Hakim Mahkum Fih Mahkum Alaih Isi
Hakim Mahkum Fih Mahkum Alaih Isi
Hakim Mahkum Fih Mahkum Alaih Isi
PENDAHULUAN
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Hakim?
2. Apa pengertian Mahkum Fihi?
3. Apa pengertian Mahkum Alaih?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk mengetahui pengertian Hakim.
2. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Fihi.
3. Untuk mengetahui pengertian Mahkum Alaih.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hakim
Kata “hakim” yang berasal dari bahasa Arab telah menjadi bahasa
Indonesia, yang maknanya sama dengan salah satu dari makna etimologinya
dalam bahasa Arab, yaitu; orang yang memutuskan dan menetapkan hukum,
yang menetapkan segala sesuatu, dan yang mengetahui hakikat seluk beluk
segala sesuatu. Kata hakim juga digunakan untuk menunjuk pengertian
hakim di pengadilan. Untuk pengertian yang terakhir ini, dalam bahasa Arab,
kata hakim sepadan dengan kata qhadi. Dari segi etimologi fiqh, kata hakim
atau qhadi juga menunjuk pengertian hakim yang memutus perkara di
pengadilan. Adapun menurut terminologi ushul fiqh, kata hakim menunjuk
pihak yang menciptakan dan menetapkan hukum syariat secara hakiki.
Dalam hal ini, semua ulama sepakat, hanya Allah yang mencipta dan
menetapkan hukum syariat bagi seluruh hamba-nya (Al-Hakim Huwa Allah;
al-Hakim adalah Allah). Allah berfirman pada surah al-An’am : 57
3
dikenal dua istilah yaitu Al-mutsbit li al hukm (yang menetapkan hukum) dan
Al-muzhir li al hukm (yang membuat hukum menjadi nyata). Yang dimaksud
dengan Al-mutsbit li al-hukm ialah, yang berhak membuat dan menetapkan
hukum. Yang berhak membuat dan menetapkan hukum itu hanyalah Allah
SWT, Tidak siapapun yang berhak menetapkan hukum kecuali Allah. Akan
tetapi, perlu ditegaskan kembali, selain digunakan istilah al-hakim dan asy-
Syari (pembuat syariat). 1
Dalam istilah al-hakim dan asy-syari selain bermakna Allah SWT
pencipta dan pembuat hukum, harus pula ditambahkan Rasulullah SAW
bukankarena beliau memiliki wewenang otonom membuat hukum dan
syariat, tetapi karena beliau diberi tugas, antara lain , menjelaskan aturan-
aturan hukum syariat yang juga bersumber dari wahyu Allah SWT. Dalam
konteks inilah dikenal dua macam bentuk wahyu yang disampaikan kepada
Rasulullah SAW yaitu yang biasa disebut dengan istilah wahyu matluw
(wahyu yang dibacakan/Al-Qur’an) dan wahyu ghairu matluw (wahyu yang
tidak dibacakan/Al-Hadits/As-Sunnah). Dari definisi hukum dan penjelasan
satu persatu dari rangkaiannya, dapat diambil pengertian bahwa hakim adalah
اﻟﺤﺎﻛﻢ ھﻮ واﺿﺢ اﻻﺣﻜﺎم وﻣﺜﺒﺘﮭﺎ وﻣﻨﺸﺌﮭﺎ وﻣﺼﺪرھﺎ
Hakim adalah pembuat hukum, yang menetapkan hukum,yang memunculkan
hukum dan yang membuat sumber hukum.
اﻟﺤﺎﻛﻢ اﻟﺬى ﯾﺪرك اﻻﺣﻜﺎم وﯾﻈﮭﺮھﺎ وﯾﻌﺮﻓﮭﺎ وﯾﻜﺸﻔﮭﺎ
Hakim adalah yang menemukan hukum,yang menjelaskan hukum,yang
memperkenalkan hukum dan yang menyingkap hukum.
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa Jumhur-Fuqaha
berpendapat bahwa Al-Hakim adalah Allah SWT Dialah pembuat hukum dan
menjadi satu-satunya sumber hukum yang wajib ditaati dan diikuti oleh
semua mukallaf. Adapun yang menjadi dasar munculnya teori tersebut adalah
firman Allah SWT pada surah;
1. Al-An’am:57
1
Abd Rahman Dahlan, Ushul Fiqh (Jakarta: Amzah, 2010), hlm. 87-88.
