Kel.1 Karakteristik Hukum Perikatan Islam
Kel.1 Karakteristik Hukum Perikatan Islam
Kel.1 Karakteristik Hukum Perikatan Islam
Dosen Pengampu:
Disusun Oleh:
2024
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillah puji syukur kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan rahmat dan
hidayah-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini dengan baik dan tepat waktu. Shalawat
serta salam kami curahkan kepada Nabi Muhammad SAW yang telah menuntun kita dari
zaman jahiliyah menuju zaman yang terang benderang.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Amrul Mutaqin,, MEI selaku
dosen pengampu mata kuliah Hukum Perikatan Islam yang telah membimbing kami, serta
semua pihak yang telah membantu dalam pembuatan makalah ini baik secara material maupun
spiritual. Karena tanpa bantuan pihak-pihak tersebut makalah ini tidak akan selesai dengan
baik.
Makalah ini disusun agar para pembaca dapat memperluas ilmu tentang nilai waktu
uang. Tentunya makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Kami mengharapkan saran dan
kritik yang bersifat membangun dari pembaca, sehingga dalam penyusunan makalah yang akan
datang menjadi lebih baik.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perikatan Islam merupakan salah satu aspek dari hukum Islam yang memiliki
peran penting dalam kehidupan masyarakat Islam. Karakteristik hukum perikatan
Islam adalah suatu bagian dari hukum Islam yang membentuk dasar hukum
kehidupan masyarakat Islam.
Hukum perikatan Islam merupakan hukum yang berlaku di dalam hubungan
antar keluarga. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan Islam mempengaruhi
hubungan antar keluarga, baik dalam hubungan antar keluarga sebagai keluarga yang
berhubungan sebagai istri, suami, ibu, bapak, anak, dan saudara.1
Karakteristik hukum perikatan Islam adalah suatu aspek dari hukum Islam
yang memiliki beberapa kharakteristik yang unik. Salah satu karakteristik yang unik
dari hukum perikatan Islam adalah kepentingan yang diberikan pada hubungan antar
keluarga. Hal ini disebabkan karena hukum perikatan Islam membentuk dasar hukum
kehidupan masyarakat Islam dan mempengaruhi hubungan antar keluarga.2
Karakteristik lainnya dari hukum perikatan Islam adalah kepentingan yang
diberikan pada peran-peran yang berbeda dalam hubungan antar keluarga. Contohnya,
peran istri sebagai pengurus rumah dan peran suami sebagai pengurus ekonomi. Hal
ini disebabkan karena hukum perikatan Islam membentuk dasar hukum kehidupan
masyarakat Islam dan mempengaruhi hubungan antar keluarga.3
1
Al-Sharif, M. A. Hukum Perikatan Islam. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Islam Indonesia.
2012
2
Al-Qurashi, A. Hukum Perikatan Islam. Jakarta: PT. Penerbit Sinar Harapan. 2011
3
Al-Faruqi, I. Hukum Perikatan Islam. Jakarta: PT. Penerbit Sinar Harapan.1994
1
B. Rumusan Masalah
1. Apa saja aspek-aspek hukum Islam?
2. Bagaimana hubungan antara hukum perikatan, hukum Islam dan agama Islam?
3. Apa saja prinsip dan asas-asas hukum perikatan Islam?
4. Darimana saja sumber sumber hukum perikatan Islam?
C. Tujuan
1. Untuk mengetahui apa saja aspek-aspek hukum Islam
2. Untuk mengetahui bagaimana hubungan antara hukum perikatan, hukum Islam dan
agama Islam
3. Untuk mengetahui apa saja prinsip dan asas-asas hukum perikatan Islam
4. Untuk mengetahui darimana saja sumber-sumber hukum perikatan Islam
2
BAB II
PEMBAHASAN
4
Ahmad Azhar Basyir, “Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam)”, ed. Revisi, (Yogyakarta: UII
Press Yogyakarta, 2000), 7-9.
3
7. Hukum Sopan Santun (al-adab). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
budi pekerti, kepatuhan, nilai baik, dan buruk, seperti mengeratkan
hubungan persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan, dan
mendamaikan orang yang berselisih.
