ISSN 0216-4418
E-ISSN 2541-0822
697/AU3/P2MI-LIPI/07/2015
JURNAL PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
Volume 36 Nomor 2, Desember 2017
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Kementerian Pertanian
ISSN 0216-4418
E-ISSN 2541-0822
JURNAL PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
Volume 36 Nomor 2, Desember 2017
Jurnal ini memuat tinjauan (review) mengenai hasil-hasil penelitian pertanian pangan hortiikultura, perkebunan, peternakan,
dan veteriner yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian dan atau ketentuan kebijakan, yang
ditujukan kepada pengguna meliputi pengambil kebijakan, praktisi, akademisi, penyuluh, mahasiswa dan pengguna umum
lainnya. Pembahasan dilakukan secara komprehensif serta bertujuan memberi informasi tentang perkembangan teknologi
pertanian di Indonesia, pemanfaatan, permasalahan dan solusinya.
Ruang lingkupnya bahasan meliputi bidang ilmu: pemuliaan, bioteknologi perbenihan, agronomi, ekofisiologi, hama dan penyakit,
pascapanen, pengolahan hasil pertanian, alsitan, sosial ekonomi, sistem usaha tani, mikro biologi tanah, iklim, pengairan,
kesuburan, pakan dan nutrisi ternak, integrasi tanaman-ternak, mikrobiologi hasil panen, konservasi lahan.
Terakreditasi berdasarkan Keputusan Kepala Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia No. 818/E/2015
Dewan Redaksi
Ketua
Deciyanto Soetopo
Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan)
Anggota
Budi Marwoto
Hermanto
Markus Anda
Endang Yuli Purwani
I Made Jana Mejaya
Sri Muharsini
Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura)
Ekonomi Pertanian (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian)
Mineralogi dan Klasifikasi Tanah (Balai Besar Litbang Sumberdaya Lahan Pertanian)
Teknologi Pascapanen (Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian)
Pemuliaan dan Genetika Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan)
Parasitologi dan Mikologi (Balai Besar Penelitian Veteriner)
Mitra Bestari
Elna Karmawati
Nur Richana
Marwoto
Irsal Las
Masganti
Supriadi
Zulkifli Zaini
Hama Penyakit Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan)
Teknologi Pascapanen (Balai Besar Litbang Pascapanen Pertanian)
Hama Penyakit Tanaman (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi)
Agroklimat dan Lingkungan (Forum Komunikasi Profesor Riset Kementan)
Kesuburan dan Biologi Tanah (Balai Penelitian Pertanian Lahan Rawa)
Hama Penyakit Tanaman (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat)
Budi Daya Tanaman (Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan)
Redaksi Pelaksana
Yadi Rusyadi
Morina Pasaribu
Mumuh M. Buhary
Bursatriannyo
Hidayat Raharja
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan
Pusat Perpustakaan dan Penyebaran Teknologi Pertanian
Penerbit
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Alamat Redaksi
Balai Pengelola Alih Teknologi Pertanian
Jalan Salak No. 22, Bogor 16151
Telp.
: (0251) 8382563
Faks.
: (0251) 8382567
E-mail : bpatp@litbang.pertanian.go.id
Website : http://bpatp.litbang.pertanian.go.id/; http://ejurnal.litbang.pertanian.go.id/index.php/jppp
ISSN 0216-4418
E-ISSN 2541-0822
JURNAL PENELITIAN
DAN PENGEMBANGAN
PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
Volume 36 Nomor 2, Desember 2017
Daftar Isi
− Penyakit embun dan cara pengendaliannya pada tanaman
kedelai dan kacang hijau
Sumartini dan Mudji Rahayu
5966
− Potensi pengembangan plastik Biodegradable berbasis
pati sagu dan ubi kayu di Indonesia
Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani
6776
− Perubahan iklim dalam konteks sistem produksi
dan pengembangan kopi di Indonesia
M. Syakir dan E. Surmaini
7790
− Peningkatan kadar antosianin beras merah dan beras
hitam melalui biofortifikasi
Buang Abdullah
9198
− Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan
varietas padi terhadap penyakit hawar daun bakteri
Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni
99108
J. Litbang Pert. Vol. 31 No. 4 Desember 2012: ....-....
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
ISSN 0216-4418
Volume 36, 2017
Kata kunci yang dicantumkan adalah istilah bebas. Lembar abstrak ini boleh dikopi tanpa izin dan biaya.
UDC: 633631.84.095.337
Aniswatul Khamidah, Sri Satya Antarlina, dan Tri Sudaryono
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Tmur, Malang)
Ragam produk olahan temulawak
keanekaragaman pangan (Orig. Ind.)
untuk
mendukung
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 112, 8 tab., 3
ill., 83 ref.
Temulawak (Curcuma xanthorrhiza Roxb) termasuk golongan
tanaman rempah yang memiliki manfaat untuk meningkatkan
nafsu makan dan sebagai antikolesterol, antiinflamasi,
antianemia, antioksidan, dan antimikroba. Kurkuminoid sebagai
zat utama yang berwarna kuning dalam temulawak diketahui
memiliki banyak manfaat bagi kesehatan. Selain digunakan
untuk pengobatan, temulawak berpeluang dikembangkan dalam
industri pangan, terutama sebagai pewarna alami dalam
makanan. Komponen terbesar dalam temulawak adalah pati
41,45% dan serat 12,62%. Temulawak juga mengandung minyak
atsiri 3,81% dan kurkumin 2,29%. Temulawak dapat
dikembangkan menjadi berbagai produk olahan pangan, antara
lain simplisia, tepung, pati, minuman instan, kue kering,
manisan, mi, kerupuk, stick, cake, dodol, dan permen jeli.
Makalah ini memaparkan kandungan rimpang temulawak,
manfaat, penanganan pascapanen, dan berbagai produk olahan
temulawak.
(Penulis)
Kata kunci: Temulawak, manfaat, produk olahan,
keanekaragaman pangan
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 63365: 633.15
Yulia Pujiharti (Balai Pengkajan Teknologi Pertanian Lampung,
Lampung)
Peluang peningkatan produksi padi di lahan rawa lebak Lampung
(Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 1320, 3 tab., 38
ref.
Luas lahan rawa lebak di Provinsi Lampung pada tahun 2012
mencapai 55.714 ha dengan tingkat produktivitas padi 5,13 t/
ha sehingga masih berpeluang ditingkatkan. Tulisan ini
membahas peluang peningkatan produksi padi di lahan rawa
lebak di Lampung. Peningkatan produksi dapat dilakukan
melalui peningkatan indeks pertanaman (IP) dan produktivitas
lahan, mengurangi senjang hasil, dan menurunkan kehilangan
hasil. Indeks pertanaman di lahan rawa lebak dapat ditingkatkan
dengan menerapkan sistem surjan. Sementara produktivitas
ditingkatkan melalui pengelolaan tanaman terpadu (PTT)
dengan komponen teknologinya antara lain penggunaan
varietas unggul baru, cara tanam legowo 2:1 atau 4:1, pemberian
hara sesuai kebutuhan tanaman, pengelolaan tata air sehingga
tanaman padi terhindar dari terendam atau kekeringan, serta
pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu. Penurunan
senjang hasil dapat dilakukan dengan menerapkan teknologi
spesifik lokasi dan mengintensifkan penyuluhan ke petani.
Sementara kehilangan hasil dapat dikurangi melalui penerapan
pengelolaan hama dan penyakit secara terpadu dan penggunaan
alat dan mesin pertanian pada kegiatan usaha tani. Peningkatan
produksi ini akan berdampak pada peningkatan ketersediaan
pangan daerah dan nasional dalam upaya mencapai swasembada
beras.
(Penulis)
Kata kunci: Padi, produksi, rawa lebak, sumber pertumbuhan
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336633.912-153
Fitra Aji Pamungkas, dan Rantan Krisnan (Balai Penelitian
Ternak, Bogor)
Pemanfaatan sari kedelai sebagai bahan pengencer pengganti
kuning telur untuk kropreservasi spermatozoa hewan (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2127, 2 tab.,
52 ref.
Bahan pengencer yang biasa digunakan untuk kriopreservasi
spermatozoa berasal dari produk hewani seperti kuning telur.
Kuning telur mengandung kolesterol, fosfolipid, dan low density
protein yang dapat mencegah pembentukan kristal es sehingga
melindungi integritas membran plasma terhadap kejutan dingin
selama proses kriopreservasi. Namun, penggunaan kuning telur
menimbulkan kekhawatiran terutama potensi peningkatan
kontaminasi mikroba dan agen penularan zoonosis. Kedelai
merupakan produk protein nabati yang sering digunakan sebagai
pengemulsi dalam produksi makanan untuk manusia dan
berfungsi sebagai pelindung dari kejutan dingin sama halnya low
density lipoprotein pada kuning telur. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa penggunaan bahan pengencer berupa sari
kedelai untuk kriopreservasi spermatozoa menghasilkan
kualitas yang sama atau bahkan lebih baik dibandingkan dengan
bahan pengencer berbasis kuning telur. Konsentrasi sari kedelai
yang optimal pada bahan pengencer untuk kriopreservasi
spermatozoa berkisar 0,81,5%.
(Penulis)
Kata kunci: Kedelai, kuning telur, pengencer, kriopreservasi,
spermatozoa
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336633.18-152.63
M. Thamrin dan S. Asikin dan M.A. Susanti (Balai Penelitian
Pertanian Lahan Rawa, Banjarbaru)
Budi daya padi di lahan rawa pasang surut dan pengaruhnya
terhadap penggerek batang padi (Orig, Ind.)
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2838, 9 tab.,
4 ill., 57 ref.
Budi daya padi di lahan pasang surut Kalimantan Selatan sudah
sejak lama dilakukan petani dan berpengaruh terhadap
penurunan populasi dan tingkat serangan hama penggerek
batang padi. Makalah ini menguraikan budi daya padi di lahan
rawa pasang surut Kalimantan Selatan dan pengaruhnya terhadap
tingkat kerusakan tanaman akibat penggerek batang padi.
Penyiapan lahan dengan menebas sisa tanaman padi dan
memintalnya kemudian membiarkannya membusuk dapat
menggagalkan larva penggerek batang padi menjadi imago
(dewasa). Pembibitan dengan cara tanam pindah yang dilakukan
beberapa kali juga dapat mematikan larva penggerek batang padi.
Sementara pemotongan daun bibit padi sebelum ditanam dapat
mengurangi populasi kelompok telur hama tersebut. Pemberian
abu sekam juga dapat menurunkan kerusakan tanaman akibat
serangan hama tersebut. Faktor lain yang berkontribusi terhadap
pengurangan tingkat kerusakan tanaman padi adalah keberadaan
gulma purun tikus. Penggerek batang padi lebih tertarik
meletakkan telurnya pada gulma tersebut dibandingkan pada padi
sehingga kerusakan padi yang ditanam berdekatan dengan area
purun tikus lebih rendah. Populasi musuh alami yang melimpah
pada area purun tikus efektif menekan perkembangan hama
penggerek batang padi.
(Penulis)
Kata kunci: Padi, budi daya, penggerek batang padi, lahan rawa
pasang surut
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Pengembangan kedelai di Papua: Potensi lahan, strategi
pengembangan, dan dukungan kebijakan (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 4758, 9 tab., 1
ill., 48 ref.
Kedelai adalah salah satu tanaman pangan strategis dan penting
di Indonesia. Komoditas ini digunakan untuk bahan pangan,
pakan ternak, dan berbagai produk industri. Papua memiliki
potensi untuk pengembangan kedelai karena didukung
olehlahandengan luas mencapai 2,75 juta ha yangtersebar di
sentra pengembangan kedelai, yaitu Kabupaten Keerom, Nabire,
Jayapura, Merauke, dan Sarmi. Selain lahan yang cukup
luas,teknologi budi daya spesifik lokasijuga sudah tersedia untuk
dikembangkan di Papua.Pengembangan kedelai di Papua
memerlukandukungan kebijakan pemerintah, baik di tingkat
pusat maupun daerah. Kebijakan yang diperlukan antara lain
berupa program dan insentif bagi petani kedelai agar mereka
berpartisipasipenuh menerapkan teknologi yang telah
dihasilkan melalui penelitian. Kebijakan lainnya adalah
mendorong BUMN, swasta, dan koperasi untuk
mengembangkan agroindustri di Papua. Keterpaduan program
pemerintah pusat dan daerah diharapkan dapat mendorong
minat petani mengembangan kedelai sebagai tanaman prioritas.
Penyediaan sarana produksi,pengembangan pasar, dan harga
yang layakbagi petani mutlak diperlukan untuk menjamin
keberlanjutan produksi kedelai di Papua.
(Penulis)
Kata kunci: Kedelai, potensi lahan, strategi pengembangan,
dukungan kebijakan
________________________________________________________________________________________________________________________________
S.W. Indiati (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan
Umbi, Malang)
UDC: 6336
Tungau Puru (Eryophyes gastroticus Nalepa) pada Ubi Jalar dan
Teknologi Pengendaliannya (Orig. Ind.)
Sumartini dan Mudji Rahayu (Balai Penelitian Aneka Kacang
dan Umbi, Malang)
J. Litbang Pert., Juni 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 3946, 3 tab.,
2 ill., 34 ref.
Penyakit Embun Tepung dan Cara Pengendaliannya pada
Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau (Orig. Ind.)
Tungau puru (gall mite) merupakan hama ubi jalar pada musim
kemarau dan telah menyebar di berbagai sentra produksi ubi jalar
di Indonesia. Gejala serangan ditandai dengan terbentuknya puru
atau benjolan pada daun, tangkai daun, dan batang dengan bagian
ujung puru terdapat lubang kecil. Serangan tungau puru
menurunkan hasil ubi jalar sekitar 11%. Selain menurunkan hasil
umbi, serangan puru juga menyebabkan petani sulit memperoleh
setek sehat sebagai bahan perbanyakan tanaman. Tungau puru
dapat dikendalikan dengan memadukan beberapa komponen
pengendalian, antara lain penggunaan setek batang bebas puru,
sanitasi lingkungan, pengaturan waktu tanam, pengendalian
mekanis, dan pengendalian dengan pestisida nabati ataupun
kimia.
J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 5966, 1
tab., 4 ill., 38 ref.
(Penulis)
Kata kunci: Ubi jalar, tungau puru, Eryophyes gastroticus,
pengendalian
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336633.18(594)
Sitti Raodah Garuda, Yuliantoro Baliadi, dan Martina S. Lestari
(Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Papua, Papua)
Penyakit embun tepung disebabkan oleh cendawan Erysiphae
diffusa (Cook and Peck) pada tanaman kedelai dan E. polygoni
(DC Sawada) pada kacang hijau. Penyebaran penyakit penting
ini menyebabkan kehilangan hasil mencapai 35% pada kedelai
dan 26% pada kacang hijau. Di Indonesia, penyakit ini terjadi
di sentra produksi kedelai dan kacang hijau. Di luar negeri,
penyebaran penyakit embun tepung meliputi Asia, Amerika
Serikat, dan Brazil. Intensitas penyakit biasanya tinggi pada
musim kemarau, pada saat suhu dingin di pagi hari dan kondisi
berembun di sekitar pertanaman. Gejala penyakit embun tepung
mudah dikenali dengan ciri seperti tepung di permukaan atas
daun. Hal ini dapat mengganggu proses fotosintesis dan
transpirasi. Selain itu, haustorium Erysiphe menyerap nutrisi
tanaman sehingga mengganggu beberapa fungsi dan proses
metabolisme. Penyakit embun tepung perlu dikendalikan untuk
menekan kehilangan hasil kedelai dan kacang hijau. Cara
pengendalian yang disarankan adalah penyemprotan dengan
bahan nabati (ekstrak biji mimba, kompos teh, susu sapi, minyak
dari citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman
teh) pada kedelai dan penggunaan varietas tahan Vima-1 pada
kacang hijau.
(Penulis)
Kata kunci: Kedelai, kacang hijau, penyakit embun tepung,
pengendalian
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 63363.495
Elmi Kamsiati, Heny Herawati, dan Endang Yuli Purwani (Balai
Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian,
Bogor)
Potensi Pengembangan Plastik Biodegradable Berbasis Pati Sagu
dan Ubi Kayu di Indonesia (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 6776, 7
tab., 2 ill., 52 ref.
Plastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan
namun berdampak buruk bagi lingkungan karena sulit terdegradasi
di alam. Teknologi produksi plastik biodegradable atau
bioplastik yang dibuat dari bahan alami dan ramah lingkungan
sudah mulai dikembangkan. Plastik biodegradable berbahan
dasar pati relatif lebih mudah diproduksi dan bahan baku mudah
diperoleh. Pati ubi kayu dan sagu memiliki potensi sebagai bahan
baku plastik biodegradable ditinjau dari ketersediaan dan
karakteristiknya. Selain pati sebagai bahan utama, diperlukan
pula plastisizer atau bahan pemlastis dan bahan penguat struktur
untuk menghasilkan plastik biodegradable dengan karakteristik
yang baik. Tahapan produksinya meliputi pencampuran,
pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable berbahan
dasar pati dapat digunakan sebagai bahan pengemas yang ramah
lingkungan dan berpeluang besar dikembangkan.
(Penulis)
Kata kunci: Pati, sagu, ubi kayu, bioplastik, teknologi
produksiengolahan sampai menjadi produk siap pakai.
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 633.18
M. Syakir dan Elza Surmaini ( 1Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian, 2 Balai Penelitian Agroklimat dan
Hidrologi, Bogor)
Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi dan
Pengembangan Kopi di Indonesia (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 7790, 5
tab., 5 ill., 78 ref.
Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang berperan
strategis dalam perekonomian hampir dua juta rumah petani di
Indonesia. Potensi ekspor kopi Indonesia cukup tinggi karena
cita rasanya yang disukai, namun tren peningkatan produksi kopi
nasional hanya 1-2% per tahun. Di sisi lain, dampak perubahan
iklim juga mengancam tercapainya target peningkatan
produksi. Makalah ini merupakan tinjauan dampak perubahan
iklim terhadap produksi kopi dan strategi adaptasinya di
Indonesia. Daerah penghasil utama kopi seperti Aceh, Sumatera
Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur dan
Sulawesi Selatan rentan terhadap dampak perubahan iklim.
Meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan akibat
El Niño mengakibatkan penurunan produksi kopi 10%.
Sebaliknya, musim hujan yang panjang akibat La Niña
menurunkan produksi kopi hingga 80%. Dampak tidak langsung
perubahan iklim adalah meningkatnya serangan hama
penggerek buah kopi dan penyakit karat daun yang
menyebabkan penurunan produksi sekitar 50%. Akibat kenaikan
suhu, sentra produksi kopi diproyeksikan akan berpindah ke
wilayah dengan elevasi yang lebih tinggi. Berbagai teknologi
adaptasi telah dihasilkan, namun tingkat adaptasi petani kopi
umumnya masih rendah. Kondisi ini diperparah oleh
terbatasnya akses sebagian besar petani terhadap informasi
iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani, dan informasi
pengelolaan risiko iklim. Untuk mengatasi masalah tersebut,
pengambil kebijakan, stakeholder, dan petani harus
mengakselerasi upaya adaptasi karena perubahan iklim telah
terjadi dan akan terus berlangsung.
(Penulis)
Kata kunci: Kopi, perubahan iklim, produksi, adaptasi
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Buang Abdullah (Balai Penelitian Tanaman Padi, Subang)
Peningkatan Kadar Antosianin Beras Merah dan Beras Hitam
Melalui Biofortifikasi (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 9198, 3
tab., 4 ill., 34 ref.
Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia pertanian dan
merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan gizi
masyarakat. Beras yang merupakan makanan pokok di
Indonesia dapat ditingkatkan kandungan gizinya melalui
program pemuliaan tanaman guna menghasilkan varietas padi
yang berasnya mengandung vitamin, mineral, dan/atau senyawa
lain seperti antosianin yang bermanfaat bagi kesehatan.
Antosianin dapat dihasilkan oleh tanaman secara alami.
Biofortifikasi beras yang mengandung antosianin tinggi telah
dilakukan melalui program perakitan varietas padi beras merah
dan beras hitam dengan prosedur pemuliaan konvensional. Dua
varietas unggul padi fungsional yang mengandung antosianin
tinggi telah dilepas yaitu Inpari-24 Gabusan sebagai varietas
unggul padi beras merah dengan kandungan antosianin 8 ug/100g
dan Inpari-25 Opak Jaya sebagai varietas ketan merah dengan
kandungan antosianin 11 ug/100g. Varietas unggul padi beras
merah hasil biofortikasi telah berkembang luas di beberapa
daerah karena disukai konsumen dan mengun-tungkan petani.
Beberapa galur harapan padi beras merah dan beras hitam yang
mengandung antosianin lebih tinggi masih dalam tahap
pengujian daya hasil dan multilokasi. Beberapa di antara galur
tersebut diharapkan dapat dilepas sebagai varietas unggul padi
beras merah dan beras hitam yang lebih baik dari varietas yang
sudah ada. Untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti
kanker, diabetes, dan hipertensi, dengan mengonsumsi pangan
fungsional hasil biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif
dibandingkan dengan pangan hasil fortifikasi karena senyawa
penting yang ditambahkan melalui biofortifikasi bersifat
diwariskan dan langgeng.
(Penulis)
Kata kunci: Padi, beras merah, beras hitam, antosianin,
biofortifikasi
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni (Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi, Subang)
Heritabilitas, Sumber Gen dan Durabilitas Ketahanan Varietas
Padi terhadap Penyakit Hawar daun Bakteri (Orig. Ind.)
J. Litbang Pert., Desember 2017, vol. 36 no. 2, hlm. 99108, 3
tab., 45 ref.
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu
kendala dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan varietas
tahan merupakan cara pengendalian yang efektif dan mudah
diterapkan petani. Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber
gen ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan
strategi mempertahankan durabilitas varietas tahan sebagai salah
satu upaya pengendalian melalui pemuliaan tanaman mendukung
upaya peningkatan produksi padi. Perakitan dan pengembangan
varietas tahan berperan penting mengendalikan penyakit HDB,
karena memiliki mekanisme ketahanan genetik yang dapat
diwariskan kepada keturunannya. Varietas dengan ketahanan
vertikal mudah dipatahkan oleh patogen, sehingga perlu upaya
perakitan varietas dengan ketahanan horizontal. Untuk
memperoleh keturunan tanaman padi yang tahan terhadap
penyakit HDB dalam perakitan varietas, posisi tetua tahan
sebaiknya diperankan sebagai tetua betina yang memiliki daya
gabung khusus yang tinggi. Sifat ketahanan HDB dari populasi
tetua yang mengandung gen dari hasil silang ganda memilliki
heritabilitas lebih tinggi. Populasi turunan dari silang ganda
memiliki ketahanan multigenik dan berpeluang menghasilkan
individu rekombinan tahan untuk periode yang lama (durable).
Ketersediaan varietas tahan yang durable menjadi syarat utama
dalam pengendalian penyakit HDB secara berkelanjutan. Hal ini
dapat dilakukan dengan perbaikan ketahanan varietas melalui
perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di
antaranya padi liar, padi lokal, dan padi introduksi.
(Penulis)
Kata kunci: Padi, varietas, ketahanan, hawar daun bakteri,
durabilitas, heritabilitas
J. Litbang Pert. Vol. 31 No. 4 Desember 2012: ....-....
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
ISSN 0216-4418
Volume 36, 2017
The description given are free terms. This abstract sheet may be reproduced without permission of charge
UDC: 6336238
Aniswatul Khamidah, Sri Satya Antarlina, dan Tri Sudaryono
(Assessment Institute for Agricultural Technology East Java,
Malang)
Various Food Products of Temulawak (Curcuma xanthorrhiza
Roxb) to Support Food Diversification (Orig. Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 112, 8 tab., 3 ill., 83 ref.
Temulawak or javanese ginger (Curcuma xanthorrhiza Roxb) is
a rhizome herb that has medical benefits for increasing appetite
and as an anticholesterol, antiinflammatory, antianemia,
antioxidant and antimicrobe. Curcuminoid, a yellow substance
in temulawak, has many health benefits. Besides for medicine,
temulawak is used for food industry material mainly as natural
dyes in food. The main components of temulawak are starch
(41.45%) and fiber (12.62%). Temulawak also contains
essential oils (3.81%) and curcumin (2.29%). Temulawak can be
processed into various food products such us dried chips/
simplicia (for steeping herbs), flour, instant drink, cookies,
sweets, noodles, crackers, stick, cake, dodol and jelly candy. This
paper describes composition, benefits, post-harvest handling
and a variety of food products of temulawak.
(Author)
Keywords: Javanese ginger, benefits, food product, food
diversification
_______________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336.34
Yulia Pujiharti (Assessment Institute for Agricultural
Technology Lampung, Lampung)
Opportunity to Increase Rice Production in Fresh Water
Swampy Land in Lampung (Orig. Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 1320, 3 tab., 38 ref.
The area of fresh water swampy land in Lampung in 2012 was
55,714 ha with rice productivity of 5.13 t/ha so it is possible to
be increased. The article discusses opportunity to increase rice
production in fresh water swampy land in Lampung. Increasing
rice yield can be done by enhancing cropping index and land
productivity, lowering yield gap and decreasing yield loss.
Cropping index in fresh water swampy land can be increased by
cultivating rice with surjan system, while rice yield is increased
by integrated crop management (ICM) which its components
include the use of improved varieties, planting with legowo 2:
1 or 4: 1, fertilizer application according to plant need, water
management to prevent rice plant from submerging or drought,
and integrated pest management. Rice yield gap is decreased by
implementing location specific technologies and intensifying
counseling to farmers, while yield loss is lowered by applying
integrated pest management and using agricultural tools and
machineries in rice farming. These production increases have
an impact on the regional and national food availability in an
effort to achieve rice self-sufficiency.
(Author)
Keywords: Rice, production, fresh water swampy land, growth
source
__________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Fitra Aji Pamungkas dan Rantan Krisnan (Indonesian Research
Institute for Animal Production, Bogor)
Utilization of Soybeans as the Extender Change of Egg Yolk for
Cryopreservation of Animal Spermatozoa (Orig. Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, hlm. 2127, 2 tab., 52 ref.
The extenders commonly used for cryopreservation of
spermatozoa are based on animal products such as egg yolk. Egg
yolk contains cholesterol, phospholipid and low density protein
which prevent the formation of ice crystals and protect the
integrity of plasma membrane during cryopreservation process.
Furthermore, egg yolk increased the risk of microbial
contamination and related to the possible transmission of
zoonotic agents. Soybeans are the products of vegetable protein
which is often used as an emulsifier in the production of food
for humans and serves as a protection from the cold shock as
well as low density protein in egg yolk. Several studies showed
that soybean extenders for cryopreservation of spermatozoa
produce the same quality or even better than the egg yolk based
extenders. The optimal concentration of soybean in the
extenders for cryopreservation of spermatozoa was 0.8-1.5%.
(Author)
Keywords: Soybean, egg yolk, extender, cryopreservation,
spermatozoa
_______________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
M. Thamrin, S. Asikin dan M. A. Susanti (Indonesian Swampland
Agricultural Research Institute, Banjarbaru)
Effect of Rice Farming on The Development of Rice Stem
Borer in Tidal Swampland (Orig, Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 2838, 9 tab., 4 ill., 57 ref.
Rice cultivation in tidal swampland of South Kalimantan has
been practiced by farmers in the long period and influences the
population of rice stem borer. This paper describes rice
cultivation in tidal swampland of South Kalimantan and its
impact on injury level caused by rice stem borer. Land
preparation by slashing and spinning the rest of rice crop and
then left it to rot, can thwart rice stem borer larvae to become
imago (adult). Seeding by transplanting several times can kill
stem borer larvae, while cutting the leaves of rice seedlings
before planting can reduce egg population of the pest. Rice husk
ash application is also able to reduce plant damage caused by
stem borer. Another factor that contributes to the decreasing
level of plant damage due to the pest is the presence of “purun
tikus” (Eleocharis dulcis) weeds. Rice stem borers are more
interested in laying eggs in the weed than that in rice plant
resulted in low damage of rice planted adjacent to “purun tikus”
area. Abundant population of natural enemy in “purun tikus”
area also effectively suppresses the development of rice stem
borer.
(Author)
Keywords: Rice, cultivation, rice stem borer, tidal swampland
_______________________________________________________________________________________________________
local government programs is expected to encourage farmers’
interest in developing soybean as a priority crop. Provision of
production facilities, market development, and appropriate
prices for farmers is absolutely necessary to ensure the
sustainability of soybean production in Papua.
(Author)
Keywords: Soybean, land potential, development strategy,
policy support
_______________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Sumartini dan Mudji Rahayu (Indonesian Legume and Tuber
Crops Research Institute, Malang)
UDC: 6336
S.W. Indiati (Indonesian Legume and Tuber Crops Research
Institute, Malang)
Gall Mite (Eryophyes gastroticus Nalepa) on Sweet Potato and
Its Control Method (Orig. Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 3946, 3 tab., 2 ill., 34 ref.
Gall mites Eryophyes gastroticus is a pest of sweet potato in dry
season and has spread in some production centers in Indonesia.
The symptoms of the attack is characterized by galls on leaf,
petiole and stem, with a narrow hole at the top of the galls.
Estimated yield loss caused by the pest was accounted 11%. On
the other hand, the gall mite attacks decrease the quality of stem
cuttings as a planting material. The use of gall-free cuttings,
sanitation, setting planting time; mechanical control, and using
chemical or botanical pesticides, either in combination or a
single application are suggested to control the pest.
(Author)
Keywords: Sweet potato, gall mites, Eryophyes gastroticus,
control
_______________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336275
Sitti Raodah Garuda, Yuliantoro Baliadi, dan Martina S. Lestari
(Assessment Institute for Agricultural Technology Papua,
Papua)
Soybean Development in Papua: Land Potential, Strategy
Development, and Policies Supporting (Orig. Ind.)
IARDJ, June 2017, vol. 36 no. 1, p. 4758, 9 tab., 3 ill., 48 ref.
Soybean is one of the strategic and important food crops in
Indonesia. These commodities are used for foodstuff, animal
feed, and various industrial products. Papua has the potential for
soybean development because it is supported by land with an
area of 2.75 million ha spread over soybean development
centers, namely Keerom, Nabire, Jayapura, Merauke, and Sarmi.
In addition to extensive land, site-specific cultivation
technology is also available for development in Papua. The
development of soybean in Papua requires the support of
government policies, both at the central and regional levels. The
required policies include programs and incentives for soy farmers
to fully participate in applying technology that has been
produced through research. Another policy is to encourage stateowned enterprises, private companies and cooperatives to
develop agro-industries in Papua. The integration of central and
Powdery Mildew Disease and Their Control on Soybean and
Mungbean (Orig. Ind.)
IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 5966, 1 tab., 4 ill.,
38 ref.
Powdery mildew disease is caused by Erysiphae diffusa (Cook and
Peck) fungi on soybeans and E. polygoni (DC Sawada) on
mungbean. Both diseases are an important disease because of
their widely spread and high yield loss, reaching 35% in
soybeans and 26% in mungbean. In Indonesia, the disease occurs
in central areas of soybean production and mungbean. The
spread of the disease includes Asia, the United States of America
, and Brazil. The symptoms of powdery mildew are easily
recognizable in the presence of white flour on the top surface
of the leaves. The intensity of powdery mildew is usually high
in the dry season, when the temperature is cold in the morning
and much mildew conditions around the plant. This situation
will interfere with the process of photosynthesis and
transpiration. In addition, Erysiphe’s haustorium absorbs plant
nutrients that will interfere with some metabolic functions and
processes. Control of powdery mildew will suppress the loss of
grain bean and results nationally supports the availability of
soybean and mungbean. Recommended control measures are
spraying with plant materials (extracts of neem seeds, tea
compost, cow´s whole milk, essential oil of citronella,
lemongrass, eucalyptus, cinnamon, and tea tree) on the
incidence of powdery mildew disease on soybean and the use of
Vima1 varieties for control of powdery mildew disease on
mungbean.
(Author)
Keywords: Soybean, mungbean, powdery mildew, control
_______________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336
Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani
(Indonesian Center for Agricultural Postharvest Research and
Development, Bogor)
The Development Potential of Sago and Cassava Starch-Based
Biodegradable Plastic in Indonesia (Orig. Ind.)
IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 6776, 7 tab., 2 ill.,
52 ref.
Plastic is a packaging materials that are widely used but has an
adverse impact on the environment because it is difficult to
degrade in nature. Production technology of biodegradable
plastics from natural resources that have characteristic
environmentally friendly has developed. Starch-based
biodegradable plastic is a widely developed type because the
production process is simple and the raw materials more readily
available. The starch of cassava and sago has potential as a raw
material of biodegradable plastic because of the availability and
its characteristic. Also, to make starch as the main ingredient,
plasticizers and structural strengthening materials are required
to produce biodegradable plastic with excellent characteristics.
The production stages of biodegradable plastics include mixing,
heating, and casting. The starch-based biodegradable plastic that
can apply to an environmentally friendly packaging material
has an excellent opportunity developed in Indonesia.
(Author)
Keywords: Starch, sago, cassava, biodegradable plastics,
production technology
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 633.186633.18-158.6
1
M. Syakir dan 2E. Surmaini (1Indonesian Agency for Agricultural
Research and Development, Jakarta; 2Indonesian Agroclimate
Research Institute and Hydrology, Bogor)
Climate Change in the Contex of Production System and Coffee
Development in Indonesia (Orig. Ind.)
IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 7790, 5 tab., 5 ill.,
78 ref.
Coffee is one of the Indonesian largest export commodities and
has a strategic role in the economy of nearly two million
farmers’ livelihood. The potency of Indonesia’s coffee export
is quite high because of its preferred taste, however the trend of
national coffee production is only 1-2% per year. On the other
hand, the impacts of climate change also threaten the
achievement of increased production targets. This paper reviews
the impact climate change on coffee production and the
adaptation strategies. The main coffee producing regions in
Indonesia are Aceh, North Sumatera, South Sumatera, Lampung,
Bengkulu, East Java and South Sulawesi Provinces. Most of
these regions are vulnerable to climate change. The increasing
of extreme climate events such as drought due to El Niño causes
a decline in national coffee production to 10%. On the contrary,
the longer wet season due to La Niña caused the decreased coffee
production to 80%. Indirect impacts due to rising temperatures
are increased incidence of coffee borer and leaf rust disease
which can lead to a 50% decline on coffee production. Due to
rising temperatures, the projected coffee production areas are
projected to shift to higher elevations. Numerous adaptive
technologies have been intoduced, however adaptive capacaity
of farmers are still low. This condition is exacerbated by the
limited access of most farmers to climate information, markets,
technology, farming credits, and climate risk management
information. To overcome the problem, policy makers,
stakeholders and farmers have to accelerate the adaptation
practices since the climate change has occurred and will
continue to happen.
(Author)
Keywords: Coffee, climate change, production, adaptation Top
of Form
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336633.17
Buang Abdullah (Indonesian Center for Rice Research, Subang)
Increasing Anthocyanin of Red and Black Rice
Biofortification (Orig. Ind.)
through
IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 9198, 3 tab., 4 ill.,
34 ref.
Bio-fortification is a new paradigm for agriculture and a tool for
improving nutritional status of human health. Rice as a staple
food for Indonesian community is potential to be increased its
nutritional content to produce rice with high vitamin, mineral
and/or antioxidant (anthocyanin) which is benefit for human
health. Anthocyanin is a compound that produced by plants.
Bio-fortification of rice for high content of anthocyanin was
carried out through development of red and black rice through
conventional breeding. Bio-fortification is more effective than
fortification to combat generative diseases. Two red improved
rice varieties were released with high anthocyanin content were
released by IAARD, namely Inpari 24 Gabusan as a red rice
variety with anthocyanin content of 8 ug/100g and Inpari 25
Opak Jaya as a waxy red rice variety with anthocyanin content
of 11 ug/100g. Red rice varieties produced from biofortification
are rapidly adopted by farmers and stake-holders. Several
number of red and black rice advanced lines having higher
anthocyanin content are being tested in the field for their yield
trial. These lines could be released as red and black rice varieties
that better than the existing varieties. In order to overcome
degenerative diseases such as cancer, diabetes, and high blood
consuming functional food from bio-fortification would be more
efficient than that from fortification, because the important
compound which added through bio-fortification is derivative
and eternal.
(Author)
Keywords: Rice, red rice, black rice, anthocyanin, bio-fortification
_________________________________________________________________________________________________________________________________
UDC: 6336633.74-156
Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni (Indonesian Center for
Rice Research, Subang)
Heritability, Gene Resource, and Durability of Rice Varieties
Resistance To Bacterial Leaf Blight Disease (Orig. Ind.)
IARDJ, December 2017, vol. 36 no. 2, p. 99108, 3 tab., 45 ref.
Bacterial leaf blight (BLB) disease is one of the obstacles in
increasing of rice production. The use of resistant varieties is
an effective and easy to implement for farmers. This paper
discusses the heritability and source of resistance genes of rice
varieties against the BLB disease and strategies to maintain the
durability of resistant varieties as one of the control efforts
through plant breeding to supports the increasing of rice
production. Assembling and development of resistant varieties
play an important role in controlling BLB disease because it has
a genetic resistance mechanism that can be inherited to progeny
level. Varieties with vertical resistance are easily broken by
pathogens, so it is necessary to assembling of varieties with
horizontal resistance. To obtain the resistant progeny to BLB
disease in the assembly of varieties, the position of the resistant
varieties should be played as a female parent that has a high
specific joining power. The nature of resistance to BLB is from
a population whose parent genes are derived from multiple cross
results has higher heritability. The populations derived from a
double-cross have multigenic resistance and have the potential
to produce recombinant individuals resistant for prolonged
periods (durable). The availability of durable resistant varieties
become a key requirement in sustainable BLB disease control.
This matter can be done by improving the resistance of varieties
through the assembling of varieties with various sources of
resistance such as wild rice, local rice, and introduced rice.
(Author)
Keywords: Rice, varieties, resistance, bacterial leaf blight,
durability, heritability
_________________________________________________________________________________________________________________________________
DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p59-66
59
Penyakit
Jurnal
Litbang
embunPertanian
tepung dan
Vol.....
36 (Sumartini
No. 2 Desember
dan Mudji
2017:Rahayu)
59-66
PENYAKIT EMBUN TEPUNG DAN CARA PENGENDALIANNYA
PADA TANAMAN KEDELAI DAN KACANG HIJAU
Powdery Mildew Disease and Their Control on
Soybean and Mungbean
Sumartini dan Mudji Rahayu
Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi
Jalan Raya Kendalpayak km 8, Kotak Pos 66 Malang 65101
Telp. (0341) 801465; (0341) 801468
E-mail: sumartiniputut@yahoo.co.id; balitkabi@litbang.pertanian.go.id
Diterima: 9 Mei 2017; Direvisi: 12 Oktober 2017; Disetujui: 26 Oktober 2017
ABSTRAK
Penyakit embun tepung disebabkan oleh cendawan Erysiphae
diffusa (Cook and Peck) pada tanaman kedelai dan E. polygoni (DC
Sawada) pada kacang hijau. Penyebaran penyakit penting ini
menyebabkan kehilangan hasil mencapai 35% pada kedelai dan 26%
pada kacang hijau. Di Indonesia, penyakit ini terjadi di sentra
produksi kedelai dan kacang hijau. Di luar negeri, penyebaran
penyakit embun tepung meliputi Asia, Amerika Serikat, dan Brazil.
