Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Sejarah Peradilan Di Masa Abbasiyah

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 22

Daftar Isi

A. Sekilas Tentang Sejarah Bani Abbasiyah......................................................................................2

B. Awal Mulanya Lembaga Qadh al-Qudha’.....................................................................................3

C. Peradilan Masa Abbasiyah.............................................................................................................6

1. Sumber Hukum dan Independensi Hakim.................................................................................7

2. Qadhi al-Qudha..........................................................................................................................8

3. Wewenang Hakim.................................................................................................................11

D. Kebijakan Politik Pemerintah Lembaga Peradilan.......................................................................12

a) Fungsi Hakim di Luar Lembaga Peradilan...............................................................................15

a. Nazhar al-Mazhalim............................................................................................................15

b. Lembaga Hisbah................................................................................................................16

E. Beberapa Perubahan dalam Bidang Peradilan..............................................................................17

1. Reformasi Peradilan.................................................................................................................17

1. Wewenang Mengangkat Hakim...............................................................................................19

F. KASUS HUKUM........................................................................................................................20

DAFTAR PUSTAKA..........................................................................................................................22

1
A. Sekilas Tentang Sejarah Bani Abbasiyah
Dinasti Abbasiyah merupakan kelanjutan dari Dinasti Bani Umayah. Dinamakan
Abbasiyah karena pendiri Dinasti ini adalah keturunan dari al-Abbas1 paman Nabi
Muhammad SAW, dan kekuasaan Bani Abbasiyah ini berlangsung dalam rentang
waktu yang panjang dari tahun 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M2.

Abu al-Abbas al-Safah (750-754 M) adalah pendiri Dinasti Bani Abbas. Akan
tetapi karena kekuasaannya sangat singkat, Abu Ja’far al-Manshurlah (754-775 M)
yang banyak berjasa dalam membangun pemerintahan dinasti ini. Pada 762 M, Abu
Ja’far al-Manshur memindahkan ibukota dari Damaskus ke Hasyimiyah, kemudian
dipindahkan lagi ke baghdad dekat dengan Ctesiphon, bekas ibu kota Persia. Oleh
karena itu, ibu kota pemerintahan Dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah bangsa
Persia3

Abu Ja’far al-Mansur sebagai pendiri Dinasti Abbasiyah setelah Abu Abbas al-
Saffah, digambarkan sebagai orang yang kuat dan tegas. Ditangannyalah Abbasiyah
mempunyai pengaruh yang kuat. Pada masa pemerintahannya Bagdad sangatlah
disegani oleh kekuasaan Byzantium. Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan
yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.

1
Dinasti Abbasiyah didirikan oleh Abu al-Abbas bin Abdul Muthallib bin Hasyim. Para pemimpinnya
disebut khalifah, tetapi derajatnya lebih tinggi dari gelar khalifah di zaman Dinasti Umayah. Khalifah-
khalifah Abbasiyah menempatkan diri mereka sebagai zhilullah fi al-ardh (bayang-bayang Allah di bumi).
Endnotes Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia, (Jakarta:
Kencana, 2008), hlm. 160, mengutip dari Ali Abd. Al-Raziq, Al-Islam wa Ushul Al-Hukum, (Mesir: al-
Qahirah, 1925), hlm. 7. Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2000),
hlm. 49-50.
2
Khairul Asyifak, Sejarah Peradilan Islam di Masa Abbasiyah, (Media Resmi FAI Unisma Malang)
3
Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003)hlm. 22

2
Berdasarkan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasanya
membagi masa pemerintahan Daulah Abbas menjadi lima periode:

1. Periode Pertama (132 H/750 M - 232 H/847 M), disebut periode pengaruh
Arab dan Persia pertama.
2. Periode Kedua (232 H/847 M - 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turki
pertama.
3. Periode Ketiga (334 H/945 M - 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani
Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga
masa pengaruh Persia kedua.
4. Periode Keempat (447 H/1055 M - 590 H/l194 M), masa kekuasaan
daulah Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut
juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk
Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).
5. Periode Kelima (590 H/1194 M - 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari
pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar
kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa keemasannya.
Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan merupakan pusat
kekuasaan politik dan agama sekaligus. Namun setelah periode ini berakhir,
pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam bidang politik, meskipun filsafat dan
ilmu pengetahuan terus berkembang4

B. Awal Mulanya Lembaga Qadh al-Qudha’


Luasnya kekuasaan Bani Abbasiyah mengakibatkan munculnya berbagai
persoalan kehidupan. Pada masa saat ini sebagaimana dikatakan T.M. Hasbi ash-
Shiddieqy, muncullah istilahaat fiqhiyyah (istilah-istilah fiqh) yang melahirkan
ulama-ulama fiqh dan mazhabnya.5

4
Miftakhul Arif, Hukum Islam dan Sistem Peradilan Era Abbasiyah , Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam
, Vol. 1 No 2, Desember 2011
5
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970), hlm. 32. Mazhab
adalah pendapat, kelompok, aliran yang bermula dari pemikiran atau ijtihad seorang imam dalam memahami
sesuatu, baik filsafat, hokum (fiqh), teologi, maupun politik. Lebih lanjut baca Ensiklopedi Islam,Jilid 5, (Jakarta:
PT Ichtiar Baru Van Hoeve, 2005), hlm. 5.

