Makalah Qawaidh Fiqhiyyah (Al Ijtihadu Laa Yunqadh Bil - Ijtihadi) Kelompok 11
Makalah Qawaidh Fiqhiyyah (Al Ijtihadu Laa Yunqadh Bil - Ijtihadi) Kelompok 11
Makalah Qawaidh Fiqhiyyah (Al Ijtihadu Laa Yunqadh Bil - Ijtihadi) Kelompok 11
Disusun Oleh :
Dewa Pramudita (201105020848)
Inayatul Mahmuda (201105020005)
2
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR..................................................................
2
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang..........................................................................
4
B. Rumusan Masalah.....................................................................
4
C. Tujuan .....................................................................................
5
BAB II PEMBAHASAN
3
Contoh Aplikasi Qaidah ................................................................
13
Mustanayat (Pengecualian)
...........................................................................................
15
Kesimpulan....................................................................................
18
Saran ...........................................................................................
18
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihad adalah sebuah media elementer yang sangat
berpengaruh besar perannya dalam konstruksi hukum-
hukum islam (Fiqh). Tanpa peran ijtihad konsturuksi hukum
islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini,
dan ajaran islam tidak akan mampu menjawab tantangan
zaman dengan berbagai problematikanya. Oleh karena itu
ijtihad adalah sebuah keniscayaan dalam islam. Dan harus
4
pula kita akui bahwa ijtihad merupakan faktor utama pemicu
perbedaan pendapat kontraiksi hukum antar ulama.
Pertentangan selama ini berlangsung dikalangan yuris islam
(fuqaha). Misalnya adalah akibat perbedaan metodologi
ijtihad yang mereka gunakan, dari situlah khazanah
keilmuan islam terlihat begitu kaya di tengah polemik
intelektual yang variatif, persoalannya Ketika ijtihad telah
mendapat legitimasi akankah produk hukum yang dicapai
melalui proses ijtihad dapat dianulir ijtihad yang lain, sekali
hukum itu terbangun atas landasan ijtihad maka ia telah
diakui eksistensinya sehingga tidak dapat digusur oleh hasil
ijtihat yang baru.
B. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan diatas, ada
beberapa permasalahan pokok yaitu :
1. Bagaimanakah pemahaman dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad ?
1. Apakah dasar dari Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-
ijtihad ?
2. Bagaimanakah aplikasi dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad pada fiqh?
3. Adakah qaidah lain yang berkaitan dengan Qaidah Al-
ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad ?
4. Adakah pengecualian masalah dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad ?
C. Tujuan Penulisan
Dari rumusan masalah diatas, maka Adapun tujuan
penelitian ini adalah :
2. Agar mengetahui pemahaman dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
5
3. Untuk mengetahui dasar dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
4. Untuk mengetahui aplikasi dari Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
5. Untuk mengetahui qaidah lain cabang dari Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
6. Untuk mengetahui pengecualian Qaidah Al-ijtihad la
yunqadhu bi al-ijtihad
BAB II
PEMBAHASAN
Definisi Ijtihad
6
Al Ijtihad berakar dari kata “jahada” namun secara
etimologi berarti mencurahkan segala kemampuan
(berpikir) agar mendapatkan sesuatu (yang sulit) , namun
dalam al quran kata “jahada” sebagaimana dalam QS An
Nahl ayat 38, An Nur ayat 53, dan alfathir 42 semuanya
mengandung arti “pengerahan segala kesanggupan dan
kekuatan” atau juga berarti “berlebih lebihan dalam
sumpah”. Oleh karena itu arti ijtihad adalah “pengerahan
segala kesanggupan dan kekuatan untuk memperoleh apa
yang dituju sampai batas puncaknya. adapun Ibrahim
husein mengidentifikasi makna ijtihad dengan istinbath,
istinbath berasal dari kata nabath (ait yang mula-mula
memancar dari sumber yang digali). Oleh karena itu
menurut Bahasa arti istinbath sebagai muradif dari
ijtihad yaitu mengeluarkan sesuatu dari persembunyian
dan menurut mayoritas ulama ushul fiqh ijtihad adalah
pencurahan segala kesanggupan (secara maksimal)
seorang ahli fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat
zhanni terhadap hukum syariat. Dari definisi diatas dapat
ditarik kesimpulan mengenai pelaku,objek, dan target
capaian ijtihad adalah : pelaku ijtihad adalah seorang
pelaku fiqh atau paling kurang mengerti tentang hukum
fiqh bukan yang lain. (Kaidah “Al-Ijtihad La Yunqadhu
Bi Al-Ijtihad”- Qawaidh Fiqhiyyah, 2019)
Yang ingin dicapai oleh ijtihad adalah hukum syari
bidang amali (furu’iyyah) yaitu hukum yang
berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.
