Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Hubungan Antara Hukum Islam Dengan Ijtihad

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 8

HUBUNGAN ANTARA HUKUM ISLAM DENGAN

IJTIHAD
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pemikiran hukum Islam yang merupakan produk pemikiran ulama-ulama terdahulu
bukanlah merupakan hal yang  tidak perlu diperbaharui. Sebaliknya, hasil pemikiran yang
tidak sesuai dengan zaman kekinian perlu ditinjau ulang dan ini menunjukkan bahwa daya
lentur dan dinamika pemikiran tersebut kurang mampu mempertahan-kan diri dalam
perkembangan zaman.
Oleh sebab itu tidaklah mengherankan jika pergumulan hukum Islam dengan dinamika
masyarakat selalu menimbulkan pertanyaan ulang terhadap produk-produk pemikiran ulama
terdahulu, terutama jika dikaitkan dengan masalah dewasa ini yang semakin kompleks dan
luas. Salah satu masalah yang mendasar adalah apakah hukum Islam mampu mengantisipasi
perkembangan dinamika masyarakat atau tidak?
Dalam konteks ini tentunya dibutuhkan terobosan baru dalam perumusan hukum Islam.
Salah satu terobosan tersebut adalah mengin-tegrasikan pemikiran hukum Islam dan
dinamika masyarakat yang terus berkembang. Permasalahan tersebut akan dibahas dalam
makalah ini dengan terfokus pada masalah “bagaimana pemikiran hukum Islam dan ijtihad di
dalam  dinamika pemikiran hukum islam tersebut?.

B. Pembatasan Masalah
Untuk memperjelas ruang lingkup pembahasan, maka masalah yang dibahas pada masalah :
1. Pengertian Ijtihad
2. Pengertian Hukum Islam
3. Ijtihad dan Dinamika Pemikiran Hukum Islam

C. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan pembatasan tersebut, masalah-masalah yang dibahas dapat
dirumuskan sebagai berikut :
1. Apa definisi atau pengertian Ijtihad?
2. Apa yang dimaksud dengan hukum islam ?
3. Bagaimana penjelasam menngenai Ijtihad dan dinamika pemikiran hukum islam?

D. Tujuan
1. Mengetahui dan memahami definisi Ijtihad
2. Mengerti maksud dari hukum Islam
3. Mengerti dan Memahami bagaimana kaitan  Ijtihad dan dinamika Perkembangan hukum
Islam

BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian Ijtihad
Ijtihad adalah sendi Islam yang ke tiga, Sesudah Al-Quran dan Sunnah. Menurut
harfiah Ijtihad berasal dari kata Ijtihada, Artinya mencurahkan tenaga, memeras pikiran,
berusaha bersungguh-sungguh, bekerja semaksimal mungkin.
Adapun definisi ijtihad secara umum adalah aktifitas untuk memperoleh
pengetahuan  hukum syara’ dari dalil terperinci dalam syari’at. Dengan kata lain ijtihad
adalah pengerahan  segala kesanggupan seorang faqih ( Pakar Fiqih Islam) untuk
memperoleh pengetahuan tentang hukum melalui dalil syara’ ( agama ).
Orang yang melakukan Ijtihad  disebut Mujtahid  dan Ijtihad merupakan salah
satu dasar daripada hukum Islam sesudah Al-Quran dan Sunnah. Al-quran dan Sunnah
sebagai dua sumber ajaran Islam maka ijtihad berfungsi sebagai alat penggeraknya, tanpa
daya ijtihad kedua sumber itu menjadi lumpuh.Sebab itu ijtihad menjadi sumber
tambahan dalam Islam. Maka dari itu ijtihad menjadi bukti bagi manusia bahwa Islam
selalu memberikan pintu terbuka intelek manusia yang selalu mencari-cari bukan saja
diperkenankan bahkan ijtihad itu diperintahkan.
Sabda Rasul:
‫إ َذ حكم احلاكم فا جتهد مث أصا ب فله أجرانن وإذا حكم فا جتهد مث أخطا فله اجر‬
”  Apabila seorang hakim menetapkan hukum dengan berijtihad, kemudian ia benar,
maka ia mendapatkan dua pahala, tetapi Al-Quran apabila ia menetapkan hukum dalam
berijtihad itu dan dia salah, maka ia mendapatkan satu pahala.” (HR. Bukhari, Muslim,
Ibnu Majah, dan Ahmad dari Amr Ibnu Ash ).

