3 Teori Pembangunan
3 Teori Pembangunan
3 Teori Pembangunan
Makalah
Oleh :
NIP : 195903051989011001
Pendahuluan.
dalam kerangka kajian keberlangsungan hidup manusia. Fenomena ini melekat sebagai salah
satu ciri kehidupan manusia yang kerap mengalami perubahan menurut berbagai dimensi
yang ada.
pembangunan disini diartikan sebagaiu bentuk perubahan yang sifatnya direncanakan; setiap
orang atau kelompok orang tentu akan mengharapkan perubahan yang mempunyai bentuk
lebih baik bahkan sempurna dari keadaan yang sebelumnya; untuk mewujudkan harapan ini
tentu harus memerlukan suatu perencanaan. Selo Soemardjan (1974) menyatakan bahwa
perubahan yang dikehendaki atau direncanakan merupakan perubahan yang diperkirakan atau
yang telah direncanakan terlebih dahulu oleh fihak-fihak yang hendak mengadakan
Masyarakat Indonesia, kalau bisa dikatakan demikian, tidak terlepas dari fenomena
pembangunan ini. Keaneka-ragaman, etnik, ras, kelompok, dan agama dengan bentuk dan
tingkat kehidupan yang berbeda dalam masyarakat ini secara langsung maupun tidak
orientasinya ke luar masyarakat. Kurangnya komunikasi yang terjadfi antara para penentu
kebijakan dengan rakyak kebanyakan, menyebabkan model atau bentuk pembangunan yang
diterapkan lebih memperlihatkan suatu model ‘top-down planning’ yang menurut satu
kondisi dianggap lebih baik, namun dari sisi yang lain memberikan dampak yang kurang
diharapkan; sejauh perkembangan masyarakat yang ada, ternyata sisi ke dua inilah yang
Dalam perkembangan lebih lanjut, suatu proses pembangunan dapat dijadikan sebagai
suatu ukuran untuk menilai sejauh mana nilai-nilai dasar masyarakat yang terlibat dalam
proses ini bisa memenuhi seperangkat kebutuhan hidup dan mengatasi berbagai masalah dari
ekonomi pada tahun 1998 yang kemudian mengguncang sendi-sendi pokok kehidupan
bahwa selama ini belum ada konsep atau bentuk pembangunan yang jaelas dalam masyarakat
ini; gambaran ini menunjukkan bahwa sedemikian rapuhnya nilai-nilai dasar tentang konsep
jauh tentang bagaimana peeranan teori modernisasi dan teori dependensi dalam melakukan
Di Indonesia, kata pembangunan sudah menjadi kata kunci bagi segala hal. Secara
umum, pembangunan diartikan sebagai usaha untuk memajukan kehidupan masyarakat dan
warganya; sering kali, kemajuan yang dimaksudkan terutama adalah kemajuan material.
Maka, pembangunan seringkali diartikan sebagai kemajuan yang dicapai oleh satu
masyarakat di bidang ekonomi; bahkan dalam beberapa situasi yang sangat umum
pembangunan diartikan sebagai suatu bentuk kehidupan yang kurang diharpakan bagi
‘sebagian orang tersingkir’ dan sebagai ideologi politik yang memberikan keabsahan bagi
1995: 1-2).
Pembangunan sebenarnya meliputi dua unsur pokok; pertama, masalah materi yang
mau dihasilkan dan dibagi, dan kedua, masalah manusia yang menjadi pengambil inisiatif,
yang menjadi manusia pembangun. Bagaimanapun juga, pembangunan pada akhirnya harus
ditujukan pada pembangunan manusia; manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif,
dan untuk bisa kreatif ini manusia harus merasa bahagia, aman, dan bebas dari rasa takut.
