Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

2 Analisa Permasalahan Kemiskinan Di Indonesia Dalam Perspektif Teori Modernisasi Dan Dependensi

Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Unduh sebagai doc, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 11

ANALISA PERMASALAHAN KEMISKINAN DI INDONESIA DALAM

PERSPEKTIF TEORI MODERNISASI DAN DEPENDENSI

Wednesday, January 27, 2010 at 9:50pm

1. Latar Belakang
Pembangunan di Indonesia saat ini telah membawa banyak perubahan dalam
berbagai aspek di masyarakat, baik pada kawasan pedesaan maupun perkotaan.
Perubahan tersebut membawa dampak tidak hanya terhadap lingkungan fisik,
tapi juga sistem nilai dalam tatanan kehidupan sosial bermasyarakat. Namun
sayangnya perubahan yang diciptakan oleh pembangunan membawa dampak
yang menyertainya sangat mengerikan dan kompleks, karena ternyata telah
melahirkan keterbelakangan dan kemiskinan dalam masyarakat. Bentuk
kemiskinan yang terjadi di Indonesia saat ini adalah suatu bentuk yang masih
semu termasuk di kota Yogjakarta.
Untuk program pembangunan khususnya dalam mengatasi kemiskinan
Pemerintah Yogjakarta sendiri sudah menggulirkan berbagai skema program
penanggulangan kemiskinan yang secara umum memberikan dua bentuk
bantuan. ”Jadi bentuk bantuannya bisa dibagi dua. Satu penyelamatan, satu
pengembangan. Yang penyelamatan itu untuk memperingan beban dia itu lho.
Jangka pendek, termasuk raskin, kemudian bantuan beasiswa sekolah,” ungkap
Djandjang, Litbang Bappeda Kota Yogyakarta .
Sedangkan bantuan yang sifatnya pengembangan, umumnya berbentuk
pembentukkan dan pemberdayakan kelompok usaha ekonomi masyarakat baik
yang berskala kecil maupun mikro. Garis besarnya, pemerintah menyuntikkan
modal dan memberi pendampingan. Suatu program biasanya mencakup pula
pelatihan ketrampilan, kewirausahaan, manajemen, yang disertai pula dengan
pendampingan. Asal sumber dananya yang dari APBN maupun hutang dari
lembaga donor seperti Bank Dunia. Pola-pola program tersebut tentunya
didasarkan pada definisi dan indikator kemiskinan yang ditetapkan pemerintah
pusat , serta definisi keluarga miskin yang di tetapkan pemerintah kota Yogjakarta
sendiri .
Beberapa program yang kini dijalankan di Yogjakarta antara lain: Program
Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha Kecil dan
Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan Dagang
(DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan Pemanfaatan
Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial Ekonomi Produktif
(P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP); Tenaga Kerja
Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja Sistem Padat
Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi Subsidi Dana
Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar, Lembaga
Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi Pedagang
Kaki Lima.
Namun kebijakan dan program yang dilakukan pemerintah ini menjadi kontradiktif
karena di wilayah Kota Yogyakarta hingga bulan Februari 2006, menurut data
Dinas Kesejahteraan Sosial Kota Yogyakarta, jumlah keluarga miskin (gakin)
ternyata masih banyak hingga menembus angka 31.367 Kepala keluarga dari
jumlah total 81.859 KK yang ada. Sederhananya, 3 dari 10 orang penduduk
Yogyakarta tergolong miskin. Kelurahan Prawirodirjan, Pringgokusuman, Bener,
dan Kricak termasuk daerah dengan penduduk miskin mencapai 30 persen dari
seluruh penduduknya. Persentase penduduk miskin di 41 kelurahan lainnya
umumnya kurang dari sepertiganya, dengan porsi bervariatif. Angka ini
merupakan turunan dari kriteria kemiskinan yang tertera di Peraturan Walikota
Yogyakarta No. 39/2005 tentang penetapan parameter kemiskinan Kota
Yogyakarta. Sementara itu, jumlah penerima beras miskin (raskin) di Kota
Yogyakarta ada 22.719 gakin. Jumlah gakin di kota gudeg ini lebih kecil lagi jika
merujuk data penerima Bantuan Langsung Tunai (BLT) tahap I yakni 13.354 gakin,
yang kriterianya mengacu Badan Pusat Statistik (BPS).

