TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Ketahanan Galur-Galur Padi Pup1 terhadap Penyakit Blas
Tasliah, Joko Prasetiyono, Tintin Suhartini, dan Ida Hanarida Soemantri
Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian
Jln. Tentara Pelajar 3A, Bogor 16111
Email: tasliah1@yahoo.co.id
Naskah diterima 14 Maret 2014 dan disetujui diterbitkan 19 September 2014
ABSTRACT. Resistance of Pup1 Rice (Oryza sativa Lin.) Lines
to Blast Disease. Blast is one of major disease on the upland rice
in Indonesia. Upland rice lines derived from Kasalath and NILC443 crosses, containing Pup1 gen locus had been developed
and evaluated for P fertilizer efficiency. Those lines would be
evaluated for blast resistance, due to the fact that Pup1 locus
contains genes involved in plant defend mechanism to disease,
including blast disease. The BC2F5 plants derived from six crosses
(DK, DN, SK, SN, BK, BN) were used in this research. Responses
to blast disease in the green house were evaluated at
ICABIOGRAD Bogor from March to April 2011, using combination
of three blast races (race 173, 033, and 133). The response to
blast disease in the field was evaluated at Taman Bogo Research
Station, Lampung, and at farmer’s field in Cikeusal Village, Banten,
from January to April 2011. Molecular analysis to trace Pup1 gene
locus was conducted at the Molecular Biology Laboratory, using
specific primer K20-2, from January to August 2013. Based on the
molecular analysis all Pup1 lines showed homozygoes alleles,
except the heterozygoes alleles on SK7, SK8, SK15, SK16, BN8
line, which were then not included in the next planting. The
responses to blast at greenhouse among lines varied, but the
Pup1 lines were mostly at level of moderate resistan (AT). Based
on the result from the field experiment, most of Pup1 lines were
resistance, however the susceptible check plant (Kencana Bali)
did not show blast fungus infection. Differences of the result might
be due to the blast testing at the green house which was more
favorable for blast fungal growth. The effect of Pup1 gene locus
showed clearly on resistance of plants obtained from Situ Bagendit
cross, where Situ Bagendit was susceptible and does not contain
the Pup1 locus. Additional of Pup1 locus in Situ Bagendit genome
had increased the degree of resistant to blast.
Keywords: Rice, BC2F5, Pup1, blast disease.
ABSTRAK. Penyakit blas merupakan penyakit utama padi gogo di
Indonesia. Galur-galur padi gogo hasil persilangan dengan Kasalath
dan NIL-C443 yang mengandung lokus Pup1 telah dihasilkan dan
telah diteliti pengaruhnya terhadap pemupukan P. Galur tersebut perlu
diteliti ketahanannya terhadap serangan blas, karena di dalam lokus
Pup1 diketahui mengandung gen-gen yang terlibat dalam mekanisme
pertahanan tanaman terhadap penyakit termasuk blas. Tanaman BC2F5
dari enam persilangan (DK, DN, SK, SN, BK, BN) digunakan dalam
penelitian ini. Evaluasi penyakit blas di rumah kaca dilakukan di BB
Biogen pada Maret-April 2011 menggunakan campuran tiga ras blas
(ras 173, 033, and 133). Evaluasi penyakit blas di lapangan dilakukan
di KP Taman Bogo, Lampung, dan di lahan petani di Desa Cikeusal,
Banten, pada Januari-April 2011. Analisis molekuler untuk mengetahui
keberadaan lokus Pup1 dilakukan di Laboratorium Biologi Molekuler
BB Biogen, menggunakan primer spesifik K20-2 pada Januari-Agustus
2013. Hasil analisis molekuler menunjukkan semua galur Pup1 memiliki
alel homozigot, kecuali alel heterozigot pada SK7, SK8, SK15, SK16,
BN8. Galur-galur tersebut tidak dapat digunakan dalam penelitian
selanjutnya. Pengujian blas di rumah kaca memberikan hasil yang
beragam, namun sebagian besar galur yang mengandung Pup1
bereaksi agak tahan. Hasil penelitian di lapangan, menunjukkan
sebagian besar galur Pup1 bereaksi tahan terhadap blas, namun
tanaman pembanding rentan (Kencana Bali) tidak menunjukkan gejala
infeksi jamur blas. Percobaan di rumah kaca dinilai dalam kondisi
optimal untuk pertumbuhan jamur blas. Pengaruh lokus Pup1 terlihat
jelas terhadap ketahanan blas pada persilangan dengan tetua Situ
Bagendit yang tidak mengandung lokus Pup1. Penambahan lokus
Pup1 pada genom Situ Bagendit meningkatkan ketahanan terhadap
penyakit blas.