Pembangunan tidak hanya berurusan dengan produksi dan distribusi barang-barang material;
suatu keadaan pada keadaan yang lain yang makin mendekati tata masyarakat yang dicita-
citakan; dalam proses transformasi itu ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu
Teori Modernisasi muncul pada pasca perang dunia kedua, yaitu pada saat Amerika
terancam kehilangan lawan dagang sehingga terjadi kejenuhan pasar dalam negeri; dari
keterlibatan Amerika inilah negara-negara Eropa yang porak poranda seusai perang mulai
bangkit dari keterpurukannya, keterlibatan ini bukan saja banyak ‘menolong’ negara-negara
Eropa, tetapi di balik itu justru banyak memberikan keuntungan yang lebih bagi Amerika itu
sendiri.
negara-negara di Eropa ini memberikan pemikiran lanjut untuk melakukan ekspansi pasar ke
negara-negara dunia Ketiga, dan banyak memberikan bantuan untuk pembangunannya; dalam
inspirasi terhadap sarjana-sarjana sosial Amerika, yang kemudian dikelompokkan dalam satu
teori besar, dan dikenal sebagai teori Modernisasi (Budiman, dalam: Frank, 1984: ix).
Asumsi dasar dari teori modernisasi mencakup: (1) Bertolak dari dua kutub dikotomis
yaitu antara masyarakat modern (masyarakat negara-negara maju) dan masyarakat tradisional
dan dianggap positif, yaitu dengan menularkan nilai-nilai modern disamping memberikan
bantuan modal dan teknologi. Tekanan kegagalan pembangunan bukan disebabkan oleh
faktor-faktor eksternal melainkan internal; (3) Resep pembangunan yang ditawarkan bisa
berlaku untuk siapa, kapan dan dimana saja (Budiman, dalam : Frank, 1984: x).
Satu hal yang menonjol dari teori modernisasi ini adalah, modernisasi seolah-olah
tidak memberikan celah terhadap unsur luar yang dianggap modern sebagai sumber
kegagalan, namun lebih menekankan sebagai akibat dari dalam masyarakat itu sendiri.
Asumsi ini ternyata banyak menimbulkan komentar dari berbagai fihak, terytama dari
kelompok pendukung teori Dependensi, sehingga timbul paradigma baru yang dikenal
asumsi-asumsi yang dikemukakan oleh teori modernisasi. Keadaan ini menimbulkan reaksi
keras dari para pemerhati masalah-masalah sosial yang kemudian mendorong timbulnya teori
dependensi. Teori ini menyatakan bahwa karena sentuhan modernisasi itulah negara-negara
underdevelopment’); siapa sebenarnya yang menolong dan siapa yang ditolong ?. Andre
Gunter Frank (1967) dianggap sebagai salah seorang tokoh pencetus teori Dependensi ini
mengatakan bahwa keterbelakangan justru merupakan hasil dari kontak yang diadakan oleh
negara-negara berkembang dengan negara-negara maju (Budiman, dalam : Frank, 1984: xii-
xiii).
Asumsi dasar dari teori Dependensi mencakup: (1) Keadaan ketergantungan dilihat
sebagai suatu gejala yang sangat umum, berlaku bagi seluruh negara dunia Ketiga; (2)
Ketergantungan dilihat sebagai kondisi yang diakibatkan oleh ‘faktor luar’; (3) Permasalah
ketergantungan lebih dilihat sebagai masalah ekonomi, yang terjadi akibat mengalirnya
surplus ekonomi dari negara dunia Ketiga ke negara maju; (4) Situasi ketergantungan
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses polarisasi regional ekonomi global; dan
(5) Keadaan ketergantungan dilihatnya sebagai suatu hal yang mutlak bertolak belakang
mungkin lebih banyak dari sanggahan terhadap teori Modernisasi (Suwarsono-So, 1991:
137). Salah satu persoalan yang luput dari perhatian teori Dependensi adalah kurangnya
menjaga stabilitas pemerintahan jajahan, dan pemerintahan ini tidak akan pernah dibentuk
Masalah yang terjadi pada masyarakat Indonesia pada pertengahan tahun 1998, yang
pertama dipicu dari krisis ekonomi kemudian berkembang menjadi berbagai krisis lainnya,
sehingga akhirnya sampai pada krisis kepercayaan. Fenomena ini memuat dua dimensi
permasalahan : secara internal orang tidak lagi percaya kepada berbagai bentuk penguasaan
atas diri dan masyarakatnya, dan secara eksternal orang tidak percaya lagi kepada masyarakat
Indonesia. Demikian merosotnya harga diri bangsa Indonesia, sehingga bangsa ini sendiri
bertanya : siapa, apa, mengapa, dimana, dan bagaimana sebenarnya masyarakat Indonesia ini
?.