Dengan melihat fenomena kemiskinan yang masih banyak di Yogjakarta Edi


Suhartono, pakar kebijakan sosial dan juga Ketua Tim Peneliti Depsos RI
mengingatkan, terlepas dari persoalan bentuk bantuan maupun hal-hal teknis
lainnya, Edi menekankan kejelasan paradigma dalam kebijakan penanganan
kemiskinan. Faktanya, Edi melihat banyak gejala kontradiktif. Pemerintah giat
membantu permodalan UKM, tapi di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga
mencekik UKM. Belum lagi, pada saat bersamaan, pemerintah mengizinkan
membludaknya retail industry seperti mal, hypermart, dan warung kelontong
franchise masuk sampai pelosok. ”Saya berani taruhan, bapak latih saya sampai
kiamat (diberi keterampilan dan modal), kalau di sini masuk supermarket, kapan
bisa bersaing melawan supermarket itu?” sergah Edi. Ini semua menurut Edi
merupakan tipikal paradigma neoliberalisme. Demi pertumbuhan ekonomi yang
cepat, sektor modern-padat kapital harus diutamakan. Demi pertumbuhan pula,
investasi industri produksi maupun retail direlakan menggusur tempat tinggal
sekaligus lahan ekonomi masyarakat miskin.
Logikanya, pertumbuhan ekonomi memerlukan investasi. Investasi bisa terjadi jika
program rekapitulasi perbankan berjalan. Artinya, pemerintah harus mampu
menyuntikkan dana triliunan rupiah kepada bank-bank yang kreditnya macet.
Perusahan-perusahan besar milik konglomerat harus ditolong kredit baru lagi agar
pabrik-pabriknya bisa bekerja lagi dan perlahan mulai mengangsur hutangnya.
”Neoliberalisme di mana-mana itu eradicate the poor. Di Chili, Argentina, Meksiko.
Nggak tahu, mungkin sudah takdir itu. Bukan eradicate the poverty. (Pemerintah)
kita menghajar orang miskin, penggusuran di mana-mana, soal tanah dan segala
macam,” papar Edi panjang lebar.
Yang ironis, kebijakan penanggulangan kemiskinan ala neoliberalisme hanya
bersifat sementara, di mana negara hanya boleh turun tangan jika lembaga
keluarga, kelompok swadaya, atau lembaga keagamaan gagal berfungsi.
Pandangan seperti ini beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan
masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan
ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi
sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan
jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara
maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat
“penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu
bersaing di pasar bebas. Program-program structural adjustment yang didesakkan
oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program Jaringan
Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan (PPK),
merupakan contoh kebijakan neoliberal dalam menangani kemiskinan.

2. Permasalahan

Berdasarkan uraian latar belakang diatas yang penulis kutip dari artikel SOROT:
Banyak Program tapi Tetap Miskin, Majalah FLAMMA EDISI 25 copyright IRE
Yogjakarta. Ternyata terjadi paradok pembangunan dimana pemerintah Yogjakarta
di satu sisi sudah sekian banyak upaya program-program dalam mengatasi
kemiskinan, disisi lain justru kemiskinan makin bertambah. Asumsi penulis
dengan mengikuti komentar hasil wawancara Majalah Flamma dengan Edi
Suharto bahwa ada suatu yang salah dari paradigma/perspektif pemerintah dalam
melihat kemiskinan. Atas dasar itulah dalam Paper ini permasalahan yang akan
diangkat adalah menjawab pertanyaan pokok “Bagaimana Perspektif/ paradigma
pembangunan pemerintah dalam mengatasi persoalan kemiskinan?“. Dan untuk
memberikan penjelasan atas permasalahan tersebut maka dapat dijelaskan
dengan menjawab rumusan masalah sebagai berikut :
• Bagaimana Perspektif Teori Pembangunan ( Teori Modernisasi dan Dependensi )
dalam melihat Kemiskinan?
• Apa akar permasalahan kemiskinan di Indonesia? Dan adakah kesalahan
perspektif pembangunan yang dipakai pemerintah dalam mengatasi kemiskinan?

