Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Makalah Ijtihad Dan Hulul

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 15

IJTIHAD DAN HULUL

Makalah ini Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Mata


Kuliah Akhlak Tasawuf pada Program Studi
Perbankan Syariah 1

OLEH:
HUSNAWATI
01175015

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI


IAIN BONE
2019

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.

Watampone, Maret 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii   
BAB I PENDAHULUAN   1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 1
C. Tujuan Penulisan 1
BAB II PEMBAHASAN  2  
A. Ijtihad 2
B. Hulul 9
BAB III PENUTUP  11
A. Kesimpulan 11
B. Saran 11
DAFTAR PUSTAKA 12

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Tasawuf falsafi adalah tasawuf yang didalamnya tercampur antara rasa
(dzauq) tasawuf dan pemikliran akal. Dzauq lebih dekat dengan tasawuf dan
rasio lebih dekat dengan filsafat. Adapun ciri dari filsafat falsafi adalah
menyusun teori-teori wujud berlandaskan rasa atau kajian proses bersatunya
Tuhan dengan manusia dan tasawuf ini bersifat pemikiran dan renungan.1
Tasawuf falsafi oleh sebagian kalangan dianggap sebagai lawan dari
tasawuf sunny yakni tasawuf yang ajarannya diklaim sebagai yang sesuai
dengan tradisi (sunnah) Nabi dan sahabat-sahabatnya. Dengan demikian reaksi
terhadap tasawuf semi falsafi maupun falsafi dilakukan oleh mereka yang
dianggap membela sunnah Nabi. Reaksi terhadap tasawuf semi falsafi
dilakukan oleh al-Quyairi, al-Harawy, al-Ghazali dan lain sebagainya. Dan
reaksi terhadap tasawuf falsafi ditandai dengan munculnya (ordo) tarikat yang
diantara yang latarbelakangnya adalah untuk memagari tasawuf agar
senantiasa berada pada koridor syari’at.
Dalam kesempatan kali ini, kami berusaha untuk membahas lebih
dalam tentang pengertian ittihad, pengertian dan tujuan hulul,. Oleh karena itu,
mari kita bahas bersama-sama.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Ittihad?
2. Apa Pengertian Hulul?

C. Tujuan penulisan
1. Untuk mengetahui Pengertian Ittihad
2. Untuk mengetahui pengertan hulul

1 Harjan Syuhada et.al., Fikih Madrasah Aliyah, (Jakarta: PT Bumi Aksara, 2011) h.57

1
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ijtihad
1. Pengertian Ijtihad
Kata ijtihad berakar dari kata al-juhd, yang berarti al-thaqah (daya,
kemampuan, kekuatan) atau dari kata al-jahd yang berarti al-masyaqqah
(kesulitan, kesukaran). Dari itu, ijtihad menurut pengetian kebahasaannya
bermakna “badzl al-wus’ wa al-majhud” (pengerahan daya dan kemampuan), atau
“pengerahan segala daya dan kemampuan dalam suatu aktivitas dari aktivitas-
aktivitas yang berat dan sukar”.2
Ijtihad dalam terminologi usul fikih secara khusus dan spesifik mengacu
kepada upaya maksimal dalam mendapatkan ketentuan syarak. Dalam hal ini, al-
Syaukani memberikan defenisi ijtihad dengan rumusan : “mengerahkan segenap
kemampuan dalam mendapatkan hukum syarak yang praktis dengan
menggunakan metode istinbath”. Atau dengan rumusan yang lebih sempit :
“upaya seseorang ahli fikih (al-faqih) mengerahkan kemampuannya secara
optimal dalam mendapatkan suatu hukum syariat yang bersifat zhanni”.3
Sedangkan pengertian ijtihad menurut istilah hukum islam ialah
mencurahkan tenaga (memeras fikiran) untuk menemukan hukum agama (Syara’)
melalui salah satu dalil Syara’, dan dengan cara-cara tertentu, sebab tanpa dalil
Syara’ dan tanpa cara-cara tertentu tersebut, maka usaha tersebut merupakan
pemikiran dengan kemauan sendiri semata-mata dan sudah barang tentu cara ini
tidak disebut ijtihad.4
2. Dasar Hukum
Ada beberapa dasar hukum diharuskannya ijtihad, diantaranya :
a. Al-Qur’an

2DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, hlm 73

3 Hasan Matsum, Diktat Ushul Fiqh, Fakultas Tarbiyah IAIN  SU Medan,  h. 85

4Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, hlm 162

2
‫ ُر ُّدوهُ إِلَى‬QQَ‫ُوا ٱل َّرسُو َل َوأُوْ لِي ٱأۡل َمۡ ِر ِمن ُكمۡۖ فَإِن تَ ٰنَز َۡعتُمۡ فِي َش ۡي ٖء ف‬ْ ‫ُوا ٱهَّلل َ َوأَ ِطيع‬ ْ ‫ٰيَٓأَيُّهَاٱلَّ ِذينَ َءا َمنُ ٓو ْا أَ ِطيع‬
٥٩ ‫ر َوأَ ۡح َسنُ ت َۡأ ِوياًل‬ٞ ‫ُول إِن ُكنتُمۡ تُ ۡؤ ِمنُونَ بِٱهَّلل ِ َو ۡٱليَ ۡو ِمٱأۡل ٓ ِخ ۚ ِر ٰ َذلِكَ خ َۡي‬ِ ‫ٱهَّلل ِ َوٱل َّرس‬
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya),
dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat
tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan
Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya”. (QS.An-nisa:59)
dan firman-Nya yang lain :
َ ٰ ‫ُوا ٰيَٓأُوْ لِي ٱأۡل َ ۡب‬
٢ ‫ص ِر‬ ۡ َ‫ َوأَ ۡي ِدي ۡٱل ُم ۡؤ ِمنِينَ ف‬......
ْ ‫ٱعتَبِر‬
“......Maka ambillah (kejadian itu) untuk menjadi pelajaran, hai orang-
orang yang mempunyai wawasan (QS.Al-Hasyr : 2)
Menurut firman pertama, yang dimaksud dengan dikembalikan
kepada Allah dan Rasul ialah bahwa bagi orang-orang yang mempelajari
Qur’an dan Hadits supaya meneliti hukum-hukum yang ada alsannya,
agar bisa diterapkan kepada peristiwa-peristiwa hukum yang lain, dan hal
ini adalah ijtihad. Pada firman kedua, orang-orang yang ahli memahami
dan merenungkan diperintahkan untuk mengambil ibarat, dan hal ini
berarti mengharuskan mereka untuk berijtihad. Oleh karena itu, maka
harus selalu ada ulama-ulama yang harus melakukan ijtihad.5
firman-Nya yang lain :
٦٩ َ‫ُوا فِينَا لَن َۡه ِديَنَّهُمۡ ُسبُلَن َۚا َوإِ َّن ٱهَّلل َ لَ َم َع ۡٱل ُم ۡح ِسنِين‬
ْ ‫َوٱلَّ ِذينَ ٰ َجهَد‬
“Dan orang-orang yang  berjihad untuk ( mencari keridlaan ) Kami,
benar-benar akan Kami tunjukkan  kepada mereka jalan-jalan Kami.
Dan sesungguhnya Allah benar-benar beserta orang-orang yang berbuat
baik”.( Q.S. Al-‘Ankabut:69 )
ِ َ‫اس بِ َمٓا أَ َر ٰىكَ ٱهَّلل ۚ ُ َواَل تَ ُكن لِّ ۡل َخٓائِنِينَ خ‬
١٠٥ ‫ص ٗيما‬ ِ َّ‫ق لِت َۡح ُك َم بَ ۡينَ ٱلن‬ َ َ‫ك ۡٱل ِك ٰت‬
ِّ ‫ب بِ ۡٱل َح‬ َ ‫إِنَّٓا أَن َز ۡلنَٓا إِلَ ۡي‬
“Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab kepadamu dengan
membawa kebenaran, supaya kamu mengadili antara manusia dengan
apa yang telah Allah wahyukan kepadamu”. (Q.S.An-nisa:105)

b. Al-Hadits
 Kata – kata Nabi s.a.w. : “Ijtihadlah kamu, karena tiap-tiap orang akan
mudah mencapai apa yang diperuntukkan kepadanya” 6
 Sabda Rosulullah yang diriwayatkan Bukhori Muslim

5Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, h. 163


6 Mustafa, Akhlak Tasawuf, (Cet. I; Bandung: Pustaka Setia, 1997), h. 41

3
ِ ‫ان َواِ ِن جْ تَهَ َد فَا َ ْخطَأ َ فَلَهُ اَجْ ٌر َو‬
)‫ (بخارى و مسلم‬.‫اح ٌد‬ ِ ‫اب فَلَهُ اَجْ َر‬
َ ‫ص‬َ َ ‫د فَا‬Qَ َ‫اَ ْل َحا ِك ُم اِ َذا اجْ تَه‬
“Hakim apabila berijtihas kemudian dapat mencapai kebenaran
maka ia mendapat dua pahala (pahala melakukan ijtihad dan pahala
kebenaran hasilnya). Apabila ia berijtihad kemudian tidak mencapai
kebenaran, maka ia mendapat satu pahala (pahala melakukan
ijtihad)”.(Hadits riwayat Bukhari dan Muslim)

 Hadits yang menerangkan dialog Rasulullah SAW dengan Mu’adz bin


Jabal, ketika Muadz diutus menjadi hakim di Yaman berikut ini:
َ ‫وْ ُل هللاِ لَ َّما أَ َرا َد أَ ْن يَ ْب َع‬Q‫ ِل إِ َّن َر ُس‬Qَ‫اذ ْب ِن َجب‬QQ‫ب ُم َع‬
‫ا ًذا‬QQ‫ث ُم َع‬ ٍ َ ‫ع َْن أُنا‬
ْ َ‫س ِّم ْن اَ ْه ِل َح َمص ِم ْن أ‬
ِ ‫ َحا‬Q‫ص‬
‫ ْد فِي‬Q‫إ ِ ْن لَ ْم تَ ِج‬Qَ‫ ف‬:‫ا َل‬Qَ‫ ق‬.ِ‫ب هللا‬ ِ ‫ أَ ْق‬:‫ضا ٌء؟ قَا َل‬
ِ ‫ا‬Qَ‫ضى بِ ِكت‬ َ َ‫ض ل‬
َ َ‫ك ق‬ ِ ‫ َك ْيفَ تَ ْق‬:‫الِ َي ْاليَ َم ِن قَا َل‬
َ ‫ض إِ َذا َع َر‬
ِ ‫ا‬Qَ‫وْ ِل هللاِ َواَل فِي ِكت‬Q‫ فَإ ِ ْن لَ ْم تَ ِج ْد فِي ُسنَّ ِة َر ُس‬:‫ال‬
َ َ‫ب هللاِ؟ ق‬
:‫ال‬Q َ َ‫ ق‬.ِ‫ فَبِ ُسنَّ ِة َرسُوْ ِل هللا‬:‫ب هللا؟ قَا َل‬
ِ ‫ِكتَا‬
َ َّ‫ اَ ْل َح ْم ُدهَّلِل ِ الَّ ِذيْ َوف‬:‫ص ْد َرهُ َوقَا َل‬
‫ق َرسُوْ َل َرسُوْ ِل هللاِ لَ َّما‬ َ ِ‫ب َرسُوْ ُل هللا‬ َ َ‫ ف‬. ْ‫اَجْ تَ ِه ُد َراي ِْئ َواَل آلُو‬
َ ‫ض َر‬
َ ْ‫يَر‬.
)‫ (رواه ابوداود‬ ِ‫ضي َرسُوْ ُل هللا‬
“Diriwayatkan dari penduduk homs, sahabat Muadz ibn Jabal,
bahwa Rasulullah saw. Ketika bermaksud untuk mengutus Muadz ke
Yaman, beliau bertanya: apabila dihadapkan kepadamu satu kasus
hukum, bagaimana kamu memutuskannya?, Muadz menjawab:, Saya
akan memutuskan berdasarkan Al-Qur’an. Nabi bertanya lagi:, Jika
kasus itu tidak kamu temukan dalam Al-Qur’an?, Muadz
menjawab:,Saya akan memutuskannya berdasarkan Sunnah
Rasulullah. Lebih lanjut Nabi bertanya:, Jika kasusnya tidak terdapat
dalam Sunnah Rasul dan Al-Qur’an?,Muadz menjawab:, Saya akan
berijtihad dengan seksama. Kemudian Rasulullah menepuk-nepuk
dada Muadz dengan tangan beliau, seraya berkata:, Segala puji bagi
Allah yang telah memberi petunjuk kepada utusan Rasulullah
terhadap jalan yang diridloi-Nya.”(HR.Abu Dawud)

c. Ijmak
Umat Islam dan berbagai madhabnya telah sepakat atas
dianjurkannya ijtihad, dan sungguh ijtihad ini telah dipraktekkan benar.
Di antara buah dan hasil ijtihad ini adalah hukum-hukum fiqh yang cukup
kaya yang ditelorkan para mujtahid sejak dulu sampai sekarang.7
Akal kita pun mewajibkan untuk melaksanakan ijtihad karena
sebagian besar dalil-dalil hukum syara’ praktis adalah bersifat dzanni