Pendapat lain dari Abdul Wahab Khalaf, bahwa ahkam ‘amaliyah (hukum-
hukum amal) yang berkaitan dengan seluruh tindakan atau perbuatan mukalaf, baik
ucapan, perbuatan, perjanjian (akad), dan masalah belanja terbagi atas dua bagian, yaitu
ahkamu’l ‘ibadat (hukum-hukum ibadah) dan ahkamu’l-mu’amalat (hukum-hukum
muamalat).5
Hukum dalam Islam didasarkan pada kemaslahatan dunia dan kemaslahatan
akhirat. Penetapan hukum mu’amalat dalam Islam tidak bersifat lahiriah atau duniawi
saja. Meskipun hukum mu’amalat mengatur hubungan manusia dengan manusia lain,
benda dalam masyarakat dan alam semesta, hukum ini juga bersifat spiritual atau
akhirat,6 sebagai contoh jual beli. Jual beli adalah hal yang tidak dilarang dalam Islam.
Secara lahiriah, jual beli merupakan pertukaran hak milik atas suatu benda dengan harga
atas benda tersebut. Secara batiniah, jual beli dapat menjadi wajib hukumnya apabila
dalam keadaan terpaksa, misalnya wali yang terpaksa menjual harta anak yatim, atau
kadi yang menjual harta muflis (orang yang lebih banyak utangnya daripada hartanya).
Jual beli dapat menjadi haram hukumnya apabila objeknya adalah barang Najis, seperti
minuman keras, bangkai, dan babi.7 Apabila jual beli itu dilakukan kepada orang yang
membutuhkan barang itu, maka hukumnya adalah Sunah.8
B. Hubungan Antara Hukum Perikatan, Hukum Islam, dan Agama Islam
4
perbuatan dimana seseorang mengikatkan dirinya kepada seorang atau beberapa lain.
Perjanjian tersebut mengikatkan dua orang atau lebih dalam suatu kesepakatan guna
mencapai persetujuan yang adil, tidak berat sebelah dengan melakukan perjanjian atas
dasar tidak ada saling memaksa satu sama lain yaitu antara pihak yang membuat
perjanjian.9
Perjanjian antara dua orang atau lebih menimbulkan akibat hukum bagi para
pihak yang telah melakukan perjanjian, sehingga hukum tersebut mengikat selama
masa perjanjian tersebut masih dalam kesepakatan. Sesuai dengan asas kebebsan
berkontrak yaitu semua perjanjian yang dibuat secara sah, berlaku bagi pihak-pihak
yang membuatnya yang kemudian memberikan ketentuan kebebasan bagi para pihak.
Kebebasan tersebut membolehkan para pihak membuat perjanjian atau tidak.
Selanjutnya adalah mengadakan perjanjian dengan siapapun. Menentukan isi
perjanjian , pelaksanaan, dan persyaratannya. Kedua pihak diperbolehkan menentukan
bentuk perjanjiannya sendiri.
Dalam hukum Islam, perikatan yang disebut dengan iltizam, menurut istilah
fiqh, perikatan Iltizam ini didefinisikan sebagai suatu tindakan yang meliputi
pemunculan, pemindahan, dan pelaksanaan hak.Hukum perikatan didefinisikan
sebagai hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua orang atau lebih yang
terletak dalam lapangan harta kekayaan dimana pihak yang satu wajib berprestasi, dan
pihak lainnya berhak atas prestasi dan berlaku pada wilayah tertentu. Dengan
demikian berlakunya hukum perjanjian tersebut sesuai dengan aturan hukum yang
diberlakukan pada wilayah tertentu sesuai dengan hukum yang dianutnya.10
Perikatan dalam perspektif hukum Islam sering diidentikan para ahli dengan
akad, karena sama-sama menyangkut keterlibatan kedua belah pihak sehingga
menimbulkan hak dan kewajiban atau prestasi yang harus dipenuhi.11 Perikatan
dalam Islam atau akad secara terminologi adalah berasal dari bahasa Arab yaitu al-
rabth yang berarti “tali atau ikatan”, al-aqdatu yang berarti “sambungan” dan al-‘ahdu
yang berarti “janji”.12
Dapat disimpulkan bahwa perikatan menurut Islam merupakan janji yang
harus ditepati antara kedua belah pihak yang saling melakukan perikatan atau
perjanjian. Ditekankan lagi oleh Al- Shiddieqy bahwa “akad merupakan suatu
perbuatan yang dibuat dengan sengaja oleh kedua belah pihak berasarkan kesepakatan
atau kerelaan b Hasbi Al-shiddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, (Jakarta: Bulan Bintang,
1974), 34.ersama.13
9
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana, 2008), 221.