Clyde Kluckhohn (1961) membuat suatu kerangka orientasi sistem nilai budaya,
yaitu sebagai konsep yang menerangkan dasar-dasar sistem nilai budaya tentang masalah
pokok dari kehidupan manusia yang sifatnya universal. Secara umum Kluckhohn
menggambarkan bahwa dari masalah dasar sistem nilai budaya itu sekurangnya mencirikan
tiga bentuk masyarakat, (1) masyarakat tradisional, (2) masyarakat transisional, dan (3)
masyarakat modern.
Pada masa sebelum terjadinya berbagai krisis yang menimpa masyarakat Indonesia,
tidak sedikit orang Indonesia yang menyatakan bahwa secara umum masyarakatnya telah
modern, hal ini terlihat dengan banyaknya intelektual dikalangan masyarakat yang
menyatakan bahwa pendidikan tringgi bukan lagi barang asing untuk masyarakat Indonesia,
sarana dan prasarana yang memadai untuk kehidupan orang modern, juga tingkat hidup yang
Namun pandangan itu ternyata sirna begitu saja pada saat era reformasi digaungkan,
dalam banyak hal ternyata orang Indonesia bagaikan orang ‘primitif’ yang sedang mencari
bentuk; dalam kenyataannya, bentuk masyarakat Indonesia belum sampai pada bentuk yang
modern, mungkin masih transisional, bahkan mungkin masing tradisional. Pada bentuk
hakekat tentang karya misalnya, orientasi nilai budayanya cenderung menganggap bahwa
karya itu untuk mencapai suatu kedudukan, kehormatan, atau jabatan tertentu saja; bahkan
ada kecenderungan bahwa karya itu hanya sekedar untuk mencari nafkah hidup saja,
kenyataan mana tidak saja berlakku pada lapisan bawah atau menengah masyarakat, tetapi
Kecenderungan orientasi tentang karya ini ternyata paralel dengan persepsi manusia
tentang waktu, hanya sebagian kecil manusia Indonesia dan hanya sebagian aspek kehidupan
saja yang berorientasi ke masa yang akan datang; menyimpan padi di lubung (leuit :
komunitas Baduy) adalah perwujudan dari orientasi manusia ke masa yang akan datang,
namun tidak menunjukan orientasi yang bersifat menyeluruh dari aspek kehidupannya.
Jabatan atau kedudukan tertentu dalam masyarakat sifatnya tidak kekal, maka untuk menjaga
kehidupan setelah lepas masa jabatannya, orang dengan segala upaya berusaha
mengumpulkan segala sesuatu selagi masih berkuasa atau menjabat tanpa menghiraukan
Individulisme dalam pengertian manusia modern berarti adanya penilaian yang tinggi
dari masyarakat terhadap berbagai usaha diri sendiri sehingga menuntun manusia untuk
mandiri, bukan dalam arti hidup sendiri tanpa menghiraukan keberadaan manusia lain. Faham
ini kurang berkembang pada masyarakat Indonesia yang lebih menilai tingginya
kebersamaan, gotong royong (orientasi kolateral) dan ketergantungannya kepada figur atasan
atau senior (orientasi vertikal). Dengan nilai-nilai luhurnya, manusia Indonesia seolah-olah
digiring untuk tidak saling bersaing satu sama lain, bahkan mentabukan pertentangan dan
labih menilai tinggi nilai keharmonisan; bentuk mana kalau dilihat dari sudut perubahan dan
konsep modernisasi ini tidak seperti yang dimaksudkan oleh konsep itu sendiri. Karena itu
pula landasan berpikir dan penggunaan teori dalam konsep pembangunan masyarakat dengan
pembangunan yang telah dilakukan selama tiga dasawarsa itu bisa terpuruk seketika oleh
peristiwa moneter, yang keadaan itu bisa menunjukkan bahwa model pembangunan adalah
mungkin terlupakan bahwa teori ini bisa berlaku apabila keadaan masyarakat yang dibangun
itu bersifat homogen. Upaya untuk melakukan homogenisasi telah ditempuh melalui berbagai
wujud pembangunan ekonomi, termasuk usaha meningkatkan pendapatan masyarakat;
kualitas kehidupan pada umumnya. Homogenitas melalui pengembangan sektor ekonomi itu
terkesan dipaksakan dari kondisi yang heterogen, hal itu kemudian menjadikan pula
ketimpangan pembangunan antar daerah dan antar sektor. Modernisasi dilihat sebagai
pertumbuhan ekonomi belaka, yang melupakan pokok penting dalam kehidupan, yaitu
pembinaan budaya membangun dalam memenuhi kehendak dari gerak kehidupan tersebut.