4
2
Muhammad Ma’shum Zaini, Ilmu Ushul Fiqh (Jombang: Darul Hikmah Jombang, 2008),
hlm. 166-167
5
itu tidak ada hakim dan tidak ada syara’, sementara akal
pikiran manusia tidak memiliki kemampuan untuk
menemukannya,sebab akal hanya mampu menetapkan baik-
buruk melalui perantara Al-Qur’an dan rasul, sebab Allah
berfirman dalam Surat Al-Isra’;15
3
Rumah Ilmu: Hakim, Mahkum Bihi, Mahkum Fihi, Mahkum Alaihi diakses dari
http://dzurrotunaininfaizah.blogspot.com/2014/hakim-mahkum-bihimahkum-fihi-danmahkum.html,
pada tanggal 17 Oktober 2016 pukul 21:37
6
b. Hakim setelah Nabi Muhammad saw menjadi Rasul.
Dalam menanggapi masalah ini, para ahli ushul bersepakat
untuk menyatakan bahwa Hakim adalah syari’ah yang diturunkan
dari Allah melalui rasul-Nya, Muhammad saw. Oleh karena itu
segala sesuatu yang hukumnya telah dihalalkan oleh Allah adalah
halal dan segala sesuatu yang hukumnya telah diharamkan oleh
Allah adalah haram. Dengan demikian, at-tahsin adalah segala
sesuatu yang telah dihalalkan oleh Allah dan didalamnya terdapat
kemaslahatan bagi kelangsungan hidup manusia. Sedang at-taqbih
adalah segala sesuatu yang telah diharamkan oleh Allah dan
didlamnya terdapat kemadlaratan bagi kelangsungan hidup
manusia.
7
hukum syar'i, yang bersifat tuntutan mengerjakan, tuntutan meninggalkan suatu
pekerjaan, memilih suatu pekerjaan, dan yang bersifat syarat, sebab, halangan,
azimah, rukshah, sah, serta batal.
Misalnya firman Allah:
5
Chaerul Umam, dkk, Ushul Fiqih (Bandung: CV. Pusaka Setia, 2000), hlm. 329.
8
terwujud. Perbuatan yang dituntut ialah perbuatan yang mungkin (bisa
dilakukan). Perbuatan yang diperintahkan atau dilarang haruslah berupa
perbuatan yang dalam batas kemampuan manusia untuk melakukan atau
meninggalkannya.
4. Dapat diusahakan oleh hamba dan pekerjaan itu menurut ukuran biasa
sanggup dilakukan oleh orang yang menerima khitab itu.
5. Dapat dikerjakan dengan ketaatan, yakni bahwa pekerjaan itu dilakukan
untuk menunjukkan sikap taat. Kebanyakan ibadah masuk golongan ini,
kecuali dua perkara yaitu
a. Nazar yang menyampaikan kita kepada suatu kewajiban yang tidak
mungkin dikerjakan dengan maksud taat, karena tidak diketahui
wajibnya sebelum dikerjakan.
b. Pokok bagi iradah taat dan ikhlas. Bagi yang taat dan ikhlas terhadap
iradat mendapat pahala, karena karena kalau memang dikehendaki
niscaya terlaksana juga iradat itu.
Disamping syarat-syarat yang tersebut diatas, bercabanglah beberapa
masalah lain, yaitu
a. Sanggup mengerjakan. Tidak boleh diberatkan sesuatu yang tidak
sanggup dikerjakan oleh mukallaf atau mustahil dilakukan
olehnya.Menurut syara' tidak sah membebani hal yang mustahil (yang
tidak mungkin bisa dilakukan). Misalnya : mengumpulkan dua hal yang
berlawanan. Contoh : tidur dan bangun di waktu yang sama.
b. Pekerjaan (sesuatu) yang tidak akan terjadi karena telah dijelaskan oleh
Allah, bahwa pekerjaan itu tidak akan terjadi. Sebagian ulama
berpendapat, bahwa boleh dibebankan kepada hamba sesuatu yang
diketahui Allah tidak akan terjadi, seperti jauhnya Abu Lahab terhadap
rasa iman.
c. Pekerjaan yang sukar sekali dilaksanakan. Pekerjaan yang sukar itu ada
dua macam:
1) Kesukarannya itu luar biasa dalam arti sangat memberatkan bila
perbuatan itu dilaksanakan. Kesulitan yang keluar dari pada
9
kebiasaan manusia. Dan tidak mungkin mereka menanggunya.