Hukum syari yang dihasilkan oleh suatu ijtihad statusnya
adalah zhanni, status zhanni pada hukum hasil ijtihad
berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi
mengandung kemungkinan salah, hanya saja menurut
mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih
absolut, atau sebaliknya ia salah tapi mengandung
7
kemungkinan benar. Dari uraian diatas dapat ditarik
kesimpulan maksud kata al ijtihad dalam qaidah ini
adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara
maksimal) seorang ahli fiqh untuk mendapatkan
keputusan hukum tingkat zhanni terhadap hukum syariat.
Definisi Yunqadh
Kata “yunqadh” berasal dati kata Bahasa arab yang
artinya diruntuhkan atau dibatalkan sebagaimana
keterangan dari syaikh Abdurrahman ibn shallih yaitu :
Kata yunqadh berasal dari kata Al-Naqdh (runtuh)
merupakan lawan dari al-ibram (penetapan) yang
dimaksud pada qaidah disini adalah membatalkan hukum
yang sudah berlaku dengan adanya ijtihad hukum baru.
8
kepastian hukum yang dihasilkan oleh ijtihad
yang pertama.
Hasil ijtihad salah seorang mujtahid tidak lebih
utama untuk diikuti daripada hasil dari produk
ijtihad mujtahid lainnya.
Pembatalan sebuah hasil ijtihad dengan ijtihad
lainnya dapat mengakibatkan instabilitas hukum
atau tidak adanya ketetapan hukum. Karena hasil-
hasik ijtihad akan terus saling membatalkan,
ijtihad yang dulu dibatalkan oleh ijtihad yang
sekarang akan dibatalkan oleh ijtihad yang akan
datang dan begitu seterusnya. Tidak adanya
ketetapan hukum ini mengakibatkan kesulitan
dan kekacauan yang besar
Dalil qaidah:
Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad
bersumber dari Al-Qur’an, sunnah, ijma’ dan atsar.
ضَ ض تُ ِري ُدونَ ع ََر ِ َْما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَ ْن يَ ُكونَ لَهُ أَ ْس َرى َحتَّى ي ُْث ِخنَ فِي األر
َ َ) لَوْ ال ِكتَابٌ ( ِمنَ هَّللا ِ َسب67( َزي ٌز َح ِكي ٌم
ق ِ ال ُّد ْنيَا َوهَّللا ُ ي ُِري ُد اآل ِخ َرةَ َوهَّللا ُ ع
68( لَ َم َّس ُك ْم فِي َما أَخ َْذتُ ْم َع َذابٌ َع ِظي ٌم
“Tidak patut bagi seorang Nabi mempunyai tawanan,
sebelum ia dapat melumpuhkan musuhnya dimuka bumi,
kamu menghendaki harta benda duniawi, sedangkan
Allah menghendaki (pahala) akhirat (untukmu). Dan
Allah Maha perkasa lagi Maha bijaksana,(QS. 8:67)
Kalau sekiranya tidak ada ketetapan yang telah
terdahulu dari Allah, niscaya kamu ditimpa siksaan
yang besar karena tebusan yang kamu ambil.(QS. 8:68)
10
Firman Allah :َما َكانَ لِنَبِ ٍّي أَ ْن يَ ُكونَ لَهُ أَس َْرى
Ayat ini menunjukkan bahwasanya tidak semestinya
seseorang Nabi memiliki tawanan perang yang bisa
ditebus atau tidak, kecuali Allah telah menyempurnakan
kemenangan kepadanya dan ini tida mungkin terjadi
kecuali Rasulullah telah melumpuhkan semua musuhnya
yang berada dimuka bumi ini. Dan ini sebagaimana yang
telah diriwayatkan oleh ibn Abbas, Bukhari dan
mayoritas ahli tafsir. (Muhammad, 1992)
11
“Shalat setiap kalian telah diterima oleh Allah SWT,”
(Ad-Daruquthni & Daruquthni, 2001)
Dari dua hadist diatas secara tegas menyebutkan
bahwa shalat sahabat dalam hari yang mendung yang
tidak terlihat matahari dan kemudian mereka beselisih
pdaham dalam penentuan arah kiblat dan melaporkannya
kepada Rasulullah SAW ketika cuaca sudah kembali
cerah dan sabda Rasullah bahwa shalat mereka telah
diterima oleh Allah SWT serta tidak adanya perintah dari
Rasul untuk mengulang shalat mereka tersebut menjadi
dalil bahwasanya shalat mereka sah, dan shalat yang
dilakukan dengan berijtihas terhadap arah kiblat seperti
dalam asus dua hadist yang diatas dan tidak adany
perintah untuk mengulang kembali shalat tersebut
menjadi dalil atas Qaidah Al-ijtihad la yunqadhu bi al-
ijtihad.
