PA Di Indonesia. Kel.2
PA Di Indonesia. Kel.2
PA Di Indonesia. Kel.2
MAKALAH
oleh :
PEKANBARU
2023
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan ke hadiran Allah SWT. karena berkat rahmat-
Nya kami bisa menyelesaikan makalah yang berjudul “Hubungan Peradilan
Agama Dengan Proses Penerapan Hukum Islam Di Indonesia”. Tidak lupa pula
kami ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari
kehidupan gelap menuju kehidupan yang terang menderang. Makalah ini diajukan
guna memenuhi tugas Mata Kuliah PA di Indonesia.
Penulis
i
DAFTAR ISI
A. Kesimpulan ............................................................................ 13
B. Saran ....................................................................................... 13
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap orang Islam yang menyadari arti penting keberadaan Peradilan Agama di
Indonesia, niscaya mensyukuri eksistensi dan kedudukan Peradilan Agama dewasa
ini yang sudah setara dengan peradilan-peradilan lainnya setelah sebelumnya
mengalami pasang surut dan perjalanan yang berliku-liku yang dimulai diakui secara
resmi sejak zaman colonial dengan lahirnya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004
tentang Kekuasaan Kehakiman sebagai perubahan atas Undang-Undang Nomor 35
Tahun 1999. Dan terakhir kedudukan dan kewenangan yang dimiliki Peradilan
Agama semakin diperkokoh lagi dengan lahirnya UndangUndang Nomor 3 Tahun
2006 yang diubah lagi dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009. Lahirnya
sebuah undang-undang selain merupakan peristiwa hukum sekaligus merupakan
peristiwa politik, juga sangat erat kaitannya dengan keyakinan umat Islam karena
Peradilan Agama didasarkan kepada hukum Islam, sedangkan hukum Islam bagi
umat Islam Indonesia dalam perkembangannya sebagai hukum yang berdiri sendiri
telah lama dianut oleh pemeluk agama Islam.
Sejarah keberadaan Peradilan Agama di Indonesia yang tidak terlepas dari
pergumulan politik yang cukup panjang dan sering mengalami pasang surut antara
umat Islam dengan pemerintah. Legitimasi terhadap Peradilan Agama sebagai
lembaga resmi mulai diakui oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1882.
Adanya pengakuan ini hanya bersifat politis, karena dalam perjalanannya kerapkali
Peradilan Agama dikebiri dan dikurangi kekuasaan dan kewenangannya.
Peranan pengadilan tidak dapat disanksikan lagi, sebab dengan Lembaga
Pengadilan, segala yang menyangkut hak dan tanggung jawab yang terabaikan dapat
diselesaikan, lembaga ini memberikan tempat bahkan membantu kepada mereka yang
merasa dirampas hak-haknya dan memaksa kepada pihak-pihak agar bertanggung
jawab atas perbuatan yang dilakukan yang merugikan pihak lainnya. Aktivitas
Lembaga Pengadilan demikian itu pada dasarnya adalah berupaya menghubungkan
rumusanrumusan hukum yang sifatnya masih abstrak, karena dengan melalui
bekerjanya Lembaga Pengadilan, hukum itu baru dapat diwujudkan, sebagaimana
dikatakan oleh Satjipto Raharjo, bahwa kehadiran lembaga hukum itu merupakan
operasionalisasi dari ide rumusan konsep-konsep hukum bersifat abstrak. Melalui
1
lembaga dan bekerjanya lembaga-lembaga itulah, hal-hal yang bersifat abstrak
tersebut dapat diwujudkan ke dalam kenyataan.
