Nothing Special   »   [go: up one dir, main page]

Pengembangan Wilayah Pesisir Dan Pulau-P

Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Unduh sebagai docx, pdf, atau txt
Anda di halaman 1dari 42

TUGAS WAWASAN KEMARITIMAN

MAKALAH

“Pengembangan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil”

Oleh:

HASNAWATI
NIM. G2D119047

PROGRAM STUDI ILMU MANAJEMEN

PASCA SARJANA UHO

UNIVERSITAS HALUOLEO

2019

ii
KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan

rahmat serta karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan Tugas dibrrikan

pada Mata Kuliah Wawasan Kemaritiman. Dalam penulisan makalah ini penulis

menyadari bahwa makalah yang berjudul “Pengembangan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil" tidak akan terselesaikan dan berjalan sebagaimana mestinya

tanpa dukungan serta motivasi dari beberapa pihak.

Akhir kata, penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik, saran serta masukan

konstruktif yang bersifat membangun untuk perbaikan dan penyempurnaan

makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dan dapat menambah literasi

dalam kegiatan proses belajar mengajar.

Kendari, September 2019

Hasnawati

ii
BAB I. PENDAHULUAN
MENGENAL WILAYAH PESISIR

1.1 Latar Belakang

Pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil dapat


meningkatkakualitas hidup dan menyediakan lapangan kerja. Karena itu wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil harus dapat di kelola secara terpadu dan berkelanjutan.
Hal tersebut dicapai dengan memanfaatkan sumber-sumber pertumbuhan yang
sudah ada dan sumber-sumber pertumbuhanbaru.
Sumberdaya pesisir dan laut serta pulau-pulau kecil merupakan salah satu
sumberdaya yang penting hajat hidup masyarakat dan dapat dijadikan sebagai
penggerakan utama (prime mover) perekonomian nasional. Hal ini didasari pada
kenyataan bahwa pertama, Indonesia memiliki potensi sumberdaya pesisir dan
pulau-pulau kecil yang tinggi dengan karakteristik wilayah yang beranekaragam.
Kedua, sebagian besar kegiatan industri pada kabupaten/kota berada diwilayah
pesisir. Ketiga, kegiatan industri di wilayah pesisir memiliki keterkaitan (backward
and forward linkage) yang kuat dengan industry-industri lainnya. Keempat, wilayah
pesisir merupakan basis sumberdaya local bagi industri perikanan atau dikenal
dengan istilah resources based industries dan yang kelima, wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil memiliki keunggulan (comparative advantage) yang
tinggisebagaimana di cerminkan dari potensi sumberdaya ikannya.
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan daerah peralihan
antara ekosistem darat dan laut, memiliki potensi sumberdaya alam dan jasa-jasa
lingkungan yang sangat kaya (baik jenis maupun jumlah). Kekayaan sumberdaya
tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan
sumberdaya dan berbagai instansi mempunyai kebijakan untuk meregulasi
pemanfaatannya.
Indonesia merupakan Negara kepulauan riau yang terbesar di dunia yang
terdiri dari dari 17.499 pulau dari sabang sampe marauke. Luas total wilayah
Indonesia adalah 7,81 juta km yang terdiri dari 2,01 juta km daratan, 3,25 juta km

ii
lautan, dan 2,55 juta km zona ekonomi ekslusif (ZEE). Mengingat luas laut
Indonesia lebih luas dari wilayah daratan, menjadikan sumber daya pesisir dan
lautan memiliki potensi yang sangat penting, karena wilayah pesisir lautan
menyediakan berbagai sumber daya alam, baik hayati maupun non hayati yang
bernilai ekonomis dan ekologis yang tinggi.
Wilayah pesisir memiliki ekonomi tinggi, namun terancam
berkelanjutannya. Dengan potensi yang unik dan bernilai ekonomi tadi maka
wilayah pesisir dihadapkan pada ancaman yang tinggi pula, maka hendaknya
wilayah pesisir ditangani secara khusus agar wilayah ini dapat dikelola secara
berkelanjutan. Wilayah pantai Indonesia memiliki potensi sumberdaya alam dan
jasa-jasa lingkungan yang sangat penting untuk dikembangkan (ekosistem pantai).
Diperkirakan 60% atau 150 juta dari penduduk Indonesia bermukim di wilayah
pesisir dan sekitar 80% lokasi industri di Indonesia terletak di wilayah pesisir,
karena akses transportasinya lebih mudah ke pusat perdagangan.
Pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir telah menimbulkan
ancaman kelestarian ekosistem yang sangat kritis. Sebaliknya, ada beberapa
wilayah, potensi sumberdaya belum dimanfaatkan secara optimal. Guna menjamin
keberlanjutan dari sumber daya tersebut, pengelolaannya harus dilakukan secara
terencana dan terpadu serta memberikan manfaat yang besar kepada semua
stakeholders terutama masyarakat pesisir. Saat ini terdapat UU No. 27 Tahun 2007
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil sebagaimana telah
diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014, dimana dalam Pasal 1 angka 2 UU tersebut
mendefinisikan wilayah pesisir sebagai daerah peralihan antara ekosistem darat dan
laut yang dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut.
Pasal 2 menyebutkan bahwa ruang lingkup pengaturan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil meliputi daerah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang
dipengaruhi oleh perubahan di darat dan laut, ke arah darat mencakup wilayah
administrasi kecamatan dan ke arah laut sejauh 12 (dua belas) mil laut di ukur dari
garis pantai. Dengan demikian ruang lingkup Undang-undang Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil meliputi daerah
pertemuan antara pengaruh perairan dan daratan, ke arah daratan mencakup wilayah

ii
administrasi kecamatan dan ke arah perairan laut sejauh 12 (dua belas) mil laut
diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan.
Di Indonesia Pengelolaan Sumberdaya berbasis Masyarakat sebenarnya
telah di tetapkan dalam Pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang menyebutkan
bahwa bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh
negara dan dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Ketentuan
tersebut secara tegas menginginkan agar pelaksanaan penguasaan negara atas
sumberdaya alam khususnya sumberdaya pesisir dan lautan diarahkan kepada
tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat banyak, dan
juga harus mampu mewujudkan keadilan dan pemerataan sekaligus memperbaiki
kehidupan masyarakat pesisir serta memajukan desa-desa pantai..
Dalam Implementasinya, pola pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan
yang selama ini sangat bertentangan dengan apa yang telah digariskan dalam pasal
tersebut, pelaksanaannya masih bersifat top down, artinya semua kegiatan
pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan mulai dari membuat kebijakan,
perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan monitoring dilakukan sepenuhnya oleh
pemerintah tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, padahal apabila dilihat
karakteristik wilayah pesisir dan lautan baik dari segi sumberdaya alam maupun
dari masyarakatnya sangat kompleks dan beragam, sehingga dalam pengelolaan
wilayah pesisir dan lautan seharusnya secara langsung melibatkan masyarakat lokal
Atas dasar tersebut dan dengan adanya kebijakan pemerintah Republik Indonesia
tentang Otonomi Daerah dan desentralisasi dalam pengelolaan sumberdaya wilayah
pesisir dan lautan, maka sudah semestinya bila pengelolaan dan pemanfaatan
sumberdaya pesisir secara langsung melibatkan partisipasi masyarakat lokal baik
dalam perencanaan, implementasi, monitoring dan evaluasi, sehingga mampu
menjamin kesejahteraan dan kelangsungan hidup masyarakat lokal serta kelestarian
pemanfaatan sumberdaya pesisir tersebut.

ii
1.2 Identifikasi Masalah

Adapun identifikasi masalah dalam kegiatan analisis evaluasi hukum


tentang Pengelolaan wilayah pesisir ini adalah sebagai berikut:

1. Bagaimanakah arah pengaturan dan kebijakan dalam pembangunan


hukum nasional terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil?
2. Permasalahan apa yang ada terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil baik dari aspek materi hukum, kelembagaan dan
aparatur, pelayanan hukum maupun budaya hukum masyarakat?
3. Dampak apa yang ditimbulkan dengan permasalahan tersebut dan
bagaimana upaya untuk mengatasinya?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud dan tujuan diadakannya kegiatan analisis dan evaluasi hukum tentang
Pengelolaan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil adalah untuk mengidentifikasi
permasalahan terkait dengan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
baik dari aspek materi hukum, kelembagaan dan aparatur, pelayanan hukum
maupun budaya hukum masyarakat. Hasil dari analisis dan evaluasi hukum ini
diharapkan dapat menghasilkan rekomendasi yang tepat atas permasalahan
tersebut, sehingga memberikan arah pembangunan sistem hukum yang selaras dan
harmonis dengan konstitusi dan politik hukum nasional.

1.4 Metode
Metode yang digunakan dalam Analisa dan Evaluasi Hukum ini adalah
yuridis normatif yang berasal dari data sekunder yang terdiri dari bahan-bahan
hukum primer (Peraturan Perundangan) dan bahan hukum sekunder (berupa buku-
buku) serta bahan 10 hukum tertier (hasil-hasil penelitian, pengkajian, majalah
ilmiah, sumber internet dan sebagainya). Sumber hukum materil masalah pesisir ini
mengacu pada inventarisasi permasalahan yang meliputi materi hukum,
kelembagaan dan aparatur, pelayanan hukum dan budaya hukum. Pengolahan data
dilakukan melalui penelusuran kepustakaan dan diskusi sesama anggota tim serta

ii
Focuss Group Discussion (FGD). Analisa hukum dilakukan dengan menggunakan
instrumen analisis dan evaluasi hukum yang disusun oleh Pusat Perencanaan
Pembangunan Hukum Nasional BPHN Tahun 2014, yang meliputi 4 aspek yaitu
aspek materi hukum, aspek kelembagaan dan aparatur hukum, aspek pelayanan
hukum dan aspek budaya hukum.