Contoh : Bernadzar puasa seumur hidup. Rasulullah SAW bersabda
kepada seseoang yang nadzar hendak berpuasa sambil berdiri
menghadap matahari.
ﺲ ﺻ ْﻮ َﻣﻚَ َوﻻَ ﺗَﻘُ ْﻢ ﻓِﻰ اﻟ ﱠ
ِ ﺸ ْﻤ َ اَﺗِ ﱠﻢ
Artinya :
"Sempurnakanlah puasamu, dan jangan berdiri menghadap matahari."
2) Tingkatannya tidak sampai pada tingkat yang sangat memberatkan,
hanya terasa lebih berat dari pada yang biasa. Kesulitan yang sudah
menjadi kebiasaan manusia untuk menanggungnya dan kesulitan itu
masih ada batas-batas kemampuan mereka. Contoh : manusia
mencari rizki dengan bercocok tanam, berdagang.
d. Pekerjaan-pekerjaan yang diizinkan karena menjadi sebab timbulnya
kesukaran yang luar biasa6
Dalam setiap perbuatan yang dibebankan manusia pastilah ada kesulitan,
karena beban (taklif) itu ialah menetapkan suatu yang mengandung kesulitan.
Hanya saja kesulitan (masyaqat) itu ada 2 (dua) macam:
6
Totok Jumantoro dan Samsul Munir Amin, Kamus Ilmu Ushul Fikih (Jakarta: Amzah,
2009), hlm. 186-187.
10
telah dianggap mampu bertindak hukum, baik yang berhubungan dengan
perintah Allah maupun dengan larangan-Nya.7
Perbuatan seorang mukallaf bisa dianggap sebagai sebuah perbuatan
hukum yang sah apabila mukallaf tersebut memenuhi dua persyaratan, yaitu:
a. Mukallaf tersebut harus mampu memahami dalil taklif. Artinya, ia
mampu memahami nash-nash perundangan yang ada dalam al-Qur’an
maupun as-Sunnah dengan kemampuannya sendiri atau melalui
perantara. Hal ini penting, sebab seseorang yang tidak mampu
memahami dalil/petunjuk taklif, maka ia tidak mungkin melaksanakan
apa yang telah ditaklifkan kepadanya. Kemampuan untuk memahami
dalil taklif hanya bisa terealisasi dengan akal dan adanya nash-nash
taklif. Akal adalah perangkat untuk memahami dan merupakan
penggerak untuk bertindak. Sifat dasar akal ini abstrak, tidak bisa
ditemukan oleh indera zhahir, oleh karenanya syari’ mengimbangi
dengan memberikan beban hukum (taklif) dengan sesuatu yang riil,
yang bisa diketahui oleh indera luar yaitu taraf baligh. Pada saat
baligh inilah seorang dianggap mampu untuk memahami petunjuk-
petunjuk taklif. Praktis, orang gila dan anak kecil tidak tercakup
dalam kategori mukallaf.
Adapun orang-orang tidak mengerti bahasa Arab dan tidak dapat
memahami dalil-dalil tuntutan syara dari al-Quran dan as-
Sunnah,maka jalan keluarnya untuk menagtasinya ditempuh melalui
beberapa jalan, yaitu:
1) Menerjemahkan Al-Qur’an dan As Sunnah ke dalam beberapa
bahasa, atau ke dalam bahasa mereka.
2) Menyeru orang yang tidak mengetahui bahasa arab untuk
mempelajari bahasa arab agar dapat kita sampaikan Al-Qur’an dan
As Sunnah.
