Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

PEMBAGIAN HADIS-WPS Office

Unduh sebagai pdf atau txt
Unduh sebagai pdf atau txt
Anda di halaman 1dari 10

PEMBAGIAN HADIST DARI SEGI KUALITAS

Disusun Oleh :

ANGGOTA KELOMPOK : QIVANNUR

MIZAMMIL

SEMESTER : SATU (1)

DOSEN PEMBIMBING : MUHAMMAD FAZIL, S.HI, M.E

SEKOLAH TINGGI ILMU SYARIAH

PERGURUAN TINGGI ISLAM SIGLI

TAHUN AJARAN 2022


KATA PENGANTAR

Puji syukur saya ucapkan atas kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan
segala rahmat dan hidayah-nya sehingga saya dapat menyelasaikan tugas yang
berjudul " Ilmu pembagian hadist secara kualitas" pada mata kuliah Ulumul Hadist.
Kehidupan yang layak dan sejahtera merupakan hal yang sangat wajar dan diinginkan
oleh setiap masyarakat, kita selalu berusaha mencari dan tidak jarang menggunakan
cara–cara yang tidak semestinya dan bisa berakibat buruk. Dengan mengucapkan puji
syukur kehadirat Allah SWT, serta tak lupa sholawat dan salam kita ucapkan kepada
Nabi besar Muhammad SAW atas petunjuk dan risalahnya, yang telah membawa
zaman kegelaapan ke zaman yang lebih terang.

Saya dapat menyadari bahwa masih banyak kekurangan dalam penyusunan


tugas ini, oleh karena itu saya sangat menghargai akan saran dan kritik untuk
meningkatkan kemampuan kami dalam membuat tugas lebih baik lagi. Demikian
yang dapat saya sampaikan, semoga melalui tugas ini dapat memberikan manfaat bagi
kita semua. Amin, ya robbal alamin.

Sigli, Oktober 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................... i

DAFTAR ISI ............................................................................................................. ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang ....................................................................................................... 1

B. Rumusan Masalah .................................................................................................. 1

C. Tujuan Penulisan .................................................................................................... 1

BAB II PEMBAHASAN

A. Hadist Sahih……………………………………………………………………….2

B. Hadist Hasan ………………………………………………………………………3

C. Hadist Dhaif ………………………………………………………………………4

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan..............................................................................................................6

B. Saran........................................................................................................................6

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Seiring perkembangan ilmu pengetahuan banyak bermunculan penelitian


tentang kajian keilmuan Islam, terutama dalam ilmu hadits banyak sekali bahasan
dalam ilmu hadits yang sangat menarik dan sangat penting untuk dibahas dan
dipelajari, terutama masalah ilmu hadits.

Sebagian orang bingung melihat jumlah pembagian hadits yang banyak dan
beragam. Tetapi kemudian kebingungan itu menjadi hilang setelah melihat pembagian
hadits yang ternyata dilihat dari berbagai tinjauan dan berbagai segi pandangan,
bukan hanya segi pandangan saja. Misalnya hadits ditinjau dari segi kuantitas jumlah
perawinya, hadits ditinjau dari segi kualitas sanad dan matan.

Untuk mengungkapkan tinjauan pembagian hadits, maka pada bahasan ini,


kami kelompok ketiga, menyusun makalah ini dengan judul “Hadits Ditinjau dari
Segi Kualitas dan Kuantitas” sebagai upaya ikut serta dalam menyikapi permasalan
yang telah dipaparkan dalam lingkup dunia akademik. Tujuan akhirnya adalah dapat
memberikan manfaat kepada diri sendiri khususnya dan orang lain pada umumnya.

B. Rumusan Masalah

1. Apa Itu Hadist Sahih?


2. Apa Itu Hadist Hasan?
3. Apa Itu Hadist Dhaif?

C. Tujuan Penulisan

1. Untuk Mengetahui Hadist Sahih


2. Untuk Mengetahui Hadist Hasan
3. Untuk Mengetahui Hadist Dhaif

1
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Hadist Shahih

Yang dimaksud dengan hadist shahih menurut muhhaditsin, ialah :

‫طب لَض ُّ ا َم ٌ َْدَ َُهَلَقَ َام‬ ْ ِ ََ ‫ ٍُّ اَم َا ََ َالَلْ ُت ُ ََر‬.


‫دنَ لد َال ْ ل‬
ْ ِ ‫ص َت‬

“Hadist yang dinukil (diriwayatkan) oleh rawi yang adil, sempurna ingatan, sanadnya
bersambung-sambung, tidak ber’illat dan tidak janggal.