ii
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA

Manusia tidak akan dapat hidup sendiri tanpa adanya tumbuhan dan
binatang di sekitarnya. Komponen yang mendampingi harus ada di sekitar manusia
yang sekaligus sebagai sumber mutlak kehidupannya merupakan lingkungan hidup
bagi manusia. Lingkungan hidup boleh dikatakan merupakan bagian mutlak dari
kehidupan manusia. Inti dari permasalahan lingkungan hidup adalah hubungan
timbal balik antara makhluk hidup dengan benda mati, khususnya manusia dengan
lingkungan disekitarnya.
Manusia merupakan salah satu makhluk hidup yang sangat dominan
peranannya dalam lingkungan hidup. Manusia dengan akal budi yang dimilikinya
dapat mempengaruhi lingkungan disekitarnya dengan melakukan pencemaran,
perusakan maupun pelestarian terhadap lingkungan. Pencemaran dan perusakan
lingkungan menimbulkan masalah bagi masyarakat yang perlu dicegah dan
ditangani, hal ini disebabkan oleh kemiskinan dan kurangnya pengetahuan serta
akibat negatif dari pelaksanaan pembangunan.
Penguasa dalam hal ini pemerintah, perlu turun tangan mengatur dan
mengendalikan perilaku seseorang agar tetap berada dalam batas-batas yang sesuai
dengan daya dukung lingkungan, yaitu kemampuan lingkungan untuk mendukung
perikehidupan manusia dan makhluk hidup yang lainnya. Hukum lingkungan
menetapkan ketentuan-ketentuan dan norma-norma untuk mengatur tindakan atau
perbuatan manusia dengan tujuan untuk melindungi lingkungan dari pencemaran
dan perusakan agar lingkungan terjaga sehingga dapat digunakan oleh generasi
mendatang.
Penegakan hukum lingkungan dilakukan melalui instrumen hukum pidana,
hukum perdata, dan hukum administrasi. Hukum lingkungan menyangkut
penetapan nilai-nilai, yaitu nilai-nilai yang berlaku dan nilai-nilai yang diharapkan
diberlakukan dimasa mendatang sehingga dapat disebut hukum yang mengatur
tatanan lingkungan hidup. Hukum lingkungan mempunyai kedudukan dan arti
penting dalam menyelesaikan masalah lingkungan yang menjadi dasar yuridis bagi
pelaksanaan kebijakan-kebijakan sebagaimana telah dirumuskan oleh pemerintah

ii
dalam peraturan perundangundangan. Pemerintah dalam menegakkan hukum
lingkungan dengan menetapkan peraturan di bidang lingkungan hidup yang
merupakan sebagai dasar pelaksanaan kebijakan pemerintah dibidang lingkungan
hidup.
Undang-Undang nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup merupakan ketentuan pokok pengelolaan
lingkungan hidup yang berfungsi sebagai ”payung hukum” (umbrella provesion)
bagi peraturan perundangan yang berkaitan dengan lingkungan hidup di Indonesia.
Perumus undang-undang menyadari betapa vitalnya lingkungan hidup dengan
segala komponennya bagi eksistensi sebuah negara, bahkan harus disadari bahwa
vitalitas lingkungan hidup memberikan dampak positif dan berganda bagi
kelangsungan dan keberhasilan pembangunan.
Wewenang yang dimiliki pemerintah berdasarkan peraturan perundangan
merupakan bentuk tanggung jawab negara terhadap hak warga negaranya untuk
mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat. Berdasarkan amanat Undang-
Undang Dasar tersebut memberikan konsekwensi bahwa pemerintah berkewajiban
memberikan pelayanan publik dalam pengelolaan lingkungan hidup termasuk
didalamnya pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil karena
permasalahan wilayah pesisir dan pulaupulau kecil salah satunya adalah masalah
lingkungan.
Konsekwensi hukum muncul karena dengan adanya pasal tersebut paka
pemerintah merupakan pihak yang berwenang dan bertanggung jawab agar
masyarakat memperoleh lingkungan hidup yang baik dan sehat sesuai dengan
amanat Undang-Undang Dasar 1945. Hak atas lingkungan hidup yang baik dan
sehat perlu dimengerti secara yuridis dan diwujudkan melalui sarana hukum
sebagai upaya perlindungan hukum bagi warga masyarakat dibidang lingkungan
hidup.

ii
2.1 Arah Politik Hukum Pengelolah Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil

Wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil memiliki arti strategis dalam
membangun bangsa dan mensejaterahkan masyarakat. Hal ini dikarenakan,
kekayaan sumberdaya alam yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya alam
yang terkandung di wilayah ini, baik sumberdaya hayati maupun sumberaya non
hayati. Namun demikian, kekayaan sumberdaya alam tersebut belum dimanfaatkan
secara optimal, salah satunya disebabkan oleh ego sektoral yang berujung pada
konflik kewenangan antar lembaga ini telah mengakibatkan kerusakan lingkungan
pesisir laut dan pulau-pulau kecil, karena masing-masing lembaga merasa
berwenang untuk memanfaatkan, namun saling menyalahkan ketika terjadi
kerusakan.

Munculnya konflik antar lembaga yang terkait dengan pengelolahan


wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil disebabkan oleh tumpang tindihnya
peraturan perundang-undangan. Hal ini dikarenakan, kepentingan masing-masing
lembaga berlandaskan pada dasar hukum yang dikeluarkan oleh pemerintah, berupa
undang-undang (UU), peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (perpes),
maupun Peraturan Daerah (Perda). Dengan kata lain, kerusakan lingkungan di
wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil ini disebabkan oleh ketidakjelasan
kewenangan antar lembaga yang terkait di wilayah ini, sehingga dengan dasar
hokum yang diberikan masing-masing lembaga merasa berwenang untuk memberi
izin pemanfaatan.

Persoalan pengelolah di wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil semakin


krusial seiring dengan disahkan undang-undang No.22 tahun 1999 tentang
pemerintah daerah dan digantikan oleh Undang-undang No.32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah, terdapat mandat yang diberikan kepada pemerintah Daerah
untuk mengelola sumberdaya wilayah pesisir laut dan pulau-pulau kecil sejauh 12
mil untuk Provinsi. Pemberian kewenangan kepada daerah ini ditafsirkan sebagai
kedaulatan, sehingga memunculkan konflik horizontal pengkavlingan laut di
masyarakat. Dengan demikian, permasalahan yang terjadi di wilayah pesisir laut
dan pulau-pulau kecil, tidak hanya terjadi konflik antar lembaga pemerintah

ii
(konflik sektoral) akan tetapi juga terkait dengan kewenangan daerah dalam
mengelola sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil.

2.1.1 Potensi Sumberdaya Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil

Sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil yang dimiliki Indonesia


sangat berguna beragam baik jenis maupun potensinya. Potensi sumberdaya
tersebut ada yang dapat diperbaharui seperti sumbedaya perikanan (perikanan
tanggap, budidaya), mangrove, energi gelombang, pasang surut, angin, dan OTEC
(Ocean Thermal Energy Conversion) dan energi yang tidak dapat diperbaharui
(non-renewable resources) seperti sumberdaya minyak dan gas bumi dan berbagai
jenis mineral. Selain dua jenis sumberdaya tersebut, juga terdapat berbagai macam
jasa lingkungan kelautan seperti pariwisata bahari, industry maritime, jasa
angkutan, dan sebagainya.
Secara umum, jenis ekosistem di wilayah pesisir ditinjau dari air dan jenis
komunitas yang menempatinya dapat dikategorikan menjadi 2 (dua) ekosistem,
yaitu ekosistem yang secara permanen atau berkala tergenang air dan ekosistem
yang tidak pernah tergenang air. Sedangkan jika ditinjau dari proses terbentuknya,
ekosistem wilayah pesisir dapat dikelompokkan mejadi ekosistem yang terbentuk
secara alami dan ekosistem yang sengaja dibentuk atau ekosistem buatan.
Jenis ekosistem wilayah pesisir yang secara permanen ataupun secara
berkalah tertutupi air dan terbentuk melalui proses alami antara lain ekosistem
terumbu karang (coralreef), hutan mangrove (mangrove forest), padang lamun (sea
grass beds), pantai berpasir (sandy beach), pantai berbatu (rocky beach). Pulau-
pulau kecil dan laut terbuka, esturia. Laguna dan delta. Sedangkan contoh dari
ekosistem pesisir yang hampir tidak pernah tergenang air, namun terbnetuk secara
alami adalah formasi pescaprae dan formasi baringtonia di samping ekosistem
yang terbentuk secara alami diatas, pada wilayah pesisir juga dijumpai ekosistem
buatan, seperti tambak, sawah pasang surut, kawasan pariwisata, kawasan industri
dan kawasan permukiman.
Ekosistem hutan mangrove di Indonesia memiliki ke aneka ragaman jenis
termasuk tertinggi di dunia, seluruhnya tercatat 89 jenis, 35 jenis berupa pohon, dan

ii
selebihnya berupa terna 5 jenis, perdu 9 jenis, liana 9 jenis, efipit 29 jenis dan
parasite 2 jenis. Beberapa jenis pohon yang banyka di jumpai di wilayah pesisir
Indonesia adalah bakau (Rhzophora spp), api-api (evicennia spp), pedada
(sonneratia spp), tanjang (Bruguiera spp).
Hutan mangrove merupakan ekosistem utama pendukung kehidupan
penting di wilayah pesisir dan lautan. Selain mempunyai fungsi ekologis sebagai
penyedia lutrien bagi biota perairan, tempat pemijahan dan asuhan berbagai biota,
penahan abrasi panyai, amukan angina taufan dan tsunami, menyerap limbah,
pencegah intrusi air laut dan lain sebagainya, hutan mengrove juga mempunyai
fungsi ekonomis yang sangat tinggi, seperti sebagai penyedia kayu, obat-obatan,
alat dan teknik penangkapan ikan, pupuk, bahan baku kertas, bahan makanan,
minuman, perlatan rumah tangga, bahan baku tekstil dan kulit, madu, lilin, dan
tempat rekreasi.
Padang lamun adalah tumbuhan berbunga yang sudah sepenuhnya
menyesuaikan diri untuk hidup terbenam di dalam laut. Lamun hidup diperairan
dangkal agak berpasir sering juga dijumpaiditerumbu karang. Padang lamun ini
merupakan ekosistem yang tinggi produktifitas organiknya. Padang lamun di
Indonesia terdiri dari tujuh marga lamun. Tiga marga lamun dari suku
Hydrocaritaceae yaitu Enhauls, Thalssia dan Halophila dan empat marga dari suku
Pomatogetonaceae yaitu Halodule, Cymodocea, Syringodium dan
Thalassodendron.

