Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Academia.eduAcademia.edu
Jurnal AGROSWAGATI 7 (2), Oktober 2019 p-ISSN 2339-0085 serta e-ISSN 2580-5185 RESPON PERTUMBUHAN TANAMAN DAN HASIL BEBERAPA VARIETAS PADI SAWAH TADAH HUJAN (Oryza sativa L.) AKIBAT PENERAPAN TEKNOLOGI Ratnawati1), Alfandi2) dan Iman Sungkawa2) 1) Penyuluh Dinas Pertanian Kabupaten Cirebon 2) Dosen Program Studi Agronomi UGJ ratnawati2173@gmail.com, alfandiraden@gmail.com, imansungkawa@gmail.com DOI: http://dx.doi.org/10.33603/agroswagati.v6i2 Diterima: 17 Mei 2019; Direvisi: 18 Juli 2019; Diterima: September 2019; Dipublikasikan: Oktober 2019 ABSTRACT Rainfed land with an area of 1.4 million ha is the second rice barn after irrigation land for Indonesia. Understanding rainfed land is land that has a bund but cannot be irrigated with a certain height and time continuously. Therefore the irrigation of rainfed land is largely determined by rainfall so that the risk of drought often occurs in the area during the dry season. So far, rice varieties for rainfed land that have resistant properties to blast disease are still very limited. On the other hand, it is very necessary to diversify the resistant varieties of blast disease to overcome the disease so that the resistance genes are not easily broken. Therefore we need a number of varieties with a wide diversity of resistance genes that are recommended for planting by farmers. The Agricultural Research and Development Agency has released drought-tolerant rainfed lowland rice varieties and several pests and diseases such as Inpari 10, inpari 38, inpari 40, inpari 42, inpari 43 and HHZ5-DT1-DT1 lines. The research method used was Factorial RGD with the treatment of PTT application and conventional technology interacted with rice varieties.The results showed that the application of PTT technology had a real / good influence compared to conventional technology on the growth and yield of rice plants. PTT can increase production by 5.9% and income by 12.6%. Inpari 42, Inpari 43 and HHZ5-DT1-DT1 varieties are relatively more stable than other varieties and Inpari 43 has a higher production compared to other varieties. Keywords: Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties . A. PENDAHULUAN Produksi padi tahun 2016 mencapai 79,141 juta ton gabah kering giling (GKG) atau naik 4,96% dibandingkan tahun lalu (Badan Pusat Statistik/BPS, 2016). Produksi padi nasional ini merupakan angka tertinggi selama Indonesia merdeka. Kenaikan angka produksi padi ini melanjuti tren peningkatan produksi padi selama dua tahun terakhir. Pada 2015 produksi padi meningkat 6,37% dari 70,846 juta ton menjadi 75,398 juta ton dibandingkan 2014. Atas keberhasilan meningkatkan produksi ini, Indonesia mampu menjadikan tahun 2016 tidak impor beras. Produksi padi 2016 diprediksi mencapai 79.141.325 ton GKG atau meningkat 3.743.511 ton (4,97%) dari Angka Tetap (ATAP) tahun 2015 sebesar 75.397.841. Kenaikan produksi terjadi di Pulau Jawa sebanyak 1,22 juta ton dan Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 di luar Pulau Jawa sebanyak 2,52 juta ton. Kenaikan produksi terjadi karena naiknya luas panen seluas 919.098 hektar (ha) atau meningkat 6,51% dari 14.116.638 ha menjadi 15.035.736 ha. Kenaikan produksi padi tahun 2016 yang relatif besar diperkirakan terdapat di Sumatera Selatan (21,81%), Jawa Barat (6,83%), Sulawesi Selatan (7,66%), Lampung (11,13%), Jawa Timur (2,93%), Sumatera Utara (8,86%), Jambi (48,13%), Kalimantan Barat (15,21%), Banten (7,56%) dan Kalimantan Selatan (7,67%). Pada kenyataannya kebutuhan beras tiap tahun semakin meningkat karena jumlah penduduk bertambah dan terjadinya pergeseran menu dari non beras ke beras, sehingga mendorong pemerintah untuk mencari 111 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties terobosan baru guna meningkatkan produksi pangan yang bersifat massal dan integral (Setijo Pujo, 2003). Sembiring (2015) mengatakan bahwa kendala dalam peningkatan produksi semakin komplek karena berbagai perubahan dan perkembangan lingkungan strategis diluar sektor pertanian hal ini dapat mempengaruh dalam peningkatan produksi tanaman. Menurut Makarim dan Las (2005), cara yang efektif dan efisien untuk meningkatkan produksi padi nasional secara berkelanjutan adalah meningkatkan produktivitas melalui ketepatan pemilihan komponen teknologi dengan memperhatikan kondisi biotik, abiotik serta pengelolaan lahan yang optimal. Pendekatan sistem yang selama ini diterapkan tidak lagi mampu meningkatkan produksi dan produktivitas padi secara nyata. Penggunaan input yang makin tinggi untuk mempertahankan produktivitas tetap tinggi ternyata telah menurunkan efisiensi sistem produksi padi (Departemen pertanian, 2003). Untuk mengatasi masalah ini, Badan Litbang Pertanian telah menghasilkan suatu metode melalui pendekatan Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT), tujuan utamanya adalah meningkatkan produktivitas hasil dan meningkatkan efisiensi biaya produksi serta melestarikan sumber daya lahan untuk keberlanjutan sistem produksi (Badan Litbang Pertanian, 2009). PTT (Pengelolaan Tanaman Terpadu) padi sawah menyediakan beberapa pilihan komponen teknologi yang dikelompokkan menjadi komponen teknologi dasar dan komponen teknologi pilihan. Komponen teknologi dasar PTT salah satunya adalah penggunaan varietas padi unggul, benih bermutu dan sehat, pemupukan spesifik lokasi, dan PHT (Pengendalian Hama Terpadu) sesuai OPT. Sedangkan penerapan komponen teknologi pilihan berupa pengeluaran tanaman meliputi populasi dan cara tanam (tegel, legowo dll), bibit muda (umur 