3
Fokus perhatian ulama fikih dan mazhab pada masa ini adalah masalah
kehakiman (peradilan). Diantaranya adalah :

1. Hukum membentuk lembaga peradilan dan pengangkatan qadhi.


2. Hukum mewilayahi peradilan (hak menjabat jabatan qadhi).
3. Hukum berusaha supaya dijadikan qadhi dan mengendalikan kehakiman.
4. Menentukan keahlian para qadhi.
5. Menetapkan sifat-sifat qaadhi.
6. Pekerjaan-pekerjaan qadhi (kewajiban-kewajiban qadhi) dalam persidangan.
7. Pegangan qadhi dalam menetapkan hokum.
8. Masalah yang berkaitan (berpautan) dengaan kehaakiman qadhi (hakim).
Lahirnya istilah atau kedudukan qadhi al-qudat (hakim agung). Qodhi al-qudat
berkedudukan di ibu kota negara. Dialah yang mengangkat hakim-hakim daerah.
Qadhi al-qudat yang pertama ialah Abu Yusuf Ya’qub b. Ibrahim (w. 798 M),
penyusun kitab al-Kharraj. hal ini terjadi di masa Harun al-Rashid, yang memang
sangat memuliakan Abu Yusuf dan memperhatikan keadaan hakim dan gerak-gerik
mereka. Harun al-Rashid merupakan khalifah pertama yang menukar pakaian ulama
dan memberikan kepada mereka pakaian khusus.6Seorang hakim pada masa ini
mengenakan ‘amamah (serban yang melilit kepala) hitam yang diikatkan pada topi
hitam panjang yang melekat di kepalanya, di samping juga mengenakan jubah hijau
khas persi ( taylasan ).
Di masa Abbasiyah peradilan dibentuk sebagai instansi tersendiri. Dengan
tindakan ini, maka hakim-hakim itu mempunyai daerah-daerah tertentu di bawah
pengawasan qadhi al-qudat yang mengatur lembaga peradilan ini. Kemudian di waktu
daerah-daerah Islam satu demi satu melepaskan diri dari pemerintahan Baghdad,
maka tiap-tiap daerah itu, diangkat pula qadhi al-qudat. Di Andalusia, qadhi al-qudat
ini dinamai qadhi al - jama’ah , yang berwenang mengangkat hakim-hakim daerah.
Pada awal mulanya persidangan dilakukan di masjid. Kemudian umat Islam merasa
bahwa yang demikian itu tidak sesuai dengan kehormatan masjid, akhirnya khalifah
al-Mu’tad}ad{ melarang para hakim untuk menjalankan proses sidang di masjid.
Tidak hanya di masjid, terkadang seorang hakim juga menjalankan proses
persidangan di rumahnya.

6
Muhammad Hasby Ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam , 24.

4
Pada perkembangan selanjutnya persidangan-persidangan pengadilan diadakan
di suatu majelis yang luas, yang memenuhi syarat kesehatan dan dibangun di tengah-
tengah kota, dengan menentukan pula hari-hari yang dipergunakan untuk sidang
pemeriksaan perkara. Para hakim tidak dibenarkan memutuskan perkara di tempat-
tempat yang lain. Dalam waktu ini pula diadakan beberapa perbaikan, seperti
menghimpun putusan-putusan secara teliti dan sempurna, serta mendaftarkan pula
wasiatwasiat dan hutang-piutang. Hakim memiliki wewenang untuk menangani
masalah-masalah perdata, wakaf dan menunjuk pengampu (kurator) untuk anak-anak
yang di bawah umur. Bahkan kadang-kadang hakim juga diserahi urusan-urusan
kepolisian, penganiayaan (mazalim) yang dilakukan oleh penguasa, qishas , hisbah ,
pemalsuan mata uang dan baitulmal (kas negara). Dalam hal ini Ibn Khaldun, seperti
dikutip Hasby, mengatakan bahwa kedudukan peradilan selain menyelesaikan
perkara-perkara sengketa, bertugas juga memelihara hak-hak umum, memperhatikan
keadaan anak-anak yang di bawah umur, orang yang tak cakap bertindak secara
hukum, seperti anak yatim, orang gila, orang pailit dan sebagainya dan mengurus juga
harta-harta wasiat, wakaf, menjadi wali bagi wanita-wanita yang tidak berwali dan
memperhatikan kemaslahatankemaslahatan lalu lintas, pembangunan-pembangunan
dan memeriksa keadaankeadaan saksi, agar dapat diketahui mana saksi yang adil dan
mana yang tidak adil.
Al-Mawardi membedakan dua jenis jabatan hakim, hakim yang otoritasnya
bersifat umum dan absolut (‘ammah mutlaqah), dan hakim yang otoritasnya bersifat
khusus dan terbatas ( khassah ). Tugas utama seorang hakim jenis pertama adalah
memutuskan kasus, menjadi wali anak yatim, orang sakit mental dan anak kecil serta
tugas-tugas lainnya sebagaimana yang telah dikemukakan di atas.
Ada tiga institusi yang berhak menjabat sebagai qadhi menurut Ibnu Farhun
dalam Tabshiratul Hukkam seperti dikutp oleh T.M. Hasbi ash-Shiddieqy,yaitu :
a. Khalifah. Dengan asumsi khalifah itu adalah orang yang cerdas dan bijaksana,
khalifah wajib ahli dalam menyelesaikan perkara;
b. Wazir, adalah pejabat pemerintahan setingkat menteri. Wazir berhak menjadi
qadhi dalam menyelesaikan perkara apabila diberi kewenangan atau ditunjuk
lansung oleh khalifah. Hal ini berlaku apabila wazir memiliki keahlian dalam
hal kehakiman.
c. Amir, merupakan penguasa daerah setingkat gubernur yang ditunjuk langsung
oleh khalifah. Sebagai khalifah di daerah, amir juga berhak menjadi qadhi

5
dalam rangka menyelesaikan perkara-perkara yang terjadi di tengah umat yang
dipimpinnya.

Sementara itu, dalam pandangan fikih islam secaraa umum, hakim mesti
memiliki sifat-sifat sebagai berikut :

a. Harus orang dewasa


b. Seorang yang berakal
c. Muslim
d. Adil, yaitu benar sikapnya, jelas amanatnya,menjaga diri dari hal-hal yang
haram, dan aman dalam ridha ketika marah
e. Mengetahui hokum-hukum syariah, baik dasar-dasar syariah maupun
cabang-cabangnya
f. Sehat pendengarannya, penglihatannya, dan ucapannya.

Pada masa pemerintahan Abbasiyah, qadhi diangkat oleh khalifah dari kalangan
ulama yang memiliki sifat-sifat sebagaimana digambarkan di atas dengan gelar qadhi
al-qudha’. Orang yang pertama menjabat dan mendapatkan sebutan ini adalah Abu
Yusuf, seorang murid yang juga sahabaat dari Imam Abu Hanifah.