2.1.2 Permasalahan di Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-Pulau Kecil

Dari sudut pandang pembangunan berkelanjutan, suatu pembangunan di


wilayah tertentu (kabupaten, provinsi, Negara, kawasan regional, atau dunia) dapat
berlangsung secara berkelanjutan jika permintaan total manusia terhadap sumber
daya alam dan jasa-jasa lingkungan tidak melampaui kemampuan suatu ekosistem
wilayah pembangunan untuk menyediakan atau memproduksi sumber daya alam
dan jasa-jasa lingkungan tersebut dalam kurun waktu tertentu.

Permasalahan lingkungan akan muncul jika permintaan manusia terhadap


sumber daya alam atau jasa lingkungan tertentu melebihi kemampuan ekosistem

ii
wilayah untuk menyediakan sumber daya alam atau jasa lingkungan. Misalnya
pencemaran teluk Jakarta oleh bahan organik dan logam berat yang selama ini
terjadi adalah karena jumlah limbah organik dan logam yang di buang kedalam
teluk ini melampaui kapasitas asimilasinya didalam menyerap (mengasimilasi atau
menetralisir).
Limbah organic dan logam berat. Gejala overfishing (tangkap lebih)yang
menimpa beberapa jenis stok ikan di selat malaka, pantai utara jawa, selat bali dan
pantai selatan Sulawesi di sebabkan oleh karena laju(tingkat) penangkapan yang
melebihi potensi lestari stok ikan termaksud.
Tingginya permintaan terhadap sumberdaya alam,juga sering kali di
akibatkan oleh kemiskinan penduduk.hingga saat ini sebagian besar masyarakat
pesisir masih diliit kemiskinan fenomena kemiskinan tersebut akan mengarah
kepada keterpaksaan untuk mengeksploitasi sumberdaya pesisir dan lautan dengan
cara-cara yang tidak ramah lingkungan seperti penggunaan bahan peledak dan
racun atau pastisida dengan melihat keberlanjutan sumberdaya alam yang ada.
Erosi dan sedimentasi serta banjir dan kekeringan merupakan fenomena
(peristiwa) alamiah. Peristiwa erosi di suatu lokasi dan sedimentasi di lokasi lain
yang hanya di sebabkan oleh dinamika alam, biasanya system alam(ekosistem)
akan membentuk suatu keseimbangan baru yang tidak akan menimbulkan
kerusakan lingkungan dan kerugian serius terhadap kehidupan umat manusia.
Demikian juga halnya dengan fenomena banjir dan kekeringan. Akan tetapi, ketika
erosi dan sedimentasi serta banjirdan kekeringan di terparah akibat ulah manusia,
seperti penggundulan hutan, melakukan kegiatan pertanian dan pemukiman(villa)
pada lahan dengan kemiringan lebih dari 40 derajat, melakukan kegiatan pertanian
di sepanjang daerah aliran sungai tanpa upaya konservasi tanah yang memadai, dan
membuat rekayasa dan konstruksi pantai tanpa mengindahkan dinamika hidro-
oseanografi setempat, maka terjadilah peristiwa erosi dan sedimentasi serta banjir
dan kekeringan yang dapat merugikan.
Manusia sebagai pengguna sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan
pesisir memiliki konstribusi terhadap permasalahan pembangunan pesisir. Sumber
dari akar permsalahan sebagai berikut:

ii
1. orientasi keuntungan ekonomi jangka pendek

Selama ini pembangunan yang dilakukan lebih banyak (dominan)berorientasi


untuk meraih keuntungan ekonomi jangka pendek (seperti industri, pemukiman,
pertambangan) tanpa mempertimbangkan keuntungan jangka panjang (konservasi).
Akibatnya, apabila terjadi konflik antara pemanfaatan sumberdaya untuk tujuan
jangka pendek dengan tujuan jangka panjang, maka seringkali pembangunan yang
bertujuan jangka panjang tersisihkan. Fenomena seperti ini dapat dilihat pada kasus
reklamasi pantai manado dan beberapa kasus-kasus lainnya.

2. kesadaran akan nilai strategis sumberdaya dapat pulih dan


jasalingkungan bagi pembangunan ekonomi masih rendah

Dari sisi nilai yang strategis sumberdaya hayati laut, secara sector kelautan
sebenarnya masih juga dipandang sebelah mataoleh pemerntah dan dunia swasta,
karna dianggap nilai strategisnya masih kurang menarik di bandingkan nilai
ekonomi jangak pendek dan menengah sektoe industri, petmbangan dan
pemukiman. Akibatnya, beberapa kawasan pesisir harus direklamasi untuk
kepentingan kegiatan pembangunan seperti diatas. Padahal bila dihitung nilai
ekonominya tidak kalah dengan nilai ekonomi sector lainnya, sebagai contoh hasil
studi penghitungan nilai ekonomi sumberdaya wilayah pesisir dan lautan Indonesia,
untuk hasil produksi hutan mangrove misalnya, di dapatkan nilai sebesar 10-20 us
dolar per-tahun.

Berdasarkan data yang diambil oleh Asian Wetland Burue (AWB) tahun 1992,
Indonesia memiliki 2,7 juta ha dengan menggunakan perhtungan kasar didapat nilai
hasil produksi hutan mangrove adalah sebesar 2-54jt us dolar per-tahun atau dengan
nilai kurs 5000 per-dolar adalah sebesar 135-270 milyar rupiah, sementara nilai
hasil produk perikanan dari hutan mangrove didapat nilai sebesar 135juta us dolar
atau sebesar 675 milyar rupiah. Bandingkan dengan bantuan singapura terhadap
Indonesia ketika terjadi krisis moneyter hanya sebesar 10juta us dollar atau 50
milyar rupiah saja, atau hampir sama dengan nilai hasil produksi hutan mangrove
saja, bahkan tidak sampai sepersepuluh dari nilai hasil produk perikanan hutan

ii
mangrove. Sementara sumberdaya yang dimiliki oleh sektor kelautan tidak hanya
hutan mangrove saja, namum masih terdapat terumbu karang,padang lamun, dan
rumput laut.

3. Tingkat pengetahuan dan kesadaran tentang implikasi kerusakan


lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi masih
rendah.

Rendahnya tingkat pengetahuan dan kesadaran akan implikasi kerusakan


lingkungan terhadap kesinambungan pembangunan ekonomi telah menjadi salah
satu factor penyebab timbulnya permasalahan lingkungan. Karena sifatnya
eksternalitas, maka pelaku kerusakan lingkungan tidak menyadari akan bahaya dari
dampak yang ditimbulkan oleh kegiatan pembangunan. Demikian juga halnya
dengan adanya tenggang waktu yang cukup lama, dampak yang timbul dari suatu
kegiatan akan dirasakan pada masa yang akan dating. Hal ini akan berbeda, jika
sekiranya dampak tersebut bersifat internalitas, artinya pelaku pengrusakan
lingkungan turut merasakan dampak negative yang terjadi. Oleh karena itu, yang
perlu dilakukan adalah meningkatkan pengetahuan dan kesadaran bahwa yang
timbulkan oleh mereka telah menyengsarakan pihak lain.

4. Ketiadaan alternatif pemecahan masalah lingkungan

Tindakan destruktif yang dilakukan oleh masyarakat terhadap sumberdaya


pesisir dan lautan disebabkan oleh masyrakat terhadap sumberdaya pesisir dan
lautan disebabkan oleh tiga hal, yaitu :pertama, ketidak tahuan dan ketidak sadaran
bahwa kegiatan yang di lakukan telah mengancam kesinambungan sumberdaya
pesisir dan kelautan rendahnya kesadaran, atau ketidaktahuan masyarakat bahwa
kegiatan yang bersifat destruktif akan mengancam kesinambungan sumberdaya
yang telah menjadi pemicu terjadinya berbagai fenomena kerusakan lingkungan,
seperti kerusakan terumbu karang, hutan mangrove dan sebagainya. kedua tidak
adanya alternatif matapencaharian.
Dalam banyak kasus, sebenarnya masyarakat pesisir dan lautan telah memiliki
pengetahuan dan tingkat kesadaran yang tinggi bahwa kegiatan yang desktruktif

ii
akan menimbulkan masalah lingkungan yang akan berdampak negatif terhadap
kehidupan dan lingkungan mereka. Namun, karena mereka tidak memiliki alternatif
lain untuk menyambung hidup, maka kegiatan yang bersifat merusak lingkungan
tetap mereka lakukan. Kasus ini banyak terjadi di perairan teluk Lampung dimana
masyakat pesisir disana melakukan pemboman ikan di kawasan terumbu karang;
ketiga adanya peluang untuk melakukan kegiatan yang bersifat destruktif. Belum
optimalnya lembaga atau instansi yang mengatur dan mengawasi pengelolaan
sumberdaya wilayah pesisir menjadi peluang untuk melakukan kegiatan destruktif.
5. Pengawasan, Pembinaan, dan Penegakkan Hukum Masih Lemah.
Pengawasan, pembinaan dan penegakan hukum yang masih lemah telah
memicu timbulnya berbagai permasalahan lingkungan. Kurangnya pengawasan dan
penegakkan terhadap pelaksanaan hukum baik di tingkat bawah (masyarakat)
maupun tingkat atas (pemerintah) membuat kecenderungan kerusakan lingkungan
lebih parah. Hal ini dapat dilihat dari tidak adanya suatu lembaga khusus yang
independen dengan otoritas penuh melakukan pengawasan dan penegakan hukum
yang mengatur pengelolaan sumberdaya alam. Saat ini di Indonesia telah banyak
hukum dan peraturan yang mengatur tentang pengelolaan sumberdaya pesisir dan
Lautan yang berkelanjutan. Namun pada kenyataannya hukum dan
peraturanperaturan tersebut banyak yang tidak di implementasikan. Hal ini
disebabkan oleh lemahnya penegakkan hukum (law enforcement), egoisme sektoral
(sectoral egoism) dan lemahnya koordinasi antara sektor. pencemaran diberbagai
kawasan pesisir, salah satu penyebabnya adalah karena kurangnya pengawasan
terhadap sistem pembuangan limbah. Demikian juga, bila terjadi pelanggaran
terhadap hukum, kadangkala sanksi yang diberikan relatif lebih ringan
dibandingkan dengan kerusakan yang ditimbulkan, akibatnya kecenderungan untuk
melakukan pelanggaran terus meningkat
2.1.3 Permasalahan Hukum dan Kelembagaan terkait dengan Pengelolaan
Wilayah Pesisir Laut dan Pulau-pulau Kecil

Dalam pengelolaan sumberdaya pesisir laut dan pulaupulau kecil yang


pembangunannya pesat sering muncul konflik antara berbagai pihak yang
berkepentingan. Dari hasil penelusuran, terdapat 21 Undang-undang dan 6

ii
ketentuan internasional, baik yang telah diratifikasi maupun hanya sebagai acuan
(soft law). Peraturan perundang-undangan tersebut memberi mandat kepada 14
sektor pembangunan dalam mengatur pemanfaatan sumberdaya pesisir laut dan
pulau-pulau kecil, baik langsung maupun tidak langsung. Keempat belas sector
tersebut yaitu meliputi pertanahan, pertambangan, perindustrian, perhubungan,
perikanan, pariwisata, pertanian, kehutanan, konservasi, tata ruang, pekerjaan
umum, pertahanan, keuangan dan pemerintahan daerah.