Penyelesaian perselisihan dan persengketaan yang dilakukan melalui kekuasaan
negara dilaksanakan oleh Badan Peradilan, yang memiliki kemampuan untuk
bertindak memaksakan keputusannya kepada para pihak dengan menggunakan sistem
sanksi tertentu. Pranata peradilan itu amat dibutuhkan oleh masyarakat, apabila cara
yang pertama dan cara yang kedua mengalami jalan buntu. Bahkan terhadap tindakan
pelanggaran hukum dan kejahatan, peradilan merupakan satu-satunya pranata yang
memiliki kemampuan dan wewenang untuk menyelesaikannya.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan pada latar belakang diatas, maka Rumusan masalahnya sebagai
berikut:
1. Bagaimana Penerapan Hukum Islam Melalui Infrastruktur Sosial ?
2. Bagaimana Penerapan Hukum Islam Melalui Suprastruktur Sosial ?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan pada Rumusan Masalah diatas, maka Tujuan Penulisannya sebagai
berikut:
1. Mengetahui Penerapan Hukum Islam Melalui Infrastruktur Sosial.
2. Mengetahui Penerapan Hukum Islam Melalui Suprastruktur Sosial.
2
BAB II
PEMBAHASAN
Institusi hukum Islam yang dibentuk melalui pranata sosial yang tersedia
(infrastruktur), yaitu melalui organisasi sosial maupun kemasyarakatan,1 baik yang
bergerak di bidang pendidikan lalu diasosiasikan dalam bentuk pesantren dan madrasah,
maupun dalam bidang lainnya, seperti fatwa yang diapresiasikan melalui MUI, institusi
eonomi yang diasosiasikan menjadi Baitul Mal Wa Tamwil (BMT), institusi zakat yang
diasosiasikan menjadi Badan Amil Zakat, Infaq dan Shadaqah (BAZIS), institusi dakwah
yang diasosiaikan menjadi Lembaga Dakwah Kampus (LDK). Semua institusi yang ada
di Indonesia itu bertujuan memenuhu kebutuhan masyarakat Muslim, baik kebutuhan
fisik maupun kebutuhan nonfisik, institusi tersebut di antaranya ialah:
1. Nahdlatul Ulama
1
Cik Hasan Bisri, Hukum Islam Dalam tatanan Masyarakat Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta:
Logos, 1998), hlm, 113.
2
Th. Sumartana, dkk, Pluaralisme,konflik dan Pendidikan Agama di Indonesia, (Yokyakarta:Dian
Interfiedi 2001), 81-83.
3
saja image tersebut tidak berdasar. Jika NU statis, bagaimana mungkin memiliki umat 35
juta yang tersebar di seluruh tanah air dan memiliki kredo (kaidah hukum)
AlMukhafatdlatu „Ala Qadimish Shalih Wal Ahdu Bil Jadidil Ashlah (mempertahankan
nilai dan tradisi lama yang dianggap baik dan relevan, dan akomodatif terhadap nilai dan
tradisi baru yang lebih baik).
2. Muhammadiyah
3
Moh Ali Aziz, “Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”, Dialog
Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, (Surabaya, 2001), 6.
4
Era perjuangan melawan kolonialisme, era kemerdekaan, era transisi dari Orde Lama ke Orde
Baru, era pembangunan bangsa dengan pengukuhan Pancasila sebagai asas tunggal berbangsa dan
bernegara, dan ke lima masa peralihan dari Orde Baru ke era reformasi. Faisal Ismail, Islam
Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2001), 185-186.
4
gerakannya di bidang amal usaha sosial dibandingkan dengan produk pemikiran
keagamaannya, maka Muhammadiyah lebih dikenal sebagai gerakan amal (praksis)
bukan sebagai gerakan pemikiran.
Majelis Ulama Indonesia adalah wadah atau majelis yang menghimpun para
ulama, zuama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk menyatukan gerak dan langkah-
langkah umat Islam Indonesia dalam mewujudkan cita-cita bersama. Majelis Ulama
Indonesia berdiri pada tanggal, 7 Rajab 1395 H, bertepatan dengan tanggal 26 Juli 1975
di Jakarta, sebagai hasil dari pertemuan atau musyawarah para ulama, cendekiawan dan
zu'ama yang datang dari berbagai penjuru tanah air. MUI berdiri bertepatan ketika bangsa
Indonesia tengah berada pada fase kebangkitan kembali, setelah 30 tahun merdeka, di
mana energi bangsa telah banyak terserap dalam perjuangan politik kelompok dan kurang
peduli terhadap masalah kesejahteraan rohani umat. Selama dua puluh lima tahun berdiri,
Majelis Ulama Indonesia sebagai wadah musyawarah para ulama, zu‟ama dan
cendekiawan muslim. Dan masih terdapat banyak organisasi kemasyarakatan
lainnya.seperti, Persatuan Islam (Persis), Hidayatulloh, Front Pembela Islam dan lain
sebagainya.
