2 Analisa Permasalahan Kemiskinan Di Indonesia Dalam Perspektif Teori Modernisasi Dan Dependensi
2 Analisa Permasalahan Kemiskinan Di Indonesia Dalam Perspektif Teori Modernisasi Dan Dependensi
2 Analisa Permasalahan Kemiskinan Di Indonesia Dalam Perspektif Teori Modernisasi Dan Dependensi
1. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam
berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik,
tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun
sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak
yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah
melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk
kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih
semu termasuk di kota Yogjakarta.
Untuk program pembangunan khususnya dalam mengatasi kemiskinan
Pemerintah Yogjakarta sendiri sudah menggulirkan berbagai skema program
penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan dua bentuk
bantuan. ”Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satu
pengembangan. Yang penyelamatan itu untuk memperingan beban dia itu lho.
Jangka pendek, termasuk raskin, kemudian bantuan beasiswa sekolah,” ungkap
Djandjang, Litbang Bappeda Kota Yogyakarta .
Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk
pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik
yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan
modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula
pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan
pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari
lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut tentunya
didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah
pusat , serta definisi keluarga miskin yang di tetapkan pemerintah kota Yogjakarta
sendiri .
Beberapa program yang kini dijalankan di Yogjakarta antara lain: Program
Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang
(DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan
Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif
(P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja
Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat
Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana
Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga
Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang
Kaki Lima.
Namun kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah ini menjadi kontradiktif
karena di wilayah Kota Yogyakarta hingga bulan Februari 2006, menurut data
Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin)
ternyata masih banyak hingga menembus angka 31.367 Kepala keluarga dari
jumlah total 81.859 KK yang ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk
Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener,
dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari
seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya
umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini
merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota
Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota
Yogyakarta. Sementara itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota
Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika
merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin,
yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).
2. Permasalahan
Berdasarkan uraian latar belakang diatas yang penulis kutip dari artikel SOROT:
Banyak Program tapi Tetap Miskin, Majalah FLAMMA EDISI 25 copyright IRE
Yogjakarta. Ternyata terjadi paradok pembangunan dimana pemerintah Yogjakarta
di satu sisi sudah sekian banyak upaya program-program dalam mengatasi
kemiskinan, disisi lain justru kemiskinan makin bertambah. Asumsi penulis
dengan mengikuti komentar hasil wawancara Majalah Flamma dengan Edi
Suharto bahwa ada suatu yang salah dari paradigma/perspektif pemerintah dalam
melihat kemiskinan. Atas dasar itulah dalam Paper ini permasalahan yang akan
diangkat adalah menjawab pertanyaan pokok “Bagaimana Perspektif/ paradigma
pembangunan pemerintah dalam mengatasi persoalan kemiskinan?“. Dan untuk
memberikan penjelasan atas permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan
dengan menjawab rumusan masalah sebagai berikut :
• Bagaimana Perspektif Teori Pembangunan ( Teori Modernisasi dan Dependensi )
dalam melihat Kemiskinan?
• Apa akar permasalahan kemiskinan di Indonesia? Dan adakah kesalahan
perspektif pembangunan yang dipakai pemerintah dalam mengatasi kemiskinan?
3. Pembahasan
Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi masalah
mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan
saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan
majemuk yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial
sebagai manusia. Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi,
afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang.
Kemiskinan subsistensi pada rakyat miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta
(lampiran) merupakan contoh dimana rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya
kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta kebutuhan-kebutuhan dasar
lainnya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak
memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat miskin
kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan
alam; kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain
faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi
karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan
keputusan; kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap
budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada.
Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin dapat
teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya kesejahteraan, akses pada
sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar. Aspek ekonomi
bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti
politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam
melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat
pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih
demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam
masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek
sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi
yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan
kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain
terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di
Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk
yang lain. Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi.
Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan
banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat
Bila kita telusuri lebih teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih
memandang bahwa perspektif pembangunan pemerintah selama ini tentang
kemiskinan, sebagai realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana
batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta
benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.
Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin
atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai
atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan
sebelumnya, seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman.
Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk
kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan
pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program yang ada seperti :
program recovery, hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa
mencoba memahami kemiskinan yang menjadi penyebabnya. Kebijakan itu
cenderung semakin memiskinkan masyarakat, karena menimbulkan
ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas dari lingkaran
kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung mengarah
pada perspektif Modernisme
Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan
kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung
memunculkan kemiskinan yang baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal
ini didasarkan bahwa pemerintah selalu menggunakan prinsip trickle down effect
yang melihat bahwa proses pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi
kepada kelompok-kelompok di bawahnya. Seperti program dengan setiap
masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas
manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya,
namun ini menjadi kontradiktif pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi
di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat
bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal,
hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok akibatnya sulit
bisa bersaing melawan supermarket. Ada juga kebijakan program lebih
merupakan pendekatan ekonomi dengan dasar belas kasihan. Seperti BLT
ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan
kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau
kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri “.
Selain itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan
banyak menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau
hutang dari luar negeri. Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat
“penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu
bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-
program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang
didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani
kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak
tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak
hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang
lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat
tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk
bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana
pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh
Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan
replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program
penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru
akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga
dan ini justru yang menjadikan penyebab kemiskinan.
4. Kesimpulan