7 Stofa, Akhmad. Akhlak Tasawuf. (Cet. I Bandung : CV Pustaka Setia. 1999), h. 10

4
yang menerima beberapa interpretasi pendapat sehingga memerlukan
adanya ijtihad guna menentukan pendapatnya yang kuat atau yang
terkuat. Demikian juga perkara-perkara yang tidak ada nashnya menuntut
adanya ijtihad agar bisa menjelaskan hukum syara’nya dengan
menggunakan salah satu cara istidlal. Oleh karena Syariat Islam harus
menetapkan semua hukum perbuatan hamba-hamba Allah SWT maka
tidak ada jalan lain selain ijtihad.8
3. Fungsi Ijtihad
Imam syafi’I ra. (150-204 H) dalam kitabnya Ar-risalah ketika
menggambarkan kesempurnaan Al-Quran pernah menegaskan: “Maka tidak
terjadi suatu peristiwa pun pada seorang pemeluk agama Allah, kecuali dalam
kitab Allah terdapat petunjuk tentang hukumnya”.
Pernyataan Syafi’I tersebut menginspirasikan bahwa hukum-hukum yang
terkandung oleh Al-Quran yang bisa menjawab berbagai permasalahan itu harus
digali dengan kegiatan ijtihad. Oleh karena itu, Allah mewajibkan hamba-Nya
untuk berijtihad dalam upaya menimba hukum-hukum dari sumbernya itu. Allah
menguji ketaatan seseorang untuk melakukan ijtihad, sama halnya seperti Allah
menguji ketaatan hamba-Nya dalam hal-hal yang diwajibkan lainnya.
Selanjutnyaijtihad memiliki banyak fungsi, diantaranya:
a. Menguji kebenaran hadis yang tidak sampai ke tingkat hadis mutawattir
seperti Hadis Ahad, atau sebagai upaya memahami redaksi ayat atau hadis
yang tidak tegas pengertiannya sehingg tidak angsung dapat dipahami.
b. Berfungsi untuk mengembangkan prinsip-prinsip hukum yang terdapat
dalam Al-Quran dan Sunnah seperti dengan Qiyas, Istihsan, dan Maslahah
mursalah. Hal ini penting, karena ayat-ayat dan hadis-hadis hukum yang
sangat terbatas jumlahnya itu dapat menjawab berbagai permasalahan
yang terus berkembang dan bertambah denga tidak terbatas jumlahnya.9
4. Kedudukan Ijtihad
8 Dr. Yusuf Al Qardlawy, Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan Analitis
tentang Ijtihad Kontemporer, h. 100
9 Mustofa, Akhmad. Akhlak Tasawuf. (Cet. I; Bandung : CV Pustaka Setia. 1999),
h. 19

5
Tidak semua kedudukan hukum Islambisa menjadi pokok ijthad,
melainkan hanya beberapa kedudukan tertentu. Kedudukan yang tidak boleh
menjadi objek ijtihad ialah:10
a. Hukum yang dibawa oleh nas qat’I baik kedudukannya maupun
pengertiannya, atau dibawa oleh Hadits Mutawir, seperi kewajiban shalat,
puasa, zakat, haji, dan sebagainya, haramnya riba dan makan harta orang.
Demikian pula penentuan bilangan-bilangan tertentu syara’ yang dibawa
oleh Hadits mutawir juga tidak menjadi obyek ijtihad, seperti bilangan
raka’at shalat, waktu-waktu shalat, cara-cara melakukan haji, dan
sebagainya.
b. Hukum-hukum yang tidak dibawa oleh sesuatu nas, dan tidak pula
diketahui dengan pasti dari agama, melainkan telah disepakati (diijma’kan)
oleh para mujtahidin dari sesuatu masa, seperti pemberian warisan untuk
nenek perempuan, tidak sahnya perkawinan yang dilakukan antara wanita
Islam dengan orang lelaki bukan muslim.
Adapun kedudukan yang bisa menjadi obyek ijtihad adalah:
a. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhanni, baik dari segi
pengertiannya, dan nas seperti ini adalah hadits. Ijtihad dalam hal ini
ditujukan kepada segi sanad dan pen-sahinannya, juga dari pertalian
pengertiannya dengan hukum yang sedang dicari.
b. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang qat’I kedudukannya, tetapi dhanni
pengertiannya, dan nas seperti ini terdapat dalam Qur’an dan Hadits juga:
Obyek ijtihad disini ialah segi pengertiannya saja.
c. Kedudukan yang dibawa oleh nas yang dhannu kedudukannya, tetapi qat’I
pengertiannya, dan hal ini hanya terdapat dalam Hadits. Obyek Ijtihad
dalam hal ini ialah segi sanad, sahihnya hadits, dan pertaliannya dengan
Rasul. Dalam ketiga-tiga kedudukan hukum tersebut di atas semua, daerah
ijtihad terbatas sekitar nas, di mana seseorang mujtahid tidak bisa
melampaui kemungkinan-kemungkinan pengertian nas.