5
Fatkhurrahman Djamil, Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah, (Jakarta: Logos, 1995),
hlm.10
5
B. Penerapan Hukum Islam Melalui Suprasturktur Sosial
Pengembangan hukum Islam melalui berbagai saluran baik melalui pranata sosial
yang tersedia maupun badan penyelenggara kekuasaan Negara: legislatif, berupa Undang-
undang.6
Adapun perundang-undangan yang lahir sebagai sikap kritis dari badan legislatif
terhadap kepentingan umat Islam di Indonesia di antaranya adalah, dasar hukum yang
menjamin kebebasan beragama di Indonesia terdapat pada pasal 28E ayat (1) UUD 1945,
pasal 28E ayat (2) UUD 1945 juga menyatakan bahwa setiap orang berhak atas
kebebasan meyakini kepercayaan. Selain itu dalam pasal 281 ayat (1) UUD 1945 juga
diakui bahwa hak untuk beragama merupakan hak asasi manusia. Undang-Undang RI
No.7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UndangUndang RI No.3 Tahun 2006 tentang
perubahan atas UU No.7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, UU RI No.50 Tahun
2009 tentang perubahan kedua atas UU No.7 Tahun 1989 Tentang peradilan Agama.
UndangUndang RI No.1 Tahun 1974 tentang perkawinan, Undang-undang No. 23 Tahun
2011 sebagai perubahan Undang-Undang RI No.38 Tahun 1999 tentang pengelolaan
zakat. UU No. 17 Tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji. Undang-undang RI No. 41
Tahun 2004 Tentang wakaf, Undang-undang RI No. 19 Tahun 2008 tentang surat
berharga syari‟ah Negara, Undang-undang RI No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syari‟ah, Lahirnya UU No. 18 Tahun 2001 tentang Nangroe Aceh Darussalam yang
member otonomi Khusus kepada Daerah Istimewa Aceh untuk menerapkan syari‟at
Islam, hal ini menunjukkan bahwa ajaran Islam telah terimplementasi dalam kehidupan
sehari-hari masyarakat Islam. Lahirnya UU No. 21 Tahun 2008 tentang perbankan
syari‟ah, Lahirnya PERMA No. 02 tahun 2008 pada tanggal 10 september 2008 tentang
kompilasi hokum Ekonomi Syari‟ah, meskipun saat ini kedudukannya hanya sebagai
kitab pedoman, namun ke depan dapat diperjuangkan melalui jalur legislasi sebagai kitab
Undang-Undang.7
6
Cik Hasan Bisri, Hukum Islam Dalam tatanan Masyarakat Indonesia, Cet. Pertama, (Jakarta:
Logos, 1998), hlm, 113.
7
Ibid. hlm 114.
6
yaitu putusan Pengadilan Agama dan pengadilan negeri.8 Adapun Institusi hukum Islam
yang dibentuk oleh pemerintah atau badan penyelenggara kekuasaan Negara
(Suprastruktur) terbagi menjadi dua: pertama, di bidang peradilan/kehakiman (Yudikatif),
kedua, di bidang pemerintah/menteri Agama (Eksekutif).
Dalam masa pra-demokrasi terpimpin, yaitu November 1945 sampai juni 1959,
kita kenal badan eksekutif yang terdiri atas presiden dan wakil presiden, sebagai bagian
dari badan eksekutif yang tak dapat diganggu gugat, dan menteri-menteri yang dipimpin
oleh seorang perdana menteri dan yang bekerja atas dasar tanggung jawab menteri.
Kabinet merupakan kabinet yang dipimpin oleh wakil presiden Moh.Hatta, yang karena
itu dinamakan kabinet presidensial. Mulai juni 1959 undang-undang dasar berlaku
kembali dan menurut ketentuan undang-undang dasar itu badan eksekutif terdiri atas
seorang presiden, wakil presiden, beserta menteri-menteri. Menterimenteri membantu
presiden dan diangkat serta diberhentikan olehnya.9
8
Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu politik, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2008),
hlm,310.