7
Alim El-choy: Hukum, Hakim, Mahkum Fih dan Mahkum Alayh, diakses dari
http://alimchoy.blogspot.com/2011/07/hukum-hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alayh.html, pada
tanggal 20 Oktober 2016 pukul 09:37
11
3) Wajib kita mengadakan segolongan dari umat kita untuk
mempelajari bahasa asing dengan sempurna, guna menyampaikan
Al-Qur’an dan As Sunnah kepada orang asing itu.8
b. Seorang itu diharuskan Ahlan lima kullifa bihi /cakap atas perbuatan
yang ditaklifkan kepadanya. Secara bahasa ahlan bermakna
Shalahiyah/ kecakapan. Sementara kecakapan itu sendiri akan bisa
terwujud dengan akal. Terkait dengan hal ini, Al-Amidi, sebagaimana
dikutip oleh az-Zuhaili mengatakan bahwa para cendikiawan Muslim
sepakat bahwa syarat untuk bisa disebut sebagai seorang mukallaf
adalah berakal dan paham terhadap apa yang ditaklifkan, sebab taklif
adalah khitab dan khitabnya orang yang tidak berakal adalah mustahil,
layaknya batu padat dan hewan. Ulama ushul membagi jenis
kecakapan ini menjadi dua bagian yaitu:
1) Ahliyah al-Wujub, yaitu kecakapan manusia untuk menerima hak
dan kewajiban. Pijakan utama dari konsep ahliyah al-Wujub ini
adalah adanya kehidupan, artinya selama orang itu bernafas maka
orang tersebut bisa disebut sebagai ahliyah al-Wujub. Ahliyah ini
terbagi menjadi dua, yaitu ahliyah al-Wujub Naqishah dan
Ahliyah al-Wujub Kamilah. Jenis ahliyah yang pertama adalah jika
seorang itu cakap untuk menerima hak saja bukan kewajiban,
seperti janin yang masih berada dalam kandungan ibunya. Ia
masih bisa menerima hak untuk mewarisi, tetapi ia tidak bisa
menerima kewajiban yang dibebankan kepadanya. Sedangkan
yang kedua adalah ketika seorang itu mampu menerima hak
sekaligus kewajibannya. Ini berlaku kepada setiap manusia.
2) Ahliyah al-Ada’, yaitu kecakapan seseorang untuk bertindak.
Artinya, tindakan orang tersebut baik berupa perbuatan maupun
ucapan, secara syariat telah dianggap “absah” (mu’tabaran
syar’an). Terkait dengan konsep ini, manusia terbagi menjadi tiga
jenis klasifikasi, yaitu: Pertama, Seseorang tidak mempunyai
8
Ibid
12
kecakapan bertindak sama sekali seperti orang gila dan anak
kecil. Kedua, seorang tersebut mempunyai kecakapan bertindak
namun belum sempurna, seperti anak mumayyiz yang belum
sampai pada taraf baligh dan orang idiot (ma’tuh). Ketiga,
Seseorang yang mempunyai kecakapan bertindak secara sempurna
seperti seorang yang telah berakal dan baligh.9
2. Korelasi antara hakim, mahkum fihi dan mahkum alaih
a. Korelasi antara hakim dengan mahkum fihi
Hubungan antara hakim dengan mahkum fihi ialah bahwa
hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum fih ialah objek
yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi apabila
tanpa adanya mahkum fih maka hakim tidak akan nyata, dan apabila
mahkum fih secara substansi perbuatan dan sandaran berkaitan
dengan hokum syar’i maka yang menghukumi ialah hakim.
b. Korelasi antara hakim dengan mahkum alaih
Hubungan antara hakim dengan mahkum alaih ialah bahwa
hakim ialah sang pembuat hukum sedangkan mahkum alaih ialah
subjek yang terkena suatu tuntutan hukum dari hakim tersebut. Jadi
apabila tanpa adanya hakim maka mahkum alaih tidak akan nyata,
dan apabila orang mahkum alaih melakukan suatu pelanggaran baik
berkaitan dengan Allah (hakim) langsung atau berkaitan dengan
sesama mahkum alaih maka yang menghukumi ialah hakim.10
9
Kumpulan Makalah: Hakim, Mahkum Fih, dan Mahkum Alaih, diakses dari http://makalah-
ugi.blogspot.com/2014/05/hakim-mahkum-fih-dan-mahkum-alaih.html, pada tanggal 17 Oktober
2016 pukul 21:29
10
Ibid
13
BAB III
KESIMPULAN
14
DAFTAR PUSTAKA
15