3. Pembahasan

Indonesia dalam peta pembangunan internasional termasuk dalam cakupan


wilayah di dunia ke tiga, untuk itu dalam perspektif teori pembangunan
internasional maka Indonesia termasuk dalam perspektif teori pembangunan
dunia ketiga. Teori pembangunan dunia ketiga sendiri adalah teori-teori
pembangunan yang berusaha menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh negera-
negara miskin atau negara-negara sedang yang sedang berkembang dalam
sebuah dunia yang didominasi oleh kekuatan ekonomi, ilmu pengetahuan dan
militer negara-negara adikuasa atau negara-negara industri maju. Teori
Pembangunan di dunia ke tiga memiliki perbedaan dengan teori pembangunan
bagi negara-negara adikuasa, karena persoalan yang dihadapinya berlainan. Bagi
negara-negara dunia ketiga, persoalannya adalah bagaimana bertahan hidup atau
bagaimana meletakkan dasar-dasar ekonominya supaya bis bersaing di pasar
internasional. Bagi negara-negara adikuasa persolannya adalah bagaimana
melakukan ekspansi lebih lanjut bagi kehidupan ekonominya yang sudah mapan.
Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori
modernisasi. Menekankan faktor manusia dan nilai-nilai budanya sebagai pokok
persoalan dalam pembangunan. Teori modernisasi merupakan kelompok teori
yang dominan dalam mengkaji masalah pembangunan di Indonesia; 2) Teori
ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori Dependensi. Teori ini merupakan
reaksi terhadap teori modernisasi. Teori ini mula-mula tumbuh di kalangan para
ahli ilmu sosial di Amerika Latin kemudian meluas sampai ke Amerika Serikat dan
Eropa dan Asia. Teori ini dipengaruhi oleh metoda analisis Marxis ; 3) Teori yang
merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau lebih di kenal Post
Modernisme. Teori ini sering disebut sebagai teori pasca ketergantungan. Di
dalamnya ada teori sistem dunia, teori artikulasi dan sebagainya .
a) Perspektif Teori Modernisasi dalam melihat Kemiskinan .