9
Ibid.
7
Kementrian agama dalam menjalankan tugasnya, melakukan beberapa fungsi
sebagai berikut;
Dalam doktrin trias politika, baik yang diartikan sebagai pemisahan kekuasaan
maupun pembagian kekuasaan, khusus untuk pembagian kekuasaan yudikatif, prinsip
yang tetap dipegang adalah bahwa dalam tiap Negara hukum badan yudikatif haruslah
bebas dari campur tangan badan eksekutif, ini dimaksudkan agar badan yudikatif dapat
berfungsi secara sewajarnya demi penegakan hukum dan keadilan serta menjamin hak-
hak asasi manusia.11
10
Tugas dan Fungsi Kementrian Agama RI, https://kemenag.go.id/artikel/tugas-danfungsi, Akses
19 April 2020.
11
Miriam Budiardjo, Loc Cit, hlm 356.
8
Pada konteks Indonesia, pada periode sejarah penegakkan hukum yang
memperlihatkan bahwa kekuasaan kehakiman belum dapat dikualifikasi sebagai
independen. Indikasi atas hal itu dapat dikemukakan dari berbagai hal sebagai berikut,
yaitu:
a. Di era kolonialisme, hakim pada hoogerechtsthof dan Raad van Justitie adalah pegawai
yang terpisah dari pemerintahan, sedangkan ketua Landraad di Jawa dan Madura dan di
sebagian luar Jawa dan Madura adalah pegawai pemerintahan yang biasanya berada di
bawah Departemen Kehakiman.
b. Pada zaman Orde Lama, kekuasaan kehakiman ditempatkan sebagai alat revolusi
hukum untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat, Pasal 19 Undang Undang No. 19
Tahun 1964 menyatakan ”Demi kepentingan revolusi, kehormatan Negara dan Bangsa
atau kepentingan masyarakat yang sangat mendesak, Presiden dapat turut atau campur‐
tangan dalam soal‐soal pengadilan”. Begitupun halnya dengan otoritas dari lembaga
penegakan hukum lainnya.
c. Pada era Orde Lama ini, Presiden menempatkan Ketua Mahkamah Agung sebagai
Menteri Kabinet dengan 3 (tiga) jabatan, yaitu: Menteri Penasihat Hukum Presiden,
Menteri Kehakiman dan Menteri yang menjabat dan merangkap juga sebagai Ketua
Mahkamah Agung.12
d. Pada Orde Baru, Presiden tidak lagi menempatkan Ketua Mahkamah Agung dibawah
kekuasaan Presiden tetapi syarat‐ syarat seorang hakim untuk dapat diangkat dan
diberhentikan diatur di dalam Undang Undang dan di dalam perundangan dimaksud ada
kewenangan Presiden untuk menentukan hakim dimaksud.
12
Philippus M Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga –lembaga Tinggi Negara sesuai Undang
Undang Dasar 1945: Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan,(Surabaya: PT Bina Ilmu, 1992),
halaman 69.
9
Tetapi kemudian, Undang Undang Dasar pasca amandemen lebih tegas mengatur
kekuasaan kehakiman dengan menyatakan ”kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan
keadilan”. Konstitusi dimaksud juga merumuskan secara tegas, siapa saja lembaga yang
menjadi penyelenggara dan bagian dari kekuasaan kehakiman, merumuskan tugas dan
wewenangnya serta hal lain yang berkaitan dengan pengangkatan dan syarat menjadi
Hakim Konstitusi dan anggota Komisi Yudisial.