1520 hari), penggunaan bahan organik, irigasi berselang, pupuk makro, pengolahan tanah, pengendalian gulma dan penanganan panen dan pasca panen (BPTP Sumatra Utara, 2010). Salah satu usaha peningkatan pertumbuhan dan produksi adalah dengan intensifikasi melalui penggunaan varietas unggul dan penggunaan benih berlabel (Suparyono dkk, 2001). Dalam suatu sistem produksi benih pertanian baik yang ditujukan untuk memenuhi kebutuhan sendiri maupun yang berorientasi komersil diperlukan adanya ketersediaan benih varietas yang berdaya hasil tinggi dan bermutu baik. Daya hasil yang tinggi serta mutu yang terjamin pada umumnya terdapat pada varietas unggul. Dengan demikian, dalam pertanian modern, benih berperan sebagai delivery mechanism yang menyalurkan keunggulan teknologi pada clients (petani dan konsumen lainnya) (Rahman dkk, 2000). Menurut Baihaki (2004), menyatakan bahwa untuk meningkatkan produksi padi dalam rangka ketahanan pangan nasional adalah mengembangkan padi varietas unggul bersertifikat atau memperbaiki teknik budidaya padi sawah juga termasuk salah satu upaya untuk meningkatkan produksi. Padi varietas unggul mempunyai sifat genetik seperti batang kokoh, malai panjang dan lebat, umur pendek 110 – 145 hari, mempunyai jumlah anakan banyak, daun lebar berwarna hijau tua, dan produksi tinggi 6 – 12 ton/ha. Lahan sawah tadah hujan dengan luas 1.4 juta ha merupakan lumbung padi kedua setelah lahan irigasi bagi Indonesia. Pengertian lahan sawah tadah hujan adalah lahan yang memiliki pematang namun tidak dapat diairi dengan ketinggian dan waktu tertentu secara kontinyu. Oleh karena itu pengairan lahan sawah tadah hujan sangat ditentukan oleh curah hujan sehingga resiko kekeringan sering terjadi pada daerah tersebut pada musim kemarau. Sejauh ini varietas padi untuk lahan sawah tadah hujan yang memiliki sifat tahan terhadap penyakit blas masih sangat terbatas. Di lain pihak sangat diperlukan diversifikasi varietas tahan penyakit blas untuk menanggulangi penyakit tersebut agar gen ketahanan tidak mudah patah. Oleh karena itu diperlukan sejumlah varietas dengan keragaman gen ketahanan yang luas yang dianjurkan untuk ditanam oleh petani. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian telah melepas varietas padi sawah tadah hujan yang toleran terhadap kekeringan dan beberapa hama dan penyakit seperti Inpari 10, inpari 38, inpari 40, inpari 42, inpari 43 serta galur HHZ5-DT1-DT1. Tujuan penelitian ini adalah untuk : 1. Mengetahui respon pertumbuhan dan hasil enam varietas tanaman padi (Oryza sativa L.) akibat penerapan teknologi 2. Mengetahui varietas dan teknologi mana yang menghasilkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) 3. Mengetahui korelasi antara komponen pertumbuhan dan hasil tanaman padi (Oryza sativa L.) B. METODE PENELITIAN Penelitian ini dilaksanakan di Desa Bojong Kulon Kecamatan Susukan Kabupaten Cirebon. Terletak pada ketinggian tempat 10 m di atas permukaan laut (dpl), jenis tanah alluvial, curah hujan rata-rata per tahun (10 tahun terakhir) menurut Schmidt dan Ferguson (1951) termasuk tipe curah hujan 112 kategori D (sedang). Waktu penelitian mulai tanggal 13 April 2018 sampai dengan bulan 17 Agustus 2018. Penelitian menggunakan 6 (enam) varietas padi tadah hujan yaitu Inpari 10, Inpari 38, Inpari 40, Inpari 42, Innpari 43 dan galur HHZ5-DT1-DT1. Penelitian mengacu pada pola rancangan split plot dengan 3 Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties ulangan. Petak utama (main plot) adalah Teknologi budidaya padi sawah tadah hujan: 1. T1 = Tekonologi budidaya dengan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) : - Komponen dasar - Komponen pilihan 2. T2 = Teknologi budidaya padi secara konvensional (lokal setempat) : - Penggunaan varietas unggul baru - Penggunaan benih bersertifikat/ berlabel - Pemupukan lebih dari 3x - Penggunaan bibit umur muda ≥ 20 HSS - Jarak tanam tegel Anak petak (sub plot) adalah, yaitu varietas padi tadah hujan, seperti : 1. V1 = Inpari 10 2. V2 = Inpari 38 3. V3 = Inpari 40 4. V4 = Inpari 42 5. V5 = Inpari 43 6. V6 = Galur HHZ5-DT1-DT1 Data hasil pengamatan utama diolah dengan menggunakan uji statistik model linier bagi percobaan 2 faktor dalam rancangan Split Plot Desaign atau RPT menurut Gomez dan Gomez (2010) yaitu: Xijk = µ + Tj + ∑ij + Vk + (TV)jk + ∑ijk Dimana : T = Teknologi V = Varietas Xijk = Hasil pengamatan pada ulangan ke-i, faktor T taraf ke-j, dan faktor V taraf ke-k 𝜇 = Rata-rata umum Tj = Pengaruh perlakuan Teknologi ke-j ∑ij = Pengaruh galat petak utama Vk = Pengaruh perlakuan varietas padi (TV)jk = Pengaruh interaksi teknologi yang ke-j dan varietas padi ke-k ∑ijk = Pengaruh galat anak petak Apabila hasil analisis uji F menunjukkan perbedaan yang nyata, maka pengujian dilanjutkan terhadap pengaruh interaksi kedua faktor tersebut. Pengujian dengan menggunakan uji Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf nyata 5 %. LSR (α;dbG;p) = SSR (α;dbG;p) Sx Untuk mencari nilai Tx dihitung dengan cara sebagai berikut : 1. Jika tidak terjadi interaksi : a. Untuk pengaruh varietas : 𝐾𝑇𝐺 Tx = √ 𝑟𝑥𝑉 b. Untuk pengaruh teknologi : 2. 𝐾𝑇𝐺 Tx = √ 𝑟𝑥𝑇 Jika terjadi interaksi : Tx = √ 𝐾𝑇𝐺 𝑟 Keterangan : LSR = Least Significant Ranges SSR = Studentized Significant Range Sx = Standar galat rata-rata α = Taraf nyata p = Jarak antar perlakuan dbG = Derajat bebas galat T = Teknologi V = Varietas r = banyaknya ulangan KTG = Kuadrat tengah galat C. HASIL DAN PEMBAHASAN 1. Pengamatan Penunjang Menurut hasil analisis contoh tanah sebelum percobaan yang diperoleh dari laboratoriumTanah, Tanaman, Pupuk, Air, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian tanah lokasi percobaan mengandung debu 48 %, pasir 2 %, liat 50 %. Kandungan unsur C-organik sangat rendah (0,79 %), N-total sangat rendah (0,05 %), C/N 16 %, kandungan P2O5 26 % dan K2O 15%. Kapasitas Tukar Kation (KTK) 33,77 cmol/Kg, dan derajat keasaman tanah/ pH H2O 7,1 serta kandungan Zn total HNO2 (33,2 ppm). Berdasarkan sifat kimia tanah maka status kesuburan tanahnya digolongkan dalam kategori cukup subur. Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Pengamatan penunjang terhadap curah hujan yang diperoleh dari UPT PSDA Kumpul Kuista Kecamatan Arjawinangun, berdasarkan nilai Q Schmith dan Ferguson (1951) tipe curah hujan di lokasi penelitian termasuk ke dalam tipe D (60,3 % ≤ Q < 100,0 %) yang bersifat sedang. Rata-rata curah hujan harian yang dibutuhkan oleh tanaman padi adalah 200 mm/hari dan rata-rata curah hujan harian selama penelitian adalah 10,91 mm/hari lebih tinggi dari curah hujan yang dibutuhkan oleh tanaman padi. Benih yang dipakai pada percobaan ini mempunyai daya tumbuh mencapai 95 %. Tanaman yang mati dan tumbuh abnormal relatif rendah. Untuk mengganti tanaman yang mati dilakukan penyulaman 113 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties dari cadangan bibit dengan varietas dan umur yang sama, penyulaman dilakukan pada umur 7 HST. Hama yang menyerang tanaman padi selama percobaan terjadi pada fase vegetatif adalah keong mas (Golden apple snall), hama putih palsu (Leaffolder), sedangkan pada fase generatif yang menyerang tanaman padi adalah walang sangit (Leptocorica acuta), penggerek batang padi (Scirpophaga innotata) dan wereng batang coklat batang/WBC (Nilaparvata lugens). Intensitas serangan hama masih relatif sedikit. Untuk mencegah serangan hama keong mas dengan cara mekanik yaitu mengumpulkan keong mas dan kelompok telur masukan ke dalam karung/kantong kresek. Untuk hama putih palsu dengan cara mengeringkan areal lahan percobaan selama beberapa hari untuk mengurangi intensitas perkembangan dan penyerangannya. Sedangkan untuk mencegah serangan hama walang sangit dan hama wereng batang coklat dengan menggunakan pestisida nabati Gatemrehtih, ketika tingkat kerusakan lebih tinggi (diatas ambang ekonomi) seperti tingkat populasi wereng lebih dari 5 – 10 ekor per rumpun maka dilakukan pencegahan dengan menggunakan insektisida Plenum 50 WG, dan Applaud 10 WP. Penyemprotan insektisida dilakukan bersamaan dengan penyemprotan POC (Pupuk Pelengkap Cair). Penyakit yang menyerang tanaman padi seperti bercak daun coklat/BLS (Brown Leaf Spot) dan jamur oncom/jamur ustilago (Ustilaginoidea virens). Intensitas penyerangan penyakit masih relatif sedikit. Untuk mencegah serangan penyakit dengan menggunakan Puanmur 50 SP. Gulma yang tumbuh di areal pertanaman selama percobaan ada tiga jenis gulma yaitu golongan rumput-rumputan, golongan teki dan golongan berdaun lebar. Golongan rumputrumputan meliputi : jajgoan (Echinochloa colonum), kakawatan (Cynodon dactilon) dan kalameta (Leersia hexandra). Golongan teki-tekian seperti : bulu munding (Fimpristylis miliacea), jekeng (Cyperus iria) dan jukut payung (Cyperus difformis). Golongan berdaun lebar seperti : eceng (Monochoriavaginalis), gunda (Sphenoclea zeylanica) dan semanggi (Marsilea crenata). Tingkat populasi gulma masih tergolong rendah, untuk mengurangi persaingan dengan tanaman pokok maka dilakukan penyiangan yaitu pada umur 14 HST dan 28 HST. Penyiangan dilakukan dengan menggunakan tangan dan landak. 2. Pengamatan Utama a. Tinggi Tanaman Tabel 1. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Tinggi Tanaman (cm) Rata-rata TinggiTanaman (cm) Perlakuan 30 HST 45 HST 60 HST Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 78,19 b 90,40 a 94,93 b T2 (Konvensional) 72,79 a 99,11 b 96,73 a Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 71,12 a 86,12 a 88,12 a V2 (varietas Inpari 38) 73,20 a 94,12 b 93,12 ab V3 (varietas Inpari 40) 78,25 b 89,41 ab 94,37 b V4 (varietas Inpari 42) 77,54 b 100,58 d 98,95 c V5 (varietas Inpari 43) 72,37 a 97,41 c 99,58 cd V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 80,45 b 100,87 d 100,83 d Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. Pada tabel 1 menunjukkan bahwa pada perlakuan teknologi budidaya PTT lebih tinggi dibandingkan teknologi budidaya konvensional pada umur 30 HST terhadap tinggi tanaman. Pada umur 45 HST teknologi budidaya PTT lebih tinggi dibandingkan teknologi konvensional. Hal ini menunjukan bahwa tinggi tanaman padi dipengaruhi oleh manajemen budidaya (seperti penggunaan komponen dasar dan komponen pilihan), meskipun faktor genetis juga menentukan ekspresi tanaman itu sendiri. Menurut Siregar (1989) menyatakan bahwa tinggi tanaman dapat dipengaruhi oleh faktor 114 lingkungan seperti kesuburan tanah, ketersediaan air dan intensitas cahaya matahari. Kemudian pada tabel 1 juga menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap tinggi tanaman pada 6 varietas yang diuji terlihat pada semua umur pengamatan. Pada umur 30 HST terlihat varietas Inpari 40 dengan tinggi 78,25 cm dan HHZ5DT1-DT1 dengan tinggi 80,45 cm, berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada umur 30 HST tanaman banyak membutuhkan nutrisi/pupuk baik yang mengandung unsur makro dan unsur mikro. Sedangkan pada umur 45 dan 60 HST terlihat varietas Inpari 42, Inpari 43 dan HHZ5-DT1-DT1 berbeda Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties nyata dengan perlakuan lainnya. PTT padi sawah menerapkan pemupukan berimbang secara efektif dan efisien sesuai kebutuhan tanaman dan ketersediaan hara dalam tanah. Pemupukan berimbang adalah pemberian berbagai unsur hara dalam bentuk pupuk untuk memenuhi kekurangan hara yang dibutuhkan tanaman berdasarkan tingkat hasil yang ingin dicapai dan hara yang tersedia dalam tanah. Unsur hara yang dibutuhkan tanaman adalah unsur N (nitrogen ; dalam bentuk pupuk urea), P (phospat ; dalam bentuk pupuk TSP/SP36) dan K (kalium ; dalam bentuk pupuk KCL), dari jenis pupuk tersebut mempunyai peranan dan fungsi masing-masing. b. Jumlah Rumpun Tabel 2. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Jumlah Anakan (buah) Rata-rata Jumlah Anakan (buah) Perlakuan 30 HST 45 HST 60 HST Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 16,29 a 15,87 b 13,76 b T2 (Konvensional) 18,27 a 23,90 a 20,48 a Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 18,25 a 20 91 a 16,62 ab V2 (varietas Inpari 38) 17,50 a 19,20 a 15,83 a V3 (varietas Inpari 40) 18,66 a 20,20 a 16,79 ab V4 (varietas Inpari 42) 15,37 a 19,08 a 16,37 a V5 (varietas Inpari 43) 17,91 a 20,58 a 19,33 b V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 16,00 a 19,33 a 17,79 ab Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. Tabel 2 menunjukkan bahwa pada perlakuan memanjang sepanjang barisan. Teknologi ini teknologi budidaya PTT lebih tinggi dibandingkan memanfaatkan barisan pinggir (border effect) teknologi budidaya konvensional pada umur 45 HST sehingga tanaman padi mendapatkan cahaya matahari dan 60 HST terhadap jumlah anakan. Pada umur 45 yang lebih banyak dan mampu berfotosintesis optimal. HST dan 60 HST sudah tidak ada penambahan jumlah Selanjutnya Hardjadi (1996) menyatakan bahwa anakan karena sudah memasuki fase generatif. jarak tanam mempengaruhi jumlah populasi dan Disamping itu juga perbedaan terhadap jumlah anakan efisiensi penggunaan cahaya, serta persaingan antar pada kedua perlakuan adalah penggunaan jarak tanam. rumpun dalam penggunaan air, unsur hara, yang Penggunaan jarak tanam mengakibatkan perbedaan akhirnya akan mempengaruhi pertumbuhan dan hasil persaingan dalam penyerapan unsur hara, air, cahaya tanaman. Varietas-varietas yang digunakan pada matahari dan serangan hama dan penyakit. percobaan ini termasuk tanaman yang memiliki Penggunaan jarak tanam legowo 2 : 1 pada PTT jumlah anakan produktif dari yang sedang sampai persaingan akan lebih kecil dibandingkan dengan yang tinggi. Perkembangan anakan padi sawah dataran sistem tegel pada budidaya konvensional. Suparyono rendah pada awal pertumbuhan jumlahnya terus dan Setyono (1993) menyatakan bahwa pertumbuhan bertambah sampai pada fase primordial. Jumlah anakan padi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan anakan maksimal per rumpun akan tercapai bila fase unsur hara, air, cahaya, jarak tanam dan teknik primordia telah dilalui/selesai. Respon varietas padi budidaya. Pada komponen pengamatan jumlah anakan sawah tadah hujan seperti diatas pada perlakuan PTT perlakuan sistem tanam jajar legowo pada pengamatan dan konvensional memperlihatkan perbedaan yang 30 HST memberikan hasil jumlah anakan yang lebih nyata terhadap jumlah anakan. banyak daripada sistem tanam tegel. Sistem tanam Tabel 2 menunjukkan perlakuan beberapa jajar legowo memberikan banyak keuntungan bagi varietas tidak ada perbedaan yang nyata terhadap lingkungan tumbuh tanaman bila dibandingkan sistem jumlah anakan. Hal ini disebabkan karena faktor tanam tegel. Perlakuan model jarak tanam ganda atau genetik dari varietas dan faktor lingkungan. jajar legowo rata-rata dapat menghasilkan jumlah Pertumbuhan tanaman digunakan sebagai indikator anakan, luas daun, indeks luas daun, berat kering total untuk mengetahui karakteristik tanaman dan tanaman dan laju pertumbuhan tertinggi dibandingkan hubungannya dengan faktor lingkungan. Tanaman dengan perlakuan model jarak tanam yang lain. Hal ini padi membutuhkan volume air yang berbeda-beda dikarenakan rekayasa teknologi yang diaplikasikan untuk setiap fase pertumbuhannya. Patricia Claudya pada model jarak tanam ganda dimana diantara Torey, Nio Song Ai , Parluhutan Siahaan dan Susan kelompok barisan terdapat lorong yang luas dan M.Mambu (2013) hasil penelitian menunjukkan Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 115 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties perbedaan karakter fisiologi tanaman padi setelah perlakuan penggenangan. Perlakuan tinggi dan lama penggenangan secara nyata berpengaruh pada pertumbuhan tanaman padi kultivar Sintanur. Perlakuan penggenangan juga secara nyata meningkatkan jumlah anakan, biomassa tanaman dan nisbah akar tajuk. Tinggi tanaman pada perlakuan penggenangan relatif lebih tinggi dan jumlah anakan yang lebih banyak dibandingkan dengan tanpa penggenangan. Hal ini disebabkan karena perlakuan penggenangan pada lahan sawah sehingga nutrien menjadi lebih tersedia bagi tanaman yang selanjutnya digunakan tanaman untuk pertumbuhannya yang ditunjukkan dengan meningkatnya tinggi tanaman. Hasil ini sejalan dengan penelitian Kawano et al., (2009) bahwa dengan adanya penggenangan akan memacu elongasi batang sebagai salah strategi penghindaran (escape strategy) terhadap penggenangan untuk membantu mencukupi kebutuhan oksigen dan karbondioksida untuk mendukung respirasi aerob dan fotosintesis. c. Volume Akar Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi budidaya dan berbagai varietas terhadap volume akar pada semua umur pengamatan. Pada Tabel 3 dapat dilihat bahwa perlakuan teknologi budidaya secara mandiri berpengaruh terhadap volume akar umur 28 HST, sementara varietas tidak berpengaruh nyata pada semua umur. Tabel 3. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Volume Akar (ml) Rata-rata Volume Akar (ml) Perlakuan 14 HST 21 HST 28 HST Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 201,22 a 201,50 a 201,27 a T2 (Konvensional) 201,44 a 201,50 a 202,00 b Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 201,33 a 201,66 a 201,83 a V2 (varietas Inpari 38) 201,33 a 201,33 a 201,66 a V3 (varietas Inpari 40) 201,50 a 201,16 a 201,50 a V4 (varietas Inpari 42) 201,33 a 201,66 a 201,83 a V5 (varietas Inpari 43) 201,16 a 201,50 a 201,50 a V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 201,33 a 201,66 a 201,50 a Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa dapat dipenuhi dengan jalan penyerapan oleh akar. faktor varietas, perlakuan dan interaksi antara faktor Kadar air di dalam tanah dan kemampuan akar untuk varietas dan perlakuan tidak menyebabkan perbedaan menyerap air sangat mempengaruhi besarnya air yang volume akar yang nyata pada hari ke-14 hari dan 21 diserap oleh akar sehingga kemampuan akar dalam hari. Hal ini dapat disebabkan karena volume akar menyerap air tersebut sangat mempengaruhi berat tanaman padi yang berumur 14 hari dan 21 hari setelah basah akar (Jadid, 2007). tanam masih terlalu kecil dan periode perlakuan pemberian air, karena umur 14 hari masih terlalu d. Soot Root Ratio (SRR) singkat dan perkembangan akar masih sedikit. Dengan Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa demikian volume akar tidak dapat dipakai sebagai tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi indikator kekurangan air pada padi. budidaya dan berbagai varietas terhadap SSR pada Berat basah akar digunakan untuk mengetahui semua umur pengamatan. Pada Tabel 4 dapat dilihat kemampuan tanaman dalam menyerap air. Untuk bahwa perlakuan varietas secara mandiri berpengaruh mengetahui biomassa total akar di dalam tanah maka terhadap SSR pada umur 30 HST. pengamatan berat basah akar merupakan variable pengamatan yang sesuai. Kebutuhan tanaman akan air Tabel 4. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap SRR (gr) Perlakuan Teknologi Budidaya : T1 (PTT) T2 (Konvensional) Varietas : 116 30 HST 4,28 a 4,15 a Rata-rata Shoot Root Ratio (gr) 45 HST 60 HST 7,01 a 6,35 a 8,86 a 9,56 a Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties Rata-rata Shoot Root Ratio (gr) 30 HST 45 HST 60 HST V1 (varietas Inpari 10) 3,44 a 5,80 a 8,28 a V2 (varietas Inpari 38) 4,83 c 7,17 a 10,07 a V3 (varietas Inpari 40) 3,57 a 5,80 a 7,37 a V4 (varietas Inpari 42) 4,62 b 6,75 a 9,27 a V5 (varietas Inpari 43) 4,00 ab 7,71 a 10,04 a V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 4,83 c 6,68 a 10,31 a Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. tahapan ini bisa tumpang tindih, tanaman yang sudah Menurut Feri (2014), pada umur 45 HST dan tidak membentuk anakan akan mengalami 60 HST pemberian pupuk an organik tidak perpanjangan batang, buku kelima dari batang di berpengaruh nyata pada tanaman padi seperti padi bawah kedudukan malai, memanjang hanya 2 cm - 4 gogo. Hal ini disebabkan karena lokasi percobaan ratacm sebelum pembentukan malai. Sementara tanaman rata curah hujan 10,91 mm/hari lebih tinggi dari curah muda (tepi) terkadang masih membentuk anakan baru, hujan yang dibutuhkan padi. Intensitas curah hujan sehingga terlihat perkembangan kanopi sangat cepat. yang tinggi menyebabkan aplikasi pupuk mudah Secara umum, fase pembentukan anakan berlangsung tercuci oleh air hujan, disamping itu pemberian pupuk selama kurang lebih 30 hari. pada umur 45 HST – 60 HST kurang efektif dan efesien karena sudah melewati fase vegetatif. Tabel 4 perlakuan beberapa varietas e. Laju Pertumbuhan Tanaman (LPT) berpengaruh nyata pada umur 30 HST terhadap SRR. Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa Perlakuan varietas Inpari 38 menghasilkan SRR tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi sebesar 4,83 gr dan HHZ5-DT1-DT1 menghasilkan budidaya dan berbagai varietas terhadap laju SRR 4,83 gr berbeda nyata dengan perlakuan varietas pertumbuhan tanaman pada semua umur pengamatan. lainnya. Hal ini menunjukan bahwa pada umur 30 Pada Tabel 5 dapat dilihat bahwa perlakuan teknologi HST sudah memasuki fase vegetatif, pemberian pupuk budidaya secara mandiri berpengaruh terhadap LPT yang seimbang akan mendapatkan pertumbuhan umur 30 HST - 45 HST, sementara varietas tidak tanaman yang maksimal. Ada dua tahapan penting berpengaruh nyata pada semua umur. yaitu pembentukan anakan aktif kemudian disusul dengan perpanjangan batang (stem elongation). Kedua Perlakuan Tabel 5. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Laju Pertumbuhan Tanaman (gr) Rata-rata Laju Pertumbuhan Tanaman Perlakuan 30 – 45 HST 45 - 60 HST Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 14,05 a 16,00 a T2 (Konvensional) 20,05 a 22,27 a Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 16,00 a 18,66 a V2 (varietas Inpari 38) 21,83 a 20,33 a V3 (varietas Inpari 40) 14,50 a 14,16 a V4 (varietas Inpari 42) 16,83 a 24,16 a V5 (varietas Inpari 43) 18,50 a 18,83 a V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 14,66 a 20,06 a Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. Laju pertumbuhan tanaman yaitu penelitian yang menyatakan aplikasi pupuk cair bertambahnya berat dalam komunitas tanaman organik dengan kombinasi pupuk NPK meski tidak menujukkan nilai yang signifikan, namun cenderung persatuan luas tanah dalam satuan waktu, digunakan meningkatkan komponen pertumbuhan dan hasil secara luas dalam analisis pertumbuhan tanaman tanaman antara 22-34 %. Rerata laju pertumbuhan budidaya yang ada di lapangan. Pengaruh tidak nyata tanaman (LPT) merupakan perhitungan untuk melihat perlakuan terhadap laju pertumbuhan tanaman tingkat pertambahan biomasa tanaman pada tiap umur tersebut didukung dengan perbandingan hasil Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 117 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties tanaman pada suatu luasan tertentu. Sehingga berdasarkan perhitungan LPT ini dapat diketahui respon perlakuan mana yang menunjukkan hasil paling baik pada pertumbuhan tanaman. Namun berdasarkan hasil perhitungan LPT dari berat kering total tanaman pada interval pengamatan 30 HST, 45 HST dan 60 HST, tidak menujukkan adanya respon yang signifikan pada seluruh varietas. Hal ini dapat disebabkan oleh kandungan unsur hara pada tanah yang cukup rendah. Hasil analisis ragam tidak menunjukkan adanya pengaruh nyata pada perlakuan perbedaan varietas dengan penggunaan teknologi terhadap laju asimilasi bersih tanaman padi pada pengamatan 30 HST - 45 HST. Pada umur 30 HST - 45 HST, laju asimilasi bersih tanaman padi tidak menunjukkan adanya perbedaan yang nyata. Dari hasil penelitian, laju asimilasi bersih mengalami penurunan pada umur 45 HST hingga 60 HST diakibatkan daun yang ternaungi sudah cukup banyak sehingga laju asimilasi bersih menurun. Daya hasil suatu genotipe tanaman dapat dideterminasi dengan melihat kemampuan fotosintesis dan metabolisme tanaman. Laju asimilasi erat kaitannya dengan proses fotosintesis. Investasi hasil asimilasi dalam pertumbuhan tanaman selama periode vegetatif menentukan produktivitas tanaman. Akan tetapi peningkatan pemberian pupuk kimia tidak lagi diikuti oleh peningkatan produktivitas secara seimbang. Tabel 6. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Jumlah Malai (Buah) Rata-rata Jumlah Malai Perlakuan (Buah) Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 14,54 a T2 (Konvensional) 23,32 b Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 17,64 a V2 (varietas Inpari 38) 18,14 ab V3 (varietas Inpari 40) 20,65 b V4 (varietas Inpari 42) 19,07 ab V5 (varietas Inpari 43) 20,35 b V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 17,71 a Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. f. Jumlah Malai Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi budidaya dan berbagai varietas terhadap jumlah malai. Pada Tabel 6 dapat dil ihat bahwa perlakuan teknologi budidaya secara mandiri berpengaruh terhadap jumlah 118 malai, sementara varietas tidak berpengaruh nyata pada jumlah malai. Perolehan jumlah malai per rumpun berkaitan erat dengan kemampuan tanaman menghasilkan anakan dan kemampuan mempertahankan berbagai fungsi fisiologis tanaman. Semakin banyak anakan yang terbentuk semakin besar peluang terbentuknya anakan yang menghasilkan malai. Hal ini sejalan dengan pendapat Murayama (1995) yang menyatakan bahwa pada saat tanaman mulai berbunga hampir seluruh hasil fotosintesis dialokasikan ke bagian generatif tanaman (malai) dalam bentuk tepung. Selain itu, terjadi juga mobilisasi karbohidrat protein dan mineral yang ada di daun, batang dan akar untuk dipindahkan ke malai. Pada komponen indeks panen, bibit umur 7 hari - 14 hari (PTT) mampu meningkatkan nilai indeks panen. Pindah lapang bibit umur 7 hari - 14 hari diduga tidak mengakibatkan tanaman mengalami cekaman. Pada saat pindah lapang, bibit umur 7 hari dan 14 hari masih mempunyai cadangan makanan dalam endosperm sehingga perubahan lingkungan tumbuh tidak mengakibatkan cekaman. Pertumbuhan awal tanaman yang relatif lebih sehat pada kedua umur bibit tersebut diikuti oleh laju distribusi bahan kering yang meningkat pula. Akumulasi bahan kering mencerminkan kemampuan tanaman dalam mengikat energi dan cahaya matahari melalui proses fotosintesis, serta interaksi dengan faktor lingkungan tumbuh tanaman. Distribusi akumulasi bahan kering pada bagian-bagian tanaman seperti akar, batang, dan daun dapat mencerminkan produktivitas tanaman. Berbeda dengan bibit umur 7 hari - 14 hari, bibit umur 21 hari - 28 hari sudah terpisah dari biji dan tidak mempunyai cadangan makanan lagi saat dilakukan pindah lapang. Tabel 6 menunjukkan perlakuan berbagai varietas tidak berpengaruh nyata terhadap jumlah malai. Hal ini disebabkan karena perubahan cara budidaya dari cara konvensional menjadi cara PTT belum membuat jumlah malai perumpun naik, hal ini disebabkan padi belum bisa beradaptasi dengan baik di awal perubahan cara budidaya. Malai terdiri atas 8 buku - 10 buku yang menghasilkan cabang-cabang primer dan cabang sekunder. Tangkai buah (pedicel) tumbuh dari buku-buku cabang primer maupun cabang skunder. Pada umumnya, dari buku pangkal malai hanya akan muncul satu cabang primer, tetapi dalam keadaan tertentu buku tersebut dapat menghasilkan 2 - 3 cabang primer (matshusima, 1970; Yoshida, 1981). g. Bobot 1000 Butir Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties budidaya dan berbagai varietas terhadap bobot 1000 butir. Pada Tabel 7 dapat dilihat bahwa perlakuan teknologi budidaya dan varietas secara mandiri berpengaruh terhadap bobot 1000 butir. Tabel 7. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Bobot 1000 Butir (gr) Rata-rata Bobot Perlakuan 1000 Butir (gr) Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 30,06 a T2 (Konvensional) 31,15 a Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 32,00 c V2 (varietas Inpari 38) 29,38 a V3 (varietas Inpari 40) 29,88 ab V4 (varietas Inpari 42) 31,39 b V5 (varietas Inpari 43) 29,41 a V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 31,57 c Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 % Tabel 7 menunjukkan perlakuan berbagai varietas berpengaruh nyata terhadap bobot 1000 butir. Perlakuan varietas Inpari 10 lebih tinggi sebesar 32,00 g dibandingkan vareitas lainnya. Hal ini disebabkan karena Bobot 1000 butir tidak dipengaruhi oleh jarak tanam. Hal ini diduga bentuk dan ukuran biji ditentukan oleh faktor genetik sehingga berat 1000 butir yang dihasilkan hampir sama. Hal ini sesuai dengan literatur Masdar (2006) tinggi rendahnya berat biji tergantung dari banyak atau tidaknya bahan kering yang terkandung dalam biji. Bahan kering dalam biji diperoleh dari hasil fotosintesis yang selanjutnya dapat digunakan untuk pengisian biji. Berdasarkan hasil penelitian penerapan beberapa jarak tanam dan sistem tanam berpengaruh sangat nyata terhadap bobot gabah bruto kering per plot tanaman padi, dimana bobot gabah bruto kering tertinggi pada yaitu pada perlakuan legowo 4:1 sebesar 4.746,36 gr gabah bruto kering. Hal ini dikarenakan aplikasi berbagai jarak tanam yang digunakan akan mempengaruhi produksi secara langsung. Proses ini dapat saja terjadi karena masih banyak faktor lingkungan lain yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman antaranya curah hujan, hama yang menyerang, anakan yang mati atau tidak produktif. Faktor paling penting mempengaruhi tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh yang tersedia seperti cahaya matahari, air dan CO2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 pembentukan hasil, karena kompetisi yang terjadi relatif kecil (Wahyuni dkk, 2004). Demikian pula bobot butir gabah isi adalah salah satu penentu terhadap bobot hasil (Simanulang, 2001). Menurut Helmi (2014), hasil analisis varietas Mekongga memberikan bobot 1000 butir tertinggi yaitu 23,60 gr, namun tidak berbeda nyata dengan varietas Inpara 2 dan Inpara 3.. Bobot 1000 butir dari varietas akan mempengaruhi produksi yang akan dihasilkan, kalau didukung oleh komponen yang lain seperti jumlah anakan produktif, gabah per malai, dan jumlah gabah bernas. Bobot 1000 butir yang ditampilkan lebih ringan, hal ini diduga karena selama pertumbuhan tanaman mendapat cekaman kekeringan karena curah hujan yang sangat rendah. Perbedaan bobot 1000 butir gabah isi antara hasil percobaan dan deskripsi membuktikan bahwa walaupun secara genotifik varietas-varietas tersebut sudah stabil namun faktor lingkungan sangat mempengaruhi sifat fenotifik dari suatu varietas. h. Bobot Gabah Kering Panen (GKP) per Petak Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa tidak terjadi interaksi antara perlakuan teknologi budidaya dan berbagai varietas terhadap GKP. Pada Tabel 8 dapat dilihat bahwa perlakuan varietas secara mandiri berpengaruh terhadap GKP. Tabel 8. Pengaruh Teknologi Budidaya dan Beberapa Varietas Padi Sawah Tadah Hujan Terhadap Gabah Kering Panen (Kg/petak) Rata-rata GKP Perlakuan (Kg/petak) Teknologi Budidaya : T1 (PTT) 5,74 a T2 (Konvensional) 5,72 a Varietas : V1 (varietas Inpari 10) 4,89 a V2 (varietas Inpari 38) 5,29 a V3 (varietas Inpari 40) 4,84 a V4 (varietas Inpari 42) 6,52 b V5 (varietas Inpari 43) 6,59 b V6 (varietas HHZ5-DT1-DT1) 6,26 b Keterangan : Angka Rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama berbeda tidak nyata menurut Uji Duncan pada taraf 5 %. Ukuran sekam pada biji menentukan berat biji, semakin besar ukuran sekam maka bobot biji akan meningkat. Yoshida (1981) menyatakan bahwa ukuran bulir kuat dikendalikan oleh ukuran sekam. Peningkatan hasil panen padi tidak terjadi bila padi dibudidayakan dengan cara konvensional, padi yang dibudidayakan dengan cara PTT, bila ditanam memiliki hasil panen lebih tinggi dibandingkan cara 119 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties konvensional, yaitu sekitar 59% (Evan Mungara, Didik Indradewa, dan Rohlan Rogomulyo, 2013). Tabel 8 menunjukkan perlakuan berbagai varietas berpengaruh nyata terhadap bobot GKP. Perbedaan persentase gabah isi ini diduga disebabkan oleh faktor genetik dari tiap varietas tanaman padi yang digunakan. Varietas Inpari 42 dan Inpari 43 relatif lebih stabil dibanding varietas lainnya sehingga memiliki persentase gabah isi yang tinggi. Tingginya persentase gabah isi per malai sangat dipengaruhi oleh jumlah gabah per malai dan jaminan hara yang tersedia. Kondisi lingkungan tumbuh yang sesuai cenderung merangsang proses inisiasi malai menjadi sempurna, sehingga peluang terbentuknya bakal gabah menjadi lebih banyak. Namun demikian semakin banyak gabah yang terbentuk, meningkatkan beban tanaman untuk membentuk gabah bernas. Apabila saat proses pengisian gabah, tidak diimbangi dengan ketersediaan hara yang mencukupi akan banyak terbentuk gabah hampa. Persentase gabah isi merupakan salah satu indikator produktivitas tanaman, semakin tinggi persentase gabah isi yang diperoleh suatu varietas menandakan varietas tersebut mempunyai produktivitas yang tinggi. Berdasarkan deskripsi rata-rata produksi untuk Inpari 42 sebesar 7,11 ton/ha, Inpari 43 sebesar 6,96 ton/ha dan Galur sebesar 6,67. Sedangkan rata-rata produksi tertinggi per hektar hasil penelitian untuk Inpari 42 adalah 8,66 ton/ha, inpari 43 produksi 8,75 ton/ha dan galur HHZ5-DT1-DT1 sebesar 8,31 ton/ha. Hal ini menunjukan bahwa dari ketiga varietas diatas Inpari 43 lebih tinggi produksi dibandingkan dengan varietas lainnya. D. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan 1. 2. 3. 4. 