Teori Modernisasi lahir di tahun 1950-an di Amerika Serikat, dan merupakan


respon kaum intelektual terhadap perang dunia yang bagi penganut evolusi
dianggap sebagai jalan optimis menuju perubahan. Teori ini lahir dalam suasana
ketika dunia memasuki “perang dingin” atau peperangan idiologi antara
Kapitalisme dibawah kepemimpinan amerika serikat dengan kekuatan Komunisme
dibawah kepemipinan Negara Sosialis Uni Sovyet Rusia ( USSR) .
Adapun penopang dari Teori Modernisasi adalah ide Weber yang melihat pada
aspek-aspek nilai budaya yaitu Variabel etos sebagai varian utama dalam melihat
keterbelakangan dunia ketiga . Tesis ini diperkuat oleh McClelland yang
menekankan psikologi individu dan menekankan bahwa kondisi psikologis
prakondisi suatu masyarakat dalam memandang prestasi (the need for
achievement) secara signifikan berkorelasi positif terhadap kelangsungan
pembangunan .
Selain itu Teori Modernisasi juga melihat bahwa masalah pembangunan
merupakan masalah penyediaan modal untuk investasi (Harood – Domar) .
Gagasan ide ini kemudian dikembangkan oleh Rostow bahwa pembangunan
dikaitkan dengan perubahan dari masyarakat agraris dengan budaya tradisional
ke masyarakat yang rasional, industrial dan berfokus pada ekonomi pelayanan.
Ide ini kemudian melahirkan konsep lima tahap pembangunan Rostow . Berbeda
dengan Rostow Bert F. Hoselitz membahas faktor-faktor non ekonomi yg
ditinggalkan Rostow yang disebut faktor “kondisi lingkungan”. Kondisi lingkungan
maksudnya adalah perubahan-perubahan pengaturan kelembagaan yg terjadi
dalam bidang hukum, pendidikan,keluarga, dan motivasi. Hoselitz menekankan
bahwa meskipun seringkali orang menunjukkan bahwa masalah utama
pembangunan adalah keurangan modal (teori Harrod – Domar ), ada masalah lain
yang juga sangat penting yakni adanya ketrampilan kerja tertentu, termasuk
tenaga wiraswasta yang tangguh. Karena itu dibutuhkan perubahan kelembagaan
pada masa sebelum lepas landas, yang akan mempengaruhi pemasokan modal,
supaya modal ini bisa menajadi produktif. Perubahan kelembagaan ini akan
menghasilkan tenaga wiraswasta dan administrasi serta ketrampilan teknis dan
keilmuan yang dibutuhkan. Menurut Hoselitz, pembangunan membutuhkan
pemasokan dari beberapa unsur, seperti : pemasokan modal besar dan
perbankan, serta pemasokan tenaga ahli dan terampil.
Perspektif umum Teori modernisasi memandang pembangunan merupakan kerja
secara Internasional yang didasarkan pada teori keuntungan komparatif yang
dimiliki oleh setiap negara mengakibatkan terjadinya spesialisasi produksi pada
tiap-tiap negara sesuai dengan keuntungan komparatif yang dimilikinya. Secara
umum, di dunia ini terdapat dua kelompok negara : 1) negara yang memproduksi
hasil pertanian ; 2) negara yang memproduksi barang industri. Antara kedua
kelompok negara ini terjadi hubungan dagang dan keduanya menurut teori di atas
saling diuntungkan. Tetapi setelah beberapa puluhan tahun kemudian, tampak
bahwa negara-negara industri menjadi semakin kaya sedangkan negara-negara
pertanian semakin tertinggal. Ini kemudiaan melahirkan dua kelompok negara
yaitu negara-negara miskin yang biasanya meruapakan negara pertanian dan
negara-negara kaya yang biasanya adalah negara industri. Teori Modernisasi lebih
melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-faktor internal atau faktor-
faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang bersangkutan.
Pembangunan sendiri mempunyai dua unsur utama yaitu masalah materi yang
mau dihasilkan dan dibagi, serta masalah manusia yang menjadi pengambil
inisiatif yang menjadi manusia pembangunan. Pembangunan tidak hanya
berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material tetapi
pembangunan juga harus menciptakan kondisi-kondisi yang membuat manusia
bisa mengembangkan kreatifitasnya. Teori Modernisasi mendasarkan selain pada
faktor-faktor material sebagai penyebab kemiskinan juga faktor manusia yang ada
di dalam negara itu sendiri.
Untuk itu maka negara-negara miskin yang kemudian di petakan dalam negara
dunia ketiga dalam perspektif teori modernisasi harus mendapatkan perhatian
dari negara maju, dan negara maju harus berupaya menciptakan replikasi model
pembangunan bergaya liberal untuk diadopsi negara-negara dunia Ketiga. Pola
hubungan ini kemudian melahirkan istilah Developmentalisme yang merupakan
bagian penyokong Teori modernisasi, sehingga teori modernisasi juga di kenal
dengan teori developmentalisme .
Fenomena ini bisa kita lihat beberapa program yang kini dijalankan antara lain:
Program Bantuan Modal Pinjaman Lunak dan Koperasi (BMPLK); Pembinaan Usaha
Kecil dan Koperasi (PUKK) dari BUMN; Dana Bergulir Usaha Kecil Industri dan
Dagang (DBUKID); Bantuan Usaha Ekonomi Produktif Kelompok Anggrek dan
Pemanfaatan Pekarangan (BUEPKAID); Peningkatan Pelayanan Usaha Sosial
Ekonomi Produktif (P2USEP); Program Pengentasan Kemiskinan Perkotaan (P2KP);
Tenaga Kerja Mandiri (TKM); Program GRAMEN BANK; Program Perluasan Kerja
Sistem Padat Karya Program Awal Tahun dan Padanan; Program Kompensasi
Subsidi Dana Bergulir Bahan Bakar Minyak (PKPS-BBM); Beasiswa Supersemar,
Lembaga Keuangan Mikro Badan Usaha Kredit Pedesaan; Pinjaman Tenda Bagi
Pedagang Kaki Lima .
Konsep program itu beranjak dari keyakinan bahwa kemiskinan merupakan
masalah individual. Orang menjadi miskin disebabkan oleh kelemahan dan
ketakmampuan yang bersangkutan. Tak ada sangkut pautnya dengan kondisi
sosial ekonomi di mana sesorang itu hidup. Seseorang bisa lepas dari kemiskinan
jika ada sistem pasar yang mampu memfasilitasi seseorang bekerja secara
maksimal. Karenanya, banyak program pengentasan neoliberal yang bersifat
“penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu
bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-
program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang
didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani
kemiskinan.

b) Perspektif Teori Dependensi dalam melihat Kemiskinan .