Karna fokus pembahasan penelitian ini tentang Institusi hukum Islam maka yang
penulis maksudkan di sini adalah lembaga peradilan agama. Peradilan agama merupakan
proses pemberian keadilan berdasarkan hukum Islam kepada orang-orang Islam yang
dilakukan dipengadilan agama dan pengadilan tinggi agama, keberadaan peradilan agama
dalam sistem peradilan nasional Indonesia, merupakan salah satu pelaksana kekuasaan
kehakiman di Indonesia.13
Peradilan agama telah tumbuh dan melembaga di bumi nusantara sejak agama
Islam dianut oleh penduduk yang berada di wilayah ini, berabad-abad sebelum
kedatangan penjajah, keberadaan peradilan agama pada waktu itu belum mempunyai
landasan hukum secara formal. Peradilan Agama ini muncul bersamaan dengan adanya
kebutuan dan kesadaran hukum umat Islam Indonesia.14
Pengakuan akan adanya peradilan agama sangatlah berarti dalam negeri ini
meskipun dalam prakteknya pelaksanaan lembaga peradilan ini selalu disetir dan
diintervensi oleh pihak kolonial, oleh karena itu, keberadaan peradilan agama seperti itu
belum menjamin terlaksananya lembaga peradilan yang didasarkan pada nilai-nilai
keIslaman. Berbagai usaha telah dilakukan umat Islam dalam rangka mewujudkan
lembaga peradilan Agama yang diimpikan. Usaha ini ternyata memakan waktu yang
cukup lama. Setelah melalui berbagai tahapan, baru pada tahun 1989 pemerintah
Indonesia mengeluarkan undang-undang no.7 tahun 1989 yang khusus mengatur
Peradilan Agama, dengan keluarnya undang-undang ini maka keberadaan Peradilan
13
Mohammad Daud Ali, Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia, cetakan ke-V (Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996), hlm, 251.
14
Munawir Sjadzali, Landasan pemukiran politik hukum Islam dalam rangka menentukan
peradilan Agama di Indonesia, dalam Djun Surdjaman (ed), Hukum Islam di Indonesia:Pemikiran
dan praktek, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991), hlm, 42.
10
Agama mempunyai landasan hukum yang formal dan diakui sejajar dengan badan-badan
peradilan lainnya yang sama-sama melaksanakan fungsi kehakiman di Indonesia.
Organisasi Islam mempunyai peranan fital dalam menata dan mengarahkan umat,
keberadaan organisasi ini menjadi garda terdepan untuk memberikan kontrol terhadap
problematika yang merebak di tengah masyarakat, oleh karenanya perbedaan yang
terdapat antara satu ormas dengan ormas lainnya harus disikapi dengan bijak, dengan
tidak menjadikannya sebagai alasan perpecahan dan kemelut sosial. Perbedaan tersebut
harus diarahkan kearah perbaikan, serta menjadikannya layaknya pelangi dengan warna-
warna yang berbeda namun justru lebih tampak menarik karna perbedaan tersebut.
Dakwah Islamiyah mewajibkan muslim bergerak dan berusaha untuk mewujudkan nilai-
nilai Islam, ditengaah-tengah masyarakat. Untuk mencapai tuntutan tersebut diperlukan
suatu kegiatan yang dilakukan secara bersama dan terkoordinasi yaitu amal jama‟i.
1. Peradilan Agama
11
Selain kewenangan tersebut, pasal 52A Undang-Undang Nomor 3 tahun 2006
menyebutkan bahwa “Pengadilan agama memberikan istbat kesaksian rukyat hilal dalam
penentuan awal bulan pada tahun Hijriyah”. Penjelasan lengkap pasal 52A ini berbunyi:
“Selama ini pengadilan agama diminta oleh Menteri Agama untuk memberikan
penetapan (itsbat) terhadap kesaksian orang yang telah melihat atau menyaksikan hilal
bulan pada setiap memasuki bulan Ramadhan dan awal bulan Syawal tahun Hijriyah
dalam rangka Menteri Agama mengeluarkan penetapan secara nasional untuk penetapan
1 (satu) Ramadhan dan 1 (satu) Syawal. Pengadilan Agama dapat memberikan
keterangan atau nasihat mengenai perbedaan penentuan arah kiblat dan penentuan waktu
shalat. Di samping itu, dalam penjelasan UU nomor 3 tahun 2006 diberikan pula
kewenangan kepada PA untuk Pengangkatan Anak menurut ketentuan hukum Islam.
