein) pada kelinci (Jawi dan Budiasa 2011) dan memperbaiki penglihatan mata (Timberlake dan Henry 1988). Asupan antosianin setiap hari diperkirakan sekitar 200 mg, sehingga berperan penting dalam diet dan memenuhi kebutuhan pangan dan gizi (Kim et al. 2008). Beras merah dan beras hitam termasuk pangan fungsional karena mengandung komponen aktif berfungsi fisiologis yang bermanfaat bagi kesehatan (Widjayanti 2004). Di India lebih dari 50 jenis padi digunakan untuk pengobatan (Das and Oudhia 2001). Di Indonesia, telah diteliti preferensi konsumen terhadap beras merah di tujuh provinsi pada tahun 2005. Dari 86 responden di Bali, 38% di antaranya mengonsumsi beras merah lokal setiap hari, 16% mengonsumsi lebih dari enam bulan sekali, dan sisanya mengonsumsi 36 bulan sekali (Indrasari dan Adnyana 2007). Banyak varietas lokal yang berwarna beras merah dan hitam, seperti varietas Jati luwih di Bali (padi beras merah) dan varietas Aek Metan (padi beras hitam) di Nusa Tenggara Timur. Beberapa varietas unggul baru (VUB) padi beras merah sudah dilepas oleh Kementerian Pertanian, antara lain Bahbutong pada tahun 1985 (Hermanto et al. 2009) dan Aek Sibundong tahun 2006 (Suprihatno et al. 2009). Beras merah dan beras hitam lokal banyak dijual sebagai beras fungsional dan dikonsumsi oleh penderita diabetes dan penyakit jantung koroner. PERAKITAN PADI BERAS MERAH DAN BERAS HITAM Perakitan padi merah dan beras hitam sudah dilakukan sejak lama, namun secara intensif melalui program perakitan padi fungsional baru dilaksanakan sejak tahun 2010. Program penelitian pemuliaan ini didukung oleh peneliti dari disiplin ilmu ento-fitopatologi untuk skrining ketahanan terhadap hama wereng cokelat, penyakit hawar daun bakteri, dan pascapanen untuk analisis kandungan vitamin, antosianin, dan mutu beras galur-galur terpilih. Materi pemuliaan terdiri atas berbagai varietas unggul dan galur harapan padi yang berpotensi hasil tinggi seperti Ciherang, Fatmawati, Aek Sibundong, Inpari-6, BP342, dan BP360; tahan hama wereng cokelat seperti Memberamo, IR74, PTB33; tahan penyakit hawar daun bakteri seperti Conde, IRBB7, dan IRBB21; dan beras bermutu tinggi seperti Memberamo, Inpari-6, Basmati, dan KDM; varietas lokal padi beras merah, beras hitam, dan ketan hitam; galur harapan, dan padi liar (Oryza rufipogon). Dari penelitian tersebut telah dihasilkan lebih dari 1.000 kombinasi persilangan atau populasi dasar. Dari populasi tersebut telah dihasilkan tidak kurang dari 500 galur yang sudah mantap dan stabil. Hal ini diketahui dari hasil observasi terhadap stabilitas sifat-sifat agronoms dan daya hasilnya. Galur-galur tersebut kemudian diuji ketahanannya terhadap hama wereng cokelat dan penyakit hawar daun bakteri, serta mutu fisik, dan kimiawi berasnya. Galur harapan padi fungsional beras merah dan beras hitam terpilih mempunyai potensi hasil tinggi, umur genjah, tahan hama penyakit, dan mempunyai beras dengan mutu tinggi dan stabil. Dari galur-galur harapan terpilih tersebut, terdapat puluhan galur harapan padi beras merah dan beras hitam yang mengandung antosianin dan thiamin. Padi ketan hitam vareitas Setail dilepas pada tahun 2002 dan padi rawa beras merah vareitas Inpara-5 dilepas pada tahun 2010. Karakteristik galur-galur tersebut ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar 1. Dua galur harapan padi beras hitam (B13486d-4-12PN-2 dan B13486d-4-12-PN-3) mengandung antosianin lebih tinggi dibanding tiga varietas padi beras merah Aek Sibundong, Inpari-24 Gabusan, dan Inpari-25 Opak Jaya serta dua galur beras merah B11844-9-9-5 dan B11955-MR84-1-4-1. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian Sompong et al. (2011) dan Pengkumsri et al. (2015) yang menunjukkan padi beras hitam mempunyai kandungan antosianin tinggi, berkisar antara 19,4140,8 µg/100 g. Sementara kandungan antosianin beras merah hanya 0,31,4 µg/100 g (Sompong et al. 2011). VARIETAS UNGGUL DAN GALUR HARAPAN Varietas Unggul Galur B11844-7-17-3 telah dilepas sebagai varietas unggul padi beras merah pada tahun 2012 dengan nama Inpari-24 Gabusan (Gambar 2). Varietas tersebut dilepas sebagai varietas unggul padi sawah. Varietas Inpari-24 Gabusan merupakan hasil persilangan pada tahun 2004, antara tetua betina Bio12 dengan tetua jantan padi beras merah 94 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98 Tabel 2. Kandungan amilosa dan antosianin beberapa galur harapan dan varietas padi beras merah dan beras hitam. Galur/varietas B11844-9-9-5 (BM) B10970C-MR-4-2- - (BM) B13486d-4-12-PN-2 (BH) B13486d-4-12-PN-3 (BH) B11955-MR-84-1-4-1 (BM) Inpari 24 Gabusan (BM) Inpari 25 Opak Jaya (KM) Aek Sibundong (BM) Tetua Amilosa (%) Bio12-MR-1-4-PN-6/beras merah brebes Fatmawati/Bio530B-45-9-3-1 Ketan hitam lokal/Mekongga Ketan hitam lokal/Mekongga Gilirang*2/BP342F-MR-1-3 Bio12-MR-1-4-PN-6/beras merah brebes Bio530C-MR-1/IRBB21 Sitali/Way Apo Buru//*2Widas 18 16 15 15 20 18 6 21 Antosianin (µg/100 g) BPK BGDS 100% 20,59 21,42 78,11 65,22 29,30 19,07 17,11 15,44 12,79 2,36 34,65 15,92 6,47 8,73 10,82 5,36 Keteterangan: BPK = beras pecah kulit; BGDS = beras giling derajat sosoh; BM = beras merah; BH = beras hitam Sumber: Abdullah 2014 (unpublished). Gambar 1. Gabah dan beras galur harapan padi beras merah dan beras hitam (Sumber: Abdullah 2014, unpublished). Gambar 2. Gabah dan beras pecah kulit dan beras sosoh dari padi beras putih varietas Ciherang dan padi aromatik varietas Inpari23 Bantul, dan padi beras merah varietas Inpari-24 Gabusan dan Inpari-25 Opak Jaya (Abdullah 2014, unpublished) lokal brebes dengan nomor persilangan B11844. Varietas unggul ini mempunyai potensi hasil 7,7 t/ha, rata-rata 6,2 t/ ha, kadar amilosa 18%, dan mengandung antosianin 19 mg/100 g pada beras pecah kulit dan 8 mg/100 g pada beras giling. Selain antosianin, varietas Inpari-24 Gabusan juga mengandung thiamin (vitamin B1) cukup tinggi, yaitu 0,59 mg/100g, tahan penyakit hawar daun bakteri dan mempunyai mutu beras yang baik. Bentuk beras merah varietas Inpari-24 Gabusan langsing dengan tekstur nasi pulen. Kandungan antosianin beras varietas Inpari-24 Gabusan lebih tinggi dari Aek Sibundong, baik dalam bentuk beras pecah kulit (BPK) maupun beras giling derajat sosoh (BGDS) 100% (Tabel 1). Warna merah pada beras varietas Inpari-24 Gabusan tidak hanya di lapisan luar tetapi sampai ke dalam endosperma. Indrasari et al. (2010) melaporkan bahwa kandungan antosianin pada nasi beras putih Ciherang pada derajat sosoh 80% dan 100% berturut-turut 0,23 mg dan 0,10 mg/ 95 Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah) 100 g, sedangkan pada vareitas Aek Sibundong relatif sama, masing-masing 0,38 mg dan 0,30 mg/100 g. Inpari-25 Opak Jaya adalah galur padi ketan merah BP1002E-MR-2 (Gambar 2) yang dilepas pada tahun 2012 sebagai varietas unggul padi sawah. Varietas unggul ini merupakan hasil persilangan antara tetua betina Bio530C-MR-2 dan tetua jantan IRBB 21 dengan nomor persilangan BP1002. Varietas Inpari-25 Opak Jaya mempunyai potensi hasil 9,4 t/ha, rata-rata 7,0 t/ha, kadar amilosa 5,7%, dan kandungan antosianin 17 mg/100 g pada beras pecah kulit dan 11 mg/100g pada beras giling. Antosianin bersifat antioksidan sehingga dapat berfungsi mencegah penyakit jantung koroner (Marliyati et al. 2008). Varietas unggul ini juga mengandung vitamin B1 (thiamin) yang cukup tinggi, yaitu 0,59 mg/100g, tahan hama wereng cokelat, penyakit hawar daun bakteri, dan memiliki mutu beras yang baik. Beras varietas Inpari 25 Opak Jaya berbentuk langsing. Galur Harapan Hasil penelitian menunjukkan dua galur padi beras hitam (B13486D-4-12-PN-2 dan B13486D-4-12-PN-3) mengandung antosianin lebih tinggi dari galur lainnya (Tabel 3). Galur-galur harapan tersebut masih memerlukan pengujian yang intensif di lapang sebelum dilepas sebagai varietas unggul padi beras hitam. Beberapa galur harapan padi beras merah, ketan merah, beras hitam, dan ketan hitam telah memasuki uji daya hasil lanjutan dan multilokasi. Tabel 3 menunjukkan hasil galur padi fungsional pada uji daya hasil lanjutan tahun 2013. Dua galur harapan padi beras merah B10970CMR-4-2-1-1-1-Si-3-2-4-2-1-PN-4 dan beras hitam B5640HMR-1-PN-1 sedang diuji pada beberapa lokasi (multilokasi) yang merupakan syarat mutlak sebelum diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul. Dari hasil uji daya hasil lanjutan terdapat dua galur padi fungsional dengan produktivitas yang sama atau lebih tinggi daripada varietas pembanding Ciherang dan Aek Sibundong. Kedua galur harapan tersebut akan diuji lebih lanjut di beberapa lokasi sebelum diusulkan untuk dilepas menjadi varietas unggul padi fungsional. PROSPEK PENGEMBANGAN BERAS MERAH DAN BERAS HITAM Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan masyarakat berdampak negatif terhadap kesehatan konsumen karena menderita penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, hipertensi, dan diabetes. Para leluhur telah mengajarkan pentingnya mengonsumsi beras merah atau beras hitam sebagai obat tradisional. Hal ini sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi bahwa beras merah dan beras hitam mengandung antosianin tinggi yang berfungsi sebagai antioksidan dan mineral yang bermanfaat bagi kesehatan. Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian masyarakat telah menyadari manfaat beras merah dan hitam bagi kesehatan. Hal ini antara lain tercermin dari banyaknya konsumen menengah ke atas yang memerlukan beras fungsional dalam upaya penyembuhan dan pencegahan penyakit degeneratif. Tidak hanya di pasar tradisional, beras merah dan beras hitam dewasa ini sudah dijual di pasar moderen. Beberapa industri pangan juga telah menjadikan beras merah dan beras hitam sebagai bahan utama produk makanan sehat siap saji, baik untuk konsumen dewasa maupun bayi. Tabel 3. Rata-rata hasil gabah kering giling (GKG) galur harapan padi beras merah dan beras hitam pada uji daya hasil lanjutan di dua lokasi dalam dua musim, 2013. Galur Beda hasil (%) Hasil (t/ha) CHR AS B12344-3D-PN-37-6 (BM) B12747-MR-4-3-PN-3-1 (BMA) Cherang (BP) (kontrol) Aek Sibundong (BM) (kontrol) B12747-MR-4-2-PN-2-2 (KM) B11955-MR-84-1-4-1 (BM) B12747-MR-4-2-PN-3-1 (BM) B13486D-4-12-PN-2 (BH) B11823-MR-2-23-2-4-5-Si-2-3 (BM) B13486D-4-12-PN-1 (BH) B11823-MR-2-23-2-4-5-Si-2-1 (BMA) B13486D-4-12-PN-3 (BH) 6,99 6,78 6,58 6,51 6,32 6,14 5,77 5,70 5,67 5,66 5,13 4,94 6 3 0 -1 -4 -7 -12 -13 -14 -14 -22 -25 7 4 1 0 -3 -6 -11 -12 -13 -13 -21 -24 Rata-rata 6,02 -9 -8 Keterangan: CHR = Ciherang; AS = Aek Sibundong; BM = beras merah; BMA = beras merah aromatik; BP = beras putih; KM = ketan merah; BH = beras hitam Sumber: Abdullah 2014 (unpublished) 96 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98 Beras merah dan beras hitam yang dijual di pasaran umumnya varietas lokal. Sebagai contoh, beras merah varietas Jatiluwih dan Kalirejo masing-masing telah dibudidayakan sebagai komoditas komersial di Bali dan Batang Jawa Tengah. Sementara itu, padi beras hitam varietas lokal Cempo ireng telah dikembangkan pula oleh petani di beberapa lokasi di Sleman (Kristamtini 2008; Kristamtini et al. 2014) dan dan varietas lokal Melik di Bantul, Yogyakarta (Jatiharti dan Kristamtini 2010). Padi lokal diketahui memiliki postur tanaman yang tinggi, umur panjang, produktivitas rendah, dan rentan terhadap hama penyakit utama. Hal ini menjadi faktor pembatas dalam pengembangan varietas lokal padi beras merah dan beras hitam. Selain itu, kualitas beras merah dan beras hitam varietas lokal kurang baik dan tekstur nasi pera. Oleh karena itu, perakitan padi beras merah unggul yang mempunyai batang pendek-sedang, umur genjah, produksi tinggi, mutu beras baik, tekstur nasi pulen, dan tahan hama penyakit utama berperan penting dalam memenuhi kebutuhan konsumen akan makanan pokok yang sehat. Varietas Inpari-24 Gabusan adalah varietas unggul padi rakitan Badan Litbang Pertanian. Varietas unggul ini sudah dikembangkan petani di Jawa dan luar Jawa, seperti Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi Selatan, Bali, dan Lombok. Pengembangan varietas Inpari24 Gabusan lebih menguntungkan karena memiliki produktivitas tinggi, umur genjah, mutu beras baik, tekstur nasi pulen, dan harganya cukup tinggi. Di Bogor, Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, harga beras merah varietas Inpari-24 Gabusan di tingkat petani produsen lebih tinggi dari beras putih, berkisar antara Rp11.00013.000/kg. Setelah dikemas, harga beras merah varietas Inpari-24 Gabusan meningkat menjadi Rp 20.000–30.000/k; sedang harga beras putih di tingkat petani sekitar Rp7.000–8000/kg, sebelum dikemas dan Rp9.000–12.000/ kg setelah dikemas. Beras merah dalam kemasan 0,5 kg kedap udara yang diproduksi oleh petani di Demak, Jawa Tengah, telah diperdagangkan ke Semarang, Jakarta, Bandung, Sumatera, dan Kalimantan (Heri S., komunikasi pribadi), Gambar 3. Kemasan 1 kg kedap udara beras merah Inpari 24 Gabusan. Produksi TPP Cigombong/Balitbangtan. Gambar 4. Nasi galur harapan (GH) beras merah dan hitam: D. GH beras merah aromatik; E. GH beras merah; L. Inpari 24 Gabusan; G. GH beras hitam; H. GH ketan hitam. 97 Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah) sedangkan dalam kemasan 5 kg dipasarkan ke hotel, rumah sakit, dan supermarket di Makassar (Sahardi M. dan Amin Nur, komunikasi pribadi). Beras merah varietas Inpari-24 Gabusan dengan kemasan 0,5 kg yang diproduksi oleh petani di Demak, Jawa Tengah, dan kemasan 5,0 kg yang diproduksi oleh kelompok tani di Soppeng, Sulawesi Selatan. Beberapa galur harapan padi beras merah dan beras hitam sedang diuji multilokasi pada tahun 2017, diharapkan pada tahun 2018 dapat dilepas. Gambar 3 menunjukkan tampilan Kemasan beras merah Inpari 24 (Inpari 24 Gabusan) dan Gambar 4 menunjukkan nasi beberapa galur harapan (GH) beras merah dan beras hitam. KESIMPULAN Hasil telaahan terhadap berbagai hasil penelitian membuktikan biofortifikasi (perakitan varietas padi fungsional) berkontribusi dalam meningkatkan kandungan antioksidan (antosianin) pada beras yang bermanfaat bagi kesehatan. Perakitan varietas unggul padi fungsional yang berdaya hasil tinggi, umur genjah, tahan hama penyakit utama, dan mutu beras tinggi berperan penting memenuhi kebutuhan pangan fungsional, meningkatkan pendapatan petani, dan berkontribusi memperbaiki kesehatan masyarakat. Jika dikonsumsi secara rutin, beras fungsional dapat mencegah dan mengurangi penyakit degeneratif seperti kanker, jantung koroner, diabetes, dan hipertensi. Dalam mengatasi penyakit degeneratif, mengonsumsi pangan fungsional hasil biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif dibandingkan dengan pangan hasil fortifikasi karena senyawa penting yang ditambahkan dalam biofortifikasi bersifat langgeng. Program biofortifikasi melalui perakitan padi fungsional telah menghasilkan varietas unggul Inpari-24 Gabusan dan Inpari-25 Opak Jaya. Kedua varietas mengandung antosianin yang cukup tinggi dengan potensi hasil tinggi, tahan terhadap hama wereng cokelat dan penyakit hawar daun bakteri, dan beras bermutu baik dengan tekstur nasi pulen. Varietas Inpari-24 Gabusan sudah menyebar luas di beberapa daerah karena disenangi konsumen dan menguntungkan petani. Beberapa galur harapan padi fungsional telah dihasilkan seperti beras merah, beras merah aromatik, beras hitam, dan ketan hitam dengan kandungan antosianin dan daya hasil lebih tinggi dari beras putih. Beberapa galur harapan beras merah dan beras hitam masih dalam tahap pengujian daya hasil dan multilokasi. Beberapa di antaranya diharapkan dapat segera dilepas sebagai varietas unggul padi beras merah dan beras hitam dengan sifat yang lebih baik dari varietas unggul yang ada. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B., Sularjo, Cahyono, Yullianida, E. Herlina, Trisnaningsih, A. Nasution. S.D. Indrasari, dan S.D. Ardhiyanti. 2014. Perakitan Varietas Padi Fungsional dengan Produktivitas Tinggi, Tahan Hama dan Penyakit Utama dan Beras Bermutu Baik. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Laporan Akhir Tahun RPTP DIPA 2013. 37 hlm. Das, GK and P. Oudhia. 2001. Rice as amedical plant in Chattisgarth, India. Plant Genet. Resour. Newsl. 122: 46. Departemen Kesehatan. 2012. Laporan Studi Mortalitas 2011: Pola penyakit penyebab kematian di Indonesia. Jakarta. Depkes. Fagi, A. M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusi Hijau: Peran dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar penelitian Tanaman Padi – International Rice Research Institute. 43 hlm. Gregorio, G.B. 2002. Progress in breeding for trace minerals in staple crops. Symp. Plant Breeding: A New Tool for Fighting Micronutrient Malnutrition. In Journal of Nutrition: 500S-502S. Gregorio, G.B., D. Senadhira, H. Htut, and R.D. Graham. 2000. Breeding for trace mineral density in rice. Food and Nutrition Bulletin 21(4): 382386. Haas, J.D., J.L. Beard, L.E. Murray-Kolb., A.M. del Mundo, A. Felix, and G.B. Gregorio. 2005. Iron-Biofortified Rice Improves the Iron Store of Nonanemic Filipino Women. Journal of Nutrition, American Society for Nutrition. hlm. 28232830. Herdiansyah, D. Alam. L. Amalia dan D. Briawan. 2002. Analisis manfaat dan biaya pprogram fortifikasi minyak goreng dengan vitamin A. Media Gizi & Keluarga 26(2): 4957. Hermanto, S.W. Dedik, dan E. Hikmat. 2009. Deskripsi Varietas Unggul Padi 19432009. PusatPenelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. 220 hlm. Indrasari, S.D. dan M.O. Adnyana. 2007. Preferensi Konsumen terhadap Beras Merah sebagai Sumber Pangan Fungsional. Iptek Tanaman Pangan 2(2): 227–241. Indrasari, S.D., P. Wibowo dan E.Y. Purwani. 2010. Evaluasi mutu fisik, mutu giling, dan kandungan antosianin kultivar beras merah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(1): 56–62. Indrasari, S.D., P. Wibowo, and D.S. Damardjati. 1997. Food consumption pattern based on the expenditure level of rural communities in several parts in Indonesia. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi (unpublished). Jatiharti, A. dan Kristamtini. 2010. Usaha tani padi beras hitam Melik di Bantul. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi 2009. Buku 3. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi Jawi, I.M. dan K. Budiasa. 2011. Ekstrak air umbi jalar unggu menurunkan total kolesterol serta meningkatkan total antioksidan darah kelinci. Jurnal Veteriner 12(2): 12–125. Juliano, B.O. 1993. Rice in human nutrion. IRRI-FAO, Rome 1993. Juliano, B.O. 2003. Rice Chemistry and Quality. Philippine Rice Research Institute. 480 p. Khumaidi, M. 2008. Beras sebagai pangan pokok utama bangsa Indonesia, keunikan dan tantangannya. Pemikiran Guru Besar IPB. Jakarta Penebar. hlm. 179–186. Kim, M.K, K. Hannah, K. Kwangoh, K.H. Seon, S.L. Young, and M.K. Yong. 2008. Identification and kuantification of anthocyanin in colored rice. Nutr. Res. Practice 2(1): 46–49. Krisnatuti, D.P., dan R. Yenrina. 1999. Perencanaan Menu bagi Penderita Jantung Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya. Kristamtini. 2008. Penampilan Cempo Ireng sebagai sumber daya genetik beras hitam. Prosiding Seminar Nasional Berbasis Sumber Pangan Lokal untuk Mendukung Kedaulatan Pangan. Univesitas Mercu Buana Yogyakarta bekerja sama dengan Perhimpunan Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Yogyakarta dan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta, 18 Desember 2008. 98 Kristamtini, Taryono, P. Basunanda, dan R.H. Murti. 2014. Beras hitam sumber antosianin dan prospeknya sebagai pangan fungsional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 33(1): 17–24. Lamid, A., Rimbawan, A. Khomsan, C.M. Kusharto, dan Muhilal. 2007. Pengaruh suplemen iodium dan beta karoten terhadap status iodium dan status gizi ibu hamil di daerah endemik GAKI. Media Gizi & Keluarga, Desember, 31(2): 74–83. Marliyati, S.A., A. Nasoetion, M. Simanjuntak, dan P. Puspitasari. 2008. Pola konsumsi pangan pria dewasa di pedesaan dan perkotaan Bogor-Jawa Barat: Kaitannya dengan faktor resiko penyakit jantung koroner. Media Gizi dan Keluarga, Desember, 32(2): 1–24. Paine, J.A., C.A. Shipton, S. Chaggar, R.M. Howells, M.J. Kennedy, G. Vernon, S.Y. Wright, E. Hinchliffe, J.L. Adams, A.L. Silverstone and R. Drake. 2005. Improving the nutritioanal value of Golden Rice through increased pro-vitamin A content. Nature biotechnology 23(4): 482–487. Pengkumsri, N., C. Chaiyasut, C. Saenjum, S. Sirilun, S. Peerajan, P. Suwannalert, S. Sirisattha, and B.S. Sivamaruthi. 2015. Physicochemical and antioxidatve propreeties of black, brown and red rice varieties of North Thailand. Food Sci. Technol. Campinas, 35(2): 331–338. Ryu, S.N., S.Z. Park, and C.T. Ho. 1998. High performances liquid chromatographic determination of anthocyanin pigments in some varieties of black rice. J. Food Drug Analysis 6: 1710– 1715. Sompong, R., S. Siebenhandl-Ehn, G. Linsberger-Martn, and E. Berghofer. 