Kata kunci: Padi, BC2F5, Pup1, penyakit blas.
B
las yang disebabkan oleh cendawan Pyricularia
oryzae merupakan salah satu penyakit penting
tanaman padi, baik padi gogo maupun padi
sawah. Penyakit blas sudah banyak dilaporkan, baik di
Indonesia ataupun di negara lain di areal pertanaman
padi. Kerugian yang disebabkan oleh penyakit blas
cukup tinggi apabila tanaman padi terinfeksi blas leher
(neck blast). Data Direktorat Jenderal Perlindungan
Tanaman Pangan (2010) menunjukkan penularan blas
di Indonesia pada tahun 2009 mencapai 19.629 ha
(0,15%) dari total 12,88 juta ha area pertanaman padi.
Intensitas penularan blas di lapangan dipengaruhi
oleh faktor cuaca dan kondisi tanaman. Tanaman yang
lemah, misalnya dengan aplikasi pupuk N yang berlebihan,
mudah terinfeksi blas (Dordas 2008). Tanaman yang
memiliki figur kuat akan tahan terhadap blas. Salah satu
unsur hara yang mempengaruhi ketahanan tanaman
terhadap penyakit (termasuk blas) adalah silikat (Romero
et al. 2011). Lignin juga dapat mempengaruhi ketahanan
tanaman terhadap penyakit dengan mempengaruhi
perekatan penyusun komponen lain dalam batang
tumbuhan. Protein atau enzim yang terlibat dalam
biosintesis lignin adalah dirigent protein, yang berperan
penting dalam salah satu jalur biosintesis lignin (Bhuiyan
et al. 2009, Davin and Lewis 2000).
Lokus Pup1 (P uptake 1) adalah salah satu lokus di
dalam kromosom padi varietas lokal kelompok aus, yakni
varietas Kasalath yang terletak pada kromosom 12. Posisi
29
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
lokus tersebut telah dipetakan dan mengandung gengen yang terlibat dalam penangkapan unsur fosfor (P)
(Wissuwa et al. 1998). Menurut Gamuyao et al. (2012), di
dalam lokus tersebut terdapat gen yang berperan penting
dalam pembentukan akar secara eksponensial, yaitu gen
Phosphorus-starvation tolerance 1/PSTOL1, sehingga
penangkapan P menjadi lebih cepat dibandingkan
dengan tanaman yang tidak memiliki gen tersebut.
Berdasarkan analisis sekuen diketahui pula bahwa pada
lokus Pup1 juga terdapat gen-gen dirigent-like, fatty acid
α-dioxygenase, dan aspartic proteinase. Gen-gen ini
berperan penting dalam peningkatan mekanisme
ketahanan tanaman terhadap cekaman abiotik
(kekeringan, aluminium) dan biotik (penyakit blas, hawar
daun bakteri, dan hama penggerek batang). Gen dirigentlike menghasilkan protein yang terlibat dalam biosintesis
lignin yang berpengaruh terhadap kekerasan dinding sel
tanaman (Heuer et al. 2009).
Introgresi lokus Pup1 ke padi Indonesia (Dodokan,
Situ Bagendit dan Batur) menggunakan metode Marker
Assisted Backcrossing (MAB) telah dilakukan, dan
pengujian populasi tanaman silang balik BC2F3 terhadap
dosis pupuk P di lapangan juga telah dilakukan
(Prasetiyono et al. 2012). Hasilnya menunjukkan bahwa
tanaman yang mengandung lokus Pup1 memiliki figur
yang lebih besar dibanding tetuanya. Galur-galur silang
balik yang mengandung lokus Pup1 tersebut juga perlu
diuji ketahanannya terhadap penyakit blas, mengingat
dalam lokus Pup1 juga terdapat gen-gen yang mengatur
ketahanan penyakit. Lokus Pup1 yang terintegrasi ke
dalam varietas padi Indonesia diharapkan dapat
meningkatkan ketahanan terhadap blas. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui keberadaan lokus Pup1 dan
ketahanan galur-galur BC2F5 Pup1 terhadap penyakit blas.
BAHAN DAN METODE
Penelitian dilakukan di rumah kaca, lapangan, dan
laboratorium. Percobaan rumah kaca (Maret-April 2011)
dilakukan di BB Biogen, Bogor. Percobaan lapangan
(Januari-Mei 2011) dilakukan di Kebun Percobaan
Taman Bogo, Lampung, dan lahan petani di Desa
Cikeusal, Banten. Percobaan laboratorium (JanuariAgustus 2013) dilakukan di BB Biogen, Bogor.
Bahan percobaan adalah galur-galur silang balik
(BC2F5) dari enam kombinasi persilangan genotipe padi
yang merupakan hasil seleksi dari generasi sebelumnya.