B. Pengertian Hukum Islam


Syariat menurut bahasa berarti jalan. Syariat menurut istilah berarti hukum-
hukum yang diadakan oleh Allah untuk umat-Nya yang dibawa oleh seorang Nabi, baik
hukum yang berhubungan dengan kepercayaan (Aqidah) maupun hukum-hukum yang
berhubungan dengan Amaliyah.

C. Ijtihad dan Dinamika Pemikiran hukum Islam


Ijtihad akan selalu berkembang. Perkembangan itu berkaitan dengan perbuatan
manusia yang selalu berubah-rubah. Ijtihad perlu  dilakukan oleh orang yang memenuhi
syarat dari masa ke masa, karena Islam dan umat Islam berkembang dari zaman ke zaman
sesuai dengan perkembangan masyarakat. Dalam masyarakat itu senantiasa muncul
masalah-masalah yang perlu dipecahkan.Dengan ijtihad hukum Islam dapat
dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan umat Islam di setiap zaman.
Contohnya saja dalam kehidupan kita sekarang ini, banyak sekali permasalahan
yang kita hadapi yang memang memerlukan ijtihad itu sendiri. Salah satunya adalah ,
masalah jual beli dengan akan atau tidak dengan akad. Dari perkembanan model transaksi
jual beli di Indonesia, akan dijumpai beberapa formulasi. Dalam masyarakat tradisional
model akad jual dilakukan dengan dimulai tawar-menawar, kemudian terjadi kesepakatan
kedua pihak, maka tukar-menukar  barang atau jual beli tanpa memperhatikan lafaz akad.
Berbeda dengan masyarakat tradisional, adalah masyarakat modern yang jual
belinya dilakukan di Supermarket, Mal, dan Swalayan, yang disana tidak terdapat tawar
menawar, melainkan harga sudah tertera di barangnya, dan tanpa akad. Dari model
transaksi jual beli tersebut bagaimana dalam perspektif hukum Islam, maka Al-Dihlawi
menjelaskan bahwa prinsip dalam jual beli adalah adanya perasaan suka sama suka antara
penjual dan pembeli dan jual beli tidak dilakukan dengan akad yang batil.
Prinsip ini diambil dari QS. Al-Nisa : 29
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang Berlaku
dengan suka sama-suka di antara kamu. dan janganlah kamu membunuh dirimu,
Sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
Dalam menyikapi ayat tersebut, Al-Dihlawi mengatakan Allah mengharamkan
sebagian kita memakan harta sebagian yang lain dengan cara yang batil. Batil disini
mengandung makna memakan barang dengan tanpa ada transaksi atau akad atau dengan
akad yang haram seperti riba. Menurut  Dr. Asnawi Mahfudz. M.Ag, metode al-dihlawi
dapat dikembangkan dalam berbagai bentuk transaksi. Seiring dengan kemajuan ilmu
pengetahuan dan teknologi telah mempercepat arus transportasi, komunikasi dan
informasi, sehingga membawa dampak dalam dunia bisnis. Jual beli jarak jauh sudah
menjadi kebiasaan yang berlaku di dunia bisnis.
Dalam hal ini penjual dan pembeli tidak memperhatikan lagi masalah  ijab dan
qabul secara lisan, tetapi cukup dengan perantara kertas-kertas berharga, seperti cek, dan
sebagainya.
Jika jawaban Al-dihlawi dikembangkan akan diperoleh jawaban bahwa jual beli
yang demikian adalah sah dan tidak melanggar etika bisnis dalam ajaran Islam, karena
melalui penukaran kertas-kertas berharga dari pihak pembeli dan barang dari pihak
penjual telah terungkap rasa suka sama suka antar penjual dan pembeli. Cara demikian
sudah dipandang memenuhi kriteria  akad jual beli.