12
ketika itu memutuskan untuk menggabung antara
saudara laki-lai seibu, saudaha perempuan seayah dan
ibu dengan mendapatkan sepertiga, maka ketika itu
seseorang berkata kepada beliau: dulu engkau tidaak
membagi seperti yang engkau tetapkan hari ini wahai
Umar, maka Umar menjawab: keputusan dulu untuk
kasus yang terdahulu, dan keputusan hari ini adalah
untuk kasus yang sekarang.
13
صرُّ فُ ااْل ِ َم ِام َعلَى ال َّر ِعيَّ ِة َمنُوْ طٌ بِ ْال َمصْ لَ َح ِة
َ َت
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap
rakyatnya bergantung pada maslahat”. (Abdurrahman,
1960)
Qaidah ini adalah merupakan Qaidah Fiqh yang memilii
aspek horizontal, karena dalam inplementasinya
memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan
masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Kaitan Qaidah ini
dengan Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad”
adalah dimana kebijakan pemimpin yang merupakan
ijtihad yang zhanniyyah dikondisikan dengan
kemaslahatan umum, sehingga tidak kecil kemungkinan
akan berubah-ubah dengan seiringnya wakyu, dalam
konteks Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad”
berarti kebijakan pemimpin yang terdahulu tetap
diberlakukan sebagaimana yang telah berlaku tetapi
untuk masa yang kemudian harus mengikuti kebijakan
yang baru
14
masih ada kemungkinan menemukan air apabila
berpindah tempat atau melihat sekelompok orang yang
datang membawa air, maka ia wajib untuk berusaha
mencari air. Akan tetapi perlu diperhatikan pula
walaupun ia wajib mencari air, namun pencarian ar yang
kedua inipun tidak dibebankan sebagaimana beban
pencarian air yang pertama.
Sementara menurut pendapat yang kedua, ia tidak wajib
dalam mencari air karena sudah dicukupkan dengan hasil
pencarian yang pertama.
15
Sebagian contohnya pula jikalau seseorang mengijtihad
suci salah satu dari dua bejana kemudian menggunakan
nya, lalu kemudian tiba-tiba berubahlah zhannya maka
tidak boleh beramal dengan ijtihad yang kedua akan
tetapi wajib baginya untuk bertayamum.
Sebagian cabang masalah lainnya yaitu apabila bersaksi
seseorang yang fasiq, maka kesaksiannya itu fitolak,
kemudian dia bertaubat dan mengulangi lagi
kesaksiannya, maka tetap tidak bisa diterima karena
menerima kesaksian orang yang tersebut merupakan
membatalkan ijtihad terdahulu dengan ijtihad yang baru.
5. Mustasnayat (Pengecualian)
Dari Qaidah “Al-ijtihad la yunqadhu bi al-ijtihad” ini
terdapat beberapa masalah Fiqh yang dikecualikan
didalamnya, sebagaimana yang diterangkan oleh imam
Al-Suyuthi sebagai berikut:
Artinya: “Diruntuhkan keputusan hakim apabila menyali
Nash (Al-Qur’an dan Hadits), Ijma’, dan Qiyas yang
jelas”, Al-Qurafi menambahkan: “Atau menentang
dengan Qaidah Kulliyyah”, Ulama Mazhab Hanafi pun
menambahkan: “Atau hukum tersebut tak punya
dalilnnya”.