2011. Physicochemical and antioxidative properties of red and black rice varieties from Thailand, China and Sri Lanka. Food Chemistry 124: 132–140. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98 Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, S.E., Suprihanto, A. Setyono, S.D. Indrasari, M.Y. Samaullah, dan H. Sembiring. 2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Litbang Pertanian. 105 hlm. Tang, S. and Z. Wang. 2001 Breeding for superior quality aromatic rice varieties in China. Pages 35–44. In Speciality Rices of the World: Breeding, Production and Marketing. R.C. Cahudury, D.V. Tran, R. Duffy (Eds). Food Agric Org. Rome. Italy–Sci Publ Inc. Enfield. NH. USA. Timberlake, C.F. and B.S. Henry. 1988. Anthocyanions as natural food colorants. Prog. Clin. Biol. Res. 280: 107–121. Wang, G., B. Parpia, and Z. Wen. 1997. The composition of Chinese foods. Institute of Nutrition and Food Hygiene Chinese Academy of Preventive Medicine. Washington DC: ILSI Press. Welch, R.M. and R.D. Graham. A new paradigm for world agriculture: productive, sustainable, nutritious, healthful food systems. 2000. Food and Nutrition Bulletin 21(4): 361–366. Widjayanti, E. 2004. Potensi dan Prospek Pangan Fungsional Indigenous Indonesia. Disajikan pada Seminar Nasional: Pangan Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan, Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung, 6–7 Oktober 2004. Welch, R. M. and R. D. Graham. 2000. A new paradigm for world agriculture: productive, sustainable, nutrition, healthful food systems. Food and Nutrition Bulletin. 1(4): 361–366. Wirth, J., S. Poletti, B. Aeschlimann, N. Yakandawala, B. Drosse, S. Osario, T. Tohge, A. Fernie, D. Gunther, W. Gruissem, and C. Sautter, C. 2009. Rice endosperm iron biofortification y targeted and synergistic action of nicotianamine synthase and ferritin. Plant Biotechnology Journal 7: 1–14. Heritabilitas, Jurnal Litbangsumber Pertanian gen,Vol. dan36 durabilitas No. 2 Desember ketahanan 2017: varietas 99-108.... (Dini Yuliani dan Wage Ratna DOI: Rohaeni) 10.21082/jp3.v36n2.2017.p99-108 99 HERITABILITAS, SUMBER GEN, DAN DURABILITAS KETAHANAN VARIETAS PADI TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI Heritability, Gene Resource, and Durability of Rice Varieties Resistance To Bacterial Leaf Blight Disease Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni Balai Besar Penelitian Padi Jalan Raya No. 9, Sukamandi, Kabupaten Subang 41256, Jawa Barat Telp. (0260) 520157; (0260) 520158 E-mail: bbpadi@litbang.pertanian.go.id; diniyuliani2010@gmail.com Diterima: 20 Juni 2017; Direvisi: 25 Oktober 2017; Disetujui: 7 November 2017 ABSTRAK Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu kendala dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan varietas tahan merupakan cara pengendalian yang efektif dan mudah diterapkan petani. Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber gen ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan strategi mempertahankan durabilitas varietas tahan sebagai salah satu upaya pengendalian melalui pemuliaan tanaman mendukung upaya peningkatan produksi padi. Perakitan dan pengembangan varietas tahan berperan penting mengendalikan penyakit HDB, karena memiliki mekanisme ketahanan genetik yang dapat diwariskan kepada keturunannya. Varietas dengan ketahanan vertikal mudah dipatahkan oleh patogen, sehingga perlu upaya perakitan varietas dengan ketahanan horizontal. Untuk memperoleh keturunan tanaman padi yang tahan terhadap penyakit HDB dalam perakitan varietas, posisi tetua tahan sebaiknya diperankan sebagai tetua betina yang memiliki daya gabung khusus yang tinggi. Sifat ketahanan HDB dari populasi tetua yang mengandung gen dari hasil silang ganda memilliki heritabilitas lebih tinggi. Populasi turunan dari silang ganda memiliki ketahanan multigenik dan berpeluang menghasilkan individu rekombinan tahan untuk periode yang lama (durable). Ketersediaan varietas tahan yang durable menjadi syarat utama dalam pengendalian penyakit HDB secara berkelanjutan. Hal ini dapat dilakukan dengan perbaikan ketahanan varietas melalui perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di antaranya padi liar, padi lokal, dan padi introduksi. Kata kunci: Padi, varietas, ketahanan, hawar daun bakteri, durabilitas, heritabilitas ABSTRACT Bacterial leaf blight (BLB) disease is one of the obstacles in increasing of rice production. The use of resistant varieties is an effective and easy to implement for farmers. This paper discusses the heritability and source of resistance genes of rice varieties against the BLB disease and strategies to maintain the durability of resistant varieties as one of the control efforts through plant breeding to supports the increasing of rice production. Assembling and development of resistant varieties play an important role in controlling BLB disease because it has a genetic resistance mechanism that can be inherited to progeny level. Varieties with vertical resistance are easily broken by pathogens, so it is necessary to assembling of varieties with horizontal resistance. To obtain the resistant progeny to BLB disease in the assembly of varieties, the position of the resistant varieties should be played as a female parent that has a high specific joining power. The nature of resistance to BLB is from a population whose parent genes are derived from multiple cross results has higher heritability. The populations derived from a double-cross have multigenic resistance and have the potential to produce recombinant individuals resistant for prolonged periods (durable). The availability of durable resistant varieties become a key requirement in sustainable BLB disease control. This matter can be done by improving the resistance of varieties through the assembling of varieties with various sources of resistance such as wild rice, local rice, and introduced rice. Keywords: Rice, varieties, resistance, bacterial leaf blight, durability, heritability PENDAHULUAN H awar daun bakteri (HDB) yang termasuk penyakit utama tanaman padi dapat menurunkan produksi beras nasional. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Sudir dan Suprihanto 2008). Patogen ialah organisme hidup yang menyebabkan penyakit pada tanaman sebagai sarana untuk bertahan hidup (Leonberger et al. 2016). Penyakit HDB tersebar luas mulai dari dataran rendah hingga dataran tinggi dan dijumpai pada berbagai agroekosistem padi, yang meliputi lahan sawah irigasi, tadah hujan, lahan kering, dan lahan rawa (Suparyono et al. 2003). Penyakit ini tersebar luas di 32 provinsi di Indonesia dengan tingkat penularan berkisar dari ringan hingga berat (Ditlintan 2015). Infeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dapat menghambat pertumbuhan tanaman padi, di antaranya berkurangnya jumlah daun secara tidak langsung, mengurangi jumlah malai, dan menghambat pengisian 100 bulir. Fase pertumbuhan tanaman dan varietas padi berpengaruh terhadap perkembangan penyakit HDB. Semakin muda tanaman padi terinfeksi semakin cepat perkembangan penyakit HDB (Khaeruni et al. 2014). Gejala penyakit HDB berupa bercak kebasahan, semula pada tepi atau ujung daun padi, kemudian berkembang ke arah pangkal daun berwarna hijau keabuan. Lebih lanjut, helaian daun menjadi keriput dan menggulung hingga seluruh daun mengering (Ou 1985). Gejala penyakit pada tanaman padi fase vegetatif disebut kresek, sedangkan pada fase generatif disebut hawar daun (Sudir dan Suprihanto 2008). HDB menduduki peringkat keempat dari tujuh penyakit utama tanaman padi. Penularan HDB di Indonesia dalam periode 2010-2014 cukup tinggi, berkisar antara 65,3-115,3 ribu ha. Tanaman padi yang mengalami puso akibat infeksi penyakit HDB dalam periode tersebut berkisar antara 6,50-62,20 ha (Ditlintan 2015). Sudir dan Sutaryo (2011) melaporkan tingkat keparahan penyakit HDB berkorelasi positif dengan penurunan hasil gabah. Ambang kerusakan tanaman pada musim kemarau sekitar 10% dan pada musim hujan 16%. Setelah ambang kerusakan tersebut, setiap kenaikan keparahan penyakit 10% menyebabkan kehilangan hasil padi 5,8% pada musim kemarau dan 3,7% pada musim hujan. Di India, tingkat keparahan penyakit HDB mencapai 65-71% sehingga nyata menurunkan produksi padi. Kehilangan hasil padi akibat penularan HDB di empat wilayah epidemik di India berkisar antara 92.000105.000 ton di Nellore, 30.000-36.000 ton di Godavari Barat, 46.000 ton di Karnal, dan 22.000 ton di Rangareddy (Rajarajeswari dan Muralidharan 2006). Penggunaan varietas tahan merupakan cara mudah dan efektif mengendalikan penyakit HDB. Meskipun demikian, menurut Sudir et al. (2012), penanaman satu jenis varietas tahan secara terus menerus dalam jangka panjang tidak dianjurkan karena dapat mempercepat patahnya ketahanan varietas dan memacu terbentuknya patotipe baru yang lebih virulen. Pemuliaan tanaman padi tahan HDB menjadi salah satu program penting dalam perakitan dan perbaikan varietas padi menggunakan berbagai sumber ketahanan yang mengacu pada kondisi patotipe Xoo di lapangan. Perakitan dan perbaikan varietas tahan ke depan diharapkan memiliki karakter heritabilitas yang tinggi dan ketahanan yang durable. Menurut Nafisah et al. (2007), pendugaan heritabilitas suatu sifat pada populasi tanaman dapat membantu pemulia dalam seleksi dan evaluasi potensi genetik suatu populasi. Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber gen ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan strategi mempertahankan durabilitas varietas tahan sebagai salah satu upaya pengendalian melalui pemuliaan tanaman mendukung upaya peningkatan produksi padi. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108 MEKANISME KETAHANAN TANAMAN TERHADAP PATOGEN Secara alamiah tanaman memiliki ketahanan tertentu terhadap patogen. Tanpa memiliki sifat ketahanan maka tanaman akan mengalami penularan berat oleh patogen. Ketahanan yang dimaksud ialah ketahanan tanaman yang dikuasai oleh gen, sehingga sifat ketahanannya dapat diwariskan kepada keturunannya. Perkembangan gen tahan pada tanaman merupakan hasil koevolusi antara inang dengan patogen yang telah berlangsung lama (Rahim et al. 2012). Menurut Muhuria (2003), ketahanan tanaman bersifat (1) genik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat genetik yang dapat diwariskan, (2) morfologik, yaitu sifat tahan karena sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan bagi hama/patogen, dan (3) kimiawi, yaitu sifat tahan karena zat kimia yang dihasilkan tanaman. Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik dapat dibedakan menjadi: (1) monogenik,yaitu sifat tahan yang diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2) oligogenik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh beberapa gen yang saling menguatkan, dan (3) poligenik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh banyak gen yang saling menambah dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda sehingga timbul ketahanan dengan spektrum luas. Ketahanan genetik dibedakan menjadi beberapa tipe: (1) vertikal, yaitu bersifat sangat tahan namun mudah patah (menjadi tidak tahan) oleh munculnya biotipe/patotipe baru, (2) horizontal, yaitu memiliki tingkat ketahanan dengan status “agak tahan”, dan (3) ganda atau multilini, yaitu campuran beberapa galur dengan komponennya masing-masing memiliki fenotipe yang sama namun gen yang berbeda memiliki ketahanan terhadap beberapa jenis hama/patogen. Ketahanan vertikal terdapat pada varietas yang memiliki ketahanan terhadap satu atau beberapa ras patogen dan bersifat mengurangi inokulum awal infektif dari patogen sehingga mengurangi tingkat keparahan penyakit. Ketahanan horizontal terjadi apabila tanaman inang sama efektifnya terhadap semua ras patogen dan memiliki daya kerja yang dapat menurunkan epidemi setelah terjadi perkembangan patogen. Varietas dengan ketahanan vertikal mudah patah sehingga perlu diupayakan melepas varietas yang memiliki ketahanan horizontal atau ketahanan ganda (multiple resistance) atau multilini sebagai suatu upaya untuk mengurangi kepekaan genetik yang biasa dialami oleh varietas dengan ketahanan vertikal (Muhuria 2003). Penanaman varietas yang memiliki ketahanan horizontal diharapkan dapat mengurangi kepatahan akibat patogen. Pendekatan genetik dan patologis dalam perakitan varietas dengan ketahanan horizonal berpreran penting mengurangi kerusakan tanaman akibat patahnya ketahanan vertikal yang dihasilkan dari variasi patogenisitas bakteri patogen. Selain itu perlu pula 101 Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni) dipelajari hubungan fisiologis dan ultrastruktur tanaman padi dengan inang parasit (Noda et al. 1990). Aspek fisiologis berperan dalam perkembangan patogen dan ketahanan tanaman. Suryadi dan Kadir (2008) menginformasikan varietas padi yang menunjukkan ketahanan relatif tinggi terhadap HDB memiliki kandungan gula reduksi (GR) dan nisbah gula reduksi nitrogen (GR/N) relatif lebih tinggi dibanding varietas rentan seperti IR64. Varietas Cisadane memiliki nilai GR/N relatif lebih tinggi. HERITABILITAS VARIETAS TAHAN Pola pewarisan ketahanan genetik varietas terhadap hama dan penyakit, tipe ketahanan, mekanisme ketahanan, dan sumber ketahanan genetik perlu diketahui sebelum memulai program perbaikan ketahanan tanaman. Pola pewarisan genetik atau heritabilitas merupakan parameter yang menggambarkan daya waris individu kepada keturunannya atau derajat kemiripan di antara keduanya untuk sifat tertentu dalam menganalisis pengaruh genetik dan lingkungan terhadap kemiripan tersebut (Supriyanta 2002). Nilai Duga Heritabilitas Untuk meningkatkan efektivitas seleksi terhadap suatu karakter diperlukan parameter yang dapat menjelaskan perbedaan antarindividu yang disebabkan oleh perbedaan genetik. Parameter tersebut ialah nilai duga heritabilitas yang merupakan proporsi varian genetik terhadap varian fenotipe dalam suatu populasi biologis (Daradjat et al. 2001). Heritabilitas terbagi menjadi dua, yakni heritabilitas arti sempit (narrow-sense heritability, h2) dan heritabilitas arti luas (broad-sense heritability - H2). Respon seleksi dan nilai korelasi antarkarakter dipengaruhi oleh heritabilitas arti sempit (h2) (Visscher et al. 2008). Nilai heritabilitas arti sempit merupakan proporsi dari keragaman gen aditif yang diturunkan dan relatif dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan memberikan perkiraan akurat dalam proses seleksi. Informasi ini dapat membantu dalam perencanaan perakitan varietas tahan. Heritabilitas arti sempit (h2): Heritabilitas arti luas (H2): 2 adalah keragaman fenotipe, σ G keragaman genetik, keragaman lingkungan,σ A2 ragam aditif,σ D2 ragam dominan, dan σ I2 ragam epistatis. Epistatis ialah fenomena sifat yang tidak muncul karena adanya sifat yang lain (Visscher et al. 2008). Nilai duga heritabilitas rendah jika H2bs< 20%, sedang jika 20% < H2bs < 50%, dan tinggi jika H2bs > 50% (Stanfield 1983). Nilai heritabilitas yang tinggi berperan penting dalam meningkatkan efektivitas seleksi. Jika karakter memiliki heritabilitas tinggi maka seleksi dapat berlangsung efektif dan dapat digunakan pada generasi awal karena pengaruh lingkungan relatif kecil, sehingga faktor genetik lebih dominan (Lestari et al. 2012). Menurut Daradjat et al. (2009), semakin banyak varietas yang beradaptasi baik pada lingkungan tertentu semakin meningkat variabilitas genetik tanaman. Kondisi ini mampu memperkecil tekanan seleksi terhadap hama dan atau penyakit tanaman yang secara tidak langsung juga memperkecil peluang munculnya biotipe hama dan atau strain penyakit yang baru. Faktor yg mempengaruhi nilai duga heritabilitas ialah ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi genetik dengan lingkungan (G x E), dan tipe persilangan. Karakter yang dipengaruhi oleh aksi gen aditif akan memiliki nilai duga hertabilitas yang tinggi, sedangkan apabila karakter dikendalikan oleh aksi gen nonaditif maka nilai duga heritabilitas akan rendah. Pengaruh lingkungan dan interaksi G x E berdampak negatif terhadap nilai heritabilitas (Suwarto dan Nasrullah 2011). Dengan demikian, semakin tinggi ragam lingkungan dan ragam interaksi G x E akan semakin kecil nilai heritabilitas. Hal lain yang menarik ialah terdapat pengaruh resiprokal terhadap nilai duga heritabilitas. σ2 p Mekanisme Pewarisan Gen Ketahanan pada Varietas Tahan Aksi gen yang mengatur mekanisme sifat ketahanan terhadap penyakit HDB pada tanaman padi adalah aksi gen nonaditif (Habarurema 2012). Aksi gen nonaditif dipengaruhi oleh lingkungan yang ditandai oleh perbandingan proporsi ragam daya gabung umum (DGU) dan daya gabung khusus (DGK) lebih besar dari 1 (Widyastuti 2016). DGU padi inbrida merupakan rata-rata kemampuan kesesuaian suatu inbrida dalam persilangan dengan kelompok inbrida lainnya, sedangkan DGK adalah daya kemampuan kesesuaian suatu inbrida dengan inbrida tertentu (Sutoro dan Setyowati 2014). DGU dan DGK merupakan parameter genetik yang biasa digunakan dalam mengidentifikasi potensi galur-galur inbrida dalam perakitan varietas hibrida. Materi yang digunakan pada penelitian DGU dan DGK adalah galur-galur padi mandul jantan tipe sitoplasma wild abortive untuk sifat toleran kekeringan (Widyastuti 2016). 102 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108 PERAKITAN VARIETAS DENGAN KERAGAMAN SUMBER GEN TAHAN Menurut Habarurema (2012) terdapat pengaruh resiprokal terhadap sifat ketahanan HDB pada keturunannya. Dua tetua yang memiliki DGK tinggi berpeluang besar menghasilkan keturunan tahan penyakit HDB. Hasil persilangan Nerica14 x irat104 dan CO39 x Nerica10 direkomendasikan sebagai varietas padi hibrida tahan HDB. Varietas Nerica14 dan Nerica10 adalah tetua tahan yang memiliki DGU dan DGK yang baik. Seleksi pada keturunan hibrida (P1 x P2) perlu dipisah dengan resiprokalnya (P2 x P1). Untuk memperoleh peluang yang lebih besar dalam menghasilkan varietas tahan HDB maka posisi tetua tahan sebaiknya ditempatkan sebagai tetua betina. Perakitan varietas berpotensi hasil tinggi mengalami kendala akibat sempitnya variabilitas genetik plasma nutfah yang ada dan dekatnya tingkat kekerabatan antarvarietas unggul yang ditanam petani. Hal tersebut diindikasikan oleh gejala pelandaian produksi. Rendahnya keanekaragaman sumber daya genetik akan meningkatkan kerawanan genetik padi apabila terjadi wabah hama atau penyakit. Kerawanan genetik makin meningkat dengan praktek budi daya padi dua kali tanam dalam setahun (Daradjat et al. 2009). Sumber Gen Ketahanan dari Padi Liar Heritabilitas Sifat Ketahanan terhadap Hawar Daun Bakteri Varietas unggul yang telah berkembang saat ini tidak mampu berproduksi lebih tinggi karena keterbatasan kemampuan sumber daya genetik. Untuk menghasilkan varietas unggul yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan melalui program pemuliaan perlu melibatkan berbagai sumber gen alternatif. Spesies padi liar diketahui sebagai sumber gen potensial yang telah berhasil diintrogresikan ke tanaman padi budi daya dan mampu mengatasi kendala produksi. Spesies padi liar berperan penting sebagai sumber gen dalam pemuliaan tanaman dan tidak ditemukan pada budi daya. Oleh karena itu, spesies padi liar perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk mengatasi kendala produksi melalui perakitan varietas (Abdullah 2006). Di sisi lain, ras patogen terus berkembang membentuk ras, strain, dan patotipe baru. Dalam hal ini diperlukan identifikasi sumber gen ketahanan baru untuk digunakan dalam perakitan varietas tahan. Padi liar yang telah teridentifikasi bereaksi tahan terhadap patogen Xoo adalah Oryza nivara, O. longistminata, dan O. punctata yang direkomendasikan pemanfaatannya dalam program pemuliaan tanaman padi (Akhtar et al. 2011). Nilai heritabilitas ketahanan terhadap penyakit HDB tergolong rendah karena sifat tahan tanaman dipengaruhi oleh lingkungan. Nilai heritabilitas dapat ditingkatkan dengan metode silang ganda (Habarurema 2012). Sifat ketahanan HDB dari populasi yang gen tetuanya berasal dari hasil silang ganda memilliki heritabilitas lebih tinggi daripada tetua yang berasal dari silang tunggal. Populasi dengan gen tahan lebih sedikit memiliki heritabilitas genetik yang lebih rendah daripada populasi yang memiliki gen tahan lebih banyak (Nafisah et al. 2007; Tasliah 2012). Heritabilitas tetua yang berasal dari hasil silang tunggal memiliki nilai 0,19. Nilai heritabilitas paling tinggi berasal dari tetua hasil silang ganda, yaitu 0,60 (Tabel 1). Sifat tahan terhadap penyakit HDB memiliki nilai duga heritabilitas arti luas maupun arti sempit yang rendah hingga sedang. Peluang mendapatkan nilai duga heritabilitas yang tinggi (H2 > 50%) diperoleh pada tipe persilangan double cross dengan tetua jantan dari