2. Kementerian Agama RI
Tugas pokok kementerian Agama ada 5 program pokok, yaitu (1) Meningkatkan
pemahaman dan pengamalan agama, (2) Meningkatkan Kerukunan Umat Beragama, (3)
Meningkatkan mutu pendidikan agama (4) Meningkatkan mutu pelayanan haji (5)
Meningkatkan tata kelola pemerintahan yang baik.
12
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Keberadaan Pengadilan Agama sebagai pengadilan Islam limitatif mempengaruhi
masyarakat Islam untuk mendapatkan keadilan. Dengan demikian, adanya Undang
Undang 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua Undang-Undang No.7 Tahun 1989
tentang Peradilan Agama, Menjadi tongak supremasi hukum peradilan Agama di
Indonesia. Sumber hukum Pengadilan Agama secara garis besar terdiri dari sumber
hukum materil yang bersumber dari hukum Islam dan hukum materil yang terikat
dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 atas perubahan kedua
UndangUndang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan sumber hukum
formil adalah sumber hukum yang terdiri dari hukum perundangundangan, hukum
kebiasaan, hukum yurisprudensi, hukum agama dan hukum adat yang dinyatakan
sebagai hukum positif. Kewenangan memeriksa, memutuskan dan menyelesaikan
Perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam merupakan
tanggung jawab Pengadilan Agama yang didasari atas kewenangan relatif dan
kewenangan absolut.
Peradilan Agama adalah suatu daya upaya yang dilakukan untuk mencari
keadilan atau menyelesaikan perkara-perkara tertentu bagi orang-orang yang
beragama Islam melalui lembaga-lembaga yang berfungsi untuk melaksanakan
kekuasaan kehakiman menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peranan
Hakim Pengadilan Agama dalam penerapan Hukum Islam adalah sebagai alat untuk
menjaga keselarasan komponen-komponen hukum lainnya, secara fungsional.
Dengan kata lain, tegaknya Hukum Islam, ditentukan oleh kemampuan peranan
hakim pengadilan agama dalam menyelaraskan perangkat hukum dan kesadaran
hukum, sehingga tercipta ketertiban dan kepastian hukum di dalam masyarakat.
B. Saran
Dalam pembuatan makalah mengenai Hubungan Pengailan Agama Dengan
Penerapan Hukum Islam Di Indonesia ini penulis berharap agar para pembaca tidak
sekedar membaca apa yang telah kami buat tetapi memahami semua kajian yang ada
didalamnya. Mungkin ini saja yang dapat kami tulis meskipun penulisan ini jauh dari
kata sempurna minimal kita dapat mengimplementasikan tulisan ini. Dan kami
13
mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah PA Di Indonesia
Dosen Arifuddin, Drs., M.A. yang telah memberikan kami tugas kelompok ini.
14
DAFTAR PUSTAKA
Cik Hasan Bisri. Hukum Islam Dalam tatanan Masyarakat Indonesia,cet. Pertama.
Jakarta: Logos, 1998.
Moh Ali Aziz. “Hubungan Antar Umat Beragama Dalam Perspektif Ajaran Islam”,
Dialog Mahasiswa Intern Dan Antar Umat Beragama Se Jawa Timur, 2001.
Faisal Ismail. Islam Tranformasi Sosial dan Kontinuitas Sejarah. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2001.
Fatkhurrahman Djamil. Metode Ijtihad Majlis Tarjih Muhammadiyah. Jakarta: Logos,
1995.
Miriam Budiardjo. Dasar-Dasar Ilmu politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama,
2008.
Tugas Pokok Kementrian Agama, https://kemenag.go.id/artikel/tugas-dan-fungsi.
Philippus M Hadjon. Lembaga Tertinggi dan Lembaga –lembaga Tinggi Negara sesuai
Undang Undang Dasar 1945: Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan. Surabaya:
PT Bina Ilmu, 1992.
Mohammad Daud Ali. Hukum Islam: Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Islam di
Indonesia. cetakan ke-V. Jakarta:PT. Raja Grafindo Persada, 1996.
Munawir Sjadzali. Landasan pemukiran politik hukum Islam dalam rangka menentukan
peradilan Agama di Indonesia, dalam Djun Surdjaman (ed), Hukum Islam di
Indonesia:Pemikiran dan praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya, 1991.