Intensitas penyakit biasanya tinggi pada musim kemarau, pada saat
suhu dingin di pagi hari dan kondisi berembun di sekitar pertanaman.
Gejala penyakit embun tepung mudah dikenali dengan ciri seperti
tepung di permukaan atas daun. Hal ini dapat mengganggu proses
fotosintesis dan transpirasi. Selain itu, haustorium Erysiphe
menyerap nutrisi tanaman sehingga mengganggu beberapa fungsi
dan proses metabolisme. Penyakit embun tepung perlu dikendalikan
untuk menekan kehilangan hasil kedelai dan kacang hijau. Cara
pengendalian yang disarankan adalah penyemprotan dengan bahan
nabati (ekstrak biji mimba, kompos teh, susu sapi, minyak dari
citronella, lemongrass, eucalyptus, cinnamon, dan tanaman teh)
pada kedelai dan penggunaan varietas tahan Vima-1 pada kacang
hijau.
Kata Kunci: Kedelai, kacang hijau, penyakit embun tepung,
pengendalian
ABSTRACT
Powdery mildew disease is caused by Erysiphae diffusa (Cook and
Peck) fungi on soybeans and E. polygoni (DC Sawada) on
mungbean. Both diseases are an important disease because of their
widely spread and high yield loss, reaching 35% in soybeans and
26% in mungbean. In Indonesia, the disease occurs in central
areas of soybean production and mungbean. The spread of the
disease includes Asia, the United States of America , and Brazil. The
symptoms of powdery mildew are easily recognizable in the presence
of white flour on the top surface of the leaves. The intensity of
powdery mildew is usually high in the dry season, when the
temperature is cold in the morning and much mildew conditions
around the plant. This situation will interfere with the process of
photosynthesis and transpiration. In addition, Erysiphe’s
haustorium absorbs plant nutrients that will interfere with some
metabolic functions and processes. Control of powdery mildew will
suppress the loss of grain bean and results nationally supports the
availability of soybean and mungbean. Recommended control
measures are spraying with plant materials (extracts of neem seeds,
tea compost, cow´s whole milk, essential oil of citronella,
lemongrass, eucalyptus, cinnamon, and tea tree) on the incidence
of powdery mildew disease on soybean and the use of Vima1
varieties for control of powdery mildew disease on mungbean.
Keywords: Soybean, mungbean, powdery mildew, control
PENDAHULUAN
Kedelai dan kacang hijau merupakan komoditas pangan
sumber protein nabati. Bijinya mengandung 3545% dan
23-29% protein berturut-turut pada kedelai dan kacang
hijau (RISTEK 2000; Ginting et al. 2008). Kedelai sebagian
besar digunakan untuk bahan baku tempe, tahu, dan
kecap, sedangkan kacang hijau sebagai bahan baku
kecambah (sayur), bakpia, dan aneka kue. Kedua jenis
komoditas pangan ini selain dikonsumsi secara tunggal,
juga dapat dicampurkan dalam pembuatan aneka kue atau
camilan.
Di satu sisi, kebutuhan akan kedelai dan kacang hijau
terus meningkat dari tahun ke tahun. Di sisi lain, produksi
nasional kedelai pada tahun 2015 baru mencapai 963.183
ton (Kementan 2017a) produksi kacang hijau 271.463 ton
(Kementan 2017b).
Kementerian Pertanian mencanangkan swasembada
kedelai yang berimplikasi terhadap aspek budi daya untuk
mendukung program tersebut, termasuk pengendalian
hama dan penyakit. Dalam upaya peningkatan produksi
kedelai dan kacang hijau dijumpai berbagai masalah,
antara lain patogen penyebab penyakit. Salah satu
penyakit utama pada kedelai dan kacang hijau ialah
penyakit embun tepung. Penyakit ini tersebar luas di
dunia, baik pada tanaman yang dibudidayakan seperti
60
tanaman aneka kacang maupun pada gulma (Khodaparast
dan Abbasi 2009). Di luar negeri penyakit embun tepung
pada kedelai telah lama diketahui. Penyakit ini telah
tersebar di beberapa negara penghasil kedelai seperti
Amerika Serikat, Brazil, dan China.
Di Indonesia, pada tahun 2009 terjadi penularan
penyakit embun tepung pada pertanaman kedelai di
Kebun Percobaan (KP) Muneng, Probolinggo, Jawa
Timur. Infeksi penyakit embun tepung pada tanaman
kedelai varietas Mahameru dan Anjasmoro sudah sangat
parah. KP Muneng secara geografis terletak pada
ketinggian 10 mdpl, relatif dekat dengan pantai Ketapang.
Curah hujan dalam 10 tahun terakhir menunjukkan
pada periode April-Juni rata-rata 47108 mm dengan
jumlah hari hujan 39 hari. Pada Mei-Juni 2009, jumlah
hujan tertinggi mencapai 132 mm dan terendah 41 mm,
dengan jumlah hari hujan terendah 3 hari dan tertinggi 9
hari. Cuaca relatif tidak stabil pada musim kemarau,
sering turun hujan gerimis. Kondisi ini merupakan faktor
pemicu munculnya penyakit embun tepung pada tanaman
kedelai. Kedelai varietas Anjasmoro dan Mahameru
memiliki sensitif terhadap patogen parasit obligat
tersebut. Tingkat keparahan penyakit rata-rata sangat
tinggi, mencapai 50% pada varietas Mahameru dan 60%
pada Anjasmoro (Rahayu 2011). Benih kedelai dari
tanaman yang terinfeksi penyakit embun tepung dapat
menurunkan daya kecambah sampai 50% tetapi tidak
disebutkan kehilangan hasil secara pasti, namun hasil
penelitian di Amerika Serikat menunjukkan penurunan
hasil kedelai varietas rentan mencapai 35% apabila infeksi
terjadi pada awal pertumbuhan tanaman (Hartman et al.
1999).
Penyakit embun tepung pada kacang hijau juga telah
tersebar di beberapa negara penghasil kacang hijau
seperti India, Pakistan, Thailand, China, Myanmar, dan
Indonesia (Nair et al. 2014). Di Thailand, penurunan hasil
dapat mencapai 26,2% (Tantanapornkul et al. 2005),
sedangkan di Filipina 21% apabila semua daun tertutupi
oleh penyakit embun tepung pada saat tanaman berbunga
(Semangun 2005). Menurut Semangun (2005), di
Indonesia penyakit embun tepung tersebar di Jawa, Bali,
dan Sumatera. Penyebaran penyakit ini bisa melalui angin,
sehingga tidak tertutup kemungkinan dapat menyebar
cepat ke provinsi lainnya. Intensitas penyakit embun
tepung di lapang mencapai 44% (Sumartini 2002) dan
kehilangan hasil dapat mencapai 80% pada varietas lokal.
Menurut Fondevilla dan Rubiales (2012), di Spanyol
kehilangan hasil kacang kapri akibat penyakit embung
tepung berkisar antara 2550%, menurunkan total
biomasa, jumlah polong/tanaman, jumlah biji/polong,
jumlah cabang, dan tinggi tanaman.
Tulisan ini membahas gejala dan penyebab, siklus
penyakit dan faktor-faktor yang memengaruhi penyakit
dan cara pengendalian penyakit embun tepung pada
tanaman kedelai dan kacang hijau.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66
GEJALA DAN PENYEBAB PENYAKIT
Gejala penyakit embun tepung didahului oleh bercak putih
pada daun bagian bawah. Bercak putih tersebut seperti
tepung yang merupakan kumpulan konidia dan konidiofor
cendawan penyebabnya (Gambar 1A dan 1B). Bercak
putih akan meluas ke seluruh daun, bahkan pada varietas
rentan, polong dan batang juga memutih. Penyakit yang
menyerupai tepung tersebut adalah konidifor dan konidia
cendawan penyebab embun tepung. Konidium akan
membentuk haustorium yang berkembang di dalam sel-sel
daun, menghisap cairan nutrisi tanaman, sehingga proses
metabolisme terganggu. Selain itu, konidium dan
konidiofor di permukaan atas daun akan menghambat
fotosintesis dan transpirasi (Mignucci and Boyer 1979).
Infeksi yang parah menyebabkan daun mengering dan
akhirnya rontok. Infeksi yang parah sebelum fase
pembungaan menyebabkan polong kecil atau bahkan
tidak terbentuk polong sama sekali. Gejala tersebut
hampir sama dengan gejala penyakit embun tepung pada
beberapa komoditas lainnya, misalnya kacang buncis,
anggur, dan melon (termasuk tanaman perdu). Berbeda
dengan embun tepung pada tanaman “ek” (pohon “ek”),
penghambatan hanya terjadi pada metabolisme primer,
misalnya karbohidrat dan protein (Mignucci dan Boyer
1979). Pada tanaman kedelai, penghambatan terjadi pada
metabolisme primer dan sekunder (termasuk daya tahan
tanaman, misalnya adanya fenol dan lignin) (Marcais dan
Deprez-Loustau, 2012). Menurut Grau (2006), penyakit
embun tepung pada tanaman kedelai yang disebabkan
oleh cendawan Microsphaera diffusa (Gambar 1C), dan
pada kacang hijau yang disebabkan oleh cendawan
Erysiphe polygoni (Gambar 1D). Almeida et al. (2008)
menyebutkan bahwa M. diffusa yang menginfeksi
tanaman kedelai merupakan sinonim dari E. diffusa.
Bentuk visual cendawan penyebab penyakit embun
tepung dapat dilihat menggunakan mikroskop. Bentuk
visual penyakit ini perlu diketahui bila suatu saat dijumpai
gejala yang sama, sehingga setidaknya dapat diketahui
familinya. Klasifikasi penyebab penyakit embun tepung
menurut Mc Laughlin et al. (1977) adalah sebagai berikut:
Kerajaan
Filum
Subfilum
Klas
Ordo
Famili
Genus
Spesies
:
:
:
:
:
:
:
:
Fungi
Ascomycota
Pezizomycotina
Leitiomycetes
Erysiphales
Erysiphaceae
Erysiphe
Microsphaera diffusa
(Erysiphe diffusa) pada kedelai
Erysiphe polygoni pada kacang hijau
Setiap individu baik manusia, makro organisme
maupun mikroorganisme, berbeda rantai DNAnya.
Berdasarkan analisis sequen dari inti r-DNA dinyatakan
cendawan penyebab penyakit embun tepung pada kedelai
61
Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu)
A
B
C
D
Gambar 1. Gejala penyakit embun tepung pada tanaman kedelai dan kacang hijau (A dan B). Konidia
M. diffusa (isolat Muneng) dan E. polygoni (C dan D).
terdapat dua spesies, yaitu E. glycines dan E. diffusa
(Takamatsu et al. 2002). Klasifikasi ini lebih detail daripada
klasifikasi morfologi.
FAKTOR-FAKTOR YANG
MEMPENGARUHI PENYAKIT
Faktor yang mempengaruhi penyakit embun tepung
antara lain suhu, kelembaban, dan sinar matahari. Di
Indonesia, komoditas kacang-kacangan banyak ditanam
pada lahan sawah setelah panen padi. Pada musim
kemarau pertama, sebagian lahan masih bisa ditanami
padi, sedangkan pada musim kemarau kedua sebagian
besar petani menanam palawija, termasuk kedelai, kacang
tanah, dan kacang hijau. Pada saat itu bertepatan dengan
bulan Juni atau Juli. Pada bulan-bulan tersebut suhu
udara di Indonesia agak rendah, rendah pada pagi hari dan
tinggi pada siang hari. Kondisi ini cocok bagi
perkembangan penyakit embun tepung. Perkembangan
penyakit lebih cocok pada suhu dingin, kelembaban
rendah, dan suasana teduh (Anonim 2006). Menurut Ilag
(1978), suhu dan kelembaban udara yang sesuai untuk
perkembangan penyakit embun tepung masing-masing
berkisar antara 2226oC dan 8088%. Penyakit embun
tepung pada pohon “ek” (E. alpitoides) membutuhkan
kelembaban yang agak lebar, berkisar antara 7696%, di
mana pelepasan konidia berlangsung jika udara kering,
dan sebaliknya untuk perpanjangan tabung kecambah
membentuk haustorium apabila kelembaban minimal 96%
(Hewitt 1974). Cendawan E. alphitoides membutuhkan
keadaan kering untuk melepaskan konidia ke atmosfer,
meski demikian cendawan masih membutuhkan air bebas
untuk pembentukan haustorium. Selain kelembaban,
kejadian penyakit embun tepung juga bergantung pada
curah hujan. Menurut penelitian Basova (1987), curah
hujan yang dibutuhkan untuk epidemi penyakit embun
tepung pada pohon “ek” berkisar antara 7080 mm/bulan.
Sinar matahari juga berpengaruh terhadap epidemi
penyakit embun tepung. Pada daerah yang terkena
banyak sinar matahari lebih banyak terjadi penyakit
embun tepung daripada daerah yang teduh (Giertych dan
Suszka 2010). Penyakit ini juga dapat terjadi apabila
terdapat tanaman inang yang rentan, patogen yang
agresif, dan cuaca yang mendukung. Pengamatan Rahayu
(2011) menunjukkan kedelai varietas Anjasmoro dan
Mahameru terinfeksi patogen penyakit embun tepung
dengan intensitas yang tinggi, yaitu 60% pada varietas
62
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66
Anjasmoro dan 50% pada varietas Mahameru, sehingga
banyak biji yang keriput dan daya kecambah menurun
sampai 50%.
SIKLUS PENYAKIT EMBUN TEPUNG
Penyakit embun tepung berkembang dengan organ yang
disebut konidia. Konidia yang berada di permukaan daun
berkecambah membentuk haustorium (Gambar 2).
Cendawan mengisap atau memperoleh nutrisi dari sel-sel
epidermis dan selanjutnya berkembang dalam sel-sel
epidermis daun dan membentuk konidia serta konidiofor
pada permukaan daun. Sebagian konidia akan
berkembang membentuk kleistotesium. Kleistotesium
yang berada pada permukaan daun berkembang
membentuk askus yang membentuk askospora dan
menginfeksi daun (Gambar 3).
Siklus hidup penyakit embun tepung dilalui dengan
dua cara. Pertama, dari konidia membentuk haustoria,
kemudian membentuk konidia lagi. Kedua, konidia
membentuk kleistotesium dan berkembang membentuk
askus, dari askus membentuk askospora dan selanjutnya
membentuk haustorium (Gambar 4).
TANAMAN INANG
Selain menginfeksi kedelai, M. diffusa juga menginfeksi
jenis kacang yang lain seperti buncis Phaseolus vulgaris,
ercis Pisum aestivum, kacang tunggak Vigna
unguiculata, dan kacang hijau Vigna radiata (Sweets
dan Wrather 2000). Tanaman bukan kacang yang menjadi
inang jamur embun tepung di antaranya ialah tomat
Gambar 3. Siklus penyakit embun tepung pada tanaman kacang
hijau (Shumann 2016).
Lycopersicum esculentum dan beet gula Beta vulgaris.
Hasil penelitian Mignucci dan Chamberlain (1978)
menunjukkan dari 35 anggota famili Leguminosae, 14
anggotanya dinyatakan imun terhadap M. diffusa. Dari
lima jenis kedelai liar hanya Glycine canescens yang imun.
Spesies Lotus tidak ada yang terinfeksi. Tanaman tersebut
dapat digunakan sebagai rotasi tanaman untuk
mengeliminasi patogen penyebab penyakit embun tepung
pada kedelai atau kacang-kacangan lainnya.
Beberapa jenis gulma berperan sebagai inang
alternatif bagi penyakit embun tepung jika tanaman inang
tidak ada di lapangan, contohnya Euphorbia hirta (Jawa:
patikan kebo), asterase Pseudoelephantopus spicatus
(Gambar 4A), dan Heliotrophium indicum (Jawa: buntut
tikus) (Gambar 4B).
Konidia
Konidiofor
Haustorium
Epidermis
Parencim
Epidermis
Gambar 2. Irisan melintang daun yang terinfeksi Erysiphe polygoni (Rasbak 2016.)
63
Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu)
A
B
Gambar 4. Gulma asterase P. spicatus (A), dan H. indicum (B) yang terinfeksi cendawan embun
tepung di lapangan (Sumartini, Mudji Rahayu).
Tabel 1. Perbedaan penyakit embun tepung pada tanaman kacang hijau dan kedelai
Keterangan
Kacang hijau
Kedelai
Stadium asexual
Erysiphe poligoni
Erysiphe diffusa (Mc. Taggart, Ryley, and Shivas 2012)
Erysiphe glycine (Takamatsu et al. 2002)
Stadium sexual
Podosphaera fusca
Microsphaera diffusa
Inang lain
Famili Kacang-kacangan:
buncis, Famili Cucurbitaceae:
melon, semangka, timun, labu
kuning, labu putih dll.
E. glycine pada buncis (Phaseolus vulgaris),
Helianthus annuus, Sonchus,
oleraceus, Hypochaeris brasiliensis,
and Biden pilosa (Almeida et al., 2008)
Kisaran suhu untuk
perkembangan penyakit
Suhu maksimum 27,2 – 30,3 0C
(Thakur dan Agrawal, 2008)
Suhu udara dingin, 18-24 0C
(Mignucci and Lim, 1980)
Kisaran kelembaban untuk
perkembangan penyakit
RH pagi 67-90%, RH siang
12-38% (Thakur dan Agrawal,
2008)
RH rendah, 70% (Mignucci and Boyer 1979)
Penyebab penyakit embun tepung pada tanaman
kedelai dan kacang hijau hanya sama pada genus dari
stadium aseksual, sedangkan stadium seksualnya
berbeda. Perbedaan lainnya ialah tanaman inang, faktor
abiotik yang berpengaruh (kisaran suhu dan kelembaban)
terhadap perkembangan penyakit (Tabel 1).
PENGENDALIAN
Penyakit embun tepung dapat dikendalikan dengan cara
mekanis, kultur teknis, penanaman varietas tahan,
biofungisida, dan fungsisida kimia. Pengendalian secara
mekanis adalah memetik semua daun-daun yang
terinfeksi cendawan penyebab penyakit embun tepung.
Cara ini tidak efektif dan tidak efisien karena tepung
cendawan bisa saja tercecer atau terbawa angin dan
membutuhkan banyak tenaga kerja.
Pengendalian Kultur Teknis
Sanitasi lingkungan. Membersihkan gulma di antara
tanaman yang berperan sebagai inang alternatif bagi
patogen E. polygoni. Cendawan E. polygoni bisa
bertahan hidup pada tanaman yang tidak dibudidayakan
atau gulma, baik berdaun lebar maupun berdaun sempit.
Jika tanaman yang dibudidayakan sudah panen E.
poligoni bisa bertahan hidup pada gulma.
Rotasi tanaman. Rotasi tanaman akan memutus siklus
hidup suatu mikroorganisme yang bertindak sebagai
patogen penyebab penyakit. Pergiliran tanaman setelah
64
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66
kacang hijau harus mempertimbangkan jenis tanamannya.
Pilihlah yang bukan inang dari E. polygoni. Setelah satu
musim bukan kacang hijau, diperbolehkan tanam kacang
hijau.
Pemupukan. Sulfur dan seng merupakan hara mikro
yang dibutuhkan tanaman. Fungsinya adalah untuk
meningkatkan jumlah khorofil, sehingga fotosintat juga
akan meningkat. Fotosintat yang besar akan menghasilkan biomasa yang besar sehingga meningkatkan
hasil. Hasil penelitian di India menunjukkan pemupukan
tanaman padi pada pola tanam padi-lentil (leguminosae)
dengan campuran 40 kg/ha sulfur dan 6 kg/ha seng
menekan intensitas penyakit embun tepung 10% dan
meningkatkan bobot biomasa 14% (Sing et al. 2013).
Penanaman Varietas Tahan
Penanaman varietas tahan penyakit embun tepung
merupakan cara pengendalian yang efektif dan ramah
lingkungan, namun benih sering tidak tersedia pada waktu
yang tepat. Badan Litbang Pertanian pada tahun 2008
telah melepas kacang hijau unggul varietas Vima-1 yang
tahan terhadap penyakit embun tepung. Beberapa
varietas unggul kacang hijau yang tahan terhadap
penyakit embun tepung disajikan pada Tabel 2.
Ketahanan varietas Vima-1 disebabkan oleh gen yang
dibawa tetuanya.
Sebagian petani di Pantura Jawa Tengah adalah
pemasok kacang hijau ke Yogyakarta untuk kebutuhan
bakpia. Sebelum ditemukan varietas unggul Vima-1,
mereka menanam varietas lokal yang kulit bijinya tidak
mengkilat (buram). Akhir-akhir ini kacang hijau varietas
Vima 1 sudah banyak ditanam petani dengan alasan kulit
biji buram dan rasa lebih gurih. Selain itu, varetas Vima-1
juga tahan terhadap penyakit embun tepung, sehingga
pertanaman petani tidak lagi terjangkit patogen embun
tepung. Varietas Vima-1 juga sudah berkembang di Nusa
Tenggara Timut (NTT) yang merupakan sentra kacang
hijau.
Pengendalian Biologi
Penyemprotan fungisida nabati. Pengendalian dengan
bahan alami seperti ekstrak biji mimba, minyak cengkeh
Tabel 2. Beberapa varietas kacang hijau tahan dan agak
tahan penyakit embun tepung.
Varietas
Camar
Merpati
Sampeong
Kutilang
Vima 1
Produktivitas
(t/ha)
Ketahanan
1,35
1,2-1,8
1,0-1,8
1,13-1,96
1,38-1,76
Tahan
Tahan
Agak tahan
Tahan
Tahan
Sumber: Balitkabi (2012).
atau ekstrak bawang merah juga dapat menekan intensitas
penyakit embun tepung. Minyak cengkeh (3 ml/l air) lebih
efektif menekan penyakit embun tepung daripada ekstrak
bawang merah (10 g/l air). Penyemprotan ekstrak biji
mimba untuk pengendalian embun tepung pada kacang
hijau (1 ml/l bahan induk 50 g/l air) dapat menekan
penyakit embun tepung sampai 38% dan menekan
kehilangan hasil hingga 70% (Rajid et al. 2009).
Penggunaan kompos teh untuk pengendalian
penyakit embun tepung pada tomat yang disebabkan oleh
E.polygoni telah diteliti oleh Segarra et al. (2009) di
Spanyol. Hasil penelitian tersebut menunjukkan
penyemprotan larutan kompos teh dan air (1:5, v/v)
dengan interval seminggu sekali, dimulai pada saat
tanaman tomat berumur 60 hari, empat kali penyemprotan,
menghambat intensitas penyakit embun tepung 19% jika
dilakukan sebelum terjadi gejala penyakit (preventif) dan
efektif menurunkan penyakit (100%). Dengan kata lain
mengeradikasi embun tepung jika dilakukan setelah
kejadian penyakit (curatif).
Perina et al. (2013) di Brazil mengevaluasi pengaruh
susu sapi, minyak citronella, lemongrass, eucalyptus,
cinnamon, dan tanaman teh pada patogen embun tepung
melalui Scanning Electron Microscope (SEM). Hasil
penelitian menunjukkan E. diffusa dapat dikendalikan
dengan susu sapi dan bahan-bahan nabati tersebut.
Dengan konsentrasi 100 ml/l dan 1 ml/l air masing-masing
untuk susu sapi dan minyak citronella, lemongrass,
eucalyptus, cinnamon menurunkan keparahan penyakit
6774%.
Penyemprotan fungisida hayati. Cendawan
Ampelomyces quisqualis yang merupakan musuh alami
terbukti efektif menekan pertumbuhan E. polygoni yang
sedang menginfeksi tanaman kacang hijau. Mekanisme
kerja cendawan tersebut ialah memarasit seluruh
permukaan cendawan E. polygoni. Aplikasi suspensi
konidia cendawan A. quisqualis di tingkat laboratorium
yang digunakan adalah 107 spora/ml air, dan disarankan
menggunakan kerapatan 10 6/ml air untuk aplikasi di
lapangan pada sore hari (Yusnawan dan Hardaningsih,
2006). Keunggulan cara ini ialah satu kali aplikasi dapat
menghambat perkembangan patogen embun tepung.
Pengendalian dengan fungisida kimia. Hasil
pengujian di Malang pada musim kemarau tahun 1999
menunjukkan di antara delapan jenis fungisida yang diuji,
heksakonazol merupakan efektif menekan penyakit embun
tepung pada kacang hijau. Fungisida tersebut menekan
intensitas penyakit embun tepung sebesar 42% pada saat
tanaman berumur 42 hari (Sumartini 2002). Hasil penelitian
efikasi beberapa macam fungisida untuk pengendalian
cendawan E. polygoni pada cumin di Brazil menunjukkan
fungisida sulfur (80 WP) lebih efektif daripada
hexaconazol (5 EC), difenoconazol (25 EC), propiconazol
(25 EC), picoxystrobin (25 EC), dinocap (48 EC), dan dapat
menghambat penyakit sebesar 73% (Khunt et al., 2017).
Pengendalian dengan fungisida kimia merupakan cara
terakhir apabila cara-cara yang lain tidak efektif.
Penyakit embun tepung dan .... (Sumartini dan Mudji Rahayu)
Dari uraikan di atas diketahui pengendalian penyakit
embun tepung yang paling efektif pada tanaman kacang
hijau adalah penanaman varietas Vima-1. Varietas unggul
sudah tersedia di beberapa daerah dan disukai oleh
petani, karena mudah dilakukan dan tidak memerlukan
biaya pengendalian.
Pengendalian penyakit embun tepung pada tanaman
kedelai dengan penanaman varietas tahan belum dapat
disarankan karena belum diketahui secara pasti varietas
yang benar-benar tahan. Hal ini merupakan tantangan
bagi pemulia tanaman kedelai dalam menghasilkan
varietas tahan. Untuk sementara, pengendalian penyakit
embun tepung pada tanaman kedelai disarankan
dengan penyemprotan kompos teh karena sisa teh
banyak tersedia di warung atau restoran yang tidak
memerlukan biaya, bahkan turut berperan dalam
pemanfaatan limbah.
KESIMPULAN
Embun tepung merupakan penyakit utama tanaman
kedelai dan kacang hijau. Tanpa pengendalian, penyakit
ini dapat menurun hasil 35% pada kedelai dan 26% kacang
hijau. Jenis tanaman inang antara lain leguminae dan
cucurbitasae, baik yang dibudidayakan maupun tidak
dibudidayakan (gulma). Cara pengendalian penyakit
penting ini mencakup penanaman varietas tahan, secara
kultur teknis dengan sanitasi lingkungan, rotasi dengan
tanaman bukan inang, pemupukan dengan hara sulfur dan
seng. Selain itu, penyakit embun tepung juga dapat
dikendalikan secara biologi, yaitu dengan fungisida
nabati (ekstrak biji mimba dan kompos teh), dan fungisida
hayati (cendawan Ampelomyces quisqualis). Alternatif
terakhir adalah penyemprotan dengan fungisida kimia
apabila cara terdahulu tidak mampu mengendalikan
penyakit embun tepung.
DAFTAR PUSTAKA
Almeida, A.M.R., E. Binnekck, F.P. Fernanda, R.R.M. Silvana, R.Z.
Paula, Riberio do Valle, and C.A Silveira. 2008. Characterization
of powdery mildews strains from soybean, bean, sunflower, and
weeds in Brazil using rDNA-ITS sequences. Tropical Plant
Pathology 33(1): 020–026.
Anonim. 2016a. Erysiphe diffusa. EPPO Global Database. https://
gd.eppo.int/taxon/MCRSDI. [17 Januari 2017].
Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi).
2012. Deskripsi varietas unggul Kacang-kacangan dan Umbiumbian. Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi.
Jakarta: Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Balitkabi (Balai Penelitian Tanaman Aneka Kacang dan Umbi).
2014. Deskripsi varietas. Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi. Pusat Penelitian Tanaman Pangan. Jakarta:
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Basova, S.V. 1987. Seasonal dynamics of powdery mildew of
pedunculate oak in a seed grafting plantation (in Russian). Mikol.
Fitopathol. 21: 269–273.
65
Fondevilla, S. and D. Rubiales. 2012. A reviw of Powdery mildew
control on pea. Agron Sustain Dev. 32: 401–409.
Ginting, E., Ratnaningsih, dan R. Iswanto. 2008. Karakteristik Fisik
dan Kimia 17 Genotipe Kacang Hijau untuk Bahan Pangan.
hlm. 451–464. Dalam A. Harsono, A.Taufik, A. A. Rahmiana,
Suharsono, M. M. Adi, F. Rozi, Adi Widjono, dan Rudi Suhendi
(Eds.) Inovasi Teknologi Kacang-kacangan dan Umbi-umbian
Mendukung Kemandirian Pangan dan Kecukupan Energi.
Prosiding Seminar Nasional 2008. Bogor: Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Pangan.
Giertych M.J and Suszka J. 2010. Influence of cutting off distal ends
of Quercus robur acorns on seedling growth and their infection
by the fungus Erysiphe Alphitoides in difference light condition.
Dendrobiology 64: 73–77.
Grau, C. 2006. Powdery Mildew of Soybean. UW Extension.
University of Wisconsin, Madison USA. 2pp. http://fyi.uwex.edu/
fieldcroppathology/files/2010/12/powdery_mildew_06.pdf. [41-2008].
Hartman, G.L., J.B. Sinclair, and J.C. Rupe. 1999. Compendium of
Soybean Diseases Fourth Edition. American Phytopathological
Press. 100 pp.
Hewitt, H.G. 1974. Conidia germination in Microsphaera
alphitoides. Trans Br. Mycol Soc 63: 587–628.
Kementan (Kementerian Pertanian). 2017a. Produksi Kedelai. http:/
/ www. p ert a n i a n . go. i d / D a t a 5 t a h u n / ATAP -T P 2 0 1 5 / 2 4 ProdKedelai.pdf. [4 April 2017].
Kementan (Kementerian Pertanian). 2017b. Produksi Kacang Hijau.
http://www.pertanian.go.id/Data5tahun/ATAP-TP2015/26ProdKcHijau.pdf. [4 April 2017].
Khodaparast, S.A and M. Abbasi. 2009. Spesies, host range, and
geographical distribution of powdery mildew fungi in Iran.
Mycotaxon 108: 213–216.
Khunt, A.R., L.F. Akbari, G.J. Goswami, and A.S. Vamja. 2017.
Efficacy various fungicides for the management of cumin
powdery mildew caused by Erysiphe polygoni. International
Journal of Current Microbiology Application Science 6(4):
1.218–1.223.
Marcais, B. and M.L Deprez-Loustau. 2012. European oak powdery
mildew: impact on trees, effects on enviromental factors, and
potential effect of climate change. Annals of Forest Science.
Mc. Laughlin M.R., J.S. Mignucci, and C.M. Milbarth. 1977.
Microsphaera diffusa, the perfect stage of the soybean powdery
mildew pathogen. Phytopathology 67: 726–729. USA.
Mc. Taggart, A.R., M.J. Ryley, and R.G. Shivas. 2012. First report
of the powdery mildew Erysiphe diffusa on soybean in Australia.
Australian Plant Diseases. Notes 7: 127-129. DOI:10.1007/
s13314-012-0065-7.
Mignucci, J.S. and D.W. Chamberlain. 1978. Interaction of
Microsphaera diffusa with soybean and other legumes.
Phytopathology 68: 169–173.
Mignucci, J.S. and J.S. Boyer. 1979. Inhibition of photosyntesis and
transpiration in soybean infected by Microsphaera diffusa.
Phytopathology 69: 227–230.
Mignucci, J.S. and S.M. Lim. 1980. Powdery mildew development
on soybean with adult plant resistance. Phytopathology 70:
919–921.
Nair, R., R.Schafleitner, W. Easdown, A. Ebert, P. Hanson, J. d’arros
Hughes, and J.D.H. Keatinge. 2014. Legume Improvement
Program AVRDC-The World Vegetable Centre. Impact and
Future Prospects. Asian Vegetable Research Centre. Shanhua,
Tainan, Taiwan.
Perina, F.J., Eduardo Alves, R.B. Periera, C.L. Gelvaine, Claudia
R.G.L, and H.A. de Castro. 2013. Essential Oil and whole milk
in control of soybean powdery mildew. Ciencia Rural, Santa
Maria 43(11): 1938–1944.
66
Radjid, B.S., D. Runik, S.W. Indiati, dan Sumartini. 2009. Evaluasi
teknologi budi daya kacang hijau di lahan tadah hujan. Laporan
Teknis Tahun 2009. Malang: Balai Penelitian Tanaman Kacangkacangan dan Umbi-umbian. 10 hlm.
Rahayu, M. 2011. Penyakit embun tepung Microsphaera diffusa
pada stadia generatif dua varietas kedelai. Suara Perlindungan
Tanaman 1(2): 1–7.
Rasbak. 2016. Erysiphe necator mycelium. https://pl.wikipedia.org/
wiki/Plik:Erysiphe_necator_mycelium.svg. [10 Oktober 2016].
RISTEK. 2000. Tempe. Deputi Kemenristek Bidang Pendayagunaan
dan Pemasyaratan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi. http://
www.ristek.go.id. [10 Maret 2017].
Segarra, G., M. Reis, E. Casanova, and M.I. Trillas. 2009. Control
of tomato powdery mildew (Erysiphe polygoni) in tomato by
foliar application of compost tea. Journal of Plant Pathology
91(3): 683–689.
Semangun, H. 2005. Penyakit-penyakit Tanaman Pangan di
Indonesia 2ed. Gajah Mada University Press. 475 hlm.
Shumann, G.L. 2016. Plant Diseases: Their Biology and Social Impact.
APS Press. http://www.apsnet.org/edcenter/K-12/TeachersGuide/
PowderyMildew/Pages/PowderyMildewsLifeCycle.aspx. [3
Maret 2017].
Sing A.K, B.P. Bhatt, K.M. Sing, A. Kumar, Manibhushan, U. Kumar,
N. Chandra, and R.C. Bharati. 2013. Dynamics of powdery
mildew (Erysiphae trifolii) disease of lentil influenced by sulfur
and zinc nutrition. Plant Pathology Journal 12(2): 71–77.
Sumartini, M. Anwari, dan Yusmani. 2002. Efektivitas fungisida
terhadap penyakit embun tepung pada kacang hijau. hlm. 248
255. Dalam Peningkatan produktivitas, kualitas dan efisiensi
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 59-66
sistem produksi tanaman kacang-kacangan dan umbi-umbian
menuju ketahanan pangan dan agribisnis. Bogr: Pusat Penelitian
dan Pengembangan Tanaman Pangan.
Sweets. L.E. and A. Wrather. 2000. Soybean diseases. Integrated
pest management manuals. Plant protection programs of the
University of Missouri. Columbia. 26 pp.
Takamatsu, S., Shein Hyon-Dong, U. Paksiri, S. Limkaisang, Y.
Taguchi, Thi Binh Nguyen, and Sato Yukio. 2002. Two Erysiphe
spesies associated with recent outbreak of soybean powdery
mildew: result of molecular phytogenetic analysis based on nulear
r-DNA sequences. Mycoscience 43(4): 333341. http://
hdl.hadle.net/10076/2631.10-4-2014].
Tantanapornkul, N., S. Wongkaes, and P. Laosuwan. 2005. Effect
of powdery mildew on yield, yield component, and seed quality
of mungbean. Suranaree J. Sci. and Technol 13(12): 152162.
Thakur, M.P. and K.C. Agrawal. 2008. Epidemiological studies on
powdery mildew of mungbean and urdbean. http://dx.doi.org/
10.1080/09670879509371940. [23 Maret 2014].
Yusnawan, E. dan S. Hardaningsih. 2006. Keefektivan Ampelomyces
quisqualis yang ditumbuhkan pada berbagai media terhadap
penyakit embun tepung. hlm. 483490. Dalam Suharsono, A.K.
Makarim, A.A. Rahmiana, M.M. Adi, A. Taufik, F. Rozi, I.K.
Tastra, dan D. Harnowo (Eds.). Peningkatan produksi kacangkacangan dan umbi-umbian mendukung kemandirian pangan.
Bogor: Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.
PotensiLitbang
Jurnal
pengembangan
Pertanianplastik
Vol. 36biodegradable
No. 2 Desember
.... (Elmi
2017: Kamsiati
67-76
et al.)
DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p67-76
67
POTENSI PENGEMBANGAN PLASTIK BIODEGRADABLE BERBASIS
PATI SAGU DAN UBIKAYU DI INDONESIA
The Development Potential of Sago and Cassava Starch-Based
Biodegradable Plastic in Indonesia
Elmi Kamsiati, Heny Herawati dan Endang Yuli Purwani
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pascapanen Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 12, Bogor 16114
Telp. (0341) 801465; (0341) 801468
E-mail: elmikamsiati@gmail.com; bbpascapanen@litbang.pertanian.go.id
Diterima: 2 Maret 2017; Direvisi: 10 Oktober 2017; Disetujui: 27 Oktober 2017
PENDAHULUAN
ABSTRAK
Plastik merupakan bahan pengemas yang banyak digunakan namun
berdampak buruk bagi lingkungan karena sulit terdegradasi di alam.
Teknologi produksi plastik biodegradable atau bioplastik yang
dibuat dari bahan alami dan ramah lingkungan sudah mulai
dikembangkan. Plastik biodegradable berbahan dasar pati relatif
lebih mudah diproduksi dan bahan baku mudah diperoleh. Pati ubi
kayu dan sagu memiliki potensi sebagai bahan baku plastik
biodegradable ditinjau dari ketersediaan dan karakteristiknya.
Selain pati sebagai bahan utama, diperlukan pula plastisizer atau
bahan pemlastis dan bahan penguat struktur untuk menghasilkan
plastik biodegradable dengan karakteristik yang baik. Tahapan
produksinya meliputi pencampuran, pemanasan, dan pencetakan.
Plastik biodegradable berbahan dasar pati dapat digunakan sebagai
bahan pengemas yang ramah lingkungan dan berpeluang besar
dikembangkan.
Kata kunci: Pati, sagu, ubi kayu, bioplastik, teknologi produksi
ABSTRACT
Plastic is a packaging materials that are widely used but has an
adverse impact on the environment because it is difficult to degrade
in nature. Production technology of biodegradable plastics from
natural resources that have characteristic environmentally friendly
has developed. Starch-based biodegradable plastic is a widely
developed type because the production process is simple and the
raw materials more readily available. The starch of cassava and
sago has potential as a raw material of biodegradable plastic
because of the availability and its characteristic. Also, to make
starch as the main ingredient, plasticizers and structural
strengthening materials are required to produce biodegradable
plastic with excellent characteristics. The production stages of
biodegradable plastics include mixing, heating, and casting. The
starch-based biodegradable plastic that can apply to an
environmentally friendly packaging material has an excellent
opportunity developed in Indonesia.