Syarat-syarat ijtihad atau syarat- syarat yang harus dimiliki Mujtahid sebagai berikut:
1. Menguasai dan mengetahui arti ayat-ayat hukum yang terdapat dalam Al-Quran, baik
menurut bahasa maupun Syariah.
2. Menguasai dan mengetahui hadis-hadis tentang hukum, baik menurut bahasa maupun
syariah.
3. Mengetahui nasakh dan mansukh dari Al-Quran dan As-Sunah, supaya tidak salah
dalam menetapkan hukum.
4. Mengetahui permasalahan yang sudah ditetapkan melalui ‘ijma ulama, sehingga
ijtihad-nya idak bertentangan dengan Ijma.
5. Mengetahui bahasa Arab dan berbagai disiplin ilmu yang berkaitan dengan bahasa,
serta berbagai problematikanya.
6. Mengetahui Ilmu Ushul Fiqih yang merupakan fondasi dari ijtihad.

D. Objek atau Wilayah Ijtihad


Objek ijtihad dalam pandangan ulama salaf terbatas dengan masalah-
masalah fiqhiyah namun pada akhirnya objek tersebut mengembang pada aspek
keislaman yang mencakup akidah, filsafat, tasawuf dan fikih. Karena itu, Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah dalam “ I’lam al- Muwaqi’in ” menerangkan bahwa haram hukumnya
memberikan fatwa yang menyalahi nash, bahwa ijtihad menjadi gugur  jika ditemukan
nash. Dalam kaitan wilayah ijtihad ustadz Muhamman al-Madani dalam bukunya
“Mawathin al- Ijtihad fi al-syariah al- Islamiyyah” menyatakan dalam masalah hukum
terbagi dua yaitu: 

1. Masalah Qath’iyah
Masalah-masalah yang sudah ditetapkan hukumnya dengan dail-dalil yang pasti, baik
melalui dalil aqli. Hukum Qat’iyah sudah pasti berlaku sepanjang masa sehingga
tidak mungkin adanya perubahan.
Masalah Qat’iyah diantaranya yaitu: Masalah Akidah, dan masalah ‘Amali,
2. Masalah Zhanniyah
Masalah-masalah yang hukumnya belum jelas dalil Nash nya.

E. Hukum Melakukan Ijtihad


Adapun Hukum Melakukan ijtihad itu sendiri, sebagai berikut:
Para ulama membagi hukum melakukan ijtihad dengan tiga bagian, yaitu:
1. Wajib ‘ain, yaitu bagi mereka yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa
yang terjadi, dan ia dikhawatirkan peristiwa itu lenyap tanpa ada kepastian
hukumnya, atau dia sendiri mengalami suatu peristiwa dan ia ingin mengetahui
hukumnya.
2. Wajib kifayah, yaitu bagi orang yang dimintai fatwa hukum mengenai suatu peristiwa
yang tidak dikhawatirkan lenyap peristiwa itu, sedaang selain dia masih terdapat
mujtahid-mujtahid lainnya.
3. Sunnah, yaitu apabila melakukan ijtihad mengenai masalah-masalah yang belum atau
tidak terjadi.
Ketiga hukum di atas sebenarnya telah menggambarkan urgensi ijtihad, karena
dengan ijtihad dapat mendinamisir hukum Islam dan mengoreksi kekeliruan dan
kekhilafan dari ijtihad yang lalu.
Abu Bakar al-Baqillani menyatakan bahwa bahwa setiap ijtihad harus diorientasikan
kepada tajdi ( Pembaharuan), karena setiap periode memiliki ciri sendiri sehingga
menentukan perubahan hukum.
Namun demikian, tidak semua hasil ijtihad merupakan pembaharuan bagi ijtihad yang
lama, Sebab adakalanya hasil ijtihad yang baru sama dengan ijtihad yang lama, sekalipun
berbeda hasil ijtihad yang baru tidak dapat merubah status ijtihad yang lama ( ijtihad itu
tidak dapat dibatalkan dengan ijtihad pula).