Galur-galur tersebut terdiri atas 12 galur hasil persilangan
Dodokan x Kasalath (DK), 19 galur dari persilangan
Dodokan x NIL-C443 (DN), 24 galur dari persilangan Situ
Bagendit x Kasalath (SK), 22 galur dari persilangan Situ
Bagendit x NIL-C443 (SN), 2 galur dari persilangan Batur
30
x Kasalath (BK), dan 23 galur dari persilangan Batur x
NIL-C443 (BN). Varietas padi yang digunakan sebagai
pembanding tetua persilangan adalah Nipponbare dan
sebagai pembanding rentan blas adalah Kencana Bali.
Pengujian di Rumah Kaca
Pada pengujian blas di rumah kaca, benih masing-masing
varietas/galur ditumbuhkan pada bak percobaan yang
berisi media tanah dengan perbandingan 6,5 kg tanah:
0,5 kg pupuk kandang. Satu bak berisi 10 galur ditambah
satu tanaman pembanding rentan. Masing-masing galur
ditanam dalam baris berisi 10 benih dan diulang dalam
tiga bak. Percobaan menggunakan rancangan acak
kelompok.
Isolat patogen blas yang digunakan sebagai inokulum
adalah campuran dari tiga ras (173, 033 dan 133) yang
diketahui memiliki virulensi tinggi. Isolat diperbanyak
dengan menumbuhkan pada cawan petri berisi media
Prune Agar dan dibiarkan tumbuh pada suhu 28°C selama
7 hari. Untuk merangsang terbentuknya spora, jamur yang
telah tumbuh pada media diinkubasi secara terbuka di
bawah lampu neon selama 4 hari. Spora yang terbentuk
kemudian dipanen dan diinokulasikan ke tanaman.
Proses inokulasi dilakukan mengikuti prosedur
Valent dan Chumley (1994). Tanaman uji yang berumur
16 hari diinokulasi dengan cara menyemprotkan 50 ml
(± 308.000 spora/ml) suspensi inokulum menggunakan
pompa vakum (vacuum pump). Tanaman yang telah
diinokulasi disimpan selama 24 jam di dalam ruang
lembab (moist room), dan kelembaban dipertahankan
>90%. Keesokan harinya tanaman dipindahkan ke
dalam ruang inkubasi dengan suhu 25°C selama satu
minggu.
Pengamatan dilakukan pada semua tanaman (10
tanaman), satu minggu setelah inokulasi. Untuk
mengetahui tingkat penularan blas pada tanaman yang
diuji, pengamatan gejala penyakit dilakukan menurut
sistem penilaian IRRI (1996) berdasar luas penularan
pada daun tanaman dengan skala 0-9. Skor 0-3 berarti
tanaman bersifat tahan (T), skor 4-5 agak tahan (AT),
skor 6-7 rentan (R), dan skor 8-9 sangat rentan (SR).
Intensitas penularan penyakit blas dihitung dengan
rumus:
I=Σ
nv
x 100%
NV
I = Intensitas penyakit blas (%)
n = Jumlah sampel dengan nilai skor tertentu
v = Nilai skor masing-masing sampel
N = Jumlah sampel yang diamati
V = Skala tertinggi penularan blas
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Tingkat ketahanan tanaman dinilai berdasarkan
intensitas penularan blas dengan kriteria: <25% = tahan
(T), 25-50% = agak tahan (AT), 50-90% = rentan (R), dan
>90% = sangat rentan (SR).
Pengujian di Lapangan
Pada pengujian di lapangan, masing-masing galur ditanam
pada petak 1 m x 2 m dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm,
lima baris setiap galur, dan dua benih per lubang tanam.
Tanaman yang tumbuh kemudian disisakan satu
tanaman per rumpun. Tanaman dipupuk dengan 200 kg
urea, 100 kg SP36, dan 100 kg KCl/ha. Pengamatan
terhadap blas dilakukan setelah tanaman pembanding
rentan menunjukkan intensitas penularan dengan skor
7-9. Tanaman yang diamati adalah lima rumpun per galur/
varietas. Kriteria penularan blas dinilai seperti pada
percobaan di rumah kaca.
disimpan di dalam freezer untuk digunakan dalam
pengujian di laboratorium. Isolasi DNA mengikuti
prosedur Dellaporta et al. (1983). Analisis molekuler
menggunakan primer spesifik Pup1, yakni Kas20-2
dengan enzim restriksi BspI. Sekuen primer yang
digunakan adalah F (TCAAAAATTTCTTCAGGTATGTA
CTCC) dan R (TTGGGTGATCAGCTTTCAGA) (Chin et al.