Keywords: Starch, sago, cassava, biodegradable plastics,
production technology
P
lastik merupakan bahan pengemas yang banyak
digunakan dan berkembang luas di seantero negeri.
Sebagian besar barang yang dibutuhkan, mulai dari
peralatan elektronik, perlengkapan rumah tangga,
perlengkapan kantor sampai makanan dan minuman
menggunakan plastik sebagai pengemas karena ringan,
kuat, mudah dibentuk, dan harganya terjangkau (Mahalik
dan Nambiar 2010). Tidak hanya di bidang industri,
kemasan plastik juga banyak digunakan oleh retail,
pedagang tradisional, dan rumah tangga. Menurut
Asosiasi Industri Olefin Aromatik dan Plastik Indonesia
(INAPLAS), konsumsi plastik di Indonesia pada tahun
2015 mencapai 17 kg/kapita/tahun. Jika jumlah penduduk
Indonesia pada semester pertama tahun 2017 sekitar 261
juta jiwa, maka penggunaan plastik secara nasional
mencapai 4,44 juta ton.
Penggunaan plastik yang cukup tinggi berdampak
negatif terhadap kelestarian lingkungan (Tokiwa et al.
2009), karena sulit terdegradasi sehingga terjadi
penumpukan sampah plastik yang mencemari lingkungan.
Menurut Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan
(2016), permasalahan sampah plastik di Indonesia sudah
meresahkan. Selain Tiongkok, Indonesia adalah negara
pembuang sampah plastik terbesar ke laut. Sampah plastik
yang dibuang sembarangan menyumbat saluran air dan
bahkan menumpuk di pintu-pintu sungai sehingga
mengakibatkan banjir. Plastik yang ditimbun di tanah juga
sulit terdegradasi. Polimer sintetis yang merupakan
bagian utama dari plastik akan terdegradasi dalam waktu
puluhan bahkan ratusan tahun. Jika dibakar, plastik akan
menghasilkan emisi karbon yang mencemari lingkungan
(Gironi dan Piemonte 2011).
Para peneliti dan ilmuwan terus berupaya
menghasilkan bahan kemasan plastik yang ramah
lingkungan. Beberapa penelitian telah menghasilkan
teknologi pembuatan plastik dari bahan alami yang dapat
terdegradasi dalam waktu singkat yang disebut sebagai
68
sebagai bahan baku, teknologi dan proses produksi, serta
peluang pengembangan bioplastik di Indonesia.
PLASTIK BIODEGRADABLE VS
PLASTIK KONVENSIONAL
Plastik didefinisikan sebagai bahan sintetik atau semi
sintetik yang diproses dalam bentuk polimer termoplastik
atau termoset dengan berat molekul yang tinggi dan
dibentuk menjadi produk berupa film dan filamen. Polimer
plastik tersusun dari monomer melalui reaksi polimerisasi.
Sebagian besar plastik terdiri atas 50020.000 monomer,
misalnya polietilen yang dibuat dari etilen. (PlasticEurope
2017; Nkwachukwu et al. 2013).
Berdasarkan bahan bakunya, plastik dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu plastik dari bahan yang
tidak dapat diperbaharui dan dapat diperbaharui. Dari segi
kemudahan terdegradasi oleh alam, plastik dibedakan
menjadi dua, yaitu mudah terdegradasi (biodegradable)
atau bioplastik dan sulit terdegradasi (non biodegradable)
atau plastik konvensional (Gambar 1).
Plastik biodegradable dibuat dari bahan nabati yang
merupakan produk pertanian yang dapat diperbaharui.
Oleh karena itu, produksi bahan nabati dapat
berkelanjutan dan bioplastik dapat terdegradasi lebih
cepat karena bersifat ramah lingkungan. Namun harga
plastik biodegradable lebih mahal daripada plastik
kovensional karena teknologinya belum berkembang luas.
Keterbatasan bahan baku plastik konvensional berupa
minyak bumi dan meningkatnya tuntutan terhadap produk
**Bio-PE
Bio-PE
**Polyuretan
Polyuretan
Dapat diperbaharui
* Pati
*Pati
* PLA
*PLA
* PHA/ PHBs
*PHA/PHBs
Nonbiodegradable
**LDPE
LDPE
**HDPE
HDPE
* PP, PE,PVC
*PP, PE, PVC
* PET
*PET
Biodegradable
tidak dapat diperbaharui
plastik biodegradable atau bioplastik. Plastik
biodegradable terbuat dari bahan polimer alami seperti
pati, selulosa, dan lemak. Bahan utama yang sering
digunakan dalam pembuatan plastik biodegradable
adalah pati dan Poly Lactic Acid (PLA). (Coniwanti et al.
2014; Yuniarti et al. 2014; Susanti et al. 2015).
Pati merupakan bahan baku yang banyak tersedia di
Indonesia. Pati diperoleh dengan cara mengekstrak bahan
nabati yang mengandung karbohidrat, seperti serealia
dan aneka umbi. Sumber karbohidrat yang banyak
mengandung pati di antaranya jagung, sagu, ubi kayu,
beras, ubi jalar, sorgum, talas, dan garut. Karakteristik
fungsional pati yang unik memungkinkan pati digunakan
untuk berbagai keperluan, baik sebagai bahan pangan
maupun nonpangan (Koswara 2009).
Pati juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan
pembuatan biodegradable plastik (bioplastik). Industri di
beberapa negara sudah mengembangkan pati sebagai
bahan bioplastik. Jenis pati yang banyak digunakan
adalah pati jagung dan pati kentang. Jenis pati dari kedua
komoditas ini banyak digunakan oleh industri bioplastik
di beberapa negara Eropa dan Australia. Di Thailand,
bahan baku yang digunakan untuk bioplastik adalah pati
ubi kayu. Pati komoditas pertanian lebih kompetitif dan
tersedia cukup melimpah sebagai bahan baku plastik
biodegradable. Menurut Swamy dan Singh (2010),
permintaan bioplastik terbesar adalah yang berbahan
dasar pati.
Teknologi pembuatan plastik biodegradable
berbahan dasar pati sudah mulai dikembangkan di
Indonesia sejak beberapa waktu yang lalu. Bahan baku
yang diteliti untuk pembuatan plastik biodegradable
antara lain pati tapioka dengan campuran kitosan dan
pemlastis gliserol (Lazuardi dan Cahyaningrum 2013), pati
sagu dengan campuran pemlastis gliserol (Yuniarti et al.
2014), pati sorgum dan kitosan (Darni dan Utami 2010),
pati kulit ubi kayu (Anita et al. 2013), dan pati jagung
(Coniwanti et al. 2014). Namun secara komersial, industri
yang memproduksi bioplastik masih terbatas karena
permintaan di dalam negeri masih rendah. Industri
bioplastik di Indonesia antara lain PT. Inter Aneka Lestari
yang memproduksi Enviplast, PT. Harapan Interaksi
Swadaya menghasilkan Ecoplast, dan perusahaan Avani
Eco memproduksi eco bag, ketiganya menggunakan
bahan baku pati ubi kayu.
Di Indonesia, plastik biodegradable sebagai bahan
pengemas mulai digunakan oleh beberapa industri
waralaba jasa boga, sedangkan industri pangan belum
banyak menggunakan (Enviplast). Harga plastik
biodegradable lebih mahal dari plastik konvensional
diantaranya karena kapasitas produksinya belum optimal
dan teknologi proses belum berkembang luas. Selain itu,
belum adanya aturan pembatasan penggunaan plastik
konvensional juga membuat bioplastik belum banyak
digunakan.
Tulisan ini membahas manfaat plastik biodegradable
sebagai pengemas, potensi pati sagu dan pati ubi kayu
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76
**Polycaprolacton
Polycaprolacton
**PBT,
PBT, PBS
PBS
**PTT
PTT
Gambar 1. Sifat bahan baku plastik konvesional dibandingkan
dengan degradabilitas plastik. Bio-PE (Bio-Poli Etilen); PLA (Poli
Lactic Acid); PHA (Poli Hidroksi Alkanoat); PHB ( Poli Hidroksi
Butirat); LDPE (Low Density Poli Etilen); HDPE (High Density
Poli Etilen); PP (Poli Propilen); PBT (Poli Butilen Terephtalat);
PBS (Poli Butilen Suksinat).
Sumber: Thielen (2014); Swamy and Sigh (2010).
69
Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.)
Tabel 1. Perbandingan antara plastik konvensional dengan plastik biodegradable pada beberapa aspek.
Aspek
Plastik konvensional/non biodegradable
Plastik Biodegradable/Bioplastik
Bahan baku
Sebagian besar dibuat dari bahan yang tidak
dapat diperbaharui (minyak bumi)
Sudah mapan
Dibuat dari bahan yang dapat diperbaharui (bahan
nabati)
Sudah ada produsen yang mengembangkan. Namun
masih banyak yang dalam tahap penelitian.
Sosial
Sudah banyak dikenal dan digunakan
masyarakat.
Belum banyak dikenal masyarakat.
Ekonomi
Harga lebih murah
Harga sedikit lebih mahal
Lingkungan
Tidak ramah lingkungan (perlu ratusan
tahun untuk dapat terdegradasi oleh alam).
menghasilkan emisi karbon yang tinggi
ramah lingkungan (dapat terdegradasi oleh alam dalam
waktu yang singkat (sekitar 3-6 bulan).emisi karbon
yang lebih rendah
Teknologi
Sumber: Thielent 2014; Swamy and Sing 2010; Money 2009; Lu et al. 2009; Patel et al. 2005; Swa 2014; Sing et al. 2009.
ramah lingkungan menjadi peluang bagi pengembangan
plastik biodegradable. Tabel 1 menampilkan perbandingan
plastik konvensional dan plastik biodegradable ditinjau
dari aspek ketersediaan bahan baku, teknologi, sosial,
ekonomi, dan lingkungan.
Polimer alami seperti makromolekul yang secara alami
terdapat pada beberapa tanaman yang dapat digunakan
sebagai bahan baku plastik biodegradable. Demikian
juga molekul yang lebih kecil seperti gula, disakarida, dan
asam lemak dari tanaman yang dapat digunakan sebagai
bahan dasar plastik biodegradable. Semua sumber daya
yang dapat diperbaharui dapat digunakan, dimodifikasi,
dan diproses menjadi plastik berbahan dasar alami
(biobased plastik) (Mooney 2009; Lu et al. 2009).
Bahan baku yang dapat digunakan untuk pembuatan
plastik biodegrdable adalah pati, selulosa, dan Poly
Lactic Acid (PLA) (Pulungan et al. 2015; Yuniarti et al.
2014; Darni dan Utami 2010; Paramawati et al. 2007). Pati
diperoleh dari tanaman sumber karbohidrat seperti sagu,
jagung, ubi kayu, ubi jalar, dan umbi-umbian lainnya.
Selulosa dapat diperoleh dari limbah pertanian seperti
jerami, tongkol jagung, dan pelepah nenas. PLA
merupakan hasil fermentasi bakteri asam laktat terhadap
substrat yang mengandung gula. Berbagai jenis bahan
baku tersebut masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan. Menurut Pulungan et al. (2015) dan Tsou et
al. (2014), PLA memiliki sifat mekanis yang bagus,
sehingga potensial digunakan sebagai bahan baku
bioplastik namun harganya mahal. Kelebihan selulosa
antara lain mudah diperoleh, biasanya digunakan sebagai
bahan penguat dalam pembuatan plastik biodegradable.
Menurut Lazuardi dan Cahyaningrum (2013) serta Darni
dan Utami (2010), pati tanaman lebih mudah diperoleh dan
jumlahnya cukup banyak.
PATI SEBAGAI BAHAN BAKU PLASTIK
BIODEGRADABLE
Dalam menghasilkan plastik biodegradable lebih banyak
menggunakan pati tanaman sebagai bahan baku. Pati
merupakan polimer alami, dihasilkan dari pemanfaatan
karbon dioksida dan air melalui proses fotosintesis, dapat
terdegradasi sempurna dan harganya relatif murah. Secara
ekonomi, pati lebih kompetitif dibandingkan dengan
minyak bumi karena berasal dari bahan nabati yang dapat
diperbaharui. Proses produksi plastik biodegradable dari
pati lebih sederhana dibandingkan dengan bahan baku
lain. Pati dapat diproses menggunakan beberapa metode
menjadi plastik biodegradable. Jenis pati yang banyak
digunakan adalah pati jagung dan pati ubi kayu (Sriroth et
al. 2000; Lu et al. 2009). Plastik biodegradable berbahan
dasar pati merupakan jenis bioplastik yang paling banyak
diproduksi (Swamy dan Sigh 2010).
Di Indonesia, pati menjadi pilihan sebagai bahan baku
plastik biodegradable karena ketersediaannya cukup
melimpah. Jenis pati yang dapat digunakan sebagai bahan
baku plastik biodegradable di antaranya pati ubi kayu,
pati sagu, dan pati jagung. Pati dari sumber karbohidrat
lain maupun limbah pertanian yang dapat dimanfaatkan
sebagai bahan baku plastik biodegradable di antaranya
pati umbi porang, pati biji durian, dan pati dari kulit ubi
kayu (Pradipta dan Mawarni 2012; Akbar et al. 2013; Anita
et al. 2013; Lazuardi dan Cahyaningrum 2013; Wicaksono
2013; Yuniarti et al. 2014; Coniwanti et al. 2014;
Radhiyatullah et al. 2015). Sagu dan ubi kayu merupakan
sumber pati yang ketersediaannya yang cukup melimpah
di Indonesia.
Tanaman Sagu
Sagu merupakan komoditas penghasil karbohidrat
potensial, khususnya pati. Indonesia merupakan negara
yang memiliki areal pertanaman sagu terluas di dunia.
Areal pertanaman terluas terdapat di Papua dan areal semi
budi daya sagu berada di Maluku, Sulawesi, Kalimantan,
dan Sumatera (Maherawati et al. 2011; Syakir dan
Karmawati 2013). Menurut Badan Litbang Kehutanan
dalam Syakir dan Karmawati (2013), luas hutan sagu di
Indonesia mencapai 1,25 juta ha, sedangkan luas areal
semi budi daya 134 ribu ha dan masih terdapat lahan yang
70
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76
sesuai untuk pengembangan sagu di Sumatera, Papua,
Maluku, Sulawesi, dan Kalimantan. Di beberapa daerah,
sagu telah dibudidayakan. Data Ditjen Perkebunan (2017)
menunjukkan daerah produksi sagu yang cukup besar
adalah Riau, Papua, Maluku, Sulawesi Tenggara, dan
Kalimantan Selatan (Tabel 2).
Produktivitas tepung sagu beragam, bergantung
pada jenisnya. Satu batang sagu unggul dapat
menghasilkan 200400 kg tepung. Sagu asal Sentani,
Papua, memiliki kandungan karbohidrat 5687% dan pati
8184%. Produktivitas pati sagu kering dapat mencapai 25
t/ha/tahun, lebih tinggi dibanding pati ubi kayu 1,5 t/ha/
tahun dan jagung 5,5 t/ha/tahun (Limbongan 2007;
Muhidin et al. 2012).
Pati sagu dapat dimanfaatkan untuk pangan dan
nonpangan. Sebagai bahan pangan, sagu dimanfaatkan
sebagai bahan baku mi (Purwani et al. 2006, Prayoga et al.
2016) dan bahan tambahan fungsional pati resisten
(Purwani et al. 2012). Selain sebagai bahan pangan, pati
sagu juga prospektif dikembangkan sebagai bahan baku
industri substrat fermentasi butanol-etanol, plastik
biodegradable, gula cair, penyedap makanan, dan
bioetanol (Yuniarti et al. 2014; Fitriani et al. 2010; Muhidin
et al. 2012).
Pati sagu terdiri atas fraksi amilosa dengan kadar
28,84% dan amilopektin dengan kadar 71,16%. Kadar
amilosa dan amilopektin mempengaruhi sifat fungsional
pati sagu. Pati sagu berbentuk oval dengan ukuran 7,555
µ m, Ukuran pati juga berpengaruh terhadap sifat
fungsionalnya. Sifat fisikokimia pati sagu dapat dilihat
pada Tabel 3.
Kandungan amilosa dan amilopektin berpengaruh
pada sifat fisiko kimianya, di antaranya daya serap air,
kelarutan, derajat gelatinisasi pati, dan swelling power.
Semakin tinggi kandungan amilopektin, pati cenderung
lebih sedikit menyerap air, lebih basah dan lengket.
Sebaliknya, pati dengan kadar amilosa tinggi cenderung
lebih banyak menyerap air, lebih kering, dan kurang
melekat (Jading et al. 2011; Koswara 2009).
Semakin tinggi kandungan amilosa semakin tidak
mudah pembentukan gel karena suhu gelatinisasi lebih
tinggi. Gelatinisasi adalah proses pembengkakan granula
pati karena adanya panas dan air, sehingga granula pati
tidak dapat kembali ke bentuk semula. Ukuran granula pati
Tabel 2. Data luas area dan produksi budidaya sagu di daerah sentra produksi.
Luas (Ha)
Provinsi
Riau
Papua
Maluku
Sulawesi Tenggara
Kalimantan Selatan
Produksi (ton/tahun)
2015
2016
2015
2016
83.691
35.260
36.723
4.572
6.579
89.611
38.548
40.147
4.963
7.511
366.032
28.298
9.683
4.759
3.836
377.914
29.834
10.209
6.278
4.405
Sumber: Ditjenbun (2017).
Tabel 3. Karakteristik fisikokimia pati sagu asal Papua.
Karakteristik
Kadar air (b/b)
Kadar abu (% bk)
Kadar lemak (% bk)
Kadar protein (% bk)
Kadar karbohidrat (% bk)
Ukuran granula (µm)
Kadar amilosa (%)
Kadar amilopektin (%)
Suhu gelatinisasi (°C)
Daya serap pati terhadap air (%)
Swelling power (pati 10%)
55°C
75°C
90°C
Kelarutan pati (°Brix)
55°C
75°C
90°C
Sumber: Jading et al. (2011).
Pati sagu basah
Pati sagu kering
42,51
0,20
0,63
0,45
56,22
5,057,5
27,45
72,45
66,073,0
11,10
13,69
0,20
0,76
0,46
84,89
7,555,0
28,84
71,16
65,071,5
51,34
2,89
30,11
40,60
3,39
35,62
42,05
0,00
0,00
0,60
0,20
0,60
0,90
71
Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.)
merupakan pati yang diambil dari ubikayu. Tapioka dapat
dimanfaatkan untuk bahan pangan maupun industri non
pangan. Sebagi bahan pangan, tapioka setelah melalui
proses modifikasi dapat digunakan sebagai food
ingredient (Herawati 2008; Herawati et al. 2010, Herawati
2012). Tapioka juga dapat digunakan sebagai bahan baku
plastik biodegradable. Selain tapioka, limbah kulit ubi
kayu dapat juga dimanfaatkan sebagai bahan baku plastik
biodegradable. Rendemen tapioka ubi kayu berkisar
antara 1525%.
Tapioka sering digunakan sebagai pengganti tepung
sagu karena sifat keduanya yang hampir sama. Tapioka
juga digunakan sebagai pengental makanan karena
memiliki sifat kental dan bening ketika dipanaskan. Sifat
kimia dan fisik tapioka dapat dilihat pada Tabel 5.
Komponen utama penyusun tapioka adalah pati
dengan kandungan amilopektin sedikit lebih tinggi
daripada amilosa. Sebagaimana dijelaskan sebelumnya,
kandungan amilosa dan amilopektin mempengaruhi
kristalinitas dan kekuatan mekanis bioplastik yang
dihasilkan. Pati dengan kandungan amilopektin tinggi
dengan penambahan plasticizer dapat meningkatkan
kekuatan mekanisnya.
berkaitan dengan suhu gelatinisasi. Pati dengan ukuran
granula kecil cenderung memiliki suhu gelatinisasi yang
tinggi karena ikatan molekulnya lebih kuat sehingga
energi yang diperlukan untuk proses lebih tinggi. (Jading
et al. 2011; Koswara 2009).
Menurut Westling et al. (1998) dan Thuwall et al.
(2006), amilosa dan amilopektin menghasilkan bioplastik
dengan karakteristik yang berbeda. Amilosa yang tinggi
cenderung membentuk kristal yang menghasilkan sifat
mekanis yang lebih kuat dibanding amilopektin yang
berbentuk amorf. Namun penambahan plastiziser dan
proses pada kelembaban tinggi meningkatkan
kristalinitas bioplastik dengan bahan baku pati beramilopektin tinggi dan meningkatkan sifat mekanisnya.
Penambahan plastisizer tidak mempengaruhi kristalinitas
pati beramilosa tinggi.
Ubi Kayu
Budi daya yang relatif mudah membuat komoditas ini
banyak diusahakan oleh petani. Menurut BPS (2016),
produksi ubi kayu nasional pada tahun 2015 mencapai
22,9 juta ton. Sentra produksi ubi kayu di Indonesia
adalah Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat,
dan Sumatera Utara. Produksi ubi kayu dalam beberapa
tahun terakhir di sentra produksi dapat dilihat pada Tabel
4.
Ubi kayu mengandung karbohidrat cukup tinggi,
berkisar antara 34,737,9%. Sebagai bahan industri ubi
kayu umumnya diproses menjadi tapioka. Tapioka
TEKNOLOGI PRODUKSI PLASTIK
BIODEGRADABLE
Pati alami yang digunakan sebagai bahan baku plastik
biodegradable memiliki stabilitas termal yang rendah dan
Tabel 4. Data produksi ubikayu di sentra produksi ubikayu.
Produksi (ton/tahun)
Provinsi
Lampung
Jawa Tengah
Jawa Timur
Jawa Barat
Sumatera Utara
2010
2011
2012
2013
2014
2015
8,637,594
3,876,242
3,667,058
2,014,402
905,571
9,193,676
3,501,458
4,032,081
2,058,785
1,091,711
8,387,351
3,848,462
4,246,028
2,131,123
1,171,520
8,329,201
4,089,635
3,601,074
2,138,532
1,518,221
8,034,016
3,977,810
3,635,454
2,250,024
1,383,346
8,038,963
3,758,552
3,458,614
2,020,214
1,495,169
Sumber: BPS (2016).
Tabel 5. Sifat kimia dan fisik tapioka.
Sifat kimia
Kadar
Sifat fisik
Kadar
Air (% bb)
Abu (% bk)
Lemak (% bk)
Protein (% bk)
Pati (% bk)
Amilosa (% bk)
1214
0,110,19
0,330,76
0,100,15
80,1683,55
30,8833,13
25,9627,60
196.43227,74
0.660.69
19.6666,73
0.910,97
10.1215,01
Amilopektin (% bk)
48,8550,42
Kristalinitas (%)
Kekerasan (g)
Kepaduan
Kelengketan (g.s)
Elastisitas
Kapasitas pembengkakan
(g/g bk)
Solubilitas (%)
Sumber: Syamsir et al. (2011).
4.8913,15
72
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76
memerlukan modifikasi kimia untuk meningkatkan sifat
mekanis. Oleh karena itu, dalam pembuatan bioplastik
dengan bahan dasar pati memerlukan tambahan
plasticizer (bahan pemlastis) untuk meningkatkan sifat
mekanis. Bahan tambahan lain yang banyak digunakan
adalah kitosan, gelatin, dan selulosa yang berfungsi
memperkuat sifat mekanis. Modifikasi pati juga dapat
dilakukan untuk mengubah sifat mekanis dari pati alami.
Jenis bahan yang berbeda akan menghasilkan plastik
biodegradable dengan karakteristik yang berbeda
(Coniwanti et al. 2014; Yuliasih dan Sunarti et al. 2014;
Radhiyatullah et al. 2015).
Plasticizer
Plasticizer berfungsi meningkatkan elastisitas polimer
plastik biodegradable. Anita et al. (2013) menyatakan
plasticizer merupakan bahan organik dengan berat
molekul rendah yang dapat menurunkan kekakuan dan
meningkatkan fleksibilitas polimer. Semakin banyak
plasticizer yang digunakan semakin meningkatkan
fleksibilitas polimer. Namun, menurut Kumoro dan
Purbasari (2014), penambahan plasticizer terlalu banyak
menyebabkan interaksi antara plasticizer dengan molekul
pati yang dapat menurunkan mobilitas molekuler. Hal
senada juga dinyatakan Saputra et al. (2015) bahwa
penambahan bahan pemlastis yang terlalu banyak akan
menyebabkan plastik biodegradable bersifat soft and
weak.
Bahan yang biasa digunakan sebagai plasticizer
adalah gliserol, gliserin, dan sorbitol. Kumoro dan
Purbasari (2014) menyatakan kelebihan gliserol sebagai
plasticizer akan memberikan fleksibilitas pada struktur
pati sehingga bisa dibentuk. Penambahan gliserol akan
meningkatkan elastisitas polimer yang dihasilkan.
Demikian juga menurut Darni dan Utami (2010), sorbitol
yang ditambahkan pada pembuatan bioplastik
meningkatkan elastisitasnya. Hidayati et al. (2015)
menyatakan penambahan plasticizer akan meningkatkan
fleksibilitas dan mengurangi kerapuhan dari
biodegradable film. Selain itu, asam laurat ada juga
digunakan sebagai plasticizer (Wafiroh et al. 2010).
Kitosan
Kitosan biasanya digunakan sebagai bahan campuran
pati dalam pembuatan plastik biodegradable dengan
tujuan meningkatkan sifat mekanik bioplastik yang
dihasilkan. Kitosan merupakan biopolimer yang
diperoleh dari limbah produk crustacea. (Lazuardi dan
Cahyaningrum 2013).
Menurut Darni dan Utami (2010), kelemahan
bioplastik berbahan baku pati tidak tahan air (hidrofilik).
Penambahan bahan yang bersifat hidrofobik seperti
selulosa, kitosan, dan protein dapat dilakukan untuk
memperbaiki kelemahan ini. Setiani et al. (2013)
menyatakan penambahan kitosan bertujuan meningkatkan sifat mekanik pati.
Proses Produksi
Ada tiga cara efektif dalam menggunakan pati sebagai
bahan dasar pembuatan plastik biodegradable. Pertama,
pati digunakan sebagai bahan pengisi plastik berbasis
minyak bumi, jumlahnya relatif sedikit, berkisar antara 6
15% dan hanya patinya yang bersifat biodegradable.
Kedua, pati dicampur dengan polimer biodegradable
seperti PLA. Jumlah pati yang digunakan mencapai 85%.
Ketiga, membuat pati termoplastik, Dengan adanya
plasticiser (air, gliserin, dan sorbitol), temperatur tinggi
(90-160°C), dan shearing dapat melelehkan pati dan
kemudian dialirkan seperti termoplastik (Sriroth et al.
2000; Mooney 2009; Cornelia et al. 2013; Coniwanti et al.
2014).
Tahapan pembuatan plastik biodegadable berbahan
dasar pati adalah mengintegrasikan teknik pencampuran,
pemanasan, dan pencetakan. Plastik biodegradable yang
dihasilkan berupa lembaran film (Coniwanti et al. 2014;
Radhiyatullah et al. 2015; Lazuardi dan Cahyaningrum
2013). Beberapa hasil penelitian pembuatan bioplastik
dengan bahan dasar pati dapat dilihat pada Tabel. 6.
Pembuatan plastik biodegradable dengan teknik
blending cukup sederhana. Namun implementasi
teknologi produksi dalam skala lebih besar belum banyak
dilaporkan. Di beberapa negara, teknologi produksi
plastik biodegradable dalam skala besar tidak hanya
menghasilkan lembaran film tapi juga dalam bentuk
lainnya.
Plastik biodegradable dengan berbagai bentuk dapat
dibuat dari pati dengan bahan tambahan. Campuran pati
alami, pati tergelatinisasi, pati termoplastis, dan pati
termodifikasi, polimer atau monomer (asam laktat, hidroksi
alkanoat) dapat ditambah dengan plasticizer, bleaching
maupun pewarna dilakukan melalui proses ekstrusi
menggunakan ekstruder pada suhu 100160°C. Hasil
ekstrusi setelah melalui proses pengeringan dan
pelleting menghasilkan pellet plastik biodegradable
(Gambar 2).
Pellet atau biji bioplastik selanjutnya dapat diproses
menjadi berbagai bentuk plastik menggunakan plastik
converter berupa film blowing untuk menghasilkan
kantung plastik. Penggunaan termoforming dan injection
moulding akan menghasilkan produk seperti keyboard
dan pesawat telepon. Blow moulding digunakan untuk
menghasilkan produk berupa botol plastik, dan
extrucsion coating menghasilkan film laminasi untuk
kemasan makanan ringan, retort pouch.
73
Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.)
Tabel. 6. Hasil-hasil penelitian dalam pembuatan plastik biodegradable dari pati.
Pemlastis
Bahan tambahan
Sumber
Pati ubikayu: kitosan
Pati sagu
Pati sagu + kitosan
Pati sorgum + kitosan
Tapioka + selulosa serat bambu
Tepung nasi aking + tapioka
Pati kulit singkong
Pati tapioka + nano serat selulosa
Gliserol
Gliserol.
Gelatin
Sorbitol
Gliserin
Ggliserol
Gliserol
Asam asetat glasial,
Asam asetat
Lazuardi dan Cahyaningrum 2013
Yuniarti et al. 2014
Pulungan et al. 2015
Darni dan Utami 2010
Susanti et al. 2015
Kumoro dan Purbasari, 2014
Anita et al. 2013
Wicaksono et al. 2013
dan/atau
dan/atau
Pati tergelatinisasi
dan/atau
Granula pati
Monomer
dan/atau
Polimer
Pati termoplastis
Crosslingking
Esterifikasi
Eterifikasi
Pati termodifikasi
Reaksi
Mixer
Blender
Extruder
Dengan/tanpa
Bahan baku
Campuran pati/polimer
Bahan tambahan
+ plasticizer
+ compatabilizer
+ bahan tambahan
lain seperti bleaching,
pewarna
Pengeringan dan pelleting
Pellet bioplastik
Plastik "Converter"
(film blowing, termoforming, injecting moulding, extruction,
coating, sheet extrucsion)
Produk
Gambar 2. Tahapan proses produksi plastik biodegradable (Sriroth 2000; Patel 2005).
Peluang dan tantangan Pengembangan
Plastik biodegradable
Plastik biodegradable, sama halnya dengan plastik
konvensional, dapat digunakan untuk berbagai
keperluan. Sifatnya yang ringan dan fleksibel dapat
dimanfaatkan untuk berbagai keperluan, tidak hanya
sebagai bahan pengemas, bergantung pada karakteristik
plastik biodegradable itu sendiri. Plastik biodegradable
dengan bahan dasar pati umumnya memiliki karakteristik
seperti plastik dengan bahan dasar Low Density Polietilen
(LDPE), High Density Polietilen (HDPE), dan Polypropilen
(PP). Sifat mekanik plastik biodegradable dari beberapa
bahan baku dibandingkan dengan LDPE, HDPE dan PP
dapat dilihat pada Tabel 7.
Jenis plastik biodegradable dapat digunakan
sebagai kantung belanja dan kantung buah dan sayur
74
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76
Tabel 7. Sifat mekanis plastik Biodegradable dari berbagai bahan baku dibandingkan dengan plastik LDPE, HDPE, dan PP.
Bahan baku
Pati ubi kayu: kitosan (2:1),
gliserol 20%.
Pati sagu, gliserol 6,1%.
Pati sagu + kitosan 2%, gelatin 1,5%.
Tapioka + serat bamboo, gliserin.
Tepung nasi aking: tapioka (30:70),
gliserol 15%.
Pati kulit ubi kayu, gliserol.
Pati tapioka + nano dan selulosa
dari ampas tapioka.
LDPE
PP
HDPE
Kuat tarik/tensile
streght (MPa)
Elastisitas (modulus
young) (MPa)
-
4,81
Lazuardi dan Cahyaningrum (2013)
3,72
9,75
0,068
20,65
960
1138
Yuniarti et al. (2014)
Pulungan et al. (2015)
Susanti et al. (2015)
Kumoro dan Purbasari (2014)
0,021
22,41
-
Anita et al. (2013)
Wicaksono et al.(2013)
12,415,2
24,7302
31,72
166
1430
800
Darni dan Utami (2010)
Darni et al. (2014)
Darni dan Utami (2010)
yang juga memiliki fungsi sekunder sebagai kantung
sampah yang bersifat compostable. Selain itu, jenis
plastik biodegradable juga dapat dibuat menjadi sarung
tangan, jas hujan, dan apron. Menurut Iflah et al. (2012),
plastik biodegradable dapat digunakan sebagai bahan
pengemas paprika, tomat, dan meningkatkan kesegaran
buah dibanding menggunakan kantong PE. Plastik
biodegradable paling banyak digunakan sebagai
pengemas (Swamy dan Singh 2010; Platt 2005).
Peluang pengembangan plastik biodegradable
masih terbuka seiring dengan semakin tingginya tuntutan
terhadap upaya pelestarian lingkungan. Bahan baku
plastik biodegradable yang berasal dari bahan nabati
juga memiliki peluang keberlanjutan dibandingkan
dengan plastik konvensional yang dihasilkan dari minyak
bumi yang semakin berkurang.
Plastik biodegradable menjadi salah satu alternatif
mengurangi dan mensubtitusi penggunaan plastik
konvensional. Bahan baku plastik biodegradable berupa
pati mudah diperoleh di Indonesia. Kelebihan bioplastik
berbahan dasar pati bersifat compostable tanpa
memerlukan ruang pengomposan bersama. Penelitian di
Indonesia sudah cukup banyak menggali potensi bahan
baku pati dalam pembuatan plastik biodegradable,
demikian juga peluang penggunaan limbah pertanian.
Namun belum banyak penelitian yang melaporkan scale
up produksi plastik biodegradable secara komersial.
Di Indonesia sudah ada industri yang memproduksi
plastik biodegradable berbasis pati ubi kayu (tapioka),
yaitu Enviplast yang memproduksi kantung plastik,
apron, dan sarung tangan. Avani Eco memproduksi
kantung plastik dan jas hujan dari pati ubi kayu. Namun
justru produk ini lebih banyak diekspor. Menurut SWA
(2014), harga plastik biodegradable lebih mahal 22,5 kali
harga plastik konvensional. Harga kantong plastik produk
Avani Eco, Rp 200300 ,- per lembar lebih mahal daripada
kantung plastik konvensional. Hal ini disebabkan antara
lain oleh kapasitas produksi yang belum optimal. Menurut
Sumber
Platt (2005), harga plastik biodegradable berbahan dasar
pati turun dengan meningkatnya efisiensi proses
produksi dan ditemukannya bahan baku dengan harga
yang lebih murah. Pada tahun 2003, rata-rata harga
bioplastik berbahan dasar pati berkisar antara 3,05,0
Euro/kg, kemudian turun menjadi 1,53,5 Euro atau ratarata 1,75 Euro/kg.
Dari sisi bahan baku, produsen bioplastik di
Indonesia memanfaatkan pati ubi kayu yang banyak
tersedia. Produk utama yang dihasilkan adalah kantung
plastik yang volume penggunaannya cukup besar. Dari
sisi teknologi, produksi plastik biodegradable dari pati
lebih sederhana dibandingkan dengan jenis plastik
biodegradable lain (misalnya PLA, perlu proses
fermentasi). Dari segi teknologi, produksi plastik
biodegradable baru dapat dikembangkan oleh industri
skala menengah dan besar.
Menurut Bastioli (2003) dalam Patel (2005), pati
bukan penentu utama harga plastik biodegradable. Biaya
utama yang menentukan adalah komponen modifikasi
pati dan proses yang masih memungkinkan untuk
diefisienkan. Pengembangan plastik biodegradable
dapat dimulai dari pengembangan teknologi proses dan
formulasi bahan baku untuk menghasilkan produk dengan
harga yang lebih bersaing. Pengkajian kelayakan ekonomi
dan sosial pengembangan bioplastik diperlukan, termasuk
kebijakan penggunaan plastik biodegradable untuk
mempercepat pengembangan industri bioplastik. Dalam
hal ini, peran berbagai pihak perlu disinergikan dalam
pengembangan plastik biodegradable.
KESIMPULAN
Plastik biodegradable ramah lingkungan telah
dikembangkan sebagai subtitusi penggunaan plastik
konvensional. Plastik biodegradable dapat diproduksi
dari bahan dasar pati yang banyak tersedia di Indonesia,
Potensi pengembangan plastik biodegradable .... (Elmi Kamsiati et al.)
di antaranya pati sagu dan pati ubi kayu. Teknologi
produksi plastik biodegradable relatif sederhana dan
produk yang dihasilkan memiliki karakteristik yang
menyerupai jenis kemasan plastik yang banyak
digunakan, seperti LPDE, HDPE, dan PP.
Penelitian untuk memproduksi plastik biodegradable
berbasis pati telah banyak dilakukan di Indonesia, namun
kebanyakan dalam skala laboratorium. Teknologi produksi
biodegradable plastik dalam skala yang lebih besar masih
perlu dikembangkan untuk menghasilkan produk yang
secara ekonomi menguntungkan.
DAFTAR PUSTAKA
Akbar., F. A. Zulisma, dan H. Harahap. 2013. Pengaruh waktu simpan
film plastik biodegradasi dari pati kulit singkong terhadap sifat
mekanikalnya. Jurnal Teknik Kimia USU. 2(2): 1115.
Anita, Z., F. Akbar, dan H. Harahap,. 2013. Pengaruh penambahan
gliserol terhadap sifat mekanik film plastik biodegradasi dari
pati kulit singkong. Jurnal Teknik Kimia USU 2(2): 3741.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Ubi Kayu Menurut
Provinsi (ton), 19932015. https://www.bps.go.id/dynamictable/
2015/09/09/880/produksi-ubi-kayu-menurut-provinsi-ton1993-2015.html [28 September 2017].
Coniwanti, P., L. Laila, dan M.R. Alfira. 2014. Pembuatan film
plastik biodegradabel dari pati jagung dengan penambahan
kitosan dan pemlastis gliserol. Jurnal Teknik Kimia 20(4): 22
30.
Cornelia, M., R. Syarief, H. Effendi, dan B. Nurtama. 2013.
Pemanfaatan pati biji durian (Durio zibethinus Murr.) dan pati
Sagu (Metroxylon sp.) dalam pembuatan bioplastik. J. Kimia
Kemasan 35(1): 2029.
Darni, Y., dan H. Utami. 2010. Studi pembuatan dan karakteristik
sifat mekanik dan hidrofobisitas bioplastik dari pati sorgum.
Jurnal Rekayasa Kimia dan Lingkungan 7(4): 8893.
Darni, Y., T.M. Sitorus, dan M. Hanif. 2014. Produksi bioplastik
dari sorgum dan selulosa secara termoplastik. Jurnal Rekayasa
Kimia dan Lingkungan 10(2): 5562.
