Uas Bioteknologi Lingkungan
Uas Bioteknologi Lingkungan
Uas Bioteknologi Lingkungan
MAKALAH
BIOREMEDIASI LIMBAH PETROLEUM Di AIR LAUT
OLEH:
DOSEN PENGAMPU:
(Punils)
i
DAFTAR ISI
ii
2
BAB I
PENDAHULUAN
Senyawa yang hanya terdiri dari unsur karbon dan hydrogen dikelompokan kedalam
senyawa hidrokarbon. Terdapat empat seri hidrokarbon minimal yang terkandung di dalam
minyak bumi, yaitu seri n-paraffin (n-alkana) yang terdiri atas metana (CH4), aspal yang
memiliki atom karbon (C) lebih dari 25 pada rantainya, seri iso- paraffin (isoalkana) yang
terdapat hanya sedikit dalam minyak bumi, seri neptena (sikloalkana) yang merupakan
komponen kedua terbanyak setelah n-alkana, dan seri aromatik. Komposisi senyawa
hidrokarbon pada minyak bumi berbeda bergantung pada sumber penghasil minyak bumi
tersebut (Munawar, 2007).
Senyawa hidrokarbon yang terkandung dalam minyak bumi berupa benzena, toluena,
ethylbenzena, dan isomer xylena, dikenal sebagai BTEX, merupakan komponen utama dalam
minyak bumi, bersifat mutagenik dan karsinogenik pada manusia. Senyawa ini bersifat
3
4
rekalsitran, yang artinya sulit mengalami perombakan di alam, baik di air maupun di darat,
sehingga hal ini dapat mengalami proses biomagnition pada ikan ataupun pada biota laut
yang lain. Bila senyawa aromatik tersebut masuk ke dalam darah, akan diserap oleh jaringan
lemak dan mengalami oksidasi dalam hati membentuk phenol, kemudian pada proses
berikutnya terjadi reaksi konjugasi membentuk senyawa glucuride yang larut dalam air,
kemudian masuk ke ginjal. Komposisi senyawa hidrokarbon pada minyak bumi tidak sama,
bergantung pada sumber penghasil minyak bumi tersebut. Misalnya, minyak bumi Amerika
komponen utamanya ialah hidrokarbon jenuh, yang digali di Rusia banyak mengandung
hidrokarbon siklik, sedangkan yang terdapat di Indonesia banyak mengandung senyawa
aromatik dan kadar belerangnya sangat rendah (Hardjono, 2001).
2.2. Oli
Oli merupakan salah satu produk turunan minyak bumi yang juga berpotensi untuk
mencemari lingkungan. Oli mengandung sejumlah zat yang dapat mengotori udara, tanah
maupun air. Menurut Keith dan Telliard (1979) setelah masa pemakaian oli sebagai pelumas
berakhir, maka oli bekas akan mengandung lebih banyak hidrokarbon, logam dan polycyclic
aromatic hydrocarbon (PAH) bersifat mutagenik dan karsinogenik. PAH yang masuk ke
dalam darah akan diserap oleh jaringan lemak dan mengalami oksidasi dalam hati
membentuk fenol. Berikutnya akan terjadi reaksi konjugasi membentuk glukoronida yang
larut dalam air, kemudian masuk ke ginjal. Senyawa antara yang terbentuk adalah epoksida
yang beracun dan dapat menyebabkan kerusakan pada tulang sumsum. Keracunan PAH yang
kronis dapat menyebabkan kelainan pada darah, termasuk menurunnya sel darah putih, zat
beku darah, dan sel darah merah yang menyebabkan anemia. Akibatnya, akan merangsang
timbulnya preleukemia, kemudian leukemia yang pada akhirnya menyebabkan kanker (Philp,
1995).
Oli bekas merupakan golongan limbah B3, karena oli bekas dapat menyebabkan tanah
menjadi tandus dan kehilangan unsur haranya, sedangkan sifatnya yang tidak dapat larut
dalam air dapat menyebabkan pencemaran air, selain itu oli juga mudah terbakar
(Mukhlishoh, 2012). Hidrokarbon minyak bumi ini mengandung hidrokarbon alifatik,
hidrokarbon alisiklik, dan hidrokarbon aromatik (Speight, 1980). Menurut Udiharto (2000)
keberadaan senyawa ini dalam limbah akan menyebabkan degradasi kualitas lingkungan.