Berdasarkan peraturan sektoral tersebut, terjadi konflik kepentingan antar


institusi dalam mengelola sumberdaya pesisir laut dan pulau-pulau kecil. Bahkan,
seiring dengan era otonomi daerah, ada kecenderungan pemerintah daerah
membuat peraturan-peraturan daerah berdasarkan kepentingannya dalam
meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD). Oleh karenanya, hal ini
dikhawatirkan menimbulkan ketidakpastian hukum dalam di wilayah pesisir laut
dan pulau-pulau kecil yang berujung pada kerusakan sumberdaya dan lingkungan
Lebih lanjut, Ditjen P3K-DKP mengelompokan permasalahan hukum yang terkait
dengan pengelolaan pesisir laut dan pulaupulau kecil, yaitu: (1) konflik antar
undang-undang, (2) konflik undang-undang dengan hukum adat, dan (3)
kekosongan hukum. Ketiga masalah tersebut bermuara pada ketidakpastian hukum,
konflik kewenangan dan pemanfaatan, serta kerusakan bio-geofisik sumberdaya
pesisir.

2.2 Konsep Pengembangan Kawasan Minapolitan

2.2.1 Konsep Pemanfaatan Ruang Minapolitan


Pertimbangan utama dalam penataan ruang meliputi kriteria kawasan
budidaya dan non budidaya dalam pemanfaatanlahan, kondisi sosial ekonomi
wilayah dan interest (minat sektor pembangunan, aspirasi daerah, kaitan antara
wilayah dan lain sebagainya). Secara garis besar penataan ruang bertujuan
menunjang:
1. Terselenggaranya pemanfaatan ruang berwawasan lingkungan yang
berlandaskan wawasan nusantara dan ketahanan nasional.

ii
2. Terselenggaranya pengaturan pemanfaatan ruang kawasan budidaya
perikanan.
3. Tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
- Mewujudkan kehidupan bangsa yang sejahtera
- Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumberdaya alam dan
sumberdaya buatan dengan memperhatikan sumberdaya manusia
- Meningkatkan pemanfaatan sumberdaya alam dan sumberdaya buatan
secara berdaya guna
- Berhasil guna
- Tempat guna untuk meningkatkan kualitas SDM
- Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negative terhadap lingkungan

Bagian wilayah berupa ruang yang merupakan transisi antara ruang laut dan
ruang darat lebih dikenal sebagai pesisir. Pengertian pesisir menurut keputusan
menteri kelautan dan perikanan Nomor Kep.10/Men/2003 tentang pedoman
perencanaan pengolaan pesisir terpadu, wilaya pesisir didefinisikan sebagai
peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana kearah
laut 12mil dari garis pantai dan sepertigan dari wilayah laut untuk kabupaten/kota
dan kearah darat hingga batas administrasi kabupaten/kota.
Menurut Dahuri et.kl.,(2000:6),untuk kepentingan pengelolaan, batasan
pesisir kearah darat dapat di tetapkan menjadi 2 jenis yaitu batasan untuk wilayah
perencanaan (planning zone) dan wilayah pengaturan (regulation zone) atau
pengolaan keseharian (day to day management). Apabila terdapat kegiatan
pembangunan yang dapat menimbulkan dampak secara nyata (significant) terhadap
lingkungan dan sumberdaya pesisir, maka wilayah perencanaan sebaiknya meliputi
seluruh daerah daratan (hulu). Jika suatu program pengelolaan wilayah pesisir
menetapkan dua batasan wilayah pengelolaan (perencanaan dan pengaturan), maka
wilayah perencanaan selalu lebih luas dari pada wilayah pengaturan .

ii
Berbagai aktifitas yang dapat dilakukan di pesisir dalam kaitannya dengan
pengembangan wilayah dan pembangunan ekonomi (Cicin-Sain dan
Knetch:1998,dalam sondita, 2001:9), meliputi

Fungsi Aktifitas

Perencanaan  pengajian lingkungan pesisir dan pemanfaatanya


wilayah  penentuan zona sipemanfaatan ruang
 pengaturan proyek pembangunan pesisir dan kedekatanya
dengan garis pantai
 penyuluhan masyarakat untuk apresiasi terhadap kawasan
pesisir atau lautan
 pengaturan akses terhadap pesisir dan lautan
Pembangunan  industri pengelolaan hasil perikanan tangkap
ekonomi  prikanan rakyat
 wisata massal dan ekowisata, wisata bahari
 perhubungan laut dan pembangunan pelabuhan
 penelitian kelutan dan akses terhadap sumber daya perikanan

Perencanaan dan pengolaan pesisir secara sektoral berkaitan dengan hanya


satu macam pemanfaatan sumberdaya atau ruang pesisir oleh satu instansi
pemerintah untuk memenuhi tujuan tertentu, seperti perikanaan tangkap, tambak,
pariwisata, industri minyak dan gas (Dahuri et.al., 2001:11), pengelolaan semacam
ini dapat menimbulkan konflik kepentingan antar sektor yang berkepentingan untuk
melakukan aktifitas pembangunan pada wilayah pesisir yang sama . konflik yang
sering terjadi di wilayah pesisir dapat di klasifikasikan menjadi 2 jenis, yaitu:
1. konflik diantara penggunaan yang mengenai pemanfaatan
daerah pesisir laut tertentu menurut Miles (1991,dalam Prihartini
et.al.2001:24),konflik antar pengguna meliputi:
a. kompetisi terhadap ruang dan sumberdaya pesisir dan laut

ii
b. dampak negatif dari suatu kegiatan pemanfaatan terhadap
kegiatan yang lain,
c. dampak negatif terhadap ekosistem

2. konflik diantara lembaga pemerintah yang melaksanakan


program yang berkaitan dengan pesisir dan laut ; yang
disebabkan oleh ketidak jelasan mandat hukum dan misi yang
berbeda, perbedaan kapasitas, perbedaan pendukung atau
kontituensi serta kurangnya komunikasi dan informasi (Cicin
Sain, 1998).

Sebagai upaya menghindari terjadinya konflik pemanfaatan


ruang pesisir maka di perlukan prinsip-prinsip penataan ruang
pesisir (Anonim, 2003:4, sebagai berikut:
1. penataan ruang wilayah pesisir perlu menetapkan batas-batas
daerah pengembangan di lautan dengan prinsip menjamin
pemanfaataan yang berkelanjutan terutama bagi ekosistem
yang memiliki dampak luas dan penting bagi ekosistem laut
lainnya, serta memberi kesempatan pemulihan area yang
telah rusak.
2. Mengakomodasi berbagai kepentingan yang berbeda dalam
satu daerah pantai dan pesisir secara bersinegri satu dengan
lainnya, tanpa ada satu pihak yang merugikan.
3. Dalam rangka pengembangan dan penataan ruang wilayah
pesisir diperlukan keterpaduan program , baik lintas sektor
maupun daerah. Dalam kerangka tersebut, pelaksanaan
pembangunan yang konsisten dengan rencana tata ruang
yang telah disusun sangat mendukung terwujudnya
keterpaduan pelaksanaan pembangunan.
4. Perlu diarahkan untuk menyediakan ruang yang memadai
bagi kegiatan masyarakat pesisir yang spesifik, yakni

ii
pemanfaatan sumberdaya laut . strategi pembangunan yang
terlalu berorientasi pada kegiatan darat dalam mengejar
pertumbuhan ekonomi selama ini terbukti tidak mampu
meningkatkan kesejahteraan, namun menjadikan masyarakat
pesisir semakin terpinggirkan.
Menurut Dahuri et.al. (2001:11), perencanaan
terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan
mengarahkan berbagai aktifitas dari dua atau lebih sektor
dalam perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan
pengelolaan wilayah pesisir.
Pemikiran logis daya alam yang kita miliki sebagian
maka kekayaan sumber daya alam yang kita miliki sebagian
besar berada di wilayah perairan laut yang sampai saat ini
masih belum dapat dipetakan dan diberdayakan dengan
optimal perubahan orientasi pembangunan bangsa Indonesia
dari orientasi daratan ke orientasi kelautan sebagai prime
mover pertumbuhan perekonomian nasional merupakan
suatu kebujakan yang tepat untuk mengatasi krisis
perekonomian moneter dan juga resesi global yang sedang.