5. Tidak terdapat pengaruh interaksi pada semua variable pengamatan seperti tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, volume akar, SRR, LPT, jumlah malai per rumpun, bobot 1000 butir dan gabah kering panen per petak. Secara mandiri PTT berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan, volume akar, LPT, jumlah malai per rumpun dan bobot 1000 butir. Varietas secara mandiri berpengaruh nyata terhadap GKP dan bobot 1000 butir. Penerapan teknologi PTT memberikan pengaruh nyata/baik dibandingkandengan teknologi konvensional terhadap pertumbuhan dan hasil tanaman padi. PTT dapat meningkatkan produksi sebesar 5,9 % dan pendapatan sebesar 12,6 %. Varietas Inpari 42, Inpari 43 dan Galur HHZ5DT1-DT1 hasilnya relatif lebih stabil dibanding varietas lainnya dan Inpari 43 produksinya lebih tinggi dibandingkan dengan varietas lainnya. DAFTAR PUSTAKA Badan Penelitian Pertanian. 2009. Pedoman Umum Pengelolaan Tanaman Terpadu Tanaman Padi Sawah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Kementrian. Jakarta. Badan Pusat Statistik, 2016. Produksi, Luas Panen dan Produktivitas Padi di Indonesia pada Tahun 2012 – 2016. Baihaki. 2004. “Jurnal”. Dinas Pertanian Provinsi Jawa Timur. BPTP Sumatera Utara. 2010. Pengelolaan Tanaman Terpadu Padi Sawah. Sumatra Utara. Departemen Pertanian. 2008. Pengelolaan Tanaman Terpadu pada Padi Gogo. Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Subang. 28 Hal. 120 Saran 1. 2. Budidaya tanaman padi (Oryza sativa L.) sawah tadah hujan dengan menggunakan teknologi Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) disarankan untuk digunakan (disesuai dengan spesifik lokasi), karena PTT merupakan salah satu teknologi yang dapat meningkatkan pertumbuhan dan hasil tanaman padi sawah tadah hujan dibandingkan dengan cara konvensional. Inpari 43 produksinya lebih tinggi dibandingkan varietas lainnya. Disamping itu dengan penerapan teknologi PTT dapat menaikkan produksi sebesar 5,9 % dan pendapatan sebesar 12,6 % dibandingkan dengan cara konvensional. Penggunan varietas padi (Oryza sativa L.) sawah tadah hujan dengan menggunakan teknologi PTT perlu dilakukan penelitian lebih lanjut terutama untuk beberapa daerah dan jenis tanah yang berbeda. Evan Mungara, Didik Indradewa, dan Rohlan Rogomulyo, 2013 Evan Munggara, D. Indradewa dan R. Rogomulyo. 2013. Analisis Pertumbuhan dan Hasil Padi Sawah (Oryza sativa L.) Pada Sistem Petanian Konvensional, Transisi Organik dan Organik. Vegetalika 2 (no. 3) : 1 – 12. Gomez, K.A dan A.A Gomez, 1995. Prosedur Statistik untuk Penelitian pertanian. (terjemahan). Universitas Indonesia. Helmi. 2014. Peningkatan Produktivitas PadiI Lahan Rawa Lebak Melalui Penggunaan Varietas Unggul Padi Rawa. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara Medan. Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Application of PTT technology, Conventional, and Rice Varieties Jadid MN. 2007. Analisis sikap dan kepuasan petani padi terhadap benih padi (Oryza sativa) varietas unggul di Kota Solok, Sumatera Barat. Skripsi. Fakultas Ekonomi dan Manajemen. IPB. Bogor. Kawano, N., Ito, O. & Sakagami, J. 2009. Morphological and physiological responses of rice seedlings to complete submergence (flash flooding). Annals of Botany. 103: 161-169. doi:10.1093/aob/mcn 171. Masdar, 2006. Respon Pertumbuhan Reproduktif Tanaman Padi Terhadap Jarak Tanam dan Umur Bibit pada Sistem Intensifikasi Padi (SRI). Jurnal Akta Agrosia 9(2):130-135. Matsushima, S. (1980) Rice cultivation for the million diagnosis of rice cultivation on techniques of yield inrease. Japan, Japan Scientific Press. Murayama N. 1995. Fertilizer application to rice in relation to nutriphysiology of ripening. 2.j.Agri.Sci.24:7177.(J) dalam skripsi H. Sukardi. 2006. Pengaruh Kombinasi Dosis Pupuk Anorganik (NPK) dan Organik Terhadap Pertumbuhan Dan Hasil Tanaman Padi (Oryza sativa L.). Fakultas Pertanian Unsika. Patricia Claudya, Torey, Nio Song Ai, Parluhutan Siahaan, Susan M. Mambu .2013. Karakter morfologi akar sebagai indikator kekurangan air pada padi lokal Superwi. Universitas Sam Ratulangi Manado. Manado. Rachman, B., I Wayan Rusastra & Ketut Kariyasa. 2000. Sistem Pemasaran Benih dan Pupuk & Pembiayaan Usaha Tani. Prosiding Analisis Kebijaksanaan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertania. Bogor. Schmidt, F.H and J.H.A. Ferguson. 1951. Rain Fall Types Based on Wet an Dry Period Rations for Indonesia with Western New Guinea. Jawatan Meteorologi dan Geofisika. Verhandelingen no. 42, Jakarta. Sembiring, H. 2015. Kebijakan Penelitian dan Rangkuman Hasil Penelitian Tanaman Padi dalam Mendukung Peningkatan Produksi Beras Nasional. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitia Padi Menunjang P2BN. Balitan Padi. Sukamandi. Subang. Setijo Pujo. 2003. Budidaya Padi Tabela. Penebar Swadaya. Jakarta. Hal 59. Simanulang, Z.A. (2001) Kriteria seleksi untuk sifat agronomis dan mutu. Pelatihan dan Koordinasi Program Pemuliaan Partisipatif dan Uji Multi Lokasi 9-14 April 2001. Balai Penelitian Tanaman Padi. Sukamandi. Suparyono dan Setyono. 1993. Pengaruh Varietas, Populasi Tanaman dan Waktu Pemberian Pupuk N Terhadap Beberapa Penyakit dan Hasil Padi. Jurnal Penelitian Pertanian Tanaman Pangan, 20 (1) : 1 – 13. Dalam Pengaruh Dosis Pupuk Majemuk NPK terhadap Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas Tanaman Padi (Oryza sativa L). Suparyono, Sudir dan Suprihanto. 2001. Pathotype Profile of Xanthomonas campestris pv, oryzae, isolates from the rice ecosystem in Java Indonesian. Jurnal of Agriculture Science. Vol. 5(2) : 63-69. Wahyuni, S. U. S. Nugraha dan Soejadi .2004. Karakteristik Dormansi Dan Metode Efektif Untuk Pematahan Vol. 7 No. 2, Oktober 2019 Dormansi Benih Plasma nutfah Padi. Jurnal Peneltian Tanaman Pangan. Hal 12. Yoshida, S. (1981). Fundamentals of rice crop science. Philippines, International Rice Research Institute, pp. 65–109. 121