10 Abuddin  Nata. Akhlak Tasawuf, (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1997), h.


14

6
d. Kedudukan yang tidak ada nas-nya atau tidak iijma’kan dan tidak pula
diketahui dari agama dengan pasti. Di sini seseorang yang berijtihad
memakai qiyas, atau istihsan atau ‘urf atau jalan-jalan lain. Di sini daerha
ijtihad lebih luas daripada kedudukan-kedudukan lain.
Sudah barang tentu pandangan orang-orang yang berijtihad dapat berbeda-
beda, terutama dalam kedudukan yang ke-empat tersebut. Oleh karena itu dalam
sesuatu persoalan bisa terdapat bermacam-macam pendapat, sesuai dengan
perbedaan tinjauan dan jalan pengambilan hukum yang dipakai. Perbedaan-
perbedaan pendapat yang kita dapati dalam kedudukan hukum Islam
mencerminkan bermacam-macamnya hasil ijtihad. Keadaan ini tidak perlu
melemahkan kedudukan syri’at Islam, bahkan menunjukkan sifat flexibilitasnya
dan menjadi sumber kekayaan dan kepadatan pembicaraan-pembicaraannya.11
Ringkasnya kedudukan ijtihad ada dua, yaitu perkara yang tidak ada nas
(ketentuan) sama sekali, dan perkara yang ada nasnya, tetapi tidak qath’I wurud
dan dalalahnya.Pembatasan kedudukan ijtihad seperti ini sama dengan apa yang
diikuti oleh sistem hukum positif, karena selama undang-undang menyatakan
dengan jelas, maka tidak boleh ada pena’wilan dan perubahan terhadap nas-
nasnya dengan dalih bahwa jiwa undang-undangnya menghendaki adanya
perubahan tersebut, meskipun andaikata hakim sendiri berpendapat bahwa
undang-undang tersebut tidak mencerminkan rasa keadilan, karena sumber
undang-undang tersebut adalah majelis perundang-undangan sendiri, sedang
wewenang hakim hanya terbatas pada pemberian keputusan berdasarkan undang-
undang tersebut, bahkan untuk mengadili undang-undang itu sendiri.12
5. Syarat- Syarat Ijtihad
Ijtihad adalah tugas suci keagamaan yang bukan yang bukan sebagai
pekerjaan mudah, tetapi pekerjaan berat yang menghendaki kemampuan dan
persyaratantersendiri. Jadi, tidak dilakukan oleh setiap orang. Memang
egalitarianisme Islam tidak memilah-milah para pemeluk Islam dalam kelas-kelas
tertentu, dan menyangkut Ijtihad pun setiap orang berhak melakukannya, tetapi