2.2.2 Strategi Pengembangan Minapolitan


Potensi perairan Indonesia yang begitu besar belum terkelola dengan baik.
Meskipun pada saat ini sudah dilakukan upaya-upaya pengelolaan yang lebih baik,
namun usaha tersebut belum terkoodinasi dan tidak berkelanjutan. Dengan
mempertimbangkan potensi sumberdaya yang dimiliki, dalam hal ini konsep
industri terpadu dapat diterapkan dengan menggunakan salah satu komoditi

ii
perikanan dan kelautan yang bernilai ekonomi tinggi sebagai percontohan (pilot
project).
Strategi pembangunan perikanan berbasis kawasan, yakni ibarat sebuah
mobil, menteri kelautan dan perikanan saat ini sedang menancap gas. Model tancap
gas seperti ini perlu diapresiasi sebagai kesungguhan untuk membangun sektor
kelautan dan perikanan.
Kementerian kelautan dan perikanan, (2010) mengemukakan bahwa
pembangunan kawasa minapolitan untuk kesejahteraan masyarakat yang
berkecimpung di sektor kelautan dan perikanan, terutama nelayan, pembudidaya,
dan pengelolah ikan, kementrian kelautan dan perikanan (KKP) merumuskan
kebijakan strategis operasional minapolitan.
Dalam membangun kawasan minapolitan di butuhkan enam persyaratan
yaitu :
1. Komitmen daerah melalui rencana strategis, alokasi dana melalui anggaran
pendapatan dan belanja daerah (APBD), APBN dan penetapan tata ruang
yang seimbang.
2. Terkait adanya komoditas unggulan,seperti udang,nilai, mas, kepiting,
bandeng dan rumput laut.
3. Letak geografis yang strategis serta secara alami cocok untuk usaha
perikanan,
4. System matarantai produksi dari hulu ke hilir, seperti lahan budidaya dan
pelabuhan perikanan
5. Adanya fasilitas pendukung, seperti keberadaan sarana dan prasarana
misalnya jalan, pengairan, listrik, pabrik es, laboraturium, air bersih dan
coldroom
6. Kelayakkan lingkungan dengan kondisi yang baik dan tidak merusak.
Dalam operasional minapolitan,pengelolaan usaha akan dilakukan oleh
lembaga pengelola semacam unit pelayanan umum (UPP).Sedangkan pola usaha
usaha dalam minapolitan meliputi taksi mina bahari (TMB) untuk pemberdayaan
nelayan skala kecil (buruh nelayan). Ini dilakukan dalam bentuk pendampingan
usaha, penyuluhan intensif , dan bantuan sosial khususnya untuk pengelolaan usaha.

ii
Industri skala rumah tangga dan klaster, salah satunya melalui bantuan akses
teknologi dan informasi serta fasilitas usaha dan kemitraan. Juga ada usaha
perikanan perikana budidaya terpadu (UPTT) untuk perusahan yang mendapat
fasilitas pengaturan usaha serta kemitraan dengan usaha skala kecil. Pada tahun
2010, KKP sudah melakukan inventarisasi terhadap 197 lokasi minapolitan yang
tersebar di seluruh provinsi diindonesia, diantaranya 83 lokasi minapolitan yang
merupakan usulan ditjen perikanan budidaya KKP.
Sejumlah strategi dalam pengembangan kawasan minapolitan, yakni
pembangunan sistem dan usaha minabisnis berorientasi pada kekuatan pasar.
Dengan ini diharapkan dapat menembus batas kawasan, kabupaten/kota, provinsi,
dan Negara untuk menjangkau pasar global.pengembangan dilakukan dengan
pemberdayaan masyarakat agar mampu mengembangkan usaha komoditas
unggulan.

2.2.3 Pembangunan Berkelanjutan


Konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) berbakar
dari pemikiran yang berusaha mengintergrasikan perpektif ekonomi dan prefektif
ekologi (WCED, 1987). Konsep ini merupakan babak baru dari teori pembangunan
dan sekaligus mengakhiri perdebatan antara pertumbuhan ekonomi dan
penyelamatan lingkungan. Konsep ini pertama kali di publikasikan oleh World
Concervation Startegi dan mejadi pusat pemikiran pembangunan dan lingkungan

Konsep pembangunan berkelanjutan sangat dipengaruhi oleh kondisi


pembangunan dan kepentingan Negara, serta berbagi kelompok tertentu seperti
jaringan bisnis dan komunitas lokal. Kegiatan pembanguna baik ekonomi maupun
sosial budaya, merupakan hubungan aau interaksi manusia dengan lingkungannya.
Konsep pembangunan berkelanjutan berbeda dengan konsep World Conservation
Strategy. Dalam konsep konservasi hanya mempertimbangkan kondisi sumberdaya
alam dan lingkungan sedangan konsep pembangunan berkelanjutan didefinisikan.

ii
2.3 Analisis Dan Evaluasi Hukum

2.3.1 Aspek Materi Hukum

1. Sinkronisasi Izin Wisata Bahari Di Wilayah Pesisir Antara


Kementerian Kehutanan Dan Kementerian Kelautan Dan Perikanan.

Berdasarkan Pasal 8 PP No 36/2010 tentang Pengusahaan Pariwisata Alam


di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata
Alam menyebutkan bahwa Pengusahaan pariwisata alam yang didalamnya
termasuk wisata tirta hanya dapat dilakukan setelah memperoleh Izin Pengusahaan.
Pengusahaan wisata tirta tersebut sangat dimungkinkan juga berada di wilayah
pesisir. Berdasarkan dua PUU tersebut, disimpulkan bahwa Pengusaha berpotensi
untuk mengurus dua izin berbeda yaitu izin pengelolaan berdasarkan UU No 1
Tahun 2014 dan juga izin pengusahaan berdasarkan PP No 36 Tahun 2010.
Pengurusan izin tersebut dilakukan kepada dua institusi yang berbeda yaitu
kementerian kehutanan untuk izin wisata tirta di Suaka Marga Satwa, Taman
Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam dan kementerian kelautan
dan perikanan untuk izin pengelolaan wisata bahari di wilayah pesisir. Izin ganda
tersebut terjadi karena berdasarkan UU No 1 Tahun 2014 terdapat pengalihan
pengelolaan beberapa taman nasional laut dari kementerian kehutanan ke
kementerian kelautan dan perikanan. Kawasan Suaka Alam dan Kawasan
Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir 36 dan pulau-pulau kecil, dalam
bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka Margasatwa Laut, Suaka
Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut, antara lain: a. Taman
Nasional (Laut) Kepulauan Seribu; b. Taman Nasional Kepulauan Karimunjawa; c.
Taman Nasional (Laut) Bunaken; d. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi;
e. Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate; f. Taman Nasional Teluk Cenderawasih;
dan g. Taman Nasional Kepulauan Togean. Sampai saat ini pengalihan pengelolaan
taman nasional tersebut belum selesai dari kementerian kehutanan ke kementerian
kelautan dan perikanan, mekanisme perizinan di dua kementerian tersebut juga
masih berlaku sehingga pengusaha berpotensi untuk mengurus dua perizinan di dua
instansi berbeda. Kedepannya perlu penegasan bahwa kewenangan kementerian

ii
kehutanan dalam mengelola wisata bahari di wilayah pesisir harus dihilangkan
untuk kemudian pengaturannya dilakukan oleh kementerian kelautan dan perikanan
berdasarkan UU No 1 Tahun 2014. Untuk itu, sedang disusun PP yang mengatur
perizinan yang akan menjadi satu di KKP.
2. Penyusunan RZWP-3-K dalam Perda

Penyusunan RZWP-3-K diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 tentang


Pengelolaan Wilayah Pesisir dan PulauPulau Kecil. RZWP-3-K sesungguhnya
adalah setara dengan RTRW, dimana kalau RTRW lebih kepada urusan di daratan
sedangkan RZWP-3-K berkaitan dengan keruangan di perairan lautnya (lex
specialis). Lebih lanjut logika tersebut dijabarkan dalam implementasinya dimana
sesuai definisinya yang tercantum dalam UU no 27 tahun 2007 dimana RZWP-3-
K juga mensyaratkan dibuat struktur dan pola ruangnya, namun dengan
pertimbangan sinergitas maka struktur dan pola ruang di bagian daratnya dari
wilayah pesisir dan pulaupulau kecil disarankan untuk memakai struktur dan pola
ruang yang sudah ada di dalam perda RTRW setempat. Baru struktur dan pola ruang
untuk bagian perairannya disusun tersendiri dalam bentuk perda RZWP-3-K.
Itupun pada kenyataan di lapangannya, adalah sangat sulit untuk menetapkan
struktur ruang di perairan lautnya. Sehingga otomatis berkonsekuensi bahwa
RZWP-3-K itu hanya memuat tentang pola ruangnya saja. Pasal 24 ayat (1) UU
26/2007 menjelaskan bahwa rencana rinci tata ruang sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 14 ayat (3) huruf b ditetapkan dengan peraturan daerah. Tata 38 ruang wilayah
yang dimaksud mencakup ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang
di dalam bumi. Sementara itu Pasal 9 ayat (5) UU 27/2007 jo UU 1/2014 Rencana
Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga ditetapkan melalui Peraturan
Daerah. Jangka waktu RTRW ataupun RZWP-3-K Pemerintah Daerah keduanya
berlaku selama 20 (duapuluh) tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-
kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal 9 ayat (2) UU 27/2014 mengatur bahwa
RZWP-3-K juga harus diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan
RTRW pemerintah provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, hal ini menegaskan
bahwa keduanya seharusnya tidak perlu dibuat dengan dua format hukum yang

ii
berbeda (dua Perda). RTRW dan RZWPPK mengatur hal yang relative sama namun
pada tataran teknis harus mengeluarkan dua Peraturan Daerah yang berbeda.
RZWP-3-K yang merupakan perangkat pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-
pulau kecil adalah satu kesatuan dengan RTRW atau penyusunan RZWP-3-K ini
akan mengacu kepada RTRW setempat, dimana akan berimplikasi terhadap
peraturan daerah yang akan ditetapkan, yaitu walaupun dalam UU no 26 tahun 2007
dan UU no 27 tahun 2007 yang masing masing memerintahkan RZWP-3-K dan
RTRW 39 ditetapkan dalam bentuk peraturan daerah namun tetap lebih efisien dan
efektif kalau ditetapkan dalam satu peraturan daerah saja.