Teori Dependensi lebih menitik beratkan pada persoalan keterbelakangan dan


pembangunan negara Dunia Ketiga. Dalam hal ini, dapat dikatakan bahwa teori
dependensi mewakili “suara negara-negara pinggiran” untuk menantang
hegemoni ekonomi, politik, budaya dan intelektual dari negara maju. Munculnya
teori dependensi lebih merupakan kritik terhadap arus pemikiran utama persoalan
pembangunan yang didominasi oleh teori modernisasi. Teori dependensi lahir
karena teori modernisasi ternyata mempunyai banyak kelemahan sehingga timbul
sebuah alternatif teori yang merupakan antitesis dari teori modernisasi.
Kegagalan modernisasi membawa kemajuan bagi negara dunia ketiga telah
menumbuhkan sikap kritis beberapa ilmuan sosial untuk memberikan suatu teori
pembangunan yang baru, yang tentu saja mempunyai banyak kelebihan
dibandingkan dengan teori yang telah ada. Kritikan terhadap modernisasi yang
dianggap sebagai “musang berbulu domba” dan cenderung sebagai bentuk
kolonialisme baru semakin mencuat dengan gagalnya negara-negara Amerika
Latin menjalankan modernisasinya. Frank sebagai pelopor kemunculan teori
dependensi, pada awalnya menyerang pendapat Rostow. Frank menganggap
Rostow telah mengabaikan sejarah. Sejarah mencatat bagaimana perkembangan
dunia ketiga yang tatanan ekonominya telah dihancurkan oleh negara dunia
pertama selama masa kolonial. Pemikiran Frank terus bergulir dan disambut oleh
pemikir sosial lainnya seperti Santos, Roxborough, Cardoso dan Galtung.
Teori dependensi merupakan analisis tandingan terhadap teori modernisasi. Teori
ini didasari fakta lambatnya pembangunan dan adanya ketergantungan dari
negara dunia ketiga, khususnya di Amerika Latin. Teori dependensi memiliki saran
yang radikal, karena teori ini berada dalam paradigma neo-Marxis. Sikap radikal
ini analog dengan perkiraan Marx tentang akan adanya pemberontakan kaum
buruh terhadap kaum majikan dalam industri yang bersistem kapitalisme. Analisis
Marxis terhadap teori dependensi ini secara umum tampak hanya mengangkat
analisanya dari permasalahan tataran individual majikan-buruh ke tingkat antar
negara. Sehingga negara pusat dapat dianggap kelas majikan, dan negara dunia
ketiga sebagai buruhnya. Sebagaimana buruh, ia juga menyarankan, negara
pinggiran mestinya menuntut hubungan yang seimbang dengan negara maju
yang selama ini telah memperoleh surplus lebih banyak (konsep sosialisme).
Analisis Neo-Marxis yang digunakannya memiliki sudut pandang dari negara
pinggiran.
Dalam perspektif Teori dependensi tentang negara miskin Santos mengamsusikan
bahwa bentuk dasar ekonomi dunia memiliki aturan-aturan perkembangannya
sendiri, tipe hubungan ekonomi yang dominan di negara pusat adalah kapitalisme
sehingga menyebabkan timbulnya usaha melakukan ekspansi keluar dan tipe
hubungan ekonomi pada negara periferi merupakan bentuk ketergantungan yang
dihasilkan oleh ekspansi kapitalisme oleh negara pusat. Santos menjelaskan
bagaimana timbulnya kapitalisme yang dapat menguasai sistem ekonomi dunia.
Keterbatasan sumber daya pada negara maju mendorong mereka untuk
melakukan ekspansi besar-besaran pada negara miskin. Pola yang dilakukan
memberikan dampak negatif berupa adanya ketergantungan yang dialami oleh
negara miskin. Negara miskin akan selalu menjadi negara yang terbelakang
dalam pembangunan karena tidak dapat mandiri serta selalu tergantung dengan
negara maju. Negara maju identik menjadi negara pusat, sedangkan negara
miskin menjadi satelitnya. Konsep ini lebih dikenal dengan istilah “pusat -
periferi”. Pola hubungan antara pusat-periferi ini dijelaskan oleh Frank bahwa
kemampuan negara satelit dalam pembangunan ekonomi terutama
pembangunan industri kapitalis meningkat pada saat ikatan terhadap negara
pusat sedang melemah. Pendapat ini merupakan antitesis dari modernisasi yang
menyatakan bahwa kemajuan negara dunia ketiga hanya dapat dilakukan dengan
hubungan dan difusi dengan negara maju .
Tesis yang diajukan oleh Santos adalah pembagian ketergantungan menjadi tiga
jenis yaitu ketergantungan kolonial, ketergantungan industri keuangan dan
ketergantungan teknologi industri. Ketergantungan kolonial merupakan bentuk
ketergantungan yang dialami oleh negara jajahan. Ketergantungan kolonial
merupakan bentuk ketergantungan yang paling awal dan hingga kini telah
dihapuskan. Pada ketergantungan kolonial, negara dominan, yang bekerja sama
dengan elit negara tergantung, memonopoli pemilikan tanah, pertambangan,
tenaga kerja, serta ekspor barang galian dan hasil bumi dari negara jajahan.
Sementara itu, jenis ketergantungan industri keuangan yang lahir pada akhir abad
19, maka ekonomi negara tergantung lebih terpusat pada ekspor bahan mentah
dan produk pertanian. Ekspor bahan mentah menyebabkan terkurasnya sumber
daya negara, sementara nilai tambah yang diperoleh kecil. Sumbangan pemikiran
Santos terhadap teori dependensi sebenarnya berada pada bentuk
ketergantungan teknologi industri. Dampak dari ketergantungan ini terhadap
dunia ketiga adalah ketimpangan pembangunan, ketimpangan kekayaan,
eksploitasi tenaga kerja, serta terbatasnya perkembangan pasar domestik negara
dunia ketiga itu sendiri.
Asumsi dasar teori dependensi ini menganggap ketergantungan sebagai gejala
yang sangat umum ditemui pada negara-negara dunia ketiga, disebabkan faktor
eksternal, lebih sebagai masalah ekonomi dan polarisasi regional ekonomi global
(Barat dan Non Barat, atau industri dan negara ketiga), dan kondisi
ketergantungan adalah anti pembangunan atau tak akan pernah melahirkan
pembangunan. Terbelakang adalah label untuk negara dengan kondisi teknologi
dan ekonomi yang rendah diukur dari sistem kapitalis. Hal ini juga mempengaruhi
pandangan-pandangan teoritisi Dependensi diatas bahwa kemiskinan di suatu
negara disebabkan karena faktor eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari
bekerjanya kekuatan-kekuatan luar yang menyebabkan negara yang
bersangkutan gagal melakukan pembangunannya.