C. Peradilan Masa Abbasiyah


Perubahan lain yang terjadi pada masa Daulah Abbasiyah adalah para
hakim tidak lagi berijtihad dalam memutuskan perkara, tetapi mereka
berpedoman pada kitab-kitab mahab yang empat atau mahab lainnya. Dengan
demikian, syarat hakim harus mujtahid sudah ditiadakan. Kemudian, organisasi
kehakiman juga mengalami perubahan, antara lain telah diadakan jabatan
penuntut umum (kejaksaan) disamping telah dibentuk instansi diwan qadhi al-
qudhah, sebagai berikut

a. Diwan Qadhi al-Qudhah (fungsi dan tugasnya mirip dengan


Departemen Kehakiman) yang dipimpin oleh qadhi al-qudhah (Ketua
Mahkamah Agung). Semua badan-badan pengadilan dan badan-badan
lainyang ada hubungan dengan kehakiman berada di bawah diwan
qadhi al-qudhah.
b. Qudhah al-Aqaali (hakim provinsi yang mengetuai Pengadilan
Tinggi)
6
c. Qudhah al-Amsaar (hakim kota yang mengetuai Pengadilan Negeri;
al-Qudhau atau al-Hisbah).
d. Al-Sulthah al-Qadhaiyah, yaitu jabatan kejaksaan ibu kota negara
dipimpin oleh al-Mudda’il Ummy (Jaksa Agung), dan tiap-tiap kota
oleh Naib Ummy (Jaksa)7.

1. Sumber Hukum dan Independensi Hakim


Jika pada masa Nabi perkara itu dengan mudah bisa diputuskan oleh
beliau karena memang sumber hukum berasal dari diri beliau, baik Al-Qur’an
maupun Hadits, maka pada masa Dinasti Abbasiyah sumber hukum lebih
bervariasi. Disamping Al-Qur’an dan Hadits, sumber hukum yang banyak
digunakan oleh hakim kala itu adalah yurisprudensi atau preseden hukum yang
ditinggalkan oleh hakim-hakim sebelum mereka. Tidak dapat dipungkiri sebelum
ini, hakim-hakim Umayah telah memutus berbagai persoalan baik yang ada
ketentuannya dalam nash maupun belum. Di samping itu, berkembangnya
pemikiran hukum yang digagas oleh para imam mazhab, semakin memperkaya
rujukan hakim dalam memeriksa dan memutus perkara di sidang-sidang
pengadilan yang mereka jalani. Perlu juga dicatat bahwa hakim kala itu di
samping memiliki keahlian dalam memeriksa dan memutuskan perkara, mereka
juga fuqaha yang ahli baik dalam epistimologi hukum Islam maupun ilmu-ilmu
yang lainnya.

Dari segi kebebasan berpendapat dan memutuskan perkara, kondisi hakim


pada masa ini lebih baik daripada masa-masa sebelumnya. Hakim memiliki
kebebasan untuk melakukan interpretasi terhadap teks yang masih ‘am, mutlaq,
yang memerlukan penafsiran huku. Khalifah tidak berhak membatasi kebebasan
pemikiran hakim tersebut dan tidak ada satu fuqaha ataupun satu mujtahid yang
bisa melarang seorang hakim berijtihad atau memberi fatwa terhadap suatu
peristiwa hukum yang diajukan kepadanya. Kebebasan itu pada akhirnya memang
berwujud pada kompleksitas teks hukum yang dijadikan sebagai rujukan atau
dasar putusan dalam lingkungan peradilan.

Dalam rangka menghindari pengulangan pemeriksaan perkara yang


sama/yang pernah diajukan dan dalam rangka mencari kepastian hukum,

7
Hasjmy, sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5, hlm. 234-235

7
keputusan-keputusan hukum itu lantas diregistrasi oleh pengadilan. Orang yang
pertama kali melakukan pencatatan putusan pengadilan itu adalah Salim bin
Anas, hakim Mesir yang kala itu menemui perkara yang sudah diputusnya namun
diajukan lagi kepadanya8.

Adapun sumber hukum yang digunakan oleh para hakim dan ulama
adalah:

a. Kitabullah (Al-Qur’an al-Karim)


b. Sunnah Mutawatirah
c. Sunnah yang tidak Mutawatir (Ahad) yang diterima baik oleh para
sahabat.
d. Fatwa-fatwa Fuqaha’ Sahabat9.

2. Qadhi al-Qudha
Meskipun secara politis qadhi al-qudha’ diangkat dan kedudukannya
berada di bawah sultan, akan tetapi sebenarnya ia adalah penyeimbang kekuasaan
sultan dan pelaksana kekuasaan lainnya, seperti diwan dan wizarat. Mengingat
sultan sebagai pemegang kekuasaan tertinggi, tidak mungkin melaksanakan
seluruh kekuasaan negara. Karena itu beberapa kekuasaan eksekutif kemudian
didelegasikan kepada pelaksana kekuasaan lainnya10.

Imam al-Mawardi dalam bukunya al-Ahkam al-Sulthaniyah, merinci


sepuluh tugas kekuasaan yudikatif, yatu:

1. Memutus atau menyelesaikan perselisihan, pertengkaran atau konflik


dengan mendamaikan kedua belah pihak yang berperkara secara
sukarela atau memaksa keduanya berdamai.
2. Membebeaskan orang yang tidak bersalah dari sanksi dan hukuman
serta memberikan sanksi kepada yang salah.
3. Menetapkan penguasaan harta benda orang yang tidak bisa menguasai
sendiri karena gila, masih kanak-kanak atau idiot.
8
Khairul Asyifak, Sejarah Peradilan Islam di Masa Abbasiyah, (Media Resmi FAI Unisma Malang)
9
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ( Semarang: Pustaka Riski Putra, 1997),
hlm. 32
10
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 163