Dampak terhadap tumbuhan, yaitu toksisitas akibat kontak langsung yaitu hidrokarbon
melarutkan struktur membran lipid sel (Bossert dan Bartha, 1984).
5
Meskipun oli bekas masih dapat dimanfaatkan kembali, apabila tidak ditangani
dengan baik dapat membahayakan lingkungan sekitarnya. Penanganan oli bekas yang
dilakukan dengan baik dapat memberikan keuntungan bagi pengelola oli bekas dan juga bagi
industri untuk mengurangi biaya produksi dengan cara memanfaatkan kembali oli bekas
sebagai pelumas untuk berbagai peralatan. Karena pada dasarnya oli bekas memang masih
dapat dimanfaatkan kembali untuk pelumas dengan cara pemakaian yang berbeda dari
sebelumnya.
Susanto (1973) menjelaskan akibat-akibat jangka pendek dari pencemaran hidrokarbon
sudah banyak dilaporkan. Molekul-molekul hidrokarbon dapat merusak membran sel yang
berakibat pada keluarnya cairan sel dan berpenetrasinya bahan tersebut ke dalam sel. Secara
langsung oli dapat menimbulkan kematian pada biota laut. Hal ini disebabkan oleh kekurangan
oksigen, keracunan karbondioksida dan keracunan langsung oleh bahan beracun yang terdapat
dalam minyak. Akibat jangka panjang menurut Sumalidang (1995) pencemaran hidrokarbon
ternyata dapat pula menimbulkan beberapa masalah yang serius terutama bagi biota yang masih
muda.
analisa TPH didefinisikan sebagai metoda analisis yang digunakan untuk mengukur jumlah
hidrokarbon minyak bumi dalam suatu media (Ghazali, 2004). Menurut peraturan perundang-
undangan yang berlaku. Nilai TPH pada baku mutu air laut daerah pelabuhan ditentukan
dibawah 5 mg/liter atau 5 ppm, sedangkan untuk biota laut dibawah 1 mg/liter atau 1 ppm.
2.4. Bioremediasi
Bioremediasi merupakan suatu upaya pemulihan kondisi lingkungan dengan
menggunakan aktivitas biologis mikroba untuk mendegradasi dan menurunkan toksisitas dari
berbagai senyawa pencemar (Madigan et al, 2009). Sedangkan menurut lampiran KEPMEN
LH No 128 Tahun 2003 Bioremediasi adalah proses pengolahan limbah minyak bumi yang
sudah lama atau tumpahan/ceceran minyak pada lahan terkontaminasi dengan memanfaatkan
makhluk hidup termasuk mikroorganisme, tumbuhan, atau organisme lain untuk mengurangi
konsentrasi atau menghilangkan daya racun bahan pencemar.
Saat ini, bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang
mengandung senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi dan biasanya
dihubungkan dengan kegiatan industri, antara lain logam-logam berat, petroleum
hidrokarbon, dan senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida
(Tortora, 2010), maupun nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada perairan tergenang.
Cookson (1995) menjelaskan beberapa faktor yang diperlukan dalam proses biologi dalam
mendegradasi kontaminan, yaitu antara lain:
1. Keberadaan mikroorganisme pendegradasi kontaminan
2. Keberdaan substrat yang menjadi kontaminan
3. Keberadaan inducer yang dapat mendorong pembentukan enzim spesifik
4. Kebradaan sistem akseptor-donor electron
5. Kondisi lingkungan yang mendukung reaksi katalisis enzim
6. Nutrien yang menunjang pertumbuan bakteri dan produksi enzim
7. Kisaran temperature yang mendukung aktivitas mikrobadan reaksi kataitas.
8. Tidak adanya material/substansi yang bersifat toksik terhadap mikroorganisme
pendegradasi.
9. Keberadaan organisme yang dapat mendegradasi produk metabolit
10. Keberadaan organisme yang dapat mencegah terbentuknya senyawa toksik.
11. Kondisi lingkungan yang dapat meminimalis organisme kompetitif yang berkatian
dengan keberlangsungan reaksi.