Dijten Perkebunan. 2017. Statistik Perkebunan Indonesia 20152017: Sagu. Sekretariat Jenderal Ditjen Perkebunan Kementrian
Pertanian. http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/
file/statistik/2017/Sagu-2015-2017.pdf. [27 Juli 2017]
Fitriani, S., E. Sribudiani, dan Rahmayuni. 2010. Karakteristik mutu
pati sagu dari provinsi Riau dengan perlakuan Heat Moisture
Treatment (HMT). Sagu. 9(1): 3844.
Gironi, F and V. Piemonte. 2011. Bioplastics and Petroleum-based
Plastics: Strenghs and Weaknesses. Energy Source, Part A 33:
19491959.
Herawati, H. 2008. Peluang pengembangan alternatif produk
“modified starch” dari tapioka. Naskah disampaikan pada
Seminar Nasional Pengembangan Kacang-Kacangan dan UmbiUmbian, 7 Agustus 2008, Surakarta.
Herawati, H., I.N. Widiasa, dan Kendriyanto. 2010. Modifikasi
asam suksinat-gelombang pendek untuk produksi tapioka
suksinat. AGRITECH. 30(4): 223230.
Herawati, H. 2012. Teknologi proses produksi food ingredient dari
tapioka termodifikasi. Jurnal Litbang Pertanian. 31(2): 6876.
Hidayati, S., A.S., Zuidar, A. dan Ardiani. 2015. Aplikasi sorbitol
pada produksi biodegradable film dari nata de cassava. Reaktor
15 (3): 196204.
Iflah, T. Sutrisno, dan T.C. Sunarti. 2012. Pengaruh kemasan starchbased plastics (Bioplastik) terhadap mutu tomat dan paprika
75
selama penyimpanan dingin. Jurnal Teknologi Industri
Pertanian. 22(3): 189197.
Jading, A., E. Tethool, P. Payung, dan S. Gultom. 2011. Karakteristik
fisikokimia pati sagu hasil pengeringan secara fluidisasi
menggunakan alat pengering cross flow fluidized bed bertenaga
surya dan biomassa. Reaktor. 13(3): 155164.
Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. 2016. Menyambut
Hari Peduli Sampah 2016. http://www.menlhk.go.id/siaran-34menyambut-hari-peduli-sampah-nasional- 2016.html. [11
Februari 2016]
Koswara, S. 2009. Teknologi Modifikasi Pati. E-book Pangan.com.
http://tekpan.unimus.ac.id/wp-content/uploads/2013/07/
TEKNOLOGI-MODIFIKASI-PATI.pdf. [26 Februari 2016]
Kumoro, A.C., dan A. Purbasari. 2014. Sifat mekanik dan morfologi
plastik biodegradable dari limbah tepung nasi aking dan tepung
tapioka menggunakan gliserol sebagai plasticizer. Teknik. 35(1):
816.
Lazuardi, G.P. dan S.E. Cahyaningrum,. 2013. Pembuatan dan
karakterisasi bioplastik berbahan dasar kitosan dan pati singkong
dengan plasticizer gliserol. Unesa Journal of Chemistry. 2 (3).
Limbongan, J. 2007. Morfologi beberapa jenis sagu potensial di
Papua. Jurnal Litbang Pertanian. 26(1): 1624.
Lu, D.R., C.M. Xiao, and S.J. Xu. 2009. Starch-based completely
biodegradable polymer materials. eXPRESS.Polymer Letters.
3(6): 366–375
Mahalik, N.P., and A.N. Nambiar. 2010. Trends in food packaging
and manufacturing systems and technology. Trends in food
science & technology. 21: 117128.
Maherawati, R.B. Lestari, dan Haryadi. 2011. Karakterisasi pati
dari batang sagu Kalimantan Barat pada tahap pertumbuhan
yang berbeda. AGRITECH. 13(1): 913.
Mooney, B.P. 2009. The second green revolution? production of
plant-based biodegradable plastics. Biochem. J. 418: 219–232.
Prayoga, M., M.H.B. Djoefrie, E.Y. Purwani, dan R.K. Dewi. 2016.
Karakterisasi mi berbasis pati sagu (Metroxylon spp.) asal Sorong
Selatan (characterization of noodle based on sago starch
(Metroxylon spp.) from South Sorong district). Jurnal
Metroxylon Indonesia. 1(1): 4349.
Muhidin, S. Leomo, M.J. Arma, dan Sumarlin. 2012. Pengaruh
perbedaan karakteristik iklim terhadap produksi sagu. Jurnal
Agroteknos 2(3): 190194.
Nkwachukwu, O.I. C.H. Chima, A.O. Ikenna and L.Albert. 2013.
Focus on potential environmental issues on plastic world towards
a sustainable plastic recycling in developing countries. Intr. J of
Industrial Chemistry. 4(34): 113.
Paramawati, R., C.H. Wijaya, S.S. Achmadi, dan Suliantari. 2007.
Evaluasi ciri mekanis dan fisik bioplastik dari campuran poli
(asam laktat) dengan polisakarida. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia. 12(2): 7583.
Patel, M., F.M. Weidemann., J. Schleich, B. Husing., G. Angerer.
2005. Tehno-economic Feasibility of Large-Scale Production
of Bio-Based Polymers in Europe. European Commission.Joint
Reaearch Centre (DG JRC). Institute for Prospective
Technological Studies. p. 3749.
Pradipta, IMD., L.J. Mawarni. 2012. Pembuatan dan karakterisasi
polimer ramah lingkungan berbahan dasar Glukomanan Umbi
Porang. JURNAL SAINS DAN SENI POMITS 1(1): 16.
Platt, D.K. 2005. Biodegradable Polymers: Market Report. Smithers
Rapra Limited. UK. p. 1630.
PlasticEurope. 2017. What is Plastichttp://www.plasticseurope.org/
what-is-plastic.aspx. [ 5 Juli 2017].
Pulungan, M.H., V.S. Qushayyi, dan Wignyanto. 2015. Pembuatan
plastik biodegradable pati sagu (kajian penambahan kitosan dan
gelatin). Prosiding Seminar Agroindustri dan Lokakarya Nasional
FKPT-TPI Program Studi TIP-UTM, 2-3 September 2015.
76
Purwani, E.Y., Widaningrum, R. Thahir, and Muslich. 2006. Effect
of heat moisture treatment of sago starch on its’s noodle quality.
Indonesian Journal of Agricultural Science. 7(1): 814.
Purwani, E.Y., T. Purwadaria, and M.T. Suhartono. 2012.
Fermentation RS3 derived from sago and rice starch with
Clostridium butyricum BCC B2571 or Eubacterium rectale DSM
7629. Anaerob. 18(1): 5561.
Radhiyatullah, A., N. Indriani, dan M.H.S. Ginting. 2015. Pengaruh
berat pati dan volume plasticizer gliserol terhadap karakteristik
film bioplastik dari pati kentang. Jurnal Teknik Kimia USU.
4(3): 3539.
Saputra, A., M. Lutfi, dan E. Masruroh. 2015. Studi pembuatan dan
karakteristik sifat mekanik plastik biodegradable berbahan
dasar ubi suweg (Amorphophallus campanulatus). J. Keteknikan
Pertanian Tropis dan Biosistem. 3(1): 16.
Setiani, W., T. Sudiarti, dan L. Rahmidar. 2013. Preparasi dan
karakterisasi edible film dari poliblend pati sukun-kitosan.
Valensi. 3(2): 100109.
Song, J.H., R.J. Murphy., R. Narayan, and G.B.H. Davies. 2009.
Biodegradable and Compostable Alternatives to Conventional
Plastics. Phil. Trans. R. Soc. B (2009) 364, 2127–2139
.doi:10.1098/rstb.2008.0289.
Sriroth, K., R. Chollakup, K. Piyachomkwan, and C.G. Oates. 2000.
Biodegradable Plastics From Cassava Starch in Thailand. http:/
/ c i a t - l i b r a r y. c i a t . c g i a r. o r g / A r t i c u l o s _ C i a t / a s i a /
proceedings_workshop_00/538.pdf. [13 April 2016]
Susanti, Jasruddin, dan Subaer. 2015. Sintesis komposit bioplastic
berbahan dasar tepung tapioka dengan penguat serat bambu.
Jurnal Sains dan Pendidikan Fisika. 11(2): 179184.
SWA. 2014. Enviplast, Inovasi Kantong Ramah Lingkungan. http:/
/swa.co.id/swa/trends/marketing/enviplast-inovasi-kantongramah-lingkungan. [7 Oktober 2016].
Swamy, J.N. and B. Singh. 2010. Bioplastics and global sustainability.
Plastics Research Online. Society of Plastics Engineers.
10.1002/spepro.003219.
Syakir, M., dan E. Karmawati. 2013. Potensi tanaman sagu
(Metroxylon spp.) sebagai bahan baku bioenergi. Perspektif
12(2): 5764.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 67-76
Syamsir, E., P. Hariyadi, D. Fardias, N. Andarwulan, dan F. Kusnandar.
2011. Karakterisasi tapioka dari lima varietas ubikayu (Manihot
utilisima Crantz) asal Lampung. J Agrotek. 5(1): 93105.
Thielen, M. 2014. Bioplastics: Plants and Crops Raw Materials
Products. Fachagentur Nachwachsende Rohstoffe e.V. (FNR)
Agency for Renewable Resources. https://mediathek.fnr.de/
media/downloadable/files/samples/b/r/brosch.biokunststoffeweb-v01_1.pdf. [27 Juli 2017]
Tsou, C.H., M.C. Suen, W.H. Yao, J.T. Yeh, C.S Wu, C.Y. Tsou, S.H
Chiu, J.C. Chen, R.Y. Wang, S.M. Lin, W.S. Hung, M.D. Guzman,
C.C. Hu, and K.R. Lee. 2014. Preparation and Characterization
of Bioplastic-Based Green Renewable Composites from Tapioca
with Acetyl Tributyl Citrate as a Plasticizer. Materials 2014, 7,
5617-5632; doi:10.3390/ma7085617.
Thuwall, M., A. Boldizar, and M. Rigdahl. 2006. Extrusion processing
of high amylose potato starch materials. Carbohydrate
Polymers. 65: 441446.
Tokiwa, Y., B.P. Calabia, C.U. Ugwu, and S. Aiba. 2009.
Biodegradability of plastics. Int. J. Mol. Sci. 10: 37223742.
Wafiroh, S. T. Adiarto, dan E.T. Agustin. 2010. Pembuatan dan
karakterisasi edible film dari komposit kitosan-pati garut
(Maranta Arundinaceae L) dengan pemlastis asam laurat. J.
Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam. 13(1): 916.
Westling, A.R., M. Stading, A.M. Hermanson, and P. Gatenholm.
1998. Structure, mechanical and barrier properties of amylose
and amylopectin film. Carbohydrate Polimers 36: 217224.
Wicaksono, R., K. Syamsu, I. Yuliasih, dan M. Masir. 2013.
Karakteristik nanoserat selulosa dari ampas tapioka dan
aplikasinya sebagai penguat film tapioka. Jurnal Teknologi
Industri Pertanian 23(1): 3845.
Yuliasih, I dan T.C. Sunarti. 2014. Pati sagu termodifikasi sebagai
bahan starch-based plastics. Prosiding Seminar Kulit, Karet dan
Plastik ke-3, 29 Oktober 2014. Yogjakarta.
Yuniarti, L.I., G.S. Hutomo, dan A. Rahim. 2014. Sintesis dan
karakteriasi bioplastik berbasis pati sagu (Metroxylon sp). e-J.
Agrotekbis 2(1): 3846.
Perubahan
Jurnal
Litbang
iklim
Pertanian
dalam konteks
Vol. 36 sistem
No. 2 ....
Desember
(M. Syakir
2017:
dan
77-90
Elza Surmaini)
DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p77-90
77
PERUBAHAN IKLIM DALAM KONTEKS SISTEM PRODUKSI DAN
PENGEMBANGAN KOPI DI INDONESIA
Climate Change in the Contex of Production System and Coffee
Development in Indonesia
1
M. Syakir dan 2E. Surmaini
1
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian
Jalan Ragunan No. 29, Pasar Minggu, Jakarta Selatan 12540
Telp. (021) 7806202; (021) 7800644
E-mail: msyakir@litbang.pertanian.go.id; info@litbang.pertanian.go.id
2
Balai Penelitian Agroklimat dan Hidrologi
Jalan Tentara Pelajar no 1A, Bogor 16111
Telp. (0251) 8312760; (0251) 8312760
E-mail: elzasurmaini@gmail.com; balitklimat@litbang.pertanian.go.id
Diterima: 2 Maret 2017; Direvisi: 10 Oktober 2017; Disetujui: 27 Oktober 2017
ABSTRAK
Kopi merupakan salah satu komoditas ekspor yang berperan
strategis dalam perekonomian hampir dua juta rumah petani di
Indonesia. Potensi ekspor kopi Indonesia cukup tinggi karena cita
rasanya yang disukai, namun tren peningkatan produksi kopi
nasional hanya 1-2% per tahun. Di sisi lain, dampak perubahan
iklim juga mengancam tercapainya target peningkatan produksi.
Makalah ini merupakan tinjauan dampak perubahan iklim terhadap
produksi kopi dan strategi adaptasinya di Indonesia. Daerah
penghasil utama kopi seperti Aceh, Sumatera Utara, Sumatera
Selatan, Lampung, Bengkulu, Jawa Timur dan Sulawesi Selatan
rentan terhadap dampak perubahan iklim. Meningkatnya kejadian
iklim ekstrim seperti kekeringan akibat El Niño mengakibatkan
penurunan produksi kopi 10%. Sebaliknya, musim hujan yang
panjang akibat La Niña menurunkan produksi kopi hingga 80%.
Dampak tidak langsung perubahan iklim adalah meningkatnya
serangan hama penggerek buah kopi dan penyakit karat daun yang
menyebabkan penurunan produksi sekitar 50%. Akibat kenaikan
suhu, sentra produksi kopi diproyeksikan akan berpindah ke wilayah
dengan elevasi yang lebih tinggi. Berbagai teknologi adaptasi telah
dihasilkan, namun tingkat adaptasi petani kopi umumnya masih
rendah. Kondisi ini diperparah oleh terbatasnya akses sebagian besar
petani terhadap informasi iklim, pasar, teknologi, kredit usaha tani,
dan informasi pengelolaan risiko iklim. Untuk mengatasi masalah
tersebut, pengambil kebijakan, stakeholder, dan petani harus
mengakselerasi upaya adaptasi karena perubahan iklim telah terjadi
dan akan terus berlangsung.
Kata kunci: Kopi, perubahan iklim, produksi, adaptasi
ABSTRACT
Coffee is one of the Indonesian largest export commodities and has
a strategic role in the economy of nearly two million farmers’
livelihood. The potency of Indonesia’s coffee export is quite high
because of its preferred taste, however the trend of national coffee
production is only 1-2% per year. On the other hand, the impacts
of climate change also threaten the achievement of increased
production targets. This paper reviews the impact climate change
on coffee production and the adaptation strategies. The main
coffee producing regions in Indonesia are Aceh, North Sumatera,
South Sumatera, Lampung, Bengkulu, East Java and South
Sulawesi Provinces. Most of these regions are vulnerable to climate
change. The increasing of extreme climate events such as drought
due to El Niño causes a decline in national coffee production to
10%. On the contrary, the longer wet season due to La Niña caused
the decreased coffee production to 80%. Indirect impacts due to
rising temperatures are increased incidence of coffee borer and
leaf rust disease which can lead to a 50% decline on coffee
production. Due to rising temperatures, the projected coffee
production areas are projected to shift to higher elevations.
Numerous adaptive technologies have been intoduced, however
adaptive capacaity of farmers are still low. This condition is
exacerbated by the limited access of most farmers to climate
information, markets, technology, farming credits, and climate risk
management information. To overcome the problem, policy
makers, stakeholders and farmers have to accelerate the adaptation
practices since the climate change has occurred and will continue
to happen.
Keywords: Coffee, climate change, production, adaptation
PENDAHULUAN
K
opi merupakan salah satu komoditas ekspor negara
berkembang dengan nilai mencapai 15 milyar dolar
Amerika Serikat (AS) pada tahun 2015. Tanaman ini
tumbuh di 60-an negara tropis dan 65% produksi dunia
dihasilkan oleh empat negara penghasil utama kopi yaitu
Brazil, Vietnam, Indonesia, dan Columbia. Di antara hampir
100 spesies yang ditemukan, kopi arabika (Coffea arabica
L.) dan kopi robusta (Coffea canephora var. Robusta)
mendominasi perdagangan dunia. Kopi arabika
mendominasi 70% konsumsi kopi dan sisanya diisi oleh
78
kopi robusta (Damatta dan Ramalho 2006). Kopi arabika
tumbuh di dataran tinggi tropis dengan kualitas tinggi,
sementara kopi robusta tumbuh di dataran rendah dengan
kualitas rendah.
Di Indonesia, kopi merupakan komoditas ekspor
terbesar setelah kelapa sawit dan kelapa. Karenanya,
pengembangan kopi menjadi salah satu prioritas dalam
pembangunan pertanian. Pengembangan kopi secara
nasional berdampak positif terhadap peningkatan
perekonomian masyarakat yang melibatkan sekitar 1,96
juta rumah tangga (RT) petani (BPS 2017). Menurut data
Ditjenbun (2016), produksi nasional kopi pada tahun 2015
adalah 639.412 ribu ton. Kementerian Pertanian
menargetkan produksi kopi pada tahun 2019 sebesar 0,79
juta ton. Namun, dalam periode 19702015 produksi kopi
tidak mengalami kenaikan yang cukup signifikan, hanya
12% per tahun (Kementan 2015).
Pencapaian target produksi kopi harus didukung oleh
berbagai faktor pendukung seperti peningkatan luas areal
tanam, penggunaan bibit/benih varietas unggul,
penerapan teknologi budi daya yang tepat, intervensi
pemerintah melalui kegiatan rehabilitasi, dan
pemberdayaan petani. Di lain sisi, salah satu kendala
dalam peningkatan produksi kopi dewasa ini adalah
perubahan iklim. Berbagai penelitian menunjukkan
produksi pertanian dipengaruhi oleh perubahan iklim
(Brown dan Funk 2008; Lobell et al. 2008; Vermeulen et al.
2012). Hal ini antara lain ditandai oleh tingginya frekuensi
kejadian iklim ekstrim dan suhu meningkat melebihi
kondisi optimum bagi pertumbuhan tanaman (Hannah et
al. 2013). Perubahan iklim itu sendiri ditandai antara lain
oleh kenaikan suhu, keragaman curah hujan, dan
meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Kondisi ini
menyebabkan penurunan produktivitas tanaman di
daerah dengan suhu yang lebih tinggi karena cekaman
panas, erosi tanah karena curah hujan tinggi, dan
degradasi lahan akibat meningkatnya intensitas dan
durasi kekeringan (Solomon et al. 2007).
Dalam laporan penilaian ke-5 (Fifth Assessment
Report, AR5) Intergovernmental Panel on Climate
Change-IPCC (2014) dinyatakan pada akhir abad ke-21
diproyeksikan kenaikan suhu udara akan melampaui 2oC
jika tidak dilakukan upaya mitigasi atau dengan skenario
business as usual. Walaupun dilakukan upaya mitigasi
secara agresif tetap akan terjadi kenaikan suhu 1,5 oC.
Konsekuensi kenaikan suhu adalah pola hujan tidak
teratur, meningkatnya kejadian iklim ekstrim seperti
kemarau panjang yang menyebabkan kekeringan, curah
hujan tinggi dalam periode cukup lama yang
menyebabkan banjir, angin kencang, naiknya permukaan
air laut, dan berkurangnya sumber air permukaan dan air
tanah.
Perubahan iklim berdampak terhadap berbagai aspek
kehidupan, termasuk di sektor pertanian yang merupakan
sumber perekonomian sebagian besar masyarakat di
perdesaan. Hasil simulasi tanaman berdasarkan skenario
proyeksi iklim menyimpulkan dampak perubahan iklm
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
akan lebih parah di daerah tropis yang umumnya banyak
terjadi krisis pangan (Cerri et al. 2007). Peningkatan
frekuensi iklim ekstrim memicu peningkatan cekaman
abiotik dan biotik pada tanaman.
Kajian dampak perubahan iklim pada tanaman pangan
sudah banyak dilakukan oleh para ahli, namun pada
tanaman perkebunan masih terbatas. Tulisan ini
merupakan hasil telaah pustaka tentang dampak
perubahan iklim terhadap pertumbuhan dan produksi
kopi, proyeksi pergeseran sentra produksi kopi di
Indonesia, dan strategi pengelolaan tanaman kopi dalam
menghadapi perubahan iklim.
PENYEBARAN TANAMAN KOPI
Jenis kopi yang mendominasi di pasar dunia adalah kopi
arabika dan kopi robusta. Dua jenis kopi lain adalah kopi
liberika (Coffea liberica) dan kopi ekselsa (Coffea
excelsa) dengan produksi hanya 12% dari produksi kopi
dunia. Semua spesies kopi berasal dari benua Afrika. Kopi
arabika berasal dari dataran tinggi (1.3002.000 mdpl)
Etiopia, Sudan, dan Kenya. Kopi robusta berasal dari
Afrika tropis pada ketinggian kurang dari 1.000 mdpl.
Kopi liberika dan kopi ekselsa berasal dari dataran rendah
di bagian barat dan tengah Afrika. Kopi arabika
dibudidayakan oleh lebih dari 80% negara produsen kopi
dan terluas di Amerika. Di Asia, kopi spesies ini hampir
punah, antara lain disebabkan oleh penularan penyakit
karat daun (Hemileia vastatrix), dan saat ini hanya
terdapat di dataran tinggi India, Filipina, dan bagian
tenggara Indonesia. Daerah penghasil kopi (coffee belt)
dewasa ini tersebar di sepanjang daerah ekuator dan
perkebunan kopi tersebar di 25 negara, antara lain
Meksiko, Brazil, Nikaragua, Costa Rica, Vietnam, dan
Indonesia. Brazil merupakan negara produsen kopi utama
dunia (Gambar 1).
Kopi arabika tumbuh dan berproduksi dengan baik di
dataran tinggi tropis. Pertumbuhan, produktivitas, dan
kualitas kopi arabika dipengaruhi oleh ketinggian tempat,
panjang periode gelap dan terang (fotoperiodisme),
distribusi hujan, dan suhu udara (Sihaloho 2009). Tempat
yang sesuai bagi pertumbuhan kopi arabika berkisar
antara 1.0001.700 mdpl. Pada lokasi dengan ketinggian
<1.000 mdpl, tanaman kopi arabika mudah terjangkit
penyakit karat daun, sedangkan pada ketinggian tempat
>1.700 mdpl produksinya tidak optimal karena pertumbuhan vegetatif lebih cepat dari generatif.
Suhu udara yang optimum untuk pertumbuhan kopi
arabika berkisar antara 1823°C dengan curah hujan 1.6002.000 mm/tahun dengan bulan kering 3-4 bulan (Sylvain
1955). Beberapa kultivar dengan pengelolaan yang
intensif dapat dikembangkan pada lahan marginal dengan
suhu tahunan rata-rata 2425°C seperti di bagian utara
dan timur laut Brazil. Pada wilayah dengan suhu rata-rata
tahunan di bawah 18°C tidak direkomendasikan
pengembangan kopi karena kendala embun beku yang
79
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
Meksiko
China
Nikaragua
India
Ethiopia
Nigeria
Kenya
Brazil
Peru
Indonesia
Madagaskar
Angola
Robusta
Campuran
Arabika
Gambar 1. Negara penghasil kopi di dunia (Sumber: Bunn 2015).
menyebabkan rendahnya produksi (Damatta dan Ramalho
2006).
Kopi robusta berasal dari hutan hujan tropis dataran
rendah di daerah aliran sungai Kongo sampai Danau
Victoria, Uganda. Suhu udara rata rata di daerah tersebut
berkisar antara 2326°C dengan curah hujan 2.000 mm
yang terdistribusi dalam 9-10 bulan. Suhu yang tinggi dan
udara yang kering dapat merusak tanaman kopi (Coste
1992). Kopi robusta dapat tumbuh pada ketinggian 0800
mdpl. Di luar daerah asalnya, kopi robusta dapat tumbuh
baik pada daerah dengan suhu tahunan rata-rata 2226°C.
Menurut Djaenudin et al. (2003), kondisi optimal untuk
pertumbuhan kopi robusta adalah pada daerah dengan
kisaran suhu 2225oC, curah hujan 2.0003.000 mm/
tahun, dan 23 bulan kering. Kopi robusta banyak
dibubidayakan di Kongo, Brazil, Angola, Madagaskar,
Pantai Gading, Vietnam, Indonesia, dan Uganda.
Setiap provinsi di Indonesia mempunyai perkebunan
kopi, terutama milik rakyat, sebagian besar terletak pada 010oLS, antara lain di Provinsi Sumatera Selatan, Lampung,
Bali, Jawa Barat, Jawa Timur, Sulawesi Selatan, dan
sebagian kecil terletak pada 050oLU, seperti di Provinsi
Aceh dan Sumatera Utara. Sentra produksi kopi robusta di
Indonesia terdapat di Sumatera Selatan dan Lampung,
sedangkan kopi arabika di dataran tinggi Sulawesi
Selatan, Sumatera Utara, Aceh, dan beberapa daerah di
Jawa (Gambar 2).
Lahan yang subur di Indonesia sesuai bagi
pengembangan tanaman kopi. Namun saat ini luas areal
pertanaman kopi arabika sangat terbatas dan produksinya
rendah. Di lain pihak, permintaan akan kopi arabika
Indonesia meningkat dari waktu ke waktu karena
mempunyai citarasa dan aroma yang unik dengan harga
yang lebih tinggi daripada jenis kopi lainnya. Sayangnya,
perubahan iklim menjadi kendala bagi 1,5 juta petani
Indonesia dalam meningkatkan produksi dan kualitas kopi.
Kualitas kopi ditentukan oleh citarasa dan aroma.
Citarasa kopi dipengaruhi oleh varietas, agroekologi,
waktu panen, metode pemetikan, pengolahan, penyim-
panan (Siswoputranto 1993; Soonthornkamol 2004; Salla
2009), dan pengolahan (Avallone et al. 2002; Jackels dan
Jackels 2005). Kopi dengan citarasa yang tinggi dihasilkan melalui proses fermentasi. Di Indonesia, sebagian
besar kopi arabika diolah secara fermentasi. Kopi robusta
umumnya tidak mendapat perlakuan fermentasi, terutama
yang berasal dari perkebunan rakyat (Puslitkoka 2008).
Pada proses fermentasi terbentuk senyawa prekursor
citarasa yang lengkap. Senyawa prekursor yang sudah
ada secara alami pada biji kopi adalah trigonelin, asam
klorogenik, lipid, dan peptida (Buffo dan Fraire 2004;
Janzen 2012; Wang 2012). Senyawa prekursor lainnya
yaitu gula reduksi, asam amino, dan asam organik yang
terbentuk pada proses fermentasi (Suslick et al. 2010;
Yenetzian et al. 2012; Wang 2012).
STATISTIK KOPI INDONESIA
Luas areal perkebunan kopi di Indonesia pada periode
1980-2014 cenderung meningkat dan pada tahun 2014
tercatat 1,23 juta ha dengan laju pertumbuhan 1,61% per
tahun. Pada tahun 1980 areal perkebunan kopi hanya 0,71
juta ha, terluas terdapat di Sumatera Selatan (249 ribu ha),
Lampung (155 ribu ha), Aceh (120 ribu ha), Jawa Timur
(102 ribu ha), dan Bengkulu (91 ribu ha) (Ditjenbun 2015).
Produksi kopi Indonesia pada tahun 2015 tercatat 6,39
juta ton, 1,23 juta ha di antaranya berasal dari perkebunan
rakyat dan sisanya dari perkebunan besar milik swasta
(PBS) dan milik negara (PBN). Kopi robusta mendominasi
produksi kopi Indonesia, mencapai 75,4% dan sisanya
24,6% adalah kopi arabika. Daerah penghasil kopi robusta
di Indonesia terutama Sumatera Selatan, Lampung,
Bengkulu, Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Produksi tertinggi kopi arabika terdapat di Sumatera Utara,
Aceh, Sulawesi Selatan, Sumatera Barat, dan Jawa Timur.
Walaupun luas areal perkebunan kopi di Aceh lebih
rendah, produksinya lebih tinggi dari beberapa provinsi
lainnya (Gambar 3).
80
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
Gambar 2. Penyebaran perkebunan kopi di Indonesia (Sumber: Ditjenbun 2015, data diolah).
Indonesia tercatat sebagai produsen kopi terbesar
ketiga di dunia setelah Brazil dan Vietnam (FAO 2013).
Meskipun demikian, ekspor kopi Indonesia diperkirakan
tidak lebih banyak dari Brazil, Vietnam, dan Kolombia.
Indonesia dikenal sebagai penghasil specialty coffee
melalui berbagai varian kopi. Kopi arabika yang dikenal
dari Indonesia di antaranya kopi lintong, kopi toraja, dan
kopi luwak. Ditinjau dari citarasa dan aromanya, kopi asal
Indonesia berpeluang menguasai pasar kopi dunia.
Volume ekspor kopi Indonesia pada tahun 1980-2015
fluktuatif, namun cenderung meningkat dengan laju
pertumbuhan rata-rata 4,39% per tahun. Jika pada tahun
1980 volume ekspor kopi Indonesia 238.677 ton dengan
nilai ekspor 656 juta dolar AS, pada tahun 2015 meningkat
menjadi 502.021 ton dengan nilai 1.198 juta dolar AS. Kopi
Indonesia sebagian besar di ekspor ke Amerika, Jerman,
Italia, Jepang, dan Malaysia.
DAMPAK PERUBAHAN IKLIM PADA
TANAMAN KOPI
Sejak tahun 1850, suhu udara global meningkat rata-rata
1oC. Pada tahun 2100 mendatang, suhu diproyeksikan
akan meningkat 2,64,8°C apabila tidak dilakukan upaya
mitigasi yang agresif (IPCC 2014). Peningkatan suhu
mempunyai konsekuensi yang kompleks pada
pengembangan kopi karena 8090% dari 25 juta petani
kopi di dunia merupakan petani kecil, yang rentan
terhadap dampak perubahan iklim. Pada saat suhu global
meningkat, pasar kopi dunia akan mengalami ketidakpastian sehingga menjadi masalah bagi produsen dan
konsumen kopi (International Coffee Organization 2014).
Dampak lain dari perubahan iklim adalah meningkatnya kejadian iklim ekstrim. Indonesia, yang oleh para
pakar iklim disebut sebagai benua maritim, dipengaruhi
81
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
Kopi Robusta
Kopi Arabika
Luas Areal (ha)
Luas Areal (ha)
Gambar 3. Luas areal dan produksi kopi robusta dan arabika pada 10 provinsi di Indonesia tahun 2015 (Sumber: Ditjenbun 2016).
oleh berbagai sirkulasi iklim seperti El Niño Southern
Oscillation (ENSO), Indian Ocean Dipole (IOD),
Madden Julian Oscillation (MJO), dan beberapa osilasi
lainnya. Pada saat terjadi anomali iklim akibat dua atau
lebih sirkulasi tersebut secara bersamaan berdampak
terhadap kejadian iklim ekstrim seperti kekeringan,
banjir, dan angin kencang. IPCC (2013) dalam Assessment
Report 5 memproyeksikan kawasan yang dipengaruhi
oleh monsun seperti Indonesia, awal musim akan lebih
cepat dan akhir musim lebih lambat sehingga musim
berlangsung lebih panjang. Selanjutnya dinyatakan
bahwa pengaruh ENSO terhadap curah hujan akan
semakin menguat.
Perubahan iklim dapat berpengaruh baik langsung
maupun tidak langsung terhadap tanaman kopi.
Perubahan iklim secara langsung mempengaruhi
pertumbuhan dan produksi kopi, dan secara tidak
langsung mendorong berkembangnya hama dan penyakit
tanaman kopi (Tabel 1).
Pertumbuhan dan Produksi Kopi
Perubahan iklim di daerah tropis menyebabkan kerusakan
tanaman, penurunan produksi, erosi tanah, dan
kegagalan pengolahan tanah karena kejadian hujan lebat
dan degradasi lahan akibat longsor dan kekeringan
(Solomon et al. 2007). Hasil simulasi tanaman
menggunakan skenario proyeksi iklim berbasis Global
Circulation Model (GCM) menyimpulkan penurunan
produksi pertanian akan lebih parah di daerah tropis
(Cerri et al. 2007). Perubahan iklim menyebabkan kenaikan
suhu yang akan menurunkan laju pertumbuhan,
pembungaan, dan pembuahan tanaman kopi (Villers et al.
2009). Petani kopi di Nikaragua melaporkan perubahan
pola hujan dalam 20 tahun terakhir berdampak terhadap
ketidakteraturan pembungaan, tidak sempurnanya
pematangan buah, dan sering terjadi gugur buah (Jaramillo
et al. 2009).
Salah satu fenomena anomali iklim yang
mempengaruhi produksi kopi adalah El Nino Southern
Oscillation (ENSO). Pengaruh ENSO lebih kuat di daerah
tropis yang juga merupakan kawasan penghasil kopi
(coffee belt) dunia. Fase hangat ENSO, yang dikenal
sebagai El Niño menyebabkan musim kemarau lebih
panjang 24 bulan dari kondisi normal. Tanaman kopi
hanya memerlukan bulan kering 23 bulan, sehingga bulan
kering yang lebih panjang akibat El Niño menyebabkan
menurunnya produksi kopi. Menurut Sumirat (2008),
kekeringan lebih dari tiga bulan berturut-turut
menyebabkan daun dan ranting mengering dan banyak biji
yang kosong. Data FAO menunjukkan kejadian El Niño
yang kuat pada tahun 1972/73, 1982/83, dan 1997/98
menurunkan produksi kopi di hampir semua negara
produsen utama kopi dunia (Tabel 2).
Perubahan iklim berdampak terhadap penurunan
kualitas dan produksi kopi (Baker dan Haggar 2007).
Peningkatan suhu mempengaruhi metabolisme tanaman
seperti pembungaan, fotosintesis, dan respirasi yang
berdampak terhadap penurunan produksi kopi. Menurut
Franco (1958), suhu udara di atas 23°C menyebabkan
pembentukan dan pematangan buah lebih cepat sehingga
kualitas kopi menurun. Suhu udara 30°C dapat
menyebabkan pertumbuhan tanaman tidak normal seperti
daun menguning. Suhu udara yang tinggi selama fase
pembungaan menyebabkan gugur bunga.
Selain bulan kering (CH<100 mm/bulan) yang
panjang, bulan basah (>100 mm/bulan) yang terjadi
sepanjang tahun juga menurunkan proses persarian
bunga kopi hingga 95%, sehingga populasi tanaman yang
produktif lebih rendah. Bulan basah yang panjang sering
terjadi pada kejadian iklim La Niña menyebabkan
82
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
Tabel 1. Pengaruh langsung dan tidak langsung perubahan iklim terhadap tanaman kopi.
Gangguan iklim
Dampak langsung
Dampak tidak langsung
Suhu tinggi
> 23°C: pematangan buah lebih cepat yang
mengakibatkan penurunan kualitas buah
> 25°C: penurunan laju fotosintesis> 30°C:
pertumbuhan daun, batang, dan bunga tidak
normal yang menyebabkan gugur buah dan daun.
Meningkatnya serangan hama dan penyakit
Hujan lebat, hujan es, angin
Kerusakan pohon, gugur buah menjelang panen
Tingginya pencucian hara yang menyebabkan
kerusakan tanah miskin hara.
Erosi tanah dan longsor yang menyebabkan
kerusakan infrastruktur yang akan akan
meningkatkan biaya.
Hujan di luar musim
Frekuensi pembungaan yang lebih tinggi
Meningkatnya serangan penyakit
Mengganggu pengeringan hasil panen
Musim hujan panjang
Mengurangi pembungaan dan buah karena
laju fotosintesis yang rendah akibat penutupan
awan yang tinggi
Meningkatnya penyakit karena jamur dan
hama serangga seperti penggerek buah kopi
Musim kemarau panjang
Meningkatkan kematian tanaman muda
Tanaman yang mengalami cekaman lebih
rentan terhadap hama tertentu
(Sumber: UNDP 2005).
Tabel 2. Penurunan produksi kopi pada tahun El Niño kuat di beberapa negara penghasil kopi.
Penurunan produksi kopi (%) pada tahun El Niño
Negara
1972/1973
Brazil
Columbia
Costa Rica
India
Indonesia*
Venezuela
Kenya
22,6
7,7
11,8
37,5
8,6
30,8
-
1982/1982
35,3
1,4
10,7
2,6
13,0
Rata-rata
1997/1998
10,0
4,0
14,0
14,5
6,7
14,0
30,0
22,6
4,4
4,7
17,3
8,7
15,8
14,3
Sumber: FAOSTAT data diolah, *DITJENBUN (2015), - tidak terjadi penurunan produksi (http://
www.fao.org/faostat/).
penurunan produksi kopi di Kebun Percobaan Sumber
Asin, Malang, hingga 98% (Nur 2000). Bulan basah yang
terjadi sepanjang tahun La Nina 1996 menurunkan
produksi kopi di KP Jollong, Pati, sebesar 48% (Supriadi
2014).
Kualitas kopi sangat sensitif terhadap suhu dan
curah hujan. Peningkatan suhu dan penurunan curah
hujan yang diproyeksikan terjadi di selatan wilayah
khatulistiwa berdampak terhadap penurunan produksi
kopi. Sebagai contoh, produktivitas kopi yang hanya 150
kg/ha di Sulawesi antara lain disebabkan oleh kurangnya
periode kering (Marsh dan Neilson 2007; Neilson et al.
2013). Periode kering yang cukup (23 bulan) diperlukan
untuk mendorong pertumbuhan bunga, sedangkan curah
hujan yang tinggi menyebabkan gugurnya buah. Sentra
produksi kopi yang diproyeksikan mengalami kenaikan
suhu dan peningkatan curah hujan disarankan mengganti
tanaman kopi dengan komoditas yang toleran perubahan
iklim.
Assamha (2017) menggunakan skenario Representative Concentration Pathway (RCP) 8,5 untuk
memproyeksikan produktivitas kopi di Tana Toraja,
Sulawesi Selatan. RCP 8,5 merupakan skenario business as
usual dengan asumsi pertumbuhan populasi dan emisi
terus meningkat namun minim upaya menekan laju
penumpukan GRK di atmosfer, sehingga suhu rata-rata
dapat meningkat melampaui 2 oC. Hasil kajian
menyimpulkan produkstivitas kopi arabika dan robusta
pada tahun 2050 akan menurun masing-masing 20% dan
40%.
Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit tanaman merupakan masalah penting
yang dihadapi dalam usaha tani kopi. Hama dan
penyakit utama tanaman kopi adalah penggerek buah
(Hypothenemus hampei) dan penyakit karat daun yang
83
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
disebabkan oleh jamur H. vastatrix. Serangan hama
penggerak buah kopi menurunkan produksi sampai 50%
(Samosir et al. 2013). Penyakit karat daun cukup sulit
dikendalikan karena berkembang pada daun tanaman
yang hidup. Kopi merupakan tanaman tahunan yang
membentuk daun sepanjang tahun sehingga siklus infeksi
terus berlangsung dari waktu ke waktu (Deepak et al. 2012).
Kajian dampak perubahan iklim terhadap perkembangan hama dan penyakit tanaman kopi di Indonesia
masih terbatas. Namun kajian di negara sentra produksi
tropis lainnya dapat dijadikan acuan. Hasil kajian Ghini et
al. (2011) menunjukkan peningkatan kejadian iklim ekstrim
sebagai salah satu dampak perubahan iklim meningkatkan
perkembangan hama dan penyakit tanaman perkebunan
dengan tingkat kehilangan produksi global 10%, terutama
di negara tropis (Agrios 2005).
Menurut Magina et al. (2011), ledakan hama dan
penyakit tanaman disebabkan oleh peningkatan suhu
udara. Hama utama yang menyerang tanaman kopi adalah
penggerek buah (H. hampei) (Jaramillo et al. 2011). Dalam
kondisi peningkatan suhu sangat kecil pun sulit
mempertahankan produktivitas kopi (Gay et al. 2006).
Jaramillo et al. (2009) memprediksi perkembangan hama
penggerek buah kopi pada setiap peningkatan suhu 1oC
melahirkan generasi yang lebih banyak sehingga
memperluas jangkauan penyebarannya. Hama ini
terutama menyerang kopi arabika dengan tingkat kerugian
yang lebih besar, apalagi pada tanaman kopi berkualitas
tinggi seperti specialty coffee (Schroth et al. 2009).
Peningkatan suhu juga menyebabkan kondisi yang
sesuai bagi perkembangan organisme penggannggu
Suhu historis dengan
pengendalian hama
Frekuensi
Suhu historis tanpa
pengendalian hama
tanaman (OPT) di dataran tinggi (Alves et al. 2011;
Koebler 2013). Berbagai kajian umumnya menggunakan
pendekatan modeling untuk mengetahui distribusi OPT di
bawah skenario iklim, hanya sedikit yang menggunakan
pendekatan lapang (Ghini et al. 2008a; 2008b). Salah satu
model yang dikembangkan adalah proyeksi serangan
penyakit karat daun terhadap penurunan hasil kopi di
beberapa sentra produksi seperti Kostarika, Peru, India,
dan Ethiopia. Georgiou et al. (2014) menganalisis
hubungan antara perubahan suhu bulanan dengan
periode inkubasi jamur karat daun (H. vastatrix)
menggunakan model nonlinear. Model ini mengasumsi
faktor yang mempengaruhi perkembangan penyakit
karat daun adalah suhu dan kesehatan tanaman inang.
Skenario yang digunakan adalah kejadian suhu historis
dengan kenaikan suhu 2 oC tanpa pengendalian.
Kerusakan parah tanaman dihitung jika 1/3 daun kopi
terinfeksi jamur karat daun. Luas wilayah yang diamati
berukuran grid 30 x 30, sehingga terdapat 900 wilayah.
Berdasarkan kejadian historis, dari 900 wilayah yang
diamati terdapat 490 kejadian atau 54% areal pertanaman
terkena infeksi berat. Dengan pengendalian terdapat
sekitar 1.900 kejadian tanpa serangan sedangkan tanpa
pengendalian hanya terdapat 470 kejadian tanpa
serangan. Peningkatan suhu di atas normal (2 oC)
meningkatkan kemampuan jamur untuk berkembang biak.
Dalam kondisi kenaikan suhu 2oC, tanpa pengendalian
hanya terdapat 60 kejadian tanpa serangan, sedangkan
dengan pengendalian meningkat menjadi 1.150 kejadian
tanpa serangan (Gambar 4).
Kenaikan suhu 2oC dengan
pengendalian hama
Frekuensi
Kenaikan suhu 2oC tanpa
pengendalian hama
Jumlah serangan
Jumlah serangan
Gambar 4. Distribusi serangan penyakit karat daun pada tanaman kopi akibat kenaikan
suhu udara (Sumber: Sachs et al. 2015).
84
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
PROYEKSI PERGESERAN KESESUAIAN
IKLIM TANAMAN KOPI
Kesesuaian Iklim
Pengembangan komoditas tertentu pada suatu daerah
harus mempertimbangkan kesesuaian iklim karena
berkaitan dengan fotosintesis tanaman yang menentukan
pertumbuhan dan produktivitas. Kesesuaian iklim
merupakan bagian dari kesesuaian lahan. Djaenudin et al.
(2003) menjelaskan kesesuaian lahan adalah tingkat
kecocokan sebidang lahan untuk penggunaan tertentu.
Kesesuaian lahan dinilai berdasarkan biofisik tanah atau
sumber daya lahan yang salah satunya adalah iklim,
sebelum lahan diberikan masukan yang diperlukan untuk
mengatasi kendala. S adalah lahan yang dapat digunakan
secara berkelanjutan untuk suatu tujuan yang telah
dipertimbangkan. N adalah lahan yang apabila dikelola
menghadapi kesulitan sehingga pencegahan penggunaannya untuk tujuan tertentu telah direncanakan.
Tingkat kesesuaian lahan yang ditandai dengan
simbol S dapat dibagi lagi menjadi beberapa kelas, yaitu
S1, S2, dan S3. S1 (sangat sesuai) adalah kelas lahan
yang tidak mempunyai faktor pembatas serius dalam
pengelolaan atau hanya mempunyai faktor pembatas
yang tidak berarti dan secara tidak sengaja berpengaruh
terhadap produktivitas. S2 (cukup sesuai) adalah kelas
lahan yang mempunyai faktor pembatas agak berat dalam
penggunaannya. S3 (sesuai marginal) adalah kelas lahan
yang mempunyai pembatas sangat berat untuk
penggunaan berkelanjutan. Kesesuaian iklim bagi
tanaman kopi arabika dan robusta dapat dilihat masingmasing pada Tabel 3 dan 4.
Proyeksi Pergeseran Sentra Produksi
IPCC (2014) telah melaporkan dampak peningkatan suhu
udara global terhadap produksi kopi di beberapa negara
seperti Amerika dan Afrika. Beberapa dekade mendatang
diproyeksikan akan terjadi peningkatan suhu yang
menyebabkan kondisi iklim tidak optimal bagi
pertumbuhan kopi di sentra produksi. Daerah yang sesuai
bagi tanaman kopi akan bergerak ke wilayah dengan
elevasi lebih tinggi (Sachs et al. 2015). Dalam kondisi
demikian, negara penghasil kopi saat ini akan kehilangan
sentra produksi seperti Nikaragua, Meksiko, dan
Tanzania. Selanjutnya dinyatakan dampaknya akan lebih
besar pada dataran rendah. Daerah pada ketinggian
kurang dari 500 mdpl akan mengalami penurunan potensi
produksi yang tinggi. Sebaliknya, daerah pada ketinggian
lebih dari 700 mdpl berpotensi menjadi sentra produksi
baru, antara lain dataran tinggi di Afrika Tmur, Indonesia,
Papua Nugini, dan Andes.
Tabel 3. Tingkat kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika.
Tingkat kesesuaian iklim
Suhu udara (oC)
Curah hujan (mm)
S1
S2
S3
N
Suhu rata-rata
1622
Suhu maksimum
Suhu minimum
2528
1519
1516
2224
2830
1921
1415
2426
3032
2123
<14
>26
>32
>23
1.0001.200
18002.000
> 45
8001.000
2.000-3.000
> 56
< 800
>3.000
>6
S1
S2
S3
N
2225
2528
2729
1820
2.0003.000
2427
1618
1.7502.000
3.0003.500
1922
2832
2224
14-16
1.500-1.750
3.500-4.000
<19
>32
>22
<14
<1.500
>4.000
23
>35
>5-6
>6
Tahunan
Panjang bulan kering
(CH<100 mm/bulan)
1.2001.800
1-4
Sumber: Wintgens (2012)
Tabel 4. Tingkat kesesuaian iklim bagi tanaman kopi robusta.
Tingkat kesesuaian iklim
Suhu udara (oC)
Suhu rata-rata
Curah hujan (mm)
Suhu maksimum
Suhu minimum
Tahunan
Panjang bulan kering
(CH<100 mm/bulan)
(Sumber: Wintgens 2012).
85
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
Berbagai kajian kesesuaian iklim untuk tanaman kopi
pada saat ini dan masa mendatang telah dilakukan di
beberapa negara penghasil kopi dunia seperti Nikaragua
dan Meksiko (Laderach et al. 2009), Kenya (CIAT 2010),
Ethiopia (Davis et al. 2012), Haiti (Eitzinger 2013), Rwanda
(Nzeyimana et al. 2014), Indonesia (Schroth et al. 2015),
dan secara global (Bunn et al. 2015; Ovelle-Riviera et al.
2015). Kajian tersebut menunjukkan luas areal perkebunan
kopi yang ada saat ini akan berkurang pada tahun 2050.
Beberapa negara diproyeksikan tidak sesuai lagi untuk
pengembangan kopi, seperti Ghana dan Nigeria.
Sebaliknya, terdapat beberapa negara yang potensial bagi
pengembangan kopi, misalnya Florida dan Afrika Selatan.
Di Kolombia, Amerika Tengah, Brazil, dan Indonesia,
wilayah yang sesuai bagi pengembagan kopi bergesar ke
daerah dengan elevasi lebih tinggi. Sentra produksi kopi
arabika yang saat ini terdapat di Uganda dan Tanzania
akan bergeser ke Kenya dan Kongo dalam beberapa tahun
mendatang (Sach et al. 2015).
Di Brazil akan terjadi penurunan luas lahan yang
sesuai untuk tanaman kopi, seperti di negara bagian
Parana 10%. Minas Gerais dan Sao Paulo 50%, sedangkan
di negara bagian Goias tidak ada lagi lahan yang sesuai
(Schroth et al. 2009; Tucker et al. 2010). Sementara itu,
areal baru yang sesuai untuk tanaman kopi terdapat di
Santa Catarina dan Rio Grande do Sul. Namun luas areak
di kedua daerah tersebut tidak mencukupi untuk
menggantikan lahan yang tidak lagi sesuai di wilayah
lainnya. Di beberapa negara bagian di Amerika Latin
diproyeksi terjadi penurunan kualitas dan produksi kopi
karena suhu lebih tinggi, penurunan curah hujan dan
perubahan pola hujan yang berdampak terhadap
peningkatkan risiko kejadian iklim ekstrim.
Sebagai negara kepulauan dan memiliki topografi
pegunungan, Indonesia mempunyai wilayah dengan
ketinggian di atas 1.000 mdpl yang cukup luas dan cocok
untuk pengembangan kopi arabika. Di Aceh, Sumatera
Utara, Sulawesi Selatan, Jawa Timur, Bali, dan Flores saat
ini terdapat 96 ribu ha areal perkebunan kopi arabika
(Ditjenbun 2015). Berdasarkan hasil kajian Schroth et al.
(2015), di daerah tersebut terdapat 360 ribu ha lahan yang
sesuai untuk pengembangan kopi dan terluas di Sumatera
Utara. Di luar lahan yang diusahakan saat ini, terdapat 324
ribu ha yang belum digunakan untuk budi daya tanaman
kopi (Tabel 5).
Schroth et al. (2015) juga memproyeksikan pergeseran
kesesuaian lahan untuk tanaman kopi arabika pada tahun
2050 menggunakan skenario SRESA2 dengan asumsi
tidak ada upaya mitigasi untuk menurun emisi gas rumah
kaca (business as usual). Berdasarkan rata-rata 19 model
GCM, pada tahun 2050 diproyeksi terjadi kenaikan suhu
1,7oC. Curah hujan diproyeksi lebih tinggi 514% di
bagian utara (Sumatera dan Sulawesi). Sebaliknya, curah
hujan di bagian selatan (Bali, Jawa, dan Flores) menurun.
Peningkatan suhu menyebabkan lahan yang sesuai
untuk tanaman kopi arabika saat ini akan bergeser ke
daerah yang lebih tinggi. Artinya, luas areal yang sesuai
akan menurun drastis dari 360 ribu ha menjadi hanya 57
ribu ha pada tahun 2050. Sumatera Utara dan Aceh akan
kehilangan hampir 90% lahan yang sesuai pada saat ini,
begitu pula di Bali dan Sulawesi Selatan. Di Flores tidak
ada lagi lahan yang sesuai untuk tanaman kopi arabika.
Luas areal yang sesuai di luar sentra produksi saat ini
menurun dari 324 ribu ha menjadi 183 ribu ha pada tahun
2050. Peta kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika saat
ini dan tahun 2050 di Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan
disajikan pada Gambar 5.
Kajian proyeksi kesesuaian iklim untuk tanaman kopi
arabika dan robusta di Tana Toraja, Sulawesi Selatan,
mengindikasikan areal yang sangat sesuai untuk tanaman
kopi (S1) pada masa datang akan mengalami perubahan
(Assamha 2017). Kesesuaian iklim tanaman kopi arabika
pada saat ini dan masa depan terbagi menjadi dua kelas,
yaitu S1 dan S2. Pada tahun 2050, luas areal kelas S1 untuk
tanaman kopi arabika diproyeksi menurun karena bergeser
ke kelas S2. Sebaliknya, kesesuaian iklim kopi robusta
diproyeksikan berubah dari kelas S2 ke kelas S1.
Tabel 5. Kesuaian iklim dan topografi lahan kopi arabika pada saat ini dan dan proyeksi tahun 2050 untuk beberapa
provinsi sentra produksi.
Areal yang sesuai
di sentra produksi
saat ini (ha)
Areal yang
sesuai di luar
sentra produksi
saat ini (ha)
Areal yang
sesuai di sentra
produksi tahun
2050 (ha)
Areal yang
sesuai di luar
sentra produksi
tahun 2050 (ha)
Perubahan areal
yang sesuai
di sentra
produksi tahun
2050 (%)
Perubahan di
seluruh lahan
sesuai tahun
2050
(%)
Aceh
Sumatera Utara
Jawa Timur
Bali
Flores
Sulawesi Selatan
51.318
210.749
6.589
28.397
16.518
46.029
106.808
122.496
5.811
7.464
24.128
57.629
4.808
22.643
6.774
7.424
230
25.405
51.956
47.140
223
4.095
85
79.437
-91
-89
+3
-74
-99
-67
+11
-67
+6
-59
-98
+106
Jumlah
359.600
324.336
57.284
182.936
-84
-33
Provinsi
Keterangan: areal tidak termasuk lahan sesuai yang saat ini digunakan di kawasan hutan atau hutan lindung.
(Sumber: Schroth et al. 2015).
86
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
Sumatera Utara
Kesesuaian (%)
Areal kopi saat ini
Saat ini
Hutan lindung
Sulawesi Selatan
Saat ini
Gambar 5. Kesesuaian iklim bagi tanaman kopi arabika saat ini dan tahun 2050
(Sumber: Schroth et al. 2015).
STRATEGI BUDI DAYA KOPI YANG
ADAPTIF PERUBAHAN IKLIM
Dalam beberapa dekade ke depan, perubahan iklim akan
terus berlangsung dan mempengaruhi berbagai sistem
produksi kopi. Pada saat iklim lebih kering, kejadian iklim
ekstrim meningkat dan suhu meningkat melebihi kisaran
optimal bagi pertumbuhan dan perkembangan tanaman.
Dalam kondisi kondisi tersebut petani harus mengubah
praktik budi daya dan varietas, diversifikasi dengan
komoditas lain yang lebih toleran (Thornton et al. 2009;
Schroth et al. 2009), atau petani beralih profesi dari sektor
pertanian ke sektor lain. Hal ini tentu berdampak terhadap
ketahanan pangan dan kehilangan pendapatan dari
ekspor pertanian.
Berbagai teknologi telah diaplikasikan dalam upaya
mengatasi dampak perubahan iklim pada perkebunan
kopi, seperti pola agroforestri (pola tanam dengan
tanaman penaung), penggunaan klon adapatif, dan
teknologi konservasi tanah (Yuliasmara 2016).
Sistem Agroforestri
Sistem agroforestri telah lama diterapkan pada
perkebunan kopi. Tanaman penaung merupakan salah
satu teknologi budi daya yang dapat diterapkan sebagai
langkah antisipasi terhadap pemanasan global. Dari sisi
fisiologis, tanaman kopi merupakan tanaman tipe C3 yang
membutuhkan cahaya yang tidak penuh untuk dapat
tumbuh optimal (Sanger 1998; Carelli et al. 2003). Tanaman
kopi akan berfotosintesis dengan baik apabila cahaya
matahari yang diterima tidak lebih dari 60% (Prawoto
2007). Lamtoro dan sengon merupakan tanaman penaung
yang banyak digunakan (Yahmadi 2007). Keuntungan
ekologis dan lingkungan dari penerapan sistem
agroforestri antara lain mengurangi erosi tanah,
meningkatkan cadangan karbon, menjaga kesuburan
tanah dan keanekaragaman hayati.
Selain untuk adaptasi, sistem agroforestri pada
tanaman kopi juga memiliki aspek mitigasi, yaitu untuk
menambah serapan karbon 1015 Mg/ha (Hairiah dan
Rahayu 2007), bahkan mencapai 19 Mg/ha (Wibawa et al.
2010). Nilai tambah lain sistem agroforestri adalah
memperbaiki kesuburan tanah karena peningkatan
kandungan bahan organik dari daun yang gugur.
Naungan juga akan meningkatnya mutu produk, terutama
citarasa kopi. Dalam kondisi ternaungi, proses pemasakan
buah kopi lebih optimal. Sebaliknya, tanpa naungan,
buah kopi lebih cepat masak karena tercekam cahaya
(Yuliasmara 2016).
Klon Adaptif Perubahan Iklim
Kekeringan merupakan dampak perubahan iklim yang
dialami dalam budi daya kopi. Penggunaan bibit kopi
87
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
dengan batang bawah klon unggul dengan perakaran kuat
terbukti mampu meningkatkan ketahanan tanaman
terhadap kekeringan dan penurunan kesuburan tanah.
Penggunaan bahan tanam toleran akan mengurangi biaya
untuk mitigasi dampak cekaman air. Klon BP 409, BP 42,
dan BP 234 toleran terhadap kekeringan. Kopi robusta
klon BP 308 juga toleran kekeringan karena memiliki
perakaran yang lebih lebat (Nur et al. 2000).
Nematoda yang intensitasnya meningkat akibat
pemanasan global banyak menimbulkan kerugian pada
tanaman kopi robusta. Penggunaan klon tahan atau
toleran nematoda sebagai batang bawah merupakan cara
yang paling efisien. Hasil penelitian menunjukkan jenis
kopi ekselsa (Coffea excelsa) klon Bgn 121.09 dan kopi
robusta BP 308 memiliki ketahanan yang tinggi terhadap
nematoda. Klon BP 308 dianjurkan sebagai batang bawah
tahan nematoda dan toleran kering (Nur et al. 2000).
Beberapa klon kopi yang toleran karat daun adalah S 795,
Andungsari 2K, dan Komasti. Klon Andungsari 2K dan
Komasti agak tahan penyakit karat daun, sedangkan klon
S795 relatif tahan penyakit karat daun dan berdaya hasil
cukup tinggi dengan kualitas sangat baik ((Yuliasmara
2016).
Teknologi Konservasi Tanah
Peningkatan suhu udara, penuruan curah hujan, dan
kemarau panjang menjadi penyebab kekeringan tanaman
dan tanah retak akibat tingginya evapotranpirasi. Upaya
adaptasi dapat melalui penerapan teknik konservasi untuk
meningkatan ketersediaan air bagi tanaman. Beberapa
teknologi konservasi yang dapat diterapkan pada
tanaman kopi adalah penggunaan mulsa organik,
pembuatan rorak dan biopori (Yuliasmara 2016). Mulsa
organik berfungsi mengurangi evaporasi dan erosi,
menjaga lengas tanah di sekitar perakaran, menambah
kandungan bahan organik sehingga memperbaiki struktur
dan tekstur tanah dan menekan pertumbuhan gulma,
mengurangi evaporasi dan erosi. Setelah mengalami
dekomposisi, mulsa organik melepas unsur hara di sekitar
perakaran tanaman budi daya (Agus dan Widianto 2004;
Abdoellah 2016). Bahan alami yang mudah terurai seperti
daun dan kulit kopi, seresah pangkasan tanaman kopi dan
tanaman penaung dapat digunakan sebagai mulsa
organik. Mulsa diaplikasikan di sekeliling tanaman kopi
dengan diameter sesuai lebar tajuk tanaman.
Rorak berfungsi memperbesar resapan air ke tanah
dan menampung tanah yang tererosi, unsur hara yang
terbawa erosi meresap di sekitar perakaran tanaman,
menampung bahan organik yang ada, dan merangsang
pembentukan akar serabut tanaman kopi sehingga
penyerapan hara oleh tanaman lebih optimal (Yuliasmara
2016). Rorak umumnya dibuat berukuran panjang 0,5-1,0
m, lebar 25-50 cm, dan dalam 25-50 cm. Pada tanah miring,
rorak dibuat di antara larikan tanaman kopi sejajar kontur.
Hal yang perlu diwaspadai dalam penerapan rorak dan
teknologi pemanenan air lainnya adalah air hanya boleh
tergenang beberapa saat. Apabila penggenangan
berlanjut dikhawatirkan akan terjadi masalah berupa
penyakit yang merusak akar tanaman. Pada daerah
dengan curah hujan dan kadar liat tanah tinggi,
pembuatan rorak dapat menyebabkan penggenangan air
yang berlangsung lama (Agus dan Widinato 2004).
Biopori adalah lubang dengan kedalaman 80-100 cm
dan diameter 1030 cm dimaksudkan sebagai lubang
resapan penampung air hujan dan meresapkannya
kembali ke tanah (Brata 2009). Biopori juga yang ditutupi
material organik dapat menyerap dan menyimpan air,
menambah hara tanah, memberi nafas pada perakaran, dan
menjadi habitat hewan dan jasad renik. Menurut Bambang
dan Sibarani (2009), biopori meningkatkan resapan air
tanah hingga tiga kali lebih cepat dibanding areal terbuka.
Pembuatan biopori pada areal pertanaman kopi cukup
efektif mempertahankan dan meningkatkan lengas
tanah.
KESIMPULAN
Penelitian dampak perubahan iklim pada tanaman kopi di
Indonesia masih terbatas. Di sisi lain, perubahan iklim
menurunkan produksi dan kualitas kopi serta
meningkatkan serangan hama dan penyakit tanaman.
Kondisi ini diperparah oleh ketidaksiapan petani kopi
menghadapi dampak perubahan iklim dan terbatasnya
akses terhadap informasi perkembangan iklim, pasar,
teknologi, kredit usaha tani, dan pengelolaan risiko. Petani
kopi tidak terorganisasi dengan baik seperti petani padi
yang telah memiliki kelompok tani. Selain itu, pelatihan
teknologi budi daya yang adaptif bagi petani kopi dalam
menghadapi perubahan iklim sangat terbatas.
Berbagai teknologi budi daya kopi yang adaptif
perubahan iklim sudah dikembangkan namun tingkat
adopsinya oleh petani sangat lambat. Oleh karena itu,
upaya percepatan adopsi teknologi perlu segera
dilakukan karena diperlukan dalam adaptasi perubahan
iklim. Penerapan teknologi tersebut dapat meningkatkan
produktivitas dan sistem usaha tani kopi yang toleran
perubahan iklim. Para ahli dan pengambil kebijakan harus
berpacu dengan waktu untuk mengakselerasi adopsi
inovasi teknologi oleh petani karena dampak perubahan
iklim telah dirasakan dan akan terus berlangsung.
Permintaan kopi Indonesia terus meningkat sehingga
pengembangan budi daya kopi di daerah yang lebih
tinggi dengan iklim yang lebih sesuai berperan
penting menggantikan sentra produksi saat ini. Di
Indonesia terdapat cukup luas dataran tinggi yang
dapat dikembangkan untuk perkebunan kopi guna
mengantisipasi dampak perubahan iklim. Namun
pengembangan kawasan ini untuk budi daya kopi
memerlukan strategi dan kebijakan yang tepat agar sesuai
secara klimatologi, pedologi, dan ekologi. Dengan
mempertimbangkan dampak ekologi akibat perluasan
88
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
perkebunan kopi diperlukan pengelolaan yang intensif
untuk meningkatkan produktivitas. Selain itu,
peningkatan produktivitas kopi juga bertujuan untuk
mengatasi masalah terbatasnya luas areal yang sesuai
untuk menggantikan areal lama yang tidak lagi sesuai
dengan kondisi iklim saat ini dan ke depan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdoellah. 2016. Kopi dan Lingkungan Hidup:Sejarah Botani Proses
Produksi, Pengolahan, Produk Hilir dan Sistem Kemitraan.
Gadjah Mada University Press. 890 p.
Agrios, G.N. 2005. Plant Pathology, 5th ed. London, UK: Elsevier.
Agus, F. dan Widianto. 2004. Petunjuk Praktis Konservasi Tanah
Lahan Kering. World Agroforestry Centre (ICRAF) SE Asia
Regional Office, Bogor. 102 pp.
Alves, M.d. C., L. de Carvalho, E. Pozza, L. Sanches, and J.d.S
Maia. 2011. Ecological zoning of soybean rust, coffee rust and
banana black sigatoka based on Bazilian climate changes.
Procedia Environmental Sciences, 6: 3549.
Assamha, F.H. 2017. Dampak Perubahan Iklim Terhadap
Produktivitas Tanaman Kopi di Kabupaten Tana Toraja. Skripsi.
Departemen Geofisika dan Meteorologi. Institut Pertanian
Bogor. 33 pp.
Avallone, S., J. M. Brillouet, B. Guyot, E. Olguin, and J.P. Guiraud.
2002. Involvement of pectolytic micro-organisms in coffee
fermentation. International Journal of Food Science and
Technology 37: 191198.
Baker, P.S. and J. Haggar. 2007. Global Warming: The Impact on
Global Coffee. Los Angeles (US): Specialty Coffee Association
of America.
BPS (Badan Pusat Statistik). 2017. Jumlah rumah tangga usaha
perkebunan tanaman tahunan menurut provinsi dan jenis
tanaman. https://st2013.bps.go.id/dev2/index.php/site/tabel?
tid=40&wid=0. [30 Maret 2017].
Bambang, D., dan R.T. Sibarani. 2009. Penelitian Biopori Untuk
Menentukan Laju Resap Air Berdasarkan Variasi Umur dan Jenis
Sampah. Jurusan Teknik Lingkungan FTSP. ITS – Surabaya
Brata, R.K. 2009. Lubang Resapan Biopori untuk Mitigasi Banjir,
Kekeringan dan Perbaikan. Prosiding Seminar Lubang Biopori
(LBR) dapat Mengurangi Bahaya banjir. Jakarta.
Brown, M.E. and C.C.Funk. 2008. Food security under climate
change. Science 319: 580–581.
Buffo, R.A. and C.C. Freire. 2004. Coffee flavour: an overview.
Flavour and Fragrance Journal 19: 99104.
Bunn, C. 2015. Modeling the climate change impacts on global
coffee production. Dissertation. Faculty of Life Sciences,
Humboldt-Universität zu Berlin. 181 p.
Carelli, M.L.C., R.B.Q Voltan, J.I. Fahl and P.C.O Trivelin. 2003.
Leaf Anatomyand Carbon Istope Composition in Coffee Species
Related to Photosynthetic Pathway. Plant Physiol, 15(1): 19
24.
Cerri C.E.P., G. Sparovek, M. Bernoux, W.E. Easterling, J.M.
Melillo, and C.C. Cerri. 2007. Tropical agriculture and global
warming: impacts and mitigation options. Scientia Agricola 64:
83–99.
Coste, R. 1992. Coffee: The plant and the product. 1ed. London:
MacMillan Press. 328 p.
CIAT (Centro Internacional de Agricultura Tropical). 2010. Climate
adaptation and mitigation in the Kenyan coffee sector. Technical
report, International Center for Tropical Agirculture, Cali,
Colombia.
Ditjenbun (Direktorat Jenderal Perkebunan). 2016. Statistik
perkebunan Indonesia Komoditas kopi 20152017. 83 hlm.
Djaenudin, D., H. Marwan, H. Subagyo, dan A. Hidayat. 2003.
Petunjuk Teknis untuk Komoditas Pertanian. Edisi Pertama
tahun 2003. Balai Penelitian Tanah, Pusat Penelitian dan
Pengembangan Tanah dan Agroklimat.
Damatta, F.M., and J.D.C Ramalho. 2006. Impacts of drought and
temperature stress on coffee physiology and production: a
review, 18(1): 5581.
Davis, A. P., T.W. Gole, S. Baena, and J. Moat. (2012). The impact
of climate change on indigenous arabica coffee (coffea arabica):
predicting future trends and identifying priorities. PloS one.
PLoS ONE 7(11): e47981. [8 Oktober 2017].
Deepak, K., B.T Hanumantha, and H.L Sreenath. 2012. Viability of
coffee leaf rust Hemileia vastatrix). Urediniospores stored at
different temperatures. Biotechnol Biomate 2(5): 13.
Eitzinger, A., P.L. Laderach, S. Carmona, C. Navarro, and L. Collet.
2013. Prediction of the impact of climate change on coffee
and mango growing areas in haiti. Technical report, Full
Technical Report. Centro Internacional de Agricultura Tropical
(CIAT), Cali, Colombia.
FAO (Food and Agricultural Organization). 2015. FAO Coffee
pocketbook 2015. FAO. 194 p.
Franco, C.M. 1958. Influence of temperature on growth of coffee
plant. IBEC Research Institute, New York. Bulletin No. 16.
Gay, C., C.G. Estrada, C. Conde, H. Eakin, and L. Villers, 2006.
Potential impacts of climate change on agriculture: a case of
study of coffee production in Veracruz, Mexico. Climatic
Change 79: 25988.
Geogiou, S., A. Jacques, and P. Imbach. 2014. An analysis of the
weather and climate condition related to the 201 epidemic of
coffee rust in Guetamala. Technical Report. International Coffee
Collection. 93 p.
Ghini, R., E. Hamada, and W. Bettiol. 2008a. Climate change and
plant diseases. Scientia Agricola 65: 98107.
Ghini, R., E. Hamada, M.J. Pedro Junior, J.A. Marengo, and R.R.V.
Goncalves. 2008b. Risk analysis of climate change on coffee
nematodes and leaf miner in Brazil. Pesquisa Agropecua ria
Brasileira 43: 18794.
Ghini, R., W. Bettiol and E. Hamada. 2011. Diseases in tropical and
plantation crops as affected byclimate changes: current
knowledge and perspectives. Plant Pathology 60:122–132
Hairiah, K. and S. Rahayu. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di
Berbagai Macam Penggunaan Lahan. World Agroforestry
Center-ICRAF. Bogor.
Hannah, L., P.R. Roehrdanz, M. Ikegami, A.V. Shepard, M.R. Shaw,
G. Tabor, L.Zhi, P.A. Marquet, and R.J. Hijmans. 2013. Climate
change, wine, and conservation. Proc Natl Acad Sci.
International Coffee Organization. 2014. World coffee trade (1963–
2013): A review of the markets challenges and opportunities
facing the sector. London. International Coffee Organization.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2013. Climate
Change 2013: The Physical Science Basis. Contribution of
Working Group I to the Fifth Assessment Report of the
Intergovernmental Panel on Climate Change Cambridge
University Press, Cambridge, United Kingdom and New York,
NY, USA.
IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change). 2014. Climate
change 2014: Impacts, adaptation, and vulnerability. Part a:
Global and sectoral aspects. Contribution of working group II
to the Fifth Assessment Report of the Intergovernmental Panel
on Climate Change. Technical Report.
Jackels, S.C. and C.H. Jackels. 2005. Characterization of the coffee
mucilage fermentation process using chemical indicator: a field
study in Nicaragua. Journal of Food Science 70(5): 321325.
Perubahan iklim dalam konteks sistem .... (M. Syakir dan Elza Surmaini)
Janzen, S. O. 2010. Chemistry of coffee. In Comprehensive Natural
Products II, Chemistry and Biology. Editor L. Mender and H.W.
Liu. Elsevier Ltd. The Boulevard, Lanfod Lane, Kidlington
OX5 1GB, United Kingdom. p. 10851113.
Jaramillo, J., A. Chabi-Olaye, C. Kamonjo, A.Jaramillo, F. E., Vega,
H.-M. Poehling, and C. Borgemeister. 2009. Thermal tolerance
of the coffee berry borer hypothenemus hampei: predictions
of climate change impact on a tropical insect pest. PLoS One,
4(8): e6487.
Jaramillo, J., E. Muchugu, F.E. Vega, A. Davis, C. Borgemeister, and
A. Chabi-Olaye. 2011. Some like it hot: the inuence and
implications of climate change on co_ee berry borer
(hypothenemus hampei) and coffee production in East Africa.
PLoS One, 6(9): e24528.
Kementan (Kementerian Pertanian). 2015. Rencana Strategis
Kementerian Pertanian 20152019. Sekretariat Jenderal
Kemenratiena Pertanian. 339 hlm.
Koebler, B. 2013. How Climate Change Could Eventually End
Coffee,’ US News and World Report. http://www.usnews.com/
news/articles/2013/03/27/buzzkill-how-climate-change-couldeventually-end-coffee. [3 Maret 2017].
Läderach, P., J. Haggar, C. Lau, A. Eitzinger, O. Ovalle, M. Baca, A.
Jarvis, and M. Lundry. 2009. “Mesoamerican coffee: building a
climate change adaptation strategy.” CIAT Policy brief No. 2,
CIAT.
Lobell, D.B., M.B. Burke, C. Tebaldi, M.D. Mastrandrea, W.P. Falcon,
and R.L. Naylor. 2008. Prioritizing climate change adaptation
needs for food security in 2030. Science 319: 607–610.
Magina, F., R. Makundi, A. Maerere, G. Maro, and J. Teri. 2011.
Temporal variations in the abundance of three important insect
pests of coffe in kilimanjaro region, tanzania. In Proceedings,
23rd International Scientific Colloquium on Coffee. Association
Scientifique Internationale du Caffe (ASIC), Bali, Indonesia,
pages 11141118.
Marsh, T. and J. Neilson. 2007. Securing the profitability of the
Toraja coffee industry. ACIAR, Canberra
Neilson, J., D.S.F. Hartari, and Y.F. Lagerqvist. 2013. Coffee-based
livelihoods in South Sulawesi, Indonesia. Appendix 8 to the
final report for ACIAR Project SMAR/2007/063. Australian
Centre for International Agricultural Research, Canberra
Nur, A.M. 2000. Dampak La Nina terhadap produksi kopi Robusta.
Studi kasus tahun basah Studi kasus tahun basah 1998. Warta
Puslitkoka 16(1): 5058.
Nur, A.M., Zaenudin dan S. Wiryadiputra. 2000. Morfologi dan
sebaran akar kopi Robusta klon BP 308 pada lahan endemik
nematoda parasit, Pratylenchus coffeae. Pelita Perkebunan,
16: 121–131.
Nzeyimana, I., A.E.Hartemink, and V. Geissen. 2014. Gis-based
multi-criteria analysis for Arabica coffee expansion in Rwanda.
PloS one, 9(10): e107449
Ovalle-Rivera, O., P. Laderach, C. Bunn, M. Obersteiner, and G.
Schroth. 2015. Projected shifts in coffea arabica suitability
among major global producing regions due to climate change.
Prawoto, A. 2007. Materi Kuliah Fisiologi Tumbuhan. Pusat
Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia. Jember.
Puslitkoka (Pusat Penelitian Kopi dan Kakao). 2008. Pengolahan
biji kopi primer. Leaflet, Pusat Penelitian Kopi dan Kakao
Indonesia, Jember.
Samosir. F.A., M.U. Tarigan dan S. Oemry. 2013. Survei faktor
kultur teknis terhadap perkembangan populasi hama penggerek
buah kopi ( Hyphotenemus Hampei) di Kabupaten Simalungun.
Agroteknologi: 1(4): 114.
Sachs, J., J. Rising. T. Foreman, J. Simmons, and M. Brahm. 2015.
The impacts of climate change on coffee: trouble brewing.
Columbia University. 153 p.
89
Salla, M. H. 2009. Influence of Genotype, Location and Processing
Methods on The Quality of Coffee (Coffea arabica L.). MSc.
Thesis Hawassa University. Hawassa, Ethiopia. 105 p.
Sanger, A. 1998. Mathematics for Biologists Part Biology.
Mathematics for Biologists.
Schroth, G, P. Läderach, D. Blackburn, J. Neilson, and C. Bunn.
2015. Winner or loser of climate change. A modeling study of
current and future climatic suitability of Arabica coffee in
Indonesia. Regional Environmental Change. p. 110.
Schroth, G., P. Laderach, J. Dempewolf, S.M. Philpott, J.P. Haggar,
H. Eakin, T. Castillejos, J. Garcia-Moreno, H. Soto-Pinto, R.
Hernandez, A. Eitzinger, and J. Ramirez-Villegas. 2009. Towards
a climate change adaptation strategy for coffee communities
and ecosystems in the Sierra Madre de Chiapas, Mexico. Mitig
Adapt Strategi GlobChang 14: 605–625.
Sihaloho, T.M. 2009. Strategi Pengembangan agribisnis Kopi Di
kabupaten Humbang Hasundutan Sumatera Utara. Skripsi.
Fakultas Pertanian, Institus Pertanian Bogor.
Siswoputranto, P. S. 1993. Kopi Internasional dan Indonesia.
Kanisius. Jakarta. 417 hlm.
Solomon, S., D. Qin, and M. Manning. 2007. Climate Change 2007:
The Physical Science Basis. Contribution of Working Group I
for the Fourth Assessment Report of the Intergovernmental
Panel on Climate Change. Cambridge, UK: Cambridge
University Press.
Soonthornkamol, P. 2004. Effect of Diffrent Species Procedure
and Degree of Roasting on Volatile Compounds Production in
Thai Coffee. Thesis Master of Science Departement of Food
Technology Silpakorn University. Bangkok. 69 p.
Sumirat, U. 2008. Dampak kemarau panjang terhadap sifat fisik biji
kopi Robusta (Coffea canephora). Pelita Perkebunan 24(2):
8094.
Supriadi, H. 2014. Budi daya tanaman kopi untuk adaptasi dan
mitigasi perubahan iklim. Perspecti 13(1): 3552.
Suslick, B. A., L. Feng, and K. S. Suslick. 2010. Discrimination of
complex mixtures by a colorimetric sensor array: coffee
aromas. Analytical Chemistry 82 (5): 20672073.