8
4. Mengelola harta wakaf dengan menjaga, mengembangkan, dan
menahannya serta mengalokasikannya ke posnya (pemanfaat).
5. Melaksanakan wasiat berdasarkan syarat bahwa pemberi wasiat dalam
hal yang diperbolehkan oleh syara’ dan tidak melanggarnya.
6. Menikahkan gadis-gadis dengan orang-orang yang sekufu (level) jika
mereka tidak mempunyai wali dan sudah masuk usia menikah.
7. Melaksanakan hudu kepada orang yang berhak menerimanya. Jika
menyangkut hak Allah SWT, ia melaksanakannya tanpa penggugat,
jika telah terbukti atas pengakuan dan barang bukti. Jika menyangkut
hak manusia pelaksanaan hudud ditentukan oleh permintaan
penggugat.
8. Memikirkan kemaslahatan umat dengan melarang segala gangguan di
jalan dan halaman rumah.
9. Mengawasi para saksi dan pegawainya serta memilih orang yang
mewakiliya, jika mereka jujur, kredibel, dan istiqamah, ia
mengangkatnya,dan jika berkhianat, maka diganti dengan pejabat
baru.
10. Menegakkan kesamaan di depan hukum antara orang yang kuat dan
lemah, dan menegakkan keadilan dalam readilan baik bagi orang
bangsawan maupun rakyat biasa.
Selain itu dalam sejarah Islam yang bisa menduduki jabatan Hakim
Agung adalah golongan ulama yang telah lama mengabdi di bidang yurisdiksi
Islam dan merupakan tokoh yang teguh pendirian. Para hakim agung dari
berbagai mazhab, selain mengajar ilmu agama di sekolah dan menjadi khatib di
masjid, mengabdi pada salah satu komponen pengadilan, yakni diwan al-
mahalim, al-hisbah, dan al-‘askariyah. Secara umum kewenangan badan-badan
peradilan yang berada di bawah naungan Mahkamah agung sebagai kekuasaan
yudikatif adalah:11
a. Al-Qadha’
Al-Qadha’ adalah lembaga yang berfungsi memberi
penerangan dan pembinaan hukum, menyelesaikan perkara sengkata,
perselisihan, dan masalah wakaf. Lembaga ini sudah dirintis sejak
11
Maadkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM (Surabaya; PT Bina
Ilmu, 1993). Cetakan ke- 4, hlm. 20

9
aman Rasulullah SAW, dan disempurnakan pada masa sesudahnya,
terutama Dinasti Umayah dan Abbasiyah. Pada masa ke dua dinasti
tersebut setiap perkata diselesikan dengan berpedoman pada mazhab
masing-masing yang dianut oleh masyarakat.
b. Al-Hisbah
Al-Hisbah adalah salah satu badan pelaksana kekuasaan
kehakiman dalam Islam yang bertugas untuk menegakkan kebaikan
dan mencegah kealiman. Pejabat badan hisbah disebut muhtasib.
Tugasnya menangani kasus kriminal yang penyelesaiannya perlu
segera, mengawasi hukum, mengatur ketertiban umum, mencegah
terjadinya pelanggaran hak tetangga serta menghukum orang yang
mempermainkan hukum syara’.
c. Al-Mahzalim
Al-Mahzalim adalah salah satu komponen peradilan yang
berdiri sendiri dan merupakan peradilan untuk mengurusi
penyelesaian perkara perselisihan yang terjadi antara rakyat dan
negara. Selain itu juga menangani kasus-kasus penganiayaan yang
dilakukan oleh pejabat tertinggi, bangsawan, hartawan, atau keluarga
sultan terhadap rakyat biasa. Secara operasional qadhi al-mazhalim
bertugas menyelesaikan masalah yang tidak dapat diputuskan oleh
diwan al-qadha’ dan diwann al-muhtasib, serta meninjau kembali
putusan yang dibuat oleh dua hakim tersebut atau menyelesaikan
perkara banding.
d. Al-Mahkamah Al-Askariyah
Selain tiga bidang peradilan di atas, pada masa pemerintahan
Bani Abbas juga dibentuk mahkamah/peradilan militer dengan
hakimnya adalah qadhi al-askar atau qadhi al-jund. Posisi ini sudah
ada sejak aman Sultah Shalahudiin Yusuf bin Ayub. Tugasnya adalah
menghadiri sidang-sidang di Dar al-Adl, terutama ketika persidangan
tersebut menyangkut anggota militer atau tentara12.

12
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana, 2008),
hlm. 166-169

10
3. Wewenang Hakim
Dalam ranah peradilan , Dinasti Abbasiyah telah banyak melakukan
terobosan penting dan berbagai kebijakan strategis. Sentralisasi kekuasaan
diterapkan di berbagai bidang, termasuk dalam pengangkatan dan pemberhentian
hakim, sehingga seluruh hakim yang ditugaskan di daerah-daerah merupakan
kewenangan pemerintah pusat. Melalui pendelegasian wewenang khalifah kepada
hakim agung, hakim – hakim di angkat dan diberhentikan oleh hakim agung (
qadhi al-qudhat ), sehingga hakim-hakim itu tidak lagi “bebas” , tetapi terkendali
dan terkontrol.

Adapun beberapa wewenang yang dimiliki oleh hakim agung ( qadhi al-
qudhah ), yaitu :

1) Mengangkat qadhi
2) Memecat qadhi
3) Menyelesaikan qadhi yang mengundurkan diri
4) Mengawasi hal ihwal qadhi
5) Meneliti putusan-putusan qadhi dan meninjau kembali putusan-putusan
tersebut
6) Mengawasi tingkah laku qadhi di tengah-tengah masyarakat
7) Mengawasi administratif dan pengawasan terhadap fatwa
8) Membatalkan suatu putusan hakim.

Pada masa pertama pemerintahan Bani Abbasiyah berkuasa, wewenang


hakim tampaknya bertambah luas. Wewenang hakim tidak sekedar mengawasi
perkara-perkara perdata dan pidana saja, tetapi juga berwenang dalam
menyelesaikan gugatan perkara masalah wakaf, dan penunjukkan wali-wali.
Selain itu, berwenang pula dalam wilayah kepolisian (al-syurthah), mazalim,
qishash, hibah, percetakan mata uang, dan bait al-mal .