3. Perubahan Kewenangan Pemerintah Daerah

Pengesahan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah yang


mencabut UU No. 32 Tahun 2004 berdampak terhadap otonomi daerah dalam
pengelolaan pesisir dan pulaupulau kecil. Pasal 27 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014
menyebutkan bahwa Daerah Provinsi diberikan kewenangan untuk mengelola
sumber daya laut yang ada di wilayahnya. Pasal ini menggugurkan Pasal 18 ayat 1
UU No. 32 Tahun 2004, yang menyebutkan bahwa Daerah yang memiliki wilayah
laut diberikan kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut. Pada
bagian penjelasan, Daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 adalah Pemerintah
Provinsi dan Pemerintah Kabupaten/Kota. Dengan demikian, secara langsung Pasal
27 ayat (1) UU No. 23 Tahun 2014 mencabut kewenangan Kabupaten/Kota dalam
pengelolaan sumber daya laut. Adapun kewenangan Daerah Provinsi untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut sebagaimana tertuang dalam Pasal 27 ayat
(2) UU No. 23 Tahun 2014.
Pasal 27 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014 tidak berubah signifikan, kecuali
hanya ada penekanan bahwa kegiatam eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan
pengelolaan kekayaan laut hanya untuk sumber daya di luar minyak dan gas bumi.
Dengan kata lain, minyak dan gas bumi menjadi kewenangan pemerintah pusat.
Kewenangan Daerah Provinsi untuk mengelola sumber daya di wilayah laut paling
jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas dan/atau ke
arah perairan kepulauan (Pasal 27 ayat 3 UU No. 23 Tahun 2014). Pasal ini

ii
memperkuat pemberian kewenangan kepada Pemerintah Provinsi, dimana
sebelumnya ada kewenangan Pemerintah Kabupaten/Kota sejauh 4 (empat) mil laut
sebagaimana ditetapkan pada Pasal 18 ayat (4) UU No. 32 Tahun 2004, yang 41
menyebutkan bahwa kewenangan untuk mengelola sumber daya di wilayah laut
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling jauh 12 (dua belas) mil laut diukur dari
garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan kepulauan untuk provinsi
dan 1/3 (sepertiga) dari wilayah kewenangan provinsi untuk kabupaten/kota.
Dengan demikian, berdasarkan Pasal 27 ayat (3) UU No. 23 Tahun 2014, maka
mulai dari garis pantai hingga 12 mil laut menjadi kewenangan Pemerintah
Provinsi.
Pemerintah Provinsi yang berciri kepulauan mendapatkan limpahan
kewenangan dari Pemerintah Pusat. Hal ini sebagaimana dituangkan dalam Pasal
28 ayat (2) UU No. 23 Tahun 2014, bahwa selain melaksanakan kewenangan untuk
mengelola sumber daya di wilayah laut, bagi Daerah Provinsi yang berciri
kepulauan, Pemerintah Pusat menugaskan pelaksanaan kewenangannya di bidang
kelautan. Penugasan baru dapat dilaksanakan apabila Pemerintah Daerah Provinsi
yang berciri kepulauan tersebut telah memenuhi norma, standar, prosedur dan
kriteria yang ditetapkan oleh Pemerintah Pusat. Mengenai norma, standar, prosedur
dan kriteria, UU No. 23 Tahun 2014 mengamanatkan pengaturan dalam bentuk
Peraturan Pemerintah. 42 Berdasarkan uraian di atas, maka pengesahan UU No. 23
Tahun 2014 masih menyisakan permasalahan, yaitu:
1. Ketidakjelasan kewenangan Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya di
wilayah laut.
2. Ketidakjelasan pembagian fungsi dan peran antara Pemerintah Provinsi dan
Pemeriantah Kabupaten/Kota dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan pulau-
pulau kecil.

4. Adanya multi tafsir terkait sanksi pidana terhadap tindak pidana yang
sama

Hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang merupakan tiga ekosistem
penting didaerah pesisir, terlebih lagi terumbu karang karena daerah ini merupakan

ii
tempat ikan dan biota laut hidup dan berkembang biak. Selain sumber manfaat dari
sisi perikanan, terumbu karang juga memberikan nilai tambah dari sektor industri
pariwisata dan juga bermanfaat sebagai penyangga daerah pantai. Kepulauan
Indonesia memiliki luas terumbu karang mencapai 50.867 km persegi atau sekitar
18 % dari total terumbu karang dunia.
Kemegahan terumbu karang Indonesia tersebut sayangnya tidak diiringi dengan
pemeliharaan yang baik. Data terbaru (2012) Pusat Penelitian Oseanografi LIPI
mengungkap hanya 5,3% terumbu karang Indonesia yang tergolong sangat baik.
Sementara 27,18%-nya digolongkan dalam kondisi baik, 37,25% dalam kondisi
cukup, dan 30,45% berada dalam kondisi buruk. Bahkan, setengah abad terakhir ini
degradasi terumbu karang di Indonesia meningkat dari 10% menjadi 50%.6
Mencermati kerusakan pesisir tersebut, maka eksploitasi terhadap sumber daya
lingkungan di pesisir harus menjadi perhatian serius. Terhadap kondisi yang
memprihatinkan tersebut diperlukan penegakan hukum dan peraturan
perundangundangan yang jelas dalam pengelolaan sumber daya pesisir yang
komprehensif. Beberapa perbuatan yang mengakibatkan rusaknya ekosistem
terumbu karang berupa:
a. Penangkapan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat yang dapat
membahayakan sumber daya ikan dan lingkungannya
b. Penambangan dan pengambilan karang
c. Penangkapan yang berlebih
d. Pencemaran perairan
e. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir
f. Kegiatan pembangunan di wilayah hulu.
Terhadap maraknya perusakan wilayah pesisir khususnya pada terumbu
karang, UU Nomor 27 Tahun 2007 telah mencantumkan pemidanaan terhadap
pelaku perusakan tersebut. Pengaturan tersebut dicantumkan pada Pasal 73 UU
Nomor 27 Tahun 2007 Jo UU Nomor 1 Tahun 2014 menyebutkan bahwa “Dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun dan pidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan
paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah) setiap Orang yang

ii
dengan sengaja melakukan kegiatan menambang terumbu karang, mengambil
terumbu karang di Kawasan konservasi, menggunakan bahan peledak dan bahan
beracun, dan/atau cara lain yang mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu
karang. Secara lebih detail dapat dijabarkan bahwa perbuatan yang dapat
diklasifikasikan sebagai pidana menurut pasal tersebut yaitu:

a. menambang terumbu karang yang menimbulkan kerusakan ekeosistem terumbu


karang

b. mengambil terumbu karang di kawasan konservasi

c. menggunakan bahan peledak, bahan beracun, dan/atau bahan lain yang merusak
ekosistem terumbu karang

d. menggunakan peralatan, cara dan metode lain yang merusak ekosistem terumbu
karang.

Dalam konteks ini penegakan hukum terkait dengan eksploitasi terumbu


karang harus dilakukan dengan komitmen penuh. Namun demikian, penegakan
hukum terhadap pidana perusakan terumbu karang tersebut berpotensi terhambat
karena adanya ketidaksinkronan dalam hal kaitannya dengan pemidanaan terhadap
perusakan wilayah pesisir antara Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 jo.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 dengan UndangUndang Nomor 31 Tahun
2004. Undang-Undang Nomor 45 Tahun 2009 tentang Perikanan. Sebagaimana
telah dijelaskan diatas bahwa Pasal 73 UU Nomor 27 Tahun 2007 Jo UU Nomor 1
Tahun 2014 telah mengatur pemidanaan terhadap perusakan pesisir, namun
demikian perlu diperhatikan pula Pasal 84 UU Nomor 31 Tahun 2004 jo UU Nomor
45 Tahun 2009 tentang Perikanan yang menyebutkan bahwa Setiap orang yang
dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan
kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan

ii
pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah).
Pengaturan Undang-Undang tentang Perikanan yang berpotensi dapat tidak
sinkron dengan UndangUndang tentang Pesisir adalah pada norma
penangkapan/pembudidayaan ikan yang membahayakan kelestarian sumber daya
ikan dan/atau lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dalam Undang-Undang
tentang perikanan tersebut termasuk pula terumbu karang dan ekosistem laut
lainnya. Perbuatan perusakan terumbu karang sebagaimana halnya diatur dalam
Undang-Undang tentang Pesisir sesungguhnya memiliki substansi objek yang sama
dengan perbuatan penangkapan ikan yang merusak lingkungan sebagaimana halnya
diatur dalam Undang-Undang tentang Perikanan yaitu terumbu karang beserta
ekosistem laut lainnya namun demikian kedua Undang-Undang tersebut
memberikan sanksi pemidanaan yang berbeda terhadap kedua perbuatan pidana
yang dampak lingkungannya adalah sama. Pasal 8 ayat (1) UU Nomor 45 Tahun
2009 tentang perikanan, pelaku perusakan sumber daya ikan dan laingkungannya
(dalam hal ini termasuk terumbu karang) dipidana dengan pidana penjara paling
lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 1.200.000.000,00 (satu miliar dua
ratus juta rupiah).
Sedangkan pada Pasal 73 UU 27/2007 Jo UU N0 1/2014 menyebutkan
bahwa pelaku perusakan terumbu karang “Dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan pidana denda paling
sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak
Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah). Apabila seseorang melakukan
penangkapan ikan dengan bahan peledak sehingga menyebabkan rusaknya
ekosistem terumbu karang, maka dengan UU manakah dia bisa didakwa ? Antara
UU Perikanan dan UU pesisir memiliki sanksi pidana yang berbeda untuk tindak
pidana yang mengakibatkan kerusakan yang sama terhadap terumbu karang. Hal ini
menimbulkan ketidakpastian hukum dan mengganggu rasa keadilan masyarakat.
Bukankah ada celah hukum yaitu pelaku perusakan terumbu karang dapat berdalih
bahwa dirinya melakukan kegiatan perikanan, dengan harapan dirinya dipidana

ii
berdasarkan UU Perikanan karena sanksi pidananya lebih ringan dibanding UU
Pesisir.

2.3.2 Aspek Kelembagaan


1. Konflik Kelembagaan Konservasi Perairan

Pengesahan UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU No. 27


Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil berdampak
terhadap kelembagaan dalam pengelolaan konservasi perairan. Menurut Pasal 78A
UU No. 1 Tahun 2014, disebutkan bahwa kawasan konservasi di Wilayah Pesisir
dan PulauPulau Kecil yang telah ditetapkan melalui peraturan perundangundangan
sebelum Undang-Undang ini berlaku adalah menjadi kewenangan Menteri. Adapun
Menteri yang dimaksud dalam undang-undang ini adalah Menteri Kelautan dan
Perikanan. Pada bagian penjelasan dituangkan, bahwa yang dimaksud dengan
"kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil" termasuk Kawasan
Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam yang berada di wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil, dalam bentuk Taman Nasional/Taman Nasional Laut, Suaka
Margasatwa Laut, Suaka Alam Laut, Taman Wisata Laut, dan Cagar Alam Laut,
antara lain:

a. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Seribu;


b. Taman Nasional Kepulauan Karimun Jawa; c. Taman Nasional (Laut)
Bunaken; d. Taman Nasional (Laut) Kepulauan Wakatobi;
e. Taman Nasional (Laut) Taka Bonerate;
f. Taman Nasional Teluk Cenderawasih; dan g.
Taman Nasional Kepulauan Togean Berdasarkan Pasal 78A UU No. 1
Tahun 2014, sudah semestinya dilakukan pengalihan kelembagaan pengelolaan
ketujuh Taman Nasional Laut dan Kepulauan tersebut. Namun demikian, 50 hingga
saat ini, ketujuh Taman Nasional Laut dan Kepulauan tersebut masih dikelola oleh
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melalui PHKA. Landasan
hukum yang digunakan KLHK adalah UU No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. Tarik-menarik kepentingan

ii
kelembagaan dalam pengelolaan Taman Nasional Laut dan Kepulauan
dikhawatirkan menimbulkan ketidakefektifan dalam pengelolaannya, sehingga
diperlukan peralihan lembaga pengelola sesuai yang dimandatkan Undang-Undang.
Tentu saja, peralihan kelembagaan tersebut harus disertai kesiapan kedua lembaga
yang berada di bawah kementerian yang bersangkutan, yang dalam hal ini
Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan.