dalam menerima modernisasi; salah satu akibat yang terjadi adalah anomi. Masyarakat sudah
menerima perubahan, namun di sisi lain masih banyak bentuk-bentuk tradisi lama yang
belum atau sukar untuk ditinggalkan sehingga kehidupan berlangsung diantara dua titik yang
Apabila mengacu pada teori David McClelland tentang the need for achievement (n-
Ach), maka tingkat perkembangan masyarakat sebenarnya bisa diukur dari besarnya
dorongan untuk berprestasi dalam masyarakat itu sendiri. Bentuknya bisa dari perbandingan
antara tingkat produksi dengan tingkat konsumsi, masyarakat yang tidak ‘membangun’
adalah suatu bentuk kehidupan yang tingkat konsumsinya lebih besar dari tingkat produksi.
Keberanian untuk mengambil resiko sepertinya tidak begitu dianggap bernilai tinggi pada
masyarakat Indonesia, bentuk yang paling umum dari keadaan ini yaitu mentalitas sebagai
pegawai (pegawai negeri) masih mendominasi bursa tata kepegawaian dibandingkan bentuk-
bentuk kemandirian lainnya. Bentuk dari rendahnya n-Ach ini adalah belum berkembangnya
kesadaran atau arti pentingnya tentang suatu tanggung jawab atau disiplin sebagai suatu
bentuk kesadaran dari keterlibatan fihak-fihak lain diluar kesadaran tentang dirinya sendiri.
Koentjaraningrat pernah memberikan satu solusi dari polemik ‘sikap mental orang
Indonesia umumnya belum siap untuk pembangunan’ pada satu acara seminar (1970),
pendekatan melalui teori Modernisasi untuk menganalisa proses pembangunan di atas. Pada
menekankan pada analisanya tentang sistem nilai yang hidup dalam masyarakat yang tidak
cocok dengan pembangunan atau ciri modern dari konsep modernisasi. Masalah tentang
sistem nilai dan pembangunan yang ada di Indonesia mengacu pada orientasi sistem nilai
dalam tulisannya ini Koentajraningrat membagi orientasi nilai budaya dalam dua belahan
Dikatakannya bahwa nilai budaya yang tidak mementingkan mutu atau prestasi,
orientasi waktu yang cederung ke masa lalu sehingga melemahkan motivasi orang untuk
menabung dan hidup hemat, menganggap hidup selaras dengan alam sehingga timbul konsep
tentang nasib, menjunjung tinggi nilai konformisme, orientasi hubungan manusia yang
vertikal sehingga menghambat hasrat untuk berdiri sendiri, tidak disiplin, kurang bertanggung
jawab, dan mentalitas menerabas sebagai produk setelah revolusi, adalah sebagai mentalitas
Dua orang pemerhati masalah pembangunan di Indonesia, Sritua Arief da Adi Sasono
(1984) berusaha melihat masalah pembangunan ini dari sisi yang berbeda dengan apa yang
sejarah yang lain tentang Indonesia, rentang weaktu kajian dimulai sejak diberlakukannya
sistem tanam paksa. Bagi mereka, pelaksanaan tanam paksa dijadikan sebagai ‘pangkal tolak
untuk melihat banguan struktural yang diwarisi Indonesia pada waktu negara ini merdeka’
Arief dan Sasono berpendapat bahwa sistem tanam paksa merupakan salah satu faktor
kemiskinan di Indonesia; selama masa tanam paksa tersebut telah terjadi pengalihan surplus
ekonomi dari Indonesia ke Belanda dalam jumlah yang sangat besar. Disamping itu tanam
paksa juga telah menjadikan semakin kecilnya jumlah petani yang berkecukupan, yang