10
Ferry Irawan Febriansyah, BERLAKUNYA HUKUM PERIKATAN ISLAM DAN HUKUM NASIONAL DI
INDONESIA, Jurnal Eksyar, Volume 02, Nomor 01, Juni 2015.
11
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 2.
12
Rachmat Syafe’I, Fiqih Muamalah, (Bandung: Pustaka Pelajar, 2001), 43.
13
5
undang-undang. Hukum perikatan Islam, yang disebut juga hukum perikatan agama
Islam, merupakan hukum yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih
orang dalam konteks hukum Islam.
Hukum perikatan Islam merupakan pelaksanaan ibadah dalam arti luas bagi
pemeluk agama Islam, sebagaimana ditetapkan dalam ajaran Islam. Agama Islam
sangat menekankan arti pentingnya keadilan dalam tindakan bermuamalah sesama
manusia, tidak boleh berlaku curang, melakukan perbuatan keji, dan lain-lain. Hukum
perikatan Islam juga berasal dari Al-Qur'an, Hadits, dan KHI sebagai landasan hukum
Perikatan.14
Dalam hal ini, agama Islam memiliki kedudukan penting dalam hubungan
antara hukum perikatan dan hukum Islam, termasuk pengertian hukum perikatan,
keberadaan hukum perikatan dalam Al-Qur'an, aspek keadilan, dan hukum adat.
Hukum perikatan Islam merupakan pelaksanaan ibadah dalam arti luas bagi pemeluk
agama Islam dan memiliki koneksi dengan hukum perikatan umum.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum perikatan, hukum Islam, dan
agama Islam terhubung melalui berbagai aspek. Hukum perikatan merupakan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih orang, yang dapat berasal dari
perjanjian atau undang-undang. Hukum Islam membedakan dan memberikan batasan
antara yang haram dan yang halal dalam melakukan akad atau perjanjian, yang
disebut hukum perikatan Islam. Agama Islam menyebutkan keberadaan hukum
perikatan dalam Al-Qur'an, yang menunjukkan bahwa manusia harus saling
melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimiliki.
Hukum perikatan bersumber dari perjanjian atau undang-undang, dan hukum
perikatan Islam mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih orang dalam konteks
hukum Islam. Hukum Islam juga memiliki aspek keadilan, yang menekankan bahwa
semua orang harus berlaku secara adil dalam melakukan transaksi dan perbuatan
muamalah.
Agama Islam juga memiliki hukum adat yang diserap dalam perundang-
undangan atau yurisprudensi, yang merupakan penerusan dari aturan-aturan setempat
dari masyarakat dan budaya-budaya yang ada di wilayah Indonesia. Hukum adat juga
menjadi bagian dari hukum perikatan, yang mengatur hubungan antara subyek hukum
dan hubungan antara subyek hukum.
Dalam hal ini, hukum perikatan, hukum Islam, dan agama Islam terhubung
melalui berbagai aspek, termasuk pengertian hukum perikatan, keberadaan hukum
perikatan dalam Al-Qur'an, aspek keadilan, dan hukum adat.
C. Prinsip dan Asas-Asas Hukum Perikatan Islam
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fondasi. Secara
terminologi, asas ialah landasan atau sesuatu yang menjadi landasan suatu pemikiran
14
Ferry Irawan Febriansyah, BERLAKUNYA HUKUM PERIKATAN ISLAM DAN HUKUM NASIONAL DI
INDONESIA, Jurnal Eksyar, Volume 02, Nomor 01, Juni 2015.
6
atau pendapat. Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan kata asas adalah
prinsip, yaitu landasan atau kebenaran yang menjadi landasan berpikir, bertindak, dan
sebagainya.15 Mohammad Daud Ali mengartikan asas dalam kaitannya dengan kata
hukum adalah kebenaran yang dijadikan landasan tumpuan berpikir dan berpendapat,
khususnya dalam penerapan dan penegakan hukum.
15
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam DI Indonesia, edisi pertama (Depok: Prenadamedia Group:2005).
25
7
Apabila telah disepakati bentuk dan isinya, maka perikatan tersebut mengikat
para pihak dan harus dilaksanakan segala hak dan kewajibannya. Namun,
kebebasan ini tidak absolute. Selama tidak bertentangan dengan syariah Islam,
maka perikatan boleh dilaksanakan. Menurut Faturrahman Djamil, syariah
Islam memberikan kebebasan kepada setiap orang yang melakukan akas sesuai
dengan yang diinginkan, tetapi yang menentukan akibat hukumnya adalah
ajaran agama.