1) Penyelesaian orang-orang yang berperkara


2) Urusan-urusan umum tertentu yang beragama Islam ( termasuk di dalamnya
mengawasi harta orang sakit ingatan, harta anak yatim, harta orang
bangkrut , dan harta orang yang tidak berwenang )
3) Mengawasi wasiat, harta wakaf, menikahkan perempuan yang tidak
berwali, mengawasi jalan-jalan dan rumah-rumah penduduk
11
4) Memeriksa para saksi, pengacara, dan wakil dalam peradilan
5) Terkadang pemimpin tentara juga diserahkan kepada hakim

D. Kebijakan Politik Pemerintah Lembaga Peradilan


Keberadaan peradilan pada masa ini sesungguhnya meneruskan tradisi dan
kebijakan yang telah dijalankan oleh dinasti sebelumnya yakni masa kekuasaan
Umayah . Sebagamana Umayah yang melebarkan kekuasaannya ke berbagai penjuru
kawasan, Abbasiyah juga memperluar kekuasannya dan sekaligus membentuk
pemerintah daerah di berbagai tempat. Pemerintah daerah yang didirikan itu antara
lain bertugas mengelola secara administratif kawasan-kawasan yang baru ditaklukan .

Ketika kendali pemerintahan dipegang oleh Dinasti Abbasiyah , kemajuan


peradaban telah semakin meluas. Agama Islam sudah berkembang ke berbagai daerah,
para fuqaha telah berpencar ke berbagai negeri serta bermacam-macam kasus dan ha
ihwal umat Islam telah banyak pula yang terjadi dan berkembang. Karena itu maka
terjadilah perbedaan pendapat di antara ahli-ahli fiqih. Keadaan ini membawa akibat
pada meluasnya lingkaran peradilan.

Perkembangan kekuasaan kehakiman pada masa Disnati Abbasiyah


mengalami kemajuan. Tidak hanya pembenahan terhadap sarana peradilan, akan
tetapi sudah mulai disusun hukum materil yang akan digunakan oleh hakim sebagai
dasar pengambilan keputusannya. Awalnya, yang digunakan adalah kitab al-
Muwaththa karya Imam Malik. Namun Imam Malik sendiri menolak dengan alasan
masih banyak hadits Rasulullah SAW, yang tersebar di beberapa kota13.

Pada masa ini hukum Islam mengalami perkembangan yang begitu hebat.
Perkembangan ini disebabkan oleh; Pertama, banyaknya mawali yang masuk islam.
Semua di mulai pada masa Khalifah Harun ar-Rasyid pada tahun 787 M, sebelumnya
ia belajar di Persia sehingga ia cinta dan gemar pada ilmu pengetahuan dan filsafat.
Pada masanyalah kemajuan dicapai dan dimulai pula penerjemahan buku-buku
Yunani ke dalam bahasa Arab serta berkembangnya organisasi peradilan. Kedua,
kemajuan ilmu pengetahuan menyebabkan berkembangnya pemikiran . Ketiga, umat
Islam berupaya melestarikan Al-Qur’an dengan dua cara , yaitu dicatat dan dihafal.

13
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 152

12
Khalifah Abu Ja’far al-Mansur sangat menjunjung tinggi kebebasan berpikir,
sehingga terutama di Baghdad, pergerakan ilmu pengetahuan semakin berkembang
pesat. Pembukuan hadits sudah dimulai masa Umar bin Abdul Aziz, kemudian pada
masa itu khalifah selanjutnya menganjurkan kepada Ulama untuk membukukan
berbagai ilmu pengetahuan. Masa ini lahirlah istilah-istilah fikih dan lahir pula
mazhab-mazhab fikih.

Setidaknya ada 13 aliran yang muncul pada masa ini. Namun, tidak semua
aliran itu dapat diketahui dasar-dasar dan metode istinbath hukumnya. Aliran/mazhab
hukum Islam yang terkenal dan masih ada pengikutnya hingga sekarang adalah 4
mazhab yang utama14

Keadaan ini berpengaruh pula pada keputusan-keputusan para qadhi dalam


memutuskan perkara, sehingga seorang qadhi di Irak memutuskan perkara dengan
berpedoman pada mazhab Hanafi, di Syam dan Maghribi hakim memutuskan perkara
berdasarkan pada mazhab Maliki, dan di Mesir hakim memutuskan perkara
berpdoman pada Mazhab Syafi’i15. Sehingga yang terjadi apabila ada dua pihak yang
berperkara yang bukan dari pengikut mazhab yang termasyhur di negeri itu, maka
ditunjuklah seorang qadhi yang akan memutuskan perkara itu sesuai dengan mazhab
yang di ikuti oleh kedua pihak yang berperkara. Sehingga pada masa pemerintahan
Harun al-Rasyid dibentuk suatu jabatan penting dalam pemerintahannya yang disebut
dengan Qadhi al-Qadha’ (Hakim Agung).

Persaingan ilmu dan perkembangan ilmu pengetahuan begitu ketat pada masa
itu, seperti ilmu qira’at, tafsir, fiqh, ushul fiqih, hadits, filsafat, kedokteran, termasuk
juga kegiatan penerjemahan.

Pada masa awal berdirinya, para khalifah Dinasti Abbasiyah masih terlihat
ikut campur tangan dalam keputusan-keputusan hukum yang dibuat oleh badan-badan
peradilan. Khalifah bertugas mengawasi dan mengontrol pekerjaan hakim, jika
terdapat hakim yang melanggar dan menyimpang dari tugasnya, maka khalifah segera
memecatnya. Akan tetapi, semenjak berkembang dan munculnya imam-imam
mujtahid, kondidi seperti itu lambat laun mulai berubah. Hal ini mengingat adanya

14
Basiq Djalil, Peradilan Islam, ( Jakarta; AMZAH, 2013 ), hal. 157
15
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Peradilan dan Hukum Acara Islam, ( Semarang: Pustaka Riski Putra,
1997), hlm. 22

13
beberapa pertikaian dan pertengkaran yang terjadi antara hakim-hakim dengan
pendapat pribadi mujtahid yang kadangkala berbenturan satu dengan lainnya.