2011). Proses PCR berlangsung 7 menit 94°C, 35 siklus
dengan 1 menit 94°C, 1 menit 58°C, dan 2 menit 72°C.
Perpanjangan akhir selama 10 menit 72°C. Seluruh
sampel DNA dicek dengan elektroforesis pada gel 1%
untuk melihat sebaran pita. Sampel yang menghasilkan
pita kemudian dipotong dengan enzim Bsp1, dan
dielektroforesis pada gel agarose 1,5%.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengujian di Rumah Kaca dan Lapangan
Analisis Molekuler Integrasi lokus Pup1
DNA untuk analisis molekuler diambil dari daun
tanaman setelah pengujian penyakit blas di rumah kaca.
Daun dari setiap galur uji yang tidak terinfeksi blas
diambil dan dimasukkan ke dalam tabung mikro,
Intensitas penularan blas di lapangan (Lampung dan
Banten) tidak optimal, yang ditandai oleh varietas
Kencana Bali sebagai pembanding rentan masih dapat
bertahan (Tabel 1-3). Varietas Kencana Bali di kedua
lokasi tersebut hanya terinfeksi blas dengan reaksi
Tabel 1. Reaksi ketahanan galur padi terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC2F5 Dodokan x Kasalath (DK) dan
Dodokan x NIL-C443 (DN).
Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua
Rumah
kaca
DK1
DK2
DK3
DK4
DK5
DK6
DK7
DK8
DK9
DK10
DK11
DK12
Dodokan
Kasalath
Kencana Bali
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
T
AT
AT
AT
AT
AT
R
SR
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
AT
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
AT
AT
T
AT
AT
AT
AT
AT
T
T
AT
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
Rumah
kaca
DN1
DN2
DN3
DN4
DN5
DN6
DN7
DN8
DN9
DN10
DN12
DN13
DN14
DN15
DN16
DN17
DN18
DN19
DN20
Dodokan
NIL- C443
Nipponbare
Kencana Bali
AT
AT
AT
AT
AT
AT
R
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
T
T
AT
T
T
SR
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
AT
T
AT
AT
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan. K = Kasalath dan N = NIL-C443.
31
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Tabel 2. Reaksi ketahanan galur terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC 2F5 Situ Bagendit x Kasalath (BK) dan Situ
Bagendit x NIL-C443 (BN).
Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua
Rumah
kaca
SK1
SK2
SK3
SK4
SK5
SK6
SK7
SK8
SK9
SK10
SK11
SK12
SK13
SK14
SK15
SK16
SK17
SK18
SK19
SK20
SK21
SK22
SK23
SK24
Situ Bagendit
Kasalath
Kencana Bali
AT
T
T
AT
T
T
AT
T
T
AT
AT
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
R
SR
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
AT
K
K
K
K
K
K
H
H
K
K
K
K
K
K
H
H
K
K
K
K
K
K
K
K
Rumah
kaca
SN1
SN2
SN3
SN4
SN5
SN6
SN7
SN8
SN9
SN10
SN11
SN12
SN13
SN14
SN15
SN16
SN17
SN18
SN19
SN20
SN21
SN22
Situ Bagendit
NIL- C443
Nipponbare
Kencana Bali
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
SR
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
R
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan; K = Kasalath; H = Kasalath dan Situ Bagendit, N = NIL-C443.
maksimal rentan (Banten) dan agak tahan (Lampung).
Hal ini disebabkan karena penularan blas di lapangan
bergantung kepada ketersediaan inokulum alami pada
saat pengujian, sedangkan ketersediaan inokulum
bergantung pada faktor cuaca. Pada saat percobaan,
kelembaban udara rendah, karena curah hujan tidak
tinggi.
Dodokan yang dilepas pada tahun 1987 termasuk
cukup tahan terhadap penyakit blas, sedangkan Situ
Bagendit yang dilepas pada tahun 2003 termasuk agak
tahan (Suprihatno et al. 2010). Varietas Batur yang dilepas
pada tahun 1988 termasuk tahan blas (Balittan, 1993).
Pada percobaan di rumah kaca, varietas Dodokan dan
Batur termasuk agak tahan, sedangkan Situ Bagendit
termasuk agak tahan sampai tahan, dan tidak ada yang
rentan. Walaupun varietas tersebut sudah lebih dari 10
tahun dilepas tetapi masih tahan terhadap tiga isolat blas
yang virulen.
Pengaruh lokus Pup1 terhadap peningkatan
ketahanan penyakit blas belum pernah dipublikasi.
Asumsi yang dipakai adalah di dalam lokus Pup1 selain
32
terdapat gen yang mengatur pertumbuhan jaringan
(PSTOL1) juga terdapat gen-gen yang berkaitan dengan
mekanisme ketahanan terhadap penyakit. Sejauh mana
gen-gen tersebut mempengaruhi mekanisme ketahanan
belum dilakukan penelitian yang mendalam (Heuer et al.