c) Akar Permasalahan Kemiskinan di Indonesia?

Apabila kita perhatikan kemiskinan yang terjadi di Indonesia adalah bentuk


kemiskinan struktural (buatan) karena sebenarnya secara alamiah Indonesia
mempunyai potensi dan sumber daya yang cukup untuk tidak mengalami
kemiskinan. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan akibat dari super struktur
yang membuat sebagian anggota atau kelompok masyarakat tertentu
mendominasi sarana ekonomi, sosial, politik dan budaya. Struktur ini
menyebabkan tidak adanya pemerataan, tidak berkembangnya kualitas dan daya
kreasi rakyat dalam pelaksanaan pembangunan serta terpinggirkannya partisipasi
masyarakat dalam pelaksanaan pembangunan
Penggalian tentang kemiskinan yang selama ini cenderung dilakukan pada batas
angka-angka statistik makro yang kurang mendalam serta tidak detail dalam
mengungkap latar belakang masyarakat miskin. Akibatnya tidak dapat melihat
persoalan secara komperehensif mengenai dimensi-dimensi kemiskinan, karena
sesungguhnya persoalan kemiskinan terkait dan saling mempengaruhi dengan
persoalan yang lainnya. Pada sisi lain studi tentang kemiskinan juga cenderung
over akademis yang kurang memiliki daya guna pemecahan persoalan yang
sifatnya praksis penanggulangan kemiskinan, sekaligus gagal mengungkap akar
penyebab kemiskinan.
Ada tiga sisi yang menjadi akar penyebab dari terjadinya kemiskinan struktural
yaitu :
1. Pemahaman akan kemiskinan yang tidak tepat dan sepihak. Kemiskinan lebih
dikaji dari aspek ekonomi saja. Aspek-aspek lain yang berkaitan erat dengan
persoalan kemiskinan seperti aspek politik, kultural, serta sosial dikaji secara
terpisah. Persoalan kemiskinan dipahami tanpa mengkaji dampak dari kebijakan
publik atau pemerintah terhadap keberadaan rakyat miskin
2. Kebijakan yang dibuat oleh pemerintah tidak melibatkan masyarakat yang
terkena sasaran, baik di tingkat perencanaan maupun sampai ke tingkat
pelaksanaannya.
3. Tidak ada evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan di perkotaan
untuk melihat dampak yang terjadi.