F. Fungsi Ijtihad
Dilihat lebih lanjut, fungsi ijtihad sendiri terbagi atas 3 macam, yaitu:
1. Fungsi al-ruju’ atau al-I’adah ( kembali ), yaitu mengembalikan ajaran Islam kepada
sumber pokok, yakni Al-Quran dan Sunnah.
2. Fungsi al-ihya’ ( kehidupan ), yaitu menghidupkan kembali bagian-bagian daari nilai
dan semangat ajaran islam agar mampu menjawab dan menghadapi tantangan zaman.
3. Fungsi al-inabah( pembenahan ), yakni membenahi ajaran-ajaran Islam yang telah
diijtihadi oleh ulama terdahulu dan dimungkinkan adanya kesalah menurut konteks
zaman, dan tempat yang kini kita hadapi.

G. Metode- metode berijtihad


Ada beberapa metode atau cara untuk melakukan ijtihad, baik ijtihad dilakukan
sendiri-sendiri maupum bersama-sama dengan orang lain. Diantaranya adalah sebagai
berikut:
1. Ijma
2. Qiyas
3. Isti’dal
4. Al-Maslahah Mursalah
5. Istihsan
6. Istishab
7. Urf’.
Jika ijtihad dengan metodenya di atas mampu dikembangkan oleh manusia muslim
yang memenuhi syarat secara baik dan benar, tidak ada masalah yang timbul dalam
masyarakat yang tidak dapat dipecahkan dan ditentukan hukumnya. Hukum pun meliputi
semua ciptaan-Nya itu. Hanya ada yang jelas sebagaimana yang ‘ tersurat’ dalam al-
quran, adapula yang ‘tersirat’ di balik hukum yang tersurat dalam Al-quran itu. Selain
yang tersurat dan tersirat itu, ada lagi hukum Allah yang ‘tersembunyi’ di balik  Al-
quran. Hukum yang tersirat dan tersembunyi inilah yang harus dicari, digali dan
ditemukan oleh manusia yang memenuhi syarat melaui penalarannya. Pada hukum
tersurat yang bersifat Zhanni dalam Al-Quran dan As-Sunnah itulah ijtihad manusia yang
memenuhi syarat berperan mengikuti perkembangan masyarakat manusia, memenuhi
hukum dan mengatasi masalah yang timbul sebagai akibat perkembangan zaman, ilmu,
dan teknologi yang diciptakannya.
Untuk menemukan hukum yang tersirat dan tersembunyi tersebut di atas diperlukan
wawasan yang jelas dan kemampuan untuk mencari dan menggali tujuan Allah
menciptakan hukum-hukum-Nya.Tujuan Allah menciptakan dan menetapkan hukumn-
Nya adalah untuk keselamatan atau kemaslahatan hidup manusia,baik kemaslahatan itu
berupa manfaat maupun untuk menghindari mudharat bagi kehidupan manusia.

H. Periode Ijtihad:
Ijtihad selalu dilakukan dari fase ke fase, yakni mulai dari fase nabi Muhammad saw, fase
sahabat, dan fase-fase berikutnya. Yang fase-fase tersebut penjelasannya terdapat dalam
tahap pertumbuhan dan perkembangan hukum islam sebagai berikut:

- Masa Nabi Muhammad ( 610 M – 632 M).

Pada masa ini nabi Muhammad berijtihad dengan memecahkan masalah yang
timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya, meletakkan dasar-dasar budaya yang
kemudian berkembang menjadi budaya Islam. Nabi Muhammad juga berfikir
memecahkan masalah yang sulit mengenai warisan, maka turunlah ayat mengenai
warisan, merubah kedudukan janda dan anak-anak perempuan dalam pembagian harta
peninggalan suami dan ayahnya yang awalnya mereka tidak mendapatkan harta dan
warisan. Selain dari itu nabi Muhammad memecahkan masalah yang timbul dalam
masyarakat melalui wahyu, beliau juga memutuskan suatu berdasarkan pendapat beliau
sendiri sesuai sunnahnya, yang sekarang telah dibukukan dalam kitab-kitab hadis.