Sylvain, P.G. 1955. Some observations on Coffea arabica L. in
Ethiopia. Turrialba 5: 37–53.
Thornton, P.K., J, van de Steeg, A. Notenbaert, and M. Herrero.
2009. The impacts of climate change on livestock and livestock
systems in developing countries: a review of what we know and
what we need to know. Agric Syst 101: 113–127.
Tucker, C.M., H. Eakin, and E.J.Castellanos. 2010. Perceptions of
risk and adaptation: coffee producers, market shocks, and
extreme weather in Central America and Mexico. Glob Environ
Chang
United Nations Development Programme (UNDP). 2005.
Adaptation Policy Frameworks for Climate Change.Cambridge
University. U.K. 248 p.
Vermeulen, S., P.K. Aggarwal, A. Ainslie, C. Angelone, B.M. Campbell,
A.J. Challinor, J.W. Hansen, J.S.I. Ingram, A. Jarvis, P.
Kristjanson, C. Lau, G.C. Nelson, P.K. Thornton, and E.
Wollenberg. 2012. Options for support to agriculture and food
security under climate change. Environ Sci Policy 15: 136–
144.
Villers, L., N. Arizp, R. Orellana, C. Conde, and J. Hernandez. 2009.
Impacts of climatic change on coffee flowering and fruit
development in Veracruz, México. Intersciencia 34(5): 322
329.
Wang, N. 2012. Physicochemical Changes of Coffee Beans during
Roasting. Thesis Master of Science University of Guelph.
Ontario, Canada. 82 p.
90
Wibawa, A., F. Yuliasmara dan R. Erwiyono. 2010. Estimasi Cadangan
Karbon pada Perkebunan Kopi di Jawa Timur. Pelita Perkebunan
26: 111.
Wintgens, N.J. 2012. Coffee: Growing, Processing, Sustainable
Production. A Guidebook for Growers, Processors, Traders, and
Researchers. Weinhem (GE): Wiley-VCH.
Yahmadi, M. 2007. Rangkaian Perkembangan dan Permasalahan
Budidaya dan Pengolahan Kopi di Indonesia. Asosiasi Eksportir
Kopi Indonesia, Surabaya.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 77-90
Yenetzian, C., F. Wieland, and A.N. Gloess. 2012. Progress on
coffee roasting: a progress control tool for a consistent roast
degree-roast after roast. Newfood 15: 2226.
Yuliasmara, F. 2016. Strategi Mitigasi Perkebunan Kopi Menghadapi
Perubahan Iklim. Warta Pusat Penelitian Kopi dan Kakao.
28(3): 17.
DOI: 10.21082/jp3.v36n2.2017.p91-98
91
Peningkatan
Jurnal
Litbangkadar
Pertanian
antosianin
Vol. 36
beras
No. merah
2 Desember
dan ....
2017:
(Buang
91-98Abdullah)
PENINGKATAN KADAR ANTOSIANIN BERAS MERAH DAN BERAS
HITAM MELALUI BIOFORTIFIKASI
Increasing Anthocyanin of Red and Black Rice
through Biofortification
Buang Abdullah
Balai Besar Penelitian Padi
Jalan Raya No. 9, Sukamandi, Kabupaten Subang 41256, Jawa Barat
Telp. (0260) 520157; (0260) 520158
E-mail: bbpadi@litbang.pertanian.go.id; buangabdullah1217@gmail.com
Diterima: 14 Maret 2017; Direvisi: 2 Oktober 2017; Disetujui: 13 Oktober 2017
ABSTRAK
Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia pertanian dan
merupakan salah satu pendekatan dalam meningkatkan gizi
masyarakat. Beras yang merupakan makanan pokok di Indonesia
dapat ditingkatkan kandungan gizinya melalui program pemuliaan
tanaman guna menghasilkan varietas padi yang berasnya
mengandung vitamin, mineral, dan/atau senyawa lain seperti
antosianin yang bermanfaat bagi kesehatan. Antosianin dapat
dihasilkan oleh tanaman secara alami. Biofortifikasi beras yang
mengandung antosianin tinggi telah dilakukan melalui program
perakitan varietas padi beras merah dan beras hitam dengan
prosedur pemuliaan konvensional. Dua varietas unggul padi
fungsional yang mengandung antosianin tinggi telah dilepas yaitu
Inpari-24 Gabusan sebagai varietas unggul padi beras merah dengan
kandungan antosianin 8 ug/100g dan Inpari-25 Opak Jaya sebagai
varietas ketan merah dengan kandungan antosianin 11 ug/100g.
Varietas unggul padi beras merah hasil biofortikasi telah berkembang
luas di beberapa daerah karena disukai konsumen dan menguntungkan petani. Beberapa galur harapan padi beras merah dan beras
hitam yang mengandung antosianin lebih tinggi masih dalam tahap
pengujian daya hasil dan multilokasi. Beberapa di antara galur
tersebut diharapkan dapat dilepas sebagai varietas unggul padi beras
merah dan beras hitam yang lebih baik dari varietas yang sudah ada.
Untuk mengatasi penyakit degeneratif seperti kanker, diabetes, dan
hipertensi, dengan mengonsumsi pangan fungsional hasil
biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif dibandingkan dengan
pangan hasil fortifikasi karena senyawa penting yang ditambahkan
melalui biofortifikasi bersifat diwariskan dan langgeng.
Kata kunci: Padi, beras merah, beras hitam, antosianin,
biofortifikasi
ABSTRACT
Bio-fortification is a new paradigm for agriculture and a tool for
improving nutritional status of human health. Rice as a staple food
for Indonesian community is potential to be increased its nutritional
content to produce rice with high vitamin, mineral and/or
antioxidant (anthocyanin) which is benefit for human health.
Anthocyanin is a compound that produced by plants. Biofortification of rice for high content of anthocyanin was carried out
through development of red and black rice through conventional
breeding. Bio-fortification is more effective than fortification to
combat generative diseases. Two red improved rice varieties were
released with high anthocyanin content were released by IAARD,
namely Inpari 24 Gabusan as a red rice variety with anthocyanin
content of 8 ug/100g and Inpari 25 Opak Jaya as a waxy red rice
variety with anthocyanin content of 11 ug/100g. Red rice varieties
produced from biofortification are rapidly adopted by farmers and
stake-holders. Several number of red and black rice advanced lines
having higher anthocyanin content are being tested in the field for
their yield trial. These lines could be released as red and black rice
varieties that better than the existing varieties. In order to overcome
degenerative diseases such as cancer, diabetes, and high blood
consuming functional food from bio-fortification would be more
efficient than that from fortification, because the important
compound which added through bio-fortification is derivative and
eternal.
Keywords: Rice, red rice, black rice, anthocyanin, bio-fortification
PENDAHULUAN
P
erkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi telah
mengubah gaya hidup dan pola konsumsi pangan
masyarakat. Berbeda dengan dua dekade lalu, masyarakat
dewasa ini lebih menyukai pangan yang siap saji yang
umumnya mengandung kadar lemak tinggi namun miskin
serat dan zat gizi lainnya. Pola pangan demikian dapat
mengganggu kesehatan yang menyebabkan penyakit
degeneratif seperti kanker, jantung koroner, diabetes, dan
hipertensi (Krisnatuti dan Yenrina 1999). Menurut
Departemen Kesehatan (2012), 26% kematian di Indonesia
disebabkan oleh penyakit jantung. Risiko penyakit
jantung koroner di perkotaan lebih besar dibanding di
perdesaan (Marliyati et. al. 2008). Pencegahan penyakit
jantung antara lain dapat melalui pengaturan pola makan,
baik jenis dan kuantitas maupun kualitas. Pencegahan
penyakit karena kekurangan gizi mikro dapat dilakukan
melalui fortifikasi, yaitu penambahan zat tertentu ke dalam
bahan pangan. Penyakit karena kekurangan vitamin A,
92
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98
misalnya, dapat diatasi dengan asupan provitamin A, baik
dalam bentuk kapsul maupun suplemen (Lamid et al. 2007)
atau makanan dan minyak goreng yang sudah
ditambahkan provitamin A (Herdiansyah et al. 2002).
Padi merupakan bahan pangan utama sebagian besar
penduduk Indonesia. Dalam situasi normal, konsumsi
beras tidak dapat digantikan oleh komoditas pangan lain
(Khumaidi 2008). Keberhasilan revolusi hijau antara lain
ditandai oleh dirakit dan dikembangkannya padi unggul
varietas IR5 dan IR8 oleh IRRI pada tahun 1966 (Fagi et al.
2009) serta varietas unggul lainnya oleh negara-negara
penghasil beras lainnya, terutama Indonesia, India, China,
dan Filipina. Hal ini menyebabkan tergantikannya bahan
pangan tradisional kaya gizi mikro (besi, seng, dan
antosianin) yang berasal dari kacang-kacangan, jagung,
sayuran, dan buah-buahan dengan beras yang diketahui
miskin gizi mikro. Perbandingan kandungan gizi mikro
komoditas padi, gandum, jagung, dan kedelai dapat dilihat
pada Tabel 1.
Beras mengandung karbohidrat, protein, lemak,
vitamin, dan zat gizi lainnya yang dibutuhkan oleh tubuh
manusia. Di Indonesia, beras sebagai bahan makanan
pokok menyumbang 63% energi, 38% protein, dan 21,5%
zat besi (Indrasari et al. 1997). Menurut Juliano (1993), beras
sebagai bahan pangan menyumbang energi 2.709 kcal,
protein 59,7 g, lemak 39 g, kalsium 229 mg, besi 11,9 mg,
retinol 50 ug, thiamin 10 mg, riboflafin 0,5 mg, dan niasin
1,4 mg.
Penelitian tentang nutrisi mikro dalam tanaman
pangan telah banyak dilakukan. Grup Konsultasi Proyek
Penelitian Nutrisi Mikro Pertanian malaporkan gizi
betakaroten, besi, seng dan gizi mikro lainnya cukup
tersedia pada plasma nutfah pertanian. Potensi ini dapat
dikombinasikan dengan potensi hasil tinggi dalam perakitan varietas. Bioavailabilitas dari galur-galur harapan
mudah dicoba pada tikus dan manusia (Gregorio 2002).
Biofortifikasi adalah paradigma baru di dunia
pertanian dan merupakan salah satu pendekatan dalam
meningkatkan gizi masyarakat. Biofortifikasi beras melalui
perakitan padi fungsional bertujuan untuk mendapatkan
varietas unggul yang selain berpotensi hasil tinggi juga
mempunyai kandungan unsur mikro, vitamin, dan zat gizi
lain yang berguna bagi kesehatan. Varietas padi yang
telah mengalami proses pemuliaan, baik secara
konvensional maupun nonkonvensional dan mempunyai
keunggulan tertentu karena mengandung satu atau lebih
komponen pembentuk yang mempunyai fungsi fisiologis
tertentu dan bermanfaat bagi kesehatan disebut sebagai
padi fungsional (Widjayanti 2004).
Berbeda dengan fortifikasi (jelaskan dulu arti
fortifikasi), biofortifikasi adalah proses peningkatan
kandungan gizi (vitamin, senyawa atau unsur mikro yang
berguna bagi pertumbuhan dan kesehatan manusia)
komoditas pertanian melalui proses pemuliaan tanaman.
Hasilnya dapat diwariskan ke tanaman berikutnya
sehingga lebih efisien dibanding dengan fortifikasi yang
setiap saat harus melakukan peningkatan nutrisi tertentu.
Biofortifikasi beras untuk nutrisi mikro, vitamin, dan zat
penting lainnya dimungkinkan karena plasma nutfah padi
memiliki keragaman yang luas. Hasil penelitian
menunjukkan padi mengandung zat besi 7,524,4 µg/g,
seng 13,558,4 µg/g (Gregorio et al. 2000), dan antosianin
0,04.700 µg/g (Ryu et al. 1998).
Melalui biofortifikasi, kandungan besi dan seng pada
beras pecah kulit meningkat masing-masing dari 10 µg/g
menjadi 12,5 µg/g dan dari 26 µg/g menjadi 35 µg/g. Pada
beras sosoh, peningkatan kandungan besi dan seng
melalui biofortifikasi masing-masing dari 1 µg/g menjadi 5
µg/g dan dari 20 µg/g menjadi 27 µg/g (Wirth et al. 2009).
Mengonsumsi beras biofortifikasi dapat menaikkan
hemoglobin darah (Haas et al. 2005). Kandungan vitamin
A pada padi telah berhasil ditingkatkan melalui
biofortifikasi (Paine et al. 2005). Abdullah et al. (2014)
melaporkan bahwa penyilangan dua varietas populer IR64
dan Ciherang dengan Kay Bonet GR2-R telah
menghasilkan sejumlah galur IR64 dan Ciherang Golden
Rice (IR64GR2-R dan CHR GR2-R) yang mempunyai
kandungan karotenoid 7,5-11 µg/g. Biofortifkasi beras
yang mengandung antosianin telah menghasilkan padi
beras merah varietas Inpari 24 Gabusan dan padi ketan
merah varietas Inpari 25 Opak Jaya dengan potensi hasil
tinggi dengan rasa pulen dan sudah mulai berkembang. Di
beberapa daerah, varietas unggul padi beras merah dan
padi ketan merah ini diperdagangkan sebagai beras sehat
yang menguntungkan karena harga jualnya tinggi.
Tulisan ini membahas upaya peningkatan zat
antosianin pada beras melalui biofortifikasi atau perakitan
varietas padi yang berguna bagi pertumbuhan dan
kesehatan manusia. Beras dari varietas unggul padi yang
dihasilkan berfungsi sebagai makanan pokok dan sumber
energi serta kesehatan karena mengandung karbohidrat
dan antosianin yang tinggi.
Tabel 1. Perbandingan kandungan gizi mikro beberapa bahan pangan.
Besi (µg/g)
Komoditas
Padi
Gandum
Jagung
Kedelai
Seng (µg/g)
Tembaga (µg/g)
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
Rata-rata
Kisaran
3
37
20
70
2-10
24-61
16-30
48-110
16
31
21
45
10-22
13-68
15-34
36-70
2
4
1
13
1-5
2-9
1-4
4-29
Sumber: Welch dan Graham (2000).
93
Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah)
ANTOSIANIN BERAS SEBAGAI
KOMPONEN FUNGSIONAL PANGAN
Berdasarkan warnanya, beras terdiri atas tiga kelompok,
yaitu beras putih, beras merah, dan beras hitam. Warna
pigmen merah, ungu, dan hitam terdapat pada lapisan
perikarp hingga lapisan luar endosperm beras. Warna
pada beras merupakan sifat yang diwariskan oleh
tetuanya (Tang dan Wang 2001). Antosianin adalah
pigmen yang memberi warna merah, biru atau keunguan
pada bunga, buah, dan sayuran. Beras merah dan beras
hitam juga mengandung antosianin. Antosianin pada
beras pertama kali dipelajari oleh Nagai et al. (1960)
sebagaimana dikutip oleh Juliano (2003). Antosianin
termasuk komponen flavonoid, yaitu turunan polifenol
pada tumbuhan yang mempunyai kemampuan sebagai
antioksidan, antikanker, dan mencegah penyakit jantung
koroner dengan cara mencegah penyempitan pembuluh
arteri (Wang et al. 1997). Dalam jumlah sedikit saja (146
mg/ml), antosianin sudah efektif mencegah produksi
lemak jahat LDL (Low Densisty Lipoprotein) pada kelinci
(Jawi dan Budiasa 2011) dan memperbaiki penglihatan
mata (Timberlake dan Henry 1988). Asupan antosianin
setiap hari diperkirakan sekitar 200 mg, sehingga berperan
penting dalam diet dan memenuhi kebutuhan pangan
dan gizi (Kim et al. 2008). Beras merah dan beras hitam
termasuk pangan fungsional karena mengandung
komponen aktif berfungsi fisiologis yang bermanfaat bagi
kesehatan (Widjayanti 2004).
Di India lebih dari 50 jenis padi digunakan untuk
pengobatan (Das and Oudhia 2001). Di Indonesia, telah
diteliti preferensi konsumen terhadap beras merah di tujuh
provinsi pada tahun 2005. Dari 86 responden di Bali, 38%
di antaranya mengonsumsi beras merah lokal setiap hari,
16% mengonsumsi lebih dari enam bulan sekali, dan
sisanya mengonsumsi 36 bulan sekali (Indrasari dan
Adnyana 2007).
Banyak varietas lokal yang berwarna beras merah dan
hitam, seperti varietas Jati luwih di Bali (padi beras merah)
dan varietas Aek Metan (padi beras hitam) di Nusa
Tenggara Timur. Beberapa varietas unggul baru (VUB)
padi beras merah sudah dilepas oleh Kementerian
Pertanian, antara lain Bahbutong pada tahun 1985
(Hermanto et al. 2009) dan Aek Sibundong tahun 2006
(Suprihatno et al. 2009). Beras merah dan beras hitam lokal
banyak dijual sebagai beras fungsional dan dikonsumsi
oleh penderita diabetes dan penyakit jantung koroner.
PERAKITAN PADI BERAS MERAH DAN
BERAS HITAM
Perakitan padi merah dan beras hitam sudah dilakukan
sejak lama, namun secara intensif melalui program
perakitan padi fungsional baru dilaksanakan sejak tahun
2010. Program penelitian pemuliaan ini didukung oleh
peneliti dari disiplin ilmu ento-fitopatologi untuk skrining
ketahanan terhadap hama wereng cokelat, penyakit hawar
daun bakteri, dan pascapanen untuk analisis kandungan
vitamin, antosianin, dan mutu beras galur-galur terpilih.
Materi pemuliaan terdiri atas berbagai varietas unggul dan
galur harapan padi yang berpotensi hasil tinggi seperti
Ciherang, Fatmawati, Aek Sibundong, Inpari-6, BP342,
dan BP360; tahan hama wereng cokelat seperti
Memberamo, IR74, PTB33; tahan penyakit hawar daun
bakteri seperti Conde, IRBB7, dan IRBB21; dan beras
bermutu tinggi seperti Memberamo, Inpari-6, Basmati, dan
KDM; varietas lokal padi beras merah, beras hitam, dan
ketan hitam; galur harapan, dan padi liar (Oryza
rufipogon).
Dari penelitian tersebut telah dihasilkan lebih dari
1.000 kombinasi persilangan atau populasi dasar. Dari
populasi tersebut telah dihasilkan tidak kurang dari 500
galur yang sudah mantap dan stabil. Hal ini diketahui dari
hasil observasi terhadap stabilitas sifat-sifat agronoms
dan daya hasilnya. Galur-galur tersebut kemudian diuji
ketahanannya terhadap hama wereng cokelat dan
penyakit hawar daun bakteri, serta mutu fisik, dan kimiawi
berasnya.
Galur harapan padi fungsional beras merah dan beras
hitam terpilih mempunyai potensi hasil tinggi, umur
genjah, tahan hama penyakit, dan mempunyai beras
dengan mutu tinggi dan stabil. Dari galur-galur harapan
terpilih tersebut, terdapat puluhan galur harapan padi
beras merah dan beras hitam yang mengandung
antosianin dan thiamin. Padi ketan hitam vareitas Setail
dilepas pada tahun 2002 dan padi rawa beras merah
vareitas Inpara-5 dilepas pada tahun 2010. Karakteristik
galur-galur tersebut ditampilkan pada Tabel 2 dan Gambar
1.
Dua galur harapan padi beras hitam (B13486d-4-12PN-2 dan B13486d-4-12-PN-3) mengandung antosianin
lebih tinggi dibanding tiga varietas padi beras merah Aek
Sibundong, Inpari-24 Gabusan, dan Inpari-25 Opak Jaya
serta dua galur beras merah B11844-9-9-5 dan B11955-MR84-1-4-1. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian
Sompong et al. (2011) dan Pengkumsri et al. (2015) yang
menunjukkan padi beras hitam mempunyai kandungan
antosianin tinggi, berkisar antara 19,4140,8 µg/100 g.
Sementara kandungan antosianin beras merah hanya 0,31,4 µg/100 g (Sompong et al. 2011).
VARIETAS UNGGUL DAN GALUR
HARAPAN
Varietas Unggul
Galur B11844-7-17-3 telah dilepas sebagai varietas unggul
padi beras merah pada tahun 2012 dengan nama Inpari-24
Gabusan (Gambar 2). Varietas tersebut dilepas sebagai
varietas unggul padi sawah. Varietas Inpari-24 Gabusan
merupakan hasil persilangan pada tahun 2004, antara
tetua betina Bio12 dengan tetua jantan padi beras merah
94
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98
Tabel 2. Kandungan amilosa dan antosianin beberapa galur harapan dan varietas padi beras merah dan beras hitam.
Galur/varietas
B11844-9-9-5 (BM)
B10970C-MR-4-2- - (BM)
B13486d-4-12-PN-2 (BH)
B13486d-4-12-PN-3 (BH)
B11955-MR-84-1-4-1 (BM)
Inpari 24 Gabusan (BM)
Inpari 25 Opak Jaya (KM)
Aek Sibundong (BM)
Tetua
Amilosa (%)
Bio12-MR-1-4-PN-6/beras merah brebes
Fatmawati/Bio530B-45-9-3-1
Ketan hitam lokal/Mekongga
Ketan hitam lokal/Mekongga
Gilirang*2/BP342F-MR-1-3
Bio12-MR-1-4-PN-6/beras merah brebes
Bio530C-MR-1/IRBB21
Sitali/Way Apo Buru//*2Widas
18
16
15
15
20
18
6
21
Antosianin (µg/100 g)
BPK
BGDS 100%
20,59
21,42
78,11
65,22
29,30
19,07
17,11
15,44
12,79
2,36
34,65
15,92
6,47
8,73
10,82
5,36
Keteterangan: BPK = beras pecah kulit; BGDS = beras giling derajat sosoh; BM = beras merah; BH = beras hitam
Sumber: Abdullah 2014 (unpublished).
Gambar 1. Gabah dan beras galur harapan padi beras merah dan beras hitam (Sumber: Abdullah 2014, unpublished).
Gambar 2. Gabah dan beras pecah kulit dan beras sosoh dari padi
beras putih varietas Ciherang dan padi aromatik varietas Inpari23 Bantul, dan padi beras merah varietas Inpari-24 Gabusan dan
Inpari-25 Opak Jaya (Abdullah 2014, unpublished)
lokal brebes dengan nomor persilangan B11844. Varietas
unggul ini mempunyai potensi hasil 7,7 t/ha, rata-rata 6,2 t/
ha, kadar amilosa 18%, dan mengandung antosianin 19
mg/100 g pada beras pecah kulit dan 8 mg/100 g pada
beras giling.
Selain antosianin, varietas Inpari-24 Gabusan juga
mengandung thiamin (vitamin B1) cukup tinggi, yaitu 0,59
mg/100g, tahan penyakit hawar daun bakteri dan
mempunyai mutu beras yang baik. Bentuk beras merah
varietas Inpari-24 Gabusan langsing dengan tekstur nasi
pulen. Kandungan antosianin beras varietas Inpari-24
Gabusan lebih tinggi dari Aek Sibundong, baik dalam
bentuk beras pecah kulit (BPK) maupun beras giling
derajat sosoh (BGDS) 100% (Tabel 1). Warna merah pada
beras varietas Inpari-24 Gabusan tidak hanya di lapisan
luar tetapi sampai ke dalam endosperma.
Indrasari et al. (2010) melaporkan bahwa kandungan
antosianin pada nasi beras putih Ciherang pada derajat
sosoh 80% dan 100% berturut-turut 0,23 mg dan 0,10 mg/
95
Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah)
100 g, sedangkan pada vareitas Aek Sibundong relatif
sama, masing-masing 0,38 mg dan 0,30 mg/100 g.
Inpari-25 Opak Jaya adalah galur padi ketan merah
BP1002E-MR-2 (Gambar 2) yang dilepas pada tahun 2012
sebagai varietas unggul padi sawah. Varietas unggul
ini merupakan hasil persilangan antara tetua betina
Bio530C-MR-2 dan tetua jantan IRBB 21 dengan nomor
persilangan BP1002. Varietas Inpari-25 Opak Jaya
mempunyai potensi hasil 9,4 t/ha, rata-rata 7,0 t/ha, kadar
amilosa 5,7%, dan kandungan antosianin 17 mg/100 g
pada beras pecah kulit dan 11 mg/100g pada beras giling.
Antosianin bersifat antioksidan sehingga dapat
berfungsi mencegah penyakit jantung koroner (Marliyati
et al. 2008). Varietas unggul ini juga mengandung vitamin
B1 (thiamin) yang cukup tinggi, yaitu 0,59 mg/100g, tahan
hama wereng cokelat, penyakit hawar daun bakteri, dan
memiliki mutu beras yang baik. Beras varietas Inpari 25
Opak Jaya berbentuk langsing.
Galur Harapan
Hasil penelitian menunjukkan dua galur padi beras
hitam (B13486D-4-12-PN-2 dan B13486D-4-12-PN-3)
mengandung antosianin lebih tinggi dari galur lainnya
(Tabel 3). Galur-galur harapan tersebut masih memerlukan
pengujian yang intensif di lapang sebelum dilepas
sebagai varietas unggul padi beras hitam.
Beberapa galur harapan padi beras merah, ketan
merah, beras hitam, dan ketan hitam telah memasuki uji
daya hasil lanjutan dan multilokasi. Tabel 3 menunjukkan
hasil galur padi fungsional pada uji daya hasil lanjutan
tahun 2013. Dua galur harapan padi beras merah B10970CMR-4-2-1-1-1-Si-3-2-4-2-1-PN-4 dan beras hitam B5640HMR-1-PN-1 sedang diuji pada beberapa lokasi
(multilokasi) yang merupakan syarat mutlak sebelum
diusulkan untuk dilepas sebagai varietas unggul. Dari
hasil uji daya hasil lanjutan terdapat dua galur padi
fungsional dengan produktivitas yang sama atau lebih
tinggi daripada varietas pembanding Ciherang dan Aek
Sibundong. Kedua galur harapan tersebut akan diuji lebih
lanjut di beberapa lokasi sebelum diusulkan untuk dilepas
menjadi varietas unggul padi fungsional.
PROSPEK PENGEMBANGAN BERAS
MERAH DAN BERAS HITAM
Perubahan gaya hidup dan pola konsumsi pangan
masyarakat berdampak negatif terhadap kesehatan
konsumen karena menderita penyakit degeneratif seperti
kanker, jantung koroner, hipertensi, dan diabetes. Para
leluhur telah mengajarkan pentingnya mengonsumsi beras
merah atau beras hitam sebagai obat tradisional. Hal ini
sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi bahwa beras merah dan beras hitam
mengandung antosianin tinggi yang berfungsi sebagai
antioksidan dan mineral yang bermanfaat bagi
kesehatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, sebagian masyarakat
telah menyadari manfaat beras merah dan hitam bagi
kesehatan. Hal ini antara lain tercermin dari banyaknya
konsumen menengah ke atas yang memerlukan beras
fungsional dalam upaya penyembuhan dan pencegahan
penyakit degeneratif. Tidak hanya di pasar tradisional,
beras merah dan beras hitam dewasa ini sudah dijual di
pasar moderen. Beberapa industri pangan juga telah
menjadikan beras merah dan beras hitam sebagai bahan
utama produk makanan sehat siap saji, baik untuk
konsumen dewasa maupun bayi.
Tabel 3. Rata-rata hasil gabah kering giling (GKG) galur harapan padi beras merah dan beras hitam pada uji daya hasil
lanjutan di dua lokasi dalam dua musim, 2013.
Galur
Beda hasil (%)
Hasil (t/ha)
CHR
AS
B12344-3D-PN-37-6 (BM)
B12747-MR-4-3-PN-3-1 (BMA)
Cherang (BP) (kontrol)
Aek Sibundong (BM) (kontrol)
B12747-MR-4-2-PN-2-2 (KM)
B11955-MR-84-1-4-1 (BM)
B12747-MR-4-2-PN-3-1 (BM)
B13486D-4-12-PN-2 (BH)
B11823-MR-2-23-2-4-5-Si-2-3 (BM)
B13486D-4-12-PN-1 (BH)
B11823-MR-2-23-2-4-5-Si-2-1 (BMA)
B13486D-4-12-PN-3 (BH)
6,99
6,78
6,58
6,51
6,32
6,14
5,77
5,70
5,67
5,66
5,13
4,94
6
3
0
-1
-4
-7
-12
-13
-14
-14
-22
-25
7
4
1
0
-3
-6
-11
-12
-13
-13
-21
-24
Rata-rata
6,02
-9
-8
Keterangan: CHR = Ciherang; AS = Aek Sibundong; BM = beras merah; BMA = beras merah aromatik; BP = beras putih; KM = ketan
merah; BH = beras hitam
Sumber: Abdullah 2014 (unpublished)
96
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98
Beras merah dan beras hitam yang dijual di pasaran
umumnya varietas lokal. Sebagai contoh, beras merah
varietas Jatiluwih dan Kalirejo masing-masing telah
dibudidayakan sebagai komoditas komersial di Bali dan
Batang Jawa Tengah. Sementara itu, padi beras hitam
varietas lokal Cempo ireng telah dikembangkan pula oleh
petani di beberapa lokasi di Sleman (Kristamtini 2008;
Kristamtini et al. 2014) dan dan varietas lokal Melik di
Bantul, Yogyakarta (Jatiharti dan Kristamtini 2010). Padi
lokal diketahui memiliki postur tanaman yang tinggi, umur
panjang, produktivitas rendah, dan rentan terhadap hama
penyakit utama. Hal ini menjadi faktor pembatas dalam
pengembangan varietas lokal padi beras merah dan beras
hitam. Selain itu, kualitas beras merah dan beras hitam
varietas lokal kurang baik dan tekstur nasi pera. Oleh
karena itu, perakitan padi beras merah unggul yang
mempunyai batang pendek-sedang, umur genjah,
produksi tinggi, mutu beras baik, tekstur nasi pulen, dan
tahan hama penyakit utama berperan penting dalam
memenuhi kebutuhan konsumen akan makanan pokok
yang sehat.
Varietas Inpari-24 Gabusan adalah varietas unggul
padi rakitan Badan Litbang Pertanian. Varietas unggul ini
sudah dikembangkan petani di Jawa dan luar Jawa, seperti
Sumatera Selatan, Sumatera Utara, Aceh, Sulawesi
Selatan, Bali, dan Lombok. Pengembangan varietas Inpari24 Gabusan lebih menguntungkan karena memiliki
produktivitas tinggi, umur genjah, mutu beras baik,
tekstur nasi pulen, dan harganya cukup tinggi. Di Bogor,
Yogyakarta, dan Sulawesi Selatan, harga beras merah
varietas Inpari-24 Gabusan di tingkat petani produsen
lebih tinggi dari beras putih, berkisar antara Rp11.00013.000/kg. Setelah dikemas, harga beras merah varietas
Inpari-24 Gabusan meningkat menjadi Rp 20.000–30.000/k;
sedang harga beras putih di tingkat petani sekitar
Rp7.000–8000/kg, sebelum dikemas dan Rp9.000–12.000/
kg setelah dikemas.
Beras merah dalam kemasan 0,5 kg kedap udara yang
diproduksi oleh petani di Demak, Jawa Tengah, telah
diperdagangkan ke Semarang, Jakarta, Bandung,
Sumatera, dan Kalimantan (Heri S., komunikasi pribadi),
Gambar 3. Kemasan 1 kg kedap udara beras merah Inpari 24
Gabusan. Produksi TPP Cigombong/Balitbangtan.
Gambar 4. Nasi galur harapan (GH) beras merah dan hitam: D. GH beras merah aromatik; E. GH beras merah;
L. Inpari 24 Gabusan; G. GH beras hitam; H. GH ketan hitam.
97
Peningkatan kadar antosianin beras merah dan .... (Buang Abdullah)
sedangkan dalam kemasan 5 kg dipasarkan ke hotel,
rumah sakit, dan supermarket di Makassar (Sahardi M.
dan Amin Nur, komunikasi pribadi). Beras merah varietas
Inpari-24 Gabusan dengan kemasan 0,5 kg yang
diproduksi oleh petani di Demak, Jawa Tengah, dan
kemasan 5,0 kg yang diproduksi oleh kelompok tani di
Soppeng, Sulawesi Selatan. Beberapa galur harapan padi
beras merah dan beras hitam sedang diuji multilokasi pada
tahun 2017, diharapkan pada tahun 2018 dapat dilepas.
Gambar 3 menunjukkan tampilan Kemasan beras merah
Inpari 24 (Inpari 24 Gabusan) dan Gambar 4 menunjukkan
nasi beberapa galur harapan (GH) beras merah dan beras
hitam.
KESIMPULAN
Hasil telaahan terhadap berbagai hasil penelitian
membuktikan biofortifikasi (perakitan varietas padi
fungsional) berkontribusi dalam meningkatkan
kandungan antioksidan (antosianin) pada beras yang
bermanfaat bagi kesehatan. Perakitan varietas unggul
padi fungsional yang berdaya hasil tinggi, umur genjah,
tahan hama penyakit utama, dan mutu beras tinggi
berperan penting memenuhi kebutuhan pangan
fungsional, meningkatkan pendapatan petani, dan
berkontribusi memperbaiki kesehatan masyarakat. Jika
dikonsumsi secara rutin, beras fungsional dapat
mencegah dan mengurangi penyakit degeneratif seperti
kanker, jantung koroner, diabetes, dan hipertensi. Dalam
mengatasi penyakit degeneratif, mengonsumsi pangan
fungsional hasil biofortikasi lebih efisien dan lebih efektif
dibandingkan dengan pangan hasil fortifikasi karena
senyawa penting yang ditambahkan dalam biofortifikasi
bersifat langgeng.
Program biofortifikasi melalui perakitan padi
fungsional telah menghasilkan varietas unggul Inpari-24
Gabusan dan Inpari-25 Opak Jaya. Kedua varietas
mengandung antosianin yang cukup tinggi dengan
potensi hasil tinggi, tahan terhadap hama wereng cokelat
dan penyakit hawar daun bakteri, dan beras bermutu baik
dengan tekstur nasi pulen. Varietas Inpari-24 Gabusan
sudah menyebar luas di beberapa daerah karena
disenangi konsumen dan menguntungkan petani.
Beberapa galur harapan padi fungsional telah
dihasilkan seperti beras merah, beras merah aromatik,
beras hitam, dan ketan hitam dengan kandungan
antosianin dan daya hasil lebih tinggi dari beras putih.
Beberapa galur harapan beras merah dan beras hitam
masih dalam tahap pengujian daya hasil dan multilokasi.
Beberapa di antaranya diharapkan dapat segera dilepas
sebagai varietas unggul padi beras merah dan beras hitam
dengan sifat yang lebih baik dari varietas unggul yang
ada.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B., Sularjo, Cahyono, Yullianida, E. Herlina, Trisnaningsih,
A. Nasution. S.D. Indrasari, dan S.D. Ardhiyanti. 2014. Perakitan
Varietas Padi Fungsional dengan Produktivitas Tinggi, Tahan
Hama dan Penyakit Utama dan Beras Bermutu Baik. Balai
Besar Penelitian Tanaman Padi. Laporan Akhir Tahun RPTP
DIPA 2013. 37 hlm.
Das, GK and P. Oudhia. 2001. Rice as amedical plant in Chattisgarth,
India. Plant Genet. Resour. Newsl. 122: 46.
Departemen Kesehatan. 2012. Laporan Studi Mortalitas 2011: Pola
penyakit penyebab kematian di Indonesia. Jakarta. Depkes.
Fagi, A. M., C.P. Mamaril, dan M. Syam. 2009. Revolusi Hijau:
Peran dan Dinamika Lembaga Riset. Balai Besar penelitian
Tanaman Padi – International Rice Research Institute. 43 hlm.
Gregorio, G.B. 2002. Progress in breeding for trace minerals in
staple crops. Symp. Plant Breeding: A New Tool for Fighting
Micronutrient Malnutrition. In Journal of Nutrition: 500S-502S.
Gregorio, G.B., D. Senadhira, H. Htut, and R.D. Graham. 2000.
Breeding for trace mineral density in rice. Food and Nutrition
Bulletin 21(4): 382386.
Haas, J.D., J.L. Beard, L.E. Murray-Kolb., A.M. del Mundo, A.
Felix, and G.B. Gregorio. 2005. Iron-Biofortified Rice Improves
the Iron Store of Nonanemic Filipino Women. Journal of
Nutrition, American Society for Nutrition. hlm. 28232830.
Herdiansyah, D. Alam. L. Amalia dan D. Briawan. 2002. Analisis
manfaat dan biaya pprogram fortifikasi minyak goreng dengan
vitamin A. Media Gizi & Keluarga 26(2): 4957.
Hermanto, S.W. Dedik, dan E. Hikmat. 2009. Deskripsi Varietas
Unggul Padi 19432009. PusatPenelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan. Badan Litbang Pertanian. 220 hlm.
Indrasari, S.D. dan M.O. Adnyana. 2007. Preferensi Konsumen
terhadap Beras Merah sebagai Sumber Pangan Fungsional. Iptek
Tanaman Pangan 2(2): 227–241.
Indrasari, S.D., P. Wibowo dan E.Y. Purwani. 2010. Evaluasi mutu
fisik, mutu giling, dan kandungan antosianin kultivar beras
merah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 29(1):
56–62.
Indrasari, S.D., P. Wibowo, and D.S. Damardjati. 1997. Food
consumption pattern based on the expenditure level of rural
communities in several parts in Indonesia. Balai Penelitian
Tanaman Padi. Sukamandi (unpublished).
Jatiharti, A. dan Kristamtini. 2010. Usaha tani padi beras hitam
Melik di Bantul. Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian
Padi 2009. Buku 3. Sukamandi: Balai Penelitian Tanaman Padi
Jawi, I.M. dan K. Budiasa. 2011. Ekstrak air umbi jalar unggu
menurunkan total kolesterol serta meningkatkan total
antioksidan darah kelinci. Jurnal Veteriner 12(2): 12–125.
Juliano, B.O. 1993. Rice in human nutrion. IRRI-FAO, Rome 1993.
Juliano, B.O. 2003. Rice Chemistry and Quality. Philippine Rice
Research Institute. 480 p.
Khumaidi, M. 2008. Beras sebagai pangan pokok utama bangsa
Indonesia, keunikan dan tantangannya. Pemikiran Guru Besar
IPB. Jakarta Penebar. hlm. 179–186.
Kim, M.K, K. Hannah, K. Kwangoh, K.H. Seon, S.L. Young, and
M.K. Yong. 2008. Identification and kuantification of
anthocyanin in colored rice. Nutr. Res. Practice 2(1): 46–49.
Krisnatuti, D.P., dan R. Yenrina. 1999. Perencanaan Menu bagi
Penderita Jantung Koroner. Jakarta: Trubus Agriwidya.