Perlu dicatat bahwa pada masa akhir kekuasaan Abbasiyah jumlah qadhi al-
qudhat tidak hanya satu, melainkan lebih dari satu. Hal ini disebabkan munculnya
beberapa pusat kekuasaan baru , baik Mesir (Dinasti Fathimiyah), di India (Dinasti
Mughal), di Iran (Dinasti Safawiy), di Teluk Balkan (Dinasti Iilkhan) sehingga di
masing-masing tempat itu terdapat seorang qadhi al-qudhat yang memiliki otoritas
hukum untuk menangani perkara banding yang diajukan kepadanya dalam batas
wilayah negeri tersebut. Bahkan pada masa Dinasti Mamluk di Mesir setiap mazhab
memiliki seorang qadhi al-Qudha yang wewenangnya hanya terbatas di kalangan
pengikut mazhabnya saja.

Perkembangan selanjutnya adalah pada masa pemerintahan Sultan Al-Azhir


Baybars (665 H/1267 M)16, di mana ia membentuk sistem peradilan yang
menggabungkan antara empat mazhab besar dan dikepalai oleh masing-masing Hakim
Agung. Hakim Agung mahab Syafi’i, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dari
yang lain. Karena selain menangani urusan yurisdiksinya , juga diserahi tanggung
jawab mengawasi penyantunan terhadap yatim piatu, pewakafan, dan menangani
masalah baitul mal. Sedangkan Hakim Agung yang lain mengurusi peradilan dan
fatwa bagi rakyat dari masing-masing mazhabnya. Dengan demikian, pada masa ini
Hakim Agung tidak hanya memiliki tugas memutus tugas-tugas lain di luar
yurisdiksinya 17 bahkan dapat memegang sampai tujuh jabatan sekaligus18.

Jika pada masa Khulafa al-rasyidin dan masa Umaya khalifah memegang
kekuasaan yudikatif dan eksekutif, maka pada masa ini khalifah tidak lagi terlibat
dalam urusan peradilan. Khalifah tidak lagi mengurus dan memeriksa perkara-perkara
yang diajukan oleh umat Islam ke pengadilan. Setiap perkara yang masuk ke
pengadilan, para hakim yang ditunjuk oleh khalifah-lah yang akan mengusut perkara

16
Beliau adalah salah seorang Sultan pada masa awal Dinasti Mamluk yang kepemimpinannya
diragukan oleh Qadhi al-Izz bin Abd al-Salam, mengingat ia belum memiliki akta merdeka sebagai hamba
(budak) yang dibeli. Namun setelah ia menerima bukti akta kemerdekaan dari Sultannya, al-Izz bin Abd. Al-
Salam kemudian memba’iatnya.
17
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia , ( Jakarta: Kencana,
2008), hlm. 153

18
Jabatan tersebut adalah katib al-sirr, nazir, nazir al-auqaf, syaikh, syahid, mu’id, mudarris, imam,
khatib, dan muqri’.

14
tersebut. Hal ini bisa dimengerti mengingat bahwa pada saat iu Khalifah abbasiyah
sedang giat-giatnya memikirkan persoalan politik baik dalam negeri maupun luar
negeri, sehingga tidak punya kesempatan lagi untuk membina peradilan secara
langsung. Sehingga yang terjadi adalah khalifah tidak lagi memiliki kemampuan
ijtihad dan keahlian dalam hukum Islam sebagaimana keahlian yang dimiliki oleh
empat khulafa’ al-rasyidun yang disamping sebagai seorang khalifah juga seorang ahli
hukum.

Pada akhirnya khalifah melepaskan diri dari campur tangan terhadap lembaga
peradilan itu, karena sesungguhnya pendapat hakim itu kebanyakan bukan murni
keputusan hukum, melainkan berupa pesan-pesan yang diinginkan oleh khalifah untuk
maksud-maksud tertentu. Demikianlah dapat disimpulkan bahwa pada awalnya
Dinasti Abbasiyah berusaha mengendalikan setiap putusan yang dijatuhkan oleh
peradilan, akan tetapi pada masa-masa berikutnya berbagai faktor campur tangan itu
akhirnya ditinggalkan. Khalifah akhirnya hanya membuat regulasi yang sifatnya
umum dan formalitas belaka, seperti pengangkatan hakim-hakim daerha yang setiap
hakim itu pada akhirnya memiliki otoritas dan independensi yang tinggi.

a) Fungsi Hakim di Luar Lembaga Peradilan


Di luar lembaga yudikatif, hakim juga memiliki fungsi antara lain:

a. Nazhar al-Mazhalim
Nazhar al-Mazhalim adalah lembaga peradilan yang menangani
masalah kezaliman penguasa serta keluarganya terhadap rakyat. Nazhar al-
Mazhalim juga melindungi masyarakat dari berbagai bentuk penganiayaan
penindasan maupun permusuhan dari badan-badan pemerintah baik di pusat
maupun di daerah. Peradilan ini bertujuan agar hak rakyat dapat
dikembalkan, serta dapat menyelesaikan persengketaan antara penguasa dan
warga negara19
Dalam kasus mazhalim, peradilan dapat bertindak tanpa harus
menunggu adanya suatu gugatan dari yang dirugikan. Artinya, apabila
mengetahui adanya kasus mazali, qadhi peradilan mazalim ini harus secara
langsung menyelesaikan kasus tersebut. Dengan demikian, peradilan
mazalim memiliki kekuasaan untuk hal sebagai berikut;

19
Faruq, Al-Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia, 2009).

15
1. Memeriksa dengan teliti sikap dan tingkah laku para pejabat beserta
keluarganya, mencegah terjadinya pelanggaran yang mungkin mereka
lakukan, dan mencegah kecenderungan mereka untuk bertindak tidak
jujur.
2. Memeriksa kecurangan para pegawai yang bertanggung jawab atas
pungutan dana untuk negara.
3. Memeriksa pejabat yang bertanggung jawab atas keuangan negara.
4. Memeriksa secara cermat penanganan dan penyaluran harta wakaf
dan kepentingan umum lainnya.
5. Mengembalikkan hak rakyat yang di ambil aparat negara20.
Secara khusus peradilan ini juga menangani perkara yang diadukan
sebagai berikut;
1. Gaji para buruh atau pekerja yang dibatalkan atau ditangguhkan
secara sepihak.
2. Harta yang diambil secara paksa oleh para penguasa, termasuk harta
yang disita negara.
3. Pembayaran gaji aparat negara.
4. Persengketaan terhadap masalah harta wakaf.
5. Keputusan hakim yang sulit dilaksanakan sehubungan dengan
lemahnya posisi peradilan.
6. Kasus yang tidak dapat diselesaikan oleh peradilan hisbah, sehingga
mengakibatkan terabaikannya kemaslahatan umum.
7. Pelaksanaan ibadah pokok, seperti shalat berjamaah, shlata jum’at,
shalat Id dan pelaksanaan haji.
8. Penanganan kasus mazlim, penetapan hukuman, dan pelaksanaan
keputusan tersebut21.