7
Berdasarkan agen proses biologis serta pelaksanaan rekayasa, bioremediasi dapat dibagi
menjadi dalam Empat kelompok, yaitu (Vidali dalam Hardiani, dkk., 2011:32):
a. Fitoremediasi
Fitoremediasi merupakan proses teknologi yang menggunakan tumbuhan untuk
memulihkan tanah yang tercemar oleh bahan polutan secara in situ. Teknologi ini dapat
ditunjang dengan peningkatan perbaikan media tumbuh dan ketersediaan mikroba tanah
untuk meningkatkan efesiensi dalam proses degradasi bahan polutan.
b. Bioremediasi in situ
Bioremediasi in situ disebut juga bioremediasi dasar atau natural attenuation. Teknologi ini
memanfaatkan kemampuan mikroba indigen dalam merombak polutan di lingkungan.
Proses ini terjadi dalam tanah secara alamiah di dalam tanah secara alamiah dan berjalan
sangat lambat
c. Bioremediasi ex situ
Bioremediasi ex situ dikenal sebagai metode dimana mikroorganisme diaplikasikan pada
tanah atau air terkontaminasi yang telah dipindahkan dari tempat asalnya. Teknik ex situ
terdiri atas: Landfarming, Composting, Biopiles, Bioreactor.
d. Bioagumentasi
Metode dengan menambahkan organisme dari luar (exogenus microorganism) pada
subpermukaan yang dapat mendegradasi kontaminan spesifik.
Secara garis besar, Gordon (1994) menyebutkan ada 3 faktor yang mempengaruhi
bioremediasi, yaitu mikroorganisme, nutrien (substrat) dan faktor lingkungan. Venosa (2002)
menyatakan bahwa ada 2 pendekatan utama dalam bioremediasi minyak bumi yaitu
bioaugmentasi (penambahan mikroorganisme pendegradasi minyak bumi untuk membantu
proses degradasi) dan biostimulasi (penambahan nutrien atau substrat untuk menstimulasikan
pertumbuhan mikroorganisme pendegradasi).
Bahkan, saat ini, flokulan umum berbahan baku Alam untuk menurunkan bahan
pencemar air sungai telah bisa digantikan dengan bioflokulan yang mikroorganismanya
diisolasi dari proses lumpur aktif dan diketahui dapat menurunkan turbiditi sebesar 84-94%
(Buthelezi et al, 2009). Selain itu, kehandalan mikroba termasuk diantaranya bakteri, jamur,
dan protozoa dalam pengolahan air limbah dan peranannya dalam menjaga keseimbangan
ekologis perairan sudah banyak dielaborasi (Gerardi., 2006).
8
Secara umum, dibedakan menjadi dua cara untuk degradasi PAH ada dan tidak adanya
oksigen [74]. Biasanya, degradasi PAH oleh bakteri melibatkan mono dan dioksigenase
karena langkah pertama adalah hidroksilasi cincin aromatik melalui dioksigenase yang terdiri
dari kompleks enzim yang disusun oleh subunit reduktase, ferredoxin dan terminal
oksigenase. Selain itu, beberapa bakteri mendegradasi PAH melalui sitokrom P450 [24].
PAH dapat sepenuhnya dimetabolisme menjadi karbon dioksida dan air karena
adanya oksigen [61,75]. Biodegradasi anaerobik PAH adalah proses yang lambat, dan
beberapa studi pendahulu telah melaporkan jalur degradasi, gen katabolik dan enzim dari
degradasi ini. Di antara hasil penelitian degradasi PAHs, pada umumnya dalam kondisi
anoxic, kita dapat menyebutkan naftalena, antrasena, fenantrena, fluorene, acenaphthene dan
fluoranthene [74].
asam lemak dan asetil koenzim A. Senyawa antara asetil Ko-A akan masuk ke dalam siklus
Krebs, rantai karbon akan berkurang dari Cn menjadi Cn-2 yang terus berlanjut sampai
molekul hidrokarbon teroksidasi (Udiharto 1996). Hasil biodegradasi minyak bumi adalah
pemotongan hidrokarbon menjadi rantai yang lebih pendek dan gas-gas. Gas-gas tersebut
adalah CO2, CO, CH4, C2H6, C3H8, C4H10, H2S, N2, dan H2. Gas CH4 dan CO2 sering
dijadikan indikator terjadinya biodegradasi (Nugroho, 2006). Reaksi degradasi hidrokarbon
alifatik oleh mikroorganisme dapat dilihat pada Gambar 2.1.
meningkatkan efisiensi degradasi dalam waktu 30 hari perawatan ketika >90% n-alkana
(C15-C30) dan >60% (alkil) nafta terdegradasi.
biodegradasi sebagian besar dilakukan oleh pendegradasi asli, sedangkan bioaugmentasi tidak
meningkatkan proses remediasi.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Adapun kesimpulan yang dihasilkan dari makalah ini yaitu:
1. Bioremediasi merupakan suatu upaya pemulihan kondisi lingkungan dengan
menggunakan aktivitas biologis mikroba untuk mendegradasi dan menurunkan
toksisitas dari berbagai senyawa pencemar.