Kristamtini. 2008. Penampilan Cempo Ireng sebagai sumber daya
genetik beras hitam. Prosiding Seminar Nasional Berbasis Sumber
Pangan Lokal untuk Mendukung Kedaulatan Pangan. Univesitas
Mercu Buana Yogyakarta bekerja sama dengan Perhimpunan
Ahli Teknologi Pangan Indonesia (PATPI) Yogyakarta dan
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Yogyakarta, 18 Desember
2008.
98
Kristamtini, Taryono, P. Basunanda, dan R.H. Murti. 2014. Beras
hitam sumber antosianin dan prospeknya sebagai pangan
fungsional. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
33(1): 17–24.
Lamid, A., Rimbawan, A. Khomsan, C.M. Kusharto, dan Muhilal.
2007. Pengaruh suplemen iodium dan beta karoten terhadap
status iodium dan status gizi ibu hamil di daerah endemik GAKI.
Media Gizi & Keluarga, Desember, 31(2): 74–83.
Marliyati, S.A., A. Nasoetion, M. Simanjuntak, dan P. Puspitasari.
2008. Pola konsumsi pangan pria dewasa di pedesaan dan
perkotaan Bogor-Jawa Barat: Kaitannya dengan faktor resiko
penyakit jantung koroner. Media Gizi dan Keluarga, Desember,
32(2): 1–24.
Paine, J.A., C.A. Shipton, S. Chaggar, R.M. Howells, M.J. Kennedy,
G. Vernon, S.Y. Wright, E. Hinchliffe, J.L. Adams, A.L.
Silverstone and R. Drake. 2005. Improving the nutritioanal
value of Golden Rice through increased pro-vitamin A content.
Nature biotechnology 23(4): 482–487.
Pengkumsri, N., C. Chaiyasut, C. Saenjum, S. Sirilun, S. Peerajan, P.
Suwannalert, S. Sirisattha, and B.S. Sivamaruthi. 2015. Physicochemical and antioxidatve propreeties of black, brown and red
rice varieties of North Thailand. Food Sci. Technol. Campinas,
35(2): 331–338.
Ryu, S.N., S.Z. Park, and C.T. Ho. 1998. High performances liquid
chromatographic determination of anthocyanin pigments in
some varieties of black rice. J. Food Drug Analysis 6: 1710–
1715.
Sompong, R., S. Siebenhandl-Ehn, G. Linsberger-Martn, and E.
Berghofer. 2011. Physicochemical and antioxidative properties
of red and black rice varieties from Thailand, China and Sri
Lanka. Food Chemistry 124: 132–140.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 91-98
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki, S.E., Suprihanto, A.
Setyono, S.D. Indrasari, M.Y. Samaullah, dan H. Sembiring.
2009. Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. Badan Litbang Pertanian. 105 hlm.
Tang, S. and Z. Wang. 2001 Breeding for superior quality aromatic
rice varieties in China. Pages 35–44. In Speciality Rices of the
World: Breeding, Production and Marketing. R.C. Cahudury,
D.V. Tran, R. Duffy (Eds). Food Agric Org. Rome. Italy–Sci
Publ Inc. Enfield. NH. USA.
Timberlake, C.F. and B.S. Henry. 1988. Anthocyanions as natural
food colorants. Prog. Clin. Biol. Res. 280: 107–121.
Wang, G., B. Parpia, and Z. Wen. 1997. The composition of Chinese
foods. Institute of Nutrition and Food Hygiene Chinese
Academy of Preventive Medicine. Washington DC: ILSI Press.
Welch, R.M. and R.D. Graham. A new paradigm for world agriculture:
productive, sustainable, nutritious, healthful food systems. 2000.
Food and Nutrition Bulletin 21(4): 361–366.
Widjayanti, E. 2004. Potensi dan Prospek Pangan Fungsional
Indigenous Indonesia. Disajikan pada Seminar Nasional: Pangan
Fungsional Indigenous Indonesia: Potensi, Regulasi, Keamanan,
Efikasi dan Peluang Pasar. Bandung, 6–7 Oktober 2004. Welch,
R. M. and R. D. Graham. 2000. A new paradigm for world
agriculture: productive, sustainable, nutrition, healthful food
systems. Food and Nutrition Bulletin. 1(4): 361–366.
Wirth, J., S. Poletti, B. Aeschlimann, N. Yakandawala, B. Drosse, S.
Osario, T. Tohge, A. Fernie, D. Gunther, W. Gruissem, and C.
Sautter, C. 2009. Rice endosperm iron biofortification y targeted
and synergistic action of nicotianamine synthase and ferritin.
Plant Biotechnology Journal 7: 1–14.
Heritabilitas,
Jurnal
Litbangsumber
Pertanian
gen,Vol.
dan36
durabilitas
No. 2 Desember
ketahanan
2017:
varietas
99-108.... (Dini Yuliani dan Wage Ratna
DOI:
Rohaeni)
10.21082/jp3.v36n2.2017.p99-108
99
HERITABILITAS, SUMBER GEN, DAN DURABILITAS KETAHANAN VARIETAS
PADI TERHADAP PENYAKIT HAWAR DAUN BAKTERI
Heritability, Gene Resource, and Durability of Rice Varieties Resistance
To Bacterial Leaf Blight Disease
Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni
Balai Besar Penelitian Padi
Jalan Raya No. 9, Sukamandi, Kabupaten Subang 41256, Jawa Barat
Telp. (0260) 520157; (0260) 520158
E-mail: bbpadi@litbang.pertanian.go.id; diniyuliani2010@gmail.com
Diterima: 20 Juni 2017; Direvisi: 25 Oktober 2017; Disetujui: 7 November 2017
ABSTRAK
Penyakit hawar daun bakteri (HDB) merupakan salah satu kendala
dalam peningkatan produksi padi. Penggunaan varietas tahan
merupakan cara pengendalian yang efektif dan mudah diterapkan
petani. Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber gen
ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan strategi
mempertahankan durabilitas varietas tahan sebagai salah satu upaya
pengendalian melalui pemuliaan tanaman mendukung upaya
peningkatan produksi padi. Perakitan dan pengembangan varietas
tahan berperan penting mengendalikan penyakit HDB, karena
memiliki mekanisme ketahanan genetik yang dapat diwariskan
kepada keturunannya. Varietas dengan ketahanan vertikal mudah
dipatahkan oleh patogen, sehingga perlu upaya perakitan varietas
dengan ketahanan horizontal. Untuk memperoleh keturunan
tanaman padi yang tahan terhadap penyakit HDB dalam perakitan
varietas, posisi tetua tahan sebaiknya diperankan sebagai tetua
betina yang memiliki daya gabung khusus yang tinggi. Sifat
ketahanan HDB dari populasi tetua yang mengandung gen dari hasil
silang ganda memilliki heritabilitas lebih tinggi. Populasi turunan
dari silang ganda memiliki ketahanan multigenik dan berpeluang
menghasilkan individu rekombinan tahan untuk periode yang lama
(durable). Ketersediaan varietas tahan yang durable menjadi syarat
utama dalam pengendalian penyakit HDB secara berkelanjutan. Hal
ini dapat dilakukan dengan perbaikan ketahanan varietas melalui
perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di antaranya
padi liar, padi lokal, dan padi introduksi.
Kata kunci: Padi, varietas, ketahanan, hawar daun bakteri,
durabilitas, heritabilitas
ABSTRACT
Bacterial leaf blight (BLB) disease is one of the obstacles in
increasing of rice production. The use of resistant varieties is an
effective and easy to implement for farmers. This paper discusses
the heritability and source of resistance genes of rice varieties
against the BLB disease and strategies to maintain the durability
of resistant varieties as one of the control efforts through plant
breeding to supports the increasing of rice production. Assembling
and development of resistant varieties play an important role in
controlling BLB disease because it has a genetic resistance
mechanism that can be inherited to progeny level. Varieties with
vertical resistance are easily broken by pathogens, so it is necessary
to assembling of varieties with horizontal resistance. To obtain the
resistant progeny to BLB disease in the assembly of varieties, the
position of the resistant varieties should be played as a female
parent that has a high specific joining power. The nature of
resistance to BLB is from a population whose parent genes are
derived from multiple cross results has higher heritability. The
populations derived from a double-cross have multigenic resistance
and have the potential to produce recombinant individuals
resistant for prolonged periods (durable). The availability of
durable resistant varieties become a key requirement in sustainable
BLB disease control. This matter can be done by improving the
resistance of varieties through the assembling of varieties with
various sources of resistance such as wild rice, local rice, and
introduced rice.
Keywords: Rice, varieties, resistance, bacterial leaf blight,
durability, heritability
PENDAHULUAN
H
awar daun bakteri (HDB) yang termasuk penyakit
utama tanaman padi dapat menurunkan produksi
beras nasional. Penyakit ini disebabkan oleh bakteri
patogen Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Sudir dan
Suprihanto 2008). Patogen ialah organisme hidup yang
menyebabkan penyakit pada tanaman sebagai sarana
untuk bertahan hidup (Leonberger et al. 2016). Penyakit
HDB tersebar luas mulai dari dataran rendah hingga
dataran tinggi dan dijumpai pada berbagai agroekosistem
padi, yang meliputi lahan sawah irigasi, tadah hujan, lahan
kering, dan lahan rawa (Suparyono et al. 2003). Penyakit
ini tersebar luas di 32 provinsi di Indonesia dengan tingkat
penularan berkisar dari ringan hingga berat (Ditlintan
2015).
Infeksi Xanthomonas oryzae pv. oryzae (Xoo) dapat
menghambat pertumbuhan tanaman padi, di antaranya
berkurangnya jumlah daun secara tidak langsung,
mengurangi jumlah malai, dan menghambat pengisian
100
bulir. Fase pertumbuhan tanaman dan varietas padi
berpengaruh terhadap perkembangan penyakit HDB.
Semakin muda tanaman padi terinfeksi semakin cepat
perkembangan penyakit HDB (Khaeruni et al. 2014).
Gejala penyakit HDB berupa bercak kebasahan,
semula pada tepi atau ujung daun padi, kemudian
berkembang ke arah pangkal daun berwarna hijau
keabuan. Lebih lanjut, helaian daun menjadi keriput dan
menggulung hingga seluruh daun mengering (Ou 1985).
Gejala penyakit pada tanaman padi fase vegetatif disebut
kresek, sedangkan pada fase generatif disebut hawar
daun (Sudir dan Suprihanto 2008).
HDB menduduki peringkat keempat dari tujuh
penyakit utama tanaman padi. Penularan HDB di
Indonesia dalam periode 2010-2014 cukup tinggi, berkisar
antara 65,3-115,3 ribu ha. Tanaman padi yang mengalami
puso akibat infeksi penyakit HDB dalam periode tersebut
berkisar antara 6,50-62,20 ha (Ditlintan 2015).
Sudir dan Sutaryo (2011) melaporkan tingkat
keparahan penyakit HDB berkorelasi positif dengan
penurunan hasil gabah. Ambang kerusakan tanaman pada
musim kemarau sekitar 10% dan pada musim hujan 16%.
Setelah ambang kerusakan tersebut, setiap kenaikan
keparahan penyakit 10% menyebabkan kehilangan hasil
padi 5,8% pada musim kemarau dan 3,7% pada musim
hujan. Di India, tingkat keparahan penyakit HDB
mencapai 65-71% sehingga nyata menurunkan produksi
padi. Kehilangan hasil padi akibat penularan HDB di
empat wilayah epidemik di India berkisar antara 92.000105.000 ton di Nellore, 30.000-36.000 ton di Godavari Barat,
46.000 ton di Karnal, dan 22.000 ton di Rangareddy
(Rajarajeswari dan Muralidharan 2006).
Penggunaan varietas tahan merupakan cara mudah
dan efektif mengendalikan penyakit HDB. Meskipun
demikian, menurut Sudir et al. (2012), penanaman satu
jenis varietas tahan secara terus menerus dalam jangka
panjang tidak dianjurkan karena dapat mempercepat
patahnya ketahanan varietas dan memacu terbentuknya
patotipe baru yang lebih virulen.
Pemuliaan tanaman padi tahan HDB menjadi salah
satu program penting dalam perakitan dan perbaikan
varietas padi menggunakan berbagai sumber ketahanan
yang mengacu pada kondisi patotipe Xoo di lapangan.
Perakitan dan perbaikan varietas tahan ke depan
diharapkan memiliki karakter heritabilitas yang tinggi dan
ketahanan yang durable. Menurut Nafisah et al. (2007),
pendugaan heritabilitas suatu sifat pada populasi
tanaman dapat membantu pemulia dalam seleksi dan
evaluasi potensi genetik suatu populasi.
Tulisan ini membahas heritabilitas dan sumber gen
ketahanan varietas padi terhadap penyakit HDB dan
strategi mempertahankan durabilitas varietas tahan
sebagai salah satu upaya pengendalian melalui
pemuliaan tanaman mendukung upaya peningkatan
produksi padi.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108
MEKANISME KETAHANAN TANAMAN
TERHADAP PATOGEN
Secara alamiah tanaman memiliki ketahanan tertentu
terhadap patogen. Tanpa memiliki sifat ketahanan maka
tanaman akan mengalami penularan berat oleh patogen.
Ketahanan yang dimaksud ialah ketahanan tanaman yang
dikuasai oleh gen, sehingga sifat ketahanannya dapat
diwariskan kepada keturunannya. Perkembangan gen
tahan pada tanaman merupakan hasil koevolusi antara
inang dengan patogen yang telah berlangsung lama
(Rahim et al. 2012).
Menurut Muhuria (2003), ketahanan tanaman bersifat
(1) genik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh sifat genetik
yang dapat diwariskan, (2) morfologik, yaitu sifat tahan
karena sifat morfologi tanaman yang tidak menguntungkan bagi hama/patogen, dan (3) kimiawi, yaitu sifat
tahan karena zat kimia yang dihasilkan tanaman.
Berdasarkan susunan dan sifat gen, ketahanan genetik
dapat dibedakan menjadi: (1) monogenik,yaitu sifat tahan
yang diatur oleh satu gen dominan atau resesif, (2)
oligogenik, yaitu sifat tahan yang diatur oleh beberapa
gen yang saling menguatkan, dan (3) poligenik, yaitu sifat
tahan yang diatur oleh banyak gen yang saling menambah
dan masing-masing gen memberikan reaksi yang berbeda
sehingga timbul ketahanan dengan spektrum luas.
Ketahanan genetik dibedakan menjadi beberapa tipe: (1)
vertikal, yaitu bersifat sangat tahan namun mudah patah
(menjadi tidak tahan) oleh munculnya biotipe/patotipe
baru, (2) horizontal, yaitu memiliki tingkat ketahanan
dengan status “agak tahan”, dan (3) ganda atau multilini,
yaitu campuran beberapa galur dengan komponennya
masing-masing memiliki fenotipe yang sama namun gen
yang berbeda memiliki ketahanan terhadap beberapa jenis
hama/patogen.
Ketahanan vertikal terdapat pada varietas yang
memiliki ketahanan terhadap satu atau beberapa ras
patogen dan bersifat mengurangi inokulum awal infektif
dari patogen sehingga mengurangi tingkat keparahan
penyakit. Ketahanan horizontal terjadi apabila tanaman
inang sama efektifnya terhadap semua ras patogen dan
memiliki daya kerja yang dapat menurunkan epidemi
setelah terjadi perkembangan patogen. Varietas dengan
ketahanan vertikal mudah patah sehingga perlu
diupayakan melepas varietas yang memiliki ketahanan
horizontal atau ketahanan ganda (multiple resistance)
atau multilini sebagai suatu upaya untuk mengurangi
kepekaan genetik yang biasa dialami oleh varietas dengan
ketahanan vertikal (Muhuria 2003).
Penanaman varietas yang memiliki ketahanan
horizontal diharapkan dapat mengurangi kepatahan akibat
patogen. Pendekatan genetik dan patologis dalam
perakitan varietas dengan ketahanan horizonal berpreran
penting mengurangi kerusakan tanaman akibat patahnya
ketahanan vertikal yang dihasilkan dari variasi
patogenisitas bakteri patogen. Selain itu perlu pula
101
Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni)
dipelajari hubungan fisiologis dan ultrastruktur tanaman
padi dengan inang parasit (Noda et al. 1990). Aspek
fisiologis berperan dalam perkembangan patogen dan
ketahanan tanaman. Suryadi dan Kadir (2008)
menginformasikan varietas padi yang menunjukkan
ketahanan relatif tinggi terhadap HDB memiliki
kandungan gula reduksi (GR) dan nisbah gula reduksi
nitrogen (GR/N) relatif lebih tinggi dibanding varietas
rentan seperti IR64. Varietas Cisadane memiliki nilai GR/N
relatif lebih tinggi.
HERITABILITAS VARIETAS TAHAN
Pola pewarisan ketahanan genetik varietas terhadap hama
dan penyakit, tipe ketahanan, mekanisme ketahanan, dan
sumber ketahanan genetik perlu diketahui sebelum
memulai program perbaikan ketahanan tanaman. Pola
pewarisan genetik atau heritabilitas merupakan parameter
yang menggambarkan daya waris individu kepada
keturunannya atau derajat kemiripan di antara keduanya
untuk sifat tertentu dalam menganalisis pengaruh genetik
dan lingkungan terhadap kemiripan tersebut (Supriyanta
2002).
Nilai Duga Heritabilitas
Untuk meningkatkan efektivitas seleksi terhadap suatu
karakter diperlukan parameter yang dapat menjelaskan
perbedaan antarindividu yang disebabkan oleh
perbedaan genetik. Parameter tersebut ialah nilai duga
heritabilitas yang merupakan proporsi varian genetik
terhadap varian fenotipe dalam suatu populasi biologis
(Daradjat et al. 2001).
Heritabilitas terbagi menjadi dua, yakni heritabilitas
arti sempit (narrow-sense heritability, h2) dan heritabilitas
arti luas (broad-sense heritability - H2). Respon seleksi
dan nilai korelasi antarkarakter dipengaruhi oleh
heritabilitas arti sempit (h2) (Visscher et al. 2008). Nilai
heritabilitas arti sempit merupakan proporsi dari
keragaman gen aditif yang diturunkan dan relatif
dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan memberikan
perkiraan akurat dalam proses seleksi. Informasi ini dapat
membantu dalam perencanaan perakitan varietas tahan.
Heritabilitas arti sempit (h2):
Heritabilitas arti luas (H2):
2
adalah keragaman fenotipe, σ G keragaman genetik,
keragaman lingkungan,σ A2 ragam aditif,σ D2 ragam dominan,
dan σ I2 ragam epistatis. Epistatis ialah fenomena sifat yang
tidak muncul karena adanya sifat yang lain (Visscher et al.
2008). Nilai duga heritabilitas rendah jika H2bs< 20%,
sedang jika 20% < H2bs < 50%, dan tinggi jika H2bs > 50%
(Stanfield 1983).
Nilai heritabilitas yang tinggi berperan penting dalam
meningkatkan efektivitas seleksi. Jika karakter memiliki
heritabilitas tinggi maka seleksi dapat berlangsung efektif
dan dapat digunakan pada generasi awal karena pengaruh
lingkungan relatif kecil, sehingga faktor genetik lebih
dominan (Lestari et al. 2012). Menurut Daradjat et al.
(2009), semakin banyak varietas yang beradaptasi baik
pada lingkungan tertentu semakin meningkat variabilitas
genetik tanaman. Kondisi ini mampu memperkecil tekanan
seleksi terhadap hama dan atau penyakit tanaman yang
secara tidak langsung juga memperkecil peluang
munculnya biotipe hama dan atau strain penyakit yang
baru.
Faktor yg mempengaruhi nilai duga heritabilitas ialah
ragam genetik, ragam lingkungan, ragam interaksi genetik
dengan lingkungan (G x E), dan tipe persilangan. Karakter
yang dipengaruhi oleh aksi gen aditif akan memiliki nilai
duga hertabilitas yang tinggi, sedangkan apabila karakter
dikendalikan oleh aksi gen nonaditif maka nilai duga
heritabilitas akan rendah. Pengaruh lingkungan dan
interaksi G x E berdampak negatif terhadap nilai
heritabilitas (Suwarto dan Nasrullah 2011). Dengan
demikian, semakin tinggi ragam lingkungan dan ragam
interaksi G x E akan semakin kecil nilai heritabilitas. Hal lain
yang menarik ialah terdapat pengaruh resiprokal terhadap
nilai duga heritabilitas.
σ2
p
Mekanisme Pewarisan Gen Ketahanan
pada Varietas Tahan
Aksi gen yang mengatur mekanisme sifat ketahanan
terhadap penyakit HDB pada tanaman padi adalah aksi
gen nonaditif (Habarurema 2012). Aksi gen nonaditif
dipengaruhi oleh lingkungan yang ditandai oleh
perbandingan proporsi ragam daya gabung umum (DGU)
dan daya gabung khusus (DGK) lebih besar dari 1
(Widyastuti 2016). DGU padi inbrida merupakan rata-rata
kemampuan kesesuaian suatu inbrida dalam persilangan
dengan kelompok inbrida lainnya, sedangkan DGK adalah
daya kemampuan kesesuaian suatu inbrida dengan
inbrida tertentu (Sutoro dan Setyowati 2014). DGU dan
DGK merupakan parameter genetik yang biasa digunakan
dalam mengidentifikasi potensi galur-galur inbrida dalam
perakitan varietas hibrida. Materi yang digunakan pada
penelitian DGU dan DGK adalah galur-galur padi mandul
jantan tipe sitoplasma wild abortive untuk sifat toleran
kekeringan (Widyastuti 2016).
102
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108
PERAKITAN VARIETAS DENGAN
KERAGAMAN SUMBER GEN TAHAN
Menurut Habarurema (2012) terdapat pengaruh
resiprokal terhadap sifat ketahanan HDB pada
keturunannya. Dua tetua yang memiliki DGK tinggi
berpeluang besar menghasilkan keturunan tahan penyakit
HDB. Hasil persilangan Nerica14 x irat104 dan CO39 x
Nerica10 direkomendasikan sebagai varietas padi hibrida
tahan HDB. Varietas Nerica14 dan Nerica10 adalah tetua
tahan yang memiliki DGU dan DGK yang baik. Seleksi
pada keturunan hibrida (P1 x P2) perlu dipisah dengan
resiprokalnya (P2 x P1). Untuk memperoleh peluang yang
lebih besar dalam menghasilkan varietas tahan HDB maka
posisi tetua tahan sebaiknya ditempatkan sebagai tetua
betina.
Perakitan varietas berpotensi hasil tinggi mengalami
kendala akibat sempitnya variabilitas genetik plasma
nutfah yang ada dan dekatnya tingkat kekerabatan
antarvarietas unggul yang ditanam petani. Hal tersebut
diindikasikan oleh gejala pelandaian produksi.
Rendahnya keanekaragaman sumber daya genetik akan
meningkatkan kerawanan genetik padi apabila terjadi
wabah hama atau penyakit. Kerawanan genetik makin
meningkat dengan praktek budi daya padi dua kali tanam
dalam setahun (Daradjat et al. 2009).
Sumber Gen Ketahanan dari Padi Liar
Heritabilitas Sifat Ketahanan terhadap
Hawar Daun Bakteri
Varietas unggul yang telah berkembang saat ini tidak
mampu berproduksi lebih tinggi karena keterbatasan
kemampuan sumber daya genetik. Untuk menghasilkan
varietas unggul yang memiliki sifat-sifat yang diinginkan
melalui program pemuliaan perlu melibatkan berbagai
sumber gen alternatif. Spesies padi liar diketahui sebagai
sumber gen potensial yang telah berhasil diintrogresikan
ke tanaman padi budi daya dan mampu mengatasi kendala
produksi. Spesies padi liar berperan penting sebagai
sumber gen dalam pemuliaan tanaman dan tidak
ditemukan pada budi daya. Oleh karena itu, spesies padi
liar perlu dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk
mengatasi kendala produksi melalui perakitan varietas
(Abdullah 2006).
Di sisi lain, ras patogen terus berkembang membentuk
ras, strain, dan patotipe baru. Dalam hal ini diperlukan
identifikasi sumber gen ketahanan baru untuk digunakan
dalam perakitan varietas tahan. Padi liar yang telah
teridentifikasi bereaksi tahan terhadap patogen Xoo
adalah Oryza nivara, O. longistminata, dan O. punctata
yang direkomendasikan pemanfaatannya dalam program
pemuliaan tanaman padi (Akhtar et al. 2011).
Nilai heritabilitas ketahanan terhadap penyakit HDB
tergolong rendah karena sifat tahan tanaman dipengaruhi
oleh lingkungan. Nilai heritabilitas dapat ditingkatkan
dengan metode silang ganda (Habarurema 2012). Sifat
ketahanan HDB dari populasi yang gen tetuanya berasal
dari hasil silang ganda memilliki heritabilitas lebih tinggi
daripada tetua yang berasal dari silang tunggal. Populasi
dengan gen tahan lebih sedikit memiliki heritabilitas
genetik yang lebih rendah daripada populasi yang
memiliki gen tahan lebih banyak (Nafisah et al. 2007;
Tasliah 2012). Heritabilitas tetua yang berasal dari hasil
silang tunggal memiliki nilai 0,19. Nilai heritabilitas paling
tinggi berasal dari tetua hasil silang ganda, yaitu 0,60
(Tabel 1).
Sifat tahan terhadap penyakit HDB memiliki nilai duga
heritabilitas arti luas maupun arti sempit yang rendah
hingga sedang. Peluang mendapatkan nilai duga
heritabilitas yang tinggi (H2 > 50%) diperoleh pada tipe
persilangan double cross dengan tetua jantan dari hasil
persilangan single cross tetua yang memiliki gen tahan Xa
secara piramiding dengan kombinasi lebih dari tiga gen
tahan (Nafisah et al. 2007). Dengan demikian, untuk
memperoleh karakter tahan HDB dengan nilai heritabilitas
>50% dapat dilakukan dengan menyilangkan tetua yang
memiliki gen Xa/xa lebih dari tiga jenis gen tahan
menggunakan metode double cross.
Sumber Gen Ketahanan dari Padi Lokal
Alternatif sumber gen ketahanan lainnya adalah padi
lokal. Yuliani et al. (2014) telah memperoleh varietas lokal
Tabel 1. Nilai heritabilitas beberapa hasil persilangan untuk ketahanan terhadap penyakit HDB.
Progeni
F2 turunan Nerica4, Nerica10, dan Nerica14
(silang tunggal)
Silang tunggal genotipe IRBB (2 gen Xa/xa)
Silang ganda IRBB (>3 gen Xa/xa) tipe 1 (A/B//C)
Silang ganda IRBB (>3 gen Xa/xa) tipe 2 (A//B/C)
Heritabilitas
arti luas
Heritabilitas
arti sempit
16.36%
92%
Habarurema et al. (2012)
-
19%
65%
30%
Nafisah et al. (2007)
Nafisah et al. (2007)
Nafisah et al. (2007)
Referensi
103
Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni)
(Kutuk, Mansur, dan Ketan Belimbing) yang konsisten
tahan terhadap Xoo patotipe III pada musim hujan 2012/
2013 dan musim kemarau 2013. Susanto dan Sudir (2012)
juga telah mengidentifikasi varietas lokal yang bereaksi
tahan atau agak tahan terhadap Xoo patotipe III dan agak
tahan atau agak rentan terhadap Xoo patotipe IV dan VIII,
sehingga memiliki ketahanan yang relatif baik dan
berspektrum luas. Varietas lokal yang bereaksi tahan
terhadap penyakit HDB seperti Ketan Garut, Pandan
wangi, Remaja, dan Gembang dapat digunakan sebagai
tetua tahan pada perakitan dan perbaikan varietas unggul
baru (VUB) tahan HDB. Padi lokal ini telah beradaptasi
pada lingkungannya sehingga dapat diadopsi dan
dikembangkan untuk menanggulangi epidemik penyakit
HDB.
Sumber Gen Ketahanan dari Padi
Introduksi
Berdasarkan data bank gen International Rice Research
Institute (IRRI) dalam Tasliah et al. (2013), terdapat 28
varietas IRBB rakitan IRRI yang mengandung gen
ketahanan terhadap penyakit HDB. Pada varietas IRBB
terdapat gen yang mengendalikan sifat tahan terhadap
HDB, yaitu gen mayor (Xa) dan gen minor (xa). Dari
varietas IRBB rakitan IRRI teridentifikasi 11 varietas yang
mengandung gen tunggal dan 17 varietas mengandung
multigen (Tabel 2).
Semua varietas IRBB telah dikoleksi oleh Balai Besar
Penelitian Tanaman Padi (BB Padi) dengan nomor aksesi
tertera pada Tabel 2, kecuali IRBB 66. Hampir semua
varietas IRBB yang dikoleksi BB Padi telah diuji
ketahanannya terhadap penyakit HDB.
Yunani et al. (2014) melaporkan varietas IRBB yang
mengandung gen tahan mayor Xa atau gen minor xa tidak
selalu tahan terhadap penyakit HDB, terutama patotipe IV.
Hal ini menunjukkan tidak semua varietas IRBB dapat
dijadikan tetua persilangan dalam perakitan varietas tahan
HDB. Namun dari hasil skrining teridentifikasi lima varietas
IRBB yang bereaksi sangat tahan yakni IRBB 7, IRBB 21,
IRBB 50, IRBB 52, dan IRBB 58. Pada varietas IRBB 7 dan
IRBB 21 terdapat gen tunggal yang bersifat dominan yaitu
Xa7 dan Xa21. Varietas IRBB 50, IRBB 52, dan IRBB 58
Tabel 2. Varietas IRBB dengan gen ketahanannya terhadap penyakit HDB.
Aksesi
Varietas
Pedigree
Gen ketahanan* )
4855
4857
805
806
807
808
7582
4863
4864
8240
IRBB 1
IRBB 3
IRBB 4
IRBB 5
IRBB 7
IRBB 8
IRBB 10
IRBB 11
IRBB 13
IRBB 14
813
4867
815
816
817
818
8241
4873
8242
822
823
8243
7008
7033
7039
7025
IRBB 21
IRBB 50
IRBB 51
IRBB 52
IRBB 53
IRBB 54
IRBB 55
IRBB 56
IRBB 57
IRBB 58
IRBB 59
IRBB 60
IRBB 61
IRBB 62
IRBB 63
IRBB 64
IR24*5/Kogyoku
IR24*5/Chugoku45
IR24*5/IR20
IR24*5/IR1545-339
IR24*5/DV85
IR24*5/P1231129
10 IR24*5/Cas209
11 IR24*5/IR8
13 BJI/5*IR24
14 Taichung native1/5*IR24
21 IR24*8/Oryza
Longistaminata
tidak ada informasi
IR72912
IR72913
R72914
IR72915
IR72916
IR72918
IR72919
IR72920
IR72920
IR72920
IRBB60/IRBB7
IRBB60/IRBB7
IRBB60/IRBB7
IRBB60/IRBB7
Xa1 dari Kogyoku
Xa3 dari Wase Aikoku
Xa4 dari TKM6
xa5 dari DZ192
Xa7 dari DV85
xa8 dari P1231129
Xa10 dari Cas209
Xa11 dari IR8
xa13 dari BJI
Xa14 dari TN1
Xa21 dari Oryza 1
Longistaminata
Xa4 + xa5
Xa4 + xa13
Xa4 + Xa21
xa5 +xa13
xa5 + Xa21
xa13+ Xa21
Xa4 + xa5 + xa13
Xa4 + xa5 + Xa21
Xa4 + xa13 + Xa21
xa5 + xa13 + Xa21
Xa4 + xa5 + xa13 + Xa21
Xa4 + xa5 + Xa7
Xa4 + xa5 + Xa7
xa5 + Xa7 + xa13
Xa4 + xa5 + Xa7 + Xa21
7038
IRBB 65
IRBB60/IRBB7
Xa4 + Xa7 + xa13 + Xa21
IRBB 66
Angke
Conde
IRBB60/IRBB7
IR64 6/IRBB5
IR64 6/IRBB7
Xa4 + xa5 + Xa7 + xa13 + Xa21
xa5
Xa7
Skor toleransi thd
patotipe IV** )
7
3
7
3
1
7
7
7
1
1
7
1
3
3
7****
5
1
3
7****
7****
-
1*** )
1*** )
Ket.: *) Tasliah et al. (2013), **) Yunani et al. (2014), ***) BB Biogen (2007), ****) Yuliani et al. (2014). Skor ketahanan HDB:
1= sangat tahan, 3= tahan, 5= agak rentan, 7= rentan, 9= sangat rentan, dan - = belum ada informasi pengujian.
104
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108
mengandung gen tahan piramiding berturut-turut Xa4 +
xa5; Xa4 + Xa21; dan Xa4 + xa13 + Xa21. Varietas IRBB
yang sangat tahan terhadap HDB dapat direkomendasikan sebagai tetua dalam perakitan varietas unggul
padi tahan penyakit HDB.
Upaya pengendalian penyakit HDB secara
berkelanjutan dapat dilakukan melalui perbaikan
ketahanan varietas secara cermat karena struktur dan
dominasi patotipe Xoo di Indonesia berbeda dengan
patotipe Xoo koleksi IRRI (Tasliah et al. 2013). Di antara
gen tahan HDB, terdapat gen resesif xa5 dan gen dominan
Xa7 yang efektif mengendalikan beberapa patotipe Xoo di
Indonesia. Kedua gen tahan tersebut telah disisipkan ke
dalam varietas IR64 melalui silang-balik (backcross). Gen
tahan pada varietas IR64 kemudian disilangkan dengan
varietas IRBB 5 atau IRBB 7 sehingga menghasilkan
varietas Angke dan Conde yang masing-masing
mengandung gen xa5 dan Xa7. Kedua varietas unggul ini
merupakan hasil rakitan pemulia Indonesia dan telah diuji
dengan patotipe Xoo asal Indonesia (BB Biogen 2007).
PERBAIKAN KETAHANAN
VARIETAS
Perbaikan ketahanan varietas padi terhadap penyakit
HDB telah banyak dilakukan dan varietas unggul yang
dihasilkan telah dilepas untuk diadopsi petani. Terdapat
tiga varietas unggul baru padi sawah irigasi yang tahan
terhadap tiga patotipe dominan penyakit HDB (patotipe
III, IV, dan VIII), yakni Inpari 1, Inpari 6 Jete, dan Inpari 17
(BB Padi 2015). Patotipe ialah sinonim dari strain, form,
variant, pathovar, atau ras (race), yaitu populasi patogen
yang semua anggota individunya mempunyai
kemampuan yang sama sebagai parasit (Sudir et al. 2012).
Patotipe ditentukan berdasarkan reaksi virulensi terhadap satu set perangkat varietas diferensial terpilih
(Suparyono et al. 2003).
Varietas Inpari 1, Inpari 6 Jete, dan Inpari 17
direkomendasikan sebagai tetua tahan dalam perakitan
varietas unggu tahan HDB karena berpeluang besar dalam
menghasilkan keturunan tahan. Varietas unggul baru
yang memiliki ketahanan terhadap patotipe III dan IV
adalah Inpari 4. Varietas tahan patotipe III paling banyak,
di antaranya Inpari 5, Inpari 11, Inpari 16, Inpari 18, Inpari
19, Inpari 20, Inpari 20, Inpari 21, Inpari 22, Inpari 23, Inpari
24, Inpari 25, Inpari 26, Inpari 27, Inpari 28, Inpari 31, Inpari
32, Inpari 33, Inpari 43, dan Inpari 44 (Tabel 3).
VUB padi sawah irigasi yang telah teruji tahan dapat
dikembangkan untuk mengatasi epidemik penyakit HDB.
Jumlah varietas unggul padi yang telah dilepas di
Indonesia cukup banyak yang dapat dikembangkan
sesuai kebutuhan ditinjau dari segi umur, postur tanaman,
bentuk gabah, tekstur nasi, potensi hasil, selera pasar, dan
ketahanan terhadap hama penyakit. Dengan demikian
banyak pilihan bagi petani dalam menentukan varietas
yang akan dikembangkan, sesuai dengan preferensi
konsumen dan spesifik lokasi.
Tabel 3. Tingkat ketahanan varietas unggul baru padi sawah irigasi terhadap penyakit HDB.
Varietas
Inpari 1
Inpari 4
Inpari 5 Merawu
Inpari 6 Jete
Inpari 16 Pasundan
Inpari 17
Inpari 18
Inpari 19
Inpari 20
Inpari 21
Inpari 22
Inpari 23 Bantul
Inpari 24 Gabusan
Inpari 25 Opak Jaya
Inpari 26
Inpari 27
Inpari 28 Kerinci
Inpari 31
Inpari 32
Inpari 33
Inpari 43 Agritan GSR
Inpari 44 Agritan
Sumber: BB Padi (2015).
Tingkat ketahanan
terhadap HDB patotipe
Pedigree
R64/IRBB-7//IR64
S4384F-14-1/WayApo Buru//S4384F-14-1
SHEN NUNG 89-366/KetanLumbu
Dakava line 85/Membramo
Ciherang/ Cisadane// Ciherang
Bio9-MR-V3-11-PN-5// IR64*3/IRBB21
BP364B-33-3-PN-5-1/ Bio530B-45-9-3-1
BP342B-MR—1-3/ BP226E-MR-76
S2823E-KN-33/ IR64// S2823E/ KN/ 33
Sitali/ S3383-1d-Pn-16-2/ S969B-265-1-4-1
IR42/IRBB5// CIHERANG/// TOWUTI
B11738RS(Gilirang/ BP342F-MR-1-3//Gilirang)
Bio 12 – MR-1-4-PN-6/ Beras Merah
BIO 530C-MR-1/ IRBB 21
Introduksi dari IRRI (SHINEI / CHINA 971)
Introduksi dari IRRI (BALDO/7904-TR4-4-2-1-1)
IR 63872-14-2-2-1/ CEA-1
Pepe/BP342B-MR-1-3-KN-1-2-3-6-MR-3-BT-1
Ciherang/IRBB64
BP/360E-MR-79-PN-2/IR71218-38-4-3//BP360E-MR-79-PN-2
WuFengZhan/IRBB5/WuFengZhan
Kebo x Ciherang
III
IV
VIII
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
AR
T
AT
AT
AR
AR
R
AT
AT
AT
AR
AR
AR
AT
AT
AT
AT
AR
T
AR
AT
T
AR
T
R
R
R
AR
R
R
AR
AT
AR
AR
AR
AT
AT
AT
AT
AT
Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni)
STRATEGI MEMPERTAHANKAN
DURABILITAS VARIETAS TAHAN
TERHADAP HDB
Tujuan utama pemuliaan tanaman untuk ketahanan
terhadap HDB ialah memperoleh varietas unggul yang
dapat bertahan lama mengatasi kehilangan hasil akibat
serbuan patogen di lapangan. Nafisah et al. (2007) telah
menghasilkan populasi turunan silang ganda (set III) dari
seleksi daur ulang siklus I yang memiliki ketahanan
multigenik terhadap HDB dan berpeluang menghasilkan
individu rekombinan tahan untuk periode yang lama
(durable).