Shahih menurut bahasa (etimologi) berarti “sehat” kebalikan “sakit” . Bila


diungkapkan terhadap badan, maka memiliki makna yang sebenarnya (haqiqi) tetapi
bila diungkapkan di dalam hadits dan pengertian-pengertian lainnya, maka maknanya
hanya bersifat kiasan (majaz).1

Secara istilah (terminologi), maknanya adalah: hadits yang muttasil


( bersambung ) sanadnya, diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan
tidak pula terdapat billat yang merusak. Hadits yang bersambung sanad (jalur
transmisi) nya melalui periwayatan seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari
periwayat semisalnya hingga ke akhirnya (akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya
syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa ‘illat (penyakit)

Definisi hadits shahih secara konkrit baru muncul setelah Imam Syafi’i
memberikan penjelasan tentang riwayat yang dapat dijadikan hujah, yaitu:

Pertama, apabila diriwayatkan oleh para perawi yang dapat dipercaya


pengamalan agamanya, dikenal sebagai orang yang jujur memahami hadits yang
diriwayatkan dengan baik, mengetahui perubahan arti hadits bila terjadi perubahan
lafazhnya; mampu meriwayatkan hadits secara lafazh, terpelihara hafalannya bila
meriwayatkan hadits secara lafazh, bunyi hadits yang Dia riwayatkan sama dengan
hadits yang diriwayatkan orang lain dan terlepas dari tadlis (penyembuyian cacat).

1
Moh. Noor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadits. Jakarta : Guang Persada Press, 2008), hal, 33.

2
Kedua, rangkaian riwayatnya bersambung sampai kepada Nabi shalallahu
`alaihi wa sallam. atau dapat juga tidak sampai kepada Nabi shalallahu `alaihi wa
sallam. Imam Bukhori dan Imam Muslim membuat kriteria hadits shahih sebagai
berikut:

1. Rangkaian perawi dalam sanad itu harus bersambung mulai dari perawi
pertama sampai perawi terakhir.
2. Para perowinya harus terdiri dari orang-orang yang dikenal tsiqat, dalam arti
adil dan dhobith,
3. Haditsnya terhindar dari ‘ilat (cacat) dan syadz (janggal), dan
4. Para perowi yang terdekat dalam sanad harus sejaman.

Menurut ta’rif muhadditsin tersebut, bahwa suatu hadist dapat dinilai shahih,
apabila telah memenuhi lima syarat :

1.Rawinya bersifat adil

2.Sempurna ingatan

3.Sanadnya tidak putus

4.Hadist itu tidak ber’illat

5.Tidak Janggal

B. Hadits Hasan

Ditinjau dari segi bahasa hasan dari kata al-husnu (‫ ) ِ ح دن‬bermakna al-
jamal (ٌ‫ )ِ جمم‬yang berarti “keindahan”. Menurut istilah para ulama memberikan
defenisi hadits hasan secara beragam. Namun, yang lebih kuat sebagaimana yang
dikemukan oleh Ibnu hajar Al-Asqolani dalam An-Nukbah, yaitu :2

ُ‫ط ََ ْل ُح ْسن‬
ُ ‫ض ْب‬
َ ‫َ َّ ال‬ ِ ََ ‫ص ِحيْحِ ِلذَاتِ ِِه‬
َّ ‫اِ ْْ خ‬ ٍ ‫سنَ ِد َغي ُْر ُم َعلَّ ٍل َوالَ ش‬
َّ ‫َاذ ه َُو ال‬ َّ ‫ص ُل ال‬ َّ ‫َو َخ َب ُر اْآل َحادَ ِبنَ ْق ِل َعدْ ِل ت َا ُّم ال‬
ِ َّ ‫ضب ِْط ُمت‬
‫ِلذَاتِِه‬

2
Abdul Majid Khon, Ulumul Hadits, ( Jakarta: Amzah, 2010), hal, 23.

3
“ Khabar ahad yang di riwayatkan oleh orang yang adil, sempurna kedhabitannya,
bersambung sanadnya, tidak berilat, dan tidak ada syaz dinamakan sahih lidzathi, jika
kurang sedikit sanadnya disebut hasan lidzathi”.

‫شذُ ْو ِذ َواْل ِع َّل ِِه‬ ُ ‫ض ْب‬


ُّ ‫طِهُ َو َخالَّ ِمنَ ال‬ َ ‫سنَدُهُ ِب َن ْق ِل اْل َعدْ ِل الذِي قَ َّل‬ َ َّ ‫ه َُو َما ات‬
َ ‫ص َل‬

“ hadist hasanah adalah hadis yang bersambung sanadnya, diriwayatkan oleh orang
adil, kurang sedikit kedhabitannya, tidak ada keganjilan (syaz)dan tidak ilat”.

Ciri-ciri hadits hasan hampir sama dengan hadits shahih. Perbedaannya hanya
terletak pada sisi kedhabitannya. Hadits shahih ke dhabitannya seluruh perawinya
harus zamm (sempurna), sedangkan dalam hadits hasan, kurang sedikit kedhabitannya
jika disbanding dengan hadits shahih.

Contoh hadits Hasan

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ibnu Hibban
dari Al-Hasan bin Urfah Al-Maharibi dari Muhammad bin Amr dari Abu salamah
dari Abi Hurairah, bahwa Nabi SAW bersabda :

َ‫س ْب ِعيْنَ َوأَقَلُّ ُه ْم َم ْن يَ ُج ْو ُز ذَالِك‬ ُ ‫أ َ ْع َم‬


َ ‫ار ا ُ َّمتِي َما بَيْنَ السِتِيْنَ ا‬
َّ ‫ِلي ال‬

“ Usia umatku antara 60-70 tahun dan sedikit sekali yang melebihi demikian itu”.