2009). Penelitian efek lokus Pup1 ini masih difokuskan
pada hal-hal yang berkaitan dengan penangkapan P (Chin
et al. 2010, 2011, Gamuyao et al. 2012). Secara khusus,
efek dari introgresi lokus tersebut pada tetua Dodokan,
Situ Bagendit, dan Batur terlihat jelas pada peningkatan
bobot kering tajuk pada saat diuji dalam larutan hara
Yoshida atau di lapangan (Prasetiyono et al. 2012). Hal ini
menunjukkan lokus Pup1 memberikan pengaruh positif
bagi pertumbuhan vegetatif tanaman padi.
Tambahan lokus Pup1 berpengaruh terhadap
peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada Situ
Bagendit karena varietas tersebut sama sekali tidak
mengandung lokus Pup1. Hal ini terlihat pada persentase
galur BC2F5 yang tahan (T) dibandingkan dengan total
dari seluruh galur untuk masing-masing persilangan
(Gambar 1). Dibandingkan dengan persilangan
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Tabel 3. Reaksi ketahanan galur terhadap penyakit blas dan hasil analisis molekuler tanaman BC2F5 Batur x Kasalath (BK) dan Batur x NILC443 (BN).
Ketahanan terhadap blas
Ketahanan terhadap blas
Galur/tetua
Galur/tetua
Rumah
kaca
BK1
BK2
BK3
BK4
BK5
BK6
BK7
BK8
BK9
BK10
BK11
BK12
BK13
BK14
BK15
BK16
BK17
BK18
BK19
BK20
BK21
Batur
Kasalath
Kencana Bali
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
T
T
T
T
AT
AT
T
T
T
AT
AT
AT
AT
AT
AT
AT
T
AT
AT
AT
AT
AT
R
SR
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
K
Rumah
kaca
BN1
BN2
BN3
BN4
BN5
BN6
BN7
BN8
BN9
BN10
BN11
BN12
BN13
BN14
BN15
BN16
BN17
BN18
BN19
BN20
BN21
BN22
BN23
Batur
NIL-C443
Nipponbare
Kencana Bali
AT
AT
AT
T
AT
AT
AT
AT
AT
AT
T
AT
AT
AT
AT
AT
AT
T
AT
T
T
T
T
AT
T
AT
SR
Lapangan
Analisis
molekuler
Banten
Lampung
T
T
T
T
T
AT
T
T
AT
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
T
AT
N
N
N
N
N
N
N
H
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
N
T = tahan; AT = agak tahan; R = rentan; SR = sangat rentan; K = Kasalath dan N = NIL-C443; H = Kasalath dan Situ Bagendit.
Persentase jumlah galur tahan
120
100
80
60
40
20
0
DK
DN
SK
SN
BK
BN
Gambar 1. Histogram persentase jumlah galur padi Pup1 yang
tahan terhadap serangan blas di rumah kaca.
DK = BC2F5 Dodokan x Kasalath,
DN = BC2F5 Dodokan x NIL-C443,
SK = BC2F5 Situ Bagendit x Kasalath,
SN = BC2F5 Situ Bagendit x NIL-C443,
BK = BC2F5 Batur x Kasalath,
BN = BC2F5 Batur x NIL-C443
Dodokan dan Batur, galur-galur BC2F5 turunan Situ
Bagendit menduduki peringkat tertinggi dibandingkan
dengan turunan Dodokan dan Batur. Sumbangan lokus
Pup1 secara penuh pada Situ Bagendit menunjukkan
peningkatan ketahanan terhadap blas. Batur memiliki
lokus Pup1 secara parsial (tidak utuh) sehingga efek dari
introgresi lokus tersebut tidak terlalu besar, bahkan
Dodokan yang punya lokus Pup1 secara penuh tidak
terlalu berpengaruh terhadap peningkatan ketahanannya
terhadap blas. Penelitian ini masih perlu dilanjutkan
untuk membuktikan pengaruh lokus Pup1 terhadap
kadar lignin, perubahan ketebalan dinding sel dan
sebagainya. Namun, hasil penelitian ini mendukung
dugaan bahwa lokus Pup1 selain mengandung gen-gen
yang berhubungan dengan pertumbuhan vegetatif juga
mengandung gen-gen yang secara tidak langsung dapat
meningkatkan ketahanan terhadap penyakit blas.