dengan kata lain telah membantu memperbanyak kaum ‘proletariat desa’. Dalam proses
tanam paksa itu ternyata, fihak kolonial tidak ‘bekerja sendirian’, disini ada keterlibatan
pemerintah lokal dalam membantu ‘keberhasilan’ sistem tanam paksa. ‘Dalam proses
eksploitasi ini telah terjalin aliansi antara pemerintah kolonial Belanda di Indonesia …. Dan
fihak-fihak penguasa feodal di Indonesia….’; pertalian kerja sama yang demikian tidak sulit
untuk terjadi, keadaan mana membuat kaum aristokrat dan kaum feodal Indonesia
memperoleh keuntungan ekonomis’ sekalipun jika dicermati, amat jauh lebih kecil bila
Dalam kajian kurun waktu yang berbeda Arief dan Sasono mencoba menguji proses
ekonomi pemerintahan orde baru; obyek kajiannya menggunakan lima tolok ukur, yang
akhirnya pada suatu kesimpulan bahwa situasi ketergantungan dan keterbelakangan sebagian
besar telah atau sedang mewujud di Indonesia (Arief-Sasono, 1991: 134). Lima tolok ukur
antara kelompok yang mampu dan kelompok yang tidak mampu dengan ciri golongan
miskin ternyata menjadi semakin miskin; keadaan ini bisa terjadi karena hancurnya
pertanian dengan tidak diimbangi oleh timbulnya peluang kerja di sektor industri di
perkotaan;
kedua, penyerapan tenaga kerja, Industri yang dikembangkan dengan semangat teknologi
padat modal ternyata ‘tidak banyak menyerap tenaga kerja’, sementara sektor pertanian
yang telah mengalami derasnya proses mekanisasi tidak lagi mampu menampung tenaga
kerja sebesar yang pernah dimiliki pada masa sebelumnya. Dalam keadaan yang
demikian, maka tenaga kerja tidak memiliki pilihan lain yang tersedia, kecuali tterjun
proses industri subtitusi impor yang dikembangkan memiliki sifat ketergantungan modal
dan teknologi asing yang tinggi, dengan demikian pertumbuhan ekonomi yang terjadi
bukan merupakan pertumbuhan ekonomi yang bersentrum kedalam negeri, dan tidak
keempat, pembiayaan pembangunan, karena sifat pertumbuhan ekonomi yang dimiliki dan
model industrialisasi yang dipilih, mau tidak mau, hanya memiliki satu pilihan yaitu
kebutuhan untuk selalu memperoleh modal asing, fenomena yang jelas menggambarkan
kelima, persediaan bahan makanan, bahwa sampai akhir tahun 1970 ternyata bangsa
bila banyak dijumpai kebijaksanaan yang mengarah pada pencapaian tujuan ini.
4. Kesimpulan dan Penutup
Satu hal yang menarik dalam kajian dari masalah-masalah sosial adalah terbukanya
kemungkinan berbagai disiplin ilmu yang ternaung dalam rumpun ilmu-ilmu sosial uantuk
melakukan kajian terhadap satu persoalan yang sama menurut kerangka pendekatan masing-
dikembangkannya, fenomena ini sebenarnya secara tidak lengsung sebagai tanggapan dari
pandangan Thomas Khun (1966) tentang paradigma ilmu pengetahuan dalam ‘The Structure
Of Scientific Revolution’ (Ritzer, 1992: 4). Banyaknya pendekatan terhadap satu masalah
yang selama ini sebenarnya memberikan keuntungan bagi perkembangan ilmu sosial secara
umum karena : (a) masalah itu dapat ditempatkan dan diterangkan secara proporsional dan
obyektif; (b) setiap bidang ilmu saling berkontribusi dan melengkapi kekurangannya masing-
masing; (c) teori-teori yang berkembang dalam ilmu sosial menjadi semakin kokoh.