Hadis riwayat al-Bazar dan at-Thabrani yang artinya:”Apa-apa yang
dihalalkan Allah adalah halal, dan apa-apa yang didiamkan adalah dimaafkan.
Maka terimalah dari Allah pemaafan-Nya. Sesungguhnya Allah itu tidak
melupakan sesuatu pun. Kebolehan ini dibatasi sampai ada landasan hukum
yang melarang. Hal ini berarti bahwa Islam memberikan kesempatan luas
kepada yang berkepentingan untuk mengembangkan bentuk dan macam
transaksi yang sesuai dengan perkembangan zaman dan kebutuhan
masyarakat.16
3. Asas Persamaan atau Kesetaraan
Hubungan muamalat diterapkan untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat. Seringkali terjadi bahwa seseorang mempunyai kelebihan
dibandingkan orang lain. Oleh sebab itu, sesama manusia masing-masing
mempunyai kelebihan dan kekurangan. Maka hendaknya saling melengkapi
atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimilikinya. Setelah membuat
kontrak, para pihak menentukan hak dan kewajibannya berdasarkan asas
persamaan dan keadilan. Kontrak tidak boleh tidak adil. Oleh karena itu, tidak
diperbolehkan melakukan diskriminasi terhadap orang berdasarkan perbedaan
warna kulit, agama, adat istiadat, dan ras. Dalam QS. Al-Hujurat (49): 13;
Ubaidullah Muayyad, Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam, Vol.8 No.1, ‘Anil Islam: Jurnal
16
8
paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”.
5. Asas Kerelaan
Dalam QS. An-Nisaa’ (4): 29, menyatakan bahwa segala transaksi yang
dilakukan harus atas dasar suka sama suka atay kerelaan anatar masing-masing
pihak, tidak boleh ada tekanan, paksaan, dan penipuan. Jika ha ini tidak
terpenuhi, maka transaksi tersebut dilakukan dengan cara yang batil (al-akl bil
bathil).
ِ َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ََل ََتأ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ًِبلأب
اط ِل إََِّل أَ أن تَ ُكو َن ِِتَ َارةا َع أنَ أ َ أ َأ أ َ َ َ َ
يما ِ ِ َّ اض ِمأن ُك أم ۚ َوََل تَ أقتُلُوا أَنأ ُف َس ُك أم ۚ إِ َّن
ٍ تَ َر
اَّللَ َكا َن ب ُك أم َرح ا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu
membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.”
6. Asas Kejujuran dan Kebenaran (As-Sidiq)
Kejujuran merupakan hal yang harus dilakukan oleh manusia dalam
segala bidang kehidupan, termasuk dalam pelaksanaan muamalat. Namun,
apabila kejujura tidak diimplementasikan dalam akad maka akan merusak
sahnya akad dan menimbulkan perselisihan antar para pihak. QS. Al-Ahzab
(33): 70;
9
اَّللَ َوقُولُوا قَ أواَل َس ِد ا
يدا َّ ين َآمنُوا اتَّ ُقوا ِ َّ
َ ََّي أَيُّ َها الذ
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kamu kepada Allah dan
katakanlah perkataan yang benar”.
Suatu perjanjian dapat dikatakan benar apabila memberikan manfaat bagi para
pihak yang membuat perjanjian serta masyarakat dan lingkungan hidup.
Sedangkan perjanjian yang mendatangkan madharat dilarang.
7. Asas Tertulis
Perjanjian tersebut harus dibuat secara tertulis agar dapat dijadikan bukti dalam
sengketa selanjutnya. Dalam QS. Al-Baqarah (2): 282-283, Telah disebutkan
bahwa Allah SWT menasihati manusia untuk membuat suatu akad secara
tertulis dihadapan para saksi, dan di bawah tanggung jawab orang yang
melakukan perbuatan itu dan saksi tersebut. Selain itu, disarankan jika kontrak
tidak dibuat secara tunai, suatu benda dapat dianggap sebagai jaminan. Adanya
tulisan, saksi dan lampiran merupakan bukti terpenuhinya akad.