C. Hadits Dha’if

Hadits Dhaif bagian dari hadits mardud. Dari segi bahasa dhaif (‫)ِ ط ل ُف‬
berarti lemah lawan dari Al-Qawi (‫ )ِ هوي‬yang berarti kuat. Kelemahan hadits dhaif
ini karena sanad dan matannya tidak memenuhi criteria hadits kuat yang diterima
sebagian hujjah. Dalam istilah hadits dhaif adalah :3

‫ش ُر ْو ِط ِِه‬ َ ‫صفَِهُ ْال َح‬


ُ ‫س ِن ِبفَ ْق ِد ش َْرطٍ ِم ْن‬ ِ ‫ه َُو َما لَ ْم يَجْ َم ْع‬

“Adalah hadist yang tidak menghimpun sifat hadits hasan sebab satu dari beberapa
syarat yang tidak terpenuhi”.

3
Sohari, Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal, 30.

4
Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik
dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada
sanad atau matan.

contoh hadits dhaif

Hadits yang diriwayatkan oleh At-Tarmidzi melalui jalan hakim Al-Atsram


dari Abu Tamimah Al-Hujaimi dari Abu Hurairah dari Nabi SAW bersabda :

‫ضا أ َ ِوا ْم َرأ َ ٍه ِم ْن دُب ُِر أ َ ْو كَا ِهنَا ََقَدْ َكفَ َر ِب َما ا ُ ْن ِز َل َعلَي ُم َح َّم ٍد‬
َ ِ‫َو َم ْن أَت َي َحائ‬

“Barang siapa yang mendatangkan seorang wanita menstruasi (haid) atau dari pada
jalan belakang (dubur) atau pada seorang dukun, maka dia telah mengingkari apa
yang diturunkan kepada nabi muhammmad SAW”.

Dalam sanad hadits diatas terdapat seorang dhaif yaitu Hakim Al-Atsram yang
dinilai dhaif oleh para ulama. Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam Thariq At- Tahzib
memberikan komentar : ‫ َ لُن ِل َُ لق‬padanya lemah.

Hukum periwayatan hadits dhaif

Hadits dhaif tidak identik dengan hadits mawdhu’ (hadits palsu). Diantara
hadits dhaif terdapat kecacatan para perawinya yang tidak terlalu parah, seperti daya
hapalan yang kurang kuat tetapi adil dan jujur. Sedangkan hadits mawdhu’ perawinya
pendusta. Maka para ulama memperbolehkan meriwayatkan hadits dhaif sekalipun
tanpa menjelaskan kedhaifannya dengan dua syarat, yaitu :

1. Tidak berkaitan dengan akidah seperti sifat-sifat Allah


2. Tidak menjelaskan hokum syara’ yang berkaitan dengan halal dan haram,
tetapi, berkaitan dengan masalah maui’zhah, targhib wa tarhib (hadits-hadits
tentang ancaman dan janji), kisah-kisah, dan lain-lain. 4

4
Sohari, Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010), hal, 31.

5
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Hadist Sahih adalah hadits yang muttasil ( bersambung ) sanadnya,


diriwayatkan oleh yang adil dan dabith, tidak syadz dan tidak pula terdapat billat yang
merusak. Hadits yang bersambung sanad (jalur transmisi) nya melalui periwayatan
seorang periwayat yang ‘adil, Dlâbith, dari periwayat semisalnya hingga ke akhirnya
(akhir jalur transmisi), dengan tanpa adanya syudzûdz (kejanggalan) dan juga tanpa
‘illat (penyakit)

Jika hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau semua
persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik
dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada
sanad atau matan. Dan hadits dhaif adalah hadits yang tidak memenuhi sebagain atau
semua persyaratan hadits hasan dan shahih, misalnya sanadnya tidak bersambung
(muttasshil), Para perawinya tidak adil dan tidak dhabith, terjadi keganjilan baik
dalam sanad aau matan (syadz) dan terjadinya cacat yang tersembunyi (‘Illat) pada
sanad atau matan.

B. Saran

Kami mohon maaf atas segala kekhilafan dan kekurangan dalam penyusunan ini
dan senantiasa mengharapkan kritik dan saran yang membangun agar makalah ini
lebih baik kualitasnya di masa mendatang. Mudah-mudahan makalah ini bermanfaat
bagi kita semua.

6
DAFTAR PUSTAKA

Moh. Noor Sulaiman PL. 2008. Antologi Ilmu Hadits. Jakarta : Guang Persada Press

Abdul Majid Khon. 2010. Ulumul Hadits. Jakarta: Amzah.

Fatchurrohman. 2011. Iktisar Musthalahul Hadits.Bandung:PT.Ma’arif

Nasir, Ridwan. 2007. Ulumul Hadits dan Musthalahul Hadits. Jombang: Darul-
Hikmah

Sohari, Sahrani. 2010. Ulumul Hadits. Bogor: Ghalia Indonesia

Anda mungkin juga menyukai