Oleh karena itu sudah seharusnya kita mengerti apa yang menjadi masalah
mendasar dalam proses mengentaskan kemiskinan ini. Pemahaman kemiskinan
saat ini mempunyai arti yang lebih luas yang didefinisikan sebagai kemiskinan
majemuk yaitu suatu kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau esensial
sebagai manusia. Kebutuhan asasi tersebut meliputi kebutuhan akan subsistensi,
afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, waktu luang.
Kemiskinan subsistensi pada rakyat miskin kota seperti yang terjadi di Yogjakarta
(lampiran) merupakan contoh dimana rendahnya pendapatan, tak terpenuhinya
kebutuhan akan sandang, pangan, papan serta kebutuhan-kebutuhan dasar
lainnya. Kemiskinan perlindungan karena meluasnya budaya kekerasan atau tidak
memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan dasar rakyat miskin
kota; kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia dan manusia dengan
alam; kemiskinan pemahaman karena kualitas pendidikan yang rendah, selain
faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan; kemiskinan partisipasi
karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses pengambilan
keputusan; kemiskinan identitas karena dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap
budaya lokal yang mengakibatkan hancurnya nilai sosio kultural yang ada.
Dimensi kemiskinan majemuk yang dialami masyarakat miskin dapat
teridentifikasi dari beberapa aspek berupa rendahnya kesejahteraan, akses pada
sumber daya, kesadaran kritis, partisipasi dan posisi tawar. Aspek ekonomi
bukanlah satu-satunya penyebab kemiskinan. Faktor-faktor yang lain, seperti
politik dan sosial budaya, mempunyai peranan yang sangat kuat dalam
melatarbelakangi munculnya lingkaran kemiskinan yang tak terselesaikan.
Paradigma ekonomi yang dipakai dalam penyusunan pembangunan, membuat
pemilik modal menguasai segala-galanya. Penguasaan ekonomi dengan dalih
demi ‘keuntungan bersama’, menjadi penyebab dasar kemiskinan dalam
masyarakat dan menimbulkan kebijakan ekonomi yang semena-mena. Aspek
sosial budaya banyak sekali mempengaruhi terjadinya proses pemiskinan. Tradisi
yang ada tidak sedikit yang memberikan ‘pembenaran’ dalam pemenuhan
kebutuhan dasar. ‘Pembenaran tradisi’ bahwa anak harus ikut menanggung
kemiskinan keluarga, di satu sisi memunculkan kasus pekerja anak; dan di sisi lain
terjadi pemberontakan yang melahirkan realita anak jalanan pada banyak kota di
Indonesia. Modernisasi yang dipaksakan, memunculkan kemiskinan dalam bentuk
yang lain. Kepentingan politik tidak bisa dilepaskan dari kemiskinan yang terjadi.
Struktur birokrasi yang tidak aspiratif terhadap rakyat miskin menimbulkan
banyak kebijakan yang semakin memiskinkan rakyat

d) Adakah kesalahan perspektif pembangunan ?

Bila kita telusuri lebih teliti bahwa kesimpulan yang ditemukan akan lebih
memandang bahwa perspektif pembangunan pemerintah selama ini tentang
kemiskinan, sebagai realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, dimana
batasan kemiskinan adalah suatu kondisi di mana orang tidak memiliki harta
benda atau mempunyai pendapatan di bawah batasan nominal tertentu.
Kemiskinan selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin
atau persoalan yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai
atau ditentukan berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan
sebelumnya, seperti: kondisi fisik dari bangunan atau lingkungan permukiman.
Pengertian kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk
kebijakan penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Kebijakan
pengentasan kemiskinan dari pemerintah melalui program yang ada seperti :
program recovery, hanya menjadi program penyaluran dana bantuan saja tanpa
mencoba memahami kemiskinan yang menjadi penyebabnya. Kebijakan itu
cenderung semakin memiskinkan masyarakat, karena menimbulkan
ketergantungan ekonomi, tanpa memberikan solusi untuk lepas dari lingkaran
kemiskinan. Perspektif inilah dalam teori pembangunan cenderung mengarah
pada perspektif Modernisme
Akibatnya Kebijakan pemerintah yang berkait dengan penanggulangan
kemiskinan selama ini tidak memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung
memunculkan kemiskinan yang baru sebagaimana dalam artikel (lampiran). Hal
ini didasarkan bahwa pemerintah selalu menggunakan prinsip trickle down effect
yang melihat bahwa proses pelipatan modal atau keuntungan akan terdistribusi
kepada kelompok-kelompok di bawahnya. Seperti program dengan setiap
masyarakat dibentuk kelompok, diberi modal, motivasi berwirausaha, kapasitas
manajerialnya ditingkatkan, aktivitasnya didampingi, serta dikontrol kinerjanya,
namun ini menjadi kontradiktif pemerintah giat membantu permodalan UKM, tapi
di sisi lain, kebijakan menaikkan BBM juga mencekik UKM. Belum lagi, pada saat
bersamaan, pemerintah mengizinkan membludaknya retail industry seperti mal,
hypermart, dan warung kelontong franchise masuk sampai pelosok akibatnya sulit
bisa bersaing melawan supermarket. Ada juga kebijakan program lebih
merupakan pendekatan ekonomi dengan dasar belas kasihan. Seperti BLT
ataupun raskin dinilai banyak kalangan tidak menyelesaikan persoalan
kemiskinan. “Dampaknya seperti orang dikasih ikan yang langsung habis. Kalau
kita memberi kail dan umpan, mereka bisa mencari ikan sendiri “.
Selain itu juga ada kebijakan pemerintah untuk program pengentasan kemiskinan
banyak menggunakan dana recovery yang merupakan dana pinjaman atau
hutang dari luar negeri. Seperti program pengentasan neoliberal yang bersifat
“penyesuaian” (adjustment), bertujuan menyiapkan orang miskin agar mampu
bersaing di pasar bebas. Bahkan diantara program tersebut merupakan program-
program structural adjustment atau kepentingan dari negara-negara maju yang
didesakkan oleh lembaga donor macam World Bank dan IMF, semisal Program
Jaringan Pengaman Sosial (JPS), P2KP dan Program Pengembangan Kecamatan
(PPK), merupakan contoh model replikasi kebijakan liberal dalam menangani
kemiskinan. Program tersebut banyak memunculkan permasalahan; karena tidak
tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas. Program ini tidak
hanya menimbulkan pemiskinan secara ekonomi, namun dalam konteks yang
lebih luas meliputi sosial, budaya dan politik. Rakyat miskin menjadi sangat
tergantung pada bantuan orang lain atau luar negeri dan tidak inisiatif untuk
bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan sendiri. Beban utang dari dana
pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin. Perspektif demikian yang oleh
Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan negara maju dengan melakukan
replikasi pembangunan pada negara berkembang terutama replikasi program
penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan atau hutang lunak justru
akan menyebabkan ketergantungan pada negara berkembang atau dunia ketiga
dan ini justru yang menjadikan penyebab kemiskinan.