Contohnya seperti tindakan penjaga harta waqaf, dalam
mengelola harta waqaf bila menyalahi ketentuan yang
ditetapkan oleh sipemberi waqaf, maka tindakan dan
kebutusannya itu dibatalkan atau digugurkan, karena
kekuatan syarat si waqif sama seperti nash, sebagaimana
penjelasan Imam Al-Suyuthi sebagai berikut:
Artinya; “Tindakan yang menyalahi ketentuan dari si
pemberi waqaf sama dengan menyalahi Nash dan
dianggap tidak berdalil” (Rusdi, 2018)
16
Menurut sebagian Ulama’ seperti pengarang kitab
Nadzham Faraid al-Bahiyah, pengecualian ini tidak
memiliki patokan yang pasti. Dan diantara masalah yang
dikecualikan antara lain:
- Perubahan yang dilakukan oleh Imam atau kepala
negara yang berdasarkan kemaslahatan terhadap
tanah khusus atau istimewa. Contohnya tanah
lapangan, fasilitas umum dan lain semisalnya.
- Masalah qismatul ijbar (pembagian hasil tuntutan).
Contohnya apabila ada seorang pengusaaha yang
bangkrut dituntut oleh dua orang koleganya agar
segera melunasi hutangnya yang masing-masing dua
juta rupiah. Ketika ditaksir, ternyata harta miliknya
hanya bernilai tiga juta rupiah. Kemudian hakim
memutuskan untuk membagi rata harta tersebut dan
masing-masing mendapatkan 1,5 juta rupiah. Lalu
setelah itu menjadi keputusan, datang seorang lagi
dengan bukti dan saksi yang kuat bahwasanya dia
juga memberi pinjaman kepada pengusaha tersebut
dan menuntut untuk dilunasi. Dan dalam kondisi
tersebut hakim dapat membatalkan keputusannya
yang pertama den membuat keputusan baru dengan
membagi harta pengusaha tersebut menjadi tiga
bagian, yang akhirnya setiap penuntut mendapatkan
1 juta rupiah.
- Masalah Kharij-Dakhil
Contohnya seperti terjadi penrsengketaan antara fahri
dan naufal mengenai seekor sapi. Masing-masing
diantara mereka mengaku sebagai pemilik sapi meski
keduanya tidak ada yang mempunyai saksi ataupun
bukti. Karena sapi tersebut berada ditangan fahri,
akhirnya hakim memutuskan bahwasanya sapi
tersebut adalah milik fahri. Keputusan itu
17
berdasarkan patokan umum bahwa dakhil (fahri)
dimenangkan atas kharij (naufal). Setelah keputusan
dibuat, Naufal mendapatkan bukti-bukti yang
menunjukkan bahwasanya sapi tersebut adalah milik
naufal. Berdasarkan qaidah (Hukum atas kharij
adalah berdasarkan saksi), maka hakim dapat
mengubah keputusannya dan memenangkan naufal
sebagai pemilik sapi.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
18
Dengan demikian ijtihad adalah sebuah keniscayaan
dalam islam.
B. Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini,
itu semua karena kurang ilmu pengetahuan yang penyusun
miliki. Oleh karena itu mohon kritik serta saran yang bersifat
memperbaiki makalah ini, semoga makalah ini bermanfaat
untuk semuanya. Aamin
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Muhammad, A., & Majah, ibn. (1995). bab orang
yang shalat tidak menghadap kiblat dalam keadaan
mendung dan dia tidak mengetahui arah kiblat. Dar Al-
Fikr.
Abdurrahman, J. (1960). al-Asybah wan Nadha-ir fi al-Furu’
(2nd ed.).
Ad-Daruquthni, ibn umar, & Daruquthni, S. (2001). kitab
shalat, bab ijtihad arah kiblat. Dar al-Ma’rifah.
Al-Suyuthi. (1960). Asybah wa an-Nazhair fi al-Furu’ (2nd ed.).
19
Hamid Hakim, A. (2009). Terjemahan Mabadi’ Awaliyah fi
Ushul al Fiqh wa Al Qawaid Al Fiqhiyah (Sukanan &
Khairudin (Eds.)). CV. Megah jaya.
Ibrahim, D. (2019). Al-qawai’id Al-Fiqhiyah (kaidah-kaidah
fiqih) (1st ed.). noerfikri.
Kaidah “Al-Ijtihad La Yunqadhu Bi Al-Ijtihad”- Qawaidh
Fiqhiyyah. (2019). Kitabkuning90.
Muhammad. (1992). Tafsir Thabari. Dar al-Kutub al-Ilmiyyah.
Rusdi, M. (2018). Analisis Kaidah Al-Ijtihadu La Yunqadh Bi
Al-Ijtihaddan Aplikasinya Dalam Hukum Islam. 57.
20