1. Al-Qur’an
Sebagai salah satu sumber hukum Islam utama yang pertama, dalam
hukum perikatan Islam ini. Sebagian besar Al-Qur’an hanya mengatur
mengenai kaidah-kaidah umum. Dapat dilihat isi ayat-ayat Al-Qur’an berikut
ini:
QS. Al-Baqarah (2): 188 ;
ِ اْلُ َّك ِام لِتَ أ ُكلُوا فَ ِري اقا ِم أن أ أَم َو ِال الن
َّاس اط ِل َوتُ أدلُوا ِِبَا إِ ََل أ
ِ وََل ََتأ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ًِبلأب
َ أ َ أ َأ أ َ
ًِب أِْل أُِث َوأَنأتُ أم تَ أعلَ ُمو َن
Artinya: “Dan janganlah sebahagian kamu memakan harta sebahagian yang lain
di antara kamu dengan jalan yang bathil dan (janganlah) kamu
membawa (urusan) harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat
memakan sebahagian daripada harta benda orang lain itu dengan
(jalan berbuat) dosa, padahal kamu mengetahui”.
QS. Al-Baqarah (2): 275 ;
10
ِ ِ ِ َّ الرًب ََل ي ُقومو َن إََِّل َكما ي ُق ِ َّ
كَ س ۖ ََٰذل ِ
ِ وم الذي يَتَ َخبَّطُهُ الشأَّيطَا ُن م َن الأ َم ُ َ َ ُ َ َِِ ين ََيأ ُكلُو َن َ الذ
الرًَب ۖ فَ َم أن َجاءَهُ َم أو ِعظَةٌ ِم أن
ِِ اَّللُ الأبَ أي َع َو َحَّرَم
َّ َح َّل
َ الرًَب ۖ َوأ ِِ ِِبَ ََّّنُأم قَالُوا إََِّّنَا الأبَ أي ُع ِمثأل
ُ
ِ ِ َٰ ِ ِ
اب النَّا ِر ۖ ُه أم ف َيهاُ َص َح كأ أ َ اَّلل ۖ َوَم أن َع َاد فَأُولَئ َ ََربِِه فَانأتَ َه َٰى فَلَهُ َما َسل
َّ ف َوأ أَم ُرهُ إِ ََل
َخالِ ُدو َن
Artinya: “Orang-orang yang makan (mengambil) riba tidak dapat berdiri
melainkan seperti berdirinya orang yang kemasukan syaitan lantaran
(tekanan) penyakit gila. Keadaan mereka yang demikian itu, adalah
disebabkan mereka berkata (berpendapat), sesungguhnya jual beli itu
sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan
mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya
larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba),
maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang
larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang
kembali (mengambil riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni
neraka; mereka kekal di dalamnya”.
QS. An-Nisaa’ (4): 29 ;
ِ َّي أَيُّها الَّ ِذين آمنُوا ََل ََتأ ُكلُوا أَموالَ ُكم ب ي نَ ُكم ًِبلأب
اط ِل إََِّل أَ أن تَ ُكو َن ِِتَ َارةا َع أنَ أ َ أ َأ أ َ َ َ َ
يما ِ ِ َّ اض ِمأن ُك أم ۚ َوََل تَ أقتُلُوا أَنأ ُف َس ُك أم ۚ إِ َّن
ٍ تَ َر
اَّللَ َكا َن ب ُك أم َرح ا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan
perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan
janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah
Maha Penyayang kepadamu”.
QS.Al- Maidah (5):1 ;
11
sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-
hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
2. Hadist
Di dalam hadist, ketentuan-ketentuan mengenai muamalat telah
dijelaskan lebih terperinci. Namun, perincian ini tidak selalu mengatur hal-hal
yang sangat mendetail, tetap dalam jalur kaidah-kaidah umum. Hadist tersebut
antara lain;
HR.Bukhari dan Muslim;
“Siapa saja yang melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam
ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu”.
HR.Ahmad d an Baihaqi;
“Orang yang mampu membayar utang, haram atasnya melalaikan utangnya.
Maka, apabila salah seorang diantara kamu memindahkan utangnya kepada
orang lain, pemindahan itu hendaknya diterima, asal yang lain itu mampu
membayarnya”.