hasil persilangan single cross tetua yang memiliki gen tahan Xa secara piramiding dengan kombinasi lebih dari tiga gen tahan (Nafisah et al. 2007). Dengan demikian, untuk memperoleh karakter tahan HDB dengan nilai heritabilitas >50% dapat dilakukan dengan menyilangkan tetua yang memiliki gen Xa/xa lebih dari tiga jenis gen tahan menggunakan metode double cross. Sumber Gen Ketahanan dari Padi Lokal Alternatif sumber gen ketahanan lainnya adalah padi lokal. Yuliani et al. (2014) telah memperoleh varietas lokal Tabel 1. Nilai heritabilitas beberapa hasil persilangan untuk ketahanan terhadap penyakit HDB. Progeni F2 turunan Nerica4, Nerica10, dan Nerica14 (silang tunggal) Silang tunggal genotipe IRBB (2 gen Xa/xa) Silang ganda IRBB (>3 gen Xa/xa) tipe 1 (A/B//C) Silang ganda IRBB (>3 gen Xa/xa) tipe 2 (A//B/C) Heritabilitas arti luas Heritabilitas arti sempit 16.36% 92% Habarurema et al. (2012) - 19% 65% 30% Nafisah et al. (2007) Nafisah et al. (2007) Nafisah et al. (2007) Referensi 103 Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni) (Kutuk, Mansur, dan Ketan Belimbing) yang konsisten tahan terhadap Xoo patotipe III pada musim hujan 2012/ 2013 dan musim kemarau 2013. Susanto dan Sudir (2012) juga telah mengidentifikasi varietas lokal yang bereaksi tahan atau agak tahan terhadap Xoo patotipe III dan agak tahan atau agak rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII, sehingga memiliki ketahanan yang relatif baik dan berspektrum luas. Varietas lokal yang bereaksi tahan terhadap penyakit HDB seperti Ketan Garut, Pandan wangi, Remaja, dan Gembang dapat digunakan sebagai tetua tahan pada perakitan dan perbaikan varietas unggul baru (VUB) tahan HDB. Padi lokal ini telah beradaptasi pada lingkungannya sehingga dapat diadopsi dan dikembangkan untuk menanggulangi epidemik penyakit HDB. Sumber Gen Ketahanan dari Padi Introduksi Berdasarkan data bank gen International Rice Research Institute (IRRI) dalam Tasliah et al. (2013), terdapat 28 varietas IRBB rakitan IRRI yang mengandung gen ketahanan terhadap penyakit HDB. Pada varietas IRBB terdapat gen yang mengendalikan sifat tahan terhadap HDB, yaitu gen mayor (Xa) dan gen minor (xa). Dari varietas IRBB rakitan IRRI teridentifikasi 11 varietas yang mengandung gen tunggal dan 17 varietas mengandung multigen (Tabel 2). Semua varietas IRBB telah dikoleksi oleh Balai Besar Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dengan nomor aksesi tertera pada Tabel 2, kecuali IRBB 66. Hampir semua varietas IRBB yang dikoleksi BB Padi telah diuji ketahanannya terhadap penyakit HDB. Yunani et al. (2014) melaporkan varietas IRBB yang mengandung gen tahan mayor Xa atau gen minor xa tidak selalu tahan terhadap penyakit HDB, terutama patotipe IV. Hal ini menunjukkan tidak semua varietas IRBB dapat dijadikan tetua persilangan dalam perakitan varietas tahan HDB. Namun dari hasil skrining teridentifikasi lima varietas IRBB yang bereaksi sangat tahan yakni IRBB 7, IRBB 21, IRBB 50, IRBB 52, dan IRBB 58. Pada varietas IRBB 7 dan IRBB 21 terdapat gen tunggal yang bersifat dominan yaitu Xa7 dan Xa21. Varietas IRBB 50, IRBB 52, dan IRBB 58 Tabel 2. Varietas IRBB dengan gen ketahanannya terhadap penyakit HDB. Aksesi Varietas Pedigree Gen ketahanan* ) 4855 4857 805 806 807 808 7582 4863 4864 8240 IRBB 1 IRBB 3 IRBB 4 IRBB 5 IRBB 7 IRBB 8 IRBB 10 IRBB 11 IRBB 13 IRBB 14 813 4867 815 816 817 818 8241 4873 8242 822 823 8243 7008 7033 7039 7025 IRBB 21 IRBB 50 IRBB 51 IRBB 52 IRBB 53 IRBB 54 IRBB 55 IRBB 56 IRBB 57 IRBB 58 IRBB 59 IRBB 60 IRBB 61 IRBB 62 IRBB 63 IRBB 64 IR24*5/Kogyoku IR24*5/Chugoku45 IR24*5/IR20 IR24*5/IR1545-339 IR24*5/DV85 IR24*5/P1231129 10 IR24*5/Cas209 11 IR24*5/IR8 13 BJI/5*IR24 14 Taichung native1/5*IR24 21 IR24*8/Oryza Longistaminata tidak ada informasi IR72912 IR72913 R72914 IR72915 IR72916 IR72918 IR72919 IR72920 IR72920 IR72920 IRBB60/IRBB7 IRBB60/IRBB7 IRBB60/IRBB7 IRBB60/IRBB7 Xa1 dari Kogyoku Xa3 dari Wase Aikoku Xa4 dari TKM6 xa5 dari DZ192 Xa7 dari DV85 xa8 dari P1231129 Xa10 dari Cas209 Xa11 dari IR8 xa13 dari BJI Xa14 dari TN1 Xa21 dari Oryza 1 Longistaminata Xa4 + xa5 Xa4 + xa13 Xa4 + Xa21 xa5 +xa13 xa5 + Xa21 xa13+ Xa21 Xa4 + xa5 + xa13 Xa4 + xa5 + Xa21 Xa4 + xa13 + Xa21 xa5 + xa13 + Xa21 Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21 Xa4 + xa5 + Xa7 Xa4 + xa5 + Xa7 xa5 + Xa7 + xa13 Xa4 + xa5 + Xa7 + Xa21 7038 IRBB 65 IRBB60/IRBB7 Xa4 + Xa7 + xa13 + Xa21 IRBB 66 Angke Conde IRBB60/IRBB7 IR64 6/IRBB5 IR64 6/IRBB7 Xa4 + xa5 + Xa7 + xa13 + Xa21 xa5 Xa7 Skor toleransi thd patotipe IV** ) 7 3 7 3 1 7 7 7 1 1 7 1 3 3 7**** 5 1 3 7**** 7**** - 1*** ) 1*** ) Ket.: *) Tasliah et al. (2013), **) Yunani et al. (2014), ***) BB Biogen (2007), ****) Yuliani et al. (2014). Skor ketahanan HDB: 1= sangat tahan, 3= tahan, 5= agak rentan, 7= rentan, 9= sangat rentan, dan - = belum ada informasi pengujian. 104 J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108 mengandung gen tahan piramiding berturut-turut Xa4 + xa5; Xa4 + Xa21; dan Xa4 + xa13 + Xa21. Varietas IRBB yang sangat tahan terhadap HDB dapat direkomendasikan sebagai tetua dalam perakitan varietas unggul padi tahan penyakit HDB. Upaya pengendalian penyakit HDB secara berkelanjutan dapat dilakukan melalui perbaikan ketahanan varietas secara cermat karena struktur dan dominasi patotipe Xoo di Indonesia berbeda dengan patotipe Xoo koleksi IRRI (Tasliah et al. 2013). Di antara gen tahan HDB, terdapat gen resesif xa5 dan gen dominan Xa7 yang efektif mengendalikan beberapa patotipe Xoo di Indonesia. Kedua gen tahan tersebut telah disisipkan ke dalam varietas IR64 melalui silang-balik (backcross). Gen tahan pada varietas IR64 kemudian disilangkan dengan varietas IRBB 5 atau IRBB 7 sehingga menghasilkan varietas Angke dan Conde yang masing-masing mengandung gen xa5 dan Xa7. Kedua varietas unggul ini merupakan hasil rakitan pemulia Indonesia dan telah diuji dengan patotipe Xoo asal Indonesia (BB Biogen 2007). PERBAIKAN KETAHANAN VARIETAS Perbaikan ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB telah banyak dilakukan dan varietas unggul yang dihasilkan telah dilepas untuk diadopsi petani. Terdapat tiga varietas unggul baru padi sawah irigasi yang tahan terhadap tiga patotipe dominan penyakit HDB (patotipe III, IV, dan VIII), yakni Inpari 1, Inpari 6 Jete, dan Inpari 17 (BB Padi 2015). Patotipe ialah sinonim dari strain, form, variant, pathovar, atau ras (race), yaitu populasi patogen yang semua anggota individunya mempunyai kemampuan yang sama sebagai parasit (Sudir et al. 2012). Patotipe ditentukan berdasarkan reaksi virulensi terhadap satu set perangkat varietas diferensial terpilih (Suparyono et al. 2003). Varietas Inpari 1, Inpari 6 Jete, dan Inpari 17 direkomendasikan sebagai tetua tahan dalam perakitan varietas unggu tahan HDB karena berpeluang besar dalam menghasilkan keturunan tahan. Varietas unggul baru yang memiliki ketahanan terhadap patotipe III dan IV adalah Inpari 4. Varietas tahan patotipe III paling banyak, di antaranya Inpari 5, Inpari 11, Inpari 16, Inpari 18, Inpari 19, Inpari 20, Inpari 20, Inpari 21, Inpari 22, Inpari 23, Inpari 24, Inpari 25, Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28, Inpari 31, Inpari 32, Inpari 33, Inpari 43, dan Inpari 44 (Tabel 3). VUB padi sawah irigasi yang telah teruji tahan dapat dikembangkan untuk mengatasi epidemik penyakit HDB. Jumlah varietas unggul padi yang telah dilepas di Indonesia cukup banyak yang dapat dikembangkan sesuai kebutuhan ditinjau dari segi umur, postur tanaman, bentuk gabah, tekstur nasi, potensi hasil, selera pasar, dan ketahanan terhadap hama penyakit. Dengan demikian banyak pilihan bagi petani dalam menentukan varietas yang akan dikembangkan, sesuai dengan preferensi konsumen dan spesifik lokasi. Tabel 3. Tingkat ketahanan varietas unggul baru padi sawah irigasi terhadap penyakit HDB. Varietas Inpari 1 Inpari 4 Inpari 5 Merawu Inpari 6 Jete Inpari 16 Pasundan Inpari 17 Inpari 18 Inpari 19 Inpari 20 Inpari 21 Inpari 22 Inpari 23 Bantul Inpari 24 Gabusan Inpari 25 Opak Jaya Inpari 26 Inpari 27 Inpari 28 Kerinci Inpari 31 Inpari 32 Inpari 33 Inpari 43 Agritan GSR Inpari 44 Agritan Sumber: BB Padi (2015). Tingkat ketahanan terhadap HDB patotipe Pedigree R64/IRBB-7//IR64 S4384F-14-1/WayApo Buru//S4384F-14-1 SHEN NUNG 89-366/KetanLumbu Dakava line 85/Membramo Ciherang/ Cisadane// Ciherang Bio9-MR-V3-11-PN-5// IR64*3/IRBB21 BP364B-33-3-PN-5-1/ Bio530B-45-9-3-1 BP342B-MR—1-3/ BP226E-MR-76 S2823E-KN-33/ IR64// S2823E/ KN/ 33 Sitali/ S3383-1d-Pn-16-2/ S969B-265-1-4-1 IR42/IRBB5// CIHERANG/// TOWUTI B11738RS(Gilirang/ BP342F-MR-1-3//Gilirang) Bio 12 – MR-1-4-PN-6/ Beras Merah BIO 530C-MR-1/ IRBB 21 Introduksi dari IRRI (SHINEI / CHINA 971) Introduksi dari IRRI (BALDO/7904-TR4-4-2-1-1) IR 63872-14-2-2-1/ CEA-1 Pepe/BP342B-MR-1-3-KN-1-2-3-6-MR-3-BT-1 Ciherang/IRBB64 BP/360E-MR-79-PN-2/IR71218-38-4-3//BP360E-MR-79-PN-2 WuFengZhan/IRBB5/WuFengZhan Kebo x Ciherang III IV VIII T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T T AT T AR T AT AT AR AR R AT AT AT AR AR AR AT AT AT AT AR T AR AT T AR T R R R AR R R AR AT AR AR AR AT AT AT AT AT Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni) STRATEGI MEMPERTAHANKAN DURABILITAS VARIETAS TAHAN TERHADAP HDB Tujuan utama pemuliaan tanaman untuk ketahanan terhadap HDB ialah memperoleh varietas unggul yang dapat bertahan lama mengatasi kehilangan hasil akibat serbuan patogen di lapangan. Nafisah et al. (2007) telah menghasilkan populasi turunan silang ganda (set III) dari seleksi daur ulang siklus I yang memiliki ketahanan multigenik terhadap HDB dan berpeluang menghasilkan individu rekombinan tahan untuk periode yang lama (durable). Untuk menghasilkan varietas tahan yang durable dibutuhkan kerja sama multidisiplin, di antaranya patologi, pemuliaan tanaman, dan epidemiologi untuk menggabungkan diagnosis, model penyakit, dan program pemuliaan ke dalam platform untuk menyesuaikan penyebaran varietas. Visi ini tidak membatasi bidang penelitian lain untuk berkontribusi dalam pengembangan varietas unggul. Peneliti dari berbagai disiplin ilmu dapat memberikan rekomendasi varietas unggul yang akan dikembangkan untuk mengurangi epidemik (Dossa et al. 2015). Tanam Varietas Tahan Berdasarkan Patotipe Xoo Struktur dan dominasi patotipe Xoo cepat berubah dari waktu ke waktu dan berbeda dari suatu daerah dengan daerah lainnya. Oleh karena itu, pemantauan