b. Lembaga Hisbah
Tugas Praktis lembaga in antara lain:
1. Menangani persoalan yang berkaitan dengan pengurangan dan ukuran
timbangan.

20
Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
hlm.4
21
Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van Hoeve, 2005),
hlm.4

16
2. Menangani persoalan penyembunyian atau penipuan barang/harga jual
barang tersebut.
3. Memaksa or ang yang berutang untuk membayar utangnya jika ia
mengulur-ulur pembayaran padahal ia mampu.
4. Mengawasi para guru agar tidak memukul atau berlaku kasar terhadap
anak didiknya.
5. Mengawasi binatang ternak/tunggangan untuk tidak membawa beban
melebihi kapasitas.
6. Menghukum orang yang suka menghina/berkata kotor agar tercipta
suasana harmoni dalam masyarakat.

E. Beberapa Perubahan dalam Bidang Peradilan

1. Reformasi Peradilan
Perkembangan di bidang pengetahuan pada masa Bani Abbasiyah disertai
pula dengan beberapa terobosan penting dalam bidang peradilaan. Pada
perkembangan berikutnya nilai-nilai reformasi yang telah dirintis itu dapat
diakui dan dilestarikan untuk diterapkan sebagai sebagai sebuah kodifikasi yang
sangat besar maanfaatnya. Beberapa kemajuan yang telah dicapai dalam bidang
peradilan Islam pada masa itu, antara lain meliputi berikut ini,

a. Sarana dan Prasarana Peradilan


Dalam melaksanakan tugas, para hakim disfasilitasi dengan
berbagai piranti dan kelengkapan:
 Pakaian khusus, sehingga dapat dibedakan anara hakim dengan
masyarakat umum;
 Pengawal khusus yang mengatur waktu-waktu berkunjung;
 Beberaapa orang pembantu yang mengatur pengajuan gugatan
perkara dan menelitian dakwaan-dakwaan mereka;
 Gedung pengadilan tempat memeriksa perkara yang berada
ditengah-tengah keramaian kota;
 Pengaturan jadwal (hari-hari) untuk bersidang.
b. Membuat Buku Register

17
Dalam membuat dokumentasi digunakan buku register, yaitu
buku pencatatan yang berhubungan dengan administrasi hukum
sekaligus sebagai dokumentasi yang diperlukan untuk mencatat
putusan, pencatatan wasiat, dan utang-piutang.
c. Membuat Lembaga Al-Syurthah
Lembaga al-syurthah, yaitu institusi setingkat jabatan kepolisian
yang bertugas untuk menguatkan penegakan amar ma’ruf nahi
munkar, mengatur lalu lintas, menertibkan dan mengawasi bangunan.
Di samping itu, bertugas pula dalam mengurus jawatan kesehatan,
mengatur perdagangan, membawa dan menyeret para pelanggar
hukum, para pemabuk dan orang-orang yang melakukan perbuatan
tidak senonoh ke pengadilan, serta mengeksekusi potong tangan bagi
pencuri yang tertangkap basah.
d. Mendirikan Lembaga al-Mazhalim
Lembaga al-Mazhalim, yaitu institusi peradilan yang bertugas
dan berfungsi untuk menyelesaikan perkara dan menghukum penguasa
atau pejabat pemerintah yang dengan sewenang-wenang memeras atau
zalim terhadap rakyat kecil yang jelata. Di samping itu, juga
berwenang untuk menampung pengaduan-pengaduan tentang
kejahatan yang dilakuakn oleh pejabat-pejabat. Karena itu, lembaga ini
dikenal juga dengan sebutan dewan pengaduan.
e. Mengangkat Pejabat Moneter
Dalam menertibkan keuangan negara dibentuk dan diangkat
pejabat moneter, yaitu jabatan khusus yang bertugas mengawasi
peredaran mata uang, mengatur sirkulasi keluar masuk uang dari
perbendaharaan negara.
f. Mendirikan Bait al-Mal
Dalam rangka mengelola dan menyimpan keuangan negara,
dibentuk Baait al-Mal, yaitu kas perbendaharaan negara yang bertugas
dan berfungsi sebagai lumbung atau masukan devisa yang diperoleh
negara.
g. Mengangkat Qadhi al-Qudhat
Qadhi al-Qudhat, yaitu jabatan tertinggi kehakiman setingkat
Ketua Mahkamah Agung. Qadhi al-Qudhat itu bertugas mengangkat

18
dan memberhentikan hakim, membina dan mengawasi kinerja hakim,
serta meninjau ulang (peninjauan kembali/PK, pen.) putusan-putusan
yang dikeluarkan para hakim.
h. Melegitimasi Wilayah al-Tahkim
Wilayat al-tahkim, yaitu lembaga penengah yang setara dengan
konsultasi atau lembaga bantuan hukum, yang kelembagaannya secara
struktural terpisah dari lembaga peradilan. Lembaga ini bertugas untuk
menyantuni dan memberikan pelayanan hukum terhadap para pencari
keadilan dan kedamaian secara sukarela.