3. Ijtihad
Sumber hukum Islam ketiga ialah ijtihad yang dilakukan dengan
menggunakan akal atau ar-ro’yu. Kedudukan akal dalam ajaran Islam memiliki
kedudukan yang sangat penting. Allah SWT menciptakan akal untuk
dipergunakan manusia memahami, mengembangkan dan memperbaiki sesuatu,
dalam hal ini kaidah Islam. Namun, akal tidak dapat berfungsi dengan baik
tanpa adanya instruksi. Petunjuk ini diatur oleh Allah SWT dalam Al-Quran dan
Hadits.17
Mohammad Daud Ali mendefinisikan ijtihad sebagai usaha yang
sungguh-sungguh atau usaha dengan menggunakan segala kecakapan orang
(ahli hukum) yang memenuhi syarat merumuskan pedoman hukum yang belum
jelas atau tidak terdapat dalam Al-Quran dan Sunnah Rasulullah.
Peran penting dimainkan oleh posisi ijtihad dalam bidang hukum
kontrak Islam. Hal ini disebabkan karena sebagian besar hukum yang
menghubungkan Al-Quran dan Hadits bersifat umum. Pada saat yang sama,
kegiatan muamalat di masyarakat selalu berkembang sesuai dengan kebutuhan
17
Mu’adil Faizin, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Indonesia: Kolaborasi Pustaka Warga: 2022) hal 36
12
masyarakat. Oleh karena itu, ayat-ayat hukum dan hadis yang diijtihad hanya
bersifat zhannis saja.
Ijtihad juga dapat dilakukan terhadap hal-hal yang belum ada
pengaturannya dalam Al-Qur'an dan Hadits, serta terhadap permasalahan
hukum baru yang timbul dan berkembang di masyarakat. Hazairin berpendapat
bahwa keputusan-keputusan yang diperoleh dari ijtihad ulil amri terbagi
menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut: Memilih atau menentukan garis
hukum yang tepat untuk diterapkan pada suatu persoalan atau perkara tertentu,
yang dapat diambil langsung dari Al-Qur'an. Mungkin juga berasal dari
perkataan (akan menjelaskan) yang diberikan Nabi Muhammad SAW atau
contohnya.
Ketentuan keadaan baru berupa penciptaan atau pembentukan garis-
garis hukum baru menurut tempat dan waktu, berdasarkan norma-norma hukum
yang telah ada dalam Al-Quran dan Sunnah Nabi.
13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Mushthafa Ahmad az-Zarqa, membagi aspek-aspek hukum Islam dalam tujuh
kelompok, yaitu :
1. Hukum Ibadat. Hukum-hukum yang berhubungan dengan peribadatan kepada
Allah, seperti shalat, puasa, haji, dan bersuci dari hadas.
2. Hukum Keluarga (al-ahwal asy-syakhshiyah). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan tata kehidupan keluarga, seperti perkawinan, perceraian,
hubungan keturunan, nafkah keluarga, dan kewajiban anak terhadap orang tua.
3. Hukum Mu’amalat (dalam arti sempit, pen). Hukum-hukum yang
berhubungan dengan pergaulan hidup dalam masyarakat mengenai kebendaan
dan hak-hak serta penyelesaian persengketaan-persengketaan, seperti perjanjian
jual beli, sewa menyewa, utang piutang, gadai dan hibah.
4. Hukum Tata Negara dan Tata Pemerintahan (al-ahkam as-sulthaniyah atau
as-siyasah asy-syar’iyah). Hukum-hukum yang berhubungan dengan tata
kehidupan bernegara, seperti hubungan penguasa dengan rakyat, pengangkatan
kepala negara, serta hak dan kewajiban penguasa dan rakyat timbal balik.
5. Hukum Pidana (al-jinayat). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
kepidanaan, seperti macam-macam perbuatan pidana dan ancaman pidana.
6. Hukum Antarnegara (as-siyar). Hukum-hukum yang mengatur hubungan
antara negara Islam dan negara-negara lainnya, yang terdiri dari aturan-aturan
hubungan pada waktu damai dan pada waktu perang.
7. Hukum Sopan Santun (al-adab). Hukum-hukum yang berhubungan dengan
budi pekerti, kepatuhan, nilai baik, dan buruk, seperti mengeratkan hubungan
persaudaraan, makan minum dengan tangan kanan, dan mendamaikan orang
yang berselisih.
Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa Hukum perikatan, hukum Islam, dan
agama Islam terhubung melalui berbagai aspek. Hukum perikatan merupakan hukum
yang mengatur hubungan hukum antara dua atau lebih orang, yang dapat berasal dari
perjanjian atau undang-undang. Hukum Islam membedakan dan memberikan batasan
antara yang haram dan yang halal dalam melakukan akad atau perjanjian, yang
disebut hukum perikatan Islam. Agama Islam menyebutkan keberadaan hukum
14
perikatan dalam Al-Qur'an, yang menunjukkan bahwa manusia harus saling
melengkapi atas kekurangan yang lain dari kelebihan yang dimiliki.