Bangsa Indonesia tidak bisa luput dari fenomena pembangunan, cepat atau lambat,
besar atau kecil, mudah atau sukar, proses pembangunan ini perlu untuk dilakukan. Berbagai
cara untuk mencapainya diupayakan, yaitu dengan pemanfaatan secara optimal segala aspek
sumber daya manusia dan sumber daya alam yang ada, sehingga mempunyai peran penting
dalam lingkup lokal maupun global; sedemikian jauh jarak antara perbedaan tingkat
kehidupan antara masyarakat Indonesia dengan masyarakat negara maju lainnya, sehingga
tegas, bahwa perubahan masyarakat Indonesia itu harus mengacu pada nilai-nilai
masyarakat Barat (Alisyahbana, 1988: 20), nilai-nilai mana yang dianggap ekstrim atau
bahkan tabu oleh sebagian besar warga masyarakat Indonesia. Analisa tentang proses
pembangunan itu tidak semudah pengerjaan di belakang meja dan menurut alur logika saja,
karena proses ini mengandung berbagai nilai-nilai dan perkembangan yang sulit untuk
termasuk kemiskinan, tidak saja diperlukan bantuan modal dari negara-negara maju, tetapi
negara itu disarankan untuk meninggalkan dan mengganti nilai-nilai tradisional dan
kemudian melembagakan demokrasi politik (Garna, 1999: 9); justru disinilah letak
bahwa tradisi dan nilai-nilainya harus memberikan nuansa kepada keadaan modern yang
Sebenarnya baik teori Modernisasi maupun teori Dependensi memiliki perhatian dan
keprihatinan yang sama tentang masalah pembangunan Dunia Ketiga, dan berupaya
penghapusan kemiskinan. Kedua perpektif ini memiliki dan mengembangkan struktur teori
yang dwikutub (Suwarsono-So, 1991: 114); teori Modernisasi menyebutnya sengan istilah
Perbedaan antara teori Modernisasi dan teori Dependensi mungkin tidak akan
menemukan titik temu bila teori-teori pendukungnya bersifat statis; salah satu faktor yang
menyebabkan teori itu kemudian berkembang, yaitu karena mereka banyak mendapatkan
kritik baik dikalangan mereka sendiri maupun dari pendekatan teori yang lain (Suwarsono-
So,1991: 131-132). Adalah bijaksana apa yang dikemukakan Michael R. Dove (1988)
sebagai salah seorang pendukung teori kdernisasi yang mengatakan bahwa tradisional tidak
harus berarti keterbelakangan, budaya tradisional itu sangat dan selalu terkait dengan proses
perubahan ekonomi, sosial, dan politik dari masyarakat pada tempat mana budaya tradisional
itu melekat, dengan demikian budaya tradisional tidak menganggu proses pembangunan
(Dove, dalam: Suwarsono-So, 1991: 66). Atau menyimak pendapat Cardoso (1973) sebagai
berkembang yang mengadakan kontak dengan negara maju bisa berkembang ekonominya,
tetapi perkembangan itu hanya merupakan bayangan atau sertaan dari perkembangan
ekonomi negara-negara maju, sumber dari perkembangan itu sendiri tidak terletak dalam
Alatas, S.H. 1988. Mitos Pribumi Malas: Citra Orang Jawa, Melayu Dan Filipina Dalam
Kapitalisme Kolonial. Jakarta: LP3ES
Budiman, Arif (terj.) Frank, Andre Gunder. (1984). Sosiologi Pembangunan Dan
Keterbelakangan Sosiologi, Jakarta: Pustaka Pulsar.
Budiman, Arif. (1995) Teori Pembangunan Dunia Ketiga. Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama.
Garna, Yudistira K. ed. (1993). Tradisi Transformasi Modernisasi dan Tantangan Masa
Depan di Nusantara. Bandung: Program Pascaasarjana Universitas Padjadjaran.
Garna, Yudistira K. (1999). Teori Sosial Dan Pembangunan Indonesia : Suatu Kajian
Melalui Diskusi. Bandung: Primaco Academika.
Ritzer, George. (1992). Sosiologi Ilmu Pengetahuan Berparadigma Ganda, Jakarta: Rajawali
Pers
So, Alvin Y-Suwarsono. (1991). Perubahan Sosial Dan Pembangunan Di Indonesia, Teori-
Teori Modernisasi, Dependensi, Dan Sistem Dunia; Jakarta: LP3ES.
Weiner Myron. Ed. (1994). Modernisasi Dinamika Pertumbuhan, (terj.). Yogyakarta: Gajah
Mada University Press.