Untuk menghasilkan varietas tahan yang durable
dibutuhkan kerja sama multidisiplin, di antaranya
patologi, pemuliaan tanaman, dan epidemiologi untuk
menggabungkan diagnosis, model penyakit, dan program
pemuliaan ke dalam platform untuk menyesuaikan
penyebaran varietas. Visi ini tidak membatasi bidang
penelitian lain untuk berkontribusi dalam pengembangan
varietas unggul. Peneliti dari berbagai disiplin ilmu dapat
memberikan rekomendasi varietas unggul yang akan
dikembangkan untuk mengurangi epidemik (Dossa et al.
2015).
Tanam Varietas Tahan Berdasarkan
Patotipe Xoo
Struktur dan dominasi patotipe Xoo cepat berubah dari
waktu ke waktu dan berbeda dari suatu daerah dengan
daerah lainnya. Oleh karena itu, pemantauan penyebaran
geografis patotipe HDB diperlukan dari waktu ke waktu
(Sudir dan Handoko 2012).
Patotipe Xoo yang berkembang di Indonesia adalah
patotipe III, IV, dan VIII. Di sentra produksi padi di Pulau
Jawa, patotipe Xoo didominasi oleh patotipe VIII, kecuali
di Daerah Istimewa Yogyakarta. Di Pulau Jawa, patotipe
VIII tersebar di dataran rendah dan dataran sedang,
sementara patotipe III dan IV merupakan patotipe khas di
daerah tertentu. Komposisi patotipe Xoo di sentra
produksi padi di Pulau Jawa yaitu 23,5% patotipe III,
15,9% patotipe IV, dan 60,6% patotipe VIII (Sudir et al.
2009).
Berdasarkan virulensi lima varietas diferensial HDB
diperoleh 2.658 isolat Xoo dari 10 provinsi sentra produksi
padi di Indonesia, dengan komposisi 30% patotipe III,
36% patotipe IV, dan 34% patotipe VIII. Patotipe III
dominan di D.I. Yogyakarta, Sulawesi Selatan, dan
Sumatera Selatan. Patotipe IV dominan di Sumatera Utara,
Lampung, dan Nusa Tenggara Barat. Patotipe VIII
dominan di Jawa Barat, Banten, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur (Sudir dan Yuliani 2016). Menurut Suparyono et al.
(2004), dominasi patotipe IV dan VIII mengindikasikan
penyakit HDB masih menjadi ancaman produksi padi di
Indonesia sejak sebagian besar varietas padi yang
105
berkembang di petani bereaksi rentan terhadap dua
patotipe tersebut.
Pola sebaran patotipe bakteri Xoo diharapkan dapat
digunakan sebagai acuan pengendalian penyakit HDB
dengan penanaman varietas tahan berdasarkan patotipe
yang ada di lapangan. Di daerah yang didominasi oleh
HDB patotipe III disarankan menanam varietas padi tahan
HDB patotipe III. Demikian juga di daerah yang
didominasi oleh HDB patotipe IV dan patotipe VIII,
masing-masing direkomendasikan menggunakan varietas
tahan HDB patotipe IV dan VIII (Sudir et al. 2013).
Varietas padi tahan patotipe III antara lain
Memberamo, Cibodas, Ciherang, Sintanur, Cigeulis, Inpari
5, Inpari 6, Inpari 7, Inpari 8, dan Inpari 16 hingga Inpari 28.
Varietas tahan HDB patotipe IV di antaranya Ciujung,
Conde, Angke, Inpari 1, Inpari 6, dan Inpari 17. Varietas
tahan yang dianjurkan ditanam pada daerah endemis HDB
patotipe VIII adalah Conde, Angke, Inpari 1, Inpari 4,
Inpari 6, Inpari 17, dan Cimelati (Sudir dan Yuliani 2016).
Informasi komposisi dan dominasi patotipe Xoo di
suatu wilayah berperan penting dalam kaitannya dengan
progam pengendalian dan pengembangan varietas tahan
HDB. Hasil pengelompokkan dan distribusi patotipe
bakteri Xoo yang berasal dari areal pertanaman padi di
Sulawesi Selatan menunjukkan keragaman varietas
dengan tingkat ketahanan yang berbeda terhadap infeksi
bakteri Xoo dan mampu memperlambat laju perkembangan
dan munculnya patotipe baru yang menginfeksi tanaman
padi sawah di beberapa daerah (Asysyuura 2016).
Kesesuaian varietas yang ditanam dengan patotipe
patogen di lapangan meningkatkan efektivitas
pengendalian HDB sehingga perkembangannya dapat
diminimalisasi, umur ketahanan varietas dapat
diperpanjang, dan kehilangan hasil dapat ditekan (Sudir
et al. 2009).
Pergiliran Varietas Tahan
Penanaman satu varietas tahan secara terus menerus
dapat mematahkan ketahanannya terhadap patogen
karena tekanan seleksi. Pada kondisi lingkungan yang
memungkinkan, patogen terutama Xoo dapat membentuk
patotipe baru yang lebih virulen. Penelitian Sudir dan
Suprihanto (2006) pada musim hujan menunjukkan terjadi
perubahan strain Xoo ke arah yang lebih virulen.
Perubahan ketahanan varietas terhadap Xoo dapat terjadi
setelah inokulasi Xoo tiga kali secara beruntun seperti
ditunjukkan oleh varietas tahan Java 14, tingkat
ketahanannya berubah dari tahan menjadi rentan dengan
tingkat keparahan penyakit 12,633,4%.
Pada daerah yang sama dapat dijumpai campuran
patotipe Xoo yang berbeda. Hal ini mengindikasikan
perlunya pergiliran varietas tahan berlatar belakang gen
tahan kombinasi (piramiding gene). Analisis keragaman
genetik Xoo penting artinya untuk membantu perakitan
dan pengembangan varietas padi tahan HDB spesifik
106
lokasi. Sebanyak 15 isolat Xoo yang berasal dari beberapa
daerah di Jawa Barat dan Jawa Tengah menunjukkan
keragaman genetik yang cukup tinggi. Berdasarkan
analisis gen 16SrRNA diperoleh 13 pola pita ARDRA yang
berbeda. Hal ini menunjukkan keragaman genetik Xoo
cukup tinggi dan patogen Xoo mudah berubah
virulensinya sehingga sulit untuk dikendalikan. Oleh
karena itu, para pemulia padi sebaiknya merakit varietas
yang memiliki ketahanan horizontal terhadap HDB dengan
menyilangkan dengan varietas yang memiliki latar
belakang gen tahan terhadap HDB sehingga tidak mudah
dipatahkan ketahanannya oleh patogen.
Berbeda dengan analisis Suryadi et al. (2014)
berdasarkan pohon filogenetika yang menunjukkan isolat
Xoo yang berasal dari daerah berbeda memiliki kerabatan
secara genetik. Hal ini menunjukkan varietas dan faktor
lingkungan berpengaruh terhadap komposisi dan
dominasi Xoo di lapangan. Untuk mengatasi patahnya
ketahanan varietas padi akibat sergapan patogen Xoo
perlu dilakukan pergiliran varietas dengan berbagai latar
belakang gen ketahanan untuk mengurangi tekanan
seleksi. Pergiliran varietas perlu memperhatikan reaksi
ketahanan varietas terhadap dominasi patotipe Xoo di
lapangan.
Selain pergiliran varietas, upaya lain yang dapat
dilakukan untuk mempertahankan durabilitas di antaranya
penanaman varietas dengan sistem pencampuran atau
mozaik varietas. Menurut Nirwanto (2010), pencampuran
varietas merupakan salah satu cara yang dapat mengubah
banyak karakter tanaman, termasuk ketahanan terhadap
penyakit, tetapi harus mempunyai kesamaan apabila
ditanam bersamaan. Pencampuran varietas tidak
menyebabkan perubahan yang besar pada sistem budi
daya, tetapi dapat meningkatkan stabilitas hasil dan dalam
beberapa hal mengurangi penggunaan pestisida.
Pencampuran varietas lebih mudah diaplikasikan dan
dimodifikasi karena secara genetis seragam tetapi berbeda
dalam ketahanan spesifik terhadap penyakit tanaman.
Sejak tahun 1960an Badan Litbang Pertanian telah
150an varietas unggul padi, tetapi hanya sebagian kecil
yang berkembang luas di petani. Hal ini antara lain terkait
dengan lambatnya diseminasi atau petani belum yakin
sepenuhnya akan keunggulan varietas unggul baru.
Petani tidak mudah mengganti varietas yang diadopasi
dengan varietas yang baru sebelum yakin keunggulannya. Oleh karena itu perlu digiatkan penyuluhan,
demonstrasi varietas, atau kegiatan diseminasi lainnya
agar informasi varietas unggul baru dapat cepat sampai di
lahan petani (Ruskandar 2006).
Pengambilan keputusan petani untuk mengubah
kebiasaan menanam varietas unggul lama menjadi varietas
unggul baru dipengaruhi oleh beberapa faktor, meliputi
umur, tinggi tanaman, jumlah anakan produktif, ketahanan
terhadap hama dan penyakit, hasil, ketersediaan benih
dan keterjangkauan harga (Purwanto et al. 2012). Saat ini
petani mulai menyukai varietas unggul baru, tetapi
ketersediaan benihnya masih terbatas. Menurut Nurhati
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108
et al. (2008), alur produksi dan distribusi benih padi masih
menghadapi kendala. Sistem pendistribusian benih secara
formal yang cukup panjang menjadi penyebab lambatnya
adopsi varietas unggul baru padi oleh petani. Selain itu,
keterbatasan informasi dan ketersediaan stok benih juga
merupakan faktor penghambat penyebarluasan varietas
unggul baru.
Untuk mempercepat adopsi varietas unggul baru
oleh petani dapat diupayakan komersialisasi benih
bermutu melalui kebijakan yang mendukung perakitan
varietas, perbaikan sistem produksi dan pengelolaan
benih sumber, pengembangan industri benih, tata niaga,
dan promosi benih bermutu. Peningkatan kerja sama dan
kemitraan dalam sistem produksi benih bermutu varietas
unggul baru memberikan manfaat komersial bagi para
pelaku yang terlibat (Samaullah 2008).
KESIMPULAN
Nilai heritabilitas karakter sifat ketahanan tanaman padi
terhadap penyakit HDB tergolong rendah hingga sedang.
Perbaikan ketahanan varietas dapat diupayakan melalui
perakitan varietas dengan berbagai sumber ketahanan, di
antaranya dari padi liar, padi lokal, dan padi introduksi.
Sifat ketahanan varietas padi terhadap HDB dari populasi
dengan gen tetua dari silang ganda memilliki heritabilitas
yang lebih tinggi daripada silang tunggal. Populasi
turunan silang ganda memiliki ketahanan multigenik dan
berpeluang menghasilkan individu rekombinan tahan
untuk periode yang lama (durable). Populasi dengan
jumlah gen tahan lebih sedikit memiliki heritabilitas
genetik lebih rendah daripada populasi dengan tetua yang
memiliki lebih banyak gen tahan.
Strategi untuk mempertahankan durabilitas varietas
tahan di antaranya dengan penanaman varietas tahan
berdasarkan patotipe Xoo di lapangan, pergiliran varietas
tahan dengan latar belakang gen tahan kombinasi
(piramiding gene), dan penanaman varietas dengan
sistem pencampuran atau mozaik varietas.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, B. 2006. Potensi padi liar sebagai sumber genetik dalam
pemuliaan padi. Buletin Iptek Tanaman Pangan 1(2): 143
152.
Akhtar, M.A., F.M. Abbasi, H.A.M. Shahzad, and A.H. Shah. 2011.
Evaluation of rice germplasm against Xanthomonas oryzae pv.
oyzae causing bacterial leaf blight. Pakistan Journal Bot. 43(6):
30213023.
Asysyuura. 2016. Keragaman patotipe Xanthomonas oryzae pv.
oryzae pada tanaman padi di beberapa kabupaten di Sulawesi
Selatan. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor.
Bogor. 53 hlm.
BB Biogen. 2007. Varietas unggul padi sawah tahan HDB. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian 29(4): 1718.
BB Padi. 2015. Deskripsi varietas unggul baru padi. Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian. 77 hlm.
Heritabilitas, sumber gen, dan durabilitas ketahanan varietas .... (Dini Yuliani dan Wage Ratna Rohaeni)
Daradjat, A.A., Nafisah, dan R. Kurniati. 2001.Variabilitas dan
heritabilitas karakter indeks kerebahan tanaman padi sawah.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 20(3): 610.
Daradjat, A.A., S. Silitonga, dan Nafisah. 2009. Ketersediaan plasma
nutfah untuk perbaikan varietas padi. Dalam Padi “Inovasi
Teknologi dan Ketahanan Pangan”. Daradjat A.A., A. Setyono,
A.K. Makarim, dan A. Hasanuddin (Editor). Buku 2. hlm. 127.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian. Kementerian Pertanian.
Ditlintan (Direktorat Perlindungan Tanaman). 2015. Luas serangan
OPT utama pada padi. Direktorat Jenderal Tanaman Pangan.
Kementerian Pertanian.
Dossa, S.G., A. Sparks, C. Vera Cruz, and R. Oliva. 2015. Decision
tools for bacterial blight resistance gene deployment in ricebased agricultural ecosystems. Frontiers in Plant Science 6:
305316.
Habarurema, I., G. Asea, J. Lamo, P. Gibson, R. Edema, Y. Sere, and
R.O. Onasanya. 2012. Genetic analysis of resistance to bacterial
leaf blight in Uganda. African Crop Science Journal 20(1): 105
112.
Khaeruni, A., M. Taufik, T. Wijayanto, dan E.A. Johan. 2014.
Perkembangan penyakit hawar daun bakteri pada tiga varietas
padi sawah yang diinokulasi pada beberapa fase pertumbuhan.
Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(4): 119125.
Leonberger, K., K. Jaeson, R. Smith, and NW Gauthier. 2016. Plant
Disease. Kentucky Master Gardener Manual Chapter 6. Pages
124. University of Kentucky: College of Agriculture, Food
and Environment. Lexington, hy.40546.
Lestari, A.P., E. Lubis, Supartopo, dan Suwarno. 2012. Heritabilitas
dan korelasi berbagai karakter galur-galur harapan padi gogo.
Prosiding Seminar Nasional Hasil Penelitian Padi “Inovasi
Teknologi Padi Mengantisipasi Cekaman Lingkungan Biotik
dan Abiotik. Buku 2. hlm. 371379. Balai Besar Penelitian
Tanaman Padi. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Muhuria, L. 2003. Strategi perakitan gen-gen ketahanan terhadap
hama. Pengantar Falsapah Sains. Program Pascasarjana. Institut
Pertanian Bogor. Bogor. 19 hlm.
Nafisah, A.A. Daradjat, B. Suprihatno, dan T.S. Kadir. 2007.
Heritabilitas karakter ketahanan hawar daun bakteri dari tiga
populasi tanaman padi hasil seleksi daur siklus pertama. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 26(2): 100105.
Nirwanto, H. 2010. Teori dan aplikasi ketahanan populasi tanaman
terhadap epidemi penyakit. Surabaya: UPN “Veteran” Jawa
Timur. 68 hlm.
Noda, T., O. Horino, and A. Ohuchi. 1990. Variability of
pathogenicity in races of Xanthomonas campestris pv. oryzae
in Japan. JARQ 23(3): 182189.
Nurhati, I., S. Ramdhaniati, dan N. Zuraida. 2008. Peranan dan
dominasi varietas unggul baru dalam peningkatan produksi padi
di Jawa Barat. Buletin Plasma Nutfah 14(1): 813.
Ou, S.H. 1985. Rice diseases. Second edition. Commonwealth
Mycological Institute. United Kingdom. 380p.
Purwanto, D.W. Astuti, dan H. Subagio. 2012. Percepatan adopsi
varietas unggul baru untuk meningkatkan produktivitas padi di
Jawa Timur. Artikel dipresentasikan pada Seminar Nasional
Kedaulatan Pangan dan Energi 2012 di Fakultas Pertanian,
Universitas Trunojoyo Madura, Juni 2012.
Rahim, A., A.R. Khaeruni, dan M. Taufik. 2012. Reaksi ketahanan
beberapa varietas padi komersial terhadap patotipe
Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolat Sulawesi Tenggara.
Berkala Penelitian Agronomi 1(2): 132138.
Rajarajeswari, N.V.L. and K. Muralidharan. 2006. Assessments of
farm yield and district production loss from bacterial leaf blight
epidemics in rice. Crop Protection 25: 244252.
Ruskandar A. 2006. Varietas unggul baru padi yang banyak ditunggu
petani. Tabloid Sinar Tani, 26 Juli 2006.
107
Samaullah, M.Y. 2008. Pengembangan varietas unggul dan
komersialisasi benih sumber padi. Prosiding Seminar Apresiasi
Hasil Penelitian Padi 2007 Menunjang P2BN. Buku 2.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, H. Suharto, H.M. Toha, A.
Setyono, Suprihanto, dan A.S. Yahya (Editor). hlm. 869880.
Balai Besar Penelitian Tanaman Padi. Badan Penelitian dan
Pengembangan Pertanian.
Sudir, dan Suprihanto. 2006. Perubahan virulensi strain Xanthomonas
oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun bakteri pada
tanaman padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
25(2): 100107.
Sudir, dan Suprihanto. 2008. Hubungan antara populasi bakteri
Xanthomonas oryzae pv. oryzae dengan keparahan penyakit
hawar daun bakteri pada beberapa varietas padi. Jurnal Penelitian
Pertanian Tanaman Pangan 27(2): 6875.
Sudir, Suprihanto, dan T.S. Kadir. 2009. Identifikasi patotipe
Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun
bakteri padi di daerah sentra produksi padi di Jawa. Jurnal
Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 28(3): 131138.
Sudir, dan B. Sutaryo. 2011. Reaksi padi hibrida introduksi terhadap
penyakit hawar daun bakteri dan hubungannya dengan hasil
gabah. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 30(2):
8894.
Sudir, dan Handoko. 2012. Komposisi dan penyebaran patotipe
Xanthomonas oryzae pv. oryzae, penyebab penyakit hawar daun
bakteri padi di Jawa Timur. Jurnal Pengkajian dan Pengembangan
Teknologi Pertanian 15(1): 2337.
Sudir, B. Nuryanto, dan T.S. Kadir. 2012. Epidemiologi, patotipe,
dan startegi pengendalian penyakit hawar daun bakteri pada
tanaman padi. IPTEK Tanaman Pangan 7(2): 7987.
Sudir, Y.A. Yogi, dan Syahri. 2013. Komposisi dan sebaran
Xanthomonas oryzae pv. oryzae di sentra produksi padi di
Sumatera Selatan. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
32(2): 98108.
Sudir, dan D. Yuliani. 2016. Composition and distribution of
Xanthmonas oryzae pv. oryzae pathotypes, the pathogen of
rice bacterial leaf blight in Indonesia. Agrivita Journal of
Agricultural Science 38(2): 174185.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2003. Komposisi patotipe patogen
hawar daun bakteri pada tanaman padi stadium tumbuh berbeda.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 22(1): 4550.
Suparyono, Sudir, dan Suprihanto. 2004. Pathotype profile of
Xanthomonas oryzae pv. oryzae isolates from the rice ecosystem
in Java. Indonesian Journal of Agricultural Science 5(2): 63
69.
Supriyanta. 2002. Heritabilitas sifat ketahanan terhadap cekaman
alelopati gulma teki pada padi gogo. Jurnal Perlindungan
Tanaman Indonesia 8(1): 4453.
Suryadi, Y., dan T.S. Kadir. 2008. Kajian infeksi Xanthomonas
oryzae pv. oryzae terhadap beberapa genotipe padi: hubungan
kandungan hara dengan intensitas penyakit. Ilmu Pertanian
15(1): 2636.
Suryadi, Y., D.N. Susilowati, P. Lestari, Sutoro, M. Ifa, T.S. Kadir,
S.S. Albani, dan I.M. Artika. 2014. Analisis keragaman genetik
isolat bakteri Xanthomonas oryzae pv. oryzae dari Jawa Barat
dan Jawa Tengah berdasarkan analisis ARDRA gen 16SrRNA.
Jurnal Fitopatologi Indonesia 10(2): 5360.
Susanto, U., dan Sudir. 2012. Ketahanan genotipe padi terhadap
Xanthomonas oryzae pv. oryzae patotipe III, IV, dan VIII.
Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan 31(2): 108116.
Sutoro, dan Mamik Setyowati. 2014. Daya gabung umum, daya
gabung khusus dan keragaan hasil hibrida jagung pada dua tingkat
pemupukan N. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan
34(1): 5559.
Suwarto, dan Nasrullah. 2011. Genotype x environment interaction
for iron concentration of rice in Central Java of Indonesia.
Rice Science 18: 75–78.
108
Tasliah. 2012. Gen ketahanan tanaman padi terhadap bakteri hawar
daun (Xanthomonas oryzae pv. oryzae). Jurnal Litbang Pertanian
31(3): 103112.
Tasliah, Mahrup, dan J. Prasetiyono. 2013. Identifikasi molekuler
hawar daun bakteri (Xanthomonas oryzae pv. oryzae) dan uji
patogenisitasnya pada galur-galur padi isogenik. Jurnal Agro
Biogen 9(2): 4957.
Visscher, P.M., W.G. Hill, and N.R. Wray. 2008. Heritability in the
genomics era-concepts and misconceptions. Nature Reviews
Genetics 9: 255266.
J. Litbang Pert. Vol. 36 No. 2 Desember 2017: 99-108
Widyastuti, Y. 2016. Seleksi padi hibrida turunan galur mandul jantan
tipe sitoplasma wild abortive, Kalinga, dan Gambiaca untuk
toleransi terhadap cekaman kekeringan. Tesis.Sekolah
Pascasarjana.Departemen Agronomi dan Hortikultura. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Yunani, N., R.H. Wening, E. Pramudika, dan E. Maryati.2014.
Katalog Plasma Nutfah Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman
Padi. [Tidak Dipublikasikan].
Yuliani, D., R.H. Wening, dan Sudir. 2014. Selection resistance of
rice germplasm accessions to bacterial leaf blight. Buletin Plasma
Nutfah 20(2): 6576.
109-1
J. Litbang Pert./Indeks Penulis
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
Indeks Penulis/Author Index
Vol. 36, 2017: 1-108
A
Abdullah, B. "Peningkatan Kadar Antosianin Beras Merah
dan Beras Hitam Melalui Biofortifikasi" 36(2): 9198.
Antarlina, S.S. "Ragam Produk Olahan Temulawak
Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112.
Asikin, S. "Budi Daya Padi di Lahan Rawa Pasang Surut
dan Pengendalian Alami Hama Penggerek Batang" 36(1):
2838.
G
Garuda, S.T. "Pengembangan Kedelai di Papua: Potensi
Lahan, Strategi Pengembangan, dan Pengembangan, dan
Dukungan Kebjakan" 36(1): 4758.
I
Indiati, S.W. "Tungau Puru (Eryophyes gastrotcus Nalepa)
pada Ubi Jalar dan Teknologi Pengendaliannya" 35(2):
8188.
H
Herawati, H. "Potensi Pengembangan Plastik
Biodegradable Berbasis Pati Sagu dan Ubi Kayu di
Indonesia" 36(2): 6776.
Pamungkas, F.A., "Pemanfaaatan Sari Kedelai sebagai
Bahan Pengencer Pengganti Kuning Telur untuk
Kriopreservasi Spermatozoa Hewan" 36(1): 2127.
Purwani, E.Y. "Potensi Pengembangan Plastik
Biodegradable Berbasis Pati Sagu dan Ubi Kayu di
Indonesia" 36(2): 6776.
R
Rahayu, M. "Penyakit Embun dan Cara Pengendaliannya
pada Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau" 36(2): 5966.
Rohaeni, W.R. "Heritabilitas, Sumber Gen, dan Durabilitas
Ketahanan Varietas Padi Terhadap Penyakit Hawar Daun
Bakteri" 36(2): 99108.
S
Sudaryono, T. "Ragam Produk Olahan Temulawak
Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112.
Sumartini. "Penyakit Embun dan Cara Pengendaliannya
pada Tanaman Kedelai dan Kacang Hijau" 36(2): 5966.
Surmaini, E. "Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem
Produksi dan Pengembangan Kopi di Indonesia" 36(2):
7790.
Syakir, M. "Perubahan Iklim dalam Konteks Sistem Produksi
dan Pengembangan Kopi di Indonesia" 36(2): 7790.
T
K
Kamsiati, E. "Potensi Pengembangan Plastik
Biodegradable Berbasis Pati sagu dan Ubi Kayu di
Indonesia" 36(2): 6776.
Khamidah, A. "Ragam Produk Olahan Temulawak
Menudukung Keanekaragaman Pangan" 36(1): 112.
Krisnan, R. "Pemanfaaatan Sari Kedelai sebagai Bahan
Pengencer Pengganti Kuning Telur untuk Kriopreservasi
Spermatozoa Hewan" 36(1): 2127.
P
Pujiharti, S., "Cemaran Mikotoksin, Bioekologi Patogen
Fusarium verticillioides dan Upaya Pengendaliannya
pada Jagung" 36(1): 1116.
Thamrin, M. "Budi Daya Padi di Lahan Rawa Pasang Surut
dan Pengendalian Alami Hama Penggerek Batang" 36(1):
2838.
Y
Yuliani, D. "Heritabilitas, Sumber Gen, dan Durabilitas
Ketahanan Varietas Padi Terhadap Penyakit Hawar Daun
Bakteri" 36(1): 2838.
111-1
J. Litbang Pert./Indeks Subjek
JURNAL PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
Indonesian Agricultural Research and Development Journal
Vol. 36, 2017
Indeks Subjek/Subject Index
Kedelai/ Soybean
Dukungan kebijakan/Policy support 47
Kacang hijau/Mungbean 59
Pengendalian/Control 59
Penyakit embun tepung/Powdery mildew 59
Potensi lahan/Land potential 47
Strategi pengembangan/Development strategy 47
Kopi/Coffee
Adaptasi/Adaptation 77
Perubahan iklim/Climate change 77
Produksi/Production 77
Padi/Rice
Antosianin/Anthocyanin 91
Beras hitam/Black Rice 91
Beras merah/Red Rice 91
Biofortifikasi/Bio-fortification 91
Budi daya/Cultivation 28
Durabilitas/Durability 99
Hawar daun bakteri/Bacterial leaf blight 99
Heritabilitas/Heritability 99
Ketahanan/Resistance 99
Lahan rawa pasang surut/Tidal swampland 28
Penggerek batang padi/Rice stem borer 28
Produksi/Production 13
Rawa lebak/Fresh water swampy land 13
Sumber pertumbuhan/Growth source 13
Rawa lebak/Fresh water swampy land 13
Sumber pertumbuhan/Growth source 13
Varietas/Varieties 99
Pati/Starch
Bioplastic/Biodegradable plastics 67
Sagu/Sago 67
Teknologi produksi/ Production technology 67
Ubi kayu/Cassava 67
Kedelai/Soybean
Kuning telur/Egg yolk 21
Kriopreservasi/Cryopreservation 21
Pengencer/Extender 21
Spermatozoa/Spermatozoa 21
Temulawak/Javanese ginger
Keanekaragaman pangan/Food diversification 1
Manfaat/Benefits 1
Produk olahan/Food product 1
Ubi jalar/Sweet potato
Eryophyes gastroticus 39
Pengendalian/Control 39
Tungau puru/Gall mites 39
113
UCAPAN TERIMA KASIH UNTUK MITRA BESTARI
Redaksi Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian mengucapkan terima kasih kepada Mitra Bestari yang telah
berpartisipasi dalam menelaah naskah yang dipublikasikan pada tahun 2017. Kontribusi Mitra Bestari membantu
menjamin kualitas publikasi ilmiah ini.
Nama
Alamat
Disiplin Ilmu
Prof. Dr. Supriadi
Balai Penelitian Tanaman Rempah
dan Obat
Jalan Tentara Pelajar No. 3,
Bogor 16111, Indonesia
Hama Penyakit Tanaman
Prof. Dr. Elna Karmawati
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Perkebunan
Jalan Tentara Pelajar No. 1,
Bogor 16111, Indonesia
Hama Penyakit Tanaman
Prof. Dr. Irsal Las
Forum Komunikasi Profesor Riset
Kementeriann Pertanian
Jalan Raya Pajajaran Kav E-59
Bogor 16682, Indonesia
Agroklmat dan Lingkungan
Prof. Dr. Nur Richana
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian
Jalan Tentara Pelajar No. 12,
Bogor 16114, Indonesia
Teknologi Pascapanen
Prof. Dr.Zulkifli Zaini
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Tanaman Pangan
Jalan Merdeka No. 147,
Bogor 16111, Indonesia
Budi Daya Tanaman
Prof. Dr. Masganti
Balai Penelitian Pertanian Lahan
Rawa
Jalan Kebun Karet Lok Tabat ,
Kotak Pos 31, Banjar Baru 70712,
Indonesia
Kesuburan dan Biologi
Tanah
Prof. Dr. Marwoto
Balai Penelitian Tanaman Aneka
Kacang dan Umbi
Jalan Raya Kendalpayak, Kotak
Pos 66, Malang 65101,
Indonesia
Hama Penyakit Tanaman
PEDOMAN BAGI PENULIS
PENGAJUAN NASKAH
PERSYARATAN UMUM: Naskah yang diajukan belum
pernah diterbitkan dan tidak sedang dalam proses evaluasi
publikasi lain; telah mendapat persetujuan dari ko-penulis,
jika ada, sebagai pihak yang sama-sama bertanggung jawab
terhadap naskah. Penerbit tidak akan bertanggung jawab
terhadap klaim atau permintaan kompensasi terhadap halhal yang berkaitan dengan naskah.
Naskah hendaknya dikirim rangkap dua disertai dengan
softcopy atau file elektronis dan diberi pengantar dari kepala
unit kerja, serta dialamatkan kepada: Redaksi Pelaksana
Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian (Indonesian
Agricultural Research and Development Journal), PUSTAKA,
Jalan Ir. H. Juanda No. 20, Bogor 16122, Telepon: (0251)
8321746, Faks.: 622518326561, E-mail: pustaka@litbang.
pertanian.go.id, website: http://www.pustaka.litbang.
pertanian.go.id.
Naskah yang diajukan harus dalam kondisi baik, diketik di
atas kertas kuarto putih pada satu permukaan saja, memakai
dua spasi. Pinggir kiri kanan tulisan disediakan ruang kosong
minimal 3,50 cm dari pinggir kertas. Panjang naskah sebaiknya
tidak melebihi 20 halaman termasuk tabel dan gambar.
RUANG LINGKUP: Jurnal ini memuat tinjauan (review)
mengenai hasil-hasil penelitian yang telah diterbitkan, dikaitkan dengan teori, evaluasi hasil penelitian lain dan atau
ketentuan kebijakan, dengan ditujukan kepada pengambil
kebijakan sebagai bahan pengambil keputusan. Permasalahan
dibahas secara komprehensif serta bertujuan memberi informasi tentang teknologi pertanian di Indonesia.
PENYIAPAN NASKAH
BAHASA: Jurnal memuat artikel dalam bahasa Indonesia
dan bahasa Inggris yang baik. Pemakaian istilah supaya
mengikuti Pedoman Pusat Pembinaan dan Pengembangan
Bahasa.
BENTUK NASKAH: Naskah disusun dalam urutan sebagai
berikut: judul tulisan, nama penulis dan alamatnya, abstrak
bahasa Indonesia dan Inggris (250 kata) dan kata kunci
(bahasa Indonesia dan Inggris), pendahuluan, pokok masalah,
kesimpulan dan saran (jika perlu), diakhiri dengan daftar
pustaka.
JUDUL NASKAH: Judul harus singkat, faktual dan informatif,
yang mencerminkan secara tepat isi naskah. Judul tidak boleh
lebih dari 15 kata.
NAMA PENULIS: Nama penulis serta nama lembaga
(institusi) tempat kerja penulis disertai alamat lengkap, nomor
telepon, faks, dan email dicantumkan di bawah judul. Bila
penulis lebih dari seorang maka penulisan namanya
mengikuti kode etik penulisan. Jika dirasa perlu, judul naskah
dapat dilengkapi dengan subjudul untuk mempertegas
maksud tulisan.
ABSTRAK: Abstrak merupakan ringkasan elemen-elemen
terpenting dari naskah, ditulis dalam satu paragraf tidak lebih
dari 250 kata. Abstrak harus dapat menggambarkan dengan
ringkas mengenai masalah, tujuan penulisan, dan kesimpulan. Hindari singkatan dan referensi di dalam abstrak.
KATA KUNCI: Minimal tiga sampai lima kata kunci yang
terdiri atas satu kata atau gabungan kata yang menunjukkan
subjek-subjek utama di dalam naskah.
SATUAN PENGUKURAN: Satuan ukuran di dalam teks dan
grafik memakai sistem metrik, misalnya dalam satuan mikron,
mm, cm, km, untuk panjang; cm3, liter untuk volume; dan g,
kg, ton untuk berat. Pemakaian satuan pikul, kuintal, dan lain
sebagainya supaya dihindari.
TABEL: Tabel hendaknya diberi judul singkat tetapi jelas
dengan catatan secukupnya, termasuk sumbernya, sedemikian rupa sehingga setiap tabel mampu menjelaskan
informasi yang disajikan secara mandiri. Setiap tabel diberi
nomor secara berurutan dan diulas di dalam teks.
GAMBAR DAN GRAFIK: Gambar dan grafik dibuat dengan
garis cukup tebal sehingga memungkinkan penciutan dalam
proses mencetak. Semua simbol dan singkatan dalam gambar
dan grafik harus dijelaskan. Seperti halnya pada tabel, keterangan pada grafik harus mencukupi agar dapat disajikan
secara mandiri. Gambar dan grafik harus diulas dalam teks.
Foto hitam putih atau berwarna hendaknya mempunyai
kualitas yang baik.
SITIRAN PUSTAKA: Pustaka disusun menurut abjad
berdasarkan nama (keluarga) penulis pertama. Setiap pustaka
yang tercantum pada daftar pustaka harus dikutip (disitir)
pada teks, dan sebaliknya setiap kutipan (sitasi) harus
dicantumkan dalam daftar pustaka.
Jumlah sitiran pustaka minimal 25 buah. Pustaka primer
dari beberapa penulis diharapkan lebih banyak daripada
pustaka sekunder, dan pustaka dari dalam negeri lebih banyak
daripada pustaka dari luar negeri. Naskah dengan banyak
pustaka dari luar negeri dapat diterima jika masalah yang
dibahas bermanfaat atau berdampak langsung terhadap
Indonesia. Kebaruan pustaka diupayakan 10 tahun terakhir.
Penulisan pustaka pada teks menggunakan sistem "namatahun" dengan dua bentuk, misalnya Hakim dan Sutarman
(1991) dan (Hakim dan Sutarman 1991). Jika lebih dari satu
pustaka disebutkan bersama-sama maka penulisannya
disusun berdasarkan tahun terbit. Contohnya, (Harahap 1993;
Roesdiyanto dan Purwantini 2001; Simanjuntak 2002; Setioko
2003; Suparyanto 2004). Jika terdapat lebih dari dua penulis
maka nama (keluarga) penulis pertama diikuti dengan et al.
Namun et al. tidak boleh digunakan dalam Daftar Pustaka
walaupun dapat digunakan di dalam teks. Semua nama penulis
dan nama editor harus ditulis secara lengkap pada Daftar
Pustaka. Referensi yang tidak diterbitkan supaya dihindari.
Contoh format referensi:
Artikel Jurnal (Jurnal Primer)
Baliyadi, Y., W. Tengkano, Bedjo, dan Purwantoro. 2008.
Validasi rekomendasi pengendalian hama terpadu kedelai di
lahan sawah dengan pola pergiliran tanaman padi-kedelaikedelai. Agritek 16(3): 492500.
Buku
Norris, R.F., E.P. Caswell-Chen, and M. Kogan. 2003.
Concepts in Integrated Pest Management. Prentice Hall,
Upper Saddle River, New Jersey. 586 pp.
Artikel dalam Buku
Marwoto. 2007. Potensi ekstrak daun Aglaia odorata untuk
pengendalian hama polong kedelai. hlm. 396404. Dalam D.
Harnowo, A.A. Rahmiana, Suharsono, M.M. Adie, F. Rozi,
Subandi, dan A.K. Makarim (Ed.). Peningkatan Produksi
Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman
Pangan, Bogor.
Tesis/Disertasi
Doda, J. 1980. Studi Kelimpahan dan Keragaman Jenis
Serangga di Daerah Pertanian Desa Transmigrasi Mopuya
Kabupaten Bolaang Mengondow (Sulawesi Utara). Tesis
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. 107 hlm.
Naskah Prosiding
Ardiwinata, A.N., W. Tengkano, dan M. Iman. 1997. Senyawa
kimia tanaman inang penarik imago Etiella zinckenella dan
Heliothis armigera. hlm. 368376. Dalam M. Arifin, Soetrisno,
D. Soetopo, I.W. Laba, Harnoto, A. Kusmayadi, Siswanto,
I.M. Trisawa, dan D. Koswanudin (Ed.). Prosiding Seminar
Nasional Tantangan Entomologi pada Abad XXI, Bogor, 8
Januari 1997. Perhimpunan Entomologi Indonesia Cabang
Bogor dan Proyek Pengendalian Hama Terpadu.
Naskah Konferensi
Chin, L.J., L.M. Tan, and K. Wegleitner. 2007. Occurrence of
mycotoxins in feed samples from Asia. A continuation of the
bromin mycotoxins survey program. Paper presented in 15th
Annual ASA-IM Southeast Asian Feed Technology and
Nutrition Workshop, 2730 May 2007, Bali-Indonesia.
Naskah Laporan Hasil Penelitian
Tengkano, W., D. Soekarna, E. Surachman, dan M. Roovers.
1977. Fluktuasi serangan hama penting pada berbagai stadia
pertumbuhan tanaman kedelai varietas Orba MK 1973-MP
1974/1975. Laporan Kemajuan Penelitian Seri Hama/Penyakit
No. 10: 829.
Naskah online
Brown, W.L. 2007. Bioprospecting. Missouri Botanical
Garden. http://www.wlbcenter.org/bioprospecting. htm#. [17
September 2007].
MEKANISME SELEKSI NASKAH
Redaksi melakukan koreksi dan perbaikan serta mengubah
format sesuai dengan sifat jurnal yang informatif tanpa
mengubah arti dari naskah. Redaksi akan mengembalikan
naskah kepada penulis untuk diperbaiki sesuai dengan hasil
koreksi redaksi serta naskah yang tidak dapat diterima dengan
alasan sesuai dengan keputusan Dewan Redaksi. Penulis
diharapkan segera mengembalikan perbaikan naskah agar
dapat diterbitkan pada waktunya. Contoh cetak naskah
sebelum terbit akan dikirimkan ke penulis untuk mendapatkan
persetujuan. Kepada setiap penulis diberikan dua eksemplar
jurnal ditambah 5 eksemplar reprint.