Asas berasal dari bahasa Arab asasun yang berarti dasar, basis, dan fondasi.
Secara terminologi, asas ialah landasan atau sesuatu yang menjadi landasan suatu
pemikiran atau pendapat. Istilah lain yang mempunyai arti yang sama dengan kata
asas adalah prinsip, yaitu landasan atau kebenaran yang menjadi landasan berpikir,
bertindak. Mohammad Daud Ali mengartikan asas dalam kaitannya dengan kata
hukum adalah kebenaran yang dijadikan landasan tumpuan berpikir dan berpendapat,
khususnya dalam penerapan dan penegakan hukum.
Sumber hukum Islam berasal dari tiga sumber hukum, yaitu Al-Qur'an dan
Hadits (dua sumber utama) dan ar-ru'yu atau akal manusia, yang terangkum dalam
ijtihad
1. Al-Qur’an QS.Al- Maidah (5):1 ;
2. Hadist HR.Bukhari dan Muslim;
“Siapa saja yang melakukan jual beli salam (salaf), maka lakukanlah dalam
ukuran (takaran) tertentu, timbangan tertentu dan waktu tertentu”.
3. Ijtihad
B. Saran
Meskipun penulis menginginkan kesempurnaan dalam penyusunan makalah
ini, akan tetapi pada kenyataannya masih banyak kekurangan yang perlu penulis
perbaiki. Hal ini dikarenakan masih minimnya pengetahuan penulis.
Oleh karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat
diharapkan sebagai bahan evaluasi untuk ke depannya. Sehingga bisa terus
menghasilkan penelitian dan karya tulis yang bermanfaat bagi banyak orang.
15
DAFTAR PUSTAKA
Al-Sharif, M. A. Hukum Perikatan Islam. Yogyakarta: Yayasan Pustaka Islam Indonesia. 2012
Al-Qurashi, A. Hukum Perikatan Islam. Jakarta: PT. Penerbit Sinar Harapan. 2011
Ahmad Azhar Basyir, “Asas-asas Hukum Mu’amalat (Hukum Perdata Islam)”, ed. Revisi,
(Yogyakarta: UII Press Yogyakarta, 2000), 7-9.
Abdul Wahab Khalaf, “Ilmu Ushul Fiqih”, diterjemahkan oleh Masdar Helmy, Cet. 1,
(Bandung: Gema Risalah Press, 1996), 58.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, “Memahami Syariat Islam”, Cet. 1, (Semarang:
Pustaka Rizki Putra, 2000), 65-66.
Dalam Hadis Rasulullah SAW disebutkan dari Jabir bin Abdullah, Rasulullah SAW berkata:
“Sesungguhnya Allah dan Rasulnya telah mengharamkan menjual arak dan bangkai,
begitu juga babi dan berhala.” Pendengar bertanya, “Bagaimana dengan lemak
bangkai, ya Rasulullah? Karena lemak itu berguna buat cat perahu, buat minyak kulit,
dan minyak lampu.” Jawab beliau, “Tidak boleh, semua itu haram, celakahla orang
Yahudi tatkala Allah mengharamkan lemak bangkai, mereka hancurkan lemak itu
sampai menjadi minyak, kemudian mereka jual minyaknya, lalu mereka makan
uangnya.” (Sepakat ahli hadis). Lihat: Sulaiman Rasjid, “Fiqh Islam”, Cet. 29,
(Bandung: Sinar Baru Algesindo, 1996), 280.
Ibid., 289-290.
Titik Triwulan Tutik, Hukum Perdata Dalam Sistem Hukum Nasional, (Jakarta: Kencana,
2008), 221.
Achmad Kuzari, Nikah Sebagai Perikatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1995), 2.
Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan Islam DI Indonesia, edisi pertama (Depok: Prenadamedia
Group:2005). 25
16
Ubaidullah Muayyad, Asas-Asas Perjanjian dalam Hukum Perjanjian Islam, Vol.8 No.1, ‘Anil
Islam: Jurnal Kebudayaan san Ilmu Keislaman, 2015. Hal 12
Mu’adil Faizin, Hukum Perikatan Islam Di Indonesia, (Indonesia: Kolaborasi Pustaka Warga:
2022) hal 36
17