penyebaran geografis patotipe HDB diperlukan dari waktu ke waktu (Sudir dan Handoko 2012). Patotipe Xoo yang berkembang di Indonesia adalah patotipe III, IV, dan VIII. Di sentra produksi padi di Pulau Jawa, patotipe Xoo didominasi oleh patotipe VIII, kecuali di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Pulau Jawa, patotipe VIII tersebar di dataran rendah dan dataran sedang, sementara patotipe III dan IV merupakan patotipe khas di daerah tertentu. Komposisi patotipe Xoo di sentra produksi padi di Pulau Jawa yaitu 23,5% patotipe III, 15,9% patotipe IV, dan 60,6% patotipe VIII (Sudir et al. 2009). Berdasarkan virulensi lima varietas diferensial HDB diperoleh 2.658 isolat Xoo dari 10 provinsi sentra produksi padi di Indonesia, dengan komposisi 30% patotipe III, 36% patotipe IV, dan 34% patotipe VIII. Patotipe III dominan di D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan Sumatera Selatan. Patotipe IV dominan di Sumatera Utara, Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Patotipe VIII dominan di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Sudir dan Yuliani 2016). Menurut Suparyono et al. (2004), dominasi patotipe IV dan VIII mengindikasikan penyakit HDB masih menjadi ancaman produksi padi di Indonesia sejak sebagian besar varietas padi yang 105 berkembang di petani bereaksi rentan terhadap dua patotipe tersebut. Pola sebaran patotipe bakteri Xoo diharapkan dapat digunakan sebagai acuan pengendalian penyakit HDB dengan penanaman varietas tahan berdasarkan patotipe yang ada di lapangan. Di daerah yang didominasi oleh HDB patotipe III disarankan menanam varietas padi tahan HDB patotipe III. Demikian juga di daerah yang didominasi oleh HDB patotipe IV dan patotipe VIII, masing-masing direkomendasikan menggunakan varietas tahan HDB patotipe IV dan VIII (Sudir et al. 2013). Varietas padi tahan patotipe III antara lain Memberamo, Cibodas, Ciherang, Sintanur, Cigeulis, Inpari 5, Inpari 6, Inpari 7, Inpari 8, dan Inpari 16 hingga Inpari 28. Varietas tahan HDB patotipe IV di antaranya Ciujung, Conde, Angke, Inpari 1, Inpari 6, dan Inpari 17. Varietas tahan yang dianjurkan ditanam pada daerah endemis HDB patotipe VIII adalah Conde, Angke, Inpari 1, Inpari 4, Inpari 6, Inpari 17, dan Cimelati (Sudir dan Yuliani 2016). Informasi komposisi dan dominasi patotipe Xoo di suatu wilayah berperan penting dalam kaitannya dengan progam pengendalian dan pengembangan varietas tahan HDB. Hasil pengelompokkan dan distribusi patotipe bakteri Xoo yang berasal dari areal pertanaman padi di Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman varietas dengan tingkat ketahanan yang berbeda terhadap infeksi bakteri Xoo dan mampu memperlambat laju perkembangan dan munculnya patotipe baru yang menginfeksi tanaman padi sawah di beberapa daerah (Asysyuura 2016). Kesesuaian varietas yang ditanam dengan patotipe patogen di lapangan meningkatkan efektivitas pengendalian HDB sehingga perkembangannya dapat diminimalisasi, umur ketahanan varietas dapat diperpanjang, dan kehilangan hasil dapat ditekan (Sudir et al. 2009). Pergiliran Varietas Tahan Penanaman satu varietas tahan secara terus menerus dapat mematahkan ketahanannya terhadap patogen karena tekanan seleksi. Pada kondisi lingkungan yang memungkinkan, patogen terutama Xoo dapat membentuk patotipe baru yang lebih virulen. Penelitian Sudir dan Suprihanto (2006) pada musim hujan menunjukkan terjadi perubahan strain Xoo ke arah yang lebih virulen. Perubahan ketahanan varietas terhadap Xoo dapat terjadi setelah inokulasi Xoo tiga kali secara beruntun seperti ditunjukkan oleh varietas tahan Java 14, tingkat ketahanannya berubah dari tahan menjadi rentan dengan tingkat keparahan penyakit 12,633,4%. Pada daerah yang sama dapat dijumpai campuran patotipe Xoo yang berbeda. Hal ini mengindikasikan perlunya pergiliran varietas tahan berlatar belakang gen tahan kombinasi (piramiding gene). Analisis keragaman genetik Xoo penting artinya untuk membantu perakitan dan pengembangan varietas padi tahan HDB spesifik 106 lokasi. Sebanyak 15 isolat Xoo yang berasal dari beberapa daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan keragaman genetik yang cukup tinggi. Berdasarkan analisis gen 16SrRNA diperoleh 13 pola pita ARDRA yang berbeda. Hal ini menunjukkan keragaman genetik Xoo cukup tinggi dan patogen Xoo mudah berubah virulensinya sehingga sulit untuk dikendalikan. Oleh karena itu, para pemulia padi sebaiknya merakit varietas yang memiliki ketahanan horizontal terhadap HDB dengan menyilangkan dengan varietas yang memiliki latar belakang gen tahan terhadap HDB sehingga tidak mudah dipatahkan ketahanannya oleh patogen. Berbeda dengan analisis Suryadi et al. (2014) berdasarkan pohon filogenetika yang menunjukkan isolat Xoo yang berasal dari daerah berbeda memiliki kerabatan secara genetik. Hal ini menunjukkan varietas dan faktor lingkungan berpengaruh terhadap komposisi dan dominasi Xoo di lapangan. Untuk mengatasi patahnya ketahanan varietas padi akibat sergapan patogen Xoo perlu dilakukan pergiliran varietas dengan berbagai latar belakang gen ketahanan untuk mengurangi tekanan seleksi. Pergiliran varietas perlu memperhatikan reaksi ketahanan varietas terhadap dominasi patotipe Xoo di lapangan. Selain pergiliran varietas, upaya lain yang dapat dilakukan untuk mempertahankan durabilitas di antaranya penanaman varietas dengan sistem pencampuran atau mozaik varietas. Menurut Nirwanto (2010), pencampuran varietas merupakan salah satu cara yang dapat mengubah banyak karakter tanaman, termasuk ketahanan terhadap penyakit, tetapi harus mempunyai kesamaan apabila ditanam bersamaan. Pencampuran varietas tidak menyebabkan perubahan yang besar pada sistem budi daya, tetapi dapat meningkatkan stabilitas hasil dan dalam beberapa hal mengurangi penggunaan pestisida. Pencampuran varietas lebih mudah diaplikasikan dan dimodifikasi karena secara genetis seragam tetapi berbeda dalam ketahanan spesifik terhadap penyakit tanaman. Sejak tahun 1960an Badan Litbang Pertanian telah 150an varietas unggul padi, tetapi hanya sebagian kecil yang berkembang luas di petani. Hal ini antara lain terkait dengan lambatnya diseminasi atau petani belum yakin sepenuhnya akan keunggulan varietas unggul baru. Petani tidak mudah mengganti varietas yang diadopasi dengan varietas yang baru sebelum yakin keunggulannya. Oleh karena itu perlu digiatkan penyuluhan, demonstrasi varietas, atau kegiatan diseminasi lainnya agar informasi varietas unggul baru dapat cepat sampai di lahan petani (Ruskandar 2006). Pengambilan keputusan petani untuk mengubah kebiasaan menanam varietas unggul lama menjadi varietas unggul baru dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi umur, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, ketahanan terhadap hama dan penyakit, hasil, ketersediaan benih dan keterjangkauan harga (Purwanto et al. 2012). Saat ini petani mulai menyukai varietas unggul baru, tetapi ketersediaan benihnya masih terbatas. Menurut Nurhati J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108 et al. (2008), alur produksi dan distribusi benih padi masih menghadapi kendala. Sistem pendistribusian benih secara formal yang cukup panjang menjadi penyebab lambatnya adopsi varietas unggul baru padi oleh petani. Selain itu, keterbatasan informasi dan ketersediaan stok benih juga merupakan faktor penghambat penyebarluasan varietas unggul baru. Untuk mempercepat adopsi varietas unggul baru oleh petani dapat diupayakan komersialisasi benih bermutu melalui kebijakan yang mendukung perakitan varietas, perbaikan sistem produksi dan pengelolaan benih sumber, pengembangan industri benih, tata niaga, dan promosi benih bermutu. Peningkatan kerja sama dan kemitraan dalam sistem produksi benih bermutu varietas unggul baru memberikan manfaat komersial bagi para pelaku yang terlibat (Samaullah 2008). KESIMPULAN Nilai heritabilitas karakter sifat ketahanan tanaman padi terhadap penyakit HDB tergolong rendah hingga sedang. Perbaikan ketahanan varietas dapat diupayakan melalui perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di antaranya dari padi liar, padi lokal, dan padi introduksi. Sifat ketahanan varietas padi terhadap HDB dari populasi dengan gen tetua dari silang ganda memilliki heritabilitas yang lebih tinggi daripada silang tunggal. Populasi turunan silang ganda memiliki ketahanan multigenik dan berpeluang menghasilkan individu rekombinan tahan untuk periode yang lama (durable). Populasi dengan jumlah gen tahan lebih sedikit memiliki heritabilitas genetik lebih rendah daripada populasi dengan tetua yang memiliki lebih banyak gen tahan. Strategi untuk mempertahankan durabilitas varietas tahan di antaranya dengan penanaman varietas tahan berdasarkan patotipe Xoo di lapangan, pergiliran varietas tahan dengan latar belakang gen tahan kombinasi (piramiding gene), dan penanaman varietas dengan sistem pencampuran atau mozaik varietas. DAFTAR PUSTAKA Abdullah, B. 2006. Potensi padi liar sebagai sumber genetik dalam pemuliaan padi. Buletin Iptek Tanaman Pangan 1(2): 143 152. Akhtar, M.A., F.M. Abbasi, H.A.M. Shahzad, and A.H. Shah. 2011. Evaluation of rice germplasm against Xanthomonas oryzae pv. oyzae causing bacterial leaf blight. Pakistan Journal Bot. 43(6): 30213023. Asysyuura. 2016. Keragaman patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae pada tanaman padi di beberapa kabupaten di Sulawesi Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 53 hlm. BB Biogen. 2007. Varietas unggul padi sawah tahan HDB. Warta Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(4): 1718. BB Padi. 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 77 hlm. Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni) Daradjat, A.A., Nafisah, dan R. Kurniati. 2001.Variabilitas dan heritabilitas karakter indeks kerebahan tanaman padi sawah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(3): 610. Daradjat, A.A., S. Silitonga, dan Nafisah. 2009. Ketersediaan plasma nutfah untuk perbaikan varietas padi. Dalam Padi “Inovasi Teknologi dan Ketahanan Pangan”. Daradjat A.A., A. Setyono, A.K. Makarim, dan A. Hasanuddin (Editor). Buku 2. hlm. 127. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Ditlintan (Direktorat Perlindungan Tanaman). 2015. Luas serangan OPT utama pada padi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan. Kementerian Pertanian. Dossa, S.G., A. Sparks, C. Vera Cruz, and R. Oliva. 