2.4.1 Permasalahan terkait Aspek Materi Hukum


Konflik antara UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atau UU No. 27
Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
Terkait Izin Pengelolaan dan Izin Pengelolaan

UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007


tenang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memuat ketentuan izin
pengelolaan dan izin pengusahaan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil
sebagaimana dalam PP No. 36 Tahun 2010. Pasal 9 ayat (1) huruf e UU No 1/2014
menyatakan bahwa setiap pengusaha Wiata Bahari yang melaksanakan usaha di
wilayah pesisir harus memiliki Izin Pengelolaan. Sementara itu, berdasarkan Pasal
8 PP No 36/2010 tenatang Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa,
Taman Nasional, Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam menyebutkan bahwa
Pengusahaan pariwisata alam yang didalamnya termasuk wisata tirta hanya dapat
dilakukan setelah memperoleh Izin Pengusahaan. Pengusahaan wisata tirta tersebut
sangta dimungkinkan juga berada di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Berdasarkan dua peraturan perundang-undangan (PUU) tersebut,
disimpulkan bahwa Pengusaha akan mengurus dua perizinan kepada dua lembaga,
yaitu izin pengelolaan berdasarkan UU No 1/2014 dan juga izin pengusahaan
berdasarkan UU No 36 tahun 2010. Pengurusan izin tersebut dilakukan kepada dua
institusi yang berbeda. Hal tersebut tentunya berpotensi untuk menimbulkan biaya
yang tinggi dan birokrasi yang terlalu banyak.

ii
2.4.2 Konflik antaraUU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang dengan
UU No. 1 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 27 Tahun 2007 tentang
Pengelolaan WP3K terkait rencana tata ruang wilayah (RTRW) dan rencana
zonasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil (RZWPPK)
Pasal 24 ayat (10 UU No. 26/2007 menjelaskan bahwa rencana rinci tata
ruang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (3) huruf b deitetapkan dengan
peraturan daerah. Tata ruang wilayah yang dimaksud mencakup ruang darat, ruang
laut, ruang udara dan termasuk ruang didalam bumi. Sementara itu Pasal 9 ayat (5)
UU No. 27/2007 jo UU No. 1/2004 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil juga ditetapkan melalui Peratruarn Daerah.

RTRW dan RZWPPK mengatur hal berbeda antara rezim pengelolaan darat
dan rezim pengelolaan laut, sehingga pada tataran teknis harus mengeluarkan dua
Peratuaran Daerah yang berbeda juga. Jangka waktu RTRW ataupun RZWP-3-k
Pemerintah Derah keduuanya berlaku selama 20 (duapuluh) tahun dan dapat
ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali, Pasal 9 ayat (2) UU
27/2014 mengatur bahwa RZWP-3-K juga harus diserasikan, dan diseimbangkan
dengan RTRW Provinsi atau kab/kota, hal ini mengaskan bahwa keduanya
seharusnya tidak perlundibuat dengan dua format hokum yang berbeda (dua Perda).
Hal ini tentunya akan menjadi pembebanan yang berlebihan pada anggaran daerah
karena harus membuat dua Perda yang berbeda.

2.4.3 Terjadi kekosongan hukum dalam pengelolaan wilayah pesisir dan


pulau-pulau kecil di daerah kab/kota sebagai dampak diberlakukannya UU
No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah

Pasal 27 UU No. 23 Tahun 2014 hanya mengatur pemberian kewenangan


pengelolaan wilayah pesisr kepada pemerintah daerah provinsi, sedangkan UU No.
1 tahun 2014 pengelolaan wilayah pesisir dapat dilakukan oleh gubernur maupun
bupati walikota sesuai dengan kewenangannya. Sejauh mana kewenangan dari
pemerintah provinsi dan pemerintah kab kota dalam pengelolaan wilayah pesisir ini
pada UU Pemda tidak dijelaskan. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum.

ii
2.4.4 Adanya multi tafsir antara UU No 31/2004 tentang Perikanan dengan UU
27/2007 Jo UU N0 1/2014 terkait sanksi pidana yang berbeda terhadap tindak
pidana yang sama
Pasal 84 ayat 1, 2 dan 3 sebagai berikut:

 Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan


Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/ atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/ atau lingkungannya
 Nakhoda atau pemimpin kapal perikanan, ahli penangkapan ikan, dan anak
buah kapal yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik
Indonesia melakukan penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia,
bahan biologis, bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang
dapat merugikan dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan
dan/atau lingkungannya.
 Pemilik kapal perikanan, pemilik perusahaan perikanan, penanggung jawab
perusahaan perikanan, dan/atau operator kapal perikanan yang dengan
sengaja di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia melakukan
usaha penangkapan ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis,
bahan peledak, alat dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan
dan/atau membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau
lingkungannya.
 Pemilik perusahaan pembudidayaan ikan, kuasa pemilik perusahaan
pembudidayaan ikan, dan/atau penanggung jawab perusahaan
pembudidayaan ikan yang dengan sengaja melakukan usaha
pembudidayaan ikan di wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia
menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, flat dan/atau
cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/ atau membahayakan
kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.

ii
 Sedangkan Pasal 84 UU No 31/2004 tentang Perikanan menyebutkan bahwa
Setiap orang yang dengan sengaja di wilayah pengelolaan perikanan
Republik Indonesia melakukan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan
ikan dengan menggunakan bahan kimia, bahan biologis, bahan peledak, alat
dan/atau cara, dan/atau bangunan yang dapat merugikan dan/atau
membahayakan kelestarian sumber daya ikan dan/atau lingkungannya
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 8 ayat (1), dipidana dengan pidana
penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp
1.200.000.000,00 (satu miliar dua ratus juta rupiah). Sedangkan pada Pasal
73 UU 27/2007 Jo UU N0 1/2014 menyebutkan bahwa “Dipidana dengan
pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 10 (sepuluh)
tahun danpidana denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar
rupiah) dan paling banyak Rp10.000.000.000,00 (sepuluh miliar rupiah)
setiap Orang yang dengan sengaja melakukan kegiatan menambang
terumbu karang, mengambil terumbu karang di Kawasan konservasi,
menggunakan bahan peledak dan bahan beracun, dan/atau cara lain yang
mengakibatkan rusaknya ekosistem terumbu karang.

Apabila seseorang melakukan penangkapan ikan dengan bahan peledak


sehingga menyebabkan rusaknya ekosistem terumbu karang, maka dengan UU
manakah dia bisa didakwa ? Antara UU Perikanan dan UU pesisir memiliki sanksi
pidana yang berbeda untuk tindak pidana yang mengakibatkan kerusakan yang
sama terhadap terumbu karang . Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum dan
mengganggu rasa keadilan masyarakat.

ii
BAB III. HASIL DAN PEMBAHASANNYA

Indonesia mempunyai wilayah peralihan (interface) antara ekosistem darat


dan laut, serta memiliki kekayaan alam yang melimpah, maka sektor kelautan dan
pulau-pulau kecil memegang peran strategis bagi kepentingan nasional. Terbukti,
Indonesia secara fisik memiliki 17.500 pulau, dengan total panjang garis pantai
mencapai 81.000 km serta luas laut mencapai 70 persen dari total luas wilayah
Indonesia. Potensi sumberdaya ikan juga melimpah, di mana potensi lestari
mencapai 6,2 juta ton pertahun, belum termasuk keanekaragaman hayati lainnya
seperti rumput laut, terumbu karang, dan lainnya, sadar akan potensi itu, berbagai
lembaga negara maupun swasta sangat berkepentingan atas regulasi tersebut.
Sebuah tindakan yang tepat bagi pemerintah mejalankan fungsinya untuk mengatur
tatanan khususnya pada isu pesisir dan pulau-pulau kecil ini. Akan tetapi,
pengaturan tersebut haruslah tidak bertentang dengan kepentingan pengelolaan
lingkungan pesisir dan masyarakat, khususnya nelayan tradisional. Regulasi
sebagaimana dimaksud juga seharusnya tidak bertentangan dengan kearifan lokal
nelayan. Sebagai contoh, di sepanjang pesisir pulau Jawa hingga saat ini masih
hidup (terus tumbuh dan berkembang) berbagai budaya serta tradisi lokal.
Konstitusi Indonesia menghargai keberadaan kebudayaan-kebudayaan tersebut,
oleh karenanya Indonesia sebagai negara hukum, di mana konstitusi merupakan
basis filosofis dari hukum nasional, maka sudah semestinya aturan yang ada tidak
boleh bertentangan dengan konstitusi.
Pemerintah dengan wewenang yang dimilikinya dalam pengelolaan
lingkungan hidup membentuk undang-undang yang mengatur pengelolaan wilayah
pesisir dan pulau-pulau kecil yang berfungsi sebagai payung hukum. Latar belakang
pemerintah dalam membentuk undang-undang pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil adalah:
a). Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil merupakan bagian dari sumber daya
alam yang dianugerahkan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan kekayaan
yang dikuasai oleh Negara, yang perlu dijaga kelestariannya dan dimanfaatkan

ii
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, baik bagi generasi sekarang maupun yang
akan datang.

b). Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil memiliki keaneka-ragaman potensi


sumber daya alam yang tinggi, dan sangat penting bagi pembangunan sosial,
ekonomi, budaya, lingkungan, dan penyangga kedaulatan bangsa, oleh karena itu
perlu dikelola secara berkelanjutan dan berwawasan global, dengan memperhatikan
aspirasi dan partisipasi masyarakat, dan tata nilai bangsa yang berdasarkan norma
hukum nasional. Berdasarkan latar belakang tersebut dan hasil review terhadap
perundangundangan (20 undang-undang nasional) dan konvensi (5 konvensi
internasional) yang telah diratifikasi pemerintah Indonesia yang berkaitan dengan
pengelolaan wilayah pesisir, maka pemerintah bersama dewan perwakilan rakyat
membentuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pada tanggal 26 Juni 2007, dalam Sidang
Paripurnanya, DPR RI mensahkan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir
dan Pulau-Pulau.