11 Rachmat Syafe’i,  Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung: Pustaka Setia) h. 97


12Jalaluddin Rahmat, Dasar Hukum Islam, h 174

7
permasalahannya bukan di situ, ijtihad adalah suatu bentuk kerja keras yang
memerlukan kemampuan tinggi. Oleh sebab itu, tidak semua orang akan dapat
melakukannya, sekalipun mereka tetap memiliki hak untuk itu. Seperti dalam
dunia kedokteran, memang hak semua orang untuk bisa berbicara tentang
kesehatan, tetapi tidak semua orang memiliki otoritas melakukan diagnosis dan
membuat resep, kecuali dokter. Sebab, jika semua orang diberi wewenang
melakukan diagnosis dan membuat resep, akibatnya adalah bahaya bagi
kehidupan manusia sendiri. Demikian pula ijtihad, jika semua orang melakukan
ijtihad (maksudnya: ijtihad mutlak), maka akibatnya pun akan membahayakan
kehidupan ummat.13
Syarat-syarat ijtihad yang dikemukakan oleh al-Syaukani di atas
sebenarnya tidak jauh berbeda dengan syarat-syarat yang telah dikemukakan oleh
para ulama usul fikih klasik. Bahkan, menurut Muhammad Abu Zahrah, Syarat-
syarat seperti yang telah disebutkan itu secara garis besar telah disepakati oleh
segenap ulama usul, mereka hanya berbeda hanya dalam melihat runciannya. Oleh
sebab itu, tidak dapat dikatakan bahwa al-Syaukani sebagai pencetus pertama
persyarat-persyaratan tersebut. Peran al-Syaukani di sini ialah bahwa ia telah
dapat merumuskan syarat-syarat ijtihad itu secara jelas, ringkas, dan dapat
diterapkan secara praktis, karena dibarengi dengan dorongan-dorongan dan
petunjuk-petunjuk praktis untuk dapat mencapai persyaratan-persyaratan tersebut.
Persyaratan-persyaratan ijtihad sebagai telah dikemukakan di atas sangat
penting untuk dipenuhi oleh seseorang yang akan menetapkan hukum, karena
dalam ijtihad hukum itu menurut al-Syaukani- mujtahid menampilkan hukum
Allah.Bagi al-Syaukani, mujtajhid yang telah memenuhi persyaratan persyaratan
ijtihad telah mendapat semacam wewenang dari Allah untuk dapat menampilkan
hukum-Nya di tengah-tengah masyarakat. Kendati demikian menurutnya
wewenang itu hanya diberikan kepada mujtahid yang berijtihad atas dasar al-
Qur’an dan sunnah, bukan dilakukan atas kehendak hawa nafsu.
Dari kajian di atas terlihat bahwa al-Syaukani, sebagaimana para pakar
usul fikih yang lain, memandang bahwa yang dapat melakukan ijtihad ialah orang

13 M. Solihin, Tasawuf Tematik, (Cet. I; Bandung: Pustaka setia, 2003), h. 40

8
yang telah memiliki syarat-syarat untuk itu secara lengkap. Kendati demikian,
seseorang ahli fikih yang belum memenuhi syarat-syarat tersebut secara lengkap
dapat juga melakukakan melakukan ijtihad, tetapi ijtihadnya hanya terbatas dalam
bidang tertentu, yang diketahuinya secara luas dan mendalam.14

B. Al-Hulul
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana.15 Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri
manusia ini, bertolak dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada
diri manusia terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut  (ketuhanan)
dan Nasut (kemanusiaan). Ini dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian
manusia dalam bukunya bernama at-thawasin.16
Doktrin al-hulul adalah perkembangan lebih lanjut dari paham al-ittihad
secara lebih mendalam lagi, dimana Tuhan mengambil tempat pada diri manusia
yang sudah bersih dari sifat-sifat kemanusiaannya melalui proses fana atau
ekstase. Konsepsi al-hulul diperkenalkan pertama kali oleh Husein Ibn Mansur al-
Hallaj yang meninggal karena dihukum mati di Baghdad pada tahun 308 H,
karena paham yang ia sebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.17
Menurut al-Hallaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ke-Tuhan-an atau lahut dan sifat kemanusiaan atau nasut. Begitu juga dengan
Tuhan memiliki sifat ganda, yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau Lahut dan sifat
insaniyah atau nasut. Jika seseorang mampu menghilangkan sifat-sifat
kemanusiaannya dan mengembangkan sifat-sifat Ilahiyatnya melalui fana, maka