1. Wewenang Mengangkat Hakim


Menurut pengalokasiannya, kekuasan pemerintah yang meliputi wilayah
kekuasaan kehakiman itu dapat dibagi kepada tiga bagian berikut ini.
a. Wilayat al-Khilafah
Yaitu kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki khalifah, termasuk
dalam bidang peradilan. Karena itu, seseorang yang menjadi khalifah
wajib memiliki keahlian dalam menyelesaikan perkara, karena tugas
menyelesaikan suatu perkara merupakan salah satu bagian yang tidaak
terpisahkan dari tanggung jawab khalifah. Namun demikian, seorang
khalifah memiliki kewenangan penuh untuk melimpahkan tugas-tugas
yang mencakup bidang peradilan itu kepada siapa saja yang dipercayakan
melalui mekanisme pengangkatan dan pemberhentian hakim.
b. Wilayat al-Imarah
Yaitu lembaga pemerintahan yang setara pemerintahan daerah.
Dilihat dari tugas dan wewenangnya, jabatan yang bersinggungan dengan
lembaga yang terbagi kepada empat kategori berikut.
 Penguasa daerah yang diberi hak otonom, memiliki wewenang
penuh dalam mengangkat dan memberhentikan hakim.
 Pejabat daerah yang hanya diberi wwenang untuk memimpin dan
memberikan pelayanaan terhadap kepentingan masyarakat.
Pejabat daerah ini tidak mempunyai wewenang untuk
pengangkatan dan pemberhentian hakim.
 Penguasa daerah yang khusus mengurus masalah ketentaraan dan
mengendalikan stabilitas dan ketertiban umum. Penguasa daerah

19
ini tidak memiliki wewenang untuk mengangkat hakim, bahkan
keberadaannya sendiri tidak berhak menyelesaikan perkara dan
memutuskan hukum selaku hakim.
 Pejabat daerah yang diberi wewenang untuk menyelesaikan
perkara kezaliman, juga mempunyai wewenang untuk
memutuskan hukum sebagai hakim.
c. Wilayat aWizarah
Yaitu lembaga kementerian yang mendapatkan tugas khusus
menangani bidang tertentu dari khalifah. Sebagian besar ulama
berpendapat bahwa segala tanggung jawab khalifah itu boleh diserahkan
sepenuhnya kepada wazir. Karena itu, wazir berwenang mengangkat,
memantau, dan memberhentikan hakim di daerah sesuai dengan petunjuk
khalifah.

F. KASUS HUKUM
Dalam catatan sejarah, al-Mansur menyuruh pengawalnya membunuh Abu
Muslim al-Khurasani dan Sulaiman bin Katsir. Al-Manshur juga menangkap
pemimpin-pemimpin kelompok Rawandiyah dan memenjarakan 200 orang
pengikut kelompok.

Khalifah al-Mahdi memutar balik jarum jam, ia memulai pemerintahannya


dengan membebaskan semua tahanan kecuali yaang dipenjarakan menurut undang-
undang. Ia juga memerhatikan pengaduan dan penganiayaan. Miswar bin Musawir
menceritakan bahwa “ia telah dianiaya oleh seorang pegawai al-Mahdi yang
merampas kebunnya. Ia mengadukan perkara tersebut kepada al-Mahdi sehingga
kebun itu dikembalikan kepadanya.” Al-Mahdi juga mengembalikan hartaa-harta
yang dirampasnya oleh ayahnya, al-Mansur, kepada pemiliknya masing-masing
sesuai dengan pesan ayahnya sendiri dan membatalkan pemungutan pajak.

Menurut al-Mas’udi, al-Mahdi telah mengadili pengaduan, menghentikan


pembunuhan, memberi jaminan kepadaa pihak yang bimbang dan takut, dan
membelaa pihak yang teraniaya. Al-Mahdi mengadili dan menghukum Ya’kub bin

20
Daud (menteri pengganti Abu Abdullah) yang akhirnya dipenjara sepanjang masa
pemerintahannya, menghukum serta menyiksa Isa bin Musa.

Al-Hadi pernah membunuh seorang tawanan yang ingin membunuhnya


dengan pedang pengawalnya di taman istana.

Pada masa pemerintahan al-Ma’mun, timbul masalah yang rumit yaitu


masalah Al-qur’an. Apakah Al-qur’an makhluk atau bukan makhluk. Kaum
Mu’tazilah telah mendukung khaalifah menentang ahl as-sunnah dan ulama-ulama
hadis dalam perkara ini. Masalah ini berlanjut sampai masa pemerintahan al-
Mutawakkil. Banyak korban karena masalah ini, baik yang dibunuh maupun yang
dipenjara.

Raja Musa bin Jenghis Khan memenjarakan tiga orang yang masih
bersaudara dan membebaskannya kaarena kesaksian yang diberikan oleh seorang
wanita. Di antara naama-nama hakim ketika itu adalah Abi Laili.

21
DAFTAR PUSTAKA

Alaiddin Koto, Sejarah Peradilan Islam, (Jakarta: PT Raja Garfindo Persada, 2011)
Cetakan ke-2.
Faruq, Al-Asadullah, Hukum Acara Peradilan Islam, (Jakarta: Pustaka Yustisia,
2009).
Hasan, Hasan Ibrahim, Sejarah Kebudayaan Islam, (Jakarta: Kalam Mulia, 2003).
Hasjmy, sejarah Kebudayaan Islam, ( Jakarta; Bulan Bintang, 1995), cet. Ke-5.
Jaenal Aripin, Peradilan Agama dalam Bingkai Reformasi Hukum di Indonesia,
( Jakarta: Kencana, 2008 ).
Asyifak , Khairul, Sejarah Peradilan Islam di Masa Abbasiyah, (Media Resmi FAI
Unisma Malang).

Maadkur, Muhammad Salam, Peradilan Dalam Islam, Alih Bahasa Imron AM


(Surabaya; PT Bina Ilmu, 1993). Cetakan ke- 4.

Arif ,Miftakhul, Hukum Islam dan Sistem Peradilan Era Abbasiyah , Jurnal Pemikiran
dan Hukum Islam, Vol. 1 , No 2 , Desember 2011.

Nasrun Hroen, Mazlim dan Ensiklopedi Islam, Jilid 5 (Jakarta; PT Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005)
T.M. Hasbi ash-Shiddieqy, Sejarah Peradilan Islam, (Djakarta: Bulan Bintang, 1970).

22

Anda mungkin juga menyukai