Hal yang kontradiktif pada penelitian ini adalah tetua
Kasalath dan NIL-C443 sebagai tetua donor memiliki
karakter yang kontras. Kasalath ternyata tidak tahan blas
33
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
walaupun sebagai donor utama lokus Pup1 (Takehisa
et al. 2009), sedangkan Nipponbare sebagai tetua dari
NIL-C443 tahan blas (sesuai dengan penelitian Hayashi
et al., 2006). Dari hasil analisis QTL terhadap persilangan
Kasalath dengan Nipponbare (mengandung gen pia dan
pish) diketahui bahwa Kasalath memiliki gen ketahanan
yang terletak di daerah yang berdekatan dengan alel gen
pia pada kromosom 11 dan mengindikasikan bukan
sebagai alel pia, tetapi merupakan gen tahan yang baru.
Namun, gen ketahanan tersebut tidak mampu juga
menahan campuran tiga isolat yang ada di Indonesia.
Nipponbare memiliki gen-gen yang cukup efektif sebagai
sumber gen ketahanan untuk menghadapi isolat blas
dari Indonesia.
Pada galur-galur SK dan SN terlihat galur SN memiliki
tingkat ketahanan yang lebih tinggi dibandingkan
M
M
M
SK13
SK14
SK15
SK16
SK17
SK18
SK19
SK20
SK21
SK22
SK23
SK24
M
(c) Persilangan SituBagendit x Kasalath
Air
Situ Bgdt
Kasalath
SK1
SK2
SK3
SK4
SK5
SK6
SK7
SK8
SK9
SK10
SK11
SK12
M
Hasil amplifikasi galur-galur Pup1 menggunakan primer
K20-2 dan enzim restriksi Bsp1 menunjukkan seluruh
galur DK, DN, SN, dan BK memiliki pita yang mirip dengan
Kasalath dan NIL-C443, berarti lokus Pup1 masih
terintegrasi dalam genom galur-galur tersebut (Gambar
2), sedangkan skor masing-masing galur dapat dilihat
pada Tabel 1-3.
(b) Persilangan Dodokan x NIL-C443
Air
Dodok
Kasalath
DK1
DK2
DK3
DK4
DK5
DK6
DK7
DK8
DK9
DK10
DK11
DK12
M
Analisis Molekuler Integrasi Lokus Pup1
Air
Dodok
NIL-C443
Nipponb
DN1
DN2
DN3
DN4
DN5
DN6
DN7
DN8
DN9
DN10
DN12
DN13
DN14
DN15
DN16
DN17
DN18
DN19
(a) Persilangan Dodokan x Kasalath
dengan SK, diduga gen karena dari NIL-C443 turut
meningkatkan ketahanan, selain lokus Pup1. Namun,
penggunaan NIL-C443 sebagai tetua donor umumnya
akan menurunkan hasil, karena background Nipponbare
yang terdapat pada NIL-C443 akan memperpendek
waktu berbunga dan meningkatkan gabah hampa.
M
M
SN12
SN13
SN14
SN15
SN16
SN17
SN18
SN19
SN20
SN21
SN22
M
Air
Situ Bgdt
NIL-C443
NIpp
SN1
SN2
SN3
SN4
SN5
SN6
SN7
SN8
SN9
SN10
SN11
(d) Persilangan SituBagendit x NIL
M
M
BK13
BK14
BK15
BK16
BK17
BK18
BK19
BK20
BK21
M
Air
Batur
Kasalath
BK1
BK2
BK3
BK4
BK5
BK6
BK7
BK8
BK9
BK10
BK11
BK12
(e) Persilangan Batur x Kasalath
M
M
BN11
BN12
BN13
BN14
BN15
BN16
BN17
Bn18
BN19
BN20
BN21
BN22
BN23
M
Air
Batur
NIL-C443
Nipp
BN1
BN2
BN3
BN4
BN5
BN6
BN7
BN8
BN9
BN10
(f) Persilangan Batur x NIL-C443
Gambar 2. Hasil amplifikasi galur-galur Pup1 menggunakan primer K20-2 yang dipotong dengan enzim Bsp1.M=100 bp DNA marker.
34
TASLIAH ET AL.: KETAHANAN GALUR-GALUR PADI Pup1 TERHADAP PENYAKIT BLAS
Dari persilangan SK dan BN terdapat beberapa galur
seperti SK7, SK8, SK15, SK16, dan BN8 yang masih
memiliki pita heterozigot. Artinya, galur-galur tersebut
mengandung lokus Pup1, tetapi hanya terdapat pada
satu lengan kromosom. Kromosom yang lain sebagai
komplemennya masih membawa lokus tetua penerima.
Galur-galur heterozigot tersebut memiliki peluang
sebesar 50% untuk mengekspresikan lokus Pup1. Primer
K20-2 ini merupakan salah satu primer spesifik yang
dapat menunjukkan keberadaan lokus Pup1.