4. Kesimpulan

Ada 3 kelompok teori pembangunan yang berkembang di dunia yaitu : 1) Teori


modernisasi ; 2) Teori ketergantungan atau lebih dikenal dengan teori
Dependensi. ; 3) Teori yang merupakan reaksi terhadap teori ketergantungan atau
lebih di kenal Post Modernisme. Dalam melihat masalah kemiskinan Perspektif
Teori Modernisasi lebih melihat bahwa kemiskinan ini disebabkan oleh faktor-
faktor internal atau faktor-faktor yang terdapat di dalam negeri negara yang
bersangkutan. Sedangkan pandangan-pandangan teoritisi Dependensi
mengatakan bahwa kemiskinan di suatu negara disebabkan karena faktor
eksternal. Kemiskinan dilihat sebagai akibat dari bekerjanya kekuatan-kekuatan
luar yang menyebabkan negara yang bersangkutan gagal melakukan
pembangunannya.
Selama ini di Indonesia perspektif pembangunan pemerintah tentang kemiskinan
merupakan suatu realitas yang selalu dilihat dari sudut ekonomi, kemiskinan
selalu dilihat bahwa persoalan individu manusia itu kenapa miskin atau persoalan
yang ada dalam manusia itu sendiri. Tingkat kemiskinan ini dinilai atau ditentukan
berdasarkan ukuran-ukuran materi yang sudah didefinisikan .Pengertian
kemiskinan yang ekonomistik ini akan melahirkan bentuk-bentuk kebijakan
penanggulangan kemiskinan dalam bantuan ekonomi saja. Akibatnya Kebijakan
pemerintah yang berkait dengan penanggulangan kemiskinan selama ini tidak
memenuhi target dan sasaran; bahkan cenderung memunculkan kemiskinan yang
baru. Bahkan banyak program yang memunculkan permasalahan; karena tidak
tepat ke sasaran dan pelaksanaan program yang tidak jelas.
Banyak Program kemiskinan ini tidak hanya menimbulkan pemiskinan secara
ekonomi, namun dalam konteks yang lebih luas meliputi sosial, budaya dan
politik. Rakyat miskin menjadi sangat tergantung pada bantuan orang lain atau
luar negeri dan tidak inisiatif untuk bangkit dari kemiskinan dengan kemampuan
sendiri. Beban utang dari dana pinjaman menjadi terbebankan ke rakyat miskin.
Perspektif demikian yang oleh Teoritisi dependensi dikatakan bahwa bantuan
negara maju dengan melakukan replikasi pembangunan pada negara berkembang
terutama replikasi program penanggulangan kemiskinan dengan disertai bantuan
atau hutang lunak justru akan menyebabkan ketergantungan pada negara
berkembang atau dunia ketiga dan ini justru yang menjadikan faktor penyebab
kemiskinan.

Public Administration Community:

Anda mungkin juga menyukai