2015. Decision tools for bacterial blight resistance gene deployment in ricebased agricultural ecosystems. Frontiers in Plant Science 6: 305316. Habarurema, I., G. Asea, J. Lamo, P. Gibson, R. Edema, Y. Sere, and R.O. Onasanya. 2012. Genetic analysis of resistance to bacterial leaf blight in Uganda. African Crop Science Journal 20(1): 105 112. Khaeruni, A., M. Taufik, T. Wijayanto, dan E.A. Johan. 2014. Perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada tiga varietas padi sawah yang diinokulasi pada beberapa fase pertumbuhan. Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(4): 119125. Leonberger, K., K. Jaeson, R. Smith, and NW Gauthier. 2016. Plant Disease. Kentucky Master Gardener Manual Chapter 6. Pages 124. University of Kentucky: College of Agriculture, Food and Environment. Lexington, hy.40546. Lestari, A.P., E. Lubis, Supartopo, dan Suwarno. 2012. Heritabilitas dan korelasi berbagai karakter galur-galur harapan padi gogo. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi “Inovasi Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik dan Abiotik. Buku 2. hlm. 371379. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. Muhuria, L. 2003. Strategi perakitan gen-gen ketahanan terhadap hama. Pengantar Falsapah Sains. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 19 hlm. Nafisah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno, dan T.S. Kadir. 2007. Heritabilitas karakter ketahanan hawar daun bakteri dari tiga populasi tanaman padi hasil seleksi daur siklus pertama. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(2): 100105. Nirwanto, H. 2010. Teori dan aplikasi ketahanan populasi tanaman terhadap epidemi penyakit. Surabaya: UPN “Veteran” Jawa Timur. 68 hlm. Noda, T., O. Horino, and A. Ohuchi. 1990. Variability of pathogenicity in races of Xanthomonas campestris pv. oryzae in Japan. JARQ 23(3): 182189. Nurhati, I., S. Ramdhaniati, dan N. Zuraida. 2008. Peranan dan dominasi varietas unggul baru dalam peningkatan produksi padi di Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah 14(1): 813. Ou, S.H. 1985. Rice diseases. Second edition. Commonwealth Mycological Institute. United Kingdom. 380p. Purwanto, D.W. Astuti, dan H. Subagio. 2012. Percepatan adopsi varietas unggul baru untuk meningkatkan produktivitas padi di Jawa Timur. Artikel dipresentasikan pada Seminar Nasional Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 di Fakultas Pertanian, Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012. Rahim, A., A.R. Khaeruni, dan M. Taufik. 2012. Reaksi ketahanan beberapa varietas padi komersial terhadap patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolat Sulawesi Tenggara. Berkala Penelitian Agronomi 1(2): 132138. Rajarajeswari, N.V.L. and K. Muralidharan. 2006. Assessments of farm yield and district production loss from bacterial leaf blight epidemics in rice. Crop Protection 25: 244252. Ruskandar A. 2006. Varietas unggul baru padi yang banyak ditunggu petani. Tabloid Sinar Tani, 26 Juli 2006. 107 Samaullah, M.Y. 2008. Pengembangan varietas unggul dan komersialisasi benih sumber padi. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Padi 2007 Menunjang P2BN. Buku 2. Suprihatno, B., A.A. Daradjat, H. Suharto, H.M. Toha, A. Setyono, Suprihanto, dan A.S. Yahya (Editor). hlm. 869880. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Sudir, dan Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strain Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 25(2): 100107. Sudir, dan Suprihanto. 2008. Hubungan antara populasi bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan keparahan penyakit hawar daun bakteri pada beberapa varietas padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 27(2): 6875. Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3): 131138. Sudir, dan B. Sutaryo. 2011. Reaksi padi hibrida introduksi terhadap penyakit hawar daun bakteri dan hubungannya dengan hasil gabah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2): 8894. Sudir, dan Handoko. 2012. Komposisi dan penyebaran patotipe Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri padi di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan Teknologi Pertanian 15(1): 2337. Sudir, B. Nuryanto, dan T.S. Kadir. 2012. Epidemiologi, patotipe, dan startegi pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada tanaman padi. IPTEK Tanaman Pangan 7(2): 7987. Sudir, Y.A. Yogi, dan Syahri. 2013. Komposisi dan sebaran Xanthomonas oryzae pv. oryzae di sentra produksi padi di Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 32(2): 98108. Sudir, dan D. Yuliani. 2016. Composition and distribution of Xanthmonas oryzae pv. oryzae pathotypes, the pathogen of rice bacterial leaf blight in Indonesia. Agrivita Journal of Agricultural Science 38(2): 174185. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1): 4550. Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from the rice ecosystem in Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 5(2): 63 69. Supriyanta. 2002. Heritabilitas sifat ketahanan terhadap cekaman alelopati gulma teki pada padi gogo. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 8(1): 4453. Suryadi, Y., dan T.S. Kadir. 2008. Kajian infeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae terhadap beberapa genotipe padi: hubungan kandungan hara dengan intensitas penyakit. Ilmu Pertanian 15(1): 2636. Suryadi, Y., D.N. Susilowati, P. Lestari, Sutoro, M. Ifa, T.S. Kadir, S.S. Albani, dan I.M. Artika. 2014. Analisis keragaman genetik isolat bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dari Jawa Barat dan Jawa Tengah berdasarkan analisis ARDRA gen 16SrRNA. Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(2): 5360. Susanto, U., dan Sudir. 2012. Ketahanan genotipe padi terhadap Xanthomonas oryzae pv. oryzae patotipe III, IV, dan VIII. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2): 108116. Sutoro, dan Mamik Setyowati. 2014. Daya gabung umum, daya gabung khusus dan keragaan hasil hibrida jagung pada dua tingkat pemupukan N. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 34(1): 5559. Suwarto, dan Nasrullah. 2011. Genotype x environment interaction for iron concentration of rice in Central Java of Indonesia. Rice Science 18: 75–78. 108 Tasliah. 2012. Gen ketahanan tanaman padi terhadap bakteri hawar daun (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Jurnal Litbang Pertanian 31(3): 103112. Tasliah, Mahrup, dan J. Prasetiyono. 2013. Identifikasi molekuler hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) dan uji patogenisitasnya pada galur-galur padi isogenik. Jurnal Agro Biogen 9(2): 4957. Visscher, P.M., W.G. Hill, and N.R. Wray. 2008. Heritability in the genomics era-concepts and misconceptions. Nature Reviews Genetics 9: 255266. J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108 Widyastuti, Y. 2016. Seleksi padi hibrida turunan galur mandul jantan tipe sitoplasma wild abortive, Kalinga, dan Gambiaca untuk toleransi terhadap cekaman kekeringan. Tesis.Sekolah Pascasarjana.Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Yunani, N., R.H. Wening, E. Pramudika, dan E. Maryati.2014. Katalog Plasma Nutfah Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. [Tidak Dipublikasikan]. Yuliani, D., R.H. Wening, dan Sudir. 2014. Selection resistance of rice germplasm accessions to bacterial leaf blight. Buletin Plasma Nutfah 20(2): 6576. 109-1 J. Litbang Pert./Indeks Penulis JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Indeks Penulis/Author Index Vol. 36, 2017: 1-108 A Abdullah, B. "Peningkatan Kadar Antosianin Beras Merah dan Beras Hitam Melalui Biofortifikasi" 36(2): 9198. Antarlina, S.S. "Ragam Produk Olahan Temulawak Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112. Asikin, S. "Budi Daya Padi di Lahan Rawa Pasang Surut dan Pengendalian Alami Hama Penggerek Batang" 36(1): 2838. G Garuda, S.T. "Pengembangan Kedelai di Papua: Potensi Lahan, Strategi Pengembangan, dan Pengembangan, dan Dukungan Kebjakan" 36(1): 4758. I Indiati, S.W. "Tungau Puru (Eryophyes gastrotcus Nalepa) pada Ubi Jalar dan Teknologi Pengendaliannya" 35(2): 8188. H Herawati, H. "Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu dan Ubi Kayu di Indonesia" 36(2): 6776. Pamungkas, F.A., "Pemanfaaatan Sari Kedelai sebagai Bahan Pengencer Pengganti Kuning Telur untuk Kriopreservasi Spermatozoa Hewan" 36(1): 2127. Purwani, E.Y. "Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu dan Ubi Kayu di Indonesia" 36(2): 6776. R Rahayu, M. "Penyakit Embun dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau" 36(2): 5966. Rohaeni, W.R. "Heritabilitas, Sumber Gen, dan Durabilitas Ketahanan Varietas Padi Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri" 36(2): 99108. S Sudaryono, T. "Ragam Produk Olahan Temulawak Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112. Sumartini. "Penyakit Embun dan Cara Pengendaliannya pada Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau" 36(2): 5966. Surmaini, E. "Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia" 36(2): 7790. Syakir, M. "Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia" 36(2): 7790. T K Kamsiati, E. "Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati sagu dan Ubi Kayu di Indonesia" 36(2): 6776. Khamidah, A. "Ragam Produk Olahan Temulawak Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112. Krisnan, R. "Pemanfaaatan Sari Kedelai sebagai Bahan Pengencer Pengganti Kuning Telur untuk Kriopreservasi Spermatozoa Hewan" 36(1): 2127. P Pujiharti, S., "Cemaran Mikotoksin, Bioekologi Patogen Fusarium verticillioides dan Upaya Pengendaliannya pada Jagung" 36(1): 1116. Thamrin, M. "Budi Daya Padi di Lahan Rawa Pasang Surut dan Pengendalian Alami Hama Penggerek Batang" 36(1): 2838. Y Yuliani, D. "Heritabilitas, Sumber Gen, dan Durabilitas Ketahanan Varietas Padi Terhadap Penyakit Hawar Daun Bakteri" 36(1): 2838. 