Pada generasi BC2F3 sebetulnya galur-galur Pup1
yang dianalisis molekuler menunjukkan homozigot
untuk lokus Pup1 (Prasetiyono et al., 2012), Pada generasi
BC2F5 beberapa tanaman menunjukkan lokus yang
heterozigot. Walaupun primer yang digunakan pada
generasi BC2F2/BC2F3 berbeda dengan yang digunakan
dalam penelitian ini (BC2F5), namun posisi primer
berdekatan dengan primer K20-2, dan masih berada
dalam lingkungan Pup1. Pada pengembangan populasi
dari BC2F3 ke BC2F5 seluruh sampel ditanam di lapangan
dan dipilih berdasarkan penampilan tanaman di
lapangan. Masih terdapat lokus yang heterozigot
kemungkinan disebabkan oleh peristiwa pindah silang
kromosom yang tidak biasa (non homologus crossing
over). Fenomena ini jarang terjadi, dan biasanya akan
menimbulkan peristiwa duplikasi gen (Magadum et al.
2013). Pada padi, fenomena pindah silang yang bukan
kromosom homolognya juga telah dibuktikan oleh Gong
et al. (2011). Hal ini membuktikan pada genom padi hasil
persilangan yang belum stabil dapat terjadi peristiwa
yang tidak biasa untuk menuju genom yang stabil. Seleksi
secara molekuler dapat menyaring individu/galur yang
tidak diharapkan tersebut untuk tidak diikutsertakan
dalam pertanaman berikutnya.
Peristiwa ini menunjukkan bahwa pada kegiatan
MAB sebaiknya setiap generasi dilakukan evaluasi
homozigositas gen lokus secara molekuler, selain seleksi
di lapangan berdasarkan penampilan tanaman.
Hambatan yang biasa dihadapi adalah saat seleksi di
lapangan, tanaman yang jumlahnya mencapai ribuan,
sehingga untuk seleksi molekuler diperlukan biaya
besar. Analisis molekuler biasanya dilakukan lagi pada
saat jumlah tanaman yang terseleksi tinggal sedikit.
Analisis molekuler juga dapat menyaring tanaman yang
tercampur karena kesalahan seleksi di lapangan.
Tanaman pada generasi BC2F5 kemungkinan masih
terjadi segregasi menuju kestabilan genom yang
biasanya dicapai pada generasi F7 (BC2F7).
Berdasarkan penelitian Chin et al. (2011), tetua
Dodokan mengandung lokus Pup1 secara penuh, Situ
Bagendit tidak mengandung lokus Pup1, sedangkan
Batur ternyata sudah mengandung sebagian lokus Pup1.
Perbedaan kondisi lokus Pup1 ini diprediksi akan
membawa pengaruh yang besar pada turunan Situ
Bagendit, disusul Batur, dan efek yang kecil pada turunan
Dodokan. Pita Kasalath atau NIL-C443 sejajar dengan
tetua Dodokan (Gambar 1a dan 1b). Hal ini menunjukkan
bahwa pada lokus tersebut tetua Dodokan memiliki
lokus Pup1 yang sama persis dengan Kasalath atau NILC443. Namun, uji sekuensing belum dilakukan untuk
membuktikan apakah seluruh gen di daerah lokus Pup1
pada Dodokan sama persis dengan daerah Pup1 pada
Kasalath atau NIL-C443.
KESIMPULAN
Galur-galur BC2F5 yang berasal dari persilangan varietas
Dodokan x Kasalath, Dodokan x NIL-C443, Situ Bagendit
x Kasalath, Situ Bagendit x NIL-C443, Batur x Kasalath,
dan Batur x NIL-C443 mengandung lokus Pup1.
Peningkatan ketahanan terhadap penyakit blas pada
galur-galur padi yang memiliki lokus Pup1 terlihat jelas
pada persilangan dengan tetua Situ Bagendit. Pada
persilangan dengan tetua Batur dan Dodokan, pengaruh
lokus Pup1 terhadap penyakit blas tidak terlalu besar.
UCAPAN TERIMA KASIH
Disampaikan terima kasih kepada Proyek Generation
Challenge Programme yang telah membiayai penelitian
ini.
DAFTAR PUSTAKA
Bhuiyan, N.H., G. Selvaraj, Y. Wei, and J. King. 2009. Role of
lignification in plant defense. Plant Signaling and Behavior
4(2): 158-159.
Balittan. 1993. Deskripsi Varietas unggul padi 1943-1992. Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan.
123p.
Chin, J.H., X. Lu, S.M. Haefele, R. Gamuyao, A.M. Ismail, M.