- Masa Khulafaur Rasyidin ( 632 M – 662 M ).

1) Khalifah Abu Bakar


Pada masa ini, khalifah pertama ( Abu Bakar As-Siddiq ), memecahkan permasalah
hukum yang timbul dalam masyarakat. Mula-mula pemecahan masalah itu dicarinya
dalam Al Quran apabila tidak terdapat disana maka beliau mencarinya dalam
Sunnah nabi.pada masa ini juga telah diletakkan dasar-dasar pengembangan hukum
Islam.
2) Khalifah Umar bin Khattab
Setelah Abu Bakar meninggal Khalifah Umar menggantikan dan dalam ijtihadnya
beliau mengikuti cara Abu Bakar dalam menemukan hukum. Dengan demikian
khalifah Umar terkenal dengan keberanian dan kebijaksanaannya dalam menerapkan
ketentuan hukum yang terdapat dalam Al-quran untuk mengatasi suatu masalah yang
timbul dalam masyarakat berdasarkan kemaslahatan atau kepentingan umum. Dalam
keputusan beliau disebut ijtihad.
Di antara tindakan ijtihad yang dilakukan oleh khalifah Umar tersebut sebagai
berikut:
Talak tiga yang di ucapkan sekaligus disuatu tempat kepada si wanita. Yang
bertujuan untuk melindungi kaum wanita dari penyalahgunaaan hak talak yang berada
di tangan pria,agar berhati-hati menggunakan hak talak itu dan tidak mudah
mengucapkan talak tiga.
3) Khalifah Usman Bin Affan
Pada masa pemerintahan Usman bin Affan ini, beliau memperluas daerah Islam,
mengkodefikasikan Al-Quran,membentuk panitia untuk menyalin naskah Al-Quran.
4) Khalifah Ali bin Abu Thalib
Pada masa ini, khalifah Ali memecahkan pesoalan antara Sunni dan Syiah, mengenai
perbedaan pendapat masalah politik, masalah pemahaman akidah, dan pelaksanaan
ibadah.

- Masa Pengembangan dan Pembukuan

Periode Ijtihad dan kemajuan bersamaan masanya dengan periode kemajuan


Islam I, 700-1000 M. Periode ini disebut juga periode pengumpulan hadis, ijtihad atau
fatwa sahabat dan tabiin( generasi sesudai sahabat).sesuai dengan bertambah luasnya
daerah Islam, berbagai macam bangsa masuk Islam dengan membawa berbagai macam
adat istiadat, tradisi dan sistem kemsyarakatan. Problema hukum yang dihadapi beragam
pula. Untuk mengatasinya ulama-ulama banyak mengadakan ijtihad. Ijtihad mereka
berdasarkan Al-Quran, Sunnah nabi dan Sunnah sahabat. Dengan demikian timbullah ahli
hukum Mujtahid yang disebut imam atau faqih ( Fuqaha) Islam.
Pada masa inilah timbul empat mazhab dalam hukum Islam, yaitu:
1) Imam Abu hanifah
2) Imam Malik
3) Imam Syafii
4) Imam Ahmad Ibnu Hambal.

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihad adalah pengerahan  segala kesanggupan seorang  faqih untuk memperoleh
pengetahuan tentang hukum melalui dalil syara’. Al-quran dan Sunnah sebagai dua sumber
ajaran Islam maka ijtihad berfungsi sebagai alat penggeraknya, tanpa daya ijtihad kedua
sumber itu menjadi lumpuh.Sebab itu ijtihad menjadi sumber tambahan dalam Islam. Maka
dari itu ijtihad menjadi bukti bagi manusia bahwa Islam selalu memberikan pintu terbuka
intelek manusia. Kemudian dalam hukum Islam,  setiap ajaran hukum Islam sangat
diperlukan agar tidak termakan oleh waktu serta mampu menjawab tantangan zaman.Dengan
berpedoman kepada kemaslahatan manusia para mujtahid akan dapat selalu mengikuti dan
mengendalikan perkembangan masyarakat, menemukan hukum bagi satu masalah baru.

Anda mungkin juga menyukai