2. Bioremediasi telah berkembang pada pengolahan air limbah yang mengandung
senyawa-senyawa kimia yang sulit untuk didegradasi dan biasanya dihubungkan
dengan kegiatan industri, antara lain logam-logam berat, petroleum hidrokarbon, dan
senyawa-senyawa organik terhalogenasi seperti pestisida dan herbisida, maupun
nutrisi dalam air seperti nitrogen dan fosfat pada perairan tergenang.
3. Mikroorganisme memiliki peranan penting dalam mendegradasi senyawa hidrokarbon
secara sempurna. Kemampuan bakteri dalam mendegradasi minyak melibatkan kerja
dari enzim alkana hidroksilase yang dikode oleh gen alkB. Genus Alcanivorax adalah
kelompok bakteri yang terkenal sebagai pendegradasi minyak.
3.2. Saran
Berdasarkan informasi yang didapat dan disajikan dalam makalah ini, maka beberapa
saran disampaikan sebagai berikut:
1. Perlu pengawasan dan pemeliharaan ketat terhadap kelestarian kondisi laut, terkhusus
didaerah lintasan aktivitas industry petroleum
2. Perlu pengembangan dan penerapan secara merata bioremediasi air laut untuk
meminimalkan kerusakan akibat limbah petroleum.
13
DAFTAR PUSTAKA
Buthelezi, S. P., Olaniran, A. O. and Pillay, B., 2009, Turbidity and microbial load removal
from river water using bioflocculants from indigenous bacteria isolated from wastewater
in South Africa, African Journal of Biotechnology Vol. 8 (14), pp. 3261-3266.
William, B. H. 1995. Organic Chemistry. Saunders College Publishing, USA.
Jasji, E. 1996. Pengolahan Minyak Bumi. Lemigas, Jakarta.
Munawar, M., Mukhtasor, M. and Surtiningsih, T., 2007. Bioremediasi Tumpahan Minyak
Mentah dengan Metode Biostimulasi Nutrien Organik di lingkungan pantai Surabaya
Timur. Berkala Penelitian Hayati, 13(1), pp.91-96.
Hardjono, A. 2001. Teknologi Minyak Bumi Edisi I. Gadjah Mada University Press,
Yogyakarta.
Keith, L. H., dan Telliard, W. A. 1979. Priority Pollutans I-a Prespective View. Enviro. Sci.
Technol. 13 : 416-23
Philp, R. B. 1995. Environmental Hazards and Human Health. Lewis Publishers, New York.
Mukhlishoh, I. 2012. Pengolahan Limbah B3 Bengkel Resmi Kendraan Bermotor Roda Dua
di Surabaya Pusat. ITP paper. Institus Sepulun Nopember, Surabaya.
Speight, J. G. 1980. The Chemistry and Technology of Petroleum. Marcel Dekker Inc., New
York.
Udiharto, M. 2000. Hubungan Antar Tingkat Toksisitas dan Hidrokarbon Aromatik yang
Terkandung dalam Lumpur Pengeboran dan Bahan Dasarnya. Lembar Publikasi
Lemigas, Jakarta.
Bossert, I. dan Bartha, R. 1984. The Fate of Petroleum Soil Ecosystems Petroleum
Microbiology. New York: Macmillan.
Susanto, V. 1973.Water Pollution. Correspondence – Course - Central, Jakarta.
Sumalidang, K. 1995. Lingkungan Pembangungan. Mutiara, Jakarta.
Ghazali, M. F., Zaliha, N. R., Abdul, R. N., Salleh, A. B., dan Basri, M. 2004.
Biodegradation of Hydrocarbons in Soil by Microbial Consortium. International
Biodeterioration and Biodegradation.
Mahjoubi, M., Cappello, S., Souissi, Y., Jaouani, A. and Cherif, A., 2018. Microbial bioremediation of
petroleum hydrocarbon–contaminated marine environments. Recent insights in petroleum science
and engineering, 325, pp.325-350.
14
15
5