Wissuwa, and S. Heuer. 2010. Development and application
of gene-based markers for the major rice QTL Phosphorus
uptake 1. Theor. Appl. Genet. 120:1073-1086.
Chin, J.H., R. Gamuyao, C. Dalid, M. Bustamam, J. Prasetiyono, S.
Moeljopawiro, M. Wissuwa, and S. Heuer. 2011. Developing
rice with high yield under phosphorus deficiency: Pup1
sequence to application. Plant Physiology 156:1202-1216.
Davin, L.B. and N.G. Lewis. 2000. Dirigent proteins and dirigent
sites explain the mystery of specificity of radial precursor
coupling in lignan and lignin biosynthesis. Plant Physiology
123:453-461.
Dellaporta, S.L., J. Wood, and J.B. Hicks. 1983. A plant DNA
minipreparation: version II. Plant. Mol. Biol. Rep. 1(4):19-21.
35
PENELITIAN PERTANIAN TANAMAN PANGAN VOL. 34 NO. 1 2015
Direktorat Jenderal Perlindungan Tanaman Pangan. 2010. Serangan
penyakit blas pada padi di Indonesia masa tanam 2002-2009.
Unpublished.
Magadum, S., U. Banerjee, P. Murugan, D. Gangapur, and R.
Ravikesava. 2013. Gene duplication as a major force in
evolution. Journal of Genetics 92:155-161.
Dordas, S. 2008. Role of nutrients in controlling plant diseases in
sustainable agriculture: a review. p. 443-460. In Lichtfouse,
C., M. Navarrete, P. Debacke, V. Sourchere, and C. Alberola
(eds). Sustainable Agriculture, Volume 1. Springer
Science+Business Media B.V.-EDP Sciences 2009. DOI
10.1007/978-90-481-2666-8_280.
Prasetiyono, J., T. Suhartini, I.H. Soemantri, Tasliah, S.
Moeljopawiro, H. Aswidinnoor, D. Sopandie , dan M.
Bustaman. 2012. Evaluasi beberapa galur-Pup1 tanaman Padi
(Oryza sativa l.) pada larutan hara dan lapangan. J. Agron.
Indonesia 40(2):83-90.
Gamuyao R., J.H. Chin, J.P Tanaka, P. Pesaresi, S. Catausan, C.
Dalid, I.S. Loedin, E.M.T. Mendoza, M.Wissuwa, and S. Heuer
2012. The protein kinase Pstol1 from traditional rice confers
tolerance of phosphorus deficiency. Nature 488:535-541.
Gong, Z., X. Liu, D. Tang, H. Yu, C. Yi, Z. Cheng, and M. Gu. 2011.
Non-homologous chromosome pairing and crossover
formation in haploid rice meiosis. Chromosome 120:47-60.
Romero, A., F. Munévar, and G. Cayon. 2011. Silicon and plant
diseases. A review. Agronomia Colombiana 29(3):473-480.
Suprihatno, B., A.A. Daradjat, Satoto, Baehaki S.E., Suprihanto, A.
Setyono, S.D. Indrasari. I.P. Wardana, dan H. Sembiring. 2010.
Deskripsi Varietas Padi. Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen
Pertanian. 109p.
Hayashi, K., H. Yoshida, and I. Ashikawa.2006. Development of
PCR-based allele specific and InDel marker sets for nine
rice blast resistance genes. Theor. App. Gen. 113:251-260.
Takehisa. H, M. Yosuda, Y. Fukuta, N. Kobayashi, N. Hayashi, H.
Nakashita, T. Abe, and T. Sato. 2009. Genetic analysis of
resistance genes in Indica-type rice (Oryza sativa L.) Kasalath,
using DNA markers. Bred. Sci. 59:253-260.
Heuer, S., X. Lu, J.H. Chin, J.P. Tanaka, H. Kanamon, T. Matsumoto,
T.D. Leon, V.J. Ulat, A.M. Ismail, M. Yano, and M. Wissuwa.
2009. Comparative sequence analyses of the major
quantitative trait locus phosphorus uptake 1 (Pup1) reveal a
complex genetic structure. Plant Biotech. J. 7:456-471.
Valent, B and Chumley, F.G. 1994. Avirulence genes and
mechanisms of genetic instability in rice blast fungus. di
dalam: R.S. Zeigler, S.A. Leong, and P.S. Teng (eds). Rice
blast disease. Wallingford (UK): CAB International. hlm. 111134.
IRRI. 1996. Standard Evaluation System for Rice. International Rice
Research Institute. Fourth Edition. Philippines. 52p.
Wissuwa M., M. Yano, and N. Ae. 1998. Mapping of QTLs for
phosphorus-deficiency tolerance in rice (Oryza sativa L.).
Theor. Appl. Genet. 97: 777-783.
36