14DR.Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Shaukani, h. 87

15 Nata, Abiddin. Akhlak Tasawuf. (Cet. I; Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.


1996),
h. 10

16 Margiono et.al., Pendidikan Agama Islam 1 Lentera Kehidupan, (Jakarta:


Yhudistira, 2007),  h. 86

17 Shaltat, Mahmud. Aqidah dan Syari’at Islam. Jakarta : Bumi Aksara Al Baqir,
1994), h. 16

9
terjadilah kesatuan manusia dengan Tuhan dan inilah yang dimaksud dengan
hulul.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamannya tentang proses
kejadian manusia. Al-Hallaj berpendapat, bahwa Adam sebagai manusia pertama
diciptakan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya shurrah min nafsih- dengan segenap
sifat dan kebesarannya.
Menurut pemahamannya, adanya perintah Allah agar Malaikat sujud
kepada Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga
ia harus di sembah sebagaimana menyembah Allah.
Ungkapan al-Halaj tersebut dapat dipahami bahwa wujud manusia tetap
ada dan sama sekali tidak hancur atau sirna, bersifat figuratif, tidak riel karena
berlangsung dalam kesadaran psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah.
Manusia diciptakan Tuhan sesuai dengan citra-Nya, maka makna perpaduan itu
adalah munculnya citra Tuhan ke dalam citra-Nya yang ada dalam diri manusia,
bukan hubungan manusia dengan Tuhan secara riel. Oleh karena itu, ucapan ana
al-Haqq yang meluncur dari lidah al-Hallaj, bukanlah ia maksudkan sebagai
pernyataaan bahwa dirinya adalah Tuhan.

10
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Ittihad adalah penggabungan antara dua hal yang menjadi satu. Ittihad
merupakan doktrin yang menyimpang dimana di dalamnya terjadi proses
pemaksaan antara dua ekssistensi. Kata ini berasal dari kata wahd atau wahdah
yang berarti satu atau tunggal. Jadi Ittihad artinyabersatunya manusia
denganTuhan.
Secara harfiah hulul berarti Tuhan mengambil tempat dalam tubuh
manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat melenyapkan sifat-sifat
kemanusiaannya melalui fana.  
Paham bahwa Allah mengambil tempat pada diri manusia ini, bertolak
dari dasar pemikiran al-Hajaj yang mengatakan bahwa pada diri manusia
terdapat dua sifat dasar, yaitu lahut (ketuhanan) dan Nasut (kemanusiaan). Ini
dapat dilihat dari teorinya mengenai kejadian manusia dalam bukunya
bernama at-thawasin.

B. Saran
Demikian pembahasan dari makalah kami. Kami berharap semoga
pembahasan dalam makalah ini dapat membantu dan bermanfaat bagi
pembaca. Dan kami pun berharap pula kritik dan saran dari pembaca untuk
kesempurnaan dalam tugas kami selanjutnya. Sekian dan terima kasih.

                                  
  

11
DAFTAR PUSTAKA

Rusli, Nasrun. Konsep Ijtihad Al-Syaukani. PT. Logos Wacana Ilmu : Jakarta,
1999
Al Qardlawy, Yusuf. Ijtihad Dalam Syariat Islam – Beberapa Pandangan
Analitis tentang Ijtihad Kontemporer. PT.Bulan Bintang : Jakarta, 1987
Ash Siddieqy, Hasbi. Pengantar Ilmu Fiqih. PT Bulan Bintang : Jakarta, 1993
Ash-Shiddieqy, T.M. Hasbi. Pengantar Hukum Islam. Jakarta: Bulan Bintang,
1980
Margiono, dkk. Pendidikan Agama Islam 1. Jakarta: Yudhistira, 2007
Matsum, Hasan. Diktat Ushul Fiqh. Fakultas Tarbiyah IAIN Sumatera Utara
Medan 2012
Syafa’I, Rachmat. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia, 2010
Syuhada, Harjan, dkk. 2010. Fikih Madrasah Aliyah. Jakarta: Bumi Aksara
Abuddin Nata, Akhlak Tasawuf, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000
Abuddin  Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 1997
Abuddin  Nata. Akhlak Tasawuf, Jakarta: PT Raja Grafindo persada, 2002
Ahmadi, Abu. Dasar-dasar Pendidikan, Bumi Aksara, Jakarta, 2008
H. Sulaiman Rasjid,Pendidikan Agama Islam, Attahiriyah, Bandung. 1976
M. Solihin, Tasawuf Tematik, Bandung: Pustaka setia, 2003
Muhammad. Membentuk Akhlak Mulia. Bandung. Karisma. 1994
Mustafa, Akhlak Tasawuf, Bandung: Pustaka Setia, 1997
Mustofa, Akhmad. Akhlak Tasawuf. Bandung : CV Pustaka Setia. 1999
Mustofa. Akhlak Tasawuf. Bandung: CV Pustaka Setia, 2014

12

Anda mungkin juga menyukai