ii
BAB IV. PENUTUP

4.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian tersebut diperoleh simpulan, bahwa


perlindungan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil diatur dalam
Pasal 16 s/d Pasal 20 Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, yaitu: pemanfaatan diberikan dalam bentuk
HP-3 meliputi permukaan laut dan kolam air sampai dengan permukaan dasar laut,
HP-3 diberikan dalam luasan dan waktu tertentu, wajib memperhatikan kelestarian
ekosistem, masyarakat adat, kepentingan nasional, serta hak lintas damai bagi kapal
asing, HP-3 diberikan kepada orang perorangan, badah hukum, dan masyarakat
adat, diberikan untuk jangka waktu 20 tahun dan dapat diperpanjang sampai dua
kali, HP-3 dapat beralih, dialihkan dan dijadikan jaminan utang. Namun pemberian
HP-3 menimbulan banyak permasalahan dan cenderung lebih berpihak kepada
pengusaha dan dikawatirkan terjadi penyimpang dalam pelaksaannya sehingga
berdampak pada kelestarian ekosisitem yang ada dan berdampak pada pencabutan
hak-hak masyarakat pesisir dalam mengakses sumberdaya baik di permukaan laut,
badan air maupun di bawah dasar laut. Maka perlu adanya pengawasan dan
pengendalian oleh pemerintah.
Wilayah pesisir memiliki nilai strategis bagi pengembangan ekonomi
nasional dan peningkatan kesejahteraan masyarakat dan sekaligus wilayah yang
sangat rentan terhadap kerusakan dan perusak. Oleh sebab itu diperlukan
pengelolaan yang bijaksana dengan menempatkan kepentingan ekonomi secara
proposional dengan kepentingan lingkungan, baik dalam jangka pendek maupun
jangka panjang.
Pengelolaan berbasis masyarakat dapat diartikan sebagai suatu system
pengelola sumberdaya alam disuatu tempat dimana masyarakat lokal ditempat
tersebut terlibat secara aktif dalam proses pengelolaan sumberdaya alam yang
terkandung di dalamnya. Strategi pengembangan masyarakat dapat dilakukan
melalui dua pendekatan yaitu, yang bersifat struktual dan non-struktual.

ii
Konsep pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan berfokus pada
memperhatikan aspek parameter lingkungan, konservasi,dan kualitas hidup
masyarakat,yang selanjutnya diidentifikasi secara komprehensif dan terpadu
melalui kerjasama masyarakat, ilmuan dan pemerintah untuk menentukan strategi-
strategi pengelolaan pesisir yang tepat.

4.2 Saran

1. Segera dibentuk peraturan Pemerintah yang mengatur tentang Hak


Pengusahaan pesisir dan pulau-pulau kecil

2. Dalam hal pemberian izin HP-3 harus mempertimbangkan hak hidup


yang sehat dan kepentingan masyarakat pada umumnya, dan
memperhatikan kelestarian pada khususnya. Apabila terjadi penyimpangan
dalam pelaksananny maka pemegang HP-3 harus dikenakan sanksi sesuai
dengan peraturan yang ada.

1. Dalam aspek materi hukum:

 Perlu revisi/perubahan Peraturan Pemerintah No 36 Tahun 2010 tentang


Pengusahaan Pariwisata Alam di Suaka Marga Satwa, Taman Nasional,
Taman Hutan Raya dan Taman Wisata Alam menyesuaikan dengan UU 93
No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014
tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil terkait izin
pengelolaan dan izin pengusahaan dalam rangka mewujudkan keadilan dan
kepastian hukum.
 Perlu sinkronisasi dan harmonisasi antara UU No. 27 Tahun 2007
sebagaimana telah diubah dengan UU No. 1 Tahun 2014 tentang
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dengan UU No. 26
Tahun 2007 tentang Penataan Ruang terkait rencana zonasi wilayah pesisir
dan pulau-pulau kecil agar dilakukan penyempurnaan RTRWN yang
mengintegrasikan tata ruang nasional secara komprehensif antara ruang laut
dan darat.

ii
 Perlu revisi UU No. 27 Tahun 2007 sebagaimana telah diubah dengan UU
No. 1 Tahun 2014 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau
Kecil terkait pembagian kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dan
pulau-pulau kecil menyesuiakan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan Daerah.Pengaturan rencana rinci tata ruang dalam suatu
Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 24 UU Penataan
Ruang perlu diintegrasikan dengan ketentuan Pasal 9 ayat (5) UU 27/2007
jo UU 1/2014 Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil juga
ditetapkan melalui Peraturan Daerah, karena Jangka waktu RTRW ataupun
RZWP-3-K Pemerintah Daerah keduanya berlaku selama 20 (duapuluh)
tahun dan dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali,
Pasal 9 ayat (2) UU 27/2014 mengatur bahwa RZWP-3-K juga harus
diserasikan, diselaraskan, dan diseimbangkan dengan RTRW pemerintah
provinsi atau pemerintah kabupaten/kota, hal ini menegaskan bahwa
keduanya seharusnya tidak perlu dibuat dengan dua format hukum yang
berbeda (dua Perda).
 Perlu ada perubahan sanksi pidana dalam UU Perikanan menyesuaikan
dengan UU Pesisir dan Penguatan kapasitas Hakim dalam hal pengambilan
Putusan terkait kerusakan ekosistem pesisir.

2. Dalam Aspek Kelembagaan dan Aparatur :

 Perlu segera dilakukan peralihan pengelolaan kawasan konservasi dari


kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup ke Kementerian Kelautan
dan Perikanan, agar organisasi dapat berjalan efektif, tidak berlarut larut
dalam konflik kewenangan. - Perlu adanya pengakuan pemerintah terhadap
masyarakat adat sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dalam arti
perlu pengaturan masyarakat hukum adat yang tidak mendelegitemasi
masyarakat hukum adat.

ii
DAFTAR PUSTAKA

Akhmad Fauzi dan Suzy Anna, 2008. Permodelan Sumber Daya Perikanan dan
Kelautan Untuk Analisi Kebijakan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Badan Perencanaa Pembangunan Daerah. 2004. Rencana Startegis Pengelolaan


Wilayah Pesisir dan Laut Provinsi Sulawesi Tenggara (2004-2013).
Kendari.

Bengen DG. 2000. Sinopsis Teknk Pengambilan Contoh dan Analisis Data
Sumberdaya Pesisir. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Lautan
Faperikan, Institut Pertanian Bogor (PKSPL-IPB), Bogor.

Cicin S, Bernal P, Vandeweerd V, Belfore, S, Goldstein K. 1998. A Guide to


Oceans, Coast and Island at the World Summit on Sustainable
Development Integrated management from Hilltops to oceans. World
Summit on Sustainable Develoment Johannesburg, South Africa August
26-Sepetember,4 2002.

Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2006. Laporan


Perencanaan Tata Ruang Pesisir dan Pulau-pulau Kecil kabupaten
Bombana.

Dahuri R. 2001. Kebijakan Nasional dan Renstra Pengelolaan Sumberdaya Pesisir


dan Laut Secara Berkelanjutan. Departemen Perikanan dan kelautan,
Jakarta.

Dahuri R, 2003 . Keanekaragaman Hayati laut. Gramedia pustaka Utama, Jakarta.

Eman Rustiadi, Sunsun Saefulhakim dan Dyah R. Panuju, 2009, Perencanaan dan
pengembangan Wilayah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.

Kasnir, M. 201. Penatakelolaan Minawisata Bahari di Kepulaun Spermonde.


Disertasi. Insitut Pertanian Bogor, Bogor.

Kepmen No. 200 Tahun 2004 tentang, Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman
Penentuan Status padang Lamun.
Kepmen No. 34 Tahun 2002 tentang pedoman umum ruang pesisir dan pulau-pulau
kecil

Mohammad Meddy Danial, 2008. Rekayasa Pantai (Coastal Engineering),


Alfabeta, Bandung.

Odum EP. 1989. Dasar-dasar Ekologi (terjemahan). Edisi Ketiga, Gajah Mada
University Press.

ii
Mochtar kusumaatmadja, Fungsi Hukum dalam Pembangunan Nasional, Lembaga
Kriminolgi Universitas Pajajaran Bandung, 1976.

Morten Edvardsen, Coastal Zone Planning and management in the North Sea
Region-Organizational Aspects, dalam Jurnal Litoral, 2002, The
Changing Coast EUROCOAST-Porto Portugal.

Rahardjo Adisasmita, 2006. Pembangunan Kelautan dan Kewilyahan. Edisi


Pertama Graha Ilmu, Yogyakarta.

Robert J. Kodpatie dan Rostam Sjarief 2010. Tata Ruang Air, Andi, Yogyakarta
Salm RVJR, Clark 2000. Marine and Coastal Protetected Areas A. Guide for
Planners and managers. IUCN. Washington DC:371.

Soewoto, Kekuasaan dan Tanggungjawab Presiden Republik Indonesia (disertasi)


Fakultas Pasca Sarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 1990.

Siti Sundari Rangkuti, Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan


Indonesia (edisi ketiga), Airlangga University, Surabaya, 2005.

Philipus M. Hadjon, Tentang wewenang, Yuridika, Nomor 5&6 XII September –


Desember 1999.

Irawan, Andrie, 2014. Corak Hukum Adat . Fakultas Hukum Universitas


Cokroaminoto. 2014.

Pide, Suriyaman Mustari, 2009. Hukum Adat Dulu, Kini dan Akan Datang, Jakarta;
Pelita Pustaka.

Thontowi, Jawahir, 2009. Penegakan Hukum & Diplomasi Pemerintah SBY,


Yogyakarta, Leutika Press.

Pearce DG, Krik RM. 1986. Carrying Capacites for Coastal Tourism. Ind J
Environ. 9(1): 3-7.

Dahuri R, Rais J, Ginting SP, Sitepu MJ. 2001. Pengelolan Sumberdaya Wilayah
Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. Edisi Pertama. PT. Pradnya Paramita
Jakarta.

ii

Anda mungkin juga menyukai