111-1 J. Litbang Pert./Indeks Subjek JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN Indonesian Agricultural Research and Development Journal Vol. 36, 2017 Indeks Subjek/Subject Index Kedelai/ Soybean Dukungan kebijakan/Policy support 47 Kacang hijau/Mungbean 59 Pengendalian/Control 59 Penyakit embun tepung/Powdery mildew 59 Potensi lahan/Land potential 47 Strategi pengembangan/Development strategy 47 Kopi/Coffee Adaptasi/Adaptation 77 Perubahan iklim/Climate change 77 Produksi/Production 77 Padi/Rice Antosianin/Anthocyanin 91 Beras hitam/Black Rice 91 Beras merah/Red Rice 91 Biofortifikasi/Bio-fortification 91 Budi daya/Cultivation 28 Durabilitas/Durability 99 Hawar daun bakteri/Bacterial leaf blight 99 Heritabilitas/Heritability 99 Ketahanan/Resistance 99 Lahan rawa pasang surut/Tidal swampland 28 Penggerek batang padi/Rice stem borer 28 Produksi/Production 13 Rawa lebak/Fresh water swampy land 13 Sumber pertumbuhan/Growth source 13 Rawa lebak/Fresh water swampy land 13 Sumber pertumbuhan/Growth source 13 Varietas/Varieties 99 Pati/Starch Bioplastic/Biodegradable plastics 67 Sagu/Sago 67 Teknologi produksi/ Production technology 67 Ubi kayu/Cassava 67 Kedelai/Soybean Kuning telur/Egg yolk 21 Kriopreservasi/Cryopreservation 21 Pengencer/Extender 21 Spermatozoa/Spermatozoa 21 Temulawak/Javanese ginger Keanekaragaman pangan/Food diversification 1 Manfaat/Benefits 1 Produk olahan/Food product 1 Ubi jalar/Sweet potato Eryophyes gastroticus 39 Pengendalian/Control 39 Tungau puru/Gall mites 39 113 UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI Redaksi Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah berpartisipasi dalam menelaah naskah yang dipublikasikan pada tahun 2017. Kontribusi Mitra Bestari membantu menjamin kualitas publikasi ilmiah ini. Nama Alamat Disiplin Ilmu Prof. Dr. Supriadi Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Jalan Tentara Pelajar No. 3, Bogor 16111, Indonesia Hama Penyakit Tanaman Prof. Dr. Elna Karmawati Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan Jalan Tentara Pelajar No. 1, Bogor 16111, Indonesia Hama Penyakit Tanaman Prof. Dr. Irsal Las Forum Komunikasi Profesor Riset Kementeriann Pertanian Jalan Raya Pajajaran Kav E-59 Bogor 16682, Indonesia Agroklmat dan Lingkungan Prof. Dr. Nur Richana Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114, Indonesia Teknologi Pascapanen Prof. Dr.Zulkifli Zaini Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan Jalan Merdeka No. 147, Bogor 16111, Indonesia Budi Daya Tanaman Prof. Dr. Masganti Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa Jalan Kebun Karet Lok Tabat , Kotak Pos 31, Banjar Baru 70712, Indonesia Kesuburan dan Biologi Tanah Prof. Dr. Marwoto Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi Jalan Raya Kendalpayak, Kotak Pos 66, Malang 65101, Indonesia Hama Penyakit Tanaman PEDOMAN BAGI PENULIS PENGAJUAN NASKAH PERSYARATAN UMUM: Naskah yang diajukan belum pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam proses evaluasi publikasi lain; telah mendapat persetujuan dari ko-penulis, jika ada, sebagai pihak yang sama-sama bertanggung jawab terhadap naskah. Penerbit tidak akan bertanggung jawab terhadap klaim atau permintaan kompensasi terhadap halhal yang berkaitan dengan naskah. Naskah hendaknya dikirim rangkap dua disertai dengan softcopy atau file elektronis dan diberi pengantar dari kepala unit kerja, serta dialamatkan kepada: Redaksi Pelaksana Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Indonesian Agricultural Research and Development Journal), PUSTAKA, Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122, Telepon: (0251) 8321746, Faks.: 622518326561, E-mail: pustaka@litbang. pertanian.go.id, website: http://www.pustaka.litbang. pertanian.go.id. Naskah yang diajukan harus dalam kondisi baik, diketik di atas kertas kuarto putih pada satu permukaan saja, memakai dua spasi. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong minimal 3,50 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar. RUANG LINGKUP: Jurnal ini memuat tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain dan atau ketentuan kebijakan, dengan ditujukan kepada pengambil kebijakan sebagai bahan pengambil keputusan. Permasalahan dibahas secara komprehensif serta bertujuan memberi informasi tentang teknologi pertanian di Indonesia. PENYIAPAN NASKAH BAHASA: Jurnal memuat artikel dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris yang baik. Pemakaian istilah supaya mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa. BENTUK NASKAH: Naskah disusun dalam urutan sebagai berikut: judul tulisan, nama penulis dan alamatnya, abstrak bahasa Indonesia dan Inggris (250 kata) dan kata kunci (bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, pokok masalah, kesimpulan dan saran (jika perlu), diakhiri dengan daftar pustaka. JUDUL NASKAH: Judul harus singkat, faktual dan informatif, yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Judul tidak boleh lebih dari 15 kata. NAMA PENULIS: Nama penulis serta nama lembaga (institusi) tempat kerja penulis disertai alamat lengkap, nomor telepon, faks, dan email dicantumkan di bawah judul. Bila penulis lebih dari seorang maka penulisan namanya mengikuti kode etik penulisan. Jika dirasa perlu, judul naskah dapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegas maksud tulisan. ABSTRAK: Abstrak merupakan ringkasan elemen-elemen terpenting dari naskah, ditulis dalam satu paragraf tidak lebih dari 250 kata. Abstrak harus dapat menggambarkan dengan ringkas mengenai masalah, tujuan penulisan, dan kesimpulan. Hindari singkatan dan referensi di dalam abstrak. KATA KUNCI: Minimal tiga sampai lima kata kunci yang terdiri atas satu kata atau gabungan kata yang menunjukkan subjek-subjek utama di dalam naskah. SATUAN PENGUKURAN: Satuan ukuran di dalam teks dan grafik memakai sistem metrik, misalnya dalam satuan mikron, mm, cm, km, untuk panjang; cm3, liter untuk volume; dan g, kg, ton untuk berat. Pemakaian satuan pikul, kuintal, dan lain sebagainya supaya dihindari. TABEL: Tabel hendaknya diberi judul singkat tetapi jelas dengan catatan secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan informasi yang disajikan secara mandiri. Setiap tabel diberi nomor secara berurutan dan diulas di dalam teks. GAMBAR DAN GRAFIK: Gambar dan grafik dibuat dengan garis cukup tebal sehingga memungkinkan penciutan dalam proses mencetak. Semua simbol dan singkatan dalam gambar dan grafik harus dijelaskan. Seperti halnya pada tabel, keterangan pada grafik harus mencukupi agar dapat disajikan secara mandiri. Gambar dan grafik harus diulas dalam teks. Foto hitam putih atau berwarna hendaknya mempunyai kualitas yang baik. SITIRAN PUSTAKA: Pustaka disusun menurut abjad berdasarkan nama (keluarga) penulis pertama. Setiap pustaka yang tercantum pada daftar pustaka harus dikutip (disitir) pada teks, dan sebaliknya setiap kutipan (sitasi) harus dicantumkan dalam daftar pustaka. Jumlah sitiran pustaka minimal 25 buah. Pustaka primer dari beberapa penulis diharapkan lebih banyak daripada pustaka sekunder, dan pustaka dari dalam negeri lebih banyak daripada pustaka dari luar negeri. Naskah dengan banyak pustaka dari luar negeri dapat diterima jika masalah yang dibahas bermanfaat atau berdampak langsung terhadap Indonesia. Kebaruan pustaka diupayakan 10 tahun terakhir. Penulisan pustaka pada teks menggunakan sistem "namatahun" dengan dua bentuk, misalnya Hakim dan Sutarman (1991) dan (Hakim dan Sutarman 1991). Jika lebih dari satu pustaka disebutkan bersama-sama maka penulisannya disusun berdasarkan tahun terbit. Contohnya, (Harahap 1993; Roesdiyanto dan Purwantini 2001; Simanjuntak 2002; Setioko 2003; Suparyanto 2004). Jika terdapat lebih dari dua penulis maka nama (keluarga) penulis pertama diikuti dengan et al. Namun et al. tidak boleh digunakan dalam Daftar Pustaka walaupun dapat digunakan di dalam teks. Semua nama penulis dan nama editor harus ditulis secara lengkap pada Daftar Pustaka. Referensi yang tidak diterbitkan supaya dihindari. Contoh format referensi: Artikel Jurnal (Jurnal Primer) Baliyadi, Y., W. Tengkano, Bedjo, dan Purwantoro. 2008. Validasi rekomendasi pengendalian hama terpadu kedelai di lahan sawah dengan pola pergiliran tanaman padi-kedelaikedelai. Agritek 16(3): 492500. Buku Norris, R.F., E.P. Caswell-Chen, and M. Kogan. 2003. Concepts in Integrated Pest Management. Prentice Hall, Upper Saddle River, New Jersey. 586 pp. Artikel dalam Buku Marwoto. 2007. Potensi ekstrak daun Aglaia odorata untuk pengendalian hama polong kedelai. hlm. 396404. Dalam D. Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi, Subandi, dan A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan Produksi Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. Tesis/Disertasi Doda, J. 1980. Studi Kelimpahan dan Keragaman Jenis Serangga di Daerah Pertanian Desa Transmigrasi Mopuya Kabupaten Bolaang Mengondow (Sulawesi Utara). Tesis Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hlm. Naskah Prosiding Ardiwinata, A.N., W. Tengkano, dan M. Iman. 1997. Senyawa kimia tanaman inang penarik imago Etiella zinckenella dan Heliothis armigera. hlm. 368376. Dalam M. Arifin, Soetrisno, D. Soetopo, I.W. Laba, Harnoto, A. Kusmayadi, Siswanto, I.M. Trisawa, dan D. Koswanudin (Ed.). Prosiding Seminar Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI, Bogor, 8 Januari 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang Bogor dan Proyek Pengendalian Hama Terpadu. Naskah Konferensi Chin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurrence of mycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of the bromin mycotoxins survey program. Paper presented in 15th Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology and Nutrition Workshop, 2730 May 2007, Bali-Indonesia. Naskah Laporan Hasil Penelitian Tengkano, W., D. Soekarna, E. Surachman, dan M. Roovers. 1977. Fluktuasi serangan hama penting pada berbagai stadia pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba MK 1973-MP 1974/1975. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/Penyakit No. 10: 829. Naskah online Brown, W.L. 2007. Bioprospecting. Missouri Botanical Garden. http://www.wlbcenter.org/bioprospecting. htm#. [17 September 2007]. MEKANISME SELEKSI NASKAH Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah format sesuai dengan sifat jurnal yang informatif tanpa mengubah arti dari naskah. Redaksi akan mengembalikan naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil koreksi redaksi serta naskah yang tidak dapat diterima dengan alasan sesuai dengan keputusan Dewan Redaksi. Penulis diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar dapat diterbitkan pada waktunya. Contoh cetak naskah sebelum terbit akan dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan persetujuan